Anda di halaman 1dari 12

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Frakur Suprakondiler humerus merupakan fraktur yang terjadi pada 1/3 distal humerus
tepat di proksimal troklea dan kapitulum humeri yang melewati fossa olekranon. Fraktur ini
merupakan salah satu jenis fraktur yang mengenai daerah siku.1

1.2 Epidemiologi & Etiologi


Fraktur suprakondiler humerus adalah fraktur yang terjadi pada siku , yaitu sekitar 55-
75% dari semua fraktur siku. Fraktur suprakondiler humerus lebih sering ditemukan pada
anak-anak dibandingkan pada orang dewasa. Tingkat rata-rata pertahun penderita fraktur
suprakondiler humerus pada anak-anak diperkirakan 177,3/100.000. mayoritas terjadinya
fraktur suprakondiler humerus yaitu usia 3-10 tahun, dengan puncak kejadiannya pada usia 5
dan 7 tahun. Perbandingan pria dan wanita adalah 3:2, yang mana paling sering ditemukan
pada siku kiri atau sisi yang tidak dominan.2,3
Etiologi fraktur suprakondiler humerus yaitu karena adanya riwayat trauma atau cedera,
kecelakaan kendaraan bermotor, dan jatuh dari ketinggian.2

1.3 Anatomi dan Fisiologi


Ujung distal humerus berbentuk pipih antero-posterior, bersama-sama dengan ujung
proksimal radius dan ulna membentuk persendian jenis ginglimus di arthroradialis atau
“hinge joint”. Ujung distal humerus terdiri dari dua kondilus tebal (lateralis dan medialis)
yang tersusun oleh tulang konsoleus. Pada anak-anak, ujung distal humerus terdiri dari
kartilago. Batas massa kartilago dengan batas tulang merupakan tempat yang lemah,dimana
sering terjadi pemisahan epifisis.4
Tulang panjang dibagi menjadi tiga wilayah topografi, yaitu diafisis, epifisis, dan
metafisis. Diafisis merupakan bagian poros tulang, sedangkan epifisis tampak di kedua ujung
tulang dan sebagian tertutup oleh tulang rawan artikular. Metafisis merupakan persambungan
antara bagian diafisis dan epifisis. Dalam perkembangan tulang, proses perkembangannya
sendiri dimulai dari lempeng epifisis (ephyphiseal disk). Di tempat inilah terjadi proses

1
osifikasi endokhondral, dimana proses pertumbuhan terjadi secara longitudinal, kolom tulang
rawan yang mengandung vaskularisasi diganti dengan massa tulang. Ketika mencapai
panjang dewasa, proses ini berakhir dan terjadi penutupan epifisis, sehingga tulang menjadi
benar-benar kaku. Osifikasi endokondral bertanggung jawab pada pembentukan sebagian
besar tulang manusia.13
Osifikasi pertama kali terjadi di diafisis, yang merupakan pusat osifikasi primer, pada
masa embrionik. Pada waktu lahir, sebagian besar diafisis telah mengalami osifikasi, sedang
epififisis masih berupa kartilago. Osifikasi sekunder baru berlangsung pada tahun pertama
masa bayi. Karena osifikasi berasal dari dua arah, yaitu dari epifisis dan diafisis, maka hanya
daerah di tengah kedua arah (lempeng epifisis) yang masih berupa kartilago.13
Humerus distal tampak seperti segitiga apabila dilihat dari sisi anterior atau posterior
(gambar 1.1) diafisis humerus terbagi menjadi dua, yaitu medial dan lateral. Troklea
terbungkus oleh tulang rawan artikuler di bagian anterior, posterior, dan inferior, yang
kemudan membentuk lengkungan kira-kira sebesar 270⁰.4

Bagian posterior kolum lateralis dari humerus distal dilindungi oleh origo distal dari
medial head otot trisep dan bagian distal oleh origo Anconeus. Brachioradialis dan ekstensor
carpii radialis longus berasal dari ridge suprakondiler lateral. Common extensor mass terdiri
dari extensor carpii radalis brevis, extensor digitorum communis, dan extensor carpi
ulnaris,serta bagian cephal otot Anconeus yang berasal dari lateral epikondilus lateralis,
posterior terhadap lateral kolateral ligament kompleks.4
Pendekatan posterior paling banyak dilakukan dalam pembedahan distal humerus, karena
aman untuk saraf radalis dan ulnaris (Gambar 1.2). pada bagian lateral dari tulang humerus,
saraf radialis bercabang menjadi tiga, yaitu medial head triceps, lower lateral brachial
cutaneous nerve, dan sambungan saraf radialis di lengan bawah (posterior intraosseus nerve

2
dan superficial cutaneous nerve). Setelah bercabang, posterior intraosseus nerve menembus
septum intermuskularis lateralis (Gambar 1.3).4

Gambar 1.2. Hubungan Struktur Anatomis pada Ekstremitas Atas

Gambar 1.3. Tampak Posterior Fokus pada Humerus terhadap Sendi Siku

3
Pada tingkat perlekatan distal daripada korakobrakhialis terhadap humerus, saraf ulnaris
berjalan dari kompartemen anterior menuju kompartemen posterior dari lengan atas dengan
menembus septum intermuskularis medial. Saraf berjalan sepanjang batas anteromedial dari
medial head of triceps sepanjang septum intermuskularis medialis.4

1.4 Mekanisme Cedera


Kemampuan hiperekstensi sendi siku umum terjadi pada anak-anak, hal ini terjadi karena
kelemahan ligamen yang bersifat fisiologis. Kemudian, kolum bagian medial dan lateral dari
humerus distal dihubungkan oleh segmen tipis dari tulang antara olekranon pada bagian
posterior dan koronoid pada fossa anterior, yang menyebabkan tingginya resiko fraktur pada
daerah tersebut.5
Fraktur suprakondiler humerus sering terjadi akibat hiperekstensi siku (sekitar 95%).
Jatuh dalam keadaan tangan terentang membentuk hiperekstensi dari siku, dengan olekranon
bertindak sebagai fulcrum pada fossa. Bagian anterior dari kapsul secara stimulan
memberikan gaya regang pada humerus bagian distal terhadap insersinya. Tekanan ekstensi
yang kontinyu akan mengakibatkan segmen posterior humerus terdesak ke distal dan
terpuntir ke anterior, yang dapat mengakibatkan kerusakan segmen anterior neurovaskular.
Mekanisme ini mengakibatkan kerusakan periosteum anterior, namun periosteum bagian
posterior tetap intak. Arah peregseran pada suatu bidang koronal mengindikasikan resiko
terhadap struktur jaringan otot halus. Jika patahan mengarah ke sisi medial, saraf radialis
akan beresiko sedangkan jika mengarah ke sisi lateral, akan menjepit area brakhialis dan
saraf medianus.6
Tipe yang jarang terjadi (5%) yaitu fraktur suprakondiler tipe fleksi, yang diakibatkan
karena jatuh dengan posisi siku fleksi. Patahan jenis ini, sangat menantang untuk direduksi
mengingat resiko kerusakan saraf ulnaris.5

1.5 Klasifikasi
Fraktur Supra kondiler Humeri (transkondiler) merupakan fraktur yang paling sering
ditemukan pada anak-anak setelah fraktur antebrakhi. Dikenal dua tipe Fraktur Suprakondiler
Humeri berdasarkan pergeseran fragmen distal, yaitu:

4
a. Tipe Posterior (Tipe Ekstensi) ; merupakan 99% dari seluruh jenis fraktur suprakondiler
humeri. Pada tipe ini fragmen distal bergeser ke arah posterior.
b. Tipe Anterior (Tipe Fleksi) ; hanya merupakan 1-2% dari seluruh Fraktur Suprakondiler
Humeri. Pada tipe ini fragmen distal bergeser ke arah anterior

Klasifikasi yang dipakai adalah klasifikasi Gartland, antara lain:7,8


a. Tipe I
Gartland tipe I merupakan fraktur suprakondiler yang tidak bergeser atau minimal
displaced (<2mm) dan disertai dengan garis anterior humeral yang utuh dengan atau
tanpa adanya bukti cedera pada tulang. Posterior fat pad sign merupakan satu-satunya
bukti adanya fraktur. Pada tipe ini terdapat fraktur tanpa adanya pergeseran dan hanya
berupa retak yang berupa garis. Selain itu, fraktur tipe ini sangat stabil karena periosteum
sirkumferensial masih utuh.
b. Tipe II
Gartland tipe I merupakan fraktur suprakondiler yang disertai pergeseran (>2mm), dan
krorteks bagian posterior kemungkinan masih utuh dan berfungsi sebagai engsel. Tidak
ada pergeseran fragmen, hanya terjadi perubahan sudut antara humerus dan kondilus
lateralis. Pada gambaran foto rontgen elbow true lateral, garis anterior humerus tidak
melewati 1/3 tengan dari kapitelium. Secara umum, tidak tampak deformitas rotasional
pda posisi foto roentgen AP karena posterior hinge masih utuh.
c. Tipe III
Gartland tipe I merupakan fraktur suprakondiler dimana terdapat pergeseran fragmen,
tetapi korteks posterior masih utuh serta masih ada kontak antara kedua fragmen,
biasanya disertai dengan ekstensi pada bidang sagital dan rotasi pada frontal dan/atau
bidang transversal. Periosteum mengalami robekan yang luas, sering disertai dengan
kerusakan pada jaringan lunak dan neurovaskular. Keterlibatan kolum medialis
menyebabkan malrotasi menjadi lebih signifikan pada bidang frontal. Adanya deformitas
rotasional yang tampak pada gambaran foto roentgen AP digolongkan pula sebagai
fraktur tipe III.

5
d. Tipe IV
Gartland tipe IV ditandai dengan instabilitas multidireksional, yaitu pergeseran kedua
fragmen dan tidak ada kontak sama sekali, yang disebabkan terjadinya inkompetensi
sirkumferensial dari periosteal hinge dan terjadinya instabilitas pada fleksi dan ekstensi.
Instabilitas multidireksional ini ditemukan pada saat pasien dalam kondisi teranastesi saat
dilakukan operasi. Instabilitas ini dapat disebabkan oleh cedera yang terjadi maupun
iatrogenik, yaitu pada saat dilakukan reduksi.

Modifikasi klasifikasi Gartland yang dibuat oleh Wikin pada fraktur


suprakondiler humerus merupakan jenis klasifikasi yang paling diterima dan paling
banyak digunakan.7,8

1.6 Evaluasi Klinis


Penderita anak-anak yang datang dengan fraktur suprakondiler humerus mengeluh nyeri
di sekitar bahu setelah jatuh. Keluhan lainnya adalah bengkak di daerah bahu atau gerakan
aktif bahu yang menjadi terbatas atau deformitas yang mungkin nampak, kesemutan (baal,
parestesia), denyut nadi arteri radialis yang berkurang (pulselessness), serta kelumpuhan
(paralisis).2
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan:7,8
1. Tipe ekstensi: Sendi siku dalam posisi ekstensi daerah siku tampak bengkak akibat
tonjolan fragmen subkutis.
2. Tipe fleksi: posisi siku fleksi/semifleksi dengan siku yang bengkak dan sudut jinjing yang
berubah.
3. Gangguan sirkulasi perifer dan lesi pada saraf tepi: warna kulit, palpasi pulsasi,
temperatur, waktu CRT memanjang, sehingga memerlukan tindakan reduksi segera.
4. n.Medianus : dimana tidak dapat oposisi ibu jari dengan jari lainnya (28-60%)
5. Cabang n.Medianus: N.introsseus anterior terjadi ketidakmampuan jari I dan II untuk
melakukan fleksi (pointing sign).
6. n.Radialis ; dimana terjadi ketidakmampuan melakukan ekstensi ibu jari dan ekstensi jari
lainnya pada sendi metakarpofalangeal

6
Ekstremitas yang cedera harus diperiksa, yaitu pemeriksaan pembengkakan
jaringan lunak, laserasi, abrasi, ataupun kerutan pada kulit, serta penilaian ada atau
tidaknya patah pada ekstremitas tersebut. Kerutan pada kulit disebabkan karena fragmen
proksimal daripada fraktur menusuk otor brakhialis dan menyebabkan tertariknya dermis
bagian dalam. Hal ini menandakan terjadinya kerusakan jaringan lunak. Adanya
perdarahan pada luka di daerah terjadinya fraktur, merupakan salah satu indikasi
terjadinya suatu fraktur terbuka.10,11
Penilaian status vaskuler juga merupakan hal yang penting. Indikator klinis
adanya perfusi yang cukup di bagian distal meliputi pengisian kapiler yang normal, suhu,
dan warna kulit. Status vaskuler dapat dikategorikan menjadi 3 kategori, yaitu:7,8
- Kategori I, mengindikasikan bahwa tangan memiliki perfusi yang baik, dan a.radialis
teraba
- Kategori II, mengindikasikan bahwa tangan memiliki perfusi yang baik, namun
a.radialis tidak teraba
- Kategori III, mengindikasikan bahwa tangan mengalami perfusi yang sangat buruk
dan tidak terabanya a.radialis

1.7 Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiologi pada siku harus meliputi proyeksi anteroposterior (AP) dan lateral.
Pada proyeksi true AP, sebaiknya diambil humerus distal daripada siku, karena lebih akurat
dalam mengevaluasi humerus dstal dan meminimalisir kesalahan dalam menentukan angulasi
malalignment pada humerus distal. Pada proyeksi AP, sudut Baumann (humeral capitellar
angle) adalah penanda penting dalam menilai fraktur suprakondiler (Gambar 1.4). Sudut ini
dibentuk oleh perpotongan antara garis pada sumbu humerus dengan garis yang digambarkan
sepanjang lempeng pertumbuhan kondilus lateral dari siku.2,3

7
Gambar 1.4. Baumann’s angle

Sudut humeral ulnar adalah sudut yang dibentuk oleh perpotongan diafisis humerus dan
ulna. Sudut ini berguna untuk menentukan carrying angle. Medial epicondylar epiphyseal
angle adalah alternatif dalam pemeriksaan AP selain sudut Baumann. Sudut ini dibentuk oleh
perpotongan sumbu humerus dengan garis sepanjang medial epicondylar epiphyseal plate.
Baik sudut Baumann dan medial epicondylar epiphyseal angle berguna untuk menentukan
kecukupan reduksi fraktur suprakondiler.2,3,5
Pada proyeksi lateral, sebaiknya humerus diambil sesuai posisi anatomis dan tidak
eksternal rotasi. Pada proyeksi ini dapat dilihat anterior humeral line, yaitu garis yang
memotong pusat osifikasi kapitelium dengan bagian anterior humerus. Pada fraktur
suprakondiler tipe ekstensi, capitellium terletak posterior dari garis ini. Fat-pad sign, sebagai
suatu tanda adanya efusi intraartikuler dapat juga terlihat dalam proyeksi lateral.2,3,5
Pada proyeksi lateral juga ditemukan teardrop atau bayangan radiografis yang dibentuk
oleh batas posterior fossa koronoid pada bagian depan, batas anterior fossa olekranon pada
bagian belakang, dan batas superior pusat osifikasi capitellar pada bagian bawah. Selain itu
ditemukan pula garis koronoid dan sudut diafisis-kondiler. Garis koronoid adalah garis yang
bersinggungan antara anterior prosessus koronoid dengan anterior kondilus lateralis.
Sedangkan nilai normal sudut diafisis-kondiler adalah 30-45⁰.2,3,5

8
Adapun hasil proyeksi oblique mungkin berguna untuk melihat pergeseran fraktur yang
minimalis. Dapat pula membantu membedakan fraktur suprakondiler dengan kondilus yang
tersembunyi, yang tidak dapat terlihat pada proyeksi AP dan lateral. Proyeksi oblique tidak
rutin dilakukan dalam pemeriksaan cedera siku.2,3,5

1.8 Penatalaksanaan
1.8.1 Manajemen Awal
Fraktur suprakondler yang mengalami pergeseran memerlukan penanganan awal
berupa pemasangan splint, dengan siku berada dalam posisi yang nyaman, yaitu 20-40⁰
dalam posisi fleksi dan hindari pemasangan splint yang terlalu ketat. Fleksi dan ekstensi
yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya gangguan pada aliran vaskular dan
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan kompartemen. Namun, perlu dievaluasi
lebih lanjut karena sering terjadi kekakuan sendi bahu dan kerusakan fisis. Adapun
pertimbangan penatalaksanaan fraktur suprakondiler adalah bagaimana mencegah
kerusakan seperti sindrom kompartemen dan mengurangi komplikasi seperti cubitus
varus dan kekakuan.12
Dameron mencatat, berdasarkan jenis fraktur, terdapat 4 macam penanganan,
yaitu:5
- Side-arm skin traction
- Overhead skeletal traction
- Closed reduction and casting with or without percutaneous pinning
- Open reduction and internal fixation

1.8.2 Penanganan dengan Traksi


Traksi merupakan terapi definitif bagi fraktur suprakondiler dan merupakan salah
satu pilihan terapi yang sudah digunakan. Kelebihan traksi, baik skin maupun skeletal
traction diantaranya aman karena jarang terjadi iskemik Volkmann, hasil yang baik
karena jarang terjadi deformitas varus dan valgus, dapat diaplikasikan untuk fraktur yang
baru terjadi maupun yang sudah beberapa hari, baik stabil maupun tidak stabil. Namun,
kelemahan penanganan adalah lamanya masa perawatan di rumah sakit yang berkisar
antara 14-20 hari.12

9
Pada penelitian uji klinis acak yang dilakukan oleh Kuzma, yang membandingkan
antara skin traction dan skeletal traction dalam menangani fraktur suprakondiler
humerus, bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan dalam hal gambaran klinis, mobilitas
bahu, dan prevalensi terjadinya deformitas cabitus varus. Namun, skin traction memiliki
kelebihan yaitu mudah dan tidak mempersiapkan peralatann seperti ruang operasi
ataupun bius. Penelitian yang dilakukan oleh Gadgil dk, bahwa skin traction efektif dan
aman untuk dilakukan pada anak dengan umur kurang dari 10 tahun.13

1.8.3 Reduksi tertutup dengan Penggunaan Casting dengan atau tanpa Fiksasi Pinning
Perkutan
Penggunaan casting digunakan untuk patah tulang dengan pergeseran minimal.
Awalnya, reduksi tertutup dan penggunaan casting merupakan pilihan untuk fraktur yang
mengalami pergeseran, karena didapatkan hasil yang baik pada 90% pasien dan tidak
ditemukan masalah vaskularisasi atau malunion. Apabila ditemukan pergeseran fraktur
yang sedang disertai adanya hematom yang terfiksir dengan fasia antecubital yang intak,
fleksi cenderiung akan mengakibatkan iskemik Volkmann. Menurut Rang, fiksasi casting
adalah metode lampau merujuk pada dua kasus kontraktur Volkmann komplit tipe
lambat.12
Reduksi tertutup dan fiksasi pinning merupakan pilihan terapi fraktur
suprakondiler yang paling banyak digunakan. AAOS menyarankan reduksi tertutup dan
fiksasi pinning pada pasien dengan fraktur suprakondiler humerus tertutup yang
mengalami pergeseran.14

1.8.4 Reduksi Terbuka


Indikasi dilakukannya tatalaksana reduksi terbuka adalah pada fraktur terbuka,
gagal setelah reduksi tertutup, dan fraktur yang berhubungan dengan gangguan
vaskularisasi. Pada masa lalu, reduksi terbuka dikhawatirkan menyebabkan terjadinya
kekakuan sendi, myositis osifikan, jaringan parut yang menganggu kosmetik dan cedera
neurovaskular iatrogenik. Tetapi, beberapa penelitian menunjukkan rendahnya
komplikasi yang disebabkan oleh reduksi terbuka. Weiland dkk melaporkan bahwa 52
kasus fraktur yang mengalami pergeseran, yang telah direduksi terbuka melalui

10
pendekatan lateral, 10% mengalami gangguan pergerakan sendi tingkat sedang, namun
tidak ada infeksi, nonunion, atau myositis osifikan.2,5

1.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain:
- Komplikasi Akut (Early complications), misalnya cedera saraf, cedera pembuluh
darah, sindrom kompartemen, heamoartrosis, infeksi, pembentukan gas gangrene
- Komplikasi Kronis (Late complications), misalnya delayed-union, non-union,
malunion, nekrosis avaskular, gangguan pertumbuhan (growth disturbance), myositis
ossificans, kontraktur otot, lesi tendon,
1.9.1 Cedera Saraf
Cedera saraf adalah komplikasi yang sering muncul berkaitan dengan fraktur
displaced suprakondiler, dengan prevalensi sekitar 5-19%. Pada tahun 1995, Campbell
dkk menemukan kerusakan saraf medianus dalam 52% kasus dan kerusakan saraf radialis
sebanyak 28% kasus. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Spinner dan Schreiber
melaporkan bahwa yang paling sering mengalami cedera pada fraktur suprakondiler
humerus tipe ekstensi adalah saraf interosseus anterior yang ditandai dengan paralisis
fleksor longus ibu jari dan jari telunjuk tanpa disertai perubahan sensorik.2

1.9.2 Cedera Pembuluh Darah


Prevalensi terjadinya pembuluh darah berkaitan dengan fraktur suprakondiler
dilaporkan berkisar antara 5-12%. Hilangnya pulsasi arteri radialius terjadi pada pasien
dengan fraktur suprakondiler tipe III sekitar 10-20%. Hilangnya pulsasi arteri radialis ini
bukan merupakan suatu kegawatdaruratan melainkan sebuah kasus urgensi. Hal ini
karena sirkulasi kolateral masih dapat memberikan perfusi yang memadai bagi
ekstremitas tersebut,2

1.9.3 Deformitas
Deformitas berupa angulasi pada humerus distal sering terjadi pada pasien dengan
fraktur suprakondiler. Keterbatasan remodeling yang terjadi pada humerus distal hanya
berkontribusi sebesar 20% terhadap pertumbuhan tulang humerus. Penyebabnya yaitu

11
karena adanya malunion dibandingkan terjadina growth arrest. Remodeling dapat terjadi
pada bagian posterior, namun tidak dapat terjadi angulasi pada bidang koronal, sehingga
mengakibatkan terjadinya deformitas cubitus varus atau valgus.2

1.9.4 Kekakuan dan Myositis Ossificans


Loss of motion jarang terjadi pada pasien fraktur suprakondiler yang direduksi
secara anatomis. Kehilangan fungsi fleksi dapat terjadi dengan fragmen distal angulasi ke
arah posterior. Henrikson dkk melaporkan, <5% pasien dengan fraktur suprakondiler
berkaitan dengan kehilangan fungsi fleksi atau ekstensi mencapai 5⁰ jika dibandingkan
dengan sisi yang tidak cedera. Walaupun manipulasi dan terapi fisik dapat memicu
terjadinya myositis ossificans, namun komplikasi tersebut sangat jarang.2,5

1.9.5 Sindrom Kompartemen


Diperkirakan komplikasi ini terjadi pada sekitar 0,1-0,3% kasus. Sindrom
kompartemen forearm dapat terjadi dengan atau tanpa cedera arteri brakhialis, dan teraba
atau tidaknya nadi radialis. Diagnosis sindrom kompartemen berdasarkan lima tanda
klasik, yaitu pain, pallor, pulselessness, parestesia, dan paralysis. Balekmore dkk
mengemukakan bahwa prevalensi terjadinya sindrom kompartemen pada forearm adalah
3:33 kasus. Battalgia dkk menemukan bahwa ambang posisi untuk dapat menentukan
terjadinya peningkatan tekanan intrakompartemen adalah posisi fleksi elbow, antara 90-
120⁰. Hal ini menentukan pentingnya melakukan imobilisasi dengan sudut fleksi <90⁰.2,5

1.9.6 Infeksi Pin Track


Rata-rata terjadinya infeksi pin track pada anak-anak yang ditangani dengan
fiksasi menggunakan percutaneous Kirschner wire memiliki rentang antara 1-21%. Hal
ini berhubungan dengan terjadinya fraktur suprakondiler humerus yaitu sekitar 1-6,6%.2

12

Anda mungkin juga menyukai