Bahan Buta Warna
Bahan Buta Warna
PENDAHULUAN
1
yaitu tidak terlihat waktu lahir, biasanya berjalan progresif, dan mengenai satu mata
lebih dari mata sebelahnya (Ilyas,2004).
Abnormalitas penglihatan warna tidak banyak mempengaruhi kehidupan awal
manusia seperti pada masa kanak-kanak, karena tidak disertai oleh kelainan
tajam penglihatan. Abnormalitas penglihatan warna mulai mempengaruhi ketika anak
dihadapkan pada persyaratan untuk masuk jurusan tertentu yang buta warna menjadi
salah satu kriteria seperti kedokteran, teknik, design grafis, dan lain-lain. Oleh karena
hal tersebut, identifikasi dini kelainan buta warna perlu dilakukan untuk membimbing
anak dalam menentukan jenjang pendidikannya kelak (Ilyas,2004).
Dengan mengetahui genetik sebagai salah satu penyebabnya, kita dapat
mencegah peningkatan kasus buta warna seperti misalnya dengan melakukan
konseling pranikah. Tidak terbukti bahwa penderita defek penglihatan warna dapat
melihat pada keadaan gelap karena tidak terbukti sel batang akan menggantikan posisi
sel kerucut yang hilang. Kejadian Buta Warna meningkat pada pool genetik dengan
perkawinan diantara satu komunitas terisolir. Hal ini berpeluang untuk
terjadinya peningkatan prevalensi penderita buta warna yang memiliki kecenderungan
herediter. Prevalensi Buta Warna menunjukkan jumlah penderita buta warna dalam
satu populasi dalam satu periode tertentu (Daniel, 2002).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Buta warna adalah penglihatan warna-warna yang tidak sempurna. Buta warna
juga dapat diartikan sebagai suatu kelainan penglihatan yang disebabkan
ketidakmampuan sel-sel kerucut (cone cell) pada retina mata untuk menangkap suatu
spektrum warna tertentu sehingga objek yang terlihat bukan warna yang
sesungguhnya (Nina Karina, 2007).
Buta warna sebenarnya adalah ketidakmampuan seseorang untuk membedakan
warna tertentu. Orang tersebut biasanya tidak buta semua warna melainkan warna-
warna tertentu saja. Meskipun demikian ada juga orang yang sama sekali tidak bisa
melihat warna jadi hanya tampak sebagai hitam, putih dan abu abu saja (kasus seperti
ini sangat jarang terjadi). Normalnya, sel kerucut (cone) di retina mata mempunyai
spektrum terhadap tiga warna dasar, yaitu merah, hijau dan biru. Pada orang yang
mempunyai sel-sel kerucut yang sensitif untuk tiga jenis warna ini, maka ia dikatakan
normal. Normalnya, sel kerucut (cone) di retina mata mempunyai spektrum terhadap
tiga warna dasar,yaitu merah, hijau dan biru.
3
Gambar 2.1 Anatomi Mata
Isi pada Bulbus Oculli terdiri dari:
a. Humor Aques, zat cair yang mengisi antara kornea dan lensa kristalina,
dibelakang dan di depan iris.
b. Lensa Kristalina, yang diliputi oleh Capsula Lentis dengan Ligmentum
Suspensorium Lentis untuk berhubungan dengan Corpus Ciliaris.
c. Corpus Vitreum, badan kaca yang mengisi ruangan antara lensa dengan retina.
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis
yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata, mengandung
reseptor yang menerima rangsangan cahaya (Ilyas, 2008). Menurut Guyton & Hall
(1997), retina merupakan bagian mata yang peka terhadap cahaya, mengandung sel-
sel kerucut yang berfungsi untuk penglihatan warna dan sel-sel batang yang terutama
berfungsi untuk penglihatan dalam gelap. Retina terdiri atas pars pigmentosa
disebelah luar dan pars nervosa di sebelah dalam. Permukaan luar retina sensorik
bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga bertumpuk dengan
membrana Bruch, khoroid, dan sclera, dan permukaan dalam berhubungan dengan
corpus vitreum (Snell, 2006).
Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut:
1. Membrana limitans interna
2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan
menuju ke nervus optikus
3. Lapisan sel ganglion
4
4. Lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung sambungan-sambungan sel
ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar
5. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal
6. Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan-sambungan sel bipolar
dan sel horizontal dengan fotoreseptor
7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor
8. Mambrana limitans eksterna
9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar sel kerucut
10. Epithelium pigmen retina. Lapisan dalam membrane Bruch sebenarnya adalah
membrane basalis epithelium pigmen retina (Vaughan, 2000).
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub
posterior (Vaughan, 2000). Tiga per empat posterior retina merupakan organ reseptor.
Pinggir anteriornya membentuk cincing berombak, disebut ora serrata, yang
merupakan ujung akhirpars nervosa. Bagian anterior retina bersifat tidak peka dan
hanya terdiri atas sel-sel berpigmen dengan lapisan silindris di bawahnya. Bagian
anterior retina ini menutupi prosessus siliaris dan belakang iris (Snell, 2006).
Pada pertengahan bagian posterior retina terdapat daerah lonjong kekuningan,
disebut macula lutea, yang merupakan area retina dengan daya lihat paling jelas
(Snell, 2006). Secara klinis, makula adalah daerah yang dibatasi oleh arkade-arkade
pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula, sekitar 3,5 mm di sebelah lateral
diskus optikus, terdapat lekukan, disebut fovea centralis. Secara histologis, fovea
ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan tidak adanya lapisan-lapisan
parenkim karena akson-akson sel fotoreseptor (lapisan serat Henle) berjalan oblik dan
pengeseran secara sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat ke permukaan dalam
retina. Foveola adalah bagian paling tengah pada fovea, di sini fotoreseptornya adalah
sel kerucut, dan bagian retina paling tipis (Vaughan, 2000).
Retina menerima darah dari dua sumber khoriokapilaria yang berada tepat
diluar membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan
pleksiformis luar dan lapisan inti luar, foto reseptor, dan lapisan epitel pigmen retina;
serta cabang-cabang dari arteri sentralis retina, yang mendarahi dua per tiga sebelah
dalam (Vaughan, 2000).
5
Reseptor di Mata
Reseptor penglihatan adalah sel-sel di conus (sel kerucut) dan basilus (sel
batang). Conus terutama terdapat dalam fovea dan penting untuk menerima rangsang
cahaya kuat dan rangsang warna. Sel-sel basilus tersebar pada retina terutama di luar
makula dan berguna sebagai penerima rangsang cahaya berintensitas rendah. Oleh
karena itu dikenal dua mekanisme tersendiri di dalam retina (disebut dengan Teori
Duplisitas), yaitu :
a. Penglihatan Photop, yaitu mekanisme yang mengatur penglihatan sinar pada
siang hari dan penglihatan warna dengan conus
b. Penglihatan Scotop, yaitu mekanisme yang mengatur penglihatan senja dan
malam hari dengan basilus
6
Gambar 2.4 Gradasi Warna
7
Gambar 2.5 Peragaan besarnya rangsangan yang timbul pada berbagai sel
kerucut yang peka terhadap warna oleh cahaya monokromatik dari warna
biru, hijau, kuning, dan jingga
8
mengalami kerusakan pada 1 jenis pigmen kerucut. Kerusakan pada 2 pigmen sel
kerucut akan menyebabkan orang hanya mampu melihat satu komponen yang disebut
monokromat. Pada keadaan tertentu dapat terjadi seluruh komponen pigmen warna
kerucut tidak normal sehingga pasien tidak dapat mengenal warna sama sekali yang
disebut sebagai akromatopsia (Ilyas, 2008).
2.3. Etiologi
Buta warna adalah kondisi yang diturunkan secara genetik. Dibawa oleh
kromosom X pada perempuan, buta warna diturunkan kepada anak-anaknya. Ketika
seseorang mengalami buta warna, mata mereka tidak mampu menghasilkan
keseluruhan pigmen yang dibutuhkan untuk mata berfungsi dengan normal. Cacat
mata ini merupakan kelainan genetik yang diturunkan oleh ayah atau ibu.
Dari semua jenis buta warna, kasus yang paling umum adalah anomalus
trikromasi, khususnya deutranomali, yang mencapai angka 5% dari pria. Sebenarnya,
penyebab buta warna tidak hanya karena ada kelainan pada kromosom X, namun
dapat mempunyai kaitan dengan 19 kromosom dan gen-gen lain yang berbeda dan
resesif bila ada kelainan pada makula dan saraf optic. Beberapa penyakit yang
diturunkan seperti distrofi sel kerucut dan akromatopsia juga dapat menyebabkan
seseorang menjadi buta warna (Anonim, 2008).
Gen buta warna terkait dengan dengan kromosom X (X-linked genes). Jadi
kemungkinan seorang pria yang memiliki genotif XY untuk terkena buta warna secara
turunan lebih besar dibandingkan wanita yang bergenotif XX untuk terkena buta
warna. Jika hanya terkait pada salah satu kromosom X nya saja, wanita disebut
carrier atau pembawa, yang bisa menurunkan gen buta warna pada anak-anaknya.
Menurut salah satu riset 5-8% pria dan 0,5% wanita dilahirkan buta warna. Dan 99%
penderita buta warna termasuk dikromasi, protanopia, dan deuteranopia (Nina Karina,
2007).
9
Dua gen yang berhubungan dengan munculnya buta warna adalah OPN1LW
(Opsin 1 Long Wave), yang menyandi pigmen merah dan OPN1MW (Opsin 1 Middle
Wave), yang menyandi pigmen hijau (Samir S. Deeb dan Arno G. Motulsky, 2005).
Buta warna dapat juga ditemukan pada penyakit makula, saraf optik, sedang pada
kelainan retina ditemukan cacat relative penglihatan warna biru dan kuning sedang
kelainan saraf optik memberikan kelainan melihat warna merah dan hijau (Ilyas,
2008).
10
2.4. Klasifikasi dan Gejala Buta Warna
Buta warna dikenal berdasarkan istilah Yunani protos (pertama), deutros
(kedua), dan tritos (ketiga) yang pada warna merah, hijau, dan biru.
1. Anomalous trichromacy
Anomalous trichromacy adalah gangguan penglihatan warna yang dapat
disebabkan oleh faktor keturunan atau kerusakan pada mata setelah dewasa.
Penderita anomalous trichromacy memiliki tiga sel kerucut yang lengkap, namun
terjadi kerusakan mekanisme sensitivitas terhadap salah satu dari tiga sel reseptor
warna tersebut. Pasien buta warna dapat melihat berbagai warna akan tetapi
dengan interpretasi berbeda daripada normal yang paling sering ditemukan
adalah:
a. Trikromat anomali, kelainan terdapat pada short-wavelenght pigment (blue).
Pigmen biru ini bergeser ke area hijau dari spectrum merah. Pasien
mempunyai ketiga pigmen kerucut akan tetapi satu tidak normal, kemungkinan
gangguan dapat terletak hanya pada satu atau lebih pigmen kerucut. Pada
anomali ini perbandingan merah hijau yang dipilih pada anomaloskop berbeda
dibanding dengan orang normal.
b. Deutronomali, disebabkan oleh kelainan bentuk pigmen middle-wavelenght
(green). Dengan cacat pada hijau sehingga diperlukan lebih banyak hijau,
karena terjadi gangguan lebih banyak daripada warna hijau.
c. Protanomali adalah tipe anomalous trichromacy dimana terjadi kelainan
terhadap long-wavelenght (red) pigmen, sehingga menyebabkan rendahnya
sensitifitas warna merah. Artinya penderita protanomali tidak akan mempu
membedakan warna dan melihat campuran warna yang dilihat oleh mata
normal. Penderita juga akan mengalami penglihatan yang buram terhadap
warna spektrum merah. Hal ini mengakibatkan mereka dapat salah
membedakan warna merah dan hitam.
2. Dichromacy
Dichromacy adalah jenis buta warna di mana salah satu dari tiga sel kerucut tidak
ada atau tidak berfungsi. Akibat dari disfungsi salah satu sel pigmen pada kerucut,
seseorang yang menderita dikromatis akan mengalami gangguan penglihatan
terhadap warna-warna tertentu. Diakromatisme, adalah kebutaan tidak sempurna
11
yang menyangkut ketidakmampuan untuk membedakan warna-warna merah dan
hijau. Dichromacy dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan pigmen yang rusak:
a. Protanopia adalah salah satu tipe dichromacy yang disebabkan oleh tidak
adanya photoreceptor retina merah. Pada penderita protonopia, penglihatan
terhadap warna merah tidak ada. Dichromacy tipe ini terjadi pada 1% dari
seluruh pria. Keadaan yang paling sering ditemukan dengan cacat pada warna
merah hijau sehingga sering dikenal dengan buta warna merah - hijau.
12
Gambar Tritanophia
(tidak melihat warna biru dan kuning)
3. Monochromacy
Monochromacy atau akromatopsia adalah kebutaan warna total dimana semua
warna dilihat sebagai tingkatan warna abu-abu. Akromatisme atau Akromatopsia,
adalah keadaan dimana seseorang hanya memiliki sebuah pigmen cones atau
tidak berfungsinya semua sel cones. Pasien hanya mempunyai satu pigmen
kerucut (monokromat rod atau batang). Pada monokromat kerucut hanya dapat
membedakan warna dalam arti intensitasnya saja dan biasanya 6/30. Pada orang
dengan buta warna total atau akromatopsia akan terdapat keluhan silau dan
nistagmus dan bersifat autosomal resesif (Kurnia, 2009).
13
tajam penglihatan kurang dari 6/60, nistagmus, fotofobia, skotoma sentral,
dan mungkin terjadi akibat kelainan sentral hingga terdapat gangguan
penglihatan warna total, hemeralopia (buta silang) tidak terdapat buta senja,
dengan kelainan refraksi tinggi. Pada pemeriksaan dapat dilihat adanya
makula dengan pigmen abnormal.
b. Monokromatisme cone (kerucut), dimana terdapat hanya sedikit cacat, hal
yang jarang, tajam penglihatan normal, tidak nistagmus (Ilyas, 2008).
14
Gambar 2.10 Pemeriksaan Ishihara
Uji Ishihara merupakan uji untuk mengetahui adanya defek penglihatan warna,
didasarkan pada menentukan angka atau pola yang ada pada kartu dengan
berbagai ragam warna (Ilyas, 2008). Menurut Guyton (1997) Metode Ishihara
yaitu metode yang dapat dipakai untuk menentukan dengan cepat suatu kelainan
buta warna didasarkan pada pengunaan kartu bertitik-titik. Kartu ini disusun
dengan menyatukan titik-titik yang mempunyai bermacam-macam warna.
15
Merupakan pemeriksaan untuk penglihatan warna dengan memakai satu seri
gambar titik bola kecil dengan warna dan besar berbeda (gambar
pseudokromatik), sehingga dalam keseluruhan terlihat warna pucat dan
menyukarkan pasien dengan kelainan penglihatan warna melihatnya. Penderita
buta warna atau dengan kelainan penglihatan warna dapat melihat sebagian
ataupun sama sekali tidak dapat melihat gambaran yang diperlihatkan. Pada
pemeriksaan pasien diminta melihat dan mengenali tanda gambar yang
diperlihatkan dalam waktu 10 detik (Ilyas, 2008).
Penyakit tertentu dapat terjadi ganguan penglihatan warna seperti buta warna
merah dan hijau pada atrofi saraf optik, optik neuropati toksi dengan
pengecualian neuropati iskemik, glaukoma dengan atrofi optik yang memberikan
ganguan penglihatan biru kuning (Ilyas, 2008).
b. uji pencocokan benang
Pasien diberi sebuah gelendong benang dan diminta untuk mengambil
gelendong yang warnanya cocok dari setumpuk gelendong yang berwarna-warni
16
2.6. Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan atau tindakan yang dapat dilakukan untuk mengobati
masalahgangguan persepsi warna. Namun penderita buta warna ringan dapat belajar
mengasosiasikan warna dengan objek tertentu. Untuk mengurangi gejala dapat
digunakan kacamata berlensa dengan filter warna khusus yang memungkinkan pasien
melakukan interpretasi kembali warna
Gangguan penglihatan warna yang diturunkan tidak dapat diobati atau
dikoreksi. Beberapa gangguan penglihatan warna yang didapat dapat diobati,
bergantung pada penyebabnya. Sebagai contoh jika katarak merupakan penyebab
gangguan penglihatan warna, operasi untuk mengangkat katarak dapat
mengembalikan penglihatan warna menjadi normal. Beberapa cara untuk membantu
gangguan penglihatan warna, antara lain:
1. Memakai lensa kontak berwarna. Hal ini dapat membantu membedakan warna,
tetapi lensa ini tidak menjadikan penglihatan menjadi normal dan objek yang
dilihat dapat terdistorsi.
2. Memakai kacamata yang memblok sinar yang menyilaukan. Orang dengan
masalah penglihatan dapat membedakan warna lebih baik saat ada penghalang
sinar yang menyilaukan.
2.7. Pencegahan
Tidak ada cara untuk mencegah buta warna genetik. Tidak ada cara juga untuk
mencegah buta warna didapat yang berhubungan dengan penyakit Alzheimer,diabetes
mellitus, leukemia, penyakit hati, degenerasi makular, multipel sklerosis, penyakit
Parkinson, anemia sel bulan sabit, dan retinitis pigmentosa. Beberapa buta warna
didapat dapat dicegah. Membatasi penggunaan alkohol dan obat, seperti antibiotik,
barbiturat, obat anti tuberkulosis, pengobatan tekanan darah tinggi dan beberapa
pengobatan yang digunakan untuk penyakit saraf danpsikologis, ke level yang
dibutuhkan untuk keuntungan terapeutik dapat membatasi buta warna didapat.
17
BAB III
PENUTUP
18
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas HS. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran Edisi
Dua, Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. Jakarta : Sagung Seto. 2002.
Vaughan DG. Asbury T. General Ophthalmology ed. 17th ed, ch. 10. New York: Mc
Graw Hill, Lange, 2008
http://jurnalbidandiah.blogspot.com/2016/04/definisi-buta-warna-mekanisme-
tanda.html#ixzz43dSVGgQP
Ganong, William F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta : EGC.
Hal 158-160.8.
Guyton AC, Hall JE. Physiology . 11th ed. San Fransisco: Elsevier Saunders; 2006. p.
626-639.2.
Guyton and Hall. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Trans dr. Irawati
Setiawan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ilyas, 2008. Buta Warna http://ilyas.blogspot.com/2008/09/18/buta-warna.html. di
akses tanggal 12 Desember 2016.
Ilyas, Sidarta H. 2006. Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Edisi 2.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Ilyas, Sidarta H. 2005. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
19