Ndahdk
Ndahdk
organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan menyembuhkan. Seperti kita ketahui,
dalam penanganan trauma di kenal primary survey yang cepat dilanjutkan resusitasi
kemudian secondary survey dan akhirnya terapi definitif. Selama primary survey, keadaan
yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Pada
primary survey dikenal sisitem ABCDE(Airway, Breathing, Circulation, Disability,
Exposure/ Enviromental control) yang disusun berdasarkan urutan prioritas penanganan . Jadi
prioritas utama penanganan adalah keadaan menjamin jalan nafas terjaga adekuat. Oleh
karena itu, trauma jalan nafas adalah keadaan yang memerlukan yang cepat dan efektif untuk
menghindari akibat yang tidak diinginkan.
Pengelolaan penderita dengan luka parah memerlukan penilaian yang cepat dan tepat.
Penilaian awal ini meliputi tahap persiapan,trease, primary survey, resusitasi,
adjunct,secondary survey,reevaluasi, dan terapi definitif(American College, 1997)
Terdapat banyak keadaan yang akan menyebabkan kematian dalam waktu singkat, tetapi
kesemuanya berakhir pada satu hasil akhir yakni kegagalan oksigenasi sel, terutama ke otak
dan jantung. Pencegahan hipoksemia memerlukan airway yang terlindungi, terbuka dan
ventilasi yang cukup yang merupakan prioritas yang harus didahulukan keadaan
lainnya(European Resusitasion, 2003)
Persiapan penderita berlangsung dari fase pra rumah sakit hingga ke fase rumah sakit. Pada
fase pra rumah sakit, titik berat diberikan pada penjagaan saluran nafas, kontrol pendarahan
dan syok, immobilisasi penderita, dan segera ke rumah sakit terdekat dengan fasilitas yang
memadai. Persiapan pada fase rumah sakit mencakup persiapan sumber daya manusia,
sarana, dan prasarana yang diperlukan untuk resusitasi.
Penilaian primary survey berpatokan pada urutan ABCDE :
A airway (jalan nafas)
B breathing (bantuan nafas)
C circulation (bantuan sirkulasi)
D defibrillation (terapi listrik)
E exposure (environmental control)
(American College, 1997)
BAB II
INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAANNYA
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat dan tepat
untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu
diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial
assessment ( penilaian awal ).
Penilaian awal meliputi:
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan
9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik
Urutan kejadian diatas diterapkan seolah-seolah berurutan namun dalam praktek sehari-hari
dapat dilakukan secara bersamaan dan terus menerus.
I. PERSIAPAN
A. Fase Pra-Rumah Sakit
1. Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan petugas lapangan
2. Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit sebelum penderita mulai diangkut
dari tempat kejadian.
3. Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah sakit seperti waktu kejadian,
sebab kejadian, mekanisme kejadian dan riwayat penderita.
B. Fase Rumah Sakit
1. Perencanaan sebelum penderita tiba
2. Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakkan di tempat yang mudah
dijangkau
3. Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan diletakkan pada tempat yang
mudah dijangkau
4. Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi apabila sewaktu-waktu
dibutuhkan.
5. Pemakaian alat-alat proteksi diri
II. TRIASE
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang
tersedia. Dua jenis triase :
A. Multiple Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita
dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan mendapatkan prioritas
penanganan lebih dahulu.
B. Mass Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita dengan
kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga yang
paling sedikit akan mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
Gambar 1
Alur Skema Triase
(American College, 1997)
Manajemen Airway
Prioritas utama adalah membuat atau memelihara airway yang bebas.
- Berbicara pada pasien
Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas pasti memiliki airway yang bebas. Pasien
yang tidak sadar mungkin saja membutuhkan bantuan airway dan ventilasi. Vertebra cervical
harus dilindungi selama dilakukannya intubasi endotracheal bila diduga adanya trauma
kepala, leher atau dada. Penyumbatan airway paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah
pada pasien-pasien yang tidak sadarkan diri(Wilkinson, 2000).
check response shout for help
Open airway check breathing
A. Penilaian
Setelah menilai kesadaran, maka penolong harus dengan segera dapat menilai fungsi jalan
napas. Pada korban yang sadar dan dapat bersuara, jalan napas biasas dikatakan bebas atau
tidak ada gangguan. Pada korban yang tidak mengeluarkan suara atau tidak sadar, maka
penilaian jalan napas dapat dilakukan dengan :
- Look (lihat)
Melihat langsung ke rongga mulut ada atau tidaknyanya sumbatan pada jalan napas.
- Listen (dengar)
Mendengarkan suara napas korban. Adanya snoring atau gurgling.
- Feel (rasakan)
Merasakan dengan pipi atau punggung tangan adanya hembusan napas dari korban.
C. Kontrol Servikal
Berbagai usaha dapat dilakukan dalam membebaskan jalan napas sesuai dengan jenis
sumbatanya. Tapi perlu diingat bahwa sebelum melakukan berbagai tindakan pada jalan
napas, terlebih dahulu dilakukan adalah C-spine control. Kemungkinan adanya cedera leher-
ditandai dengan jejas atau tanda trauma di daerah atas os clavicula termasuk di kepala- harus
diwaspadai. Pada korban trauma yang tidak sadar adan atau tidak diketahui mekanisme
terjadinya trauma dengan pasti, meskipun tidak ditemukan adanya tanda cedera leher, patut
dicurigai mengalami cedera leher. Tindakan yang menyebabkan bergeraknya servikal pada
cedera leher dapat menyebabkan henti napas dan henti jantung seketika.
Kontrol servikal dapat dilakukan dengan bantuan colar neck atau dengan bantuan benda keras
lainnya yang dapat menahan kepala dan leher untuk tidak bergerak. Dapat pula
menghgunakan kedua tangan atau paha penolong ( jika penolong lebih dari 1 orang) sambil
melakukan control pada jalan napas korban.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan membebaskan jalan napas
pada sumbatan yang disebabkan oleh cairan adalah sebagai berikut :
- Finger Sweep
Teknik sapuan jari biasanya dilakukan pada penderita yang tidak sadar. Pada tindakan ini,
penolong menggunakan jarinya untuk membuang benda padat atau cairan yang mengganggu
jalan napas. Telebih dahulu mulut koban dibuka dengan menggunakan maneuver chin lift
atau jaw thrust, atau dapat pula menggunakan finger cross-menyilangkan telunjuk dan ibu jari
untuk membuka mulut korban untuk mengeluarkan cairan, dapat dibantu dengan
menggunakan bahan yang mudah menyerap cairan. Jangan memasukkan jari terlampau
dalam karena bisa menimbulkan rangsangan muntah.
- Suction
Dapat dilakukan dengan kateter suction atau alat suction khusus seperti yang dipakai di
kamar operasi. Untuk cairan (darah, secret, dsb) dapat dipakai soft tip tetapi unutk materi
yang kental sebaiknya memakai tipe yang rigid. Di lapangan, dapat dibuat suction sederhana
menggunakan spuit 10cc atau lebih besar dan selang kecil.
- Recovery Position
Posisi ini dapat digunakan untuk membuang cairan dari rongga mulut atau jalan napas. Jika
cairan sulit keluar maka dapat dibantu dengan finger sweap. Tindakan ini tidak dapat
dilakukana pada korban dengan tanda adanya cedera pada leher, tulang belakang, atau cedera
lain yang dapat bertambah parah akibat posisi ini.
Usaha-usaha unutk membebaskan jalan napas dari obstruksi total akibat banda asing dapat
dilakukan dengan :
- Back Blow-Back Slap
Tepukan pada punggung di antara kedua scapula, dengan maksud memberikan tekanan yang
besar pada rongga dada, dapat dilaukukan pada semua usia korban.
Pada korban yang masih sadar, tepukan punggung dapat dilakukan dalam keadaan berdiri.
Penolong menompang tubuh korban di bagian dada mengunakan tangan terkuat, tubuh
korban sedikit dibungkukkan untuk memudahkan benda asing keluar melalui mulut. Pada
korban tidak sadar, tepukan pada korban dapat dilakukan pada posisi korban miring stabil,
dengan syarat tidak adanya cedera leher dan tulang belakang.
- Abdominal Thrust
Tekanan pada perut di gunakan untuk memberikan untuk memberikan tekanan pada rongga
dada. Tekanan dilakukan di daerah epigastrium (daerah antara pusat dan xipoideus). Pada
korban sadar dapat dilakukan sambil berdiri. Penolong seperti memeluk korban dari belakang
dan melakukan tekanan dengan kedua tangan kearah belakang atas. Pada korban tidak sadar,
tekanan pada perut dapat dilakukan dengan menaiki tubuh korban. Tekanan diberikan dengan
sudut 45 derajat ke arah belakang atas. Pertolongan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada
korban anak-anak dibawah usia 8 tahun, bayi, wanita hamil, dan orang gemuk.
- Chest Thrust
Tekanan pada dada dilakukan dengan memberikan tekanan di daerah 2/3 strenum. Pada orang
dewasa tekanan diberikan dengan bantuan berat badan penolong-sama dengan pijatan jantung
luar. Sedangkan pada bayi, tekanan cukup dilakukan dengan dua jari.
Semua usaha pembebasan jalan napas pada penderita tersedak dilakukan sebanyak 5 kali,
setelah itu lakukan evaluasi terhadap jalan napas, jikatidak ada pebaikan, maka usaha tersebut
dapat diulangi.
Krikotiroidotomi
Tindakan pembebasan jalan napas harus senantiasa dievaluasi. Dan dilakukan dengan cepat.
Jika semua tindakan tersebut tidak berhasil, maka dapat tindakan yang dilakukan dalah
membuat jalan napas pintas pada leher. Dengan jalan membuat jalur ventilasi baru di daerah
tenggorokan, diantaratulang krikoid dan tirod. Tindakan ini dikenal dengan Krikotiroidotomi.
Jika usaha-usaha penanganan jalan napas telah dilakukan dan jalan napas dinyatakan bebas,
kembali lakukan penilaian (re-evaluasi), jika ditemukan hembusan napas maka pertahankan
jalan napas. Jika tidak ada hembusan napas maka segera periksa pernapasan
(breathing)(Hasanuddin).
Oksigenasi/Ventilasi
Apneic Bernafas
Intubasi orotrakeal Intubasi Nasotrakeal
dengan imobilisasi atau orotrakeal
servikal segaris dengan imobilisasi
servikal segaris*
Cedera
maksilofasial berat
Tambahan farmakologik
Intubasi orotrakeal
Tidak dapat intubasi
Airway Surgical
1. Penilaian
1.1 Pernapasan normal.
Kecepatan bernapas manusia adalah :
• Dewasa: 16-24 x/i
• Anak-anak: 15-45 x/i
• Bayi: 30-50 x/i
Pada orang dewasa abnormal bila pernapasan >30 x/menit atau <10 x/menit. Pernapasan
umumnya torako-abdominal sedangkan pada anak-anak pernapasan abdominal lebih
dominan. Bila selalu harus dipikirkan kemungkinan cedera tulang belakang.
Pemeriksaan Fisik :
Inspeksi (Look/Lihat) terhadap frekuensi pernapasan adalah penting. Apakah terdapat salah
satu dari hal-hal berikut ini:
a. Sianosis
b. Trauma tusuk
c. Ada tidaknya gerakan dinding dada
d. Luka pada dada
e. Apakah ada penggunaan otot-otot pernapasan tambahan
Palpasi (Feel/Raba)
a. Pergeseran trakea
b. Fraktur costae
c. Emfisema subcutan
d. pneumothorak
Auskultasi (Listen/Dengar)
a. Pneumothorak (suara nafas menurun pada daerah trauma)
b. Deteksi suara-suara abnormal pada dada
2. Pengelolaan
a. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12 liter/menit)
b. Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c. Menghilangkan tension pneumothorax
d. Menutup open pneumothorax
e. Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi
Tanda-tanda pernafasan yang memadai (adekuat)
• Dada dan perut bergerak naik turun seirama dengan pernafasan
• Udara terdengar dan terasa saat keluar dari mulut/hidung
• Penderita tampak nyaman
• Frekuensi cukup(Wilkinson, 2000)
Tanda-tanda pernafasan tidak adekuat
• Gerakan dada kurang baik
• Ada suara nafas tambahan
• Sianosis
• Frekuensi kurang atau lebih
• Perubahan status mental (gelisah)
Tanda-tanda tidak adanya pernafasan
• Tidak ada gerakan dada atau perut
• Tidak terdengar aliran udara mulut atau hidung
• Tidak terasa hembusan nafas dari mulut atau hidung(Stewart, 2005)
Manajemen sirkulasi
Setelah melakukan penangan pada system pernapasan, system sirkulasi dapat segera dinilai
dengan cara :
- Memeriksa denyut nadi ( radialis atau carotis )
Pada orang dewasa dan anak-anak, denyut nadi diraba padaarteri radialis dan arteri caritis
(medial dari M. Sternocleidomastoideus). Sedangkan pada bayi, meraba denyut nadi adalah
pada A.Brachialis, yakni pada sisi medial lengan atas. Frekuensi denyut jantung pada orang
dewasa adalah 60-100 kali/menit. Bila kurang dari 50 kali/menit disebut bradikardi dan lebih
dari 100 kali/menit disebut takikardi. Bradikardi normal sering ditemukan pada atlit yang
terlatih. Pada bayi frekuensi denyut jantung adalah 85-200 kali/menit sedangkan pada anak-
anak adalah 60-140 kali/menit. Pada syok bila ditemukan bradikardi merupakan tanda
diagnostic yang buruk.
- Menilai warna kulit
- Meraba suhu akral dan kapilari refill
- Periksa perdarahan
Selain itu, kesadaran yang menurun dapat digunakan sebagai penilaian terhadap adanya
masalah pada system sirkulasi, karena kurangnya perfusi oksigen ke otak dapat menyebabkan
terjadinya penurunan kesadaran.
Pemeriksaan sirkulasi dapat dilakukan bersamaan dengan penilaian jalan napas dan system
pernapasan. Pada saat melakukan penilaian jalan napas, nadi radialis maupun nadi carotis
dapat pula teraba.
Jika ditemukan perdarahan terbuka segera tutup dengan bebat tekan. Cegah bertambahnya
jumlah darah yang keluar. Waspada terhadap terjadinya shock. Penangana luka secara baik
dilakukan setelah korban stabil.
Jika ditemukan henti jantung, penderita mungkin masih akan berusaha menarik napas satu
atau dua kali, setelah itu akan berhenti napas. Penderita akan ditemukan dalam keadaan tidak
sadar. Pada perabaan nadi tidak ditemukan arteri yang tidak berdenyut, maka harus dilakukan
masase jantung luar yang merupakan bagian resusitasi jantung paru (RJP, CPR)(Hasanuddin,
2005)
c. Posisikan Korban
Korban harus dalam keadaan terlentang pada dasar yang keras (lantai, longboard). Bila dalam
keadaaan telungkup, korban dibalikan. Bila dalam keadaan trauma, pembalikan dilakukan
dengan “log roll”
d. Posisi Penolong
Korban di lantai, penolong berlutut setinggi bahu , di sisi kanan bahu korban.
e. Pemeriksaan pernafasan
Yang pertama harus selalu dipastikan adalah airway dalam keadaan baik
- Tidak terlihat gerakan otot nafas
- Tidak ada aliran udara via hidung
- Tidak dirasakan hembusan nafas dari mulut dan hidung
Dapat dilakukan dengan menggunakan teknik lihat, dengar, rasa
Bila korban bernafas, korban tidak memerlukan RJP
f. Pemeriksaan Sirkulasi
Pada orang dewasa yang tidak ada denyut nadi carotis
Pada bayi dan anak kecil yang tidak ada denyut nadi brachialis
Tidak ada tanda-tanda sirkulasi
Bila ada pulsasi dan korban bernafas, nafas buatan dapat dihentikan. Tetapi bila ada pulsasi
dan korban tidak bernafas, nafas buatan diteruskan.dan bila tidak ada pulsasi, lakukan RJP.
Henti napas
Pernapasan buatan diberikan dengan cara :
a. Mouth to mouth Ventilation
Cara langsung sudah tidak dianjurkan karena bahaya infeksi (terutama hepatitis, HIV) karena
itu harus memakai barier device (alat perantara). Dengan cara ini akan dicapai konsentrasi
oksigen hanya 18%.
b. Mouth to nose Ventilation
Penolong mengalirkan udara melalui hidung korban, sedangkan mulut korban yang ditutup
oleh tangan penolong.
c. Mouth to stoma Ventilation
Dapat dilakukan dengan membuat krikotiroidektomi yang kemudian dihembuskan udara
melalui jalan yang telah dibuat melalui prosedur krikotoroidektomi tadi
d. Mouth to Mask Ventilation
Udara ditiupkan kedalam mulut penderita dengan bantuan face mask.
e. Bag valve mask Ventilation (Ambu Bag)
Dipakai alat yang ada bag dan mask dengan di antaranya ada katup. Untuk mendapatkan
penutup masker yang baik, maka sebaiknya masker dipegang satu petugas sedangkan petugas
yang lain memompa.
f. Flow restricted Oxygen Powered Ventilation (FROP)
Pada ambulans dikenal sebagai “OXY-viva”. Alat ini secara otomatis akan memberikan
oksigen sesuai ukuran aliran yang diinginkan.
Henti jantung
RJP dapat dilakukan oleh satu orang penolong atau dua orang penolong.
30 chest compressions
30 2
Permasalahan:
Walapun sudah dilakukan segala usaha pada penderita dengan trauma kapitis, penurunan
keadaan pada penderita dapat terjadi, dan kadang terjadi dengan cepat. Lucid intervaL pada
perdarahan epidural adalah contoh penderita yang sebelumnya masih dapat berbicara tapi
sesaat kemudian meninggal. Diperlukan evaluasi ulang yang sering untuk dapat mengenal
adanya perubahan neurologis. Mungkin perlu kembali ke primary survey untuk memperbaiki
airway, oksigenasi dan ventilasi, serta perfusi. Bila diperlukan konsul sito ke ahli bedah saraf
dapat dilakukan pada primary survey.
Exposure/Environment
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara menggunting, guna
memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka, penting agar penderita tidak
kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan yang cukup hangat, dan diberikan
cairan intra vena yang sudah dihangatkan. Yang penting adalah suhu tubuh penderita, bukan
rasa nyaman petugas kesehatan.
Permasalahan:
Penderita trauma mungkin datang ke ruang operasi sudah dalam keadaan hipotermia, dan
kemungkinan diperberat dengan resusitasi cairan dan darah. Masalah seperti ini sebaiknya
diatasi dengan control perdarahan yang dilakukan secara dini. Ini mungkin hanya dapat
dicapai dengan tindakan operatif atau pemasangan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis.
Usaha menjaga suhu tubuh penderita harus ilakukan dengan sungguh-sungguh(American
College, 1997)