Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS

Oleh:

Wilda Iqrima
112170073

Konsulen :
dr. Defa Rahmatun Nisaa Sp.A M.Kes

SMF ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas referat ini. Bersama ini
saya menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada:

1. Catur Setiya Sulistiyana, dr,,M,Med,Ed selaku Dekan Fakultas Kedokteran


Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon yang telah memberikan saran
prasarana kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini
dengan baik dan lancar.
2. Kepala Rumah Sakit RSUD Waled beserta jajarannya yang telah
memberikan sarana dan prasarana kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini dengan baik dan lancar.
3. dr. Aris Sunaryo Sp.An M.Kes selaku Konsulen yang telah menyediakan
waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dalam penyusunan referat
ini.
4. dr. Hari selaku Pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan
pikiran untuk membimbing kami dalam penyusunan referat ini.
5. Serta pihak lain yang tidak mungkin saya sebutkan satu-persatu atas
bantuan nya secara langsung maupun tidak langsung sehingga proposal ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan
membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga
referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Cirebon, Agustus 2016


Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar .............................................................................................. i
Daftar isi ....................................................................................................... ii
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Respirasi ........................................................................................... 1
Gangguan Airway ........................................................................................ 3
Tanda-tanda objektif sumbatan airway ........................................................ 3
Teknik-teknik mempertahankan airway....................................................... 4
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 13
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Respirasi
1. Anatomi sistem repirasi dibagi menjadi 4 komponen, yaitu1:
a. Saluran nafas sebagai tempat masuknya udara luar ke dalam tubuh
manusia.
b. Alveoli, kantung udara tempat terjadinya pertukaran oksigen dan
karbondioksida di dalam paru-paru.
c. Komponen neuromuskular.
d. Komponen pembuluh darah : arteri, kapiler dan vena.
Sistem pernafasan dibagi menjadi dua, yaitu saluran nafas atas dan
saluran nafas bawah. Saluran nafas atas terdiri dari hidung, mulut, faring
dan laring. Bagian bawah terdiri dari trakea, bronkus, bronkiolus dan
berakhir di alveoli.1

Gambar 1. Anatomi sistem respirasi


Komponen neuromuskular sistem respirasi meliputi pusat saraf diotak,
batang otak serta jaras-jaras saraf menuju otot diafragma, otot interkosta,
serta otot bahu dan leher. Dinding dada (torak) terdiri dari 12 pasang
tulang iga yang melekat di vertebra, 10 pasang tulang iga melekat di
sternum dan 2 pasang tulang iga tidak melekat ke sternum.1
Alveoli yang dilapisi oleh selapis sel tipis dengan pembuluh darah
kapiler di dalamnya adalah kantung udara tempat terjadinya pertukaran
oksigen dan karbondioksida.1
Arteri pulmonalis merupakan pembuluh darah yang keluar dari
ventrikel kanan, berisi darah dengan kandungan oksigen rendah menuju
alveoli paru. Setelah dilakukan pertukaran oksigen dan karbondioksida di
kapiler, darah tersebut mengalir ke atrium kiri melalui vena pulmonalis
dengan kandungan oksigen yang lebih tinggi untuk didistribusikan ke
seluruh tubuh.1
2. Fisiologi sistem respirasi
Sistem respirasi berfungsi membawa oksigen dari udara luar masuk ke
dalam darah dan membuang karbondioksida dari dalam tubuh. Oksigen
diperlukan sebagai bahan bakar pada metabolisme tubuh. Sistem
kardiovaskular mendistribusikan darah baik dari paru ke seluruh tubuh
atau sebaliknya. Jika terjadi penurunan jumlah oksigen yang dibawa
dalam darah atau kemampuan darah mengikat oksigen, maka akan terjadi
kerusakan jaringan karena kekurangan oksigen. Untuk mempertahankan
keseimbangan, tubuh mengubah sistem metabolisme dari anaerob dengan
hasil samping adalah asam laktat. Jika proses tersebut terjadi dalam
jumlah besar akan terjadi asidosis metabolik.1
Sebaliknya jika sistem respirasi mengalami kegagalan, maka
pengeluaran karbondioksida dari dalam tubuh akan mengalami gangguan.
Keadaan tersebut akan mengakibatkan terjadinya penumpukan gas
karbondioksida (hiperkarbi), sehingga darah menjadi asam yang disebut
asidosis respiratorik.1
Dalam keadaan normal, kadar oksigen dan karbondioksida dalam
darah mengalami kesetimbangan yang diatur oleh pusat pernafasan di
otak. Karbondioksida juga berfungsi sebagai stimulus primer pengaturan
kecepatan dan kedalaman pernafasan.1
B. Gangguan Airway
Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-
lahan dan sebagian, dan progresif atau berulang. Penderita dengan penurunan
kesadaran mempunyai risiko terhadap gangguan airway dan seringkali
memerlukan pemasangan airway definitif.2
1. Henti napas dan gangguan sistem respirasi
Konsekuensi gangguan sistem respirasi adalah gangguan distribusi
oksigen adekuat ke seluruh tubuh. Sebagai contoh, bila penderita
mengalami henti nafas, maka diperlukan ventilasi bantuan dengan
tekanan positif dari mulut ke mulut, mulut ke sungkup atau bag mask
ventilation. Ventilasi dengan menggunakan tekanan positif dan suplemen
oksigen untuk membantu supaya asupan oksigen ke tubuh tetap adekuat.1
2. Henti nafas sentral
Pusat pernapasan diotak dipengaruhi oleh aliran darah serta kadar
oksigen dan karbondioksida dalam tubuh. Keadaan tertentu seperti henti
jantung, syok, atau stroke menyebabkan gangguan aliran darah ke otak.
Pernafasan akan berhenti beberapa detik setelah terjadi henti jantung.
Penurunan suplai oksigen serta gangguan pengeluaran oksigen dari tubuh
yang disebabkan oleh sumbatan di jalan napas atau gangguan otot-otot
rangka pernapasan juga menyebabkan henti jantung.1
3. Sumbatan jalan nafas
Sumbatan jalan napas adalah tertutupnya jalan napas. Umumnya
disebabkan oleh benda asing yang meutupi jalan napas atau jatuhnya
lidah dan epiglotis saat penderita tertidur atau tidak sadarkan diri.1
C. Tanda-tanda Objektif Sumbatan Airway
1. Lihat (look)
Lihat penderita mengalami agitasi atau tampak bodoh. Agitasi
memberikan kesan adanya hipoksia dan tampak bodoh memberikan
kesan adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukan hipoksemia yang
disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat
pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat adanya retraksi dan
penggunaan otot-otot nafas tambahan yang apabila ada, merupakan bukti
tambahan adanya gangguan airway.2
2. Dengar (listen)
Dengarkan adanya suara abnormal. Pernafasan yang berbunyi (suara
nafas tambahan) adalah pernafasan yang tersumbat. Suara mendengkur
(snoring), berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor)
berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau laring. Penderita
yang melawan dan berkata-kata kasar (gaduh, gelisah) mengalami
hipoksia dan tidak boleh dianggap karena keracunan atau mabuk.2
3. Raba (feel)
Raba lokasi trakea dan dengan cepat tentukan apakah trakea berada
ditengah.2
D. Teknik-teknik mempertahankan airway
Pada penderita gawat darurat menjaga jalan nafas tetap bebas
merupakan prioritas utama. Kegagalan oksigenasi merupakan pembunuh
tercepat. Kematian dini karena masalah jalan nafas disebabkan :
1. Gagal mengetahui kebutuhan jalan nafas tetap bebas
2. Gagal membuka jalan nafas
3. Kekeliruan memasang alat nafas atau posisi berubah
4. Aspirasi isi lambung
Langkah pertama menguasai jalan nafas adalah membersihkan jalan
nafas. Pembersihan ini dapat secara manual maupun dengan alat suction.
Penderita mengalami penurunan kesadaran, penyebab tersering sumbatan
jalan nafas yang terjadi adalah akibat hilangnya tonus otot-otot
tenggorokan. Lidah jatuh kebelakang dan menyumbat hipofaring.
Sumbatan seperti ini dapat segera diperbaiki dengan cara mengangkat
dagu (chin-lift maneuver) atau mendorong rahang bawah ke arah depan
(jaw-thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan
airway orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal
(nasopharyngeal airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk
membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal,
oleh karena itu selama mengerjakan prosedur-prosedur ini harus dilakukan
immobilisasi segaris (in-line immobilization).2
1. Chin lift
Jari jemari dalah satu tangan diletakan di bawah rahang yang
kemudian secara hati-hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah
depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah
untuk membuka mulut. Ibu jari dapat juga diletakan dibelakang gigi seri
(incisor) bawah dan secara bersamaan, dagu dengan hati-hati diangkat.
Maneuver chin-lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher.
Maneuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan
penderita dengan kemungkinan patah ruas tulang leher atau mengubah
patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera
spinal.2
2. Jaw Thrust
Maneuver mendorong rahang (jaw-thrust) dilakukan dengan cara
memegang sudut rahang bawah (angulus mandibulae) kiri dan kanan, dan
mendorong rahang bawah ke depan. Bila cara ini dilakukan sambil
memegang masker dari alat bag-valve, dapat dicapai kerapatan yang baik
dan ventilasi yang adekuat.2

Gambar 2. Teknik mempertahankan airway

3. Airway Orofaringeal
Airway oral (OPA) disisipkan kedalam mulut dibalik lidah. Teknik
yang dipilih adalah dengan menggunakan spatula lidah untuk menekan
lidah dan menyisipkan airway tersebut kebelakang. Alat ini tidak boleh
mendorong lidah kebelakang yang justru akan mengganggu airway.
Teknik lain adalah dengan menyisipkan airway oral secara terbalik
(upside-down), sehingga bagian yang cekung mengarah ke kranial,
sampai daerah palatum molle. Pada titik ini alat diputar 180 drajat,
bagian cekung mengarah ke kaudal, alat diselipkan ke tempatnya diatas
lidah. Cara ini tidak boleh dilakukan pada anak-anak, karena rotasi alat
ini dapat mencederai mulut dan faring. Alat bantu jalan napas ini hanya
digunakan pada pasien yang tidak sadar bila angkat kepala angkat dagu
tidak berhasil mempertahan jalan nafas ata terbuka. Alat ini tidak boleh
digunakan pada pasien sadar atau setengah sadar karena dapat
menyebabkan batuk dan muntah. Jadi pada pasien yang masih ada
refleks batuk atau muntah tidak diindikasikan untuk pemasangan OPA.3
Hal yang harus diperhatikan ketika menggunakan OPA3:
a. Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat menyumbat laring dan
menyebabkan trauma pada struktur laring.
b. Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukan dengan tepat dapat
menekan dasar lidah dari belakang dan menyumbat jalan nafas.
c. Masukan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya trauma
jaringan lunak pada bibir dan lidah.
4. Airway Nasofaringeal
Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan
dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior. Pada penderita yang
msih memberikan respon airway nasofaringeal lebih disukai dibanding
airway orofaringeal karena lebih bisa diterima dan lebih kecil
kemungkinannya merangsang muntah. Alat tersebut sebaiknya dilumasi
baik-baik, kemudian disisipkan ke lubang hidung yang tampak tidak
tertutup. Bila hambatan dirasakan selama pemasangan airway, hentikan
dan coba melalui lubang hidung satunya. Bila ujung dari pipa nasofaring
bisa tampak di orofaring posterior, alat ini dapat menjadi sarana yang
aman untuk pemasangan pipa nasogastrik pada penderita dengan patah
tulang wajah. Alat bantu jalan nafas nasofaring dapat digunakan pada
pasien yang sadar atau setengah sadar, atau pasien yang masih
mempunyai refleks batuk dan muntah. Alat ini berbentuk pipa dari
plastik yang lembut dan tidak berbalon yang berfungsi sebagai jalan
aliran udara antara lubang hidung dan faring. Indikasi lain pengguanaan
NPA adalah bila ditemui kesulitan pada penggunaan OPA seperti adanya
trauma disekitar mulut atau trismus.2

Gambar 3. Nasofaringeal
5. Multilumen esophageal airway device
Alat ini dipakai oleh paramedik di Rumah Sakit sebagai alternatif
pemasangan airway definitif. Satu cabang akan berhubungan dengan
esofagus, satu cabang lainnya akan berhubungan dengan jalan nafas.
Petugas yang memasang alat ini sudah terlatih untuk menentukan cabang
yang mana yang akan berhubungan dengan trakhea dan mana yang
berhubungan dengan esofagus. Cabang yang berhubungan dengan
esofagus akan ditutup dan cabang yang berhubungan trakea akan
dilakukan ventilasi. Pemakaian detektor CO2 akan meningkatkan akurasi
pemasangan alat ini. Bila penderita terpasang alat ini, maka setelah
penilaian penderita, alat ini harus dibuka dan diganti dengan airway
definitif.

6. Laryngeal mask airway (LMA)


LMA merupakan pipa yang ujungnya berbentuk sungkup dengan
balon yang bisa dikembangkan. LMA dimasukkan ke dalam farings
tanpa laringoskopi sampai terasa ada tahanan. Adanya tahanan ini
menunjukan ujung distal pipa sampai pada hipofaring dan balon segera
dikembangkan sehingga mendorong sungkup menutupi pembukaan
trakea, dan menjadikan tidak ada kebocoran. Pemberian ventilasi terjadi
lewat lubang yang ada pada bagian tengah sungkup LMA.2
Tabel 1. Ukuran LMA dan peruntukannya
Ukuran Usia Berat (Kg)
1.0 Neonatus <3
1.3 Bayi 3-10
2.0 Anak kecil 10-20
2.3 Anak 20-30
3.0 Dewasa kecil 30-40
4.0 Dewasa normal 40-60
5.0 Dewasa besar >60

Indikasi pemasangan LMA3 :


a. Ketidakmampuan penolong memberikan ventilasi dengan alat
kantong nafas sungkup muka.
b. Henti nafas dan henti jantung.

Gambar 4. Cara pemasangan LMA


Cara pemasangan LMA :
Masukan LMA ke dalam mulut sampai terasa ada tahan. Adanya
tahanan menunjukan ujung distal pipa LMA sampai di hipofarings.
Kembangkan balonnya. Pengembangan balon akan mendorong sungkup
menutupi lubang trakhea dan menyebabkan udara mengalir lewat pipa
masuk kedalam trakhea. Pemberian ventilasi dengan pipa LMA akan
mengalirkan udara lewat lubang ditengah sungup dan masuk ke dalam
trakhea.3
7. Sungkup muka sederhana
Sungkup muka sederhana atau dikenal dengan sungkup muka
Hudson. Sungkup muka ini mempunyai lubang tempat pipa saluran
masuk O2 di dasarnya dan lubang-lubang kecil disekeliling sungkup
muka. Oksigen dapat dialirkan dengan kecepatan 6-10 liter per menit
dengan FiO2 yang dicapai sekitar 0,35-0,6. Bila kecepatan aliran oksigen
kurang dari 6 liter per menit akan terjadi penumpukan CO2 akibat terjadi
dead space mekanik. Alat ini termasuk sistem oksigen-sedang, aliran-
tinggi.3
8. Sungkup muka non-rebreathing
Sungkup muka ini terdiri atas sungkup muka sederhana yang
dilengkapi dengan kantong reservoir oksigen pada dasar sungkup muka
dan satu katup satu arah yang terletak pada lubang disamping sungkup
dan satu lagi katup satu arah terletak diantara kantong reservoir dan
sungkup muka.3
9. Sungkup muka partial rebreathing
Sungkup muka ini terdiri dari sungkup muka sederhana dengan
kantong reservoir pada dasar sungkup. Oksigen mengalir ke kantong
reservoir terus menerus. Ketika ekspirasi, sepertiga awal gas ekspirasi
masuk kekantong reservoir bercampur oksigen yang ada. Jadi saat
inspirasi pasien menghisap kembali sepertiga gas ekspirasinya.3
10. Pipa Trakea
Pipa trakea (endothracheal tube) mengantar gas anastetik langsung
ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida.
Ukuran diameter lubang pipa trakea dalam milimeter. Karena penampang
trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda, penampang melintang trakea
bayi dan anak kecil dibawah usia 5 tahun hampir bulat, sedangkan
dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi anak digunakan tanpa kaf (cuff)
dan untuk anak sampai dewasa dengan kaf, supaya tidak bocor.4
Pipa trakea dapat dimasukan melului mulut (orotracheal tube) atau
melalui hidung (nasotracheal tube). Ada beberapa ukuran dan perkiraan
ukuran.4
Tabel 3. Pipa Trakea dan Peruntukannya
Usia Diameter Skala French Jarak sampai bibir
Prematur 2.0-2.5 10 10 cm
Neonatus 2.5-3.5 12 11 cm
1-6 bulan 3.0-4.0 14 11 cm
6-12 bulan 3.5-4.5 16 12 cm
1-4 tahun 4.0-5.0 18 13 cm
4-6 tahun 4.5-5.5 20 14 cm
6-8 tahun 5.0-5.5 22 15-16 cm
8-10 tahun 5.5-6.0 24 16-17 cm
10-12 tahun 6.0-6.5 26 17-18 cm
12-14 tahun 6.5-7.0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6.5-8.5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7.5-10.0 32-34 20-24 cm

Cara pemilihan pipa trakea untuk bayi dan anak kecil4 :


Diameter pipa dalam trakea (mm) = 4.0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
11. Laringoskopi dan intubasi endotrakea
Fungsi laring adalah mencegah benda asing masuk paru.
Laringoskop adalah alat yang digunakan untuk melihat laring secara
langsung supaya kita dapat memasukan pipa trakea dengan baik dan
benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop 4:
a. Bilah, daunn (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
b. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Gambar 5. Gradasi Mallapati
Kesulitan memasukan pipa trakea berhubungan dengan variasi
anatomi yang dijumpai. Klasifikasi tampak faring pada saat mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi
menjadi 4 gradasi4 :
Tabel 2. Gradasi Mallapati
Gr Pi U Pal
adasi lar vula atum
Faring Mole
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

Intubasi trakea adalah tindakan memasukan pipa trakea ke dalam


trakea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
pertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat
bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut4 :
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan napas dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif fan oksigenasi.
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisiensi, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap regurgitasi.
Krikotiroidotomi dipertimbangkan apabila intubasi gagal padahal
jalan nafas masih tersumbat dan pada pasien yang tidak dapat diberikan
nafas buatan dari atas (mulut/hidu ng). Krikotiroidotomi merupakan jalur
darurat untuk oksigenasi. Tindakan ini hanya dapat dipertahankan dalam
10 menit karena tidak dapat membuang CO2.4
DAFTAR PUSTAKA

1. Subagjo A, Dkk. Kursus Bantuan Hidup Jantung Dasar. Jakarta: PP


PERKI; 2013.

2. Advanced Trauma Life Supports for Doctor. Ikatan Ahli Bedah Indonesia;
2004.

3. Karo S, Dkk. Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut. Jakarta: PERKI;


2013.

4. Latif SA. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi


dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

Anda mungkin juga menyukai