TINJAUAN PUSTAKA
5
c. Baja paduan
Baja paduan rendah (low alloy) dapat ditempa dan dipanaskan untuk
memperoleh tegangan leleh antara 550-760 Mpa. Titik peralihan leleh tidak
tampak dengan jelas, terlihat pada Gambar 2.1 kurva c. Tegangan leleh dari
baja paduan biasanya ditentukan sebagai tegangan yang terjadi saat timbul
regangan permanen sebesar 0,2%, atau dapat ditentukan pula sebagai tegangan
pada saat regangan mencapai 0,5%.
6
2.1.1. Sifat Bahan Baja
1. Kekuatan
Baja mempunyai daya tarik, lengkung, dan tekan yang sangat besar. Pada
setiap partai baja, pabrikan baja menandai beberapa besar daya kekuatan
baja itu. Pabrikan baja misalnya, memasukan satu partai baja batangan dan
mencantumkan pada baja itu Fe 360, disini Fe menunjukan bahwa partai itu
menunjukan daya kekuatan (minimum) tarikan atau daya tarik baja itu.
Yang dimaksud dari istilah tersebut adalah gaya tarik N yang dapat
dilakukan baja bergari tengah 1 mm2 sebelum baja itu menjadi patah. Dalam
hal ini daya tarik itu adalah 360 N/mm2. Dahulu kita mencantumkan daya
tarik baja itu Fe 37, karena daya tariknya adalah 37 kgf/mm2. Karena
mengandung sedikit kadar karbon, maka semua jenis baja mempunyai daya
tarik yang kuat. Oleh kare daya tarik baja yang kuat maka baja dapat
menahan berbagai tegangan, seperti tegangan lentur.
2. Kelenturan
Baja bukan saja kuat tetapi juga mempunyai sifat lentu.
3. Kealotan
Pada umumnya baja bersifat alot sehingga tidak cepat patah.
4. Kekerasan
Baja itu sangat keras sekali sehingga sebagai bahan konstruksi baja
mungkin saja untuk digunakan sebagai tujuan. Apabila untuk produk-
produk baja tertentu ada suatu keharusan, maka bisa saja baja itu dengan
cara dipanaskan dibuat luar biasa kerasnya.
5. Ketahanan terhadap korosi
Tanpa perlindungan baja sangat cepat berkarat. Oleh karena itu, baja harus
diberi perlindungan dengan berbagai cara.
7
2.1.2. Sifat Mekanik Baja
Agar dapat memahami perilaku suatu struktur baja, maka seorang ahli
struktur harus memahami pula sifat-sifat mekanik dari material baja. Model
pengujian yang paling tepat untuk mendapatkan sifat-sifat mekanik dari material
baja adalah dengan melakukan uji tarik terhadap suatu benda uji baja. Uji tekan
tidak dapat memberikan data yang akurat terhadap sifat-sifat mekanik material baja,
karena disebabkan beberapa hal antara lain adanya potensi tekuk pada benda uji
yang mengakibatkan ketidakstabilan dari benda uji tersebut, selain itu perhitungan
tegangan yang terjadi didalam benda uji lebih mudah dilakukan untuk uji tarik
daripada uji tekan. Gambar 2.2 dan Gambar 2.3 menunjukan suatu hasil uji tarik
material baja yang dilakukan pada suhu kamar serta dengan memberikan laju
regangan yang normal. Tegangan nominal (f) yang terjadi dalam benda uji diplot
pada sumbu vertikal, sedangkan regangan (ɛ) yang merupakan perbandingan antara
pertambahan panjang dengan panjang mula-mula (∆L/L) diplot pada sumbu
horizontal. Gambar 2.2 merupakan hasil uji tarik dari suatu benda uji baja yang
dilakukan hingga benda uji mengalami keruntuhan, sedangkan Gambar 2.3
menunjukkan gambaran yang lebih detail dari perilaku benda uji hingga mencapai
regangan sebesar ± 2%.
8
Gambar 2.3 Kurva Tegangan-Regangan yang Diperbesar
(Sumber : Agus Setiawan, Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD)
Titik-titik penting dalam kurva tegangan-regangan antara lain adalah :
fp : batas proposional
fe : batas elastis
fyu, f y : tegangan leleh atas dan bawah
fu : tegangan putus
ɛsh : regangan saat mulai terjadi efek strain-bardening (penguatan regangan)
ɛy : regangan saat tercapainya tegangan putus
Titik-titik penting ini membagi kurva tegangan-regangan menjadi beberapa daerah
sebagai berikut :
1. Daerah linear antara 0 dan fp, dalam daerah ini berlaku hukum Hooke,
kemiringan dari bagian kurva yang lurus ini disebut sebagai Modulus
Elastisitas atau Modulus Young, E (= f/ɛ)
2. Daerah elastis antara 0 dan fe pada daerah ini juka beban dihilangkan maka
benda uji akan kembali ke bentuk semula atau dikatakan bahwa benda uji
tersebut masih bersifat elastis
3. Daerah plastis yang dibatasi oleh regangan antara 2% hingga 1,2-1,5%, pada
bagian ini regangan mengalami kenaikan akibat tegangan konstan sebesar f y.
Daerah ini dapat menunjukan pula tingkat daktilitas dari material baja tersebut.
Pada baja mutu tinggi terdapat pula daerah plastis, namun pada daerah ini
9
tegangan masih mengalami kenaikan. Karena itu baja jenis ini tidak
mempunyai daerah plastis yang benar-benar datar sehingga tidak dapat dipakai
dalam analisa plastis
4. Daerah penguatan regangan (strain-bardening) antara ɛsh dan ɛy. Untuk
regangan lebih besar dari 15 hingga 20 kali regangan elastis maksimum,
tegangan kembali mengalami kenaikan namun dengan kemiringan yang lebih
kecil daripada kemiringan daerah elastis. Daerah ini dinamakan daerah
penguatan regangan (strain-bardening), yang berlanjut hingga mencapai
tegangan putus. Kemiringan daerah ini dinamakan modulus penguatan
regangan (Est).
10
ɛ𝑠ℎ
𝜓=
ɛ𝑦
Nilai daktilitas dari berbagai material baja berbeda-beda. Baja muttu tinggi
mempunyai nilai daktilitas yang lebih rendah. Beberapa baja mutu tinggi bahkan
memiliki nilai daktilitas mendekati satu, atau dengan kata lain hampir tidak ada
bagian yang mendatar pada kurva tegangan-regangan. Untuk baja mutu tinggi ini
juga tidak menunjukkan nilai tegangan leleh (f y) yang jelas, sehingga nilai tegangan
leleh dari baja mutu tinggi didefinisikan sebagai besarnya tegangan yang dapat
menimbulkan regangan permanen sebesar 0,2%. Rendahnya daktilitas juga
membuat material baja menjadi lebih sensitif akibat adanya tegangan sisa yang
terjadi selama proses pembuatan baja tersebut. Proses pabrikasi baja mutu tinggi
juga harus diawasi dengan lebih cermat, terutama pada saat pengelasan yang dapat
menimbulkan sobekan lamelar.
11
b. Balok dasar pada kuda-kuda yang berfungsi sebagai penehan gaya tarik.
c. Tiang tengah (ander) yang berfungsi mendukung balok bubungan (molo)
dan menerima gaya tekan.
12
2.4.2. Kombinasi Pembebanan
Berdasarkan beban-beban tersebut diatas maka struktur baja harus
mampu memikul semua kombinasi pembebanan dibawah ini :
1,4D (1)
1,2D + 1,6L + 0,5 (La atau H) (2)
1,2D + 1,6 (La atau H) + (γL L atau 0,8 W) (3)
1,2D ± 1,3W + γL L + 0,5 (La atau H) (4)
1,2D ± 1,0E + γL L (5)
0,9D ± (1,3W atau 1,0E) (6)
Keterangan :
D adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen
termasuk dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga, dan
peralatan layan tetap.
L adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung,
termasuk kejut tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti
angin, hujan, dan lain-lain.
La adalah beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh
pekerja, peralatan, dan material, atau selama pengguna biasa oleh
orang dan benda bergerak.
H adalah beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangan air.
W adalah beban angin.
E adalah beban gempa, yang ditentukan menurut SNI 03-1726-1989
atau pengganktinya
Dengan,
γL = 0,5 bila L˂ 5 kPa, dan γL = 1 bila L ≥ 5 kPa.
13
2.4.3. Konsep Perhitungan LRFD
Dua filosofi yang sering digunakan dalam perencanaan struktur baja
adalah perencanaan berdasarkan tegangan kerja/working stress design
(Allowable Stress Design/ASD) dan perencanaan kondisi batas/limit states
design (Load and Resistence Factor Design/LRFD). Metode ASD dalam
perencanaan struktur baja telah digunakan dalam kurun waktu kurang lebih 100
tahun. Dan dalam 20 tahun terakhir prinsip perencanaan struktur baja mulai
beralih ke konsep LRFD yang jauh lebih rasional dengan berdasarkan pada
konsep probabilitas.
Ada beberapa tingkatan dalam desain probabilitas. Metode probabilitas
penuh (fully Probabilistic Method) merupakan tingkat III, dan merupakan cara
analisa yang paling kompleks. Metode Probabilitas Penuh memerlukan data-
data tentang distribusi probabilitas dari tiap-tiap variabel acak (seperti tahanan,
beban, dan lain-lain) serta korelasi antar variabel tersebut. Data-data ini
biasanya tidak tersedia dalam jumlah yang cukup sehingga umumnya metode
Probabilitas Penuh ini jarang digunakan dalam praktek.
1. Nilai rerata
𝑥𝑖
𝑥=
𝑁
Dengan x adalah nilai rerata, xi adalah data ke-i dan N adalah jumlah data.
14
2. Standart Deviasi
Variasi data terhadap nilai rerata ditentukan dengan menjumlahkan kuadrat
selisih antara masing-masing data dengan nilai rerata dan membaginya
dengan jumlah data minus satu.
𝛴(𝑥𝑖−x)2
Varian = 𝑁−1
∑(𝑥𝑖 − 𝑥)2
σ=√
𝑁−1
𝑝(𝑥) = ∫ 𝑝(𝑥)𝑑𝑥
−∞
15
Gambar 2.4 Kurva Fungsi Kerapatan Probabilitas
(Pengolahan Data, 2018)
Nilai p(x) terletak antara 0 hingga 1, sehingga :
𝑥
Prob (-∞ ˂ x ˂ ∞) = ∫−∞ 𝑝(𝑥)𝑑𝑥 = 1
Jika distribusi data tidak simetri, maka kurva fungsi kerapatan
probabilitas logaritmik normal (lognormal) sering digunakan. Dinyatakan
secara matematis, jika Y = In (x) terdistribusi normal, maka x dikatakan
lognormal. Fungsi lognormal digunakan dalam metode LRFD. Karena In
(x) terdistribusi normal, maka nilai reratanya λm dan Standart Deviasi ξ
dapat ditentukan dengan transformasi logaritmik dari fungsi distribusi
normalnya.
𝑥
λm = In [ ]
√1 + 𝑉 2
ξ = √In (1 + V 2 )
16
5. Faktor Bias
Faktor bias, λ merupakan rasio antara nilai rerata dengan nilai nominal.
𝑥
𝜆=
𝑥𝑛
𝑇𝑢 ≤ ϕ 𝑇𝑛
17
Bila kondisi leleh yang menentukan, maka tahanan nominal 𝑇𝑛 dari
batang tarik memenuhi persamaan :
𝑇𝑛 = 𝐴𝑔 𝑓𝑦
Dengan 𝐴𝑔 = luas penampang kotor, 𝑚𝑚2
𝑓𝑦 = kuat leleh material, Mpa
b. Kondisi Fraktur dari Luas Penampang Efektif pada Sambungan
Untuk batang tarik yang mempunyai lubang, misalnya untuk
penempatan baut, maka luas penampangnya tereduksi, dan dinamakan
luas netto (𝐴𝑛 ). Lubang pada batang menimbulkan konsentrasi tegangan
akibat beban kerja. Teori elastisitas menunjukan bahwa tegangan tarik
disekitar lubang baut tersebut adalah sekitar 3 kali tegangan rerata pada
penampang netto. Namun saat serat dalam material mencapai regangan
leleh ɛ𝑦 = 𝑓𝑦 /𝐸𝑠 , tegangan menjadi konstan sebesar 𝑓𝑦 , dengan
deformasi yang masih berlanjut sehingga semua serat dalam material
mencapai ɛ𝑦 atau lebih. Tegangan yang terkonsentrasi di sekitar lubang
tersebut menimbulkann fraktur pada sambungan.
18
Dengan ϕ adalah faktor tahanan, yang besarnya adalah :
ϕ = 0,90 untuk kondisi leleh, dan
ϕ = 0,75 untuk kondisi fraktur
Faktor tahanan untuk kondisi fraktur diambil lebih kecil daripada untuk
kondisi leleh, sebab kondisi fraktur lebih getas/berbahaya, dan sebaiknya tipe
keruntuhan jenis ini dihindari.
2. Luas Netto
Lubang yang dibuat pada sambungan untuk menempatkan alat
pengencang seperti baut atau paku keling, mengurangi luas penampang
sehingga mengurangi pula tahanan penampang tersebut. Menurut SNI 03-
1729-2002 pasal 17.3.5 mengenai pelubangan untuk baut, dinyatakan bahwa
suatu lubang untuk baut harus dipotong dengan mesin pemotong dengan api,
atau dibor ukuran penuh. Selain itu, dinyatakan oula bahwa suatu lubang yang
di pons hanya diijinkan pada material dengan tegangan leleh (𝑓𝑦 ) tidak lebih
dari 360 Mpa dan ketebalannya tidak melebihi 5600/𝑓𝑦 mm.
Selanjutnya dalam pasal 17.3.6 diatur pula mengenai lubang suatu baut,
dinyatakan bahwa diameter nominal dari suatu lubang yang sudah jadi, harus
2 mm lebih besar dari diameter nominal baut untuk suatu baut yang
diameternya tidak lebih dari 24 mm. Untuk baut yang diameternya lebih dari
24 mm, maka ukuran lubang harus diambil 3 mm lebih besar.
Luas netto penampang batang tarik tidak boleh diambil lebih besar
daripada 85% luas brutonya, 𝐴𝑢 ≤ 0,85 𝐴𝑔
19
Gambar 2.6 keruntuhan Potongan 1-1 dan Potongan 2-2
(Pengolahan Data, 2018)
Dari potongan 1-1 diperoleh : 𝐴𝑛 = 𝐴𝑔 − 𝑛. 𝑑. 𝑡
20
sambungan. Masalah shear lag dalam perhitungan diantisipasi dengan
menggunakan istilah luas netto efektif, yang dapat diterapkan pada sambungan
baut maupun las. Pasal 10.2 SNI 03-1729-2002 mengatur masalah perhitungan
luas netto efektif. Dinyatakan bahwa luas penampang efektif komponen
struktur yang mengalami gaya tarik harus ditentukan sebagai berikut :
𝐴𝑒 = 𝑈. 𝐴𝑛
x = eksentrisitas sambungan
a. Bila gaya tarik disalurkan hanya oleh las memanjang ke elemen bukan
pelat, atau kombinasi las memanjang dan melintang, maka : 𝐴𝑒 = 𝐴𝑔
b. Bila gaya tarik disalurkan oleh las melintang saja :
𝐴𝑒 = luas penampang yang disambung las (U = 1)
21
c. Bila gaya tarik disalurkan ke elemen pelat oleh las memanjang
sepanjang kedua sisi bagian ujung elemen : 𝐴𝑒 = 𝑈. 𝐴𝑔
Dengan U = 1,00 untuk l ≥ 2w
U = 0,87 untuk 2w > l ≥ 1,5w
U = 0,75 untuk 1,5w > l ≥ w
l = panjang las
w = jarak antar las memanjang (lebar pelat)
22
a. Penampang-I dengan b/h > 2/3 atau penampang T yang dipotong dari
penampang I, dan sambungan pada pelat sayap dengan jumlah baut lebih
atau sama dengan 3 buah per baris (arah gaya)
U = 0,90
b. Untuk penampang yang lain (termasuk penampang tersusun) dengan
jumlah alat pengencang minimal 3 buah per baris
U = 0,85
c. Semua penampang dengan banyak baut 2 per baris (arah gaya)
U = 0,75
5. Geser Blok (Block Shear)
Sebuah elemen pelat tipis menerima beban tarik, dan disambungkan
dengan alat pengencang, tahanan dari komponen tarik tersebut kadang
ditentukan oleh kondisi batas sobek, atau sering disebut geser blok. Dalam
Gambar 2.10 profil siku dengan beban tarik, yang dihubungkan dengan alat
pengencang, dapat mengalami keruntuhan geser blok sepanjang potongan a-b-
c. bagian yang terarsir dalam gambar akan terlepas atau sobek. Keruntuhan
jenis ini pula terjadi pada sambungan pendek yang menggunakan dua alat
pengencang atau kurang pada garis searah bekerjanya gaya.
Pengujian menunjukkan bahwa keruntuhan geser blok merupakan
penjumlahanan tarik leleh (atau tarik fraktur) pada satu irisan dengan geser
fraktur (geser leleh) pada irisan lainnya yang saling tegak lurus. Dan tahanan
nominal tarik dalam keruntuhan geser blok diberikan oleh persamaan :
1. Geser Leleh – Tarik Fraktur (𝑓𝑢 . 𝐴𝑢𝑡 ≥ 0,6. 𝑓𝑢 . 𝐴𝑢𝑣 )
𝑇𝑢 = 0,6. 𝑓𝑦 . 𝐴𝑔𝑣 + 𝑓𝑢 . 𝐴𝑛𝑡
2. Geser Fraktur – Tarik Leleh (𝑓𝑛 . 𝐴𝑛𝑡 ≥ 0,6. 𝑓𝑛 . 𝐴𝑛𝑣 )
Dengan :
23
𝐴𝑔𝑣 = kuat tarik
𝐴𝑔𝑣 = kuat leleh
24
2.4.5. Batang Tekan
Batang-batang tekan yang banyak dijumpai yaitu kolom dan batang-
batang tekan dalam struktur rangka batang. Komponen struktur tekan dapat
terdiri dari profil tunggal atau profil tersusun yang digabung dengan
menggunakan pelat kopel. Syarat kestabilan dalam mendesain komponen
struktur tekan sangat perlu diperhatikan, mengingat adanya bahaya tekuk
(buckling) pada komponen-komponen tekan yang langsing.
25
Halaman ini sengaja dikosongkan.
26
5