Anda di halaman 1dari 12

TATALAKSANA PERIOPERATIF DAN MONITORING PADA

ANESTESI
Wolfgang Buhre, Rolf Rossaint

Akhir-akhir ini, banyak studi yang telah menemukan beberapa faktor risiko untuk efek
samping pada pasien yang telah diberikan anestesi. Di samping faktor berupa
kesalahan manusia, kardiovaskular serta komplikasi pernapasan pun turut dikaitkan
dengan morbiditas besar. Hasil asesmen tentang komplikasi-komplikasi telah
berkontribusi pada pengenalan monitoring fisiologis dasar dalam praktik klinis.
Tentang apakah monitoring berdampak langsung pada hasilnya masih belum terbukti
jelas, namun meski demikian, bukti-bukti tidak langsung menunjukkan bahwa
monitoring kardiorespiratori dasar membantu mengurangi timbulnya kecelakaan-
kecelakaan serius. Pencegahan terhadap hipotermia juga mengurangi morbiditas yang
dikaitkan dengan anestesi. Pengukuran suhu tubuh juga sangat dianjurkan, dan
melakukan pemanasan dengan giat merupakan teknik yang sederhana namun efektif
untuk mencegah hipotermia. Bukti-buikti juga bermunculan bahwa pasien yang
diketahui atau divonis dengan penyakit arteri koroner harus ditangani dengan
penyekat 𝜷 secara perioperatif. Entah tipe anestesinya – misal, general atau regional –
kaitannya dengan kematian perioperatif tetap belum jelas terbukti. Pada bebrapa sub-
kelompok pasien dengan risiko tinggi, anestesi neuraksial dapat mengurangi tingkat
komplilkasi penapasan dan kardiovaskular.

Anestesi telah digunakan secara rutin pada jutaan pasien setiap tahunnya. Sedangkan jumlah
morbiditas perioperatif dan kematian yang disebabkan anestesi pun masih kontroversial.
Bagaimanapun juga, bahwa perkembangan pada anestesi dan teknik bedah serta perawatan
perioperatif telah diketahui mampu membantu mengurangi risiko kematian, atau setidaknya
di negara-negara maju. Kematian perioperatif bergantung pada usia, parahnya penyakit
seiringnya, dan tipe serta jumlah operasi bedah. Selama operasi besar, khususnya pada
prosedur darurat, risiko kematian meningkat drastis, mencapai hingga maksimal 10 % pada
pasien berusia lanjut yang tengah melakukan operasi darurat besar.

Kejadian-kejadian kardiak (mis, serangan jantung, gagal jantung kongestif, iskemia jantung,
dan gangguan irama) merupakan penyebab-penyebab utama kematian selama dan setelah
anestesi. Oleh karena itu, studi-studi telah memfokuskan pada penekanan atau
meminimalkan munculnya kejadian seperti itu dan konsekuensi-konsekuensi komplikasi
seperti demikian, serta pada mengoptimalkan monitoring kardiovaskular perioperatif.
Komplikasi respiratori dan hipotermia sedang selama masa perioperatif juga dikaitkan
dengan morbiditas besar. Di sisi lain, tingkat komplikasi yang secara langsung dikaitkan
dengan anestesi – seperti hipoksia, intubasi esofagus yang terlewatkan, atau ketidakmampuan
untuk menukar udara dan mengintubasi pasiennya – dinilai rendah. Bukti-bukti telah
menunjukkan bahwa komplikasi sepeti itu, setidaknya secara sebagian, dihubungkan pada
kesalahan-kesalahan teknis yang tak diketahui dari peralatan serta pada adanya kekurangan
pada monitoring. Karena pemilihan teknik kemungkinan tidak dihubungkan dengan adanya
perbedaan pada hasil, faktor-faktor lainnya - seperti pengenalan monitoring fisiologis,
1
pengalaman dan pelatihan staf, serta perubahan-perubahan pada tata laksana perioperatif
(penyekat beta perioperatif, normotermia, simpatiolisis) – nampak berdampak lebih besar
pada kematian. Oleh karena itu, tujuan dari tinjauan ini adalah sebagai gambaran tentang
standar-standar serta rekomendasi-rekomendasi terkini untuk monitoring dan manajemen
medis pada anestesi.

Pertimbangan Umum

Kehadiran ahli anestesi yang terlatih dan berpengalaman merupakan penentu utama dalam
keamanan pasien selama proses anestesi. Ahli anestesi harus mengenali pasien serta seluruh
peralatan teknis yang akan digunakan. Pasien serta informasi tentangnya yang telah
disediakan di peralatan monitoring harus secara rutin diperhatikan. Hal ini tidak dapat
diterima jika monitoring yang memadai tersedia namun tidak digunakan, atau jika ahli
anestesinya belum berpengalaman dengan monitoring, prosedur operasi bedah, atau kondisi
masing-masing pasien. Perlu dilakukan pemeriksaan rutin terhadap warna mukosa pasien,
pergerakan dinding dada, ukuran pupil, serta respon pada stimuli rasa sakit. Jika diperlukan,
keluarnya darah serta urin pun perlu dites secara rutin, dan tak lupa stetoskop harus selalu
ada. Standar yang sama juga berlaku ketika sang ahli anestesi melakukan teknik anestesi
lokal atau sedatif. Sama penting adanya agar standar monitoring dan perawatan selama
perpindahan pasien dari ruang operasi ke ruang rawat sama tingginya seperti saat masih
berada di ruang operasi, dan juga staf yang terlatih selalu mendampingi.

Strategi Penelitian

Kami menilik penelitian-penelitian di dalam database elektronik MEDLINE, EMBASE, dan


HealthSTAR. Database-database milik Pusat Review dan Persebaran (DARE dan NHS
Database Evaluasi Ekonomi) dan Kolaborasi Cochrane (Perpustakaan Cochrane) juga
digunakan. Kami menyertakan semua artikel yang dipublikasikan tanpa melihat bahasa
penulisannya. Kombinasi-kombinasi kata kunci pada kolom pencarian adalah di antaranya:
anestesi, monitoring, komplikasi, analisis klaim tertutup, neuromuskular, terkait kematian,
hasil, faktor risiko, dan hipotermia, karena sebagian artikel berhubungan dengan monitoring.
Di samping itu, kata kunci tunggal juga digunakan untuk masing-masing topik (contohnya,
kateter arteri paru-paru, tekanan vena utama). Untuk bagian yang membahas tata laksana
perioperatif maka kata kunci berikutlah yang digunakan: teracak, uji coba klinis, anestesi,
penyekat beta, adrenergis agonis, penyegat neuraksial, hipotermia, nomotermia, terapi rasa
sakit. Di tambah lagi, pencarian dilakukan yang berkaitan dengan masing-masing topik utama
yang dibahas di setiap bagian review ini. Semua studi dan review terkait digunakan. Selain
itu, panduan keamanan nasional juga direview; panduan hukum dan medis untuk standar
monitoring minimal juga diadaptasi dari panduan nasional Masyarakat Jerman untuk Anestesi
dan Pengobatan Intensif, the Royal College for Anesthesist, Asosiasi Anestesis se Britania
Raya dan Irlandia, dan Masyarakat Anestesiologi Amerika. Data dari laporan tahunan

2
Penyelidikan Rahasia Nasional Inggris tentang kematian perioperatif serta proyek klaim
tertutup dari Masyarakat Anestesiologi Amerika juga disertakan selama proses penelitian.

Panel 1: Rekomendasi Monitoring dari The Assciation of Anaesthetists of Great Britain and
Ireland
Monitoring Esensial
Sirkulasi, ECG, pemantauan non-invasif pada tekanan darah sistemis, pemantauan klinis
Pernapasan, kapnografi, oksimetri nadi, pemantauan klinis
Temperatur tubuh: pemeriksaan temperatur tubuh

Monoitoring yang tersedia


Jika menggunakan pelemas otot: perangsang saraf
Jika menggunakan anestesik menguap: kadar anestesik inspiratori dan ekspiratori

Namun, kesalahan manusia memang tak terelakkan, sehingga efek samping kerapkali
dikaitkan dengan faktor manusia. Monitoring instrumental tak dapat mencegah reaksi
sampingan selama anestesi, namun mampu mengurangi risiko-risiko insiden dengan
memberikan peringatan awal. Setelah pengenalan monitoring instrumental minimal selama
tahun 1980an di rumah sakit-rumah sakit Harvard di AS, jumlah insiden yang serius serta
kematian menurun drastis. Studi Insiden Australia menunjukkan sebanyak 52% insiden yang
berkaitan dengan anestesi telah terdeteksi pertama kali oleh monitor. Dan pada lebih dari
50% kasus, oksimetri nadi atau kapnografi telah mendeteksi perubahan patologis pertama. Di
tahun 1992, Moller dan rekanannya mempublikasikan data tentang penggunakan oksimetri
pada anestesi, di sebuah studi dengan populasi sebanyak 20.082 pasien. Selama anestesi dan
pada masa pemulihan, lebih banyak pasien di grup oksimetri yang memiliki setidaknya satu
kejadian pernapasan daripada pasien di grup kontrol, yang dikarenakan meningkatnya insiden
pada hipoksernia yang didiagnosa pada grup oksimetri. Terlepas dari temuan-temuan
tersebut, tidak ada perbedaam yamg signifikan yang ditemukan pada hasilnya. Namun,
meskipun belum memiliki bukti, banyak ahli klinis yang sepakat bahwa oksimetri nadi harus
digunakan pada setiap pasien karena dua alasan; pertama, konsekuensi pada pasien
hipoksernia arteri diketahui cukup parah hingga dapat berujung pada kerusakan otak
hipoksik, kedua, kurangnya ventilasi sebagai penyebab hipoksia bisa dicegah dengan
kapnografi dan oksimetri nadi pada pasien kebanyakan. Pada kesimpulannya, belum ada studi
klinis prospektif dan teracak yang relevan dengan monitoring pada anestesi hingga hasilnya;
dan studi semacam itu dinilai tidak etis. Bagaimanapun juga, bukti-bukti tidak langsung
menunjukkan bahwa penggunaan rutin monitoring dasar bisa meningkatkan keamanannya.

Panduan dan rekomendasi untuk standar telah ditetapkan oleh masyarakat anestesi
nasional. Panel 1 menunjukkan contoh standar yang dimaksud.

3
Monitoring sistem organ

Monitoring Kardiovaskular

Sistem kardiovaskular merupakan elemen penting bagi pengangkutan substrat dan oksigen ke
dan dari seluruh sistem organ yang berbeda serta untuk kardiovaskular itu sendiri, khususnya
untuk miokardium. Oleh karenanya, monitoring kardiovaskular menunjukkan situasi daripada
organ-organ akhir (jantung, otak, ginjal) dan sistem kardiovaskular. Intensitas, penyebaran,
dan biaya dari sistem monitoring yang berbeda-beda juga memegang peran yang besar.
Sebagai contoh, ada kasus yang mana masih belum diketahui dengan jelas pada pasien yang
mana dan untuk kondisi seperti apa pemantauan langsung output jantung dengan kateter arteri
paru-paru yang ditengarai dan yang diperlukan. Namun, ada beberapa aspek mendasar dari
sistem kardiovaskular yang harus dimonitor setiap kali pasien melakukan prosedur anestesi,
terlepas dari apapun teknik anestesi yang dipilih, jenis operasi bedah yang dilakukan, atau
kondisi masing-masing pasiennya.

Monitoring dasar

Monitoring dasar terdiri dari pencatatan elektrocardiogram (ECG) secara terus menerus dan
pemantauan berjeda non-invasif pada tekanan darah sistemik. Monitoring terhadap detak
jantung kemungkinan merupakan bentuk monitoring jantung yang paling sederhana dan
paling sedikit menyebar. ECG menampilkan informasi tentang detak jantung dan aritmia.
Pendeteksian iskemia jantung bergantung pada setidaknya sebagian dari bagaimana ECG nya
dimonitor. Iskemia jantung dapat dideteksi dengan sensitivitas yang cukup rendah ketika
menggunakan ECG biasa dengan tiga sadapan, namun sensitivitas akan meningkat ketika
yang digunakan adalah ECG lima sadapan dengan sadapan II dan V5 dimonitor secara terus-
menerus. Oleh karena itu, penggunaan rutin ECG lima sadapan sangat direkomendasikan
bagi pasien dengan vonis atau yang telah mengidap penyakit arteri koroner. Bagaimanapun
juga, hubungan antara ECG dan kelainan gerak dinding regional yang baru dideteksi secara
radar kardiografi, sebagai prediktor awal iskemia jantung hanyalah prediktor yang sedang
yang menandakan bahwa ECG merupakan cara yang tidak spesifik dalam memonitor iskemia
jantung.

Pemantauan tekanan darah arteri harus dilakukan dengan cara monitoring non invasif
pada setiap pasien. Kanulasi arteri langsung dibutuhkan untuk pemantauan terus-menerus
seperti pemantauan untuk trombosis, cedera saraf, haematoma, dan infeksi. Dengan
demikian, penanda untuk monitoring invasif perlu diuji dengan hati-hati; teknik seperti itu
diperlukan untuk pasien yang secara haemodinamis tidak stabil dan tengah menjalani operasi
karena trauma dan untuk operasi bedah perut. Para pasien yang memiliki penyakit jantung,
pembuluh darah, dada, tulang belakang, dan telah menjalani operasi otak akan mengalami
perubahan yang cepat pada tekanan darahnya dan pada volume intravaskularnya. Pada
pasien-pasien demikian sangat penting untuk dilakukan monitoring terus menerus agar
mengatur variabel-variabel haemodinamisnya. Kateter arteri juga bisa memberikan metode
yang reliabel untuk kerap memperoleh sampel darah arteri, yang mana akan memungkinkan

4
manajemen yang sesuai untuk gas darah, kimia darah, dan kelainan koagulasi. Panel 2
menyajikan gambaran indikasi untuk monitoring tekanan darah invasif.

Panel 2. Indikasi untuk monitoring tekanan darah invasif

Faktor-faktor yang terikat pada pasien


Ketidakstabilan haemodinamis (kejut)
Penyakit jantung
Ketidakcukupan pernapasan
Meningkatnya tekanan intrakranial
Politrauma

Jenis operasi bedah


Bedah jantung
Kraniotomi
Operasi dada besar
Operasi perut besar

Monitoring lanjutan

Monitoring kardiovaskular lanjutan terdiri dari pemantauan tekanan isian jantung (misal,
tekanan vena pusat, tekanan arteri paru-paru, dan tekanan oklusi arteri paru-paru), cardiac
output, dan jenuhan oksigen vena campuran. Kinerja jantung secara menyeluruh bergantung
pada setidaknya sebagian dari isian jantung selama diastole. Monitoring konvensional pada
tekanan isian jantung memerlukan jalur masuk pada vena pusat, yang mana terdapat banyak
sekali teknik dan lokasinya. Namun, pendekatan yang paling populer adalah vena jugularis
internal sebelah kanan, karena tingkat kesuksesan metode tersebut dinilai tinggi (>90%),
posisi pembuluhnya konsisten di tempat yang jelas, dan jalur ke atrium kanannya lurus,
pendek, serta tak berkatup. Dengannya komplikasi memang jarang terjadi namun bisa
berujung pada morbiditas parah. Contohnya, pneumothoraks dan kanulasi arteri yang
membutuhkan perawatan. Dengan meletakkan kateter dan memonitor tekanan di nadi besar
yang mengembalikan darah ke jantung akan memungkinkan perawatan yang tepat dan
penyesuaian volume darah pasien yang lancar. Akan tetapi, tekanan vena pusat merupakan
ukuran beban hulu jantung hanya bagi pasien yang memiliki fungsi jantung yang masih
normal yang kehilangan darah atau cairan dalam jumlah yang banyak. Ketika fungsi jantung
terganggu, hubungan antara tekanan vena pusat dan beban hulu jantung berubah dan menjadi
tidak reliabel. Indikasi lainnya untuk penempatan kateter vena pusat adalah penggunaan obat-
obatan yang paling aman dan efektif ketikda dibaw a langsung ke dalam sirkulasi vena pusat.

Kateter arteri paru-paru

Kateter arteri paru-paru diletakkan juga sepanjang nadi besar dan diarahkan oleh aliran darah
melalui jantung bagian kanan menuju arteri paru-paru. Vena pusat dan tekanan oklusi kapiler

5
paru-paru harus menunjukkan isian jantung di kanan dan kiri jantung. Output jantung dapat
diukur dengan menggunakan teknik termodilusi. Penilaian pada output jantung, tekanan vena
pusat dan vena, serta tekanan arteri paru-paru akan mempermudah penghitungan resistensi
vena sistemik dan paru-paru. Umumnya, kateter arteri paru-paru digunakan untuk pasien
yang fungsi jantungnya terganggu pada sebelum atau saat prosedur operasi tengah dilakukan.
Namun, tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa hasilnya akan meningkat setelah
menggunakan kateter ini, bahkan pada pasien berisiko tinggi.

Ekokardiologi

Ekokardiografi transoesophageal adalah metode semi invasif dari perlakuan monitoring


jantung dan isian ventrikular, dan ia juga memberikan informasi tambahan terkait dengan
morfologi dan patologi jantung (misal, penyakit katup dan efusi perikardial). Teknik ini
biasanya digunakan pada pasien yang terintubasi, khususnya bagi mereka yang berada di
ruang operasi, dan hal ini telah terbukti mengubah praktik operasi dan anestesi pada
kebanyakan pasien. Sayangnya, ekokardiografi transoesophageal terbilang mahal dan
membutuhkan pelatihan yang panjang agar dapat melakukan pemeriksaan yang berkualitas
tinggi. Tingkat komplikasi diketahui rendah apabila teknik tersebut dilakukan oleh staf yang
berpengalaman. Sedangkan untuk teknik monitoring lainnya, dampak penggunaan
ekokardiografi transoesophageal biasa terhadap hasilnya masih belum diketahui, oleh karena
itu, penggunaan klinisnya sangat direkomendasikan hanya untuk sekelompok pasien saja,
seperti untuk mereka yang tengah menjalani operasi jantung atau mereka yang diketahui
disebabkan oleh ketidakstabilan haemodinamis.

Aspek baru pencegahan dan pengobatan komplikasi kardiovaskular

Kejadian kardiovaskular merupakan penyebab utama morbiditas perioperatif pada pasien


yang tengah menjalani prosedur anestesi. Seiring dengan meningkatnya jumlah pasien lansia
yang berisiko penyakit arteri koroner dan gagal jantung, jumlah total pasien yang rentan
terhadap kejadian kardiovaskular pun diperkirakan akan meningkat. Selama dua dekade
terakhir, penelitian-penelitian telah difokuskan pada pengidentifikasian faktor-faktor risiko
dan pengobatan-pengobatan yang tepat sasaran. Arus utama pada pencegahan komplikasi
jantung adalah penyekat 𝛽 perioperatif pada pasien yang berisiko terkena morbiditas jantung.
Mangano dan rekan-rekannya merupakan yang pertama kali menunjukkan bahwa
penggunaan perioperatif atenonol selama satu minggu, terhitung sejak pagi hari saat
dilaksanakannya operasi bedah, dapat mengurangi risiko kematian karena jantung secara
signifikan hingga 2 tahun setelah operasi dilaksanakan. Sedangkan Polderman dan
rekanannya telah mencatat penurunan angka kematian yang disebabkan oleh jantung serta
serangan jantung yang tidak fatal pada pasien yang berisiko tinggi dan sedang menjalani
operasi pembuluh darah ketika pasien ditangani dengan bisoprolol. Oleh karenanya, sangat
dianjurkan penggunaan penyekat 𝛽-adrenergis pada pasien yang diketahui atau divonis
memiliki penyakit arteri koroner, sekalipun pengobatan terbaik untuk penyakit itu masih
belum diketahui hingga detik ini.

6
Sekelompok substansi lainnya yang digunakan di penelitian klinis adalah 𝛼 2 agonis.
Latar belakang fisiologis untuk penggunaan perioperatif 𝛼 2 agonis didasarkan pada dampak
simpatolitiknya. Penggunaan 𝛼 2 agonis mivazerol pada studi klinis terbukti mengurangi
frekuensi dan durasi tasikardia, sayangnya, tidak ada dampak terhadap kematian perioperatif
yang ditemukan pada uji coba besar-besaran ini. Oleh karenanya, masih belum diketahui
apakah pengobatan perioperatif rutin yang mengandung substansi ini akan berdampak pada
tingkat komplikasi jantung secara signifikan.

Selanjutnya, msaih belum jelas diketahui apakah tipe anestesi yang digunakan (baik
general ataupun regional) akan berdampak pada komplikasi kardiovaskular dan hasilnya. Di
tahun 2000, dua studi retrospektif besar dipublikasikan yang saling menunjukkan hasil yang
berlawanan. Di satu sisi, O’Hara dan rekanannya tidak menemukan adanya manfaat pada
anestesi regional versus anestesi general, padahal Rodgers serta rekanannya menyimpulkan
bahwa blokade neuraksial (seperti anestesi spinal atau epidural) mengurangi risiko insiden
serangan jantung dan pneumonia sebanyak masing-masing 33% dan 39%, dibandingkan jika
anestesi general yang digunakan. Rincian analisis pada penelitian Rodgers dan rekan-
rekannya menunjukkan bahwa hanya anestesi epidural torakik dan anestesi spinal yang bisa
mengurangi risiko relatifnya. Pada studi kebanyakan yang dimasukkan dalam meta-analisis di
sini dilakukan pada sebelum tahun 1990, sehingga apakah perubahan tambahan pada tata
laksana perioperatif (seperti kejadian propilaksis terhadap trombombolik) di tahun-tahun
selanjutnya masih belum diketahui secara jelas. Di tahun 2001, meta-analisis milik Beattic
dan rekannya membandingkan dampak analgesi epidural postperatif terhadap serangan
jantung periporatif dan kematian yang terjadi di rumah sakit. Pada salah satu kelompok
pasien yang menerima analgesi epidural torakik, tingkat serangan jantung periperatifnya
menurun secara drastis, sedangkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara pasien tersebut
dengan pasien yang tidak menerima analgesi tersebut. Temuan dari dua studi prospektif
teracak tersebut menunjukkan manfaat yang tidak jelas dari gabungan dari epiduran dan
anestesi general pada pasien berisiko tinggi dengan pengecualian yang mungkin diberikan
pada mereka yang menjalani operasi bedah aortik perut.

Pengawasan sistem pernafasan

Pengawasan pernafasan dasar harus dilakukan secara rutin pada setiap pasien anestesi. Dua
metode—capnometry dan oximetry denyut—banyak digunakan. Metode yang pertama harus
digunakan pada semua pasien yang terintubasi dan terventilasi secara mekanis, sedangkan
oximetry harus diterapkan pada pasien awake yang melakukan anestesi regional. Kedua
medote ini bersifat non-invasif dan mudah disediakan.

Capnometry

Capnometry mengukur konsentrasi karbondioksida tidal-ujung selama inspirasi dan ekspirasi.


Capnografi adalah representasi grafis dari kurva karbondioksida tidal-ujung. karbondioksida

7
tidal-ujung diukur dengan spektroskopi infra merah. Capnometry dan capnografi harus
dikombinasikan, karena bentuk kurva memberikan informasi yang penting tentang penyebab
penting kurangnya ventilasi. Kesadaran akan kondisi patologis tipikal dan kegagalan teknis
dapat diketahui dengan mudah melalui pembacaan capnogram. Intubasi esofageal yang gagal
merupakan salah satu komplikasi berbahaya pada anestesi. Pengukuran karbondioksida pada
periode ekspiratori merupajab sebuah tanda penting pada intubasi yang akurat, yang
mengurangi kegagalan esofageal dibandingkan dengan intubasi trakeal. Petunjuk untuk
teknik pengawasan termasuk capnometry dan capnografi berada pada bagian pengawasan
dasar.

Oximetry denyut

Oximetry denyut memungkinkan pengukuran in-vivo pada saturasi oksigen arterial (SaO2)
dengan mendeteksi perbedaan penyerapan hemoglobin yang teroksigen dan terdeoksigen.
Pada umumnya, dua panjang gelombang yang berbeda digunakan, satu LED untuk warna
merah 9660 nm) dan satu untuk infra merah (940 nm). Selama siklus kardiak, penyerapan
cahaya tergantung pada aliran vena dan struktur latar belakang (tulang, cutis, dan subcutis),
sedangkan selama sistol, aliran darah arteri mengantarkan pada denyut dan perubahan
lanjutan pada penyerapan cahaya. Variasi nilai SaO2 (2 SD) didapatkan dari oxymeter denyut
yang tersedia, yaitu 2% antara 80-100% saturasi oksigen. Ketika SaO2 menurun di bawah
80%, kesalahan sebanyak 5% mungkin terjadi. Oxymetry denyut yang digunakan pada semua
pasien selama anestesi dan area pemulihan merupakan hal yang dapat diterima secara luas.
Informasi yang didapatkan merupakan hal klinis yang penting untuk menghindari komplikasi
yang serius dan dapat mengancam jiwa. Nilai yang ditunjukkan pada monitor menunjukkan
rata-rata 8-15 siklus pengukuran. Waktu respon untuk kejadian hypoxic adalah antara 10
sampai 35 detik, tergantung dari posisi sensor dan variabel fisiologis secara output kardiak
dan perfusi kulit.

Oksigen Tambahan dan Infeksi Luka

Bukti menunjukkan bahwa penambahan oksigen dapat mengurangi infeksi luka dan dapat
bermanfaat selama anestesi dan pemulihan. Destruksi melalui oksidasi merupakan salah satu
mekanisme pertahanan terkuat melawan patogen dan tergantung pada tekanan parsial oksigen
pada jaringan yang terkontaminasi. Greif, dkk. meneliti pengaruh konsntrasi oksigen (FIO2)
80% dan 30% pada 500 pasien yang melakukan reseksi colorectal. Peningkatan yang
signifikan pada tekanan parsial oksigen arteri diketahui pada pasien dengan FIO2. 80%
oksigen dihubungkan dengan penurunan infeksi luka yang signifikan (5.2% vs 11.2%). Data
ini menunjukkan bahwa oksigen terinsipirasi tinggi merupakan cara yang sederhana dan
praktis untuk mengurangi kejadian infeksi luka bedah. Perhatian terhadap konsentrasi
oksigen terinsipirasi tinggi ini merupakan pengembangan dari atelektasis resorption. Namun,
penggunaan 60-80% FIO2 jangka pendek tidak menyebabkan peningkatan tingkat atelektasis
pulmonary.

8
Pengawasan kedalaman anestesi

Pengawasan kedalaman anestesi berguna karena dua alasan: pertama, sebanyak 0.2% pasien
yang melakukan anestesi umum melaporkan kesadarannya selama anestesi, dengan dampak
jangka panjang pada tingkah laku psikologis mereka; alasan kedua adalah pengawasan
kedalaman anestesi harus memperbolehkan dosis obat anestesi sehingga mengurangi efek
samping kardiovaskular yang disebabkan oleh overdosis.

Pada praktik klinis, dosis obat anestesi disesuaikan dengan kardiovaskular pasien dan
respon vegetatif terhadap stimuli pembedahan. Sebuah contoh metode yang digunakan untuk
pengukuran tersebut adalah skor PRST. Perubahan pada tekanan darah (P), detak jantung (R)
, keringat (S), dan produksi air mata (T) dicatat dan dosis anestesi disesuaikan jika melebihi
nilai batas yang ditentukan. Namun, respon vegetatif terhadap pembedahan dipengaruhi oleh
beberapa variabel dan sangat berubah-ubah pada pasien, sehingga nilai PRST pada praktik
klinis masih dipertanyakan. Contohnya, pasien yang ditangani dengan bloker β tidak bereaksi
dengan peningkatan detak jantung dan tekanan darah arteri meskipun kedalaman anestesi
tidak mencukupi. Oleh karena itu, banyak teknik pengawasan telah diajukan dan diuji sebagai
cara untuk menilai kedalaman anestesi (panel 3).

Pada dasarnya, dua teknik yang berbeda dapat digunakan untuk mengukur kedalaman
anestesi. Elektroencefalogram atau turunannya (indeks bispektral) dan respon kebangkitan
pasien (potensi kebangkitan auditory lantensi tengah). Kedua sinyal fisiologis ini berubah
selama anestesi umum dengan pola yang kurang lebih sama. Namun, sensitivitas dan
spesifisitas merupakan masalah dan belum ada monitor yang tersedia secara komersial yang
dapat mencegah kesadaran selama anestesi.

Pengawasan suhu tubuh dan menjaga normothermia

Hipotermia selama anestesi dianggap sebagai hal yang kurang nyaman. Namun, hipotermia
sangat berhubungan dengan morbiditas selama dan setelah pembedahan. Hipotermia mild-
tomoderate intraoperatif (35.5 derajat Celsius) mengakibatkan peningkatan infeksi luka yang

9
signifikan dan meningkatkan permintaan oksigen di seluruh tubuh selama pemulihan. Oleh
karena itu, pencegahan hipotermia merupakan hal utama dalam manajemen perioperatif
pasien yang melakukan pembedahan dan anestesi. Mengawasi suhu tubuh pasien harus
dilakukan secara teratur, tanpa melihat apakah pasien mendapatkan anestesi umum atau
regional. Pengukuran suhu tubuh pada bagian dalam telinga, esophagus, dan darah
berhubungan erat dengan suhu inti. Suhu kantong kemih dapat diterima pada sebagian besar
kondisi klinis, namun presisi dan akurasinya tergantung pada aliran dan volum urin.

Hipotermia merupakan akibat dari kombinasi kerusakan kontrol termoregulator yang


disebabkan oleh anestesi dan lingkungan yang dingin. Selama anestesi umum, hipotermia
mengembang dengan pola tiga fase yang khas. Setelah induksi anestesi, suhu inti menurun
secara cepat karena redistribusi suhu tubuh internal. Anestesi menghambat vasoconstriction
tonik yang mempertahankan gradien antara suhu inti dan suhu periferal. Setelah itu, suhu inti
menurun secara linear pada tingkat yang ditentukan oleh selisih antara hilangnya panas dan
produksi panas. Pada pasien dengan blockade neureksial, suhu tubuh menurun sampai
setengah selama anestesi umum. Hipotermia moderat meningkatkan infeksi luka dengan
memicu vasoconstriction termoregulatori, yang mengurangi tensi oksigen. Hipotermia juga
merusak fungsi imun. Dalam sebuah studi prospektif, Kurz, dkk. menunjukkan bahwa 19%
dari pasien hipotermia memiliki infeksi luka yang berkembang (rata-rata suhu inti
intraoperative adalah 34.7 derajat Celsius), sedangkan hanya terdapat 6% pasien yang
dihangatkan (suhu 36.6 derajat Celsius) yang memiliki infeksi. Pada pasien hipotermia,
pelepasan luka jahit ditunda sampai satu hari dan durasi inap di rumah sakit diperpanjang
sampai 2-6 hari. Untuk menghindari penundaan pemulihan pasien, pasien harus dihangatkan
sebelum, selama, dan setelah anestesi, terlepas dari jenis pembedahan dan teknik anestesi.
Penghangatan udara dengan peralatan yang tersedia lebih efektif dibandingkan dengan
selimut katun.

Pengawasan fungsi neuromuscular

Pada dua dekade terakhir, bukti tentang blokade neuromuscular residual pasca operasi telah
meningkat, yang merupakan faktor resiko mandiri untuk komplikasi pulmonary pasca
operasi. Selain itu, hanya sedikit tingkat blokade neuromuscular residual yang dapat
menghubungkan respon kemoreseptor ke hypoxia dan disfungsi otot faring, yang
menyebabkan meningkatnya resiko hipoventilasi dan aspirasi.

Durasi blokade neuromuscular dipengaruhi oleh beberapa faktor pada periode


perioperatif dan tidak dapat diprediksi. Farmakokinetik dan farmakodinamik pada otot
bervariasi bahkan pada manusia yang sehat. Blokade neuromuscular dapat diperpanjang oleh
interaksi dengan agen seperti anestesi atau antibiotik, oleh karena kerusakan hepatic dan
pembersihan ginjal, oleh bertambahnya usia, dan selama hipotermia.

Tanda klinis tipikal untuk estimasi fungsi neuromuscular terbukti tidak dapat
dipercaya. Kemampuan untuk mengangkat kepala dan membuka mata, atau kembali ke
kapasitas vital dan inspiratory ke nilai normal, berhubungan dengan pemulihan fungsi

10
neuromuscular dan dibingungkan oleh banyak faktor perioperatif lainnya. Blokade
neuromuscular residual meninggi ketika tanda klinis digunakan untuk menilai fungsi
neuromuscular dan blokade residu.

Oleh karena itu, fungsi neuromuscular harus dimonitor dengan mengukur respon otot
terhadap stimulasi listrik pada syaraf motor periferal. Mode stimulasi yang berbeda telah
diajukan; metode train-of-four dan double-burst telah banyak digunakan. Pada setting klinis,
respon otot biasanya dinilai dengan respon stimulasi train-of-four. Tempat paling populer
untuk stimulasi neural adalah syaraf distal ulnar (adductor pollicis) dan syaraf muka
(orbicularis oculi). Otot yang berbeda memiliki sensitivitas yang berbeda pada relaksan otot.
Diafragma sangat resisten, sedangkan otot periferal tangan dan kaki, otot faring, dan otot
jalan udara atas bersifat lebih sensitif.

Pengawasan neuromuscular merupakan nilai pada penilaian blokade neuromuscular


dan digunakan di banyak institutsi, namun petunjuk untuk pengawasan perioperatif meminta
agar alat monitor tersedia di setiap unit anestesi. Indikasi yang disarankan untuk mengawasi
blokade neuromuscular terdapat di panel 4

Masa Mendatang

Pelatihan

Pelatihan bagi anestetis dan personel anestesi lain merupakan hal yang penting bagi
keselamatan pasien selama anestesi. Pelatihan pada simulator merupakan sebuah pendekatan
yang menjanjikan untuk meningkatkan keselamatan selama anestesi.

Pengawasan

Terdapat bukti yang berkembang bahwa tidak ada alat pengawasan satupun yang dapat
meningkatkan outcome pada ruang operasi atau pada unit perawatan intensif. Kombinasi
pengawasan tekanan darah, ECG, oxymetry denyut, dan capnografi dapat mengidentifikasi
sebagian besar komplikasi kardiovaskular yang berhubungan dengan anestesi. Namun, pada

11
beberapa kelompok pasien, pengawasan yang lebih lanjut (misalnya kateter Swan-Ganz,
echokardiografi esofageal, dilusi indicator transkardiopulmonary, dan dilusi litium) mungkin
dapat membantu meningkatkan keselamatan dan outcome, dan studi lebih lanjut dibutuhkan
untuk mengidentifikasi kriteria untuk pengawasan lebih lanjut tersebut. Selain itu, sebuah
tren terhadap pengawasan invasive minor telah diketahui dalam beberapa tahun terakhir,
contohnya, sekarang sudah dapat diterima secara luas bahwa pengukuran output tidak lagi
membutuhkan kateter Swan-Ganz dan dapat dilakukan secara mudah dengan termodilusi
arteri atau dilusi litium. Validitas pengawasan fungsi kardiovaskular yang meliputi
pengukuran variabel volum untuk preload kardiak dan status pengisian kardiovaskular telah
terbukti selama beberapa tahun ini. Di masa depan, studi klinis akan menempatkan kegunaan
teknologi ini dengan memperhatikan keamanan dan morbiditas yang berhubungan dengan
anestesi serta mortalitas.

Masalah Tambahan

Pertanyaan lain yang berhubungan dengan anestesi membutuhkan perhatian lebih lanjut.
Pemrosesan sinyal elektrofalogram dan potensi pasien terbangun berdampak pada teknik
yang lebih dipercaya untuk mendefinisikan kedalaman anestesi. Terdapat debat mengenai
apakah menggunakan anestesi regional berhubungan dengan atau dapat mengurangi
mortalitas dan morbiditas, dan studi yang lebih lanjut pada area ini harus dikembangkan.

Setelah penerapan penanganan standar bloker β selama periode perioperatif pada


pasien terpilih, metode yang berlainan untuk mengurangi respon stress perioperatif dan
meningkatkan outcome sedang diteliti. Manfaat anestesi regional dalam mengurangi respon
simfatetik, nilai manajemen nyeri, dan peran dari penggunaan awal obat anti-platelet
merupakan tiga topik yang sedang diteliti untuk meningkatkan manajemen medis
perioperatif.

Terdapat bukti yang berkembang bahwa optimisasi peroperatif fungsi organ dapat
meningkatkan outsome perioperatif secara substansial. Di masa depan, dokter anestesi, dokter
bedah, dan dokter spesialis lainnya akan terlibat dalam pendekatan multidisipliner ini,
terutama selama periode keterbatasan ekonomi.

12

Anda mungkin juga menyukai