Anda di halaman 1dari 23

APR

Makalah Informed Consent

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sebagian besar keluhan ketidakpuasan pasien disebabkan komunikasi yang kurang terjalin
baik antara tim medis dengan pasien dan keluarga pasien.
Apakah para pasien perlu sepenuhnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai
apa yang akan diperbuat dalam rangka pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan mereka?
Apakah mereka harus selalu dimintai persetujuan atas apa yang akan dilakukan oleh tenaga
medis kepada mereka? Bukankan pelibatan dan permintaan persetujuan macam itu malah akan
menghambat rencana kerja? Apalagi, bukankah dengan datang kepada dokter atau rumah sakit
mereka telah mempercayakan diri mereka terhadap dokter dan tim medisnya? Seberapa jauh
pasien perlu diberitahu mengenai resiko dan keuntungan dari langkah-langkah pengobatan dan
tindakan-tindakan lain yang harus diambil demi pemulihan kesehatannya? Bagaimana dengan
pasien yang kalau diberitahu toch tidak mengerti apa yang dimaksud, atau pasien yang sengaja
tidak mau tahu tentang keadaan dirinya yang sebenarnya dan pokoknya dibuat enak badan, masih
perlukah mereka diberitahu? Apakah dokter dan tim medis lainnya wajib memberitahukan
kemungkinann resiko yang akan terjadi dan alternatif pengobatan yang bisa diambil terhadap
pasien, atau hal itu hanya dapat diharapkan berdasarkan kebaikan sang dokter? Itulah beberapa
pertanyaan yang kadang muncul dalam praktek pelayanan medis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
erat kaitannya dengan apa yang lazim disebut dengan “informed consent”. Oleh karena itu perlu
kiranya kita mengetahui apa itu “informen consent”.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas yang diberikan pada mata kuliah
Etika Dalam keperawatan, adapun tujuan lainnya yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian informed consent
2. Dasar hukum informed consend
3. Informed consent dalam keperawatan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Informed consent
Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan, seperti
operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap tentang risiko,
manfaat, alternatif, dan akibat penolakan. Informed consent merupakan kewajiban hukum bagi
penyelengara pelayanan kesehatan untuk memberikan informasi dalam istilah yang dimengerti
oleh klien sehingga klien dapat membuat pilihan. Persetujuan ini harus diperoleh pada saat klien
tidak berada dalam pengaruh obat seperti narkotika.
Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan atas informasi
yang diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari pihak-pihak yang terlibat ,
dalam praktek dan penelitian medis, pengertian “informed consent” memuat dua unsur pokok,
yakni:
1. Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan kelinci percobaanmedis) untuk dimintai
persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan kegiatan medis pada
pasien tersebut, khususnya apabila kegiiatan ini memuat kemungkinan resiko yang akan
ditanggung oleh pasien.
2. Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut dan untuk memberikan
informasi seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan rasional dapat diberikan kapada pasien.
Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien untuk menerima
atau menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan atau pemberian informasi
seperlunya oleh tenaga medis (Sudarminta, J. 2001).
Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat diberikan oleh pasien
maka, seperti yang dikemukakan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, dalam
pengertian informed consent terkandung empat unsur, dua menyangkut pengertian informasi
yang perlu diberikan dan dua lainnya menyangkut perngertian persetujuan yang perlu diminta.
Empat unsur itu adalah: pembeberan informasi, pemahaman informasi, persetujuan bebas, dan
kompetensi untuk membuat perjanjian. Mengenai unsur pertama, pertanyaan pokok
yang biasanya muncul adalah seberapa jauh pembeberan informasi itu perlu dilakukan. Dengan
kata lain, seberapa jauh seorang dokter atau tenaga kesehata lainnya memberikan informasi yang
diperlukan agar persetujuan yang diberikan oleh pasien atau subyek riset medis dapat disebut
suatu persetujuan informed. Dalam menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa standar
pembeberan, yakni:
a. Standar praktek profesional (the professional practice standard)
b. Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard)
c. Standar subyektif atau orang perorang (the subjective standard)
Munurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti ”persetujuanyang
diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakanmedik
yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut”. Dari pengertian diatas PTM adalah
persetujuan yang diperoleh sebelum melakukan pemer iksaan, pengobatan atau tindakan
medik apapun yang akan dilakukan.
Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent Informed. Consent hakikatnya
adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan
tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek
perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata
BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjjian yaitu:
a. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
b. Para pihak cakap untuk membuat perikatan
c. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang
undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
B. Sejarah Informed Consent
Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan suatu konsep yang relatif masih baru
dalam sejarah etika medis. Secara histori konsep ini muncul sebagai suati prinsip yang secara
formal ditegaskan hanya setelah Perang dunia ke II, yakni sebagai reaksi dan tindakan lanjut dari
apa yang disebut pengadilan Nuremberg, yakni pengadilan terhadap para penjahat perang zaman
Nazi. Prinsip informed consent merupakan reaksi terhadap kisah-kisah yang mengerikann
tentang pemakaian manusia secara paksa sebagai kelinci percobaan medis di kamp-kamp
konsentrasi. Sejak pengadilan Nuremberg, prinsip inforned consent cukup mendapat perhatian
besar dalma etika biomedis (Sudarminta, J. 2001).
Dalam hukum Inggris-Amerika, akjaran tentang informed consent juga berkaitan dengan
kasus-kasus malpraktek yang melibatkan perbuatan tertentu pada tubuh pasien yang kompeten
tanpa persetujuannya dalam kasus tersebut dipandang tidak dapat diterima lepas dari
pertimbangan kualitas pelayanan. Mengingat pentingnya informed consent dalam pelayanan
medis, maka dalam salah satu butir panduan (yakni butir No. 11) dan butir-butir panduan etis
untuk Lembaga-lembaga Pelayanan Medis Katolik di Amerika terdapat pernyataan sebagai
berikut.
Pasien adalah pembuat keputusan utama dalam semua pilihan yang berhubungan dengan
kesehatan dan perawatannya, ini berarti ia adalah pembuat keputusan pertama, orang yang
diandaikan memprakarsai keputusan berdasarkan keyakinan hidup dan nilai-nilainya.
Sedangkan pembuat keputusan sekunder lainnya juga mempunyai tanggung jawab. Jika secara
hukum pasien tidak mampu membuat keputusan atau mengambil inisiatif, seorang pelaku yang
lain yang menggantikan pasien. Biasanya keluarga pasien, kecuali kalau sebelumnya pasien
telah menunjuk orang lain yang bertanggung jawab untuk berusaha menentukan apa yang
kiranya akan dipilih oleh pasien, atau jika itu tidak mungkin, berusaha dipilih apa yang paling
menguntungkan bagi pasien.
Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga merupakan pembuat keputusan kedua,
dengan tanggung jawab menyediakan pertoongan dan perawatan untuk pasien sejauh itu sesuai
dengan keyakinan hidup dan nilai-nilai mereka. Kebijakan dan praktek rumah sakit harus
mengakui serangkai tanggung jawab ini. Para pemegang profesi pelayanan kesehatan
bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang mencukupi dan untuk memberikan
dukungan yang memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu memberikan keputusan yang
dilandasi pengetahuan mengenai perawatan yang mestinya dijalani. Perlu disadari bahwa
bantuan dalam profesi pengambilan keputusan merupakan bagian penting dalam perawatan
kesehatan. Kebijakan dan dokumen mengenai informed consent haruslah diupayakan untuk
meningkatkan dan melindungi otanomi pasien, bukan pertama-tama melindungi rumah sakit dan
petugas pelayanan medis dari perkara pengaduan hukum.
C. Fungsi informed consent
Menurut Katz & Capran, fungsi informed Consent :
• promosi otonomi individu.
• Proteksi terhadap pasien dan subjek.
• Menghindari kecurangan, penipuan dan paksaan.
• Mendorong adanya penelitian yang cermat.
• Promosi keputusan yang rasional
• Menyertakan publik.
Semua tindakan medik/keperawatan yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
Persetujuan :
• Persetujuan ; Tertulis maupun lisan.
• Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat.
• Cara penyampaian informasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi
pasien.
• Setiap tindakan yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan, selain itu dengan
lisan.
D. Dasar Hukum dan Informed Consent Keperawatan
1. Dasar hukum informed consent
 UU No. 32 Tahun 1992 tentang Kesehatan
 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang tenaga Kesehatan
 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159 b/Menkes/SK/Per/II/1998 Tentang RS
 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749A/Menkes/Per/IX/1989 tentang Rekam medis/ Medical
record
 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan
Medis
 Kep Menkes RI No. 466/Menkes/SK dan standar Pelayanan Medis di RS
 Fatwa pengurus IDI Nomor: 139/PB/A.4/88/Tertanggal 22 Februari 1988 Tentang Informed
Consent
 Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 Tertanggal 16 juni 1981Tentang Bedah Mayat
Klinik dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia

2. Informed Consent Keperawatan


Tidak meratanya penyebaran tenaga dokter di pedesaan mengakibatkan tenaga
keperawatan melakukan intervensi medik bukan intervensi perawatan. Mengingat perawat
sebagai tenaga kesehatan terdepan dalam pelayanan kesehatan di masyarakat, Pemerintah
menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor HK.02/Menkes/148/2010
Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Pasal 8 ayat (3) Permenkes menyebutkan
praktik keperawatan meliputi pelaksanaan asuhan keperawatan, pelaksanaan upaya promotif,
preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat dan pelaksanaan tindakan keperawatan
komplementer. dari pasal tersebut menunjukkan aktivitas perawat dilaksanakan secara mandiri
(independent) berdasar pada ilmu dan asuhan keperawatan, dimana tugas utama adalah merawat
(care) dengan cara memberikan asuhan keperawatan (nurturing) untuk memuaskan kebutuhan
fisiologis dan psikologis pasien. Dengan kata lain, perawat memiliki hubungan langsung dengan
pasien secara mandiri. Hubungan langsung antara perawat dengan pasien utamanya terjadi di
rumah atau puskesmas yang mendapatkan rawat inap atau pasien yang mendapatkan perawatan
di rumah, home care.
Sementara perawat yang melakukan keperawatan mandiri menurut ketentuan Pasal 22 ayat
(1) PP No.32 Tahun 1996 jo. Pasal 12 ayat (1) Permenkes Nomor HK.02.02/Menkes/148/2010
memimiliki kewajiban diantaranya menghormati hak pasien, memberi informasi, meminta
persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan dan memberikan pelayanan keperawatan
sesuai dengan standar profesi dan kode etik keperawatan. Sehingga kewajiban perawat tersebut
menjadi hak bagi pasien. Dengan begitu, hubungan antara perawat dan pasien merupakan
hubungan hukum (perjanjian) yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.
Oleh karena itu, aspek keperdataan dalam pelayanan keperawatan berpokok pangkal pada
hubungan pasien.
Hingga saat ini perjanjian keperawatan atau informed consent keperawatan belum diatur
secara tertulis dan baru mengatur informed consent tindakan kedokteran sebagaimana diatur
dalam Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008. Sehingga tindakan medik yang dilakukan
perawat pada prinsipnya berdasar delegasi secara tertulis dari dokter. Kecuali dalam keadaan
darurat, perawat diizinkan melakukan tindakan medik tanpa delegasi dokter sesuai Pasal 10 ayat
(1) Permenkes No. HK. 02.02/Menkes/148/2010, dan aturan Permenkes ini pada dasarnya mirip
dengan rumusan yang dikeluarkan oleh American Nurse Association (ANA) di tahun 1970.
Perluasan tugas yang diberikan pada perawat di Amerika sejak tahun 1970 tentu tidak berarti
peranan perawat yang diperluas dapat ditafsirkan seluas-luasnya. Artinya, tidak semua tindakan
medik dan wewenang profesi kedokteran dapat dilakukan oleh perawat.
Permasalahan ini tentu saja tidak hanya berimplikasi pada upaya preventif dan kuratif,
namun juga pada aspek etika dan hukum. Sebab tindakan medik yang dilakukan oleh perawat
dalam kondisi darurat dalam praktik belum menunjukan batas-batas yang jelas. Dalam konteks
ini perlu dirumuskan secara yuridis terhadap tindakan medik tersebut, sehingga tindakan medik
yang dilakukan oleh perawat akan lebih terlindungi. "Aturan yang memadai mutlak diperlukan
dalam menegakkan hak dan kewajiban. Perawat perlu perlindungan dan kepastian hukum,
sebagaimana pasal 28D ayat (1) UUD NKRI 1945 yang menyebut, setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di
hadapan hukum.
E. Bentuk Informed Consent
Ada dua bentuk informed consent (Febiyanti Rizky, 2011)
 Implied constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan , telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum,
sehingga tidak perlu lagi di buat tertulis misalnya pengambilan darah untuk laboratorium,
suntikan, atau hecting luka terbuka.
 Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat)
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien)
kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat
dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar,
sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan
SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung
resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan
dengannya (telah terjadi informed consent)
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak
mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik
atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui
tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. Tujuan Informed Consent:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif,
karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat
suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ).
F. Perlindungan Pasien
Perlindungan pasien tentang hak memperoleh Informed Consent dan Rekam Medis dapat
dijabarkan seperti dibawah ini: UU N0 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan
diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut
secara lengkap
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara
cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat
Posted 6th April 2013 by Qaireen Inha

0
Add a comment
Dunia Kesehatan

 Classic

 Flipcard

 Magazine

 Mosaic

 Sidebar

 Snapshot

 Timeslide
1.
APR

Asuhan Keperawata Bronchitis kronik

A. Defenisi
Bronchitis kronik didefenisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3 bulan
dalam satu tahun selama dua tahun berturut-turut. Ekresi yang menumpuk dalam bronkeolus
mengganggu pernapasan yang efektif. Merokok atau pemajanan terhadap polusi adalah penyebab
utama bronchiris kronik. Pasien dengan bronchitis kronik lebih rentan terhadap kekambuhan
infeksi saluran pernafasan bawah. Kisaran infeksi virus, bakteri, dan mikoplasma yang luas dapat
menyebabkan episode bronchitis kronik. Menghirup udara yang dingin dapat mnyebabkan
bronkospasme bagi mereka yang rentan (Smeltzer, 2002).
Bronchitis kronik merupakan inflamasi luar jalan napas dengan penyempitan atau hambatan
jalan napas dan peningkatan produksi sputum mukoid, menyebabkan ketidak cocokan ventilasi-
perfusi dan menyebabkan sianosis (Doenges, 2000).
B. Etiologi
Penyebab bronchitis kronik yang sering ditemukan meliputi:
1. Kebiasaan merokok
Secara patologis rokok berhubungan dengan hiperplasi kelenjar mucus bronkus dan
metaplasia skuamus epitel saluran pernapasan juga dapat menyebabkan bronkotriksi akut
2. Infeksi saluran napas
Eksasebasi bronkhitis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus yang kemudian
menyebabkan infeksi sekunder bakteri. Bakteri yang diisolasi paling banyak adalah hemophilus
influenza dan streptococcus pneumonie.
3. Pajanan debu dan gas berbahaya
Polusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai factor penyebab, tetapi gbila ditambah merokok
resiko akan lebih tinggi. Zat-zat kimia dapat juga menyebabkan bronkhitis adalah zat-zat
pereduksi O2, zat-zat pengoksidasi seperti N2O, hidrokarbon, aldehid,ozon.
4. Predisposisi genetik
Belum diketahui secara jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak, kecuali pada
penderita defesiensi alfa -1- antitripsin yang merupakan suatu problem, dimana kelainan ini
diturunkan secara autosom resesif. Kerja enzim ini menetralisir enzim proteolitik yang sering
dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru.
5. Factor sosial ekonomi
Kematian pada bronkhitis ternyata lebih banyak pada golongan sosial ekonomi rendah,
mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih buruk

C. Patofisiologi
Bronchitis kronik terjadi ketika unsur-unsur iritan terhirup selama waktu yang lama. Unsur-
unsur iritan ini menimbulkan inflamasi pada precabangan trakeobronkial, yang menyebabkan
peningkatan produksi mucus dan penyempitan atau penyumbatan jalan napas. Seiring
berlanjutnya proses inflamasi perubahan pada sel-sel yang membentuk dinding traktus
respiratorius akan mengakibatkan resistensi jalan napas yang kecil dan ketidak seimbangan
ventilasi-perfusi (V/Q) yang berat sehingga menimbulkan penurunan oksigenasi daerah arteri.
Bronchitis kronik mengakibatkan hipertropi dan hyperplasia kelenjar mucus, peningkatan
jumlah sel-sel goblet, kerusakan silia, metaplasia skuamosa pada epitel kolumner, dan infiltrasi
leukositik serta limfositik pada dinding bronkus. Hipersekresi sel goblet akan menghalangi
kebebasan gerak silia yang dalam keadaa normal dapat menyapu debu, iritan serta mucus keluar
dari jalan napas. Seiring penumpukan mucus dan debris dalam jalan napas, mekanisme
pertahanan akan berubah dan orang yang mengalami perubahan mekanisme pertahanan pada
jalan napas ini lebih muda terkena infeksi saluran napas.
Efek tambahan lainnya meliputi inflamasi yang menyebar luas, penyempitan jalan napas dan
penumpukan mucus di dalam jalan napas. Dinding bronkus mengalami inflamasi dan penebalan
akibat edema serta penumpukan sel-sel inflamasi. Selanjutnya efek bronkospasme otot polos
akan mempersempit lumen bronkus. Pada awalnya hanya bronkus besar yang terlibat inflamasi
ini, tetapi kemudian semua saluran napas turut terkena. Jalan napas menjadi tersumbat dan
terjadi penutupan, khususnya pada saat ekspirasi. Dengan demikian, udara napas akan
terperangkap di bagian distal paru. Pada keadaan ini akan terjadi hipoventilasi yang
menyebabkan ketidakcocokan (V/Q) dan akibatnya timpul hipoksemia.
Hipoksemia dan hiperkapnia terjadi sekunder karena hipoventilasi. Resistensi vaskuler paru
meningkat ketika vasokonstriksi yang terjadi karena inflamasi dan konpensasi pada daerah-
daerah yang mengalami hipoventilasi membuat arteri pulmonalis menyempit. Peningkatan
resistensi vaskuler paru menimbulkanafterload ventrikel kanan. Dengan terjadinya episode
inflamasi berulang, terjadilah pembentukan parut pada jalan napas dan perubahan struktur yang
permanen. Infeksi respiratorius dapat memicu eksasebasi akut dan dengan demikian dapat terjadi
gagal napas.
Pasien Bronchitis kronik akan mengalami penuruna dorongan untuk bernapas. Hipoksia
kronis yang ditimbulkan menyebabkan ginjal menghasilkan eritropoietin, yang akan
menstimulasi produksi sel darah merah dan menimbulkan polisitemia. Meskipun kadar
hemoglobin tinggi, namun jumlah hemoglobin tereduksi (yang tidak teroksigenasi sepenuhnya)
yang mengalami kontak dengan oksigen rendah sehingga terjadi sianosis (Kowalak, 2011).

D. Manifestasi Klinis
Bentuk produktif, kronispada bulan – bulan musim dingin adalahtanda dini bronchitis kronis.
Bentuk mungkin dapt diperburuk oleh cuaca yang dingin, lembab, dan iritan paru.Pasien
biasanya mepunyai riwayat merokok dan saling mengalami infeksi pernapasan (Smeltzer, 2002).

Menurut Kowalak, 2011. Tanda dan gejala bronchitis kronik dapat meliputi:
1. Sputum yang banyak dan berwarna kelabu, putih ataupun kuning yang dihasilkan oleh paru-
paru.
2. Batuk produktif untuk mengeluarkan mucus yang diproduksi oleh paru-paru.
3. Dispnea akibat obstruksi jalan napas pada percabangan trakeobronkial bagian bawah.
4. Sianosis yang berhubungan dengan penurunan oksigenasi dan hipoksia seluler: penurunan
pasokan oksigen ke dalam jaringan
5. Penggunaan otot-otot aksesorius pernapasan akibat upaya yang bersifat konpensasi untuk
memasok lebih banyak oksigen ke dalam sel.
6. Takipnea akibat hipoksia.
7. Edema pedis akibat gagal jantung kanan.
8. Distensi vena leher akibat gagal jantung kanan.
9. Penambahan berat badan akibat edema
10. Mengi akibat aliran melewati saluran napas yang sempit
11. Pemanjangan waktu ekspirasi akibat upaya tubuh mempertahankan patensi jalan napas
12. Ronki akibat aliran udara melewati saluran napas yang sempit dan berisi mucus.
13. Hipertensi pulmoner yang disebabkan oleh keterlibatan arteri pulmonalis yang kecil: keadaan
ini terjadi karena inflamasi pada dinding bronchial dan spasme pembuluh darah pulmoner akibat
hipoksia.

E. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges, 2000. Pemeriksaan diagnostic untuk penderita Bronchitis Kronik, meliputi:
1. Sinar X dada
Dapat menyatakan hiperinflamasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara
retrosternal, peningkatan tanda bronkovaskuler.
2. Tes fungsi paru
Dilakukan untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk
memperkirakan derajat fungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya Bronkodilator.
3. TLC
Peningkatan pada luasnya bronchitis.
4. FEV1 atau FVC
Rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis.
5. GDA
Memperkirakan progresi proses penyakit kronis, misalnya paling sering PaO2 menurun dan
PaCO2normal atau meningkat.
6. Bronkogram
Dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, pembesaran duktus mukosa yang
terlihat pada bronchitis.
7. Sputum
Kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi pathogen, pemeriksaan sitolitik
untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
8. EKG
Deviasi aksis kanan, distritmia atrial bronchitis, peningkatan gelombang P pada leat II, III,
AVF.
9. EKG latihan, tes stress
Membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi
bronkodilaor, perencanaan atau evaluasi program latihan.
F. Komplikasi
Menurut Kowalak, 2011. Komplikasi yang mungkin terjadi pada Bronchitis Kronik, meliputi:
1. Infeksi saluran napas yang kambuhan (rekuren)
2. Kor pulmonale (hipertrofi ventrikel kanan disertai gagal jantung kanan) akibat peningkatan
tekanan diastolic akhir ventrikel kanan.
3. Hipertensi pulmoner
4. Gagal jantung yang mengakibatkan peningkatan tekanan vena, pembesaran hati, dan edema
dependen.
5. Gagal napas akut
G. Penatalaksanaan Medis
Objektif utama pengobatan adalah untuk menjaga agar bronkiolus terbuka dan berfungsi,
untuk memudahkan pembuangan sekresi bronkial, untuk mencegah infeksi, dan untuk mencegah
kecacatan. Perubahan dalam pola sputum (sifat, warna, jumlah, ketebalan) dan dalam pola batu
adalah tanda yang penting untuk dicatat. Infeksi bakteri kambuhan diobati dengan terapi
antibiotik berdasarkan hasil pemeriksaan kultur dan sensitifitas.
Untuk membantu membuang sekresi bronchial, diresepkan bronkodilator untuk
menghilangkan bronkospasme dan mengurangi opstruksi jalan nafas: sehingga lebih banyak
oksigen didistribusikan keseluruh bagian paru, dan fentilasi alveolar diperbaiki. Drainase
postural dan perkusi dada setelah pengobatan biasanya sangat membantu, terutama jika terdapat
bronkiekstasis. Cairan ( yang diberikan peroral atau parenteral jika bronkospasme berat ) adalah
bagian perting dari terapi, karena hidrasi yang baik membantu untuk mengencerka sekresi
sehingga dapat dengan mudah dikeluarkan dengan membatukkannya. Terapi kortikosteroid
mungkin digunakan ketika pasien tidak menunjukkan keberhasilan terhadap pengukuran yang
lebih koservatif. Pasien harus menghentikan merokok karena menyebabkan bronkokonstriksi,
melumpuhkan silia, yang penting dalam membuang partikel yang mengiritasi dan
menginaktivasi survaktan, yang memainkan peran penting dalam memudahkan pengenbangan
paru-paru. Perokok juga lebih rentang terhadap infeksi bronckial (Smeltzer, 2002).

H. Penanganan
Menurut Kowalak, 2011. Penanganan Bronkitis Kronik meliputi:
1. Tindakan menghindari polutan udara
2. Tindakan menghentikan kebiasaan merokok dan menghindari asap rokok.
3. Pemberian antibiotic untuk mengatasi infeksi yang kambuhan.
4. Pemberian obat-obat golongan bronkodilator untuk meredakan bronkospesme dan memfasilitasi
Klirens Mukosilier.
5. Terapi hidrasi yang adekuat untuk mengencerkan secret.
6. Fisioterapi dada untuk memobilisasi secret.
7. Penggunaan alat neboliser ultrasonic atau mekanis untuk mengencerkan dan memobilisasi
secret.
8. Pemberian kortikosteroid untuk mengatasi inflamasi.
9. Pemberian obat-obat golongan diuretic untuk mengurangi edema.
10. Pemberian oksegen untuk mengatasi hipoksia.

I. Prognosis

Pasien dengan bronchitis kronik dan didiagnosis asma, penyakit struktur saluran nafas, atau
imunodefisiensi perlu pengawasan secara teratur untuk meminimalkan kerusakan paru dan
perkembangan menjadi penyakit paru kronik yang ireversibel.

I. Konsep Proses Keperawatan


A. Pengkajian
1. Pengkajian data biologis
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh.
Pengkajian Klien dengan Bronkitis Kronik. meliputi :
a. Aktifitas atau istirahat
Gejala : 1. Keletihan, kelelahan, malaise.
2. Ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas sehari-hari karena sulit bernapas
3. Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi
4. Dispnea pada saat isrirahat atau respons terhadap aktifitas atau latihan
Tanda : 1. Keletihan
2. Gelisah, insomnia
3. Kelemahan umum/kehilangan massa otot

b. Sirkulasi
Gejala : pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda : 1. Peningkatan Tekanan Darah.
2. Peningkatan frekuensi jantung/takikardia berat, disritmia.
3. Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
4. Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan diameter AP dada)
5. Warrna kulit/membrane mukosa: normal atau abu-abu/sianosis; kaku tubuh dan sianosis perifer.
6. Pucat dapat menunjukkan anemia
c. Integritas Ego
Gejala : 1. Peningkatan factor resiko.
2. Perubahan pola hidup
Tanda : Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
d. Makanan atau cairan
Gejala : 1. Mual/muntah
2. ketidakmampuan untuk makan karena distres pernapasan.
3. peningkatan berat badan menunjukkan edema
Tanda : 1. Turgor kulit buruk
2. Edema dependen
3. Berkeringat
4. Palpitasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali.
e. Hygiene
Gejala : Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan
Tanda : kebersihan buruk, bau badan
f. Pernapasan
Gejala : Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada saat bangun) selama
minimum tiga bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya dua tahun. Produksi sputum (hijau,
putih, atau kuning dapat banyak sekali.
Tanda : lebih memilih posisi tiga titik (“tripot”) untuk bernapas.
Dada: dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diamaeter AP (bentuk-barrel); gerakan
diafragma minimal.
Bunyi napas: menyebar, lembut, atau krekels lembab kasar
Perkusi: bunyi pekak pada area paru
Warna: pucat dengan sianisis bibir dan dasar kuku; abu-abu keseluruhan; warna merah.
g. Keamanan
ejala : 1. Riwayat reaksi alergi atau sensitif terhadap zat/faktor lingkungan
2. Adanya/berulangnya infeksi
h. Seksualitas
Gejala : Penurunan libido
i. Interaksi sosial
Gejala : 1. Hubungan ketergantungan
2. Kurang sistem pendukung
3. Kegagalan dukungan dari/terhadap pasangan/orang terdekat
4. Penyakit lama atau ketidakmampuan membaik
Tanda : 1. Ketidakmampuan untuk membuat/mempertahankan suara karena distres pernafasan
2. Keterbatasan mobilitas fisik
3. Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
j. Penyuluhan atau pembelajaran
Gejala : 1. Penggunaan/penalagunaan obat pernapasan.
2. Kesulitan menghentikan merokok
3. penggunaan alcohol secara teratur.
4. kegagalan untuk membaik
Pertimbangan: DRG menunjukkan rerata lama dirawat: 5,9 hari
Pemulangan: Bantuan dalam berbelanja, tranportasi, kebutuhan perawatan diri, perawatan
rumah/mempertahankan tugas rumah.
Perubahan pengobatan/program teraupetik.
2. Pemeriksaan Umum
a. Anamnesis
Keluhan utama pada klien dengan bronchitis meliputi batuk kering dan produktif dengan
sputum purulen, demam dengan suhu tubuh dapat mencapai >40 oC, dan sesak napas.

b. Riwayat kesehatan
Batuk persisten produksi sputum seperti warna kopi, dispnea dalam beberapa keadaan, weizing
pada saat ekspirasi, sering mengalami infeksi pada system respirasi.
Riwayat kesehatan dahulu:
Batuk atau produksi sputum selama beberapa hari kurang lebih 3 bulan dalam 1 th.dan paling
sedikitdalam 2 th berturut-turut.adanya riwayat merokok.
Riwayat kesehatan keluarga:
Penelitian terahir didapatkan bahwa anak dari orang tua perokok dapat menderita penyakit
pernafasan lebih sering dan lebih berat serta prefalensi terhadap gangguan pernapasan lebih
tinggi.selain itu,klien yang tidak merokok tetepi tinggal dengan perokok (perokok pasif)
mengalami peningkatan kadar karbon monoksida darah.dari keterangan tersebut untuk penyakit
familial dalam hal ini bronchitis mungkin berkaitan dengan polusi udara rumah,dan bukan
penyakit yang diturunkan (Muttaqin,2008).
c. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum dan tanda-tanda vital
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital klien dengan bronchitis biasanya didapatkan adanya
peningkatan suhu tubuh lebih dari 40 drajat celcius, frekuensi napas meningkat dari frekuensi
normal, nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi
pernapasan, serta biasanya tidak ada masalah dengan tekanan darah.
Inspeksi: Klien biasanya mengalami peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, biasanya
menggunakan otot bantu pernapasan. Pada kasus bronchitis kronis, sering didapatkan bentuk
dada barrel/ tong. Gerakan pernapasan masih simetris. Hasil pengkajian lainnya menunjukkan
klien juga mengalami batuk yang produktif dengan sputum purulen berwarna kuning kehijauan
sampai hitam kecoklatan karena bercampur darah.
Palapasi: Taktil fremitus biasanya normal.
Perkusi: Hasil penkajian perkusi menunjukkan adanya bunyi resonan pada seluruh lapang paru.
Auskultasi: Jika abses terisi penuh dengan cairan pus akibat drainase yang buruk, maka suara
napas melemah. Jika bronkus paten dan drainasenya baik ditambah adanya konsolidasi di sekitar
abses, maka akan terdengar suara napas bronchial dan ronkhi basah.

A. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat ditemui pada klien Bronchitis Kronik adalah:
1. Tidak efektifnya bersihan jalan napas berbuhunbgan dengan peningkatan produksi secret dan
Bronkospasme.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, produksi sputum
dan anoreksia.
B. Intervensi
Intervensi adalah Penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk
menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan.
Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan.
Intrevensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada klien dengan Bronchitis Kronik
,,meliputi :
1. Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan produksi secret dan
broncospasme.
INTERVENSI RASIONAL
1) Kaji fungsi pernapasan: bunyi 1) memantau adanya perubahan pola
napas kecepatan irama, napas
kedalaman dan penggunaan otot
bantu pernapasan.
2) Kaji posisi yang nyaman untuk 2) posisi semi fowler memperlancar
klien, misalnya posisi kepala sirkulasi pernapasan dalam tubuh
lebih tinggi ( semi fowler ).
3) Ajar dan anjurkan klien latihan
nafas dalam dan batuk efektif
3) mengajarkan batuk efektif agar pasien
4) Pertahankan hidrasi adekuat, mandiri
adupan cairan 40-50cc/ kg bb/ 24
jam 4) mencegah adanya dehidrasi
5) Lakukan fisioterapi dada jika
tidak ada kontrak indikasi.
6) Kolaborasi dengan tim medis
untuk memberikan mukolitik
5) fisioterapi dada mempermudah
pengeluaran secret

6) untuk menurunkan spasme jalan


napas dan produksi mukosa.

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan suplai oksigen.


INTERVENSI RASIONAL
1) Pertahankan posisi tidur fowler 1) posisi fowler memperlancar sirkulasi
pernapasan dalam tubuh
2) Ajarkan klien pernapsan diagframatik2) untuk menurunkan kolaps jalan napas,
dan pernapasan bibir. dispnea dan kerja napas
3) untuk menurunkan kolaps jalan napas,
dispnea dan kerja napas 3) indikasi langsung keadekuatan volume
cairan,meskipun membrane mukosa
mulut mungkin kering karena napas
mulut dan oksigen tambahan.
4) Dorong klien untuk mengeluarkan 4) untuk membantu melancarkan jalannya
sputum, penghisapan lendir jika pernapasan.
diindikasikan
5) Awasi tingkat kesadaran / status mental
klien, catat adanya perubahan 5) Dengan mengetahui tingkat kesadaran
atau status mental klien, sehingga
6) Ukur tanda vital setiap 4-5 jam dan memudahkan tindakan selanjutnya.
awasi irama. 6) Takikardia, disritmia dan perubahan
tekanan darah dapat menunjukkan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
7) mengetahui adanya bunyi nafas akibat
mucus
7) Palpasi fremitus
8) Dapat memperbaiki/mencegah buruknya
hipoksia.
8) Berikan oksigen sesuai indikasi

3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, produksi sputum
dan anoreksia.
INTERVENSI RASIONAL
1) Kaji keluhan klien terhadap mual, 1) menentukan penyebab masalah
muntah dan anoreksia.
2) Lakukan perawatan mulut sebelum dan 2) menghilangkan tanda bahaya, rasa bau
sesudah makan serta ciptakan lingkungan dari lingkungan pasien dan
yang bersih dan nyaman. dapat menurunkan mual.
3) Anjurkan klien untuk makan sedikit tapi
3) dapat meningkatkan nutrisi dalam tubuh
sering. meskipun napsu makan berkurang.
4) Berguna menentukan kebutuhan kalori
4) Timbang berat badan klien setiap dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
minggu. 5) berguna untuk kestabilan dan gizi yang
masuk untuk pasien
5) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan komposisi diet

C. Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi
keperawatan ditetapkan.
Evaluasi yang diharapkan pada pasien Bronchitis Kronik adalah:
1. Menunjukkan jalan napas paten dengan bunyi nafas bersih tidak ada dispnea dan sianosis.
2. Berpartisipasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi.
3. Mempertahankan atau meningkatkan berat badan.

DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba
Medika
Manurung, Santa dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta : Salemba Medika

Doenges, Marilyn.dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC


Price, Sylvia Anderson. 2005. Petofisiologi: Konsep KLinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Kowalak, Jenifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Posted 6th April 2013 by Qaireen Inha

0
Add a comment
2.
APR

Makalah Informed Consent

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sebagian besar keluhan ketidakpuasan pasien disebabkan komunikasi yang kurang terjalin
baik antara tim medis dengan pasien dan keluarga pasien.
Apakah para pasien perlu sepenuhnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai
apa yang akan diperbuat dalam rangka pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan mereka?
Apakah mereka harus selalu dimintai persetujuan atas apa yang akan dilakukan oleh tenaga
medis kepada mereka? Bukankan pelibatan dan permintaan persetujuan macam itu malah akan
menghambat rencana kerja? Apalagi, bukankah dengan datang kepada dokter atau rumah sakit
mereka telah mempercayakan diri mereka terhadap dokter dan tim medisnya? Seberapa jauh
pasien perlu diberitahu mengenai resiko dan keuntungan dari langkah-langkah pengobatan dan
tindakan-tindakan lain yang harus diambil demi pemulihan kesehatannya? Bagaimana dengan
pasien yang kalau diberitahu toch tidak mengerti apa yang dimaksud, atau pasien yang sengaja
tidak mau tahu tentang keadaan dirinya yang sebenarnya dan pokoknya dibuat enak badan, masih
perlukah mereka diberitahu? Apakah dokter dan tim medis lainnya wajib memberitahukan
kemungkinann resiko yang akan terjadi dan alternatif pengobatan yang bisa diambil terhadap
pasien, atau hal itu hanya dapat diharapkan berdasarkan kebaikan sang dokter? Itulah beberapa
pertanyaan yang kadang muncul dalam praktek pelayanan medis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
erat kaitannya dengan apa yang lazim disebut dengan “informed consent”. Oleh karena itu perlu
kiranya kita mengetahui apa itu “informen consent”.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas yang diberikan pada mata kuliah
Etika Dalam keperawatan, adapun tujuan lainnya yaitu:
1. Untuk mengetahui pengertian informed consent
2. Dasar hukum informed consend
3. Informed consent dalam keperawatan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Informed consent
Informed consent adalah persetujuan individu terhadap pelaksanaan suatu tindakan, seperti
operasi atau prosedur diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap tentang risiko,
manfaat, alternatif, dan akibat penolakan. Informed consent merupakan kewajiban hukum bagi
penyelengara pelayanan kesehatan untuk memberikan informasi dalam istilah yang dimengerti
oleh klien sehingga klien dapat membuat pilihan. Persetujuan ini harus diperoleh pada saat klien
tidak berada dalam pengaruh obat seperti narkotika.
Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas yang didasarkan atas informasi
yang diperlukan untuk membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari pihak-pihak yang terlibat ,
dalam praktek dan penelitian medis, pengertian “informed consent” memuat dua unsur pokok,
yakni:
1. Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan kelinci percobaanmedis) untuk dimintai
persetujuannya bebasnya oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan kegiatan medis pada
pasien tersebut, khususnya apabila kegiiatan ini memuat kemungkinan resiko yang akan
ditanggung oleh pasien.
2. Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati hak tersebut dan untuk memberikan
informasi seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan rasional dapat diberikan kapada pasien.
Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan bagi pasien untuk menerima
atau menolak apa yang ditawarkan dengan disertai penjelasan atau pemberian informasi
seperlunya oleh tenaga medis (Sudarminta, J. 2001).
Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat diberikan oleh pasien
maka, seperti yang dikemukakan oleh Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, dalam
pengertian informed consent terkandung empat unsur, dua menyangkut pengertian informasi
yang perlu diberikan dan dua lainnya menyangkut perngertian persetujuan yang perlu diminta.
Empat unsur itu adalah: pembeberan informasi, pemahaman informasi, persetujuan bebas, dan
kompetensi untuk membuat perjanjian. Mengenai unsur pertama, pertanyaan pokok
yang biasanya muncul adalah seberapa jauh pembeberan informasi itu perlu dilakukan. Dengan
kata lain, seberapa jauh seorang dokter atau tenaga kesehata lainnya memberikan informasi yang
diperlukan agar persetujuan yang diberikan oleh pasien atau subyek riset medis dapat disebut
suatu persetujuan informed. Dalam menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa standar
pembeberan, yakni:
a. Standar praktek profesional (the professional practice standard)
b. Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person standard)
c. Standar subyektif atau orang perorang (the subjective standard)
Munurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti ”persetujuanyang
diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakanmedik
yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut”. Dari pengertian diatas PTM adalah
persetujuan yang diperoleh sebelum melakukan pemeriksaan , pengobatan atau tindakan
medik apapun yang akan dilakukan.
Persetujuan tersebut disebut dengan Informed Consent Informed. Consent hakikatnya
adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan
tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek
perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata
BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjjian yaitu:
a. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
b. Para pihak cakap untuk membuat perikatan
c. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang
undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
B. Sejarah Informed Consent
Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan suatu konsep yang relatif masih baru
dalam sejarah etika medis. Secara histori konsep ini muncul sebagai suati prinsip yang secara
formal ditegaskan hanya setelah Perang dunia ke II, yakni sebagai reaksi dan tindakan lanjut dari
apa yang disebut pengadilan Nuremberg, yakni pengadilan terhadap para penjahat perang zaman
Nazi. Prinsip informed consent merupakan reaksi terhadap kisah-kisah yang mengerikann
tentang pemakaian manusia secara paksa sebagai kelinci percobaan medis di kamp-kamp
konsentrasi. Sejak pengadilan Nuremberg, prinsip inforned consent cukup mendapat perhatian
besar dalma etika biomedis (Sudarminta, J. 2001).
Dalam hukum Inggris-Amerika, akjaran tentang informed consent juga berkaitan dengan
kasus-kasus malpraktek yang melibatkan perbuatan tertentu pada tubuh pasien yang kompeten
tanpa persetujuannya dalam kasus tersebut dipandang tidak dapat diterima lepas dari
pertimbangan kualitas pelayanan. Mengingat pentingnya informed consent dalam pelayanan
medis, maka dalam salah satu butir panduan (yakni butir No. 11) dan butir-butir panduan etis
untuk Lembaga-lembaga Pelayanan Medis Katolik di Amerika terdapat pernyataan sebagai
berikut.
Pasien adalah pembuat keputusan utama dalam semua pilihan yang berhubungan dengan
kesehatan dan perawatannya, ini berarti ia adalah pembuat keputusan pertama, orang yang
diandaikan memprakarsai keputusan berdasarkan keyakinan hidup dan nilai-nilainya.
Sedangkan pembuat keputusan sekunder lainnya juga mempunyai tanggung jawab. Jika secara
hukum pasien tidak mampu membuat keputusan atau mengambil inisiatif, seorang pelaku yang
lain yang menggantikan pasien. Biasanya keluarga pasien, kecuali kalau sebelumnya pasien
telah menunjuk orang lain yang bertanggung jawab untuk berusaha menentukan apa yang
kiranya akan dipilih oleh pasien, atau jika itu tidak mungkin, berusaha dipilih apa yang paling
menguntungkan bagi pasien.
Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga merupakan pembuat keputusan kedua,
dengan tanggung jawab menyediakan pertoongan dan perawatan untuk pasien sejauh itu sesuai
dengan keyakinan hidup dan nilai-nilai mereka. Kebijakan dan praktek rumah sakit harus
mengakui serangkai tanggung jawab ini. Para pemegang profesi pelayanan kesehatan
bertanggung jawab untuk memberikan informasi yang mencukupi dan untuk memberikan
dukungan yang memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu memberikan keputusan yang
dilandasi pengetahuan mengenai perawatan yang mestinya dijalani. Perlu disadari bahwa
bantuan dalam profesi pengambilan keputusan merupakan bagian penting dalam perawatan
kesehatan. Kebijakan dan dokumen mengenai informed consent haruslah diupayakan untuk
meningkatkan dan melindungi otanomi pasien, bukan pertama-tama melindungi rumah sakit dan
petugas pelayanan medis dari perkara pengaduan hukum.
C. Fungsi informed consent
Menurut Katz & Capran, fungsi informed Consent :
• promosi otonomi individu.
• Proteksi terhadap pasien dan subjek.
• Menghindari kecurangan, penipuan dan paksaan.
• Mendorong adanya penelitian yang cermat.
• Promosi keputusan yang rasional
• Menyertakan publik.
Semua tindakan medik/keperawatan yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
Persetujuan :
• Persetujuan ; Tertulis maupun lisan.
• Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat.
• Cara penyampaian informasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi
pasien.
• Setiap tindakan yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan, selain itu dengan
lisan.
D. Dasar Hukum dan Informed Consent Keperawatan
1. Dasar hukum informed consent
 UU No. 32 Tahun 1992 tentang Kesehatan
 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang tenaga Kesehatan
 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159 b/Menkes/SK/Per/II/1998 Tentang RS
 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749A/Menkes/Per/IX/1989 tentang Rekam medis/ Medical
record
 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan
Medis
 Kep Menkes RI No. 466/Menkes/SK dan standar Pelayanan Medis di RS
 Fatwa pengurus IDI Nomor: 139/PB/A.4/88/Tertanggal 22 Februari 1988 Tentang Informed
Consent
 Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 Tertanggal 16 juni 1981Tentang Bedah Mayat
Klinik dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia

2. Informed Consent Keperawatan


Tidak meratanya penyebaran tenaga dokter di pedesaan mengakibatkan tenaga
keperawatan melakukan intervensi medik bukan intervensi perawatan. Mengingat perawat
sebagai tenaga kesehatan terdepan dalam pelayanan kesehatan di masyarakat, Pemerintah
menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor HK.02/Menkes/148/2010
Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Pasal 8 ayat (3) Permenkes menyebutkan
praktik keperawatan meliputi pelaksanaan asuhan keperawatan, pelaksanaan upaya promotif,
preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat dan pelaksanaan tindakan keperawatan
komplementer. dari pasal tersebut menunjukkan aktivitas perawat dilaksanakan secara mandiri
(independent) berdasar pada ilmu dan asuhan keperawatan, dimana tugas utama adalah merawat
(care) dengan cara memberikan asuhan keperawatan (nurturing) untuk memuaskan kebutuhan
fisiologis dan psikologis pasien. Dengan kata lain, perawat memiliki hubungan langsung dengan
pasien secara mandiri. Hubungan langsung antara perawat dengan pasien utamanya terjadi di
rumah atau puskesmas yang mendapatkan rawat inap atau pasien yang mendapatkan perawatan
di rumah, home care.
Sementara perawat yang melakukan keperawatan mandiri menurut ketentuan Pasal 22 ayat
(1) PP No.32 Tahun 1996 jo. Pasal 12 ayat (1) Permenkes Nomor HK.02.02/Menkes/148/2010
memimiliki kewajiban diantaranya menghormati hak pasien, memberi informasi, meminta
persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan dan memberikan pelayanan keperawatan
sesuai dengan standar profesi dan kode etik keperawatan. Sehingga kewajiban perawat tersebut
menjadi hak bagi pasien. Dengan begitu, hubungan antara perawat dan pasien merupakan
hubungan hukum (perjanjian) yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.
Oleh karena itu, aspek keperdataan dalam pelayanan keperawatan berpokok pangkal pada
hubungan pasien.
Hingga saat ini perjanjian keperawatan atau informed consent keperawatan belum diatur
secara tertulis dan baru mengatur informed consent tindakan kedokteran sebagaimana diatur
dalam Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008. Sehingga tindakan medik yang dilakukan
perawat pada prinsipnya berdasar delegasi secara tertulis dari dokter. Kecuali dalam keadaan
darurat, perawat diizinkan melakukan tindakan medik tanpa delegasi dokter sesuai Pasal 10 ayat
(1) Permenkes No. HK. 02.02/Menkes/148/2010, dan aturan Permenkes ini pada dasarnya mirip
dengan rumusan yang dikeluarkan oleh American Nurse Association (ANA) di tahun 1970.
Perluasan tugas yang diberikan pada perawat di Amerika sejak tahun 1970 tentu tidak berarti
peranan perawat yang diperluas dapat ditafsirkan seluas-luasnya. Artinya, tidak semua tindakan
medik dan wewenang profesi kedokteran dapat dilakukan oleh perawat.
Permasalahan ini tentu saja tidak hanya berimplikasi pada upaya preventif dan kuratif,
namun juga pada aspek etika dan hukum. Sebab tindakan medik yang dilakukan oleh perawat
dalam kondisi darurat dalam praktik belum menunjukan batas-batas yang jelas. Dalam konteks
ini perlu dirumuskan secara yuridis terhadap tindakan medik tersebut, sehingga tindakan medik
yang dilakukan oleh perawat akan lebih terlindungi. "Aturan yang memadai mutlak diperlukan
dalam menegakkan hak dan kewajiban. Perawat perlu perlindungan dan kepastian hukum,
sebagaimana pasal 28D ayat (1) UUD NKRI 1945 yang menyebut, setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di
hadapan hukum.
E. Bentuk Informed Consent
Ada dua bentuk informed consent (Febiyanti Rizky, 2011)
 Implied constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan , telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum,
sehingga tidak perlu lagi di buat tertulis misalnya pengambilan darah untuk laboratorium,
suntikan, atau hecting luka terbuka.
 Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat)
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien)
kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat
dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar,
sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan
SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung
resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan
dengannya (telah terjadi informed consent)
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak
mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik
atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui
tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. Tujuan Informed Consent:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak
diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya.
b. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif,
karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat
suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ).
F. Perlindungan Pasien
Perlindungan pasien tentang hak memperoleh Informed Consent dan Rekam Medis dapat
dijabarkan seperti dibawah ini: UU N0 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 56
(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan
diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut
secara lengkap
(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:
a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara
cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas
b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
c. gangguan mental berat
Posted 6th April 2013 by Qaireen Inha

0
Add a comment

Loading
Dynamic Views theme. Powered by Blogger.

Anda mungkin juga menyukai