Anda di halaman 1dari 1

Bolehkah Perempuan Menjadi Hakim?

Jumhur ulama dari mazhab Syafi'i, Hanbali dan Maliki tidak membolehkan. Imam Abu Hanifah
membolehkan dalam kasus di luar hudud dan qisas. Ibn Jarir al-Thabari membolehkan secara mutlak.
Pendapat mana yang mau dipilih?
Maka terjadilah Bahtsul Masail para ulama top di lingkungan Nahdlatul Ulama. Pandangan para ulama
NU mengerucut pada dua blok besar: mereka yang mengikuti pandangan KH Marus Ali dari Pesantren
Lirboyo, dan mereka yang mengikuti pandangan Prof KH Ibrahim Hosen (Ketua Komisi Fatwa MUI
Pusat dan Rektor Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta). Kiai Mahrus tidak membolehkan dengan mengikuti
jumhur sedangkan Abahku membolehkan dengan mengikuti pendapat Hanafi dan Thabari. Sebagai
catatan, pendapat Hanafi dan Thabari bisa digabungkan karena yurisdiksi Peradilan Agama di Indonesia
terbatas pada masalah akhwalus syakhsiyah dan tidak masuk wilayah jinayah.

Baca Juga :
Basalamah Ditolak Lagi di Surabaya
Perdebatan kedua kubu sangat panas dengan masing-masing mengeluarkan argumentasi dan
rujukannya. Akhirnya diskusi diskors untuk makan siang dan shalat zuhur. Di saat itulah Abah
mendekati Kiai Mahrus Ali dan melancarkan jurus diplomasinya. Abah berkata: "Pak Kiai, sebelum
saya berangkat sekolah ke al-Azhar Cairo, saya belajar khusus kepada Kiai Abbas di Buntet". Kiai
Mahrus langsung bangun dari kursinya dan memeluk Abah, "Kiai Abbas itu Waliyullah, beliau paman
saya!"
Setelah dialog tersebut sesi diskusi segera dibuka kembali. Kiai Mahrus mengangkat tangannya:
"Diskusi tidak perlu dilanjutkan, sudah selesai, saya setuju perempuan boleh menjadi hakim", maka
terdengarlah surat al-Fatihah dibacakan bersama. Para Kiai yang lain keheranan apa yang terjadi
mengapa perdebatan panas sebelumnya langsung hilang?
Abah saya belakangan menjelaskan kepada saya saat mengenang Kiai Mahrus Ali. Sambil berkaca-
kaca Abah berkata: "Kiai Mahrus Ali itu ulama besar. Beliau paham perbedaan mazhab. Beliau hanya
ingin diyakinkan bahwa Abah sudah menghitung dampak dari memilih mazhab Hanafi dan Thabari
untuk masalah ini. Ketika disampaikan bahwa Abah santri kesayangan dari Kiai Abbas Buntet, Kiai
Mahrus Ali seketika menjadi yakin bahwa seorang santri Buntet dibawah bimbingan langsung Kiai
Abbas akan tahu bahwa fatwa itu tidak boleh sembarangan dikeluarkan. Kiai Abbas memang
waliyullah."
Abah kemudian bercerita hubungan eratnya dengan Kiai Mahrus. Kiai Mahrus menanyakan
perkembangan Institut Ilmu al-Qur'an (IIQ) bahkan meng-ijazahi shalawat untuk kelangsungannya.
Belakangan saat Muktamar NU di Pesantren Lirboyo 1999 saya sowan ke rumah Kiai Kafabihi Mahrus,
putra Kiai Mahrus. Beliau memeluk saya dan berkata, "Abah saya (Kiai Mahrus) pesan: Kiai yang alim
soal ushul al-fiqh itu Prof KH Ibrahim Hosen".
Begitulah para Kiai NU. Mereka tahu argumen masing-masing. Mereka saling mencintai dan
memghormati. Tinggal kita saja generasi berikutnya yang harus melanjutkan nilai-nilai yang para
masyayikh sudah ajarkan kepada kita. Kalau sekarang anda melihat banyak perempuan yang menjadi
hakim di Pengadilan Agama, ingatlah dengan kisah ini: semuanya dimulai dari diskusi para ulama kami.
Lahumul fatihah ....

Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Anda mungkin juga menyukai