Pendahuluan
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, setiap
petugas kesehatan diharapkan mempunyai pengetahuan dan
keterampilan praktis untuk melakukan penanganan pertama dan tindakan
live saving sebelum melakukan rujukan ke rumah sakit. Diharapkan
dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas
1
dan mortalitasnya. Penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya
rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan
berkurangnya kemungkinan pemulihan fungsi. 1,2,3
2
sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil
tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya
fungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat,
respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab
akhir kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TIK mempengaruhi ADO
akibat kompresi arterial, regangan atau robekan arteria dan vena batang
otak serta gangguan perfusi. ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada
otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial,
tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi atau
kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada kenyataannya,
banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak
dibanding tingkat TIK sendiri. Edema otak yang terjadi oleh sebab
apapun akan meninggikan TIK yang berakibat gangguan ADO yang
berakibat memperberat edema sehingga merupakan lingkaran setan. TIK
lebih dari 15 mm Hg harus ditindak. Triad klasik nyeri kepala, edema
papil dan muntah ditemukan pada duapertiga pasien. Sisanya hanya dua
gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil,
namun memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simtom lebih
banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak ada
korelasi konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala.
Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu
cedera korteks bilateral serta cedera pada sistem pengaktif retikuler
batang otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat
menurunkan tingkat kesadaran.4
Klasifikasi
Didasarkan pada aspek :
1) Mekanisme trauma
3) Berdasar morfologi :
a) Fraktura tengkorak.
i) Kalvaria :
ii) Basiler :
(1) Anterior.
(2) Media.
(3) Posterior.
b) Lesi intrakranial.
i) Fokal :
(a) Epidural.
(b) Subdural.
(c) Sub-arakhnoid.
(b) Difusa :
(3).Dengan suara
5
(2).Dengan nyeri
Penanganan
6
Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan6:
Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan
sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering
adalah syok, hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip
penanganan ABC (airway, breathing, dan circulation) dengan tidak
melakukan manipulasi yang berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh
yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan pelvis 3,6.
7
Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam
brain shock selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai
dengan refleks yang sangat lemah, sangat pucat, napas lambat dan
dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-kadang pupil
midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita sudah
mati, tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat
seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga
perlu segera bantuan pernapasan6.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika
penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam
keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita
yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan,
jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical
spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi
yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift
atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui
hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga
patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring.
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas
dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila
tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada
penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas
belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan
sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal 1,3,5,6,7,8.
8
perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status
sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera
kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100
mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut
nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan
sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik
lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka
tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya
teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50
mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan
pada luka. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl
0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan
ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya
terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala
dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher)
karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan
tekanan intrakranial3,5,8,10.
Rujukan
9
(khususnya di luar jawa), maka sistem rujukan seperti itu sulit
dilaksanakan. Oleh karena itu, ada tiga hal yang harus dilakukan 3:
Ada beberapa kriteria pasien cedera kepala yang masih bisa dirawat di
rumah tetapi dengan observasi ketat, yaitu5 :
Daftar Pustaka
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Kepalateks.html
5. Bajamal AH. Perawatan cidera kepala pra dan intra rumah sakit.
In : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf.
2000.
6. Hafid A, Kasan U, Darmadipura HMS, Wirjowijoyo B. Strategi dasar
penanganan cidera otak. Warta IKABI Cabang Surabaya. 1989 :
107-128.
7. Wilberger JE. Emergency care and initial evaluation. In: Cooper PR,
ed. Head Injury. Baltimore: Williams and Wilkins, 1993:27-41.
8. Kisworo B. Penanganan patah tulang terbuka di puskesmas. Medika
1996;10: 802-804.
11
9. McKhann II GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital care of the head-
injured patient. In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds.
Neurotrauma. McGraw-Hill, 1996: 103-117.
10. Andrews BT. Fluid and electrolite management in the head injured
patient. In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds.
Neurotrauma. McGraw-Hill, 1996: 331-344.
12