Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS

Untuk Memenuhi Tugas Individu Profesi Ners Departemen Emergency

RUANG IGD RSUD BANGIL

Oleh:

BRYAN PRASETYO

NIM. 170070301111127

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
1. Definisi
- Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.
(Brunner dan Suddarth, 2002).
- Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula
(glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif
(Arjatmo, 2002).
- Diabetes Melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai
kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan
berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah
disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan
mikroskop elektron. (Arif Mansjoer, 2001)
- Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Diabetes Melitus
adalah peningkatan kadar glukosa dalam darah akibat kekurangan insulin
baik absolut maupun relatif yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi
kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah.

2. Epidemiologi
 Diabetes Melitus Tipe 1 (DM Tipe 1)
Kekerapan DM Tipe 1 di negara barat ±10% dari DM Tipe 2. Di negara
tropik jauh lebih sedikit lagi. Gambaran kliniknya biasanya timbul pada
masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa akil balik. Tetapi ada juga
yang timbul pada masa dewasa.
 Diabates Melitus Tipe 2 (DM Tipe 2)
DM Tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan (lebih dari 90%).
Timbul makin sering setelah umur 30 dengan catatan pada dekade
ketujuh kekerapan diabetes mencapai 3 sampai 4 kali lebih tinggi
daripada rata-rata orang dewasa.
 Diabetes Melitus Tipe Lain
Ada beberapa tipe diabetes yang lain seperti defek genetik fungsi sel
beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang
jarang dan sindroma genetik lain yang berkaitan dengan DM.
 Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes Melitus Gestasional adalah diabetes yang timbul selama
kehamilan. Jenis ini sangat penting diketahui karena dampaknya pada
janin kurang baik bila tidak ditangani dengan benar.

3. Etiologi
1) Diabetes tipe I:
a. Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah
terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA.
b. Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana
antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi
terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai
jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans
dan insulin endogen.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang
menimbulkan destruksi selbeta.
2) Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui.
Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi
insulin.

Faktor-faktor risiko:
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65
tahun)
b. Obesitas dan riwayat keluarga

4. Patofisiologi
Diabetes Tipe I. Pada diabetes tipe ini terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh
proses autoimun. Hipereglikemia-puasa terjadi akibat produksi glukosa yang
tidak terukur oleh hati. Disamping itu glukosa yang berasal dari makanan
tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa
tersebut muncul dalam urine (Glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan
diekskresikan ke dalam urine, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan
dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik.
Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan
mengalami peningkatan dalam berkemih (Poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang
menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan
selera makan (Polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya
mencakup kelelahan dan kelemahan.
Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan
glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru
dari asam-asam amino serta substansi lain), namun pada penderita defisiensi
insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turun
menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak
yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan
produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan.
Ketoasidosis diabetik yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda
dan gejala seperti hiperventilasi, napas bau aseton dan bila tidak ditangani
akan mengakibatkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian.
Diabetes Tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin yaitu retensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut,
terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel.
Retensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel
ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi retensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam
darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada
penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi
insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat
yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian jika sel-sel beta tidak
mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II (Sylvia, 2006).

5. Klasifikasi
1) IDDM (Insulin Dependent Diabetes Millitus) atau diabetes tipe 1
Sangat tergantung pada insulin. Disebabkan oleh kerusakan sel beta
pankreas sehingga tubuh tidak dapat memproduksi insulin alami untuk
mengontrol kadar glukosa darah.
2) NIDDM (Non-Insulin Dependent Diabetes Millitus) atau diabetes tipe 2
Tidak tergantung insulin. Disebabkan oleh gangguan metabolisme dan
penurunan fungsi hormon insulin dalam mengontrol kadar glukosa darah
dan hal ini bisa terjadi karena faktor genetik dan juga dipicu oleh pola
hidup yang tidak sehat.
3) Gestational Diabetes
Disebabkan oleh gangguan hormonal pada wanita hamil.
Diabetes melitus (gestational diabetes mellitus, GDM) juga melibatkan
suatu kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin
yang tidak cukup, sama dengan jenis-jenis kencing manis lain. Hal ini
dikembangkan selama kehamilan dan dapat meningkatkan atau
menghilang setelah persalinan. Walaupun demikian, tidak menutup
kemungkinan diabetes gestational dapat mengganggu kesehatan dari
janin atau ibu, dan sekitar 20%–50% dari wanita-wanita dengan Diabetes
Melitus gestational sewaktu-waktu dapat menjadi penderita.
Table 1. Perbedaan diabetes tipe 1 dengan tipe 2.

Diabetes Mellitus tipe 1 Diabetes Mellitus tipe 2


Penderita menghasilkan sedikit insulin atau Pankreas tetap menghasilkan
sama sekali tidak menghasilkan insulin insulin, kadang kadarnya lebih tinggi
dari normal. Tetapi tubuh
membentuk kekebalan terhadap
efeknya, sehingga terjadi
kekurangan insulin relatif
Umumnya terjadi sebelum usia 30 tahun, Bisa terjadi pada anak-anak dan
yaitu anak-anak dan remaja. dewasa, tetapi biasanya terjadi
setelah usia 30 tahun
Para ilmuwan percaya bahwa faktor Faktor resiko untuk diabetes tipe 2
lingkungan (berupa infeksi virus atau faktor adalah obesitas dimana sekitar 80-
gizi pada masa kanak-kanak atau dewasa 90% penderita mengalami obesitas.
awal) menyebabkan sistem kekebalan
menghancurkan sel penghasil insulin di
pankreas. Untuk terjadinya hal ini
diperlukan kecenderungan genetik.
90% sel penghasil insulin (sel beta) Diabetes Mellitus tipe 2 juga
mengalami kerusakan permanen. Terjadi cenderung diturunkan secara
kekurangan insulin yang berat dan genetik dalam keluarga
penderita harus mendapatkan suntikan
insulin secara teratur
Sumber: Brunner & Suddarth, 2002

6. Gejala Klinis
Gejala dari penderita Diabetes mellitus yaitu 3P:
 Poliuria : Peningkatan dalam berkemih
 Polidipsia : Peningkatan rasa haus
 Poliphagia : Peningkatan selera makan
Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya
ketahanan selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang
terkontrol lebih peka terhadap infeksi.
Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan
penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan berat badan.
Sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak mengalami penurunan berat
badan.
Gejala klinis pada pasien diabetes berdasarkan klasifikasi (Brunner dan
Suddarth, 2002):
a. Diabetes tipe I atau IDDM
 Awitan terjadi pada segala usia, tetapi biasanya usia muda (<30
tahun).
 Biasanya bertubuh kurus pada saat didiagnosis, dengan
penurunan berat yang baru saja terjadi.
 Etiologi mencakup faktor genetik, imunologi atau lingkungan
(misalnya virus).
 Sering memiliki antibodi sel pulau Langarhans.
 Sering memiliki antibodi terhadap insulin sekalipun belum pernah
mendapatkan terapi insulin.
 Sedikit atau tidak mempunyai insulin endogen.
 Memerlukan insulin untuk mempertahannkan kelangsungan hidup.
 Cenderung mengalami ketosis jika tidak memiliki insulin.
 Komplikasi akut hiperglikemia: ketoasidosis diabetik
b. Diabetes tipe II atau NIDDM
 Awitan terjadi di segala usia , biasanya di atas 30 tahun.
 Biasanya bertubuh gemuk (obese) pada saat didiagnosis.
 Etiologi mencakup faktor obesitas, herediter atau lingkungan.
 Tidak ada antibodi sel pulau Langarhans.
 Penurunan produksi insulin endogen atau peningkatan resistensi
insulin.
 Mayoritas penderita obesitas dapat mengendalikan kadar glukosa
darahnya melalui penurunan berat badan.
 Agens hipoglikemia oral dapat memperbaiki kadar glukosa darah
bila modifikasi diet dan pelatihan tidak berhasil.
 Mungkin memerlukan insulin dalam waktu yang pendek atau
panjang untutk mencegah hiperglikemia.
 Ketosis jarang terjadi kecuali bila dalam keadaan stress atau
menderita infeksi.
 Komplikasi akut: sindrom hiperosmoler non ketotik.
c. Gestasional diabetes
 Awitan selama kehamilan biasanya terjadi pada trimester kedua
atau ketiga.
 Disebabkan oleh hormon yan disekresikan plasenta dan
menghambat kerja insulin.
 Risiko terjadinya komplikasi perinatal diatas normal, khususnya
makrosomia (bayi yang secara abnormal berukuran besar).
 Diatasi dengan diet, dan insulin (jika diperlukan) untuk
mempertahankan secara ketat kadar glukosa darah normal.
 Terjadi pada sekitar 2%-5% dari seluruh kehamilan.
 Intoleransi glukosa terjadi untuk sementara waktu tetapi dapat
kambuh kembali: pada kehamilan berikutnya, 30-40% akan
mengalami diabetes yang nyata (biasanya tipe II) dalam waktu
sepuluh tahun (jika obesitas).
 Faktor risiko mencakup: obesitas, usia diatas 30 tahun, riwayat
diabetes dalam keluarga, pernah melahirkan bayi yang besar
(lebih dari 4,5 kg)
 Pemeriksaan skrining (tes toleransi) harus dilakukan pada SEMUA
wanita hamil dengan usia kehamilan di antara 24-28 minggu.
d. Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom
lainnya
 Disertai dengan keadaan yang diketahui atau dicurigai dapat
menyebabkan penyakit: pankreatitis; kelainan hormonal; obat-obat
seperti glikokortikoid dan preparat yang mengandung estrogen
panyandang diabetes.
 Bergantung pada kemampuan pankreas untuk menghasilkan
insulin; pasien mungkin memerlukan terapi dengan obat oral atau
insulin.

7. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala dan wajah
- Inspeksi: adanya katarak pada mata, wajah pasien pucat,
pernafasan cuping hidung, mukosa bibir kering.
b. Dada
- Inspeksi: terdapat retraksi interkostal, RR > 20 x/menit
c. Ekstremitas
- Inspeksi: kulit kering.
- Palpasi: turgor kulit tidak elastis (kembali > 2 detik), tonus otot
menurun.

8. Pemeriksaan Diagnostik
 Pemeriksaan diagnosis
 Glukosa darah: meningkat 200-100 mg/dL, atau lebih.
 Aseton plasma (keton): positif secara mencolok.
 Asam lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meningkat.
 Osmolaritas serum: meningkat tetapi biasanya kurang dari
330mOsm/l.
 Elektrolit:
 Natrium: mungkin normal, meningkat atau menurun.
 Kalium: normal atau peningkatan semu (perpindahan
seluler), selanjutnya akan menurun.
 Fosfor: lebih sering menurun.
 Hemoglobin glikosilat: kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari
normal yang mencerminkan kontrol DM yang kurang selama 4
bulan terakhir (lama hidup SDM) dan karenanya sangat
bermanfaat dalam membedakan DKA dengan kontrol tidak
adekuat versus DKA yang berhubungan dengan insiden.

 Pemeriksaan mikroalbumin
Mendeteksi komplikasi pada ginjal dan kardiovaskular
Nefropati Diabetik
 Salah satu komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit diabetes
adalah terjadinya nefropati diabetik, yang dapat menyebabkan
gagal ginjal terminal sehingga penderita perlu menjalani cuci
darah atau hemodialisis.
 Nefropati diabetik ditandai dengan kerusakan glomerolus ginjal
yang berfungsi sebagai alat penyaring.
 Gangguan pada glomerulus ginjal dapat menyebabkan lolosnya
protein albumin ke dalam urine.
 Adanya albumin dalam urin (albuminoria) merupakan indikasi
terjadinya nefropati diabetik.
Manfaat pemeriksaan Mikroalbumin (MAU)
 Diagnosis dini nefropati diabetik.
 Memperkirakan morbiditas penyakit kardiovaskular dan mortalitas
pada pasien DM.
Jadwal pemeriksaan Mikroalbumin
 Untuk DM Tipe 1, diperiksa pada masa pubertas atau setelah 5
tahun didiagnosis DM.
 Untuk DM tipe 2
o Untuk pemeriksaan awal setelah diagnosis ditegakkan.
o Secara periodik setahun sekali atau sesuai petunjuk
dokter.
 Pemeriksaan HbA1C atau pemeriksaan A1C
Dapat Memperkirakan Risiko Komplikasi Akibat DM
HbA1c atau A1C
 Merupakan senyawa yang terbentuk dari ikatan antara glukosa
dengan hemoglobin (glycohemoglobin).
 Jumlah A1C yang terbentuk, tergantung pada kadar glukosa
darah.
 Ikatan A1c stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai
dengan sel darah merah).
 Kadar A1C mencerminkan kadarglukosa darah rata-rata dalam
jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemriksaan.
Manfaat pemeriksaan A1C
 Menilai kualitas pengendalian DM.
 Menilai efek terapi atau perubahan terapi setelah 8-12 minggu
dijalankan.
Tujuan Pemeriksaan A1C
Mencegah terjadinya komplikasi (kronik) diabetes karena:
 A1C dapat memperkirakan risiko berkembangnya komplikasi
diabetes.
 Komplikasi diabetes dapat muncul jika kadar glukosa darah terus
menerus tinggi dalam jangka panjang.
 Kadar glukosa darah rata-rata dalam jangka panjang (2-3 bulan)
dapat diperkirakan dengan pemeriksaan A1C.
Jadwal pemeriksaan A1C
 Untuk evaluasi awal setelah diagnosis DM dipastikan.
 Secara periodik (sebagai bagian dari pengelolaan DM) yaitu:
 Setiap 3 bulan (terutama bila sasaran pengobatan belum
tercapai).
 Minimal 2 kali dalam setahun.

Table 1. Summary of American Diabetes Association Recommendations for


Adults with Diabetes
Glycemic control
1. A1C <7.0%* for patients in general
2. A1C <6.0% (as close to normal as possible without significant hypoglycemia)
for the individual patient
3. Preprandial capillary plasma glucose 90–130 mg/dl
4. Peak postprandial capillary plasma glucose (1-2 h after the beginning of the
meal) <180 mg/dl
Blood pressure
1. <130/80 mmHg
Lipids
1. LDL <100 mg/dl (ideally <70 mg/dl)
2. Triglycerides <150 mg/dl
3. HDL >40 mg/dl in men, >50 mg/dl in women
*Referenced to a nondiabetic range of 4.0–6.0% using a DCCT-based assay.
Sumber: http://www.endotext.org/diabetes/diabetes20/ch01s03.html
9. Kriteria Diagnosis
Kriteria Diagnostik Gula darah (mg/dL)
Bukan Diabetes Pra Diabetes Diabetes
Puasa < 110 110-125 > 126
Sewaktu < 110 110-199 > 200

Table 2. kriteria diagnostik gula darah


Sumber : Brunner & Suddarth, 2002.
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan
Bukan Belum
metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan DM
DM pasti DM
diagnosis DM (mg/dl).
Kadar glukosa darah sewaktu:
Plasma vena <110 110 - 199 >200
Darah kapiler <90 90 - 199 >200
Kadar glukosa darah puasa:
Plasma vena <110 110 - 125 >126
Darah kapiler <90 90 - 109 >110
Tabel 3. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik
sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl).

10. Terapi
A. Penyuluhan
Edukasi DM adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan
dan keterampilan bagi penderita DM dengan tujuan merubah prilaku
pasien untuk meningkatkan pemahaman tentang penyakitnya.
B. Perencanaan makanan (Diet)
Penatalaksanaan nutrisi pada diabetes diarahkan untuk mencapai
tujuan berikut:
1) Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin
dan mineral).
2) Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai.
3) Memenuhi kebutuhan energi.
4) Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-
cara yang aman dan praktis.
5) Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat.
C. Farmakologis, berupa:
1) Obat Hipoglikemik Oral
a. Sulfonilurea, obat golongan sulfonilurea bekerja dengan cara:
 Menstimulasi pengelepasan insulin yang tersimpan.
 Menurunkan ambang sekresi insulin.
 Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa.
Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan berat
badan normal dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya
sedikit lebih.
Klorpropamid kurang dianjurkan pada kaedaan insufisiesi
renal dan orang tua karena risiko hipoglikemia yang
berkepanjangan, demikian juga glibenklamid. Untuk orang tua
dianjurkan preparat dengan waktu kerja pendek (tolbutamid,
glikuidon). Glikuidon juga diberikan pada pasien DM dengan
gangguan fungsi ginjal atau hati ringan.
b. Biguanid
Biguanid menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai
dibawah normal. Preparat yang ada dan aman adalah metformin.
Obat ini dianjurkan untuk pasien gemuk (Indek Masa Tubuh/IMT
>30) sebagai obat tunggal. Pada pasien dengan berat lebih (IMT
27-30), dapat dikombinasi dengan obat golongan sulfonilurea.
c. Inhibitor α glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α
glukosidase didalam saluran cerna, sehingga menurunkan
penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia
pascaprandial.

2) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
 Penurunan berat badan yang cepat.
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis.
 Ketoasidosis diabetik.
 Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik.
 Hiperglikemia dengan asidosis laktat.
 Gagal dengan kombinasi obat hipoglikemik oral (OHO) dosis
hampir maksimal.
 Stres berat (Infeksi sitemik, operasi besar, IMA, stroke).
 Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali.
 Gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat.
 Kontraindikasi atau alergi tarhadap OHO.
Jenis dan lama kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni :
 Insulin kerja cepat (rapid acting insulin).
 Insulin kerja pendek (short acting insulin).
 Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin).
 Insulin kerja panjang (long acting insulin).
 Insulin campuran tetap (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin
 Efek samping utama dari terapi insulin adalah terjadinya
hipoglikemia.
 Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Cara penyuntikan insulin
o Insulin umumnya diberikan dengan suntikan dibawah kulit
(subkutan). Dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap
permukaan kulit.
o Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena
secara bolus atau drip.
o Terdapat sediaan insulin campuran (Mixed Insulin) antara insulin
kerja pendek dan kerja menengah, dengan perbandingan dosis
yang tertentu. Apabila tidak terdapat sediaan insulin campuran
tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat
dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut.
o Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara penyinpanan
insulin harus dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai
rotasi tempat suntik.
o Apabila diperlikan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit
insulin dan jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh
diabetisi yang sama.
D. Manfaat Olahraga bagi Diabetisi :
 Mengendalikan kadar glukosa darah
 Menurunkan kelebihan berat badan (mencegah kegemukan)
 Membantu mengurangi stres
 Memperkuat otot dan jantung
 Meningkatkan kadar kolesterol ‘baik’ (HDL)
 Membantu menurunkan tekanan darah
E. Perawatan dirumah, sebagai seorang diabetesi sering mengalami
gangguan sirkulasi pada kaki sehingga mudah terkena infeksi bakteri
dan jamur sehingga perlu perawatan kaki. Perawatan tersebut meliputi:
 Hentikan kebiasaan merokok
 Periksa jari kaki dan celahnya setiap hari, apakah terdapat kalus,
bula, luka lecet, gunakan cermin untuk melihat telapak kaki dan celah
jari kaki.
 Bersihkan dan cuci kaki setiap hari, lalu keringkan dengan baik
terutama dicelah jari kaki.
 Pakailah krim khusus untuk kulit yang kering, tetapi hindari
pemakaian pada celah jari kaki.
 Jangan menggunakan bahan kimia untuk menghilangkan kalus.
 Hindari penggunaan air panas atau bantal pemanas.
 Potonglah kuku secara hati-hati dan jangan terlalu dalam.
 Pakailah kaos kaki yang pas bila kaki terasa dingin, ganti kaos kaki
setiap hari.
 Jangan berjalan tanpa alas kaki.
 Pakailah sepatu dari kulit yang cocok untuk kaki.
 Periksa bagian dalam sepatu setiap hari sebelum memakainya,
periksa adanya benda asing.
 Hindari trauma yang berulang.
 Periksa dini rutin ke dokter dan periksa kaki anda setiap kali kontrol
walaupun ulkus/gangren telah sembuh.

11. Komplikasi
Ada tiga komplikasi akut pada diabetes yang penting dan berhubungan
dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek. Ketiga
komplikasi tersebut adalah hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, dan sindrom
HNNK (Hiperglikemik Hiperosmoler Nonketotik atau HONK/Hiperosmoler
Nonketotik).
a. Hipoglikemia (Reaksi Insulin)
Hipoglikemia (kadar glukosa darah yang abnormal rendah) terjadi kalau
kadar glukosa darah turun di bawah 50 hingga 60 mg/dL (2,7 hingga 3,3
mmol/L). keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat
oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena
aktivitas fisik yang berat. Tanda-tanda gangguan fungsi system saraf
pusat mencakup ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo,
konfusi, penurunan daya ingat, patirasa di daerah bibir serta lidah, bicara
pelo, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang
tidak rasional, penglihatan ganda dan rasa ingin pingsan. Kombinasi
semua gejala ini (disamping gejala adrenergik) dapat terjadi pada
hipoglikemia sedang.
Pada hipoglikemia berat, fungsi sistem saraf pusat mengalami gangguan
yang sangat berat sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain
untuk mengatasi hipoglikemia yang dideritanya. Gejalanya dapat
mencakup perilaku yang mengalami disorientasi, serangan kejang, sulit
dibangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan kesadaran.
b. Diabetes Ketoasidosis
Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak
cukupnya jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan
gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga
gambaran klinis yang penting pada diabetes ketoasidosis: dehidrasi,
kehilangan elektrolit, asidosis. Ketosis dan asidosis merupakan ciri khas
diabetes ketoasidosis menimbulkan gejala gastrointestinal seperti
anoreksia, mual, muntah dan nyeri abdomen. Nafas pasien mungkin
berbau aseton (bau manis spereti buah) sebagai akibat dari peningkatan
kadar badan keton. Selain itu hiperventilasi (disertai pernafasan yang
sangat dalam tetapi tidak berat/sulit). Pernafasan kussmaul ini
menggambarkan upaya tubuh untuk mengurangi asidosis guna melawan
efek dari pembentukan badan keton. Perubahan status mental pada
ketoasidosis diabetik bervariasi antara pasien yang satu dan yang
lainnya. Pasien dapat terlihat sadar, mengantuk (letargik) atau koma, hal
ini tergantung pada osmolaritas plasma (konsentrasi partikel aktif
-osmotis).
c. Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik (HHNK)
Merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan
hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran (sense of
awareness). Salah satu perbedaan utama antara sindrom HHNK dan
DKA adalah tidak terdapatnya ketosis dan asidosis pada sindrom HHNK.
Perbedaan jumlah insulin yang terdapat dalam masing-masing keadaan
ini dianggap penyebab parsial diatas. Pada hakikatnya, insulin tidak
terdapat pada DKA. Dengan demikian terjadi penguraian simpanan
glukosa, protein, lemak (penguraian nutrient yang disebut terakhir ini akan
menghasilkan badan keton dan selanjutnya akan terjadi ketoasidosis).
Pada sindrom HHNK, kadar insulin tidak rendah, meskipun tidak cukup
untuk mencegah hiperglikemia (dan selanjutnya dieresis osmotik).
Namun, sejumlah kecil insulin ini cukup untuk mencegah pemecahan
lemak. Penderita sindrom HHNK tidak akan mengalami gejala sistem
gastrointestinal yang berhubungan dengan ketosis seperti pada penderita
DKA. Pasien yang mengalami sindrom HHNK biasanya dapat
mentoleransi poliuria dan polidipsia selama berminggu-minggu dan
setelah terjadi perubahan neurologis atau setelah penyakit yang
mendasarinya semakin berat, barulah pasien (atau yang lebih sering lagi,
anggota keluarga atau petugas perawatan kesehatan primer) datang
untuk meminta pertolongan medis. Jadi, keadaan hiperglikemia dan
dehidrasi yang lebih parah pada sindrom HHNK, terjadi akibat
penanganan yang lambat.
Gambaran klinis sindrom HHNK terdiri atas gejala hipotensi, dehidrasi
berat (membrane mukosa kering, turgor kulit jelek), takikardi, dan tanda-
tanda neurologis yang bervariasi (perubahan sensori, kejang-kejang,
hemiparesis). Keadaan ini makin serius dengan angka mortalitas yang
berkisar dari 5% hingga 30% dan biasanya berhubungan dengan
penyakit yang mendasarinya.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2. Jakarta:


EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 2004. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Doenges, Marylin E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta:
EGC.

Guyton & Hall. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC.

Hudak & Gallo. 2002. Keperawatan Kritis. Volume II. Jakarta: EGC.

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta : Media
Aesculapius.

Price, Sylvia, Wilson.2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta : EGC.

Available at: http://www.endotext.org/diabetes/diabetes20/ch01s03.html. Diakses


tanggal 10 September 2009.
Available at: http://www.labormedpharma.ro/eng/searchmeds.php?
key=g.
Diakses tanggal 23 September 2009.

Available at: http://blog.seniors-site.com/insulin-death. Diakses tanggal 23


September 2009.

Available at: http://www.tgnyc.org/2005/NYC051907//Invention%203(final).htm.


Diakses tanggal 10 September 2009.

Anda mungkin juga menyukai