Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegawatdaruratan merupakan suatu keadaan dimana seseorang berada
dalam keadaan kritis dan jika tidak dilakukan suatu usaha atau tindakan akan
menyebabkan kematian. Kegawatan memerlukan pemikiran dan tindakan
yang cepat dan tepat. Seorang dokter umum harus mampu, terlatih dan siap
secara intelektual maupun emosi untuk berhadapan dengan setiap kasus
kegawatan.
Pertolongan penderita gawat darurat dapat terjadi dimana saja baik di
dalam rumah sakit maupun di luar rumah sakit, dalam penanganannya
melibatkan tenaga medis maupun non medis termasuk masyarakat awam.
Pada pertolongan pertama yang cepat dan tepat akan menyebabkan
pasien/korban dapat tetap bertahan hidup untuk mendapatkan pertolongan
yang lebih lanjut.
Adapun yang disebut sebagai penderita gawat darurat adalah penderita
yang memerlukan pertolongan segera karena berada dalam keadaan yang
mengancam nyawa, sehingga memerlukan suatu pertolongan yang cepat,
tepat, cermat untuk mencegah kematian maupun kecacatan. Untuk
memudahkan dalam pemberian pertolongan korban harus diklasifikasikan
termasuk dalam kasus gawat darurat, darurat tidak gawat, tidak gawat tidak
darurat dan meninggal.

1.2 Tujuan

1. Untutk mengetahui Interpretasi pemeriksaan fisik pada skenario


2. Untuk mengetahui tentang triage
3. Untuk mengetahui derajat luka bakar
4. Untuk mengetahui cara memprioritaskan pasien diskenario berdasarkan
triage.

Dokter Siaga Page 1


5. Untuk mengetahui cara pemberian terapi cairan pd pasien diskenario.

1.3 Manfaat
Dengan adanya laporan ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
mahasiswa/ mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al- Azhar
mengenai kasus luuka bakar dan penanganannya.

Dokter Siaga Page 2


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial

Hari/Tanggal Sesi I : Senin, 23 Oktober 2017

Hari/Tanggal Sesi II : Rabu, 25 Oktober 2017

Tutor : dr. Fahriana Azmi

Moderator : I Nyoman Raditya Surya Buana

Sekretaris : Ni Made Dwi Dharmayanti

2.2 Skenario

DOKTER SIAGA

Lima orang pasien datang secara bersamaan ke UGD dengan keluhan


yang berbeda. Keempat orang pasien tersebut merupakan korban ledakan
tabung gas yang terjadi pada perumahan padat penduduk. Berdasarkan hasil
primary survey didapatkan :
Pasien Pertama, Ny. Niky wanita 21 tahun, mengeluhkan nyeri pada betis
kanannya akibat tertimpa kayu saat akan meyelamatkan diri. Krepitasi (+),
hematom (+) calcaneus dextra, angulasi (+), combusio (+) < 5 %, GCS
E4V5M6, Tensi 90/50 mmHg, Nadi : 96x/menit, temp : 36O C.
Pasien kedua, An. Isro’ laki-laki 7 tahun, Pasien mengeluhkan nyeri
akibat mengalami luka bakar pada punggung dan kedua lengan atasnya
dengan luas sekitar 18 %. Pasien tampak rewel dan tidak kooperatif. GCS
E4V5M6, Nadi : 112x/menit, RR : 22x/menit, Temp : 38,5O C.
Pasien Ketiga, Tn. Ican laki-laki 35 tahun datang tidak sadarkan diri,
tampak kepala, leher dan dada menderita luka bakar derajat 3. Menurut
keluarga, pasien sempat tersengat aliran listrik akibat menyentuh kabel saat
akan menyelamatkan diri. Pasien tidak dapat memberikan respon terhadap

Dokter Siaga Page 3


rangasangan yang diberikan dan bernafas tidak teratur. GCS E1V1M2, Tensi
: 50/Palpasi, N : 20x/menit lemah, RR : 6x/menit, Temp : 35O C.
Pasien Keempat Tn. Oka laki-laki 25 tahun, datang dengan keluhan nyeri
pada wajah, dada, perut, punggung dan kedua tangannya akibat terbakar saat
akan menyelamatkan istrinya. Keluarga pasien mengatakan keadaan pasien
semakin lemah dan kesulitan bernafas. Tampak combosio grade 2 pada
wajah, leher, dada, punggung dan lengan pasien dengan luas 9 %. Patemsi
jalan nafas terganggu akibat menghirup udara panas. GCS E2V4M5, tensi
80/50 mmHg, nadi 128x/menit, RR : 32x/menit, temp 38,5O C.
Pasien Kelima, Nn. Silvi 17 tahun, dikeluhkan sesak nafas dan tampak
pucat kebiruan. Pasien mengalami penurunan kesadaran sejak 10 menit yang
lalu. Menurut pasien pertama, Nn. Silvi menghirup banyak asap panas saat
berusaha keluar. Tidak tampak tanda luka bakar pada wajah maupun leher.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan GCS E2V2M4, Tensi 90/60 mmHg, nadi
108x/menit, RR : 28x/menit, Temp : 38O C.
Anda selaku dokter jaga harus melakukan triage untuk memprioritaskan
penanganan pasien-pasien tersebut. Anda juga harus memberikan cairan yang
sesuai untuk penanganan awal pada kegawat daruratan.

2.3 Pembahasan LBM

2.3.1 Klarifikasi Istilah

1. Primary survey : Tindakan awal yang dilakukan dalam keadaan


gawat darurat
2. Combusio : kerusakan/hilangnya jaringan yang diakibatkan oleh
suhu panas baik secara langsung atau tidak langsung
3. Angulasi : fraktur/patah tulang dengan fragmen membentuk sudut
satu sama lain
4. Triage : pengelompokan korban/pasien berdasarkan berat ringannya
trauma atau penyakit serta kecepatan penanganan

Dokter Siaga Page 4


5. Krepitasi : suara-suara yang dihasilkan oleh gesekan-gesekan dari
segmen-segmen tulang

2.3.2 Identifikasi Masalah


1. Interpretasi pemeriksaan fisik pada skenario
2. Jelaskan tentang triage
3. Derajat luka bakar
4. Bagaimana cara memprioritaskan pasien diskenario berdasarkan
triage.
5. Bagaimana cara pemberian terapi cairan pd pasien diskenario.

2.3.3 Brainstorming
1. Interpretasi Pemeriksaan Fisik Pada Skenario
Ny. Niky GCS E4V5M6 dalam kesadaran penuh, tensi :
90/50mmHg mengalami hipotensi karena adanya luka bakar yang
yang menyebabkan perpindahan cairan dari intravascular ke
interstitial , nadi : 96x/menit normal, temp : 36 0C mengalami
penurunan sedikit.
An. Isro GCS E4V5M6 dalam kesadaran penuh, nadi :
112x/menit mengalami peningkatan sebagai kompensasi dari
kurangnya volume darah sehingga akan meningkat untuk
mengalirkan darah keseluruh tubuh , RR : 22x/menit mengalami
peningkatan sebagai kompensasi dari kurangnya oksigen didalam
tubuh, temp 38 0C mengalami peningkatan sebagai mekanisme
pertahan tubuh terhadap infeksi.
Tn. Ican. GCS E1V1M2 dalam keadaan stupor, tensi :
50/palpasi, nadi : 20x/menit lemah mengalami penurunan karena
kurangnnya volume darah akibat dari luka bakar , RR : 6x/menit
mengalami peningkatan sebagai kompensasi kurangnya pasokan
oksigen yang disebabkan oleh kurangnya cairan dalam tubuh yang

Dokter Siaga Page 5


disebabkan oleh luka bakar, temp : 350C mengalami penurunan
karena penurunan volume darah akan mengurangi metabolisme
didalam tubuh yang berdampak pada penurunan suhu.
Tn. Oka GCS E2V4M5 dalam kesadaran somnolen, tensi :
80/50mmHg mengalami penurunan akibat adanya luka bakar yang
menyebabkan perpindahan cairan dari intravascular ke interstitial,
nadi : 128x/menit mengalami peningkatan sebagai kompensasi dari
penurunan volume darah, RR : 32x/menit mengalami peningkatan
sebagai kompensasi kurangnya oksigen dalam tubuh, temp : 38,5 0C
mengalami peningkatan sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap infeksi.
Nn. Silvi GCS E2V4M4 dalam keadaan somnolen, tensi :
90/60 mengalami penurunan karena akibat dari luka bakar yang
menarik cairan dari intravascular ke interstitial, nadi : 108x/menit
mengalami peningkatan sebagai kompensasi terhadap kurangnya
volume cairan didalam tubuh, RR : 28x/menit mengalami
peningkatan sebagai kompensasi terhadap kurangnya pasokan
oksigen dalam tubuh, temp: 38 0C mengalami peningkatan sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi.

2. Triage
1. Definisi
Sistem Triase adalah upaya pemilahan prioritas pasien
berdasarkan urgensi dilakukannya tatalaksana dan pertimbangan
sumber daya yang tersedia untuk tatalaksana tersebut. Hal ini
didasarkan pada prioritas ABC (Airway dengan proteksi cervical
spine, Breathing, Circulation dengan control perdarahan). Dalam
triase perlu dilakukan pencatatan usia, tanda vital, mekanisme
cedera, urutan kejadian, dan perjalanan penyakit pada fase pra
Rumah Sakit. Peningkatan pelayanan kesehatan diperlukan pada
kasus ketidakstabilan tanda vital, kelainan jantung paru, cedera

Dokter Siaga Page 6


multiple, usia lanjut, dan cedera neurologis berat yang diderita
sebelumnya. Apabila terjadi peningkatan atau perburukan,
dilakukan retriase.
2. Klasifikasi Insiden Sistem Triase
Sistem triase juga meliputi pemilahan pasien di lapangan
untuk penentuan mobilisasi ke fasilitas kesehatan. Sistem ini
menjadi tanggung jawab dari personal di fase pra rumah sakit.
Situasi triase terklasifikasi menjadi:
1. Multiple Casualties
Insiden meliputi lebih dari satu pasien yang jumlah dan
keparahannya tidak melebihi kepabilitas penyedia tatalaksana
kesehatan. Pada kondisi ini, pasien dengan masalah kesehatan
yang mengancam jiwa dan gangguan multi sistem organ
menjadi prioritas utama
2. Mass Casualties
Pada insiden masal ini, jumlah pasien dan keparahan masalah
kesehatan melebihi kapabilitas penyedia tatalaksana
kesehatan. Dalam situasi ini, pasien dengan kemungkinan
bertahan hidup (survival rate) terbesar dan memerlukan
sumber daya (waktu, peralatan, sumber daya manusia, dan
suplai lain) terkecil menjadi prioritas utama.
3. Prinsip Triase

Dokter Siaga Page 7


Berikut adalah prinsip -prinsip sistem triase, antara lain:
1. Derajat keparahan/ ancaman jiwa
Prioritas lebih diberikan kepada pasien dengan gangguan
sirkulasi dan neurologis ketimbang pasien dengan ancaman
gangguan jalan napas.
2. Derajat keparahan cedera
Sebagai contoh, prioritas lebih diberikan kepada pasien
dengan fraktur terbuka disertai perdarahan ketimbang
pasien dengan fraktur tertutup salah satu tulang.
3. Kemungkinan bertahan hidup
Prioritas utama tidak selalu diberikan kepada pasien
dengan cedera hebat, namun juga memerlukan
pertimbangan kemungkinan bertahan hidup pasien tersebut.
4. Sumber daya
Pasien dengan kebutuhan yang melebihi kapabilitas
tersedianya sumber daya mendapatkan prioritas lebih
rendah hingga terpenuhinya kebutuhan sumber daya.
5. Faktor waktu, jarak, dan lingkungan
Prioritas lebih dberikan kepada cedera yang dapat ditangani
dalam waktu singkat walaupun cedera tersebut tergolong
ringan dan memiliki ancaman jiwa minimal. Faktor jarak
dan lingkungan menuju fasilitas kesehatan definitif
menjadi bahan pertimbangan untuk efisiensi waktu.

Dokter Siaga Page 8


4. Tag Warna

Tag triase dalam bentuk label berwarna disertai form data


pasien digunakan oleh petugas triase sebagai upaya identifikasi,
pencatatan kondisi, dan penentuan tindakan medis bagi pasien.
Berikut adalah penjelasan prioritas dan klasifikasi tag
berdasarkan warna :
1. Prioritas nol (Hitam)
Pasien meninggal atau mengalami cedera fatal yang
jelas tidak mungkin untuk diresusitasi. Terapi paliatif dan anti
nyeri dapat diberikan bagi pasien ini.
2. Prioritas pertama (merah)
Pasien mengalami cedera berat sehingga memerlukan
penilaian, transportasi, dan penanganan medis secepatnya
(maksimal 60 menit) untuk mempertahankan hidup. Kasus
yang tercakup adalah gangguan ABC akibat gagal pernapasan,
cedera kepala, luka bakar derajat tinggi, perdarahan dan syok
berat.
3. Prioritas kedua (kuning)
Pasien dengan cedera berat dan dapat dipastikan tidak
mengalami kurang ancaman jiwa dalam periode waktu dekat
(beberapa jam), sehingga pertolongan dapat ditunda. Pasien
mengalami cedera dengan jenis cakupan luas: akibat fratur
abdomencederasyok, tanpa mayor cedera dada tanpa
gangguan tanpa syok, respirasi, cedera kepala.
4. Prioritas ketiga (hijau)
Penanganan Meliputi pasien dengan cedera ringan dan
tidak membutuhkan segera, namun pertolongan pertama
sederhana disertai penilaian ulang berkala. Diperkirakan tidak
akan terjadi perburukan dalam hitungan hari. Kasus yang
tercakup antara lain: darurat psikologis, cedera maksilogawat

Dokter Siaga Page 9


fasial tanpa hambatan jalan napas, cedera jaringan lunak,
fraktur dan dislokasi ekstremitas

3. Derajat Luka Bakar


a) Derajat 1
Superfisial hanya meliputi epidermis superfisial (misalnya
tersengat matahari). Gejala : nyeri, kemerahan, tidak ada
kerusakan jaringan atau saraf.
b) Derajat 2 (Sebagian lapisan kulit)
Dermal superfisial sampai dalam meliputi seluruh epidermis dan
berbagai ukuran dermis (misalnya tersiram air panas). Gejala :
nyeri, merah, kulit edema, veiskel.
c) Derajat 3
Epidermis dan dermis rusak, meliputi jaringan adiposa subkutan,
fasia otot, dan tulang (misalnya terbakar api). Gejala : tidak
nyeri, kulit putih, merah, atau hitam dan kulit edema.
d) Derajat Luka Bakar
Dikelompokan beradasarkan kedalaman kerusakan yang terjadi.
Klasifikasi tradisional mengenal luka bakar derajat I, II, dan III,
sedangkan sekarang digolongkan menjadi
a. Superficial thickness (grd I)
b. Partial thickness superficial (grd IIa)
c. Partial thickness deep (grd II b)
d. Full thickness (grd III)

Klasifikasi dan temuan klinis


Derajat I II III
Bagian Kulit Epidermis Epidermis Epidermis,
yang Rusak dan sebagian dermis, dan
dermis lapisan di
bawahnya
Bula - + -
Dasar Hiperemis Merah/pucat Putih/pucat

Dokter Siaga Page 10


Eskar - - +
Nyeri +,

karena
+ -
ujung saraf
tidak
terganggu

Luas luka
Dalam dunia kedokteran perkiraan luas luka bakar yang
banyak digunakan adalah dengan menggunakan metoda rule
of Nine dari wallace dengan membagi tubuh seseorang yang
terkena luka bakar menjadi beberapa area, yaitu 1) kepala dan
leher = 9% ; 2) lengan kiri = 9% , lengan kanan = 9% ; 3)
badan bagian depan = 18% , badan bagian belakang = 18% ;
4) Tungkai kiri = 18% , tungkai kanan = 18% ; 5) genitalia =
1%. total = 100% Artikel ini dibuat sakainget.

Dokter Siaga Page 11


2.3.4 Rangkuman Permasalahan

1. Bagan

Kegawadaruratan

Secondery
Primery Survey Luka Bakar
Survey

Derajat Luka
Triage CABDE
Bakar

RPM

2.3.5 Learning Issue


1. Primary Survey
2. Secondary Survey
3. Penangan Pada Luka Bakar
4. Indikasi Perawatan Luka Bakar
5. Trauma Listrik

2.3.6 Referensi
1. Advanced Trauma Life Support (ATLS) : Student Course Manual
9ed
a. Primery Survey

Dokter Siaga Page 12


b. Secondary Survey
2. Emergency Care And Transportation Of The Sick And Injured
a. Indikasi Perawatan Luka Bakar
b. Secodary Survey
3. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat / General Emergency Life
Support (GELS)
a. Penanganan Pada Luka Bakar
4. Buku Ajar Ilmu Bedah.
a. Luka Bakar
c. Trauma Listrik

2.3.7 Pembahasan Learning Issue


1. Primary Survey
Pemeriksaan dan prioritas tatalaksana pasien ditentukan
berdasarkan derajat cedera, tanda vital, dan mekanisme terjadinya
cedera pada pasien. Pada pasien cedera berat, urutan prioritas
tatalaksana dilakukan berdasarkan penilaian keseluruhan. Tanda vital
diperiksa secara cepat dan efisien. Manejemen pasien terdiri atas
survey primer cepat, resusitasi fungsi vital, survey sekunder, dan
inisisasi terapi definitive. Selama pemeriksaan primer, kondisi
mengancam jiwa diidentifikasi dalam urutan prioritas berdasarkan
efeknya terhadap fisiologi pasien. Prioritas urutan berdasarkan
derajat mengancam jiwa yang terbesar untuk ditangani terlebih
dahulu.
a. Safety
Sebelum menolong korban, penolong harus memastikan bahwa
dirinya dan korban berada di tempat yang aman. Kemudian
penolong harus menilai kondisi korban, yaitu:
1. Warna kulit: pucat, normal
2. Berkeringat: normal, berlebih
3. Kondisi sekitar

Dokter Siaga Page 13


b. Responses
Kemudian penolong memeriksa respon korban. Respon korban
dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu :
1. Alert : korban sadar dan bisa diajak berkomunikasi
2. Responsive to verbal: korban membuka mata setelah diberi
rangsangan suara
3. Responsive to pain: korban membuka mata setelah diberi
rangsangan nyeri, misal dengan ditekan taju pedang
4. Unresponsive: korban tidak membuka mata meskipun diberi
rangsangan suara maupun nyeri.
c. Airway
a. Pemeriksaan jalan napas.
Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
sumbatan jalan napas oleh benda asing. Jika terdapat
sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa
cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah
yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan
oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari
telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan
teknik cross finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan
dengan jari telunjuk pada mulut korban. Gambar

Gambar 1.1. Bentuk jari seperti kait dan keluarkan bendanya

Dokter Siaga Page 14


b. Membuka jalan napas
Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan
benda asing, biasa pada korban tidak sadar tonus otot-otot
menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup faring
dan laring, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas.
Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan
cara tengadah kepala topang dagu (Head tild - chin lift) dan
manuver pendorongan mandibula (jaw thrust). Teknik
membuka jalan napas yang direkomendasikan untuk orang
awam dan petugas, kesehatan adalah tengadah kepala topang
dagu, namun demikian petugas kesehatan harus dapat
melakukan manuver lainnya.

Gambar 1.2. Head tild - chin lift

Gambar 1.3. Jaw thrust pada pasien kecurigaan fraktur


cervikal

Dokter Siaga Page 15


d. Breathing
Terdiri dari 2 tahap :
a. Memastikan korban/pasien tidak bernapas.
Dengan cara melihat pergerakan naik turunnva dada,
mendengar bunyi napas dan merasakan hembusan napas
korban/pasien. Untuk itu penolong harus mendekatkan
telinga di atas mulut dan hidung korban/pasien, sambil
tetap mempertahankan jalan napas tetap terbuka. Prosedur
ini dilakukan tidak boleh melebihi 10 detik.
b. Memberikan bantuan napas.
Jika korban/pasien tidak bernapas, bantuan napas
dapat dilakukkan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung
atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada
tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas
sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk
tiap kali hembusan adalah 1,5 – 2 detik dan volume udara
yang dihembuskan adalah 7000 - 1000 ml (10 ml/kg) atau
sampai dada korban/pasien terlihat mengembang serta
mendengar dan merasakan udara yang keluar pada
ekspirasi . Penolong harus menarik napas dalam pada saat
akan menghembuskan napas agar tercapai volume udara
yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan
hanya 16 - 17%. Penolong juga harus memperhatikan
respon dari korban/pasien setelah diberikan bantuan napas.
Cara memberikan bantuan pernapasan :
1. Mulut ke mulut
Pemakaian alat pelindung dan masker tetap
merupakan pilihan utama. Keputusan untuk
melakukan pernapasan buatan dari mulut ke mulut
bersifat personal. Bantuan pernapasan dengan
menggunakan cara ini merupakan cara yang tepat dan

Dokter Siaga Page 16


efektif untuk memberikan udara ke paru-paru
korban/pasien.
Pada saat dilakukan hembusan napas dari mulut
ke mulut, penolong harus mengambil napas dalam
terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat
menutup seluruhnya mulut korban dengan baik agar
tidak terjadi kebocoran saat mengghembuskan napas
dan juga penolong harus menutup lubang hidung
korban/pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk
mencegah udara keluar kembali dari hidung.
Volume udara yang diberikan pada
kebanyakkan orang dewasa adalah 700 - 1000 ml (10
ml/kg). Volume udara yang berlebihan dan laju
inpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan udara
memasuki lambung, sehingga terjadi distensi
lambung. Selain itu terdapat bahaya bagi penolong
yaitu penyebaran penyakit, kontaminasi bahan kimia
dan muntah penderita.
2. Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika usaha
ventilasi dari mulut korban tidak memungkinkan,
misalnya pada trismus atau dimana mulut korban
mengalami luka yang berat, dan sebaliknya jika
melalui mulut ke hidung, penolong harus menutup
mulut korban/pasien.
3. Mulut ke Stoma
Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai
lubang (stoma) yang menghubungkan trakhea
langsung ke kulit. Bila pasien mengalami kesulitan
pernapasan maka harus dilakukan ventilasi dari mulut
ke stoma.

Dokter Siaga Page 17


c. Circulation
Terdiri atas 3 penemuan klinis
1. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat
berkurang yang akan mengakibatkan penurunan
kesadaran.
2. Warna kulit
Warna kulit dapat memberikan diagnosis
hipovolemia. Pasien trauma dengan warna kulit
kemerahan terutama pada wajah dan ekstrimitas jarang
dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, jika wajah pucat
keabu-abuan dan kulit ekstrimitas pucat merupakan tanda
hipovolemia.
3. Nadi
Periksalah pada nadi yang besar seperti a.femoralis
atau a.karotis. Nadi yang tidak cepat, teratur dan kuat
menandakan normo-volemia, biasanya nadi yang tidak
teratur merupakan tanda gangguan jantung dan tidak
ditemukan pulsasi pada arteri besar yang merupakan
pertanda diperlukannya resusitasi segera untuk
memperbaiki volume dan cardiac output. Cara
pemeriksaan a.carotis dapat ditentukan dengan meraba
arteri karotis di daerah leher korban/ pasien, dengan dua
atau tiga jari tangan (jari telunjuk dan tengah) penolong
dapat meraba pertengahan leher sehingga teraba trakhea,
kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri
kira-kira 1 - 2 cm raba dengan lembut selama 5 - 10 detik.
Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali
memeriksa pernapasan korban dengan melakukan

Dokter Siaga Page 18


manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai
pernapasan korban/pasien. Jika tidak bernapas lakukan
bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan
napas
d. Disability
Penilaian meliputi tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil, tandatanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh trauma langsung
pada otak atau penurunan oksigenasi ke otak, jika terjadi
penurunan harus dilakukan reevaluasi terhadap keadaan
oksigenasi, ventilasi dan perfusi. Penolong menentukan nilai
prioritas kesadaran korban dengan :
Derajat AVPU pemeriksaan primer
a. Alert : korban sadar tanpa diberi rangsang apapun
b. Voice responsive : korban bisa sadar setelah diberi
rangsang suara
c. Pain responsive: korban harus dicek patensi
pernafasannya dan dalam recovery position, intubasi bisa
dilakukan jika perlu
d. Unresponsive: korban harus dicek patensi pernafasannya
dan dalam recovery position, intubasi bisa dilakukan jika
perlu Skala Glasgow Coma Scale (GCS) ! pemeriksaan
sekunder GCS (Glasgow Coma Scale) adalah sistem
skoring yang sederhana dan dapat menilai derajat/tingkat
kesadaran penderita dengan kriteria yang secara
kuantitatif dan terpisah yaitu respon membuka mata (E),
respon motorik terbaik (M), dan respon verbal terbaik
(V).
Score Respon Motorik Respon Verbal Bukaan Mata
1 Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Dokter Siaga Page 19


Postur tubuh Bergumam Terbuka jika
ekstensi jika tidak diberi
2
diberi rangsang jelas rangsang
nyeri nyeri
Postur tubuh Berbicara Terbuka jika
fleksi jika dengan kata- diberi
diberi rangsang kata rangsang
3
nyeri yang suara keras
(perintah
verbal)
Menarik alat Bisa diajak Terbuka
gerak jika berbicara secara
4 diberi rangsang tetapi spontan
nyeri jawaban tidak
sesuai
Mendorong atau Bisa diajak
bisa berbicara dan
5 melokalisasi menjawab -
jika diberi dengan sesuai
rangsang nyeri
Mengikuti
6 perintah verbal - -
dengan baik

Derajat kesadaran :
a. Compos mentis (sadar) : 14-15 kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab pertanyaan tentang
keadaan sekeliling
b. Apatis : 13-12 keadaan segan untuk berhubungan
dengan lingkungan sekitar, acuh tak acuh

Dokter Siaga Page 20


c. Somnolen (obtundasi, letargi) : 11-10 kesadaran
menurun, respon psikomotor lambat, mudah tertidur
tetapi mudah dibangunkan jika dirangsang dan mudah
jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal
d. Delirium : 9-7 keadaan gelisah, disorientasi,
memberontak, berteriakteriak, berhalusinasi, kadang
berkhayal
e. Stupor (soporo coma) : 4-6 keadaan seperti tidur terlelap,
tetapi ada respon terhadap nyeri
f. Coma (comatose) : 3 tidak bisa dibangunkan, tidak ada
respon terhadap rangsang apapun, tidak ada respon
kornea, reflek muntah, dan reflek pupil (bisa ada bisa
tidak ada)
g. Derajat cedera kepala berdasarkan GCS:
1. GCS : 14-15 = CKR (cedera kepala ringan)
2. GCS :9-13 = CKS (cedera kepala sedang)
3. GCS : 3-8 = CKB (cedera kepala berat)

e. Exposure
Seluruh pakaian pasien dibuka dengan cara mengguntingnya
untuk memfasilitasi pemeriksaan dan evaluasi keseluruhan
pasien. Setelah dibukanya pakaian pasien, perlu penghangatan
tubuh pasien untuk menghindari terjadinya hipotermia.
Penghangatan dicapai dengan cara menyelimuti tubuh pasien
dengan selimut hangat, administrasi cairan intravena yang telah
dihangatkan, dan menjaga suhu lingkungan (contohnya ruangan
tatalaksana) tetap cukup hangat.

2. Primery Survey
Survey sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik
lanjutan yang dilakukan setelah survey primer (ABCDE), dimana

Dokter Siaga Page 21


masalah yang berbahaya dan mengancam kehidupan pasien telah
teratasi. Survey sekunder dilakukan dengan mengevaluasi pasien
dari ujung kepala hingga ujung kaki, serta meninjau ulang tanda vital
pasien.
a. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap penting dalam mengases mekanisme
kecelakaan pada pasien. Anamnesis dilakukan terhadap pasien
langsung (bila memungkinkan) atau terhadap personil lain yang
mengantarkan pasien. Singkatan AMPLE menjadi pedoman
untuk anamnesis, yaitu: Allergies, Medications currently used,
Past illnesses/pregnancy, Past meal, Events/environment related
to the injury.
b. Pemeriksaan Fisik Kepala
Survey sekunder dimulai dengan mengevaluasi dan
mengidentifikasi adanya trauma pada sistem saraf atau trauma
signifikan lainnya, yaitu dengan menelusuri laserasi, kontusio,
atau tanda fraktur. Trauma kepala sering kali disertai edema di
sekitar mata. Hal lain yang perlu diperiksa pada mata yaitu:
tajam pengelihatan, ukuran pupil, perdarahan pada konjungtiva
atau fundus, luka tusuk, lensa kontak (harus dilepas), dislokasi
lensa, atau malposisi okular.
Pemeriksaan wajah meliputi palpasi struktur tulang,
mencari tanda oklusi, menilai rongga mulut dan jaringan lunak.
c. Pemeriksaan Fisik Leher
Pasien dengan trauma kepala atau wajah dianggap mengalami
cedera servikal juga, sehingga pada kondisi demikian dilakukan
fiksasi leher. Sebagai catatan, cedera servikal tidak selalu
disertai defisit neurologis. Cedera servikal dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan radiologi (CT scan) dan dapat pula
ditemukan secara klinis. Pemeriksaan leher lengkap meliputi
inspeksi, palpasi, dan auskultasi a.carotis. Kelainan yang

Dokter Siaga Page 22


mungkin ditemukan, yaitu nyeri pada servikal, emfisema
subkutis, deviasi trakea, dan fraktur laring.
d. Pemeriksaan Fisik Toraks
Pemeriksaan toraks depan dan belakang dilakukan dengan
inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Kelainan yang dapat
ditemukan seperti pneumothorax, flail chest, dan fraktur pada
struktur toraks. Manifestasi klinis pada cedera toraks di
antaranya adalah nyeri, dyspnea, dan hipoksia. Tanda lain
seperti kontusio, hematoma, nyeri tekan, dan peningkatan JVP
juga perlu dievaluasi. Pada pasien dengan tension pneumothorax
perlu dilakukan dekompresi segera. Tension pneumothorax
ditandai dengan berkurangnya suara napas, perkusi hipersonor,
dan syok.
e. Pemeriksaan Fisik Abdomen
Pemeriksaan abdomen meliputi inspeksi dan palpasi. Pada
inspeksi, dapat ditemukan memar, penetrasi, atau benda asing.
Pemeriksaan palpasi dilakukan untuk menemukan tanda
inflamasi (bengkak, nyeri) atau tanda pemadatan. Kelainan
tersebut dapat terjadi secara lokal pada satu atau lebih region
abdomen.

f. Pemeriksaan Fisik Regio Genital, Perineum dan Rektum


Cedera pada struktur ini dapat ditandai dengan
inkontinesia urin, hematoma, laserasi, dan perdarahan uretra.
Khususnya pada pria, dapat ditemukan priapismus akibat cedera
spinal. Pemeriksaan vagina dilakukan pada pasien perempuan
dengan risiko tinggi cedera vagina, misalnya pada wanita yang
mengalami fraktur pelvis.
g. Pemeriksaan Fisik Sistem Muskuloskeletal
Pemeriksaan dilakukan dengan look, feel, move pada
ekstremitas atau struktur terkait untuk menemukan tanda

Dokter Siaga Page 23


deformitas, bengkak, perdarahan, dan timbulnya perubahan
warna. Fungsi motorik dan sensorik juga menjadi poin penting
untuk dinilai.
h. Pemeriksaan Fisik Sistem Saraf
Pemeriksaan neurologis bertujuan untuk menentukan
status mental pasien, atau ada tanda kelainan seperti pusing,
sakit kepala, sinkop, fasikulasi atau kelumpuhan pada otot.

3. Penanganan Pada Luka Bakar


Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas
utama adalah mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi
yang efektif dan mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea
dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau
kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas.
Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah terjadi edema luka bakar
atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak. Pada
pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih
daripada trakeostomi.
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya
hipotensi awal yang tidak dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda
hipovolemia sistemik pada pasien luka bakar menimbulkan
kecurigaan adanya jejas ‘tersembunyi’. Oleh karena itu, setelah
mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis
dan menata laksana jejas lain (trauma tumpul atau tajam) yang
mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat untuk
mencari trauma terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi.
Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi
juga penting dalam evaluasi awal.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh
dinilai. Pemeriksaan radiologik pada tulang belakang servikal,

Dokter Siaga Page 24


pelvis, dan torak dapat membantu mengevaluasi adanya
kemungkinan trauma tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar
dievaluasi. Terlepas dari luasnya area jejas, dua hal yang harus
dilakukan sebelum dilakukan transfer pasien adalah
mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas
dari eskar yang mengkonstriksi.

Tatalaksana resusitasi luka bakar

a. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:


1. Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema
mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi. Tujuan
intubasi mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas
pemelliharaan jalan nafas.
2. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap
terlalu agresif dan menimbulkan morbiditas lebih besar
dibanding intubasi. Krikotiroidotomi memperkecil dead
space, memperbesar tidal volume, lebih mudah
mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat
berbicara jika dibanding dengan intubasi.
3. Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen
jika terdapat patologi jalan nafas yang menghalangi suplai
oksigen. Hati-hati dalam pemberian oksigen dosis besar
karena dapat menimbulkan stress oksidatif, sehingga akan
terbentuk radikal bebas yang bersifat vasodilator dan
modulator sepsis.
4. Perawatan jalan nafas
5. Penghisapan sekret (secara berkala)

Dokter Siaga Page 25


6. Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih
baik didalam lumen jalan nafas dan mencairkan sekret
kental sehingga mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi
umumnya menggunakan cairan dasar natrium klorida
0,9% ditambah dengan bronkodilator bila perlu. Selain itu
bias ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti
atropin sulfat (menurunkan produksi sekret), natrium
bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan steroid (masih
kontroversial)
7. Bilasan bronkoalveolar
8. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
9. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk
memperbaiki kompliansi paru

b. Tatalaksana resusitasi cairan


Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi
yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular
regional, sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada setiap organ
sistemik. Selain itu cairan diberikan agar dapat meminimalisasi dan
eliminasi cairan bebas yang tidak diperlukan, optimalisasi status
volume dan komposisi intravaskular untuk menjamin
survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasi respons
inflamasi dan hipermetabolik dengan menggunakan kelebihan dan
keuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid,
hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan
adanya resusitasi cairan yang tepat, kita dapat mengupayakan
stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologik
dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin.
Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan
pengganti. Ada beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan

Dokter Siaga Page 26


ini:
1. Cara Evans
a. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24
jam
b. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24
jam
c. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam

Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam


pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari
kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada
hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

2. Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam
pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari
kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada
hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

c. Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral
sebaiknya dilakukan sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan.
Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui
naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya
mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30%
lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan
demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu
mencegah terjadinya SIRS dan MODS.

4. Indikasi Perawatan Luka Bakar

Dokter Siaga Page 27


a. Adanya tanda-tanda shock atau pre shock pada pasien
b. Derajat luas luka bakar:
1. Anak > 10%
2. Dewasa > 15 %
c. Lokasi luka bakar:
Wajah, mata, tangan atau kaki, perineumterancam edem laring
apabila pasien menghirup asap/udara hangat.

d. Trauma Listrik
Disebabkan oleh kontak dengan sumber tenaga bervoltage
tinggi akibat arus listrik dapat terjadi karena arus listrik
mengaliri tubuh karena adanya loncatan arus listrik atau karena
ledakan tegangan tinggi antara lain akibat petir. Arus listrik
menimbulkan gangguan karena rangsangsan terhadap saraf dan
otot. Energi panas yang timbul akibat tahanan jaringan yang
dilalui arus menyebabkan luka bakar pada jaringan tersebut.
Energi panas dari loncatan arus listrik tegangan tinggi yang
mengenai tubuh akan menimbulkan luka bakar yang dalam
karena suhu bunga api listrik dapat mencapai 2500oC, arus
bolak – balik menimbulkan rangsangan otot yang hebat berupa
kejang – kejang.
Urutan tahanan jaringan dimulai dari yang paling rendah
yaitu saraf, pembuluh darah, otot, kulit, tendo dan tulang. Pada
jaringan yang tahanannya tinggi akan lebih banyak arus yang
melewatinya, maka panas yang timbul akan lebih tinggi. Karena
epidermisnya lebih tebal, telapak tangan dan kaki mempunyai
tahanan listrik lebih tinggi sehingga luka bakar yang terjadi juga
lebih berat bila daerah ini terkena arus
Luka bakar bisa karena voltase rendah atau voltase tinggi.
Kerusakan jaringan tubuh disebabkan karena beberapa hal
berikut :

Dokter Siaga Page 28


a. Aliran listrik (arus bolak-balik, alternating current / AC)
merupakan energi dalam jumlah besar. Berasal dari sumber
listrik, melalui bagian tubuh yang memiliki resistensi paling
rendah (cairan, darah / pembuluh darah). Aliran listrik
dalam tubuh menyebabkan kerusakan akibat yang
ditimbulkan oleh resistensi. Kerusakan dapat bersifat
ekstensif local maupun sistemik (otak/ensellopati,
jantung/fibrilisasi ventrikel, otot/ rabdomiosis, gagal ginjal,
dan sebagai berikut).
b. Loncatan energi yang ditimbulkan oleh udara yang berubah
menjadi api.
c. Kerusakan jaringan bersifat lambat tapi pasti dan tidak
dapat diperkirakan luasnya. Hal ini di sebabkan akibat
kerusakan system pembuluh darah disepanjang bagian
tubuh yang dialiri listrik (trombosis, akulasi kapiler)

Dokter Siaga Page 29


BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Jadi, berdasarkan hasil diskusi kelompok kami dapat disimpulkan
bahwa ke-5 pasien pada skenario yang mendapatkan penanganan pertama
yaitu pasien yang berlabel merah dan berturut-turut meurut label triage
dengan melakukan primary survey. Selanjutnya dinerikan penanganan
tergantung tingkat keparahanpasien pada skenario yang diawali dengan
menstabilkan keadaan umum pasien.

Dokter Siaga Page 30


DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. 2012. Advanced Trauma Life Support (ATLS) :


Student Course Manual 9ed. Chicago: American College of Surgeons.
Emergency Care And Transportation Of The Sick And Injured. 2006. American
Academy of Orthopaedic
Seri PPGD. 2006. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat / General Emergency
Life Support (GELS). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT) Cetakan Ketiga. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI.
Wim de Jong. 2005. Bab 3 : Luka, Luka Bakar : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
EGC. Jakarta

Dokter Siaga Page 31

Anda mungkin juga menyukai