Anda di halaman 1dari 15

Kesimpukan-kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun

1975 di atas telah dijelaskan secara rinci dimanakah sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata
hukum nasional di Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan mengenai pengertian hukum adat,
kedudukan dan peran hukum adat dalam sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam
perundang-undangan, hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian
hukum adat di Indonesia. Hasil seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan
hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia
sangat penting dan mempunyai peranan baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam
perundang-undangan, maupun dalam putusan hakim.

Dalam berbagai rumusan peraturan Orde Baru kita dapat membaca bahwa negara sangat besar
kekuasaannya, pandangan seperti mlsalnya ketentuan UUPA:

hak atas tanah berdasarkan hukum adat diakui, sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan
pembangunan. Disini kita melihat kekuasaan yang mutlak dart

negara, karena berdasarkan interpretasinya hak ulayat yang telah lama dimiliki oleh masyarakat adat,
dapat dihapuskannya.

Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat suatu daerah dan akan
tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum adat yang telah diwariskan kepada mereka
dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh karena itu, keberadaan hukum adat dan kedudukannya
dalam tata hukum nasional tidak dapat dipungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan
asas legalitas adalah hukum yang tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat

Hukum Adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati

nurani warga masyarakat yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai

dengan adat-istiadatnya dan pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional. Era sekarang memang dapat disebut sebagai era kebangkitan masyarakat adat
yang ditandai dengan lahirnya berbagai kebijaksanaan maupun keputusan

Pengadilan. Namun yang tak kalah penting adalah perlu pengkajian dan

pengembangan lebih jauh dengan implikasinya dalam penyusunan hukum nasional

dan upaya penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.


Peranan Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional

Untuk mengetahui peranan hukum adat dalam pembentukan / pembangunan hukum nasional, maka
harus diketahui nilai-nilai sosial dan budaya yang menjadi latar belakang hukum adat tersebut, serta
perannya masing masing yaitu: (Soerjono Soekanto,1976,h.200).

Nilai - nilai yang menunjang pembangunan (hukum), nilai – nilai mana harus dipelihara dan diperkuat .

Nilai - nilai yang menunjang pembangunan (hukum ), apabila nilai-nilai tadi disesuaikan atau
diharmonisir dengan proses pembangunan.

Nilai - nilai yang menghambat pembangunan(hukum), akan tetapi secara berangsur –angsur akan
berubah karena faktor – faktor lain dalam pembangunan .

Nilai-nilai yang secara definitif menghambat pembangunan (hukum) oleh karena itu harus dihapuskan
dengan sengaja.

Dengan demikian berfungsinya Hukum Adat dalam proses pembangunan / pembentukan hukum
nasional adalah sangat tergantung pada tafsiran terhadap nilai-nilai yang menjadi latar belakang hukum
adat itu sendiri . Dengan cara ini dapat dihindari akibat negatif , yang mengatakan bahwa hukum adat
mempunyai peranan terpenting atau karena sifatnya yang tradisional,maka Hukum Adat harus
ditinggalkan .

Dalam kepustakaan memang dikemukakan adanya tiga golongan pendapat yang menyoroti kedudukan
hukum adat pada masa sekarang, yaitu:

Golongan yang menentang Hukum Adat, yang memandang Hukum Adat , sebagai hukum yang sudah
ketinggalan jaman yang harus segera ditinggalkan dan diganti dengan peraturan – peraturan hukum
yang lebih modern. Aliran ini berpendapat bahwa hukum adat tak dapat memenuhi kebutuhan hukum
di masa kini, lebih – lebih untuk masa mendatang sesuai dengan perkembangan modern .

Golongan yang mendukung sepenuhnya terhadap hukum adat. Golongan ini mengemukakan pendapat
yang sangat mengagung-agungkan Hukum Adat , karena hukum adat yang paling cocok dengan
kehidupan bangsa Indonesia sehingga oleh karenanya harus tetap dipertahankan terus sebagai dasar
bagi pembentukan Hukum Nasional.

Golongan Moderat yang mengambil jalan tengah kedua pendapat golongan diatas. Golongan ini
mengatakan bahwa hanya sebagian saja dari pada hukum adat yang dapat dipergunakan dalam
lingkungan Tata Hukum Nasional, sedangkan untuk selebihnya akan diambil dari unsur - unsur hukum
lainnya. Unsur-unsur hukum adat yang masih mungkin dipertahankan terus adalah berkenaan dengan
masalah hukum kekeluargaan dan hukum warisan, sedangkan untuk lapangan hukum lainnya dapat
diambil dari unsur-unsur bahan – bahan hukum yang berasal dari luar, misal hukum barat.
Dari pendapat ketiga golongan tersebut , kami menyetujui pendapat golongan yang ketiga (golongan
moderat), sebab memang dalam kenyataannya banyak ketentuan hukum adat yang tidak sesuai dengan
tuntutan jaman modern., akan tetapi yang perlu diperhatikan disini ialah bahwa asas- asas Hukum Adat
bersifat universal harus tetap mendasari Pembinaan Hukum Nasional dalam rangka menuju kepada tata
hukum nasional yang baru, walaupun asaa-asas dan kaidah-kaidah baru akan lebih mendominasi hukum
nasional, seperti apa yang dikatakan oleh Soetandjo Wignjosoebroto : “Hukum Nasional tak hanya
hendak merefleksi pilihan atas kaidah- kaidah hukum suku / lokal atau hukum tradisional untuk
menegakkan tertib sosial masa kini, akan tetapi juga hendak mengembangkan kaidah-kaidah baru yang
dipandang fungsional untuk mengubah dan membangun masyarakat baru guna kepentingan masa
depan. Maka kalau demikian halnya, asas – asas dan kaidah-kaidah hukum baru akan banyak
mendominasi hukum nasional”.

Kemudian dalam meninjau sumbangan Hukum Adat dalam pembentukan hukum nasional, perlu disimak
pula pandangan Paul Bohannan , yang menyatakan bahwa hukum itu timbul dari pelembagaan ganda ,
yaitu diberikannya suatu kekuatan khusus , sebuah senjata bagi berfungsinya pranata-pranata “adat
istiadat “: perkawinan , keluarga, agama. Namun ,ia juga mengatakan bahwa hukum itu tumbuh
sedemikian rupa dengan ciri dan dinamikanya sendiri. Hukum membentuk masyarakat yang memiliki
struktur dan dimensi hukum: hukum tidak menjadi sekedar pencerminan, tetapi berinteraksi dengan
pranata-pranata tertentu. Selanjutnya ia berpendapat bahwa hukum secara istimewa berada diluar fase
masyarakat , dan proses inilah yang sekaligus merupakan gejala sebab dari perubahan sosial (Lihat.
Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut, 1988,h.198). Pandangan Bohannan tersebut berguna untuk
menyangkal keunggulan peraturan hukum, untuk memahami sifat umum dari masyarakat-masyarakat
yang tidak stabil atau mengalami kemajuan. Disamping itu juga merupakan abstraksi untuk merumuskan
hakekat abadi hukum itu dengan pengandaian kebenaran yang belum pasti . Hukum tidak memiliki
hakekat seperti itu tetapi mempunyai sifat historis yang dapat dirumuskan .

Manfaat dari mempelajari hukum Adat dapat dilihat dari sisi teoritis dan dari sisi Praktis. Manfaat dari
sisi teoritis ialah ketika hukum Adat dilihat sebagai ilmu pengetahuan. Manfaat hukum Adat sebagai
ilmu adalah berkaitan dengan pendidikan dan penelitian. Manfaat hukum Adat sebagai ilmu
pengetahuan, untuk memuaskan keingintahuan mengenai hukum Adat itu apa, bagaimana
terbentuknya, untuk siapa hukum Adat itu, dan bagaimana perkembangannya. Hukum Adat mengenai
manfaatnya dari sisi teoritis yaitu hanyalah sebagai ilmu yang dapat dipelajari saja, dan belum ada
aplikasinya kepada masyarakat. Kemudian, dari sisi praktiknya, kemanfaatan dari mempelajari hukum
Adat yaitu ketika hukum Adat itu di menyelesaikan dan menjelaskan masalah – masalah yang terjadi
dalam masyarakat, sehingga tujuan dari ilmu untuk masyarakt dapat tercapai.

Manfaat hukum Adat dari sisi praktis ketika ditinjau dari praktek kehidupan berbangsa dan bernegara,
maka hukum Adat dapat memupuk cirri khas, atau keperibadian bangsa yang memberikan identitas
yang berbeda dengan bangsa atau Negara lainnya, karena hukum Adat adalam penserminan dari
keperibadian bangsa.

Hukum Adat kemudian apabila dikaitkan dengan penyelengaraan Negara, maka hukum Adat dapat
menjadi sumber bahan hukum nasional dan sumber hukum bagi hakim ketika hakim mengambil
keputusan dalam peradilan ( UU No. 4 tahun 2004, ps. 16 ayat 1 dan ayat 28). Hal itu disebabkan suatu
keputusan, atau kaedah hukum positif yang berlaku di suatu Negara, khusunya Indonesia, haruslah
bersumber dan mencerminkan jiwa, semangat dan kehendak dari masyarakat Indonesia, agar setiap
keputusan atau hukum yang dibuat, dapat diterima dan diterapkan dalam masyarakat Indonesia. Untuk
itulah, perlunya mempelajari hukum Adat.
C. Gunanya Mempelajari Hukum Adat

Ilmu hukum adat mencari dan mengumpulkan bahan-bahan hukum adat, menganalisa bahan-bahan
hukum adat tersebut – dan menilainya.

Dalam menilainya ini tersusunlah pandangan-pandangan teoritis tentang hukum adat

Apa kegunaannya ilmu hukum adat itu dalam kehidupan sehari-¬hari, dalam kehidupan bangsa?

Pandangan teoritis

Gunanya mempelajari

ilmu hukum adat

Pandangan praktis nasional

Menurut pandangan teoritis I1mu untuk ilmu

Pengetahuan tentang hukum adat diperoleh Untuk menjamin

langsung

– Penyelidikan ilmu hukum adat

– Memajukan secara terus menerus pengajaran hukum adat

penyelidikan

Hukum adat dipelajari

Untuk memenuhi tugas

pengajaran

Hertz : “Nationality in History and Politics”

Persatuan bangsa

Nasionalisme Kemerdekaan

mengandung

Keaslian

Harga Diri
Ilmu untuk masyarakat yang utama

Praktis dan nasional

Ilmu untuk ilmu di nomor 2 kan

Sifat Praktis

Nasional Dapat ditinjau dari 3 sudut:

1. Pembinaan hukum nasional

2. Mengembalikan dan memupuk kepribadian bangsa Indonesia

3. Praktek peradilan

Ad 1. Positif dapat diikutsertakan

– Gotong royong

– Dalam bidang agraria dan hukum tanah yang baru

Negatif dikesampingkan

– Tunang paksa

– Pesta penguburan secara besar-besaran

(penghormatan pada arwah yang telah pulang ke alam baka)

Ad.2 : pelajaran hukum adat itu dapat mempertebal rasa harga diri, rasa kebangsaan dan rasa
kebangsaan pada tiap-tiap orang Indonesia.

Keinsyafan akan kepribadian bangsa pada seorang dapat tumbuh dan menjadi tebal — jika orang
tersebut dengan kesadaran penuh mengetahui kebudayaan bangsa sendiri: yaitu mengetahui dan
menggunakan dalam amal sehari-hari segala kemampuan material dari alam Indonesia, segala daya
kerohanian dan sistem kepercayaan yang terkandung dalam kebudayaan Indonesia.

Ad. 3 Praktek Peradilan

Hakim dalam memutuskan perkara dalam hukum adat, harus memahami tentang hukum adat (ingat
pasal 27 ayat 1,UU No.14 1970-UU No.35 Tahun 1999)
Kedudukan Hukum Adat dalam Perpektif UUD 1945

Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan
pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya
rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan
UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang
hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas
kekeluargaan.

Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang disebut Hak
Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara tradisional
diakui dalam hukum adat.

Ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia,
hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah
negara hendak mewujudkan keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. karena azas-azas
fungsi sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting dan disesusaikan dengan
tuntutan dan perkembangan masyarakat, dengan tetap bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran
ketiga adalah : negara mewujudukan kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fondamental dan penting, adanya persatuan
perasaan antara rakyat dan pemimpinnya, artinya pemimpin harus senantiasa memahami nilai-nilai dan
perasahaan hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan
kepentingan umum melalui pengambilan kebijakan publik. Dalam hubungan itu maka ini mutlak
diperlukan karakter manusia pemimpin publik yang memiliki watak berani, bijaksana, adil, menjunjung
kebenaran, berperasaan halus dan berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan harus
senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara hanya semata-mata
sebagai sarana membawa manusia dan masyarakatnya sebagai fungsinya harus senantiasa dengan visi
dan niat memperoleh ridho Tuhan yang maha Esa.

Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-
undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.

Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie menyatakan perlu
diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara :

1). Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimilikinya;

2). Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya
pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya masyarakat
hukum adat itu haruslah bersifat tertentu;

3). Masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);

4). Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula;

5). Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi
kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa. Misalnya tradisi-tradisi tertentu
yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan
peradaban hanya karena alasan sentimentil;

6). Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai suatu negara
yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ashiddiqie, 2003 : 32-33)

Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka:

1. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya ;

2. Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;


3. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan

4. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5. Diatur dalam undang-undang

Dengan demikian konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila
memenuhi syarat:

1. Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat;

2. Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuan
diatur dalam undang-undang;

Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya mengandung perbedaan dimana Pasal
18 B ayat (2) termasuk dalam Bab VI tentang Pemerintahan Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada
Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Lebih jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan penghormatan
terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (indigeneous people). Dikuatkan dalam
ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 yang
berbunyi :

(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum
dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman.

Sebagaimana Penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa
hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum
adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia
dalam masyarakat bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya penjelasan Pasal 6 ayat (2) menyatakan dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia,
identitas budaya nasional masyarakat hukum adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh
masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan
asas-asas Negara Hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam ketentuan
tersebut, bahwa hak adat termasuk hak atas tanah adat dalam artian harus dihormati dan dilindungi
sesuai dengan perkembangan zaman, dan ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak adat
yang secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat.

3. Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan

Perundang-undangan sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004, maka tata urutan peraturan perundang-
undangan sebagai berikut :

1. Undang-undang Dasar 1945;

2. Undang-undang/ Perpu

3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden

5. Peraturan Daerah;
Hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai sumber hukum perundang-
undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam
perundang-undangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana.

Dalam kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun 1975
telah dijelaskan secara rinci dimana sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di
Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan mengenai pengertian hukum adat, kedudukan dan peran
hukum adat dalam sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan, hukum
adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian hukum adat di Indonesia. Hasil
seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan hukum adat selanjutnya
mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan
mempunyai peranan baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan,
maupun dalam putusan hakim

4. Kelembagaan Adat Di Kabupaten Gumas dalam kaitan dengan fungsi Pemerintahan

Peraturan Daerah Kabupaten Gunung Mas Nomor 33 Tahun 2011 Tentang Kelembagaan Adat Dayak Di
Kabupaten Gunung Mas pada Pasal 7 dan Pasal 8 mengatur mengenai Kedudukan, Tugas Dan Fungsi
Damang Kepala Adat

Pasal 7

(1) Damang Kepala Adat berkedudukan di ibu kota kecamatan sebagai mitra Camat dan mitra Dewan
Adat Dayak kecamatan, bertugas dalam bidang pelestarian,

(2) pengembangan dan pemberdayaan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan berfungsi sebagai
penegak hukum adat Dayak dalam wilayah Kedamangan bersangkutan.

(3) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, Damang kepala Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dibantu oleh Kerapatan Mantir Perdamaian Adat atau Let Adat tingkat
kecamatan dan tingkat desa/kelurahan.
(4) Kerapatan Mantir Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan atau sebagai peradilan adat
tingkat terakhir.

(5) Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan ditetapkan dan dikukuhkan oleh Dewan Adat
Dayak kabupaten, sedangkan Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat desa/kelurahan ditetapkan dan
dikukuhkan oleh Dewan Adat Dayak kecamatan.

(6) Untuk mendukung kelancaran dan ketertiban administrasi, Damang Kepala Adat dibantu oleh
seorang sekretaris.

Pasal 8

Damang Kepala Adat bertugas :

a. menegakkan hukum adat dan menjaga wibawa lembaga adat Kedamangan ;

b. membantu kelancaran pelaksanaan eksekusi dalam perkara perdata yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, apabila diminta oleh pejabat yang berwenang;

c. menyelesaikan perselisihan dan atau pelanggaran adat, dimungkinkan juga masalah-masalah yang
termasuk dalam perkara pidana, baik dalam pemeriksaan pertama maupun dalam sidang penyelesaian
terakhir sebagaimana lazimnya menurut adat yang berlaku ;

d. berusaha untuk menyelesaikan dengan cara damai jika terdapat perselisihan intern suku dan antara
satu suku dengan suku lain yang berada di wilayahnya ;

e. memberikan pertimbangan baik diminta maupun tidak diminta kepada pemerintah daerah tentang
masalah yang berhubungan dengan tugasnya ;
f. memelihara, mengembangkan dan menggali kesenian dan kebudayaan asli daerah serta memelihara
benda-benda dan tempat-tempat bersejarah warisan nenek moyang ;

g. membantu pemerintah daerah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan pembangunan di segala


bidang, terutama bidang adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat;

h. mengukuhkan secara adat apabila diminta oleh masyarakat adat setempat para pejabat publik dan
pejabat lainnya yang telah dilantik sebagai penghormatan adat;

i. dapat memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut
adanya persengketaan atau perkara perdata adat jika diminta oleh pihak yang berkepentingan;

j. menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat Dayak, dalam rangka memperkaya,
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Dayak pada
khususnya ;

5. Hukum Adat sebagai pelestarian nilai-nilai adat istiadat.

Kesimpukan-kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun
1975 di atas telah dijelaskan secara rinci dimanakah sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata
hukum nasional di Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan mengenai pengertian hukum adat,
kedudukan dan peran hukum adat dalam sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam
perundang-undangan, hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian
hukum adat di Indonesia. Hasil seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan
hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia
sangat penting dan mempunyai peranan baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam
perundang-undangan, maupun dalam putusan hakim.

Dalam berbagai rumusan peraturan Orde Baru kita dapat membaca bahwa negara sangat besar
kekuasaannya, pandangan seperti mlsalnya ketentuan UUPA:
hak atas tanah berdasarkan hukum adat diakui, sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan
pembangunan. Disini kita melihat kekuasaan yang mutlak dart

negara, karena berdasarkan interpretasinya hak ulayat yang telah lama dimiliki oleh

masyarakat adat, dapat dihapuskannya.

Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat suatu daerah dan akan
tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum adat yang telah diwariskan kepada mereka
dari para nenek moyang sebelum mereka. Oleh karena itu, keberadaan hukum adat dan kedudukannya
dalam tata hukum nasional tidak dapat dipungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan
asas legalitas adalah hukum yang tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat

Hukum Adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati

nurani warga masyarakat yang tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai

dengan adat-istiadatnya dan pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional. Era sekarang memang dapat disebut sebagai era kebangkitan masyarakat adat
yang ditandai dengan lahirnya berbagai kebijaksanaan maupun keputusan

Pengadilan. Namun yang tak kalah penting adalah perlu pengkajian dan

pengembangan lebih jauh dengan implikasinya dalam penyusunan hukum nasional

dan upaya penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.

Pengakuan Adat oleh Hukum Formal

Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat
merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap
daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian
adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana
proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu
tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku
Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman
Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat
setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.

Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka
pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat.

Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan
kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang
menyangkut tanah ulayat.

Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA.
Kebijaksanaan tersebut meliputi :

Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)

Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat
(Pasal 2 dan 5).

Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)

Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan
hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih
menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.

Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau
peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya.
Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum
adat dalam kepemilikan tanah

Anda mungkin juga menyukai