Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Katarak merupakan penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan

di seluruh dunia, oleh karena itu bedah katarak menjadi tindakan bedah yang

paling banyak dilakukan oleh dokter spesialis mata. Sejalan perkembangan ilmu

kedokteran dan teknologi, maka terjadi pula perubahan yang evolutif maupun

revolusioner dalam pembedahan katarak. Hal itu sejalan dengan perubahan

paradigma oftalmologi dari rehabilitasi kebutaan menjadi optimalisasi fungsi

penglihatan. Optimalisasi fungsi penglihatan akan meningkatkan kualitas

kehidupan karena mata merupakan jalur utama informasi sehari-hari (Purba dkk., 2010;

Ilyas, 2004).

Katarak merupakan suatu kelainan mata berupa kekeruhan pada lensa,

disebabkan oleh pemecahan protein oleh proses oksidasi dan foto-oksidasi.

Klasifikasi katarak berdasarkan onset usia terjadinya dibagi menjadi katarak

kongenital, katarak juvenil, dan katarak senilis (Ilyas, 2004). Katarak senilis merupakan

jenis katarak yang paling banyak ditemukan. Pasien katarak senilis diperkirakan

mencapai 90% dari seluruh kasus katarak (American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015).

Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terjadi karena proses degenerasi dan

biasanya mulai timbul pada usia diatas 40 tahun. Berdasarkan maturitasnya

katarak senilis dibagi menjadi 4 stadium yaitu stadium insipien, stadium imatur,

stadium matur dan stadium hipermatur (Ilyas, 2004). Angka kebutaan di Indonesia

adalah yang tertinggi yaitu 1,5% dari jumlah penduduk dibandingkan dengan

angka kebutaan negara-negara di Regional Asia Tenggara (Bangladesh 1%, India

Cystoid makular edema pada operasi katarak 1


0,7%, Thailand 0,3%). Penyebab utamanya adalah katarak yakni sebanyak 2 juta

orang dan setiap tahun bertambah sekira 240 ribu penderita katarak baru. Menurut

data survei kesehatan rumah tangga kesehatan nasional (SKTR-SUSKERNAS),

prevalensi katarak di Indonesia sebesar 4,99%, prevalensi katarak di Jawa dan

Bali sebesar 5,48% lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya (Departemen

Kesehatan RI, 2009; Kementerian Kesehatan RI, 2005).

Tindakan bedah katarak bertujuan untuk menghasilkan optimalisasi fungsi

penglihatan bercirikan pemulihan yang cepat, terukur dengan efek samping yang

minimal, stabilitas jangka panjang, serta memberikan kepuasan pada penderita

(Soekardi dan Hutauruk, 2004). Tidak semua bedah katarak mencapai tujuan, banyak faktor

yang mempengaruhinya termasuk komplikasi pembedahan. Komplikasi operasi

katarak sangat bervariasi tergantung waktu serta ruang lingkupnya (Henderson dkk.,

2007; Purba dkk., 2010). Komplikasi dapat terjadi pada periode intraoperatif diantaranya

iris prolaps, trauma iris, hifema, robek kapsul posterior dan vitreous loss.

Komplikasi pasca operasi diantaranya edema kornea dan endoftalmitis, bullous

keratopathy, malposisi/ dislokasi lensa intra okular (IOL), cystoid macular edema

(CME), ablasio retina, uveitis, peningkatan tekanan intra okular dan posterior

capsular opacification (American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015). Cystoid macular

edema (CME) merupakan salah satu komplikasi pasca operasi katarak tersering

yang muncul terlambat dan menyebabkan terbatasnya perbaikan tajam

penglihatan. CME juga merupakan penyebab paling umum kehilangan

penglihatan yang tidak terduga setelah pembedahan katarak yang lancar. CME

pseudofakia pertama kali diperkenalkan oleh Irvine SR pada tahun 1953 dan Gass

Cystoid makular edema pada operasi katarak 2


& Norton di tahun 1966, sehingga dikenal sebagai Irvine-Gass Syndrome. (Tsilimbaris
et al., 2013)

Pseudofakia cystoid makular edema (PCME) adalah pembengkakan pada

fovea akibat akumulasi cairan yang terjadi setelah beberapa minggu/bulan operasi

katarak. Hal ini menyebabkan penurunan visus setelah operasi katarak.

Prevalensi dari PCME bervariasi dari berbagai penelitian. Dengan menggunakan

angiografi fluorosens, prevalensi PCME lebih dari 20% telah dilaporkan, dimana

hanya 2% yang terdiagnosa PCME dengan penurunan visus. Biasanya, PCME

self-limiting, tapi beberapa pasien menjadi kronik, menghasilkan kehilangan

penglihatan secara permanen. (Kessl et al., 2014). Dengan adanya teknik

fakoemulsifikasi modern, rata-rata kejadian PCME lebih rendah antara 0,2% dan

2,35%. Beberapa kelompok pasien seperti pasien dengan diabetes memiliki risiko

tinggi terjadi edema makula setelah operasi. (Chu J Colin et al.,2016)

CME dideskripsikan dalam 2 bentuk yaitu CME angiografik dan CME klinis.

CME angiografik dideteksi dengan Fundus Fluoresens Angiografi (FFA), dan tidak

terdapat gangguan tajam penglihatan. CME klinis terlihat pada pemeriksaan

biomikroskopi dan terdeteksi pada FFA disertai adanya penurunan tajam

penglihatan. Namun CME angiografi lebih sering terjadi dibanding CME klinis.
(Subramanian et al.,2009)

Faktor risiko PCME termasuk beberapa komplikasi intraoperasi seperti

ruptur kapsul posterior, vitreus loss dan vitreus inkarserata di luka insisi dan

segmen anterior. Penggunaan lensa intra okular di bilik mata depan (AC IOL)

terutama fiksasi iris dilaporkan terjadi peningkatan insiden CME, hal ini terjadi

Cystoid makular edema pada operasi katarak 3


akibat adanya iritasi kronik pada iris. Iris merupakan jaringan yang berespon

terhadap adanya trauma dengan mensekresikan mediator inflamasi. (Tsilimbaris et al.,

2013)

Profilaksis preoperatif dengan obat nonsteroid anti inflamasi (NSAIDs), dan

kombinasi steroid dan NSAIDs setelah operasi direkomendasikan untuk

menurunkan insiden PCME. ( Lobo, 2011) Berbagai metode pemberian profilaksis dan

terapi baik topikal, subkonjungtiva, dan intravitreal telah dilaporkan diberbagai

jurnal dengan membahas keuntungan dan kerugian masing-masing. Berikut akan

dibahas lebih mendalam mengenai cystoid makular edema setelah operasi

katarak.

Cystoid makular edema pada operasi katarak 4


BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI MAKULA

II.1 Anatomi dan Histologi Makula

Makula merupakan bagian dari retina posterior. Batas makula secara

histologis merupakan wilayah dengan 2 atau lebih lapisan sel ganglion dengan

diameter 5-6 mm dan terletak antara arkade vaskular temporal. Makula

mengandung karotenoid yang terdiri dari lutein dan zeaxanthin yang menumpuk

di dalam makula sentral dan menyebabkan warna kuning. Karotenoid memiliki

kemampuan antioksidan yang berfungsi untuk menyaring sinar gelombang biru

dan berguna mencegah terjadinya kerusakan (American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-

2015).

Fovea sentralis adalah pusat makula dengan diameter 1,5 mm. Fungsi

khusus fovea sentralis adalah untuk ketajaman penglihatan dan penglihatan

warna. Fovea adalah wilayah tanpa pembuluh darah retina yang dikenal sebagai

foveal avascular zone (FAZ). Pusat geometris FAZ ini sering diambil untuk menjadi

pusat makula dan dijadikan titik fiksasi pada pemeriksaan FFA dan OCT. Fovea

memiliki cekungan (depresi) pusat yang dikenal sebagai foveola, daerah dengan

diameter 0,35 mm dimana terdapat sel-sel kerucut yang ramping dan padat,

dengan umbo yang terletak di dalamnya. Sekitar fovea adalah cincin dengan lebar

diameter 0,5 mm disebut parafoveal zone, di daerah ini lapisan sel ganglion,

lapisan inner nuclear, dan lapisan outer plexiform adalah yang paling tebal. Sekitar

zona ini terdapat cincin dengan lebar sekitar 1,5 mm disebut perifoveal zone
(American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015).

Cystoid makular edema pada operasi katarak 5


Gambar 1. Anatomi Makula (Dikutip dari American Academy
of Ophthalmology Staff, 2014-2015)

Fovea mengandung fotoreseptor kerucut yang tersusun padat melebihi

140.000 sel/mm². Fovea sentralis tidak memiliki fotoreseptor batang, hanya

kerucut dan pendukungnya yaitu sel Muller. Jumlah fotoreseptor kerucut menurun

drastis di perifer, sebaliknya di perifer fotoreseptor batang memiliki kepadatan

yang tinggi yaitu 160.000 sel/mm² (American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015). Nerve

fiber layer (NFL) merupakan perpanjangan dari lapisan sel ganglion sepanjang

bagian dalam retina untuk bersatu dalam bagian posterior untuk membentuk

nervus optik. Internal limiting membrane (ILM) dibentuk oleh dasar (kaki) sel

Muller, berdampingan dengan bagian posterior dari vitreus. Perlekatan zonula

antara sel-sel fotoreseptor dan sel Muller pada tingkat ini membentuk external

limiting membrane (ELM), sehingga sel Muller melalui hampir seluruh ketebalan

retina (Binder, 2004).

Cystoid makular edema pada operasi katarak 6


Gambar 2. Skema histologi Makula (Dikutip dari American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015).

Arteri retina sentral (cabang pertama dari arteri oftalmika) memasuki mata

dan terpecah menjadi 4 cabang, masing-masing memasok darah ke empat

quadran retina. Cabang arteri ini ini berlokasi di bagian dalam retina dan terpecah

menjadi cabang-cabang yang lebih kecil. Arteri silioretina (cabang dari arteri

siliaris) akan memasok ke bagian dalam retina antara nervus optik dan pusat

makula. Retina dipasok oleh 2 lapis kapiler, satu pada lapisan sel ganglion

superfisial dan NFL, satu yang lebih dalam pada lapisan inner nuclear. Darah

dikumpulkan dari kapiler dalam vena retina cabang yang pada akhirnya

membentuk vena retina sentral. Sistem pembuluh darah retina diperkirakan

memasok sekitar 5% dari oksigen yang digunakan dalam fundus dan sisanya

dipasok oleh koroid (American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015).

II.2 Fisiologi Makula

Molekul peka cahaya pada fotoreseptor kerucut berasal dari vitamin A dan

diikat dengan protein dikenal sebagai opsin, pada sel batang dikenal sebagai

Cystoid makular edema pada operasi katarak 7


rhodopsin. Sel kerucut memiliki 3 opsin berbeda yang selektif memberi kepekaan

terhadap sinar merah, hijau dan biru. Molekul-molekul ini terkandung dalam

segmen luar fotoreseptor. Kebanyakan sel saraf mengalami depolarisasi

sementara menghasilkan potensial aksi “spike”. Fotoreseptor melanjutkan respon

bertahap dengan perubahan polarisasi membran yang sebanding dengan jumlah

cahaya yang merangsang (American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015, Binder,2004).

Fotoreseptor bersinapsis dengan sel-sel bipolar. Fotoreseptor kerucut

memiliki 1-1 sinapsis dengan sel bipolar. Lebih dari 1 sel batang dan

kadangkadang lebih dari 100 sel batang bersinapsis pada setiap sel bipolar. Sel-

sel bipolar memiliki respon bertahap dengan perubahan polarisasi sama seperti

fotoreseptor. Sel-sel bipolar bersinapsis dengan sel-sel ganglion. Sel amakrine

membantu dalam pemrosesan sinyal dengan merespon perubahan spesifik pada

stimuli retina, seperti perubahan intensitas cahaya yang mendadak. Respon sel-

sel ganglion yang berasal dari sel bipolar dan sel amakrin kemudian

dikembangkan dan dihubungkan dengan nukleus genikulata dorsolateral di otak


(American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015, Binder,2004).

Kebutuhan metabolisme retina luar dipenuhi oleh koriokapilaris yang

merupakan sistem kapiler dari arteri koroid cabang dari arteri siliaris. Pembuluh

darah retina termasuk kapilernya mempertahankan sawar darah retina (SDR)

bagian dalam dengan ikatan yang ketat antara sel-sel endotel kapiler ini (American

Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015). Retinal pigmen epithelium (RPE) adalah lapisan

sel kuboid berbentuk heksagonal terletak diantara membran Bruch dan retina.

Lapisan ini terbentang dari tepi diskus optik sampai ora serrata dan berlanjut

Cystoid makular edema pada operasi katarak 8


dengan epitel pigmen badan siliar. Bagian apikal RPE terletak berdekatan dan

berhubungan erat dengan lapisan sel fotoreseptor. Sel RPE pada makula lebih

tinggi dan lebih padat dibandingkan di daerah perifer. Permukaan lateral sel-sel

RPE berikatan erat dan bergabung dengan komplek junctional (zonula

occludentes), komplek ini membentuk SDR luar (American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-
2015. Dick dkk., 2006).

Retinal pigmen epithelium (RPE) berfungsi menyerap cahaya,

mempertahankan ruang subretina, fagositosis segmen luar, berpartisipasi dalam

metabolisme asam lemak tak jenuh ganda, membentuk sawar darah retina luar,

menyembuhkan dan membentuk jaringan parut (Binder, 2004). Fungsi sawar RPE

adalah mencegah difusi metabolit antara koroid dan ruang subretina. RPE memiliki

kapasitas tinggi untuk transportasi air, sehingga cairan tidak mudah menumpuk di

ruang subretina dalam keadaan normal. Respon dari trauma, inflamasi, atau

rangsangan lain dapat mengganggu fungsi RPE, sehingga RPE dapat

berproliferasi, migrasi, atrofi atau mengalami metaplasia (American Academy of Ophthalmology

Staff, 2014-2015, Framme dan Wolf, 2012).

BAB III
INSIDEN DAN FAKTOR RISIKO

Cystoid makular edema pada operasi katarak 9


III.1 INSIDEN

CME adalah penyebab paling umum untuk visus sub-optimal setelah

ekstraksi katarak dan merupakan penyebab penurunan visus tak terduga setelah

operasi katarak. CME dapat terjadi setelah operasi katarak yang berkomplikasi

dan tanpa komplikasi, tanpa perbedaan predileksi jenis kelamin atau ras (Tsilimbaris

et al., 2013).

Sulit untuk menetukan kejadian CME secara keseluruhan karena variasi

dalam populasi pasien yang dievaluasi (dengan faktor risiko yang berbeda-beda)

dan penggunaan metode untuk evaluasi penebalan makula. Faktor lain yang

berkonstribusi terhadap insiden tidak pasti adalah penggunaan obat profilaksis

yang berbeda sebelum dan setelah operasi katarak. Ada beberapa laporan yang

membandingkan kejadian CME klinis dan angiografi setelah pemberian obat

spesifik anti inflamasi. Beberapa laporan dan ulasan yang menyebutkan kejadian

CME menunjukkan angka dan penjelasan yang berbeda, dalam kasus

tertentu,dan tidak pasti. ( Lobo, 2011) Pseudofakia makular edema bisa terjadi setelah

operasi katarak fakoemulsifikasi, meskipun tanpa komplikasi dan faktor risiko.

Berdasarkan insiden PME tanpa adanya komplikasi operasi, diabetes, atau faktor

risiko dilaporkan 1,17%.(Chu J et al,2016)

Insiden angiografi PCME masih tinggi sekitar 60% setelah Intracapsular

Cataract Extraction (ICCE), sedangkan setelah Extracapsular extraction (ECCE)

dilaporkan 15-30%. PCME setelah modern fakoemulsifikasi yang dideteksi

dengan OCT terdapat sekitar 4-11%. Insiden klinikal PCME lebih rendah, sekitar

Cystoid makular edema pada operasi katarak 10


0,1 – 2,35%. Lebih dari 80% keluhan pasien akan membaik secara spontan 3-12

bulan. (Yonekawa et al, 2012)

Sebuah penelitian membandingkan kejadian CME setelah Small incision

cataract surgery (SICS) dengan fakoemulsifikasi yang dilakukan pada 100 pasien

setiap jenis teknik operasi tersebut. Insiden CME setelah operasi SICS dilaporkan

2% sedangkan setelah fakoemulsifikasi adalah 1%. (Chaudhary C et al, 2015)

Tabel 1. Insiden PCME berdasarkan teknik operasi ekstraksi katarak


tanpa komplikasi (Grzybowski et al,2016)

Sebuah penelitian mengenai insiden dan penyebab CME angografi dan

klinis setelah operasi fakoemulsifikasi tanpa komplikasi, dan implantasi lensa

intraokular (IOL) pada mata normal. Penelitian ini membandingkan 252 mata dari

252 pasien yang menjalani operasi fakoemulsifikasi tanpa komplikasi dengan

continuous curvilinear capsulirhexis (CCC) dan implantasi IOL akrilik in the bag.

Kejadian CME angiografi dievaluasi 45 hari setelah operasi menggunakan FFA.

CME klinis tidak dideteksi (0%) dan 23 kasus pada kasus CME angiografi (9,1%).

Hasil ini mengindikasikan bahwa kejadian CME klinis menurun secara drastis

setelah fakoemulsifikasi tanpa komplikasi, namun insiden CME angiografi hampir

sama pada teknik ekstra kapsular.(Mentes J et al,2003)

Cystoid makular edema pada operasi katarak 11


III.2 FAKTOR RISIKO

Beberapa faktor lokal, sistemik, dan kondisi intra operasi menunjukkan

peningkatan risiko dari PCME (tabel 2). Prinsip faktor risiko yang menyebabkan

PME adalah jenis operasi katarak, komplikasi yang terjadi selama operasi seperti

prolaps vitreus, ruptur kapsul posterior, iris inkarserata atau tersisanya fragmen

lensa dan beberapa kondisi seperti uveitis atau diabetes. Namun diabetes

dilaporkan menjadi faktor risiko utama. (Lobo,2012)

Tabel 2. Faktor risiko Pseudofakia Cystoid macular edema.(Grzybowski et al,2016)

III.2.1. KOMPLIKASI INTRAOPERASI

Pemilihan teknik operasi berhubungan dengan hasil yang berbeda

dan komplikasi, seperti CME. Perubahan prosedur operasi dari insisi besar

pada ICCE dan ECCE ke insisi yang lebih kecil pada fakoemulsifikasi telah

memberikan penurunan komplikasi intraoperasi. Insiden edema makula

setelah operasi katarak dengan teknik ECCE dengan intak kapsul posterior

Cystoid makular edema pada operasi katarak 12


dilaporkan 13% dan meningkat menjadi 27% jika disertai ruptur kapsul

posterior. (Rosetti&Autelitano, 2000)

Komplikasi operasi menjadi predisposisi terjadinya PCME seperti

prolaps vitreus, traksi vitreus di luka insisi, trauma iris, ruptur kapsul

posterior, dislokasi IOL, dan anterior chamber IOL atau fiksasi iris. (Yonekawa

et ak,2012) Perubahan yang terjadi pada vitreus body selama operasi

berlangsung menjadi mekanisme patogenik terjadinya CME. Meskipun

CME juga terjadi pada operasi katarak tanpa komplikasi, tentu dengan

adanya komplikasi akan meningkatkan risiko terjadinya CME. (Lobo C,2011)

Prolaps vitreus meningkatkan risiko CME sekitar 10-20%


(Rosetti&Autelitano, 2000). Penelitian lain melaporkan angka kejadian CME klinis

berhubungan prolaps vitreus lebih tinggi dibandingkan operasi tanpa

komplikasi antara ECCE atau fakoemulsifikasi. Vitreus prolaps di luka insisi

akan memperpanjang CME, dan memiliki prognosis yang buruk. Iris

inkarserata sebagai faktor risiko tambahan untuk CME, juga berhubungan

dengan visus yang buruk pada pasien kronik setelah operasi CME

dibandingkan komplikasi intraoperatif lainnya. (Lobo C,2011)

III.2.2. LENSA INTRAOKULAR (IOL)

Pemakaian IOL yang terfikasi di iris juga dilaporkan terjadi

peningkatan insiden dan perlangsungan lambat dari CME, yang mana

berkontribusi terjadinya iritasi kronik dari iris. Iris merupakan jaringan yang

Cystoid makular edema pada operasi katarak 13


berespon terhadap trauma dengan mensekresikan mediator inflamasi
(Rosetti&Autelitano, 2000).

Penggunaan IOL yang malposisi sehingga kontak dengan jaringan

uvea, kornea atau struktur lain memiliki insiden yang lebih tinggi. IOL yang

diletakkan di in the bag kapsul posterior, IOL open-loop anterior chamber

tidak meningkatkan risiko CME. CME dengan penurunan penglihatan

biasanya terjadi pada operasi yang lama atau operasi yang berkomplikasi.

Paparan sinar ultraviolet yang berlebihan dari matahari juga menjadi risiko

terbentuknya ME. (AAO,2015). Tipe IOL yang diimplantasikan juga berperan

banyak terbentuknya CME setelah operasi katarak. Kraff et al (1985)

melaporkan penggunaan filter Ultraviolet (UV) pada IOL dapat menurunkan

kejadian CME angiografi.

III.2.3 FOTOTOKSIK MIKROSKOP

Robetson dan Feldman meyakini adanya hubungan antara paparan

sinar mikroskop dengan lesi di retina. Sinar tersebut disugesti menjadi

penyebab CME.(Michels et al,1990) Meskipun beberapa tahun terakhir laporan

kasus mengenai lesi fototoksik retina setelah operasi katarak telah

berkurang.(Pavilack et al,2001) Terdapat 3 mekanisme yang menyebabkan

kerusak retina yaitu mekanik, termal, dan photochemical. Beberapa faktor

yang penting dalam fototoksik termasuk sudut cahaya, intensitas cahaya,

waktu paparan, dan intensitas komponen cahaya biru (blue light). Waktu

paparan yang lama dilaporkan berkorelasi adanya fototoksik klinis

Cystoid makular edema pada operasi katarak 14


dibandingkan total energi. Panjang gelombang yang berisiko terjadinya

retinopati fototoksik antara 400nm dan 500nm, dan yang paling berbahaya

yaitu antara 435nm – 440 nm. Lampu mikroskop mengunakan lampu

halogen dan LED (Light-Emitting Diode) sebagai sumber cahaya serta

menggunakan teknologi Stereo Coaxial Illumination (SCI) untuk visualisasi

red refleks yang lebih baik. Mikroskop semakin berkembang dengan panel

kontrol pada kaki dan pegangan. Paparan sinar mikroskop yang lama

sepanjang operasi katarak yang dikombinasikan dengan vitrektomi pars

plana, sebagai operasi sekunder, juga berkonstribusi meningkatnya insiden

CME. (Lobo C,2011) Peningkatan risiko fototoksik yang berhubungan dengan

waktu operasi lebih dari 100 menit akan menigkatkan suhu tubuh dan

retina, mikroskop tanpa filter cahaya biru, dan hiperoxemia. (Manzouri et al,2002)

Meskipun toksisitas sinar lampu mikroskop menjadi faktor risiko CME,

sebuah penelitan prospektif randomized tidak mendukung hal tersebut, dan

memperlihatkan tidak ada perbedaan signifikan angka CME angiografik

dengan penggunaan penutup pupil untuk menghindari sinar lampu.(Kraft et


al,1985) Beberapa prosedur termasuk penggunaan filter ultraviolet pada

mikroskop, penggunaan udara di bilik mata depan untuk de-fokus cahaya

ke retina sebagai barier cahaya dari kornea. Kekuatan pencahayaan dari

mikroskop sebaiknya diminimalkan pada saat instrumen tidak berada di

mata. (Manzouri et al,2002)

Pencahayaan dengan posisi mikroskop untuk temporal approach

berpotensi menyebabkan trauma pada fovea akibat cahaya mikroskop.

Cystoid makular edema pada operasi katarak 15


Memiringkan mikroskop 15o atau lebih ke temporal ketika pupil di sentral

dan 10o atau lebih ketika terpusat di limbus temporal lebih aman untuk

menghindari paparan ke fovea selama operasi katarak dengan temporal

approach.(Pavilack et al,2001). Kemajuan teknologi mikroskop operasi katarak

seperti penggunaan coaxial illumination untuk visualisasi yang lebih baik,

serta teknik operasi yang modern sehingga waktu untuk operasi katarak

semakin singkat.

III.2.4 PENGGUNAAN POWER DAN HIGHER FLUID PARAMETERS

Ferrari et al (1999) melaporkan hubungan antara terbentuknya

edema makula dengan jumlah energi yang digunakan selama

fakoemulsifikasi, terjadi peningkatan insiden CME dengan pemakaian

energi yang berlebih satu joule. Penggunaan energi yang berlebih pada

saat fakoemulsifikasi dapat menghambat hasil operasi katarak. Stabilitas

power saat fakoemulsifikasi (40%) tidak terdapat perbedaan signifikan

antara kelompok positif CME dengan Negatif CME. (Menter et al,2003) Phaco-

time lebih dari 8,1 detik juga merupakan faktor penting dan prediktor

terjadinya PCME.(Mirachtsis et al,2016) Sebuah penelitian prospektif, konsekutif,

satu operator, komparatif, cohort case series membandingkan insiden

CSME setelah femto-second laser-assisted cataract surgery dan

fekoemulsifiasi. Angka CSME setelah femto-second laser-assisted cataract

surgery dilaporkan 0,8% sedangkan setelah fakoemulsifikasi 0,1%- 2,35%.

Hal ini mungkin penggunaan peningkatan kecepatan laser pada femto-

second. Kerusakan tergantung pada rata-rata kekuatan dan durasi

Cystoid makular edema pada operasi katarak 16


dibanding energi (yang biasanya tetap). Pulse pada femto-second selama

operasi katarak dapat menyebabkan gelombang listrik disekitar struktur

segmen anterior (iris dan ciliary body) sehingga dapat terjadi mikrotrauma

yang nantinya akan menginduksi inflamasi. (Ewe et al,2015)

Memahami dan modulasi parameter merupakan aspek penting,

namun sering diabaikan pada fakoemulsifikasi. Sebuah studi

membandingkan dampak menggunakan parameter cairan tinggi (higher

fluid parameters) dengan parameter cairan rendah terhadap tekanan

intraokular saat fakoemulsifikasi. Para peneliti menemukan bahwa

penggunaan parameter yang tinggi akan menghasilkan kenaikan absolut

tekanan intraokular yang lebih tinggi dibandingkan dengan parameter yang

rendah. Peningkatan tekanan intraokular secara fluktuatif akan

diterjemahkan sebagai ketidakstabilan ruangan. Penelitian intervensi yang

dilakukan di India untuk mengetahui efek dari parameter cairan yang

berbeda terhadap CME. Penelitian ini membandingkan low fuidic (aspirasi

flow rate-25cc/menit, ketinggian botol 90cm, longitudinal ultrasound)

dengan high fluidic (aspirasi flow rate-40cc/menit, ketinggian botol 110 cm,

longitudinal ultrasound). Parameter cairan yang tinggi saat fakoemulsifikasi

menjadi predisposisi terjadi peningkatan ketebalan makula. Hal ini mungkin

terjadi akibat peningkatan tekanan intraokular yang fluktuatif saat

fakoemulsifikasi menyebabkan stres mekanik pada mata khususnya di

makula.(Vasavada R.A,2015)

III.2.5 USIA

Cystoid makular edema pada operasi katarak 17


Usia pasien merupakan faktor risiko lain dari terjadinya PCME.

Beberapa penulis melaporkan adanya korelasi positif, memperlihatkan

peningkatan insiden CME pada pasien yang lebih tua. (Lobo C,2011) Hal ini

sama dilaporkan pada penelitian kohort Chu et al dengan mata tanpa faktor

risiko lain, insiden PCME meningkat pada pasien yang tua. Peningkatan

usia juga dilaporkan sebagai faktor risiko menyebabkan edema makula

oleh Rossetti dan Autelitano.

III.2.6 DIABETES MELLITUS

Pasien dengan diabetes, meskipun tanpa adanya retinopati,

dilaporkan terjadi peningkatan risiko relatif munculnya edema makula

setelah operasi katarak. Risiko bertambah meningkat dengan adanya

retinopati diabetik sebelumnya disertai peningkatan derajat keparahan

retinopati diabetik. Insiden PCME 1,17% pada pasien non diabetes dan

meningkat 4 kali lipat pada pasien diabetes.( Chu J Colin,2016) Sangat penting

untuk dilakukan pemeriksaan pre operatif terutama pada pasien diabetes

jika pasien tersebut sudah menderita edema makula sebelumnya, maka

harus diterapi terlebih dahulu sebelum operasi. Namun apabila pada kasus

yang tidak memungkinkan untuk terapi profilaksis, injeksi intravitreal anti-

inflamasi dapat diberikan pada saat operasi (intraoperatif).(Lobo,2012)

Tajam penglihatan yang buruk pasca operasi katarak pada pasien

diabetes mellitus kemungkinan karena terdapat dua bentuk klinis diabetic

macular edema dan edema yang disebabkan CME pasca bedah katarak.

Cystoid makular edema pada operasi katarak 18


Kedua edema ini sulit dibedakan, meskipun beberapa peneliti menyatakan

yang membedakan adalah CME pasca bedah katarak menyebabkan

hiperfluoresen pada diskus optik dengan pemeriksaan FFA (Kim dan Bressler,

2007).

III.2.7 PENYAKIT MATA PENYERTA

Risiko relatif meningkat pada ruptur kapsul dengan atau tanpa

kehilangan vitreus, menderita epiretinal membran sebelumnya, uveitis,

oklusi vena retina, atau setelah vitrektomi akibat retinal detachment. Miop

tinggi, age-related macular degeneration, atau pemakaian prostaglandin

analog tidak memperlihatkan peningkatan risiko. Sebuah kasus seri yang

dilakukan oleh Panteleontidis et al (2010) terhadap 3 pasien dengan

pseudoexfoliasi dilaporkan terjadi penurunan CME setelah penghentian

sementara pemakaian latanoprost. Tidak ada perbedaan secara signifikan

prevalensi CME klinis setelah insisi kornea yang kecil pada operasi katarak

fakoemulsifikasi dengan pasien glaukoma dan nonglaukoma (Law KS et al,2009)

PME rata-rata mendapatkan penurunan visus setelah operasi, yang mana

akan persisten dari waktu diperiksa, diatas 24 minggu. Pasien dengan

uveitis berpotensi terbentuk CME, dan menjadi alasan utama terjadinya

hasil operasi katarak yang buruk pada pasien. Hal ini penting untuk

diperhatikan mengingat derajat keparahan uveitis bervariasi sehingga

dokter/operator harus memperhitungkan risiko terjadinya CME setelah

operasi katarak. Sehingga sangat penting untuk mengontrol inflamasi pre

operasi dan pemberian obat setelah operasi berdasarkan risiko tersebut.

Cystoid makular edema pada operasi katarak 19


Uveitis merupakan predisposisi terbentuknya katarak lebih

cepat/dini, dan ekstraksi katarak pada pasien tersebut berpotensi terjadinya

komplikasi. Meskipun teknik operasi modern disertai implantasi IOL pada

kasus tertentu. Sebuah penelitian prospektif meneliti 108 mata dengan

berbagai variasi penyebab uveitis melaporkan insiden terjadinya PCME

klinis sebanyak 21%, dengan tajam penglihatan akhir 20/40 atau lebih baik.

Belair et al dalam penelitian kohort prospektif, 41 mata dengan uveitis dan

52 mata tanpa uveitis mempelihatkan insiden PCME pada OCT setelah 3

bulan post operatif 8% pada pasien uveitis dan 0% pada pasien non uveitis.

Mata yang diterapi perioperatif dengan kortikosteroid oral mengurang risiko

terjadinya PCME. Pasien uveitis harus kontrol ketat sebelum

operasi.(Yonekawa,2012)

Sebagai kesimpulan, faktor risiko yang paling berhubungan dengan PCME

adalah trauma pada iris, ruptur kapsul posterior, kehilangan vitreus atau vitreus

inkarserata, dislokasi IOL, penggunaan IOL fiksasi iris, uveitis yang masih aktif dan

diabetes.(Lobo,2012)

BAB IV
PATOGENESIS

Patogenesis makular edema setelah operasi katarak masih belum diketahui

pasti, namun berdasarkan observasi klinis dan penelitian menjelaskan bahwa

gangguan tersebut bersifat multifaktorial. Beberapa faktor yang terlibat pada CME,

yaitu inflamasi, ketidakstabilan vaskular, traksi vitreomakular, dan toksik cahaya.

Cystoid makular edema pada operasi katarak 20


Namun, beberapa peneliti setuju bahwa inflamasi setelah operasi terlihat menjadi

penyebab utama PCME. Manipulasi operasi di segmen anterior menyebabkan

pengeluaran asam arackhidonat dari jaringan uvea, produksi leukotrienes via jalur

lipoxygenase atau prostaglandin via jalur cyclooxygenase (COX). Mediator

inflamasi akan berdifusi ke posterior kedalam vitreus dan merusak sawar darah

retina (gambar 3). Kerusakan ini akan meningkatkan permeabilitas kapiler

perifovea dan terjadi akumulasi cairan di dalam makula. Jika memberat, maka

terjadi pooling di lapisan luar retina sentral. Ruang kistoid akan terbentuk di daerah

fovea , di lapisan pleksiform luar dan lapisan Henle’s ketika cairan terakumulasi di

nerve fiber layer. Namun secara histologi didapatkan bahwa kista mungkin juga

terbentuk di lapisan pleksiform dalam. Sel fotoreseptor rod dan cone yang berada

di bawah kista akan terjadi penurunan jumlah. (Lobo,2012.Miyake K,2002)

Gambar 3. Hipotesis dari afakia cystoid macular edema (Yannuzzi et al,1981)

Cystoid makular edema pada operasi katarak 21


IV.1 INFLAMASI

Istilah inflamasi digunakan dalam konteks ini sebagai respon perbaikan

inflamatori terhadap prosedur operasi dengan adanya produksi berbagai

eicosanoids. Eicosanoids adalah prostaglandin, leukotriene dan komponen lain

yang merupakan produk dari aksi fosfolipase A2 pada membran fosfolipid, dan

secara umum berasal dari produksi asam arakidonat.(Lobo,2012). Enzim

cyclooxygenase (COX) memiliki peranan penting dalam alur asam arakidonat

untuk menghasilkan eicosanoid yang lain. Enzim ini penting dalam

mempertahankan integritas seluler dan mencegah apoptosis pada eukaryotes

produk eicosanoid COX berperan penting dalam homeostatis seluler, seperti

memodulasi fungsi trombosit. Sebagai respon terhadap trauma, maka enzim COX

akan diregulasi lebih banyak, dan menghasilkan over-produksi dari eicosanoid

untuk homeostatis seluler. (Morrow JD,2010)

Secara umum, operasi intraokular terlihat menjadi pemicu terjadinya

akumulasi makrofag dan neutrofil yang akan diaktivasi dengan sirkulasi agen

inflamasi, termasuk metabolik cyclooxygenase dan lipooxygenase, agen

proteolitik dan lainnya, yang memberikan gambaran klinik inflamasi (injeksi

perilimbal dan flare pada bilik mata depan). Sitokin seperti interferon γ, interleukin

2 dan faktor α tumor nekrosis yang juga berpartisipasi dalam proses produksi

cycloxygenase.(Miyake et al,2002)

Faktor lain seperti niktrik oksida (NO), komplemen dan faktor activiting-

platelet yang disekreksi oleh tipe sel yang berbeda dipercaya berperan penting

Cystoid makular edema pada operasi katarak 22


dalam inflamasi yang juga disugesti berefek pada fungsi pompa Bito’s, yang

berada di epitel siliar dan bertanggung jawab terhadap pembuangan mediator

inflamasi di mata. (El-Harazi et al,2001). Selanjutnya, prosedur operasi katarak itu sendiri

baru-baru ini disugesti menjadi gen ekspresi pro-inflamasi dan sekresi protein. (Xu

et al,2011)

Setelah operasi katarak, difusi faktor inflamatori ke posterior diduga

menjadi penyebab kerusakan Blood-aqueous barrier (BRB). BRB bertanggung

jawab terjadinya pembatasan perpindahan unsur plasma ke dalam retina dan

mempertahankan homeostatis retina. Kerusakan BRB disebabkan peningkatan

permeabilitas kapiler pada jaringan perifovea, dan terbentuk kista dan akumulasi

cairan intraretinal antara intra dan ekstraseluler (Yanoff et al. 1984). Akumulasi cairan

menganggu fungsi sel dan konfigurasi retina. Sel Muller berperan sebagai pompa

metabolik, yang mempertahankan makula tetap kering. Akumulasi cairan di

lapisan plexiform luar dianggap sebagai fenomena kerusakan sel Muller.

Menghasilkan gambaran pola petaloid pada CME di FFA. Relatif avaskular pada

fovea dikombinasi dengan aktivitas metabolik yang tinggi menjelaskan mengapa

reabsorbsi pada rembesan cairan daerah tersebut rendah. Kemudian, membran

limitan interna (ILM) paling tipis di makula, sehingga bisa terjadi difusi agen

inflamasi yang lebih luas dibanding di lokasi lain. (Tsilimbaris et al., 2013)

IV.2 TRAUMA IRIS

Selama operasi katarak, disertai berbagai manipulasi menyebabkan trauma

pada iris sering terjadi. Diketahui bahwa iris adalah jaringan metabolik yang aktif

Cystoid makular edema pada operasi katarak 23


mengeluarkan mediator inflamasi ketika terjadi trauma. Setelah operasi, proses

penyembuhan secara fisiologis biasanya lambat, namun progresif, akan menekan

inflamasi. (Augustin et al,2010)

IV.3 TRAKSI VITREUS

Salah satu potensi penting secara klinik adalah kekuatan tarikan vitreus

terhadap fovea menyebabkan CME. Vitreus melekat dengan ILM, yang mana

melekat pada serat Muller, sel ini secara khusus terpengaruh dari tarikan (traksi).

Korteks vitreus dan vitreus anterior berperan sebagai barier terhadap difusi

mediator kimiawi. Kerusakan pada vitreous face pada ICCE, ruptur kapsul

posterior pada operasi ECCE, fakoemulsifikasi, dan keadaan ini akan

berkomplikasi vitreous loss.(Ray et al,2002) Tarikan minimal pada vitreomakular

interface pada prosedur fakoemulsifikasi dibandingkan ECCE juga menjelaskan

penurunan risiko CME. (Mentes et al, 2003)

Cystoid makular edema pada operasi katarak 24


BAB V
GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS

Edema makula setelah operasi katarak tidak harus disertai penurunan

visus. CME dapat muncul sebagai angiografik atau tomografik tanpa penurunan

visus. CME angiografik dilaporkan terjadi 3% hingga 20% pada pasien dimana

secara klinis signifikan CME terjadi sekitar 0,1% hingga 12%. Hal ini

memperlihatkan bahwa CME biasanya asimptomatik.(Tsilimbaris et al,2013)

Definisi CME klinik terdapat perbedaan beberapa penulis tapi secara

umum terjadi penurunan visus kurang dari 20/40 sesuai dengan gambaran

observasi biomikroskopik dan dokumentasi angiografik terlihat kebocoran

Cystoid makular edema pada operasi katarak 25


perifovea. Hal ini biasanya terjadi 3-12 minggu setelah operasi (puncak insiden 4-

6 minggu) (Lobo C, 2011), namun beberapa kasus mungkin terjadi beberapa bulan atau

tahun setelah operasi.(Mao&Holaland,1998). Tidak seperti makular edema pada pasien

diabetes, sebagai diagnosis banding, biasanya tidak terjadi kurang dari 2 minggu

setelah operasi katarak.

CME dapat menyebabkan penurunan penglihatan terutama visus sentral

dari 20/65 hingga 20/80 (Chan et al,2010). Gangguan fungsi penglihatan seperti

sensitivitas kontras juga terganggu (Ibanez et al,1993). Metamorfopsia dan mikropsia

mungkin juga terjadi pada pasien CME, sedangkan pergeseran hiperopik sering

diamati. (Quillen & Blodi,2002).

CME kronik didefinisikan sebagai edema makula yang simptomatik,

persisten lebih dari 6 bulan setelah diagnosis awal. Ruiz dan Saatci melaporkan

2100 pasien dilakukan operasi katarak ECCE dan implantasi IOL dimana terdapat

2,3% CME pada operasi tanpa komplikasi dan 21,9% pada kasus komplikasi

seperti ruptur kapsul posterior, vitreus loss, dan implantasi sekunder IOL (anterior

chamber). 36% pada kasus CME dini akan berkembang menjadi CME kronik. 71%

penyebab CME kronik adalah adanya vitreus loss. Perbaikan visus 20/40 atau

lebih baik jarang terjadi pada kasus CME kronik. beberapa komplikasi dari CME

kronik termasuk kerusakan irreversibel dari sel fotoreseptor seperti macular hole

dan membran premakular.

Beberapa modalitas diagnostik memberikan informasi penting mengenai

keadaan retina dan dapat membantu oftalmologis untuk mendiagnosa CME.

Cystoid makular edema pada operasi katarak 26


Teknik diagnostik utama yang dilakukan sehari-hari termasuk funduskopi

biomikroskop, angiografi fluoresens (FA), dan OCT.

V.1 SLIT-LAMP BIOMIKROSKOPI

Pada pasien yang menderita CME setelah operasi katarak, segmen

anterior kadang-kadang terdapat hiperemis perilimbal, iritis ringan dan vitritis.

Tanda-tanda komplikasi operasi juga terlihat seperti jaringan vitreus di iris atau di

bibir luka, dislokasi IOL atau ruptur kapsul posterior. Biomikroskopi retina (Gambar

4) tampak hilangnya refleks fovea, penebalan retina dan multiple kistik di daerah

neurosensori retina yang lebih mudah diamati jika menggunakan filter merah.

Pemeriksaan biomikroskop menyeluruh harus selalu dilakukan untuk

menyingkirkan penyebab lain dari penurunan penglihatan setelah operasi seperti

makular hole, oklusi cabang vaskular (BRVO) dan epiretinal membran. .(Tsilimbaris et

al,2013)

Gambar 4. Gambaran biomikroskop makula dengan cystoid macular edema.


.(Tsilimbaris et al,2013)

Cystoid makular edema pada operasi katarak 27


V.2 ANGIOGRAFI FLUORESENS (FA)

Angiografi fluoresens (FA) merupakan gold standar untuk diagnosis edema

makula (Gambar 5). Edema makular dikarakteristikkan dengan bintik kecil

hiperfluoresens (tanda awal kebocoran) pada fase arterivenous dan berkembang

menjadi poli “Kelopak bunga” (pateloid) hiperfloresens pada fase lambat,

dikarenakan akumulasi pewarnaan fluoresens dalam ruang mikrokistik di lapisan

pleksiform luar retina, dengan susunan radial di sekitar tengah foveola (yang

sesuai susunan lapisan Henle’s). Gambaran lain yang dapat ditemukan pada

CME, khususnya setelah operasi katarak, adalah hiperfluoresens pada diskus

optik; gambaran ini dapat memberi respon yang baik terhadap obat anti inflamasi.

Gambar 5. Fase lambat pada angiografi fluoresens, tampak pola petalloid pada
CME. .(Tsilimbaris et al,2013)

V.3 OPTICAL COHERENCE TOMOGRAFI (OCT)

Sejak diperkenalkan OCT, diagnosis dan follow up edema makula menjadi

lebih mudah (Gambar 6). Modalitas ini menawarkan teknik pencitraan non-invasif

Cystoid makular edema pada operasi katarak 28


yang memberikan gambar resolusi cross-sectional makula. CME pada OCT

tampak ruang-ruang hiporekfleksi dalam retina, dengan secara keseluruhan dan

hilangnya depresi foveal. OCT sama efektifnya FA dalam mendeteksi ME, sangat

reproduktif sehingga dapat dilakukan kembali pada follow up selanjutnya.

Perubahan ketebalan makula yang sama atau lebih dari 40µm digambarkan

sebagai indeks OCT edema makula signifikan (Wittpen et al,2008). Jumlah penebalan

makula tidak berkolerasi dengan penurunan penglihatan. Perubahan pachymetri

makula yang kecil tidak mempengaruhi ketajaman visus tetapi ketika perubahan

pachymetri makula 100µm atau lebih, ketajaman penglihatan akan terpengaruh

(Kim&Bressler,2007). Ketidakmampuan ini secara langsung berkorelasi ketebalan

makula dan ketajaman penglihatan mungkin terkait dengan fakta bahwa edema

ekstraseluler mungkin menyebabkan stres mekanik pada retina, sementara jalur

visual tetap baik. Akhirnya, OCT sangat penting untuk mengetahui respon

terhadap terapi dan menetukan apakah terapi dilanjutkan. Tidak ada kesepakatan

yang mengatakan bahwa OCT harus di lakukan terhadap semua pasien yang post

operasi katarak untuk mendeteksi CME.

Cystoid makular edema pada operasi katarak 29


Gambar 6. OCT cystoid macular edema setelah operasi. Perhatikan ruang
hiporefleksi dalam retina, peningkatan ketebalan makula dan hilangnya foveal
depression. .(Tsilimbaris et al,2013)

Gambar 7. Perubahan kistik lapisan inner nuklear pada Pseudofakia cystoid


makular edema akut. (Sigler,2015)

Cystoid makular edema pada operasi katarak 30


BAB VI
PROFILAKSIS

Dengan kemajuan teknik operasi dan hasil operasi yang meningkat, salah

satu perhatian utama untuk dokter mata adalah mencegah atau mengobati CME

pada pasien pseudofakia (Lobo C,2012). Traumatik operasi itu sendiri mungkin

dianggap sebagai pengukuran profilaksis untuk edema (Ersoy L et al,2013).

Beberapa penelitian telah mencoba menunjukkan efektivitas pengobatan

profilaksis dengan obat topikal antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs) dalam

mencegah CME (Almeida et al,2012). Faktanya, terdapat perbedaan signifikan ketika

penambahan profilaksis dalam penurunan ketebalan makula dan tanda edema

pada OCT. Namun, masalah utama adalah perbedaan klinis yang signifikan,

karena sebagian besar pasien tidak memberi keluhan klinis yaitu tidak menderita

penurunan visus karena penyakit ini (Wittpenn et al,2008). Perubahan blood-retinal

barrier terjadi hampir semua pasien yang telah dioperasi, dengan peningkatan

ketebalan retina berdasarkan OCT lebih dari 40% dari semua pasien. Sebagian

besar pasien tidak mengeluh penurunan visus dan tidak ada perbedaan statistik

antara perbandingan pemberian profilaksis dengan obat lain (Almeida et al,2012).

Meskipun secara teori lebih sensitif pengukuran ketebalan retina dibanding

ketajaman penglihatan seperti sensitivitas kontras, tidak terdapat perbedaan yang

signifikan dengan terapi profilaksis, meskipun terjadi peningkatan ketebalan

makula dan penurunan sensitivitas kontras yang rendah (Wittpenn et al,2008).

Cystoid makular edema pada operasi katarak 31


Profilaksis harus dipertimbangkan khususnya pada pasien dengan faktor

risiko, uveitis, diabetes, penyakit kardiovaskular, oklusi vena retina, dan komplikasi

intraoperasi seperti ruptur kapsul posterior dan prolaps vitreus. ECCE atau kasus

fakoemulsifikasi yang tidak berhasil juga harus diperiksa mengenai

berkembangnya CME dan menerima profilaksis ( Lobo C,2012; Rosetti L et al,2000).

Kelompok lain yang terlihat membutuhkan obat profilaksis dari CME adalah

pasien yang mendapat terapi glaukoma, khususnya prostaglandin/prostamide

analog. Obat lain yang berhubungan dengan peningkatan inseden ME pasca

operasi seperti phenylephrine, pilocarpine, timolol, betaxolol dan obat topikal lain

yang menggunakan benzalkonium chloride sebagai pengawet. (Feibel et al,2008).

Penggunaan NSAIDs dengan pengobatan kortikosteriod rutin pasca

operasi bekerja lebih baik dalam mengurangi CME yang dideteksi dengan OCT

ketika dibandingkan dengan kortikosteroid saja (O’Brien TP,2005). Ketorolac

tromethamine terbukti mengurangi penebalan makula setelah follow up operasi

katarak, yang dapat menjamin hasil yang lebih baik. Meskipun demikian, tidak

menunjukkan perbedaan signifikan dalam pencegahan edema makula secara

klinis seperti penurunan penglihatan bahkan dengan obat lain seperti nepafenac

(Mathys KC et al,2010). Hal ini sama dalam penelitian yang dilakukan oleh Tzelikis et al

melaporkan pemakaian profilaksis setelah operasi katarak, NSAIDs tidak efektif

dalam mencegah edema makula dibanding dengan plasebo.(Tzelikis FP et al,2015).

Penggunaan topikal NSAIDs sebagai profilaksis post operasi dilaporkan efektif

dalam pencegahan CME pada kelompok yang berisiko tinggi, seperti diabetes dan

komplikasi intraoperasi. (Henderson et al,2007)

Cystoid makular edema pada operasi katarak 32


Enam penelitian prospektif dan 1 retrospektif menganalisa perbandingan

topikal bromfenac (NSAID) dengan topikal kortikosteroid dalam mencegah CME

setelah operasi katarak pada pasien yang menderita diabetes dan tanpa diabetes.

Wang et al dalam studi prospektif membandingkan bromfenac 0,1%,

fluorometholone 0,1%, dan dexamethasone 0,1% sebagai profilaksis CME setelah

operasi fakoemulsifikasi. CME (ketebalan retina sentral >250µm dan adanya

ruang kistik di intraretinal di bawah fovea) tidak ditemukan pada grup bromofenac

dengan masa follow up lebih dari 2 bulan, terdapat 3 kasus pada grup

fluorometholone (7% dari 43 pasien) dan 4 kasus pada grup dexamethasone

(9,8% dari 41 pasien). Li et al dalam studi retrospektif memberi profilaksis topikal

bromfenac kombinasi dengan dexametasone atau dexametasone tunggal. Insiden

kejadian CME 0% dengan kombinasi bromfenac dexametasone sedangkan 3,9%

dengan pemberian dexametasone tunggal.

Sebuah penelitian melaporkan efektivitas penggunaan steroid topikal

dibandingkan topikal NSAIDs dalam mengontrol inflamasi dan mencegah PCME.

Menunjukkan bahwa topikal NSAIDs memiliki efektifivitas rendah hingga sedang

dalam mengontrol inflamasi setelah operasi katarak dan memiliki efektifitas tinggi

dalam mencegah PCME dibanding steroid topikal. Penggunaan topikal NSAIDs

direkomendasikan dalam mencegah inflamasi dan PCME setelah operasi katarak

(Kessel L et al,2014). Penggunaan topikal NSAIDs pre operasi (selain efek profilaksis

CME) juga berperan dalam mengurangi miosis perioperatif, nyeri, dan fotofobia

paska operasi (O’Brian et al,2005).

Cystoid makular edema pada operasi katarak 33


Jung et al membandingkan profilaksis bromfenac 0,1% dan ketorolac

0,45% pada pasien yang juga mendapat prednisolone asetate, tidak ditemukan

kasus CME setelah follow up 1 bulan operasi katarak. Tidak ada perbedaan secara

signifikan profilaksis antara kelompok bromfenac dan ketorolac. Palacio et al

membandingkan Bromfenac 0,09% dengan Nepafenac 0,1% setelah operasi

fakoemulsifikasi. Tidak ada pasien di kedua kelompok menderita CME. Tidak ada

perbedaan relatif ketebalan sentral retina berdasarkan kedua kelompok pada hari

ke 30 dan 60, meskipun ketebalan sentral retina lebih rendah dengan Bromfenac

dibanding Nepafenac setelah operasi hari ke 30.

Penelitian random double-blind menunjukkan bahwa pemberian obat anti

inflamasi 3 hari sebelum operasi menurunkan kejadian PCME dan meningkatkan

visus jangka pendek, tetapi belum ada bukti untuk jangka panjang. Donnenfeld et

al, menilai perbedaan efek pemberian ketorolac 0,4% preoperatif. Di bagi dalam 3

kelompok; kelompok pertama menerima ketorolac 3 hari sebelum operasi katarak,

kelompok kedua 1 hari preoperatif, kelompok ketiga diberi 1 jam sebelum operasi

katarak dan kelompok keempat adalah plasebo. Setelah 2 minggu setelah operasi

mata yang diterapi 1 atau 3 hari preoperatif memiliki tajam penglihatan yang lebih

baik dibanding plasebo. Hasil ini disugesti bahwa penggunaan NSAID lebih 3 hari

sebelum operasi memiliki akselerasi pemulihan visus segera setelah operasi,

namun tidak berefek terhadap hasil visus 3 bulan setelah operasi. Berbeda pada

penelitian prospektif Tzelikis et al melaporkan efisiensi profilaksis PCME Ketorolac

0,4% dan Nepafenac 0,1% yang diberikan 2 hari sebelum operasi katarak dan

dilanjutkan 4 minggu setelah operasi dibandingkan dengan plasebo. Tidak ada

Cystoid makular edema pada operasi katarak 34


perbedaan signifikan antara pemberian profilaksis preoperatif dengan setelah

operasi.

Persatuan ahli katarak dan bedah refraktif eropa, 2 tahun, multi senter,

penelitian double blind randomized, The Prevention of Macular Edema After

Cataract Surgery (PREMED), mulai merekrut pasien sejak tahun 2013 dan

diharapkan dapat memberikan pedoman berbasis bukti untuk pencegahan PCME

dan pengobatan setelah operasi katarak pada pasien diabetes dan non diabetes.

Namun hasil penelitian belum ada.

Wielders et al (2016) melakukan penelitian meta-analisis

menyimpulkan topikal NSAIDs secara signifikan menurunkan kemungkinan

pengembangan CME dibandingkan topikal kortikosteroid pada pasien non-

diabetes, kombinasi topikal NSAIDs dan kortikosteroid secara signifikan

menurunkan CME pada pasien non-diabetes dan diabetes, injeksi intravitreal

kortikosteroid atau anti-VEGF tidak memiliki manfaat tambahan pada pasien

diabetes.

Vascular endothelial growth factor (VEGF) memiliki peranan dalam

patogenesis PCME. Berbagai obat anti-VEGF seperti pegaptanib sodium

(Macugen) dilaporkan efektif dalam mencegah retinopati diabetik dan makulopati

diabetik ketika disuntikkan saat operasi katarak (Cheema et al,2009). Beberapa penelitian

juga melaporkan kegunaan injeksi intravitreal anti-VEGF dalam mengobati

pseudofakia CME dan CME refrakter dengan pengobatan lain (Cervera et al,2008).

Penelitian yang dilakukan Pinazo et al membandingkan kejadian CME yang terjadi

Cystoid makular edema pada operasi katarak 35


pada pasien yang mendapat profilaksis injeksi intravitavitreal pegaptanib

intraoperatif operasi katarak fakoemulsifikasi dengan tanpa profilaksis/kontrol,

didapatkan hasil insiden CME 4 minggu setelah operasi katarak 0,4% di kelompok

yang mendapat profilaksis pegaptanib dan 4,4% pada kelompok grup kontrol.

Penggunaan profilaksis pegaptanib segera setelah operasi katarak efektif dalam

mencegah CME yang terjadi 4 minggu setelah operasi katarak tanpa komplikasi

dan memungkinkan sebagai gold standar dalam penatalaksanaan pseudofakia

CME pada operasi katarak dengan komplikasi (uveitis,prolaps vitreus) dimana

kejadian CME lebih tinggi (Pinazo GR et al,2012)

Cystoid makular edema pada operasi katarak 36


BAB VII
TERAPI

Sebagian besar kasus CME setelah operasi akan membaik secara

spontan, hanya sekitar 1-3% kasus akan persisten, dan akan menimbulkan CME

klinis dengan gejala yang menetap (Ray S et al,2002). Pilihan pengobatan disesuaikan

dengan mekanisme terbentuknya PCME. Topikal kortikosteroid dan NSAID, baik

monoterapi maupun kombinasi, umumnya menjadi lini pertama dalam pengobatan

CME. Ketika terapi tersebut tidak efektif, intravitreal kortikosteroid dan anti-VEGF

bisa menjadi pilihan. Pada kasus PCME kronik dan traksi vitreomakular, vitrektomi

pars plana dapat dipertimbangkan (Guo et al,2015). Jika CME memberat atau sulit

teratasi, periokular (injeksi subtenon) atau injeksi intraocular triamcinolone acetate

merupakan terapi yang memberi perbaikan. Sistemik acetazolamide juga terlihat

membantu dalam pengobatan CME pada kasus yang berhubungan dengan

retinitis pigmentosa (AAO,2015).

Cystoid makular edema pada operasi katarak 37


Gambar 8. SD-OCT pada mata kiri memperlihatkan CME 6 minggu setelah
operasi katarak (atas) dan sembuh tanpa adanya intervensi terapi setelah 6
minggu kemudian (bawah) Lally et al,2014

VII.1 KORTIKOSTEROID

Peranan kortikosteroid dalam pengobatan PCME melalui penghambatan

leukotrien dan sintesis prostaglandin. Kortikosteroid menurunkan produksi

prostaglandin dengan menghambat fosfolipase A2 di kaskade asam arkhidonat

(gambar 9). Selain bersifat anti inflamasi, kortikosteroid juga menghambat

makrofag dan migrasi neutrofil dan menurunkan permeabilitas kapiler dan

vasodilatasi (Simon et al,2001). Kortikosteroid memiliki efek anti infalamasi lebih luas

dibanding NSAID dan memiliki penggunaan yang sudah lama, yang membuat

banyak dokter mata tidak mengganti kortikosteroid dengan NSAID sebagai bagian

dari manajemen inflamasi setelah operasi katarak. Perbedaan konsentrasi,

lipophilicity, dan aktivitas glukokortikosteroid bawaan antara formulasi

kortikosteroid individu dapat mengubah efek anti inflamasi di dalam mata.

Cystoid makular edema pada operasi katarak 38


(Lobo,2012)
Gambar 9. Alur asam arakidonat dan mekanisme aksi obat anti inflamasi

Pengunaan kortikosteroid yang paling umum sebagai terapi dan

pencegahan CME adalah : prednisolone (topikal), dexametasone (topikal dan

implan intravitreal), fluorometholone (topikal), dan triamcinolone (intravitreal).

Topikal kortikosteroid digunakan tidak hanya sebagai terapi namun juga sebagai

tes terapeutik untuk respon tekanan intraokular sebelum injeksi kortikosteroid

intraocular (Heier JS et al,2000). Penggunaan kortikosteroid biasanya digunakan sebagai

profilaksis dan terapi PCME, namun bukti tersebut masih terbatas. Efikasi dari

steroid terlihat bila digunakan bersamaan dengan NSAID pada beberapa studi,

meskipun NSAID dan kortikosteroid mungkin berkerja sinergis, paling tidak pada

jangka pendek.(Yokenawa, 2012)

Dosis steroid harus dikurang secara lambat untuk menghindari rebound

phenomenom. Untuk kasus yang sulit teratasi, mereka mengusulkan injeksi

Cystoid makular edema pada operasi katarak 39


intravitreal kortikosteroid. Benhamou et al memberikan injeksi intravitreal

triamcinolone ulang pada pasien PCME yang sulit teratasi menunjukkan

penurunan ketebalan macula dalam studi OCT. Namun demikian, semua pasien

akan terjadi makular edema rekuren dalam waktu 2-4 bulan. Bellocq et al menilai

efektivitas implan intravitreal dexametasone (Ozurdex) untuk mengobari PCME

akibat operasi katarak yang merupakan pengobatan lini pertama untuk kasus yang

sulit teratasi (the EPISODIC study). Mereka menemukan lebih dari setengah

pesien yang follow up selama minimal 1 tahun terjadi rekuren antara fingsional

dan anatomi. Pada pasien yang menerima suntikan kedua, efektivitas dan

keamanan 2 implan adalah sama. Penulis yang sama meneliti efektifitas implan

dexametasone pada PCME pada sampel yang lebih besar dengan waktu follow

up yang panjang (the EPISODIC 2).

Pada pasien kronik CME disertai adanya truma kapsul posterior, steroid

terlihat lebih efektif,dan rencana bertahap dapat dimulai dengan topikal, lalu injeksi

lokal, pemberian dosis tinggi intravitreal untuk kasus yang berat dan sulit teratasi.

Khurana et al (2015) menunjukkan manfaat implan dexametasone pada pasien

diabetes yang menderita PCME setelah operasi katarak.

Cystoid makular edema pada operasi katarak 40


Gambar 10. SD-OCT pada pasien kronik PCME. Retina menebal, lesi kistik
intraretinal, dan cairan subretinal.

Gambar 11. SD OCT pada pasien yang sama setelah 1 bulan injeksi subtenon
triambcinolone. Terjadi perbaikan pada penebalan retina, lesi kistik dan cairan
subretinal. (Yoshihiro et al,2014)

VII.2 NON STEROID ANTI INFALMMATIORY DRUGS (NSAID)

NSAID bekerja dengan menghambat enzim COX. Enzim ini aktif

dalam proses inflamasi, mengkatalisis biosintesis dari eicosanoid dari asam

arakhidonat untuk menghasilkan prostaglandin dan tromboksan (Simon et al,2001).

Prostaglandin dalam mata menyebabkan vasodilatasi dan kerusakan blood-okular

Cystoid makular edema pada operasi katarak 41


barier. Isoform utama COX adalah COX-1 dan COX-2. COX-1 merupakan enzim

konstitutif yang terlibat dalam regulasi proses fisiologis. COX-2 adalah enzim

terinduksi, di ekspresikan dalam respon inflamasi dan berhubungan dengan rasa

sakit atau demam (Kim et al,2010). Perkembangan NSAID selektif COX-2 digunakan

untuk menghilangkan rasa sakit dan inflamasi tanpa efek samping blokade COX-

1. Kelebihan NSAID dari kortikosteroid adalah kontrol tekanan intraokular dan

stabil. Menurunkan risiko infeksi sekunder, dan tambahan efek analgesik (Robert

et al,1995). Namun, biasanya NSAID (kecuali celecoxib dan diklofenak), berbeda

dengan kortikosteroid, tidak menghambat lipoksigenase, dan dengan demikian

tidak mencegah produksi leukotrien. Selain itu, NSAID memiliki efek anti inflamasi

dan anti angiogenenik independen. Dalam menghambat COX. NSAID topikal lebih

baik dalam mengurangii peradangan setelah operasi katarak. Dikatakan bahwa

efek terapeutik yang lebih besar dari NSAID ditambah kortikosteroid karena efek

sinergis dari 2 aobat anti inflamasi (Kim et al,2010).

Penggunaan topikal NSAID yang paling umum adalah diklofenac, ketorolak

tromethamine, bromfenac, flurbiprofen, indomethacin, dan nepafenac (O’Brian et

al,2005). Shelsta and Jampol menyarankan algoritma bertahap uantuk pengobatan

PCME. Mereka merekomendasikan mulai dengan kombinasi awal dari topikal

NSAID (yang lebih murah) dan topikal kortikosteroid, dan kemudian

mempertimbangkan topikal NSAID yang lebih mahal bila tidak ada perbaikan visus

setelah 4-6 minggu.

VII.3 CARBONIC ANHIDRASE INHIBITOR (CAi)

Cystoid makular edema pada operasi katarak 42


Oral karbonat anhidrase inhibitor (acetazolamide) dapat dipertimbangkan

dalam PCME kronik. Karbonic anhidrase inhibitor diperkirakan meningkatkan aksi

pemompaan retinal pigmen epithelium, menurunkan cairan intraretinal. Hasil yang

memuaskan dilaporkan pada kasus seri, tapi penggunaannya mungkin dibatasi

efek samping yang berat. Topikal acetazolamide belum diselidiki pada kasus

PCME (Benitah et al,2010).

VII.4 ANTI-VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF)


Falavarjani et al meneliti penggunaan injeksi intravitreal bevacizumab untuk

mengobati PCME. Mereka tidak menemukan bukti berkualitas untutk

merekomendasikan anti VEGF sebagai pengobatan rutin pada PCME. Namun,

mereka menyimpulkan bahwa injeksi Bevacizumab dapat diberikan pada pasien

yang tidak respon terhadp injeksi intravitreal kortikosteroid. Wu et al(2012)

melaporkan hasil jangka pendek pada struktur anatomi dan fungsi setelah injeksi

intravitreal infliximab pada PCME kronik yang telah diterapi sebelumnya dengan

nepafenac 0,1% topikal, topikal prednisolone asetat 1%, intravitreal triamcinolone

(4mg), dan injeksi intravitreal bevacizumab (1,25mg). Kebanyakan pasien

mengalami perbaikan BCVA (best corrected visual acuity) sebanyak 3 baris

selama follow up 6 bulan

VI.5 VITREKTOMI

Vitreus inkarserata pada luka insisi operasi katarak biasanya berhubungan

dengan peningkatan insiden CME setelah operasi katarak. Pada kondisi khusus

seperti vitreus inkarserata dengan reaksi inflamasi persisten atau CME kronik,

vitrektomi menjadi terapi yang biasanya disertai peningkatan tajam penglihatan.


Cystoid makular edema pada operasi katarak 43
Indikasi dilakukan vitrektomi pada kasus CME adalah untuk menghilangkan

perlekatan (vitreus adhesi) dan mediator inflamasi dan memperbaiki jalur

pengobatan topikal ke polus posterior.(Lobo,2012)

VII.6 REKOMENDASI

Tidak ada rekomendasi yang disetujui oleh FDA (Food and Drug

Administration) mengenai strategi pencegahan PCME setelah operasi katarak,

namun banyaknya penelitian meta analisis dari tahun 1998 menyimpulkan bahwa

terapi dengan NSAID adalah bermanfaat. Peninjauan besar yang diterbitkan pada

tahun 2010 melaporkan temuan yang sama. Para penulis menyimpulkan bahwa

efek dari NSAID pada kasus PCME akut dan kronik masih belum jelas dan masil

perlu penelitian lebih lanjut.

Sebagai kesimpulan dalam terapi PCME, pertama sangat penting evaluasi

pre operatif. Pasien dapat dibagi menjadi normal dan pasien risiko tinggi. Jika

pasien memiliki risiko tinggi, potens untuk perbaikan atau koreksi harus

dipertimbangkan, obat harus diberikan dan skema terapi disesuaikan. Jika pasien

normal, direkomendasikan (profilaksis) dengan pemberian NSAID topikal selama

1 bulan pertama dikombinasikan steroid topikal, menurunkan dosis selama 2

minggu pertama. Jika terdetekasi ada CME, pertama berikan topikal NSAID dan

steroid diberikan kembali untuk 1 bulan, lalu follow up visus dan OCT untuk

mengetahui perbaikan dari CME. Jika tidak terjadi perbaikan, pemberian

acetazolamide (1 bulan atau lebih) atau sebagai alternatif injeksi intravitreal atau

Cystoid makular edema pada operasi katarak 44


periokular triamcinolone. Jika terjadi inkarserata vitreus atau inflamasi persisten,

operasi vitrektomi harus dilakukan (Lobo,2012)

Tabel 3. Kesimpulan terapi dari Pseudofakia cystoid macular edema.(Yokenawa, 2012)

Cystoid makular edema pada operasi katarak 45


BAB VIII
PENUTUP

Pseudofakia cystoid makular edema (PCME) adalah pembengkakan pada

fovea akibat akumulasi cairan yang terjadi setelah beberapa minggu/bulan operasi

katarak. Hal ini menyebabkan penurunan visus setelah operasi katarak.

Prevalensi dari PCME bervariasi dari berbagai penelitian. . Biasanya, PCME self-

limiting, tapi beberapa pasien menjadi kronik, menghasilkan kehilangan

penglihatan secara permanen.

Meskipun Fundus Angiografi (FA)sebagai gold standar dalam

mendiagnosis PCME, namun OCT menjadi pilihan dengan teknik non-invasif,

memiliki kelebihan dalam mengukur ketebalan retina terutama area makula, dan

menjadi parameter yang berkorelasi dengan perbaikan visus dibanding FA.

Pedoman saat ini dalam penatalaksanaan inflamasi setelah operasi katarak

adalah berdasarkan alasan pencegahan inflamasi harus menjadi tujuan utama.

Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang profilaksis PCME dengan

penggunaan topikal NSAID, kortikosteriod, kombinasi topikal NSAID

kortikosteroid, intravitreal kortikosteroid dan anti-VEGF. Namun belum ada yang

menjadi pedoman utama dalam profilaksis dan terapi PCME.

Cystoid makular edema pada operasi katarak 46


DAFTAR PUSTAKA

Almeida DR, Khan Z, Xing L, Bakar SN, Rahim K, Urton T, et al. Prophylactic
nepafenac and ketorolac versus placebo in preventing postoperative
macular edema after uneventful phacoemulsification. J Cataract Refract
Surg. 2012;38(9):1537-43.
Augustin A., Loewenstein A., Kuppermann B.D., General pathophysiology in
coscas. Macular edema dev ophthalmol. Basel: Karger. 2010;47:10-26.
Bellocq D, Korobelnik JF, Burillon C, et al. Effectiveness and safety of
dexamethasone implants for post-surgical macular oedema including
Irvine-Gass syndrome: the EPISODIC study. Br J Ophthalmol. 2015;
99(7):979–983.
Bellocq D, Pierre-Kahn V, Matonti F, et al. Effectiveness and safety of
dexamethasone implants for postsurgical macular oedema including
Irvine-Gass syndrome: the EPISODIC-2 study. Br J Ophthalmol. 2016.
Benhamou N, Massin P, Haouchine B, Audren F, Tadayoni R, Gaudric A.
Intravitreal triamcinolone for refractory pseudophakic macular edema. Am
J Ophthalmol. 2003;135(2):246–249.
Benitah NR, Arroyo JG. Pseudophakic cystoid macular edema. Int Ophthalmol
Clin 2010;50(1):139-153.
Binder S. 2004. The Macula: Diagnosis, Treatment and Future Trends. Austria:
SpringerWienNewyork. p. 1-17
Cantor BL, Rapuano JC,et al. Lens and cataract. Section 11. American Academy
of Ophthalmology. San Fransisco. 2014-2015:182-183.
Cervera, E., Diaz-Llopis, M., Udaondo, P., and Garcia - Delpech, S. Intravitreal
pegaptanib sodium for refractory pseudophakic macular oedema. Eye.
2008; 22:1180–1182.
Chan E, Mahroon O.A.R. & Spalton D.J. Complications of cataract surgery. Clin
Exp Optom. 2010.Vol 93:379-389.
Chaundhary C, Bahadhur H, Gupta N. Study of cystoid macular edema by optical
coherent tomography following uneventful cataract surgery. Int
Ophthalmol 2015;35(5):685-91.
Cheema, R.A., Al-Mubarak, M.M., Amin, Y.M., and Cheema, M.A. Role of
combined cataract surgery and intravitreal bevacizumab injection in
preventing progression of diabetic retinopathy: prospective randomized
study. J. Cataract Refract Surg. 2009; 35:18–25.
Chu JC, Johnston LR, et al. Risk factor and incidence of macular edema after
cataract surgery A database study of 81984 eyes. The American Academy
of Ophthalmology 2016;123:316-323

Cystoid makular edema pada operasi katarak 47


Dellape R, Jr., Fortes AC, Avakian A, Kara Jose N, Santos VH, Carricondo PC.
Prospective Comparison Of Pupil Dilatation For Cataract Surgery Using
Tropicamide Associated To Phenylephrine, Cyclopentolate, Ketorolac
Tromethamine Or Saline Solution. Invest Ophthalmol Vis Sci.
2011;52(6):4709-.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Data Penduduk Sasaran Program Kesehatan
Tahun 2007-2011. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI.
Jakarta
Dick J.S.B., Jampol L.M. dan Haller J.A. 2006. Macular Edema. In: Ryan S.J.,
Editor--in-Chief. Retina. Fourth Edition. St Louis: Mosby. p. 967-983
Donnenfeld ED, Perry HD, Wittpenn JR, Solomon R, Nattis A, Chou T.
Preoperative ketorolac tromethamine 0.4% in phacoemulsification
outcomes: pharmacokinetic-response curve. J Cataract Refract Surg.
2006;32(9):1474–1482.
El-Harazi S.M., Feldman R.M., Control of intraocular inflammation associated
with cataract surgery. Curr Opin Ophthalmol, 2001, Vol 2:4-8.
Ersoy L, Caramoy A, Ristau T, Kirchhof B, Fauser S. Aqueous flare is increased
in patients with clinically significant cystoid macular oedema after cataract
surgery. Br J Ophthalmol. 2013;97(7):862-5.
European Society of Cataract and Refractive Surgeons; Maastricht University
Medical Center. In: ClinicalTrials.gov. Bethesda, MD: National Library of
Medicine (US); 2000. Available from:
https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT01774474. NLM Identifier:
NCT01774474. Accessed October 25, 2015.
Ewe P.Y.S, Oakley L,et al. Cystoid macular edema after femtosecond lase-
assisted versus phacoemulsification cataract surgery. J Cataract refract
surg. 2015;2373-2378
Falavarjani GK, Parvaresh MM, Modarres M, Hashemi M, Samiy N. Intravitreal
bevacizumab for pseudophakic cystoid macular edema; a systematic
review. J Ophthalmic Vis Res. 2012;7(3):235–239.
Feibel RM. Glaucoma as a possible risk factor for the development of
pseudophakic cystoid macular edema. J Cataract Refract Surg.
2008;34(5):717-8; author reply 8.
Ferrari M.T., Cavallo M, Minnino L, Cardascia N., Macular edema induced by
phacoemulcification. Doc Ophthalmol. 1999. Vol 97:325-327.
Framme C. dan Wolf S. 2012. Retinal Complication after Damaging the
Vitreolenticular Barrier. Ophthalmologica, 227: 20-33
Grzybowski A, Sikorski B, Ascaso J.F.,and Huerva V. Pseudophakic cystoid
macular edema:update 2016. Clinical intervention in aging.
2016;11:1221-1229.
Heier JS, Topping TM, Baumann W, Dirks MS, Chern S. Ketorolac versus
prednisolone versus combination therapy in the treatment of acute
pseudophakic cystoid macular edema. Ophthalmology.
2000;107(11):2034-8;discussion
Henderson BA, Kim JY, Ament CS, Ferrufino-Ponce ZK, Grabowska A, Cremers
SL. Clinical pseudophakic cystoid macular edema. Risk factors for

Cystoid makular edema pada operasi katarak 48


development and duration after treatment. J Cataract Refract Surg.
2007;33(9):1550-8.
Ilyas S. 2004. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.
p.205-8
Jung JW, Chung BH, Kim EK, Seo KY, Kim TI. The effects of two non-steroidal
anti-inflammatory drugs, bromfenac 0.1% and ketorolac 0.45%, on
cataract surgery. Yonsei Med J. 2015;56(6):1671–1677.
Kessel L.,Tendal B,et al. Post-cataract prevention of inflammation and macular
edema by steroid and nonsteroid anti-inflammatory eye drops. American
academy of ophthalmology.2014;121:1915-1924.
Kleinmann G., Hoffman P., Schechtman E., Pollack A., Microscoe-induced retinal
phototoxicity in cataract surgery of short duration. Ophthalmology.
2002;109:334-338.
Kim S.J. dan Bressler N.M. 2007. Analysis of macular edema after cataract
surgery in patients with diabetes using optical coherence tomography.
Ophthalmol, 5: 881-889
Khurana RN, Palmer JD, Porco TC, Wieland MR. Dexamethasone intravitreal
implant for pseudophakic cystoid macular edema in patients with diabetes.
Ophthalmic Surg Lasers Imaging Retina. 2015;46(1): 56–61.
Kraff M.C., Sanders D.R., Jampol L.M. and Lieberman H.L., Factors affecting
pseudophakic cystoids macular edema:five randomized trials. J Am
Intraocular Implant Soc, 1985.Vol 11:380—385.
Lally R D, Shah P C. Pseudophakic cystoid macular edema.
https://www.reviewofophthalmology.com/article/pseudophakic-cystoid-
macular-edema. Accessed 12/17/2016
Law K.S, Kim E,et al. Clinical cystoid macular edema after cataract surgery in
glaucoma patient. J Glaucoma. 2009;00;000-000.
Li N, Wang G-Q, Peng X-J, Wang J, Sui Y-L. Effects of bromfenac sodium
eyedrops used in perioperative period on macular fovea thickness after
cataract surgery: a primary study. Int Eye Sci. 2015;15(10):1802–1804.
Lobo C, Pseudophakic cystoid macular edema. Ophthalmologica
2012;227(2):61-67
Lobo C. Pathogenesis of Pseudophakic cystoid macular oedema. European
ophthalmic review. 2012;6(3):178-84.
Mao L.K. & Holland P.M. “Very late onset” cystoid macular edema. Ophthalmic
surg. 1988. Vol.19:633-635.
Manzouri B, Egan A C,Hykin G P. Phototoxic maculopathy following uneventful
cataract surgery in a predisposed patient. Br J
Ophthalmol.2002;86(6):705-706.
Mathys KC, Cohen KL. Impact of nepafenac 0.1% on macular thickness and
postoperative visual acuity after cataract surgery in patients at low risk for
cystoid macular oedema. Eye. 2010;24(1):90-6.
Mentes J., Erakgun T., Afrashi F, Kerci G. Incidence of cystoid macular edema
after uncomplicated phaecoemulsification. Ophthalmologica.
2003;217:408-12.

Cystoid makular edema pada operasi katarak 49


Michels M, Sternberg P. Operating microscope-induced retinal phototoxicity:
pathophysiology, clinical manifestations and prevention. Survey of
ophthalmology. 1990(34):237-252.
Mirachtsis T, Markou K,et al. the incidence of cystoid macular edema in patients
with or without diabetes after uncomplicated phacoemulsification : A four-
yar study. Int Eye Sci. 2016. Vol 16,No.8.
Miyake K, Ibaraki N., Prostaglandins and cystoid macular edema. Surv
Ophthalmol. 2002;47(1):203-18.
Morrow JD, Roberts LJ. Lipid-derived autocoids, In: Hardman JG,Limbird LE eds.
Goodman and Gilman’s the Pharmacologic Basis of therapeutics. 10th edn.
New York: McGraw-Hill. 2010.p.679-80.
O’Brien TP. Emerging guidelines for use of NSAID therapy to optimize cataract
surgery patient care. Curr Med Res Opin. 2005;21(7):1131-7.
Palacio C, Fernández De Ortega L, Bustos FR, Chávez E, Oregon-Miranda AA,
Mercado-Sesma AR. Bromfenac 0.09% bioavailability in aqueous humor,
prophylactic effect on cystoid macular edema, and clinical signs of ocular
inflammation after phacoemulsification in a Mexican population. Clin
Ophthalmol. 2016;10:233–237.
Panteleontidis V, Detorakis ET, et al. Latanoprost-dependent cystoid macular
edema following uncomplicated cataract surgery in pseudoexfoliative eye.
Ophthalmic surg lasers imaging 2010;41:1-5.
Pavilack A.M., Brod D.R. Site of potential operating microscope lightinduced
phototoxicity on the human retina during temporal approach eye surgery.
Ophthalmology. 2001;108:381-385.
Pinazo G.R.,Arevalo F.J.,et al. Prophylaxis of pseudophakic cystoid macular
edema with intraoperative pegaptanib. Journal of ocular pharmacology
and therapeutics. 2012;vol 28(1)
Purba D.M., Hutauruk J.A., Riyanto S.B., Istiantoro D.V. dan Manurung F.M.
2010. A sampai Z Seputar Fakoemulsifikasi. Jakarta: Info JEC. p. 17-51
Quillen D.A & Blodi B.A. Clinical retina. AMA Press.2002. ISBN 1-57947-284-
2.USA.
Ray S, Amico DJ, Pseudophakic cystoid macular edema, Semin Ophthalmol,
2002;17:167–80.
Shelsta HN, Jampol LM. Pharmacologic therapy of pseudophakic cystoid
macular edema: 2010 update. Retina. 2011;31(1):4–12.
Sigler J E. Managing pseudophakic cystoid macular edema.
http://www.retinalphysician.com/issues/2015/nov-dec/managing-
pseudophakic-cystoid-macular-edema. Accessed 12/17/2016
Soekardi I. dan Hutauruk J.A. 2004. Transisi Menuju Fakoemulsifikasi, Langkah
langkah menguasai teknik & menghindari komplikasi. Edisi 1. Jakarta.
Kelompok Yayasan Obor Indonesia. P1-7
Subramanian LM, Devaiah KA, Warren AK. Incidence of postoperative cystoid
macular edema by a single surgeon. Diigital journal of ophthalmology
2009;15:4
Tsilimbaris KM, Tsika CT, et al. Macular edema and Cataract Surgery. University
of Crete Medical School,department of Ophthalmology. Greece: 2013

Cystoid makular edema pada operasi katarak 50


Tzelikis F.P.,Vieira M et al. Comparison of ketorolac 0,4% and nepafenac 0.1%
fot the prevention of cystoid macular oedema after
phacoemulsification:prospective placebo-controlled randomised study. Br
J Ophthalmol. 2015;99:654-658.
Tzelikis PF, Vieira M, Hida WT, et al. Comparison of ketorolac 0.4% and
nepafenac 0.1% for the prevention of cystoid macular oedema after
phacoemulsification: prospective placebo-controlled randomised study.
Br J Ophthalmol. 2015;99(5):654–658.
Vasavada R.A. Impact of different fluidic parameters on development of cystoid
macular edema following phacoemulsification.
http://clinicaltrials.gov/show/NCT01385852. Accessed 1/13/2017
Wang QW, Yao K, Xu W, et al. Bromfenac sodium 0.1%, fluorometholone 0.15
and dexamethasone 0.1% for control of ocular inflammation and
prevention of cystoid macular edema after phacoemulsification.
Ophthalmologica. 2013;229(4):187–194.
Wittpenn JR, Silverstein S, Heier J, Kenyon KR, Hunkeler JD, Earl M, et al. A
randomized, masked comparison of topical ketorolac 0.4% plus steroid vs
steroid alone in low-risk cataract surgery patients. Am J Ophthalmol.
2008;146(4):554-60.
Wu L, Arevalo JF, Hernandez-Bogantes E, Roca JA. Intravitreal infliximab for
refractory pseudophakic cystoid macular edema: results of the Pan-
American Collaborative Retina Study Group. Int Ophthalmol.
2012;32(3):235–243.
Xu H.,Chen M.,Forrester J.V.,and Lois N., Cataract surgery induces retinal
proinflammatory gene expression and protein secretion. Invest ophthalmol
Vis Sci. 2011. Vol.52:249-255.
Yanekawa Y,and Kim KI. Pseudophakic cystoid macular edema. Curr opin
ophthalmol 2012;23:26-32
Yannuzi LA, Landa AU,Tuttz AI. Incidence of aphakic cystoid macular edema with
the use of topical indomethacin. Ophthalmology. 1981;88:447-953.
Yanoff M.Fine B.S., Brucker A.J., and Eagle R.C., Pathology of human cystoid
macular edema. Surv Ophthalmol. 1984. Vol.28:505-511.
Yonekawa Y, Eliott D, Kim I., Pseudophakic cystoid macular edema (Irvine-
GassSyndrome).http://eyewiki.aao.org/Pseudophakic_Cystoid_Macular_
Edema_(Irvine-Gass_Syndrome). Accessed 12/17/2016

Cystoid makular edema pada operasi katarak 51

Anda mungkin juga menyukai