Anda di halaman 1dari 23

Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah kerusakan

organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan menyembuhkan. Seperti kita ketahui,
dalam penanganan trauma di kenal primary survey yang cepat dilanjutkan resusitasi
kemudian secondary survey dan akhirnya terapi definitif. Selama primary survey, keadaan
yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Pada
primary survey dikenal sisitem ABCDE(Airway, Breathing, Circulation, Disability,
Exposure/ Enviromental control) yang disusun berdasarkan urutan prioritas penanganan . Jadi
prioritas utama penanganan adalah keadaan menjamin jalan nafas terjaga adekuat. Oleh
karena itu, trauma jalan nafas adalah keadaan yang memerlukan yang cepat dan efektif untuk
menghindari akibat yang tidak diinginkan.

Pengelolaan penderita dengan luka parah memerlukan penilaian yang cepat dan tepat.
Penilaian awal ini meliputi tahap persiapan,trease, primary survey, resusitasi,
adjunct,secondary survey,reevaluasi, dan terapi definitif(American College, 1997)
Terdapat banyak keadaan yang akan menyebabkan kematian dalam waktu singkat, tetapi
kesemuanya berakhir pada satu hasil akhir yakni kegagalan oksigenasi sel, terutama ke otak
dan jantung. Pencegahan hipoksemia memerlukan airway yang terlindungi, terbuka dan
ventilasi yang cukup yang merupakan prioritas yang harus didahulukan keadaan
lainnya(European Resusitasion, 2003)
Persiapan penderita berlangsung dari fase pra rumah sakit hingga ke fase rumah sakit. Pada
fase pra rumah sakit, titik berat diberikan pada penjagaan saluran nafas, kontrol pendarahan
dan syok, immobilisasi penderita, dan segera ke rumah sakit terdekat dengan fasilitas yang
memadai. Persiapan pada fase rumah sakit mencakup persiapan sumber daya manusia,
sarana, dan prasarana yang diperlukan untuk resusitasi.
Penilaian primary survey berpatokan pada urutan ABCDE :
A airway (jalan nafas)
B breathing (bantuan nafas)
C circulation (bantuan sirkulasi)
D defibrillation (terapi listrik)
E exposure (environmental control)
(American College, 1997)

BAB II
INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAANNYA

Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat dan tepat
untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu
diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial
assessment ( penilaian awal ).
Penilaian awal meliputi:
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan
9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik

Urutan kejadian diatas diterapkan seolah-seolah berurutan namun dalam praktek sehari-hari
dapat dilakukan secara bersamaan dan terus menerus.

I. PERSIAPAN
A. Fase Pra-Rumah Sakit
1. Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas lapangan
2. Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum penderita mulai diangkut
dari tempat kejadian.
3. Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti waktu kejadian,
sebab kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat penderita.
B. Fase Rumah Sakit
1. Perencanaan sebelum penderita tiba
2. Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakkan di tempat yang mudah
dijangkau
3. Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan diletakkan pada tempat yang
mudah dijangkau
4. Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi apabila sewaktu-waktu
dibutuhkan.
5. Pemakaian alat-alat proteksi diri

II. TRIASE
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang
tersedia. Dua jenis triase :
A. Multiple Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita
dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan mendapatkan prioritas
penanganan lebih dahulu.
B. Mass Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita dengan
kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang
paling sedikit akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.

Pemberian label kondisi pasien pada musibah massal :


A. Label hijau
Penderita tidak luka . Ditempatkan di ruang tunggu untuk dipulangkan.
B. Label kuning
Penderita hanya luka ringan. Ditempatkan di kamar bedah minor UGD.
C. Label merah
Penderita dengan cedera berat. Ditempatkan di ruang resusitasi UGD dan disiapkan
dipindahkan ke kamar operasi mayor UGD apabila sewaktu-waktu akan dilakukan operasi
D. Label biru
Penderita dalam keadaan berat terancam jiwanya. Ditempatkan di ruang resusitasi UGD
disiapkan untuk masuk intensive care unit atau masuk kamar operasi(American College,
1997)

Gambar 1
Alur Skema Triase
(American College, 1997)

III. PRIMARY SURVEY


Primary survey adalah penilaian awal terhadap pasien, bertujuan untuk mengidentifikasi
secara cepat dan sistematis dan mengambil tindakan terhadap setiap permasalahan yang
mengancam jiwa(European Resusitasion, 2005)
Primary survey harus dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 2-5 menit. Penanganan yang
simultan terhadap trauma dapat terjadi bila terdapat lebih dari satu keadaan yang mengancam
jiwa(Wilkinson, 2000).
Hal tersebut mencakup:
• Airway
Nilai jalan napas. Dapatkah pasien berbicara dan bernapas dengan bebas? Bila ada sumbatan,
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
- Chin lift/jaw thrust (lidah melekat pada rahang)
- Suction (bila tersedia)
- Guedel airway/nasopharyngeal airway
- Intubasi. Pertahankan posisi leher dalam keadaan immobile pada posisi netral.
• Breathing
Breathing dinilai sebagai bebasnya airway dan adekuatnya pernapasan diperiksa kembali.
Bila tidak adekuat, langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan adalah:
- Dekompresi dan drainase dari tension pneumothorax/haemotrhorax
- Penutupan trauma dada terbuka
- Ventilasi artificial
- Berikan oksigen bila tersedia
• Circulation
Nilai sirkulasi, sebagai supplai oksigen dan bebasnya airway, dan adekuatnya pernapasan
diperiksa kembali. Bila tidak adekuat, langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan adalah:
- Hentikan perdarahan eksternal
- Pasang 2 IV line berkaliber besar (14 atau 16 G) bila memungkinkan
- Berikan cairan bila tersedia
• Disability
Penilaian neurologis cepat (apakah pasien sadar, member respon suara terhadap rangsang
nyeri, atau pasien tidak sadar). Tidak ada waktu untuk melakukan pemeriksaan Glasgow
Coma Scale, maka sistem AVPU pada keadaan ini lebih jelas dan cepat:
- Awake (A)
- Verbal response (V)
- Painful response (P)
- Unresponsive (U)
• Exposure
Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka. Bila pasien disangkakan mengalami
trauma leher maupun spinal, immobilisasi dalam suatu garis lurus sangat penting(Wilkinson,
2000)

Manajemen Airway
Prioritas utama adalah membuat atau memelihara airway yang bebas.
- Berbicara pada pasien
Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas pasti memiliki airway yang bebas. Pasien
yang tidak sadar mungkin saja membutuhkan bantuan airway dan ventilasi. Vertebra cervical
harus dilindungi selama dilakukannya intubasi endotracheal bila diduga adanya trauma
kepala, leher atau dada. Penyumbatan airway paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah
pada pasien-pasien yang tidak sadarkan diri(Wilkinson, 2000).
check response shout for help
Open airway check breathing
A. Penilaian
Setelah menilai kesadaran, maka penolong harus dengan segera dapat menilai fungsi jalan
napas. Pada korban yang sadar dan dapat bersuara, jalan napas biasas dikatakan bebas atau
tidak ada gangguan. Pada korban yang tidak mengeluarkan suara atau tidak sadar, maka
penilaian jalan napas dapat dilakukan dengan :
- Look (lihat)
Melihat langsung ke rongga mulut ada atau tidaknyanya sumbatan pada jalan napas.
- Listen (dengar)
Mendengarkan suara napas korban. Adanya snoring atau gurgling.
- Feel (rasakan)
Merasakan dengan pipi atau punggung tangan adanya hembusan napas dari korban.

B. Sumbatan jalan napas


Sumbatan jalan napas merupakan pembunuh tercepat, lebih cepat dibandingkan gangguan
breathing dan circulation. Lagipula perbaikan breathing tidak mungkin dilakukan bila tidak
ada airway yang paten. Obstruksi jalan napas total atau parsial.
1. Obstruksi Total
Pada obstruksi total mungkin ditemukan penderita masih sadar atau dalam keadaan tidak
sadar. Pada obstruksi total yang akut, biasanya disebabkan tertelannya benda asing yang lalu
tersangkut dan menyumbat dipangkal laring (tersedak). Bila obstruksi total timbul perlahan
maka akan berawal dari obstruksi parsial yang kemudian menjadi total.
• Bila penderita masih sadar
Penderita akan memegang leher dalam keadaan sangat gelisah. Sianosis mungkin ditemukan
dan mungkin ada kesan masih bernapas (walaupun tidak ada ventilasi)
• Bila penderita ditemukan tidak sadar
Tidak ada gejala apa-apa mungkin hanya sianosis saja. Pada saat melakukan pernapasan
buatan mungkin ditemukan resistensi (tahanan) terhadapa ventilasi. Dalam keadaan ini harus
ditentkan dengan cepat adanya obstruksi total dengan sapuan jari ke dalam faring sampai di
belakang epiglottis.
2. Obstruksi Parsial
Obstruksi parsial dapat disebabkan berbagai hal. Biasanya penderitanya masih bisa bernapas
sehngga timbul berbagai macam suara, tergantung penyebabnya :
• Cairan (darah, secret, aspirasi lambung)
Timbul suara “gurgling”, suara bernapas bercampu suara cairan. Dalam keadaan ini harus
dilakukan pengisapan.
• Lidah yang terjatuh kebelakang
Keadaan ini bisa terjadi karena tidak sadar atau patahnya rahang bilateral. Timbul suara
mengorok (Snoring) yang harus diatasi dengan perbaikan Airway, secara manual atau dengan
alat.
• Penyempitan di laring atau trakea
Dapat disebabkan udema karena berbagai hal ( luka bakar, radang, dsb) atapun desakan
neoplasma. Timbul suara “crowing” atau stridor respiratori. Keadaan ini hanya dapat diatasi
dengan perbaikan airway distal dari sumbatan, misalnya dengan Trakeostomi.

C. Kontrol Servikal
Berbagai usaha dapat dilakukan dalam membebaskan jalan napas sesuai dengan jenis
sumbatanya. Tapi perlu diingat bahwa sebelum melakukan berbagai tindakan pada jalan
napas, terlebih dahulu dilakukan adalah C-spine control. Kemungkinan adanya cedera leher-
ditandai dengan jejas atau tanda trauma di daerah atas os clavicula termasuk di kepala- harus
diwaspadai. Pada korban trauma yang tidak sadar adan atau tidak diketahui mekanisme
terjadinya trauma dengan pasti, meskipun tidak ditemukan adanya tanda cedera leher, patut
dicurigai mengalami cedera leher. Tindakan yang menyebabkan bergeraknya servikal pada
cedera leher dapat menyebabkan henti napas dan henti jantung seketika.
Kontrol servikal dapat dilakukan dengan bantuan colar neck atau dengan bantuan benda keras
lainnya yang dapat menahan kepala dan leher untuk tidak bergerak. Dapat pula
menghgunakan kedua tangan atau paha penolong ( jika penolong lebih dari 1 orang) sambil
melakukan control pada jalan napas korban.

D. Pengelolaan jalan napas


Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan membebaskan jalan napas
akibat lidah jatuh kebelakang adalah sebagai berikut :
- Head Tilt (ektensi kepala)
Dengan menekan kepala (dahi) ke bawah maka jalan napas akan berada dalam posisi yang
lurus dan terbuka. Tindakan ini tidak dianjurkan lagi karena besarnya pergerakan yang
ditimbulkan pada servikal.
- Chin Lift (angkat dagu)
Mengangkat dagu menggunakan jari dengan maksud lidah yang menyumbat jalan napas
dapat terangkat sehingga jalan napas terbuka. Jika dilakukan dengan bener cara ini tidaka
akan banyak menimbulkan gerakan pada servikal.
- Jaw Thrust (mendorong rahang)
Mendorong mandibulan (rahang) korban kea rah depan dengan maksud ynag sama dengan
chin lift. Mandibula diangkat ke atas oleh jari tengah di sudut rahang (angulus mandibula),
dorongan di dagu dilakukan dengan menggunakan ibu jari, dan jari telunjuk sebagai
penyeimbang di ramus mandibula.
- Orofaringeal Airway ( Guedel)
Alat ini berfungsi untuk menjaga jalan napas agar tetap bebas dari sumbatan. Oropharygeal
Airway dimasukkan ke dalam mulut dan diletakkan di belakang lidah.

Jaw thrust. © 2005 European Resuscitation Council.

Insertion of oropharyngeal airway. © 2005 European Resuscitation Council

Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan membebaskan jalan napas
pada sumbatan yang disebabkan oleh cairan adalah sebagai berikut :
- Finger Sweep
Teknik sapuan jari biasanya dilakukan pada penderita yang tidak sadar. Pada tindakan ini,
penolong menggunakan jarinya untuk membuang benda padat atau cairan yang mengganggu
jalan napas. Telebih dahulu mulut koban dibuka dengan menggunakan maneuver chin lift
atau jaw thrust, atau dapat pula menggunakan finger cross-menyilangkan telunjuk dan ibu jari
untuk membuka mulut korban untuk mengeluarkan cairan, dapat dibantu dengan
menggunakan bahan yang mudah menyerap cairan. Jangan memasukkan jari terlampau
dalam karena bisa menimbulkan rangsangan muntah.

- Suction
Dapat dilakukan dengan kateter suction atau alat suction khusus seperti yang dipakai di
kamar operasi. Untuk cairan (darah, secret, dsb) dapat dipakai soft tip tetapi unutk materi
yang kental sebaiknya memakai tipe yang rigid. Di lapangan, dapat dibuat suction sederhana
menggunakan spuit 10cc atau lebih besar dan selang kecil.
- Recovery Position
Posisi ini dapat digunakan untuk membuang cairan dari rongga mulut atau jalan napas. Jika
cairan sulit keluar maka dapat dibantu dengan finger sweap. Tindakan ini tidak dapat
dilakukana pada korban dengan tanda adanya cedera pada leher, tulang belakang, atau cedera
lain yang dapat bertambah parah akibat posisi ini.

Usaha-usaha unutk membebaskan jalan napas dari obstruksi total akibat banda asing dapat
dilakukan dengan :
- Back Blow-Back Slap
Tepukan pada punggung di antara kedua scapula, dengan maksud memberikan tekanan yang
besar pada rongga dada, dapat dilaukukan pada semua usia korban.
Pada korban yang masih sadar, tepukan punggung dapat dilakukan dalam keadaan berdiri.
Penolong menompang tubuh korban di bagian dada mengunakan tangan terkuat, tubuh
korban sedikit dibungkukkan untuk memudahkan benda asing keluar melalui mulut. Pada
korban tidak sadar, tepukan pada korban dapat dilakukan pada posisi korban miring stabil,
dengan syarat tidak adanya cedera leher dan tulang belakang.

- Abdominal Thrust
Tekanan pada perut di gunakan untuk memberikan untuk memberikan tekanan pada rongga
dada. Tekanan dilakukan di daerah epigastrium (daerah antara pusat dan xipoideus). Pada
korban sadar dapat dilakukan sambil berdiri. Penolong seperti memeluk korban dari belakang
dan melakukan tekanan dengan kedua tangan kearah belakang atas. Pada korban tidak sadar,
tekanan pada perut dapat dilakukan dengan menaiki tubuh korban. Tekanan diberikan dengan
sudut 45 derajat ke arah belakang atas. Pertolongan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada
korban anak-anak dibawah usia 8 tahun, bayi, wanita hamil, dan orang gemuk.

- Chest Thrust
Tekanan pada dada dilakukan dengan memberikan tekanan di daerah 2/3 strenum. Pada orang
dewasa tekanan diberikan dengan bantuan berat badan penolong-sama dengan pijatan jantung
luar. Sedangkan pada bayi, tekanan cukup dilakukan dengan dua jari.

Semua usaha pembebasan jalan napas pada penderita tersedak dilakukan sebanyak 5 kali,
setelah itu lakukan evaluasi terhadap jalan napas, jikatidak ada pebaikan, maka usaha tersebut
dapat diulangi.

Krikotiroidotomi
Tindakan pembebasan jalan napas harus senantiasa dievaluasi. Dan dilakukan dengan cepat.
Jika semua tindakan tersebut tidak berhasil, maka dapat tindakan yang dilakukan dalah
membuat jalan napas pintas pada leher. Dengan jalan membuat jalur ventilasi baru di daerah
tenggorokan, diantaratulang krikoid dan tirod. Tindakan ini dikenal dengan Krikotiroidotomi.
Jika usaha-usaha penanganan jalan napas telah dilakukan dan jalan napas dinyatakan bebas,
kembali lakukan penilaian (re-evaluasi), jika ditemukan hembusan napas maka pertahankan
jalan napas. Jika tidak ada hembusan napas maka segera periksa pernapasan
(breathing)(Hasanuddin).

- Pertimbangkan manajemen airway lanjutan


Indikasi dilakukannya teknik-teknik manajemen airway lanjutan untuk menjaga jalan napas
adalah:
o Obsruksi jalan napas yang menetap
o Trauma tusuk pada leher dengan hematom (yang meluas)
o Apneu
o Hipoksia
o Trauma kepala berat
o Trauma dada berat
o Trauma maxillofacial(Wilkinson, 2000)
Obstruksi airway membutuhkan tindakan yang URGEN

Tabel 1- Indikasi Airway Definitif

Kebutuhan untuk perlindungan airway Kebutuhan untuk ventilasi


Tidak sadar Apnea
• Paralisis neuromuskuler
• Tidak sadar
Fraktur maksilofasial Usaha nafas yang tidak adekuat
• Takipnea
• Hipoksia
• Hiperkarbia
• Sianosis
Bahaya aspirasi
• Perdarahan
• Muntah – muntah Cedera kepala tertutup berat yang
membutuhkan hiperventilasi singkat,
bila terjadi penurunan keadaan neurologis
Bahaya sumbatan
• Hematoma leher
• Cedera laring, trakea
• Stridor
(American College, 1997)
Gambar 2
Algoritme Airway

Keperluan Segera Airway Definitif

Kecurigaan cedera servikal

Oksigenasi/Ventilasi

Apneic Bernafas
Intubasi orotrakeal Intubasi Nasotrakeal
dengan imobilisasi atau orotrakeal
servikal segaris dengan imobilisasi
servikal segaris*
Cedera
maksilofasial berat

Tidak dapat intubasi Tidak dapat intubasi Tidak dapat intubasi

Tambahan farmakologik

Intubasi orotrakeal
Tidak dapat intubasi

Airway Surgical

* Kerjakan sesuai pertimbangan klinis dan tingkat ketrampilan/pengalaman

(American College, 1997)

Manajemen Breathing (Ventilasi)

Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi


Jalan napas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi
fungsi baik dari paru. Dinding thorak, dan diafragma. Pekaian yang menutupi dada korban
harus dibuka untuk melihat pernapasan korban.

1. Penilaian
1.1 Pernapasan normal.
Kecepatan bernapas manusia adalah :
• Dewasa: 16-24 x/i
• Anak-anak: 15-45 x/i
• Bayi: 30-50 x/i
Pada orang dewasa abnormal bila pernapasan >30 x/menit atau <10 x/menit. Pernapasan
umumnya torako-abdominal sedangkan pada anak-anak pernapasan abdominal lebih
dominan. Bila selalu harus dipikirkan kemungkinan cedera tulang belakang.

1.2 Sesak napas


Sesak napas dapat terlihat atau mungkin juga tidak. Bila terlihat maka mungkin akan
ditemukan :
• Penderita mengeluh sesak
• Bernapas cepat
• Pernapasan Cuping Hidung
• Pemakaian otot pernapasan tambahan :
- Retraksi Suprastrenal
- Retraksi Intercostal
- Retraksi Sternum
- Retraksi Infrasternal
• Mungkin ditemukan sianosis(Hasanuddin)

Pemeriksaan Fisik :

Inspeksi (Look/Lihat) terhadap frekuensi pernapasan adalah penting. Apakah terdapat salah
satu dari hal-hal berikut ini:
a. Sianosis
b. Trauma tusuk
c. Ada tidaknya gerakan dinding dada
d. Luka pada dada
e. Apakah ada penggunaan otot-otot pernapasan tambahan

Palpasi (Feel/Raba)
a. Pergeseran trakea
b. Fraktur costae
c. Emfisema subcutan
d. pneumothorak

Auskultasi (Listen/Dengar)
a. Pneumothorak (suara nafas menurun pada daerah trauma)
b. Deteksi suara-suara abnormal pada dada
2. Pengelolaan
a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12 liter/menit)
b. Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c. Menghilangkan tension pneumothorax
d. Menutup open pneumothorax
e. Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi
Tanda-tanda pernafasan yang memadai (adekuat)
• Dada dan perut bergerak naik turun seirama dengan pernafasan
• Udara terdengar dan terasa saat keluar dari mulut/hidung
• Penderita tampak nyaman
• Frekuensi cukup(Wilkinson, 2000)
Tanda-tanda pernafasan tidak adekuat
• Gerakan dada kurang baik
• Ada suara nafas tambahan
• Sianosis
• Frekuensi kurang atau lebih
• Perubahan status mental (gelisah)
Tanda-tanda tidak adanya pernafasan
• Tidak ada gerakan dada atau perut
• Tidak terdengar aliran udara mulut atau hidung
• Tidak terasa hembusan nafas dari mulut atau hidung(Stewart, 2005)

Manajemen sirkulasi

Setelah melakukan penangan pada system pernapasan, system sirkulasi dapat segera dinilai
dengan cara :
- Memeriksa denyut nadi ( radialis atau carotis )
Pada orang dewasa dan anak-anak, denyut nadi diraba padaarteri radialis dan arteri caritis
(medial dari M. Sternocleidomastoideus). Sedangkan pada bayi, meraba denyut nadi adalah
pada A.Brachialis, yakni pada sisi medial lengan atas. Frekuensi denyut jantung pada orang
dewasa adalah 60-100 kali/menit. Bila kurang dari 50 kali/menit disebut bradikardi dan lebih
dari 100 kali/menit disebut takikardi. Bradikardi normal sering ditemukan pada atlit yang
terlatih. Pada bayi frekuensi denyut jantung adalah 85-200 kali/menit sedangkan pada anak-
anak adalah 60-140 kali/menit. Pada syok bila ditemukan bradikardi merupakan tanda
diagnostic yang buruk.
- Menilai warna kulit
- Meraba suhu akral dan kapilari refill
- Periksa perdarahan

Selain itu, kesadaran yang menurun dapat digunakan sebagai penilaian terhadap adanya
masalah pada system sirkulasi, karena kurangnya perfusi oksigen ke otak dapat menyebabkan
terjadinya penurunan kesadaran.
Pemeriksaan sirkulasi dapat dilakukan bersamaan dengan penilaian jalan napas dan system
pernapasan. Pada saat melakukan penilaian jalan napas, nadi radialis maupun nadi carotis
dapat pula teraba.
Jika ditemukan perdarahan terbuka segera tutup dengan bebat tekan. Cegah bertambahnya
jumlah darah yang keluar. Waspada terhadap terjadinya shock. Penangana luka secara baik
dilakukan setelah korban stabil.
Jika ditemukan henti jantung, penderita mungkin masih akan berusaha menarik napas satu
atau dua kali, setelah itu akan berhenti napas. Penderita akan ditemukan dalam keadaan tidak
sadar. Pada perabaan nadi tidak ditemukan arteri yang tidak berdenyut, maka harus dilakukan
masase jantung luar yang merupakan bagian resusitasi jantung paru (RJP, CPR)(Hasanuddin,
2005)

Circulation dengan kontrol perdarahan


1.Penilaian
Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
Mengetahui sumber perdarahan internal
 Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya
pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif segera.
Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
Periksa tekanan darah
2.Pengelolaan
Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada ahli
bedah.
 Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk
pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan darah dan
cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-pasien fraktur pelvis
yang mengancam nyawa.
Cegah hipotermia (Wilkinson, 2000)
3.Evaluasi
Pengertian Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakangawat darurat akibat kegagalan sirkulasi dan
pernapasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal guna mencegah kematian biologis.
Indikasi melakukan RJP :
Henti napas (apnue)
Dapat disebabkan oleh sumbatan jalan napas atau akibat depresi pernapasan baik di sentral
maupun perifer. Berkurangnya oksigen didalam tubuh akan menberikan suatu keadaan yang
disebut hipoksia. Frekuensi napas akan lebih cepat dari pada keadaan normal. Bsils
perlangsunagnnya lama akan memberikan kelelahan pada oto-otot napas akan mengakibatkan
terjadinya penumpukan sisa-sisa pembakaran berupa gas CO2, kemudian mempengaruhi SSp
dengan menekan Pusat napas. Keadaan ini dikenal sebagai henti napas.

Henti jantung (Cardiac arrest)


Otot jantung juga membutuhkan oksigen untuk berkontraksi9 agar darah dapat dipompa
keluar darijantung ke seluruh tubh. Dengan berhentinya napas, maka oksigen akan tidak ada
sama sekali didalam tubuh sehingga jantung tidak dapat berkontraksi dan akibatnya henti
jantung (Cardiac arrest).
Langkah-langkah yang harus diambil sebelum memulai resusitasi jantung paru (RJP)
a. Penentuan tingkat kesadaran ( Respon Korban)
Dilakukan dengan menggoyangkan korban dan mengajak berbicara . Bila korban
menjawab,maka airway dalam keadaaan baik. Dan bila tidak ada respon, maka segera ambil
tindakan
b. Memanggil bantuan (call for help)
Memanggil ambulans sesegera mungkin dengan meminta bantuan kepada orang-orang di
sekitar anda. Jika dua penolong, satu penolong melakukan resusitasi , yang lain mencari
bantuan. Jika satu penolong, lakukan resusitasi minimal 1 menit sebelum mencari bantuan

c. Posisikan Korban
Korban harus dalam keadaan terlentang pada dasar yang keras (lantai, longboard). Bila dalam
keadaaan telungkup, korban dibalikan. Bila dalam keadaan trauma, pembalikan dilakukan
dengan “log roll”
d. Posisi Penolong
Korban di lantai, penolong berlutut setinggi bahu , di sisi kanan bahu korban.
e. Pemeriksaan pernafasan
Yang pertama harus selalu dipastikan adalah airway dalam keadaan baik
- Tidak terlihat gerakan otot nafas
- Tidak ada aliran udara via hidung
- Tidak dirasakan hembusan nafas dari mulut dan hidung
Dapat dilakukan dengan menggunakan teknik lihat, dengar, rasa
Bila korban bernafas, korban tidak memerlukan RJP
f. Pemeriksaan Sirkulasi
Pada orang dewasa yang tidak ada denyut nadi carotis
Pada bayi dan anak kecil yang tidak ada denyut nadi brachialis
Tidak ada tanda-tanda sirkulasi
Bila ada pulsasi dan korban bernafas, nafas buatan dapat dihentikan. Tetapi bila ada pulsasi
dan korban tidak bernafas, nafas buatan diteruskan.dan bila tidak ada pulsasi, lakukan RJP.

Henti napas
Pernapasan buatan diberikan dengan cara :
a. Mouth to mouth Ventilation
Cara langsung sudah tidak dianjurkan karena bahaya infeksi (terutama hepatitis, HIV) karena
itu harus memakai barier device (alat perantara). Dengan cara ini akan dicapai konsentrasi
oksigen hanya 18%.
b. Mouth to nose Ventilation
Penolong mengalirkan udara melalui hidung korban, sedangkan mulut korban yang ditutup
oleh tangan penolong.
c. Mouth to stoma Ventilation
Dapat dilakukan dengan membuat krikotiroidektomi yang kemudian dihembuskan udara
melalui jalan yang telah dibuat melalui prosedur krikotoroidektomi tadi
d. Mouth to Mask Ventilation
Udara ditiupkan kedalam mulut penderita dengan bantuan face mask.
e. Bag valve mask Ventilation (Ambu Bag)
Dipakai alat yang ada bag dan mask dengan di antaranya ada katup. Untuk mendapatkan
penutup masker yang baik, maka sebaiknya masker dipegang satu petugas sedangkan petugas
yang lain memompa.
f. Flow restricted Oxygen Powered Ventilation (FROP)
Pada ambulans dikenal sebagai “OXY-viva”. Alat ini secara otomatis akan memberikan
oksigen sesuai ukuran aliran yang diinginkan.

Henti jantung
RJP dapat dilakukan oleh satu orang penolong atau dua orang penolong.

Lokasi titk tumpu kompresi :


• 1/3 distal sternum atau 2 jari prosikmal Procesus Xyphoideus
• Jari tengah tangan kanan diletkkan di proc. Xiphoideus, sedangkan jari telunjuk mengikuti
• Tempatkan tumit tangan di atas jari telunjuk tersebut
• Tumit tangan satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada tepat di titik pijat jantung
• Jari-jari tangan dapat dirangkum, namun tidak boleh menyinggung dada korban.

30 chest compressions
30 2

Teknik Resusitasi Jantung Paru (kompresi)


• Kedua lengan lurusdan tegak lurus pada sternum
• Tekan ke bawah sedalam 4-5 cm
• Tekanan tidak terlalu kuat
• Tidak menyentak
• Tidak berubah tempat
• Kompresi ritmik 100x/menit (2 pijatan/detik)
• Fase pijitan dan relaksasi sama (1 : 1)
• Rasio pijat dan napas 30 : 2 ( 30 kali kompresi : 2 kali hembusan napas)
• Setelah 4 kali siklus pijatan napas, evaluasi sirkulasi.

Resusitasi jantung paru pada bayi (<1 tahun)


• 2-3 jari atau kedua ibu jari
• Titik kompresi pada 1 jari dibawah garis yang menghubungkan kedua papilla mamae tegak
lurus sternum
• Kompresi sedalam 1,5-2,5 cm
• Kompresi ritmik 5 pijatan/3 detik atau kurang lebih 100x/menit
• Rasio pijat napas 5 : 1
• Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi

Resusitasi jantung paru pada anak-anak (1-8 tahun)


• Satu telapak tangan
• Titik kompresi pada satu jari di atas proc. xypoideus
(Hasanuddin, 2003)
Pijat jantung dan napas buatan dihentikan jika :
• Penolong kelelahan dan sudah tidak kuat lagi
• Pasien sudah menunjukkan tanda-tanda kematian (kaku mayat)
• Bantuan sudah datang
• Teraba denyut karotis( European Resusitasion, 2005)
Disability
Menjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara
cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran , serta ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara
sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metode AVPU.
A: Alert (sadar)
V: Verbal/Vokal. Respons terhadap rangsangan vokal
P: Pain. Respons terhadap rangsangan nyeri
U: Unresponsive. Tidak bada respons.
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah sistem scoring yang sederhana dan dapat meramal
kesudahan (outcome) penderita. GCS ini dapat dilakukan sebagai pengganti AVPU. Bila
belum dilakukan pada survei primer, harus dilakukan pada secondary survey pada saat
pemeriksaan neurologis
Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan/atau penurunan perfusi
otak, ataupun disebabkan trauma langsung pada otak. Penurunan kesadaran menuntut
dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi.
Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Walaupun
demikian, bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia ataupun hipovolemia sebagai sebab
penurunan kesadaran, maka trauma kapitis dianggap sebagai penyebab penurunan kesadaran,
dan bukan alkoholisme, sampai terbukti sebaliknya.

Permasalahan:
Walapun sudah dilakukan segala usaha pada penderita dengan trauma kapitis, penurunan
keadaan pada penderita dapat terjadi, dan kadang terjadi dengan cepat. Lucid intervaL pada
perdarahan epidural adalah contoh penderita yang sebelumnya masih dapat berbicara tapi
sesaat kemudian meninggal. Diperlukan evaluasi ulang yang sering untuk dapat mengenal
adanya perubahan neurologis. Mungkin perlu kembali ke primary survey untuk memperbaiki
airway, oksigenasi dan ventilasi, serta perfusi. Bila diperlukan konsul sito ke ahli bedah saraf
dapat dilakukan pada primary survey.

Exposure/Environment
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara menggunting, guna
memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka, penting agar penderita tidak
kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan yang cukup hangat, dan diberikan
cairan intra vena yang sudah dihangatkan. Yang penting adalah suhu tubuh penderita, bukan
rasa nyaman petugas kesehatan.
Permasalahan:
Penderita trauma mungkin datang ke ruang operasi sudah dalam keadaan hipotermia, dan
kemungkinan diperberat dengan resusitasi cairan dan darah. Masalah seperti ini sebaiknya
diatasi dengan control perdarahan yang dilakukan secara dini. Ini mungkin hanya dapat
dicapai dengan tindakan operatif atau pemasangan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis.
Usaha menjaga suhu tubuh penderita harus ilakukan dengan sungguh-sungguh(American
College, 1997)

Anda mungkin juga menyukai