Anda di halaman 1dari 21

UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

DESENTRALISASI PENDIDIKAN
a. Paradigma dan tujuan mendasar kebijakan desentralisasi pendidikan
Paradigma desentralisasi pendidikan adalah penyerahan tanggung jawab pendidikan
dari pemerintah pusat (sentralistik) kepada pemerintah daerah lebih spesifik lagi kepada
masyarakat dan anggota masyarakat.
Landasan yuridis desentralisasi pendidikan adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah). Secara garis besar UU tersebut
menekankan bahwa wewenang paling besar untuk sektor pendidikan sejak pendidikan pra-
sekolah sampai pendidikan menengah atas adalah urusan pemerintah kabupaten atau kota.
Pembagian secara lebih spesifik adalah tanggung jawab pengelolaan dan kurikulum untuk
satuan pendidikan dasar menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota, pengelolaan
pendidikan menengah menjadi kewenangan pemerintah provinsi, sementara untuk perguruan
tinggi menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Konsekuensi atas hadirnya undang -undang tersebut, maka peran gubernur, bupati dan
walikota lebih kokoh dalam melaksanaan otonomi pendidikan dengan mengacu pada empat
tujuan pokok dalam membuat kebijakan pendidikan, yakni:
1) peningkatan mutu;
2) efisiensi keuangan;
3) efisien administrasi; dan
4) perluasan kesempatan pendidikan.

b. Kaitan antara MBS dan KTSP dengan implementasi desentralisasi pendidikan


1) MBS dan desentralisasi pendidikan

Konsekuensi dengan diterapkannya desentralisasi pendidikan adalah manajemen


ditingkat sekolah harus ada perubahan. Hal ini mutlak diperlukan karena paradigma
sebelumnya adalah sentralistik, artinya segala sesuatunya sudah paket dari pemerintah,
sekolah tinggal menjalankan, berubah menjadi paradigma desentralisasi yang artinya
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

kemandirian yaitu sekolah mengelola manajemennya secara langsung. Sebagai jawabannya


adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah model manajemen yang memberikan
otonomi lebih ke sekolah-sekolah dan meningkatkan keterlibatan langsung dari komunitas
sekolah (kepala sekolah, guru, mahasiswa, staf, orang tua dan masyarakat) dalam
pengambilan keputusan dalam rangka meningkatkan kualitas sekolah. Manajemen Berbasis
Sekolah merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan
kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan pendidikan
agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang
erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Dengan adanya implementasi Manajemen
Berbasis Sekolah diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan yang ada saat ini.
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan faktor penting dalam reformasi sekolah di Indonesia
untuk mendirikan sekolah-sekolah yang mampu bekerja secara independen dan mendapatkan
dukungan dari para stakeholder serta masyarakat setempat.

Salah satu kendala yang muncul dalam implementasi MBS adalah adanya kebijakan
pemerintah tentang sekolah gratis. Ironisnya kebijakan pemerintah pusat dan daerah tersebut,
tidak diikuti dengan penyediaan dana yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan sekolah,
dan tidak memberikan fasilitas yang merata ke semua satuan pendidikan. Biaya Operasional
Sekolah (BOS) bisa dikatakan tidak pernah turun tepat waktu. Banyak sekolah yang keadaan
fisiknya memperihatinkan dan tidak memiliki fasilitas yang sesuai dengan tuntutan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini menyebabkan elemen-elemen dan komponen-
komponen MBS tidak mampu diterapkan secara optimal.

2) KTSP dan desentralisasi pendidikan


Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) muncul setidaknya karena 3 sebab,
pertama bergulirnya otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, kedua kebijakan
pemerintah tahun 2006 tentang pelaksanaan KTSP dan yang ketiga teori dari pengembangan
kurikulum, bahwa kurikulum berkembang mengikuti perkembangan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
KTSP bertujuan untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui
pemberian kewenangann (otonomi) dalam pengambilan keputusan secara partisipasif dalam
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

pengembangan kurikulum. Dengan kewenangan ini tentunya akan memberikan peluang bagi
sekolah untuk mengaktualisasikan diri sesuai dengan visi, misi dan tujuan serta karakteristik
masing-masing.
Selain itu, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan harus mengakomodasi penerapan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang sudah mulai dilaksanakan sejak diberlakukannya
otonomi daerah sehingga dengan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di
daerah. Namun kebiasaan lama yang menganut sistem sentralistik belum sepenuhnya hilang,
menyebabkan banyak sekolah yang gagap dalam menyiapkan KTSP yang akhirnya banyak
muncul fenomena KTSP copy paste.
c. Isu implementatif kebijakan desentralisasi

Pelaksanaan desentralisasi pendidikan di daerah tentu saja mengalami banyak


permasalah. Hal ini adalah sebuah kewajaran karena adanya perubahan paradigma dan pola
berpikir baru tentu saja menyebabkan perubahan pula pada tindakan. Butuh waktu untuk
menyesuaikan diri. Berikut permasalah implementasi desentralisasi yang sering muncul (a)
benturan regulasi, (b) kekeliruan penetapan kebijakan, (c) ketimpangan luasnya urusan dengan
kebijakan fiskal (tunjangan profesi dan gaju guru PNS), (d) ketidak-konsistenan struktur dan
fungsi pengelolaan pendidikan di daerah dan pusat, (e) konflik kepentingan dalam
pengambilan keputusan dan dalam koordinasi antar unsur terkait secara vertikal dan
horizontal, (f) deprofesionalisasi dan politisasi pendidik di daerah, (g) pengabaian
kemampuan dan keunikan masing-masing daerah, (h) pembiaran layanan pendidikan yang
buruk, dan (i) perluasan peluang penyimpangan atas berbagai ketentuan, seperti korupsi,
pemalsuan hasil pendidikan, dan lain-lain.

Solusi yang tawarkan dalam menyelesaikan permasalah di atas adalah

1) Kebijakan desentralisasi bidang pendidikan perlu menggunakan pendekatan nyata


dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keragaman sumber daya manusia,
sumber daya alam, kekhususan, suku dan budaya serta kondisi dan letak geografis
antardaerah. Penataan urusan pendidikan nasional secara desentralisasi tersebut
perlu menerapkan prinsip-prinsip ketersediaan (availability), keterjangkauan
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

(accessability), keberterimaan (acceptability), kesesuaian (adaptability), dan


keterujian (assessability).
2) Perlu dilakukan kajian secara mendalam dan komprehensif kemungkinan
pemberian kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah pusat dalam
pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan, seperti dalam pengadaan,
pengangkatan, penempatan, pembinaan, dan pengembangan karir.
3) Perlu revisi dan sinkronisasi berbagai peraturan perundang-undangan dalam bidang
pendidikan yang terkait dengan ketentuan perundang-undangan desentralisasi agar
pengaturan kewenangan urusan pemerintahan jelas, terarah, dan tidak multitafsir
untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam konteks
keberagaman kondisi dan potensi daerah.
4) Urusan pendidikan strategis, seperti kebijakan pendidikan nasional, kurikulum,
pendidik dan tenaga kependidikan, penilaian, dan pola sistem penyelenggaraan
pendidikan diatur secara nasional.
5) Mensinergikan nilai-nilai spritual/agama dengan semua pelajaran di sekolah.
Dengan menggunakan asumsi awal bahwa semua agama pasti mengajarkan
kebaikan bagi para penganutnya.
6) Pemberian Reward and punishment yang jelas dan terukur bagi daerah yang
melaksanakan prinsip-prinsip desentralisasi pendidikan yang telah ditetapkan.
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

DAFTAR PUSTAKA

Zamroni. 2005. Meningkatkan Mutu Sekolah: Teori, Strategi, Prosedur, Jakarta: PSAP
Muhammadiyah.
Solichin Abdul Wahab. 1997. Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Rasiyo. 2005. Kebijakan Desentralisasi Manajemen Pendidikan Pada Era Otonomi Daerah.
Surabaya:Program Doktor Ilmu Adminitrasi,Universitas 17 Agustus 1945.
Mulyasa. 2006. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

GLOBALISASI DALAM PENDIDIKAN

a. Makna globalisasi dalam bidang pendidikan


Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak
mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang
dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada
suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh
dunia (Edison A. Jamli, 2005). Globalisasi sering diterjemahkan “mendunia” atau
“mensejagat”, yaitu dengan cepat menyebar keseluruh penjuru dunia, baik berupa kejadian,
ide, gagasan, data, informasi, dan sebagainya begitu terjadi atau disampaikan saat itu pula
diketahui oleh semua orang diseluruh dunia. Globalisasi merupakan tantangan yang harus
dihadapi dan dikontekskan pada keadaan yang ada pada masa kini.
Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh perkembangan arus globalisasi, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan
Indonesia, karena terbuka peluang lembaga pendidikan dan tenaga pendidik dari mancanegara
masuk ke Indonesia. Untuk menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional
harus dapat meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan
memperbaiki menejemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses
seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.
b. Isu-su globalisasi dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia

1) Sekolah Intenasional dan rasa nasionalisme

Munculnya sekolah internasional dengan kurikulum yang mengadopsi sekolah luar


negeri. Dengan pengantar bahasa Inggris bahakan bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa
asing dan materi pelajaran yang berbeda dengan sekolah lokal, sekolah Internasional bagaikan
institusi negera di dalam negara.

2) Pemilik modal besar = pemilik pendidikan.


UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

Globalisasi bisa memaksa sektor yang dulunya non-komersil menjadi komoditas dalam
pasar yang baru. Dengan alasan pasar bebas maka pendidikan yang sebenarnya non-komersil
dapat menjadi komersil. Lembaga pendidikan diperjualbelikan, sehingga makna pendidikan
hilang digantikan dengan untung rugi semata.

3) Ketergantungan pada teknologi terutama teknologi informasi

Dengan memanfaatkan internet sebagai media pencari informasi, bisa didapat banyak
keuntungan diantaranya adalah mendapatkan informasi yang lengkap dan dalam waktu
singkat. Namun hal ini justru memicu dampak negatif tersendiri bagi penggunanya terutama
bagi pelajar. Terlalu bergantung pada internet cenderung membuat mereka menjadi semakin
malas karena tinggal akses internet mereka mendapat informasi yang mereka mau, tanpa perlu
bersusah payah observasi secara langsung. Sehingga muncul fenomena pelajar/mahasiswa
copy paste. Kampanye gemar membaca dapat menjadi solusi bagi masalah ini.

4) Kesenjangan kualitas pendidikan.

Peningkatan kualitas pendidikan seharusnya harus dilaksanakan selaras dengan kondisi


masyarakat Indonesia saat ini. Masih banyak dijumpai masyarakat Indonesia yang berada di
bawah garis kemiskinan. Sehingga untuk menikmati pendidikan dengan kualitas yang baik
memerlukan dana yan cukup besar. Sebagai contoh untuk dapat menikmati program RSBI
diperlukan biaya yang mencapai jutaan sehingga yang dapat menikmati hanya golongan kelas
atas. Masyarakat kelas atas menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah mewah
sementara saat masyarakat dari golongan ekonomi lemah harus bersusah payah bahkan untuk
menyekolahkan anak mereka ke sekolah biasa. Ketimpangan ini dapat memicu kecemburuan
yang dapat mengakibatkan konflik sosial.

5) Terkikisnya budaya bangsa.

Globalisasi dapat menyebabkan masuknya budaya atau percampuran budaya asing


(akulturasi kebudayaan) dengan budaya asli Indonesia. Jika bangsa Indonesia tidak siap
menerima perubahan globalisasi, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan cenderung
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

mengarah ke memudarnya nilai-nilai kelestarian budaya. Mudahnya akses informasi dapat


menjadi bumerang, salah satunya adalah situs pornografi yang dapat diakses oleh semua orang
termasuk para siswa. Hal itulah merupakan awal dari pergeseran budaya yang tidak sesuai
dengan budaya Indonesia yang condong ke adat ke-timuran yang menjunjung nilai-nilai moral
dan kesopanan.

c. Solusi mengatasi isu globalisasi dalam menyelenggarakan pendidikan Indonesia


1) Pemerintah
Pemerintah harus berkomitmen kuat untuk mencegah efek negatif dari globalisasi
terjadi agar semua lapisan masyarakat dapat menikmati pendidikan dengan wajara. Komitmen
tersebut dengan membuat seperangkat sistem atau aturan yang berupa Undang-Undang yang
mencegah rusaknya dunia pendidikan Indonesia karena globalisasi.

2) Optimalisasi peran pendidik (guru/dosen)

Menurut undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah
ditegaskan bahwa yang dimaksud Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik dijalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru adalah
orang yang bertanggung jawab atas peningkatan moral pelajar dan kemerosotannya. Oleh
karena itu tugas guru tidak terbatas pada kegiatan mengajar, tapi yang terpenting adalah
mencetak karakter murid. Selain itu dengan berkembangnya bidang teknologi informasi, guru
harus memiliki kemampuan untuk memanfaatkannya semaksimal mungkin gunan menunjang
aktifitas mengajarnya di kelas. Jika peran guru dapat maksimal maka tantangan globalisasi
dapat tterminalisir efek negatifnya.

3) Integrasi kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler peserta didik (siswa)

Memberikan kegiatan positif di sekolah di luar pelajaran seperti seni, pramuka, PMR,
karya tulis ilmiah, pecinta alam atau kegiatan positif lain dapat mencegah masuknya efek
negatif globalisasi
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

4) Orang Tua (Keluarga)

Orang tua atau keluarga sebagai tempat pendidikan awal bagi anak sebelum mereka
dikenalkan denga dunia luar harus memberikan dasar-dasar pendidikan kepada anak yang
nantinya akan menentukan pertumbuhan serta perkembangan anak di masa mendatang. Selain
itu orang tua juga wajib melakukan kontrol terhadap kegiatan anak, karena apabila tidak
diawasi akan mengarahkan anak menjadi suatu pribadi dan perilaku yang tak terkontrol.
Mencari kegiatan anak tidak harus mlakukan pengawasan setiap detik, namun dapat dilakukan
dengan menanyakan siapa teman bermai, menanyakan keadaan anak pada guru di sekolah dan
lain sebagainya.

5) Lingkungan.

Lingkungan dapat mengakibatkan perubahan perilaku dan kepribadian seseorang,


karena disinilah segala pengaruh timbul, baik dari teman sebaya ataupun orang lain. Untuk itu
pemilihan lingkungan sangat penting dalam mengahadapi arus globalisasi yang akan
berdampak pada dunia pendidikan.

6) Nilai-nilai spiritual

Perlunya penekanan dalam mengamalkan nilai-nilai spiritual bagi semua komponen


pendidikan. Agama tidak hanya sekedar menjadi pelajaran yang dihafalkan akan tetapi
pelajaran yang diamalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Djiwandono, Soedjati, J. 2000 . Menggagas Paradigma Baru Pendidikan. Yogyakarta :


Kanisius.
Idrus , Ali. 2010. Manajemen Pendidikan Global. Jakarta: GP Press.
Tilaar, H.A.R. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional. Jakarta: Buku Kompas.
Mustakim, Bagus. 2011. Pendidikan Karakter ; Membangun Karakter Emas Menuju
Indonesia Bermartabat. Yogyakarta: Samudra Biru.
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA

a. Makna dan urgensi pendidikan multikultural di Indonesia


Pendidikan multikultural adalah sebuah bentuk pendidikan yang menerapkan strategi
dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,
khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial,
gender, kemampuan, umur, dan ras. Dan yang paling penting, strategi ini bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran siswa agar selalu berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis.
Masyarakat Indonesia sangat beragam mulai dari agama, bahasa, budaya, adat istiadat
dan tinggal di wilayah kepulauan kurang lebih 13.000 pulau besar dan kecil dan dikelilingi
garis pantai sepanjang lebih dari 80.000 km, Hal ini menyebabkan interaksi dan integrasi tidak
selamanya dapat berjalan lancar. Demikian pula kemajuan ekonomi sulit merata, sehingga
terdapat ketimpangan kesejahteraan masyarakat, ini sangat rentan sebagai awal rasa
ketidakpuasan yang berpotensi menjadi konflik. Oleh karena itu pendidikan multikultural
diperlukan untuk mengatasi keberagaman tersebut.
b. Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia
1) Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah
memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun
Indonesia yang multikultural. Namun kondisi neka budaya itu sangat berpotensi memecah
belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika
tidak ada komunikasi antarabudaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada
berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik.
2) Pergeseran Kekuasaan Dari Pusat Ke Daerah atau Otonomi Daerah
Ada kesan pemerintah daerah sekarang bagaikan raja-raja kecil yang sulit di atur
pemerintah pusat. Kasus terakhir yang terjadi di Garut, betapa sangat sulit menurunkan
seorang bupati. Bahkan menteri dalam negeri hanya bisa sebatas menyarankan mengundurkan
diri.
3) Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Menjadi dilema pemerintah ketika GAM atau OPM menginginkan merdeka sementara
mereka adalah bagian dari multikultur itu sendiri.
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

4) Kesejahteraan Ekonomi Yang Tidak Merata Di Antara Kelompok Budaya


Banyaknya demonstrasi seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di
bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas duapuluh ribu orang akan ikut
terlibat dalam demontrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak
kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini. Hal ini ada karena adanya
kesenjangan ekonomi yang jelas.
c. Solusi persoalan penyelenggaraan pendidikan multikultural di sekolah
Solusi yang ditawarkan bahwa materi pendidikan multikultural harus terintegrasi
dalam pelajaran sejak dari pendidikan dasar sehingga pemahaman akan multikultur dapat
lebih membumi. Tujuan dari pendidikan multikultur juga harus jelas, harus mencakup 3 ranah
yaitu tujuan tingkah laku, tujuan pengetahuan, dan tujuan instruksional.
1) Pada tingkat tingkah laku.
Pendidikan multikultural memiliki fungsi untuk menyemai dan mengembangkan
sensitivitas kultural, toleransi kultural, penghormatan pada identitas kultural, pengembangan
sikap budaya responsif dan keahlian untuk melakukan penolakan dan resolusi konflik.
2) Pada tingkat pengetahuan.
Pendidikan multikultural memiliki tujuan bagi pencapaian kemampuan akademik,
pengembangan pengetahuan tentang kemajemukan kebudayaan, kompetensi untuk melakukan
analisis dan interpretasi perilaku kultural, dan kemampuan membangun kesadaran kritis
tentang kebudayaan sendiri.
3) Pada tingkat instruksional.
Pendidikan multikultural memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan
melakukan koreksi atas distorsi-distorsi, stereotipe-stereotipe, peniadaanpeniadaan, dan mis-
informasi tentang kelompok-kelompok etnis dan kultural yang dimuat di dalam buku dan
media pembelajaran, menyediakan strategi-strategi untuk melakukan hidup di dalam
pergaulan multikultural, mengembangkan ketrampilanketrampilan komunikasi interpersonal,
menyediakan teknik-teknik untuk melakukan evaluasi dan membentuk menyediakan
klarifikasi dan penjelasan-penjelasan tentang dinamika-dinamika perkembangan kebudayaan.
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

DAFTAR PUSTAKA

Banks, J. A. 1994. An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn and Bacon.


Banks & Banks. 1995. Handbook of Research on Multicultural Education. New York :
MacMillan Publishing, Inc.
Choerul, Mahfud. 2006. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dalam
Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo.
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

PROFESIONALISME PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

a. Pentingnya pengembangan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan


Definisi pendidik dan tenaga kependidikan yang tertuang dalam Undang-Undang RI
Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 ayat (1) dan (2) adalah sebagai
berikut :

1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan,


pengembanganm, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses
pendidikan pada satuan pendidikan.
2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Dari pengertian di atas, sangat jelas bahwa profesionalisme pendidik dan tenaga
kependidikan penting dan harus selalu dikembangkan. Pendidik/guru dan tenaga kependidikan
adalah dua profesi yang saling berkaitan dalam dunia pendidikan, keduanya harus sinergi dan
selalu dikembangkan profesionalisme agar pendidikan dapat berjalan dengan baik. Setiap
individu yang berprofesi dibidang keduanya harus sadar dan disadarkan akan pentingnya
profesi mereka, karena apa yang mereka lakukan akan berdampak secara langsung bagi
generasi penerus di masa mendatang. Sehingga masing-masing individu secara mempunyai
kemauan untuk menjalani dan mengembangkan profesinya dengan seoptimal mungkin.

b. Persoalan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan

Salah satu permasalahan yang sekarang muncul dari profesionalisme pendidik dan
tenaga kependidikan bermula dari pembedaan perlakuan dan perhatian dari pemerintah selaku
pengambil kebijakan terhadap keduanya. Adanya setifikasi guru sebagai tenaga pendidik
profesional tidak diikuti dengan sertifikasi tenaga kependidikan atau yang semacamnya.
Adanya perbedaan penghasilan akibat tunjangan profesi mempengaruhi kinerja keduanya.
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

Apalagi ada sinyalemen bahwa tunjangan sertifikasi guru tidak menjadikan guru menjadi lebih
baik dalam mengajar.

Perbedaaan kinerja akibat perbedaan pendapatan ini sedikit banyak mengganggu


jalannya pelaksanaan pendidikan. Hal ini menjadi masalah manajemen yang serius jika
dibiarkan saja, terutama di sekolah swasta. Sedikitnya pendapatan mengakibatkan
berkurangnya kinerja, karena kinerja kurang maka sekolah tidak menjadi semakin baik, karena
sekolah tidak baik maka siswa yang mendaftar sedikit, karena siswa sedikit maka sekolah
akan mati. Inilah lingkaran setan yang harus dihindari akibat adanya kebijakan tunjangan
profesi bagi pendidik.

Bisa dibayangkan jika pustakawan, laboran, toolman, bagian kemananan, kebersihan


melakukan mogok kerja akiobat protes karena tidak adanya tunjangan bagi mereka ? Padahal
Undang-Undang tentang Sistim Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 1 dengan jelas
menyebutkan bahwa keduanya (pendidik dan tenaga kependidikan) berhak memperoleh
penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai.

c. Pemecahan masalah pendidik dan tenaga kependidikan


1) Pengembangan profesionalitas guru dan tenaga kependidikan
Kebijakan pendidikan profesi guru yang sedang gencar dilakukan harus diimbangi
juga dengan pengembangan profesionalitas tenaga kependidikan. Cara yang sama dapat
dilakukan dengan mengadopsi sistem pendidikan profesi guru dan disesuaikan dengan profesi
awal tenaga kependidikan (laboran, pustakawan, dst)
Selanjutnya evaluasi menyeluruh baik pelaksanaan maupun proses pengembangan
profesionalitas guru harus dilakukan terus menerus sehingga dapat ditemukan model
pendidikan yang terbaik untuk meningkatkan profesionalitas guru. Hal ini mendesak dan perlu
dilakukan agar program sertifikasi guru terkesan tidak sia-sia.
2) Status sosial ekonomi guru dan tenaga kependidikan
Pemerintah dan DPR harus mengupayakan kebijakan yang juga memihak kepada
tenaga kependidikan dengan membuat UU atau regulasi yang mengatur tentang tenaga
kependidikan sebagaimana UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Dengan adanya
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

UU ini Guru dan Dosen memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum. Hal itu
seharusnya juga diterima oleh tenaga kependidikan karena kegiatan belajar-mengajar tanpa
peran tenaga kependidikan akan mengalami gangguan. Dengan adanya regulasi tersebut
tenaga kependidikan mendapat ”pengakuan” dan penghargaan atas kinerjanya. Tenaga
kependidikan – sebagaimana pendidik – juga perlu kejelasan hukum yang mengatur mereka.
Tenaga kependidikan tidak akan berfungsi selama penghargaan tidak sesuai dengan usaha
yang dilakukan.
Jika kontroversi antara pendidik dan tenaga kependidikan tidak segera dituntaskan
maka permasalahan pendidikan tidak akan terselesaikan. Bahkan akan menciptakan
kesenjangan antara keduanya. Akhirnya menghambat percepatan peningkatan mutu
pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Fatah, Nanang. 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewam Sekolah.
Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Mulyasa, E. 2006. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Rosda Karya.
Pidarta, Made. 2009. Landasan Kependidikan. Bandung: Rineka Cipta.
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf.
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME


a. Konsep pandangan konstruktivisme terhadap peserta didik
Belajar menurut konsep pembelajaran konstruktivisme adalah suatu proses merangkai
atau membentuk pengetahuan. Pembentukan ini harus dibuat sendiri oleh pelajar atau orang
yang mau mengerti atau memahami. Siswa tersebutlah yang harus aktif berpikir, membuat
konsep, dan mengambil makna. Guru atau pendidik di sini hanyalah membantu agar proses
konstruksi itu berjalan. Guru bukan mentransfer pengetahuan sebagai yang sudah tahu, tetapi
membantu agar anak didik membentuk pengetahuannya.
Dalam belajar sistem ini, peran murid diutamakan dan keaktifan murid untuk
membentuk pengetahuan dinomorsatukan. Semua peralatan, bahan, lingkungan, dan
fasilitasdisediakan untuk membantu pembentukan itu. Murid diberi kesempatan
mengungkapkan pemikirannya akan suatu masalah, tanpa dihambat. Dengan dibiasakan
berpikir sendiridan mempertanggungjawabkan pemikirannya, murid akan terlatih untuk
menjadi pribadiyang sungguh mengerti, yang kritis, kreatif, dan rational. Dalam pengertian
konstruktivisme, murid tidak dianggap sebagai suatu tabula rasa yang kosong, yang tidak
mengerti apa-apa sebelumnya. Murid dipahami sebagai subyek yang sudah membawa
"pengertian awal" akan sesuatu sebelum mereka mulai belajar secaraformal. Bahkan seorang
murid klas 1 SD pun sudah membawa pengetahuan awal mengenai macam-macam hal yang
dalam tarafnya berlaku untuk memecahkan persoalan.Pengetahuan awal tersebut, meski
kadang sangat naif atau tidak cocok dengan pengertian para ahli, perlu diterima dan nanti
dibimbing untuk semakin sesuai dengan pemikiran para ahli. Pemikiran awal tersebut
bukanlah suatu yang salah; tetapi terbatas berlakunya. Pihak guru dituntut memiliki
pengetahuan yang luas dan mendalam, agar dapat memahami jalan pikiran anak. Guru
menantang, mempertajam, dan menunjukkan apakah jalan pikiran murid benar. Guru tidak
mengklaim bahwa satu-satunya jalan yang benar adalah yangsama dengannya. Kesalahan
pemikiran anak diterima sebagai landasan kemajuan. Bukankah perkembangan semua ilmu
mulai dari kesalahan, demikian tandas parakonstruktivis.
Para pendidik yang telah mencoba mewujudkan paradigma konstruktivisme didalam
kelas kemudian mendeskripsikan prinsip-prinsip pembelajaran berdasarkan para-digma
tersebut. Catherine Twomey Fosnot, ketika memberikan pengantarnya untuk buku berjudul In
Search of Understanding the Case for Constructivist Classrooms karya Grennon Brooks dan
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

Brooks (1993) memformulasikan 5 prinsip belajar menurut paradigma konstruktivisme yang


satu sama lain berkaitan, yaitu: (1) menghadapkan peserta didik kepada problem yang saling
berkaitan; (2) membuat struktur pembelajaran lewat konsep pokok dan di sekitar pikiran
dasarnya; (3) mendorong dan menghargai munculnya pandangan dari dalam diri peserta didik;
(4) kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan dan kemauan peserta didik, dan (5) selalu
menilai kemajuan peserta didik melalui konteks pembelajaran.
b. Peran guru, siswa dan dinamika pembelajaran dengan pendekatan
konstruktivisme
1) Peranan guru
Dalam model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme, guru atau pendidik
berperan membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar.
Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa
untuk membentuk pengetahuannya sebdiri.
2) Peranan siswa
Menurut pandangan ini belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan.
Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukankegiatan, aktif
berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yangsedang dipelajari. Guru
memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi
peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan adalah
terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri.
3) Dinamika pembelajaran
Pendekatan konstruktivisme secara konseptual jika dipandang dari pendekatan
pengetahuan, bukan sebagai transfer informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam
diri siswa seperti dalam pembelajaran konvensional. Akan tetapi terdapat proses asimilasi dan
akomodasi pengetahuan yang bermuara pada pemuktahiran struktur pengetahuannya.
Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan
dari pada fakta-fakta yang terlepas-lepas.
Guru harus mampu memotivasi siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu
sendiri dan mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari
sendiri pertanyaannya. Selain itu membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan
pemahaman konsep secara lengkap dan mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

pemikir yang mandiri. Sedangkan dalam segi proses lebih menekankan pada proses belajar
bagaimana belajar itu sendiri.
c. Kelebihan dan kelemahan model pembelejaran konstruktivisme di Indonesia
1) Kelebihan
a) Proses belajar mengajar menjadi lebih hidup penuh motivasi dan tidak monoton,
karena terjadi proses dialogis antara siswa dan guru. Pendidik sedikit berbicara di
dalam kelas, tidak seperti model pembelajaran konvensional yang berlangsung
monologis
b) Pembelajaran tidak banyak ditekankan pada penggunaan buku teks, namun
penggalian pengalaman dan pengetahuan pribadi siswa dan di asimilasikan dengan
materi pembelajaran yang disampaikan
c) Pendidik memberikan kesempatan kepada murid untuk bekerja sama –dalam arti
positif- menyelesaikan tugas-tugas yang dapat diselesaikan bersama oleh siswa,
dengan menggunakan prinsip yang lebih tahu mengajari, yang kurang tahu aktif
bertanya kepada temannya.
d) Peserta didik mampu mengerjakan tugas mandiri walaupun tugasnya menuntut
kemampuan berpikir rumit, hal ini dikarenakan siswa dituntut untuk dapat
merekonstruksi pengalamannya dan digabungkan dengan materi pembelajaran
yang disampaikan
e) Guru lebih menghargai kemampuan berpikir peserta didik sehingga membantu
siswa membangun kepercayaan dirinya.
2) Kelemahan
Secara prinsip kelemahan model pembelajaran konstruktivisme jika diterapkan di
Indonesia terletak pada perubahan pola model pembelajaran dari behavioristik ke
konstruktivisme. Hampir semua model pendidikan di Indonesia menggunakan behavioristik
yang bersistem stimulus-respon, terjadwal, teksbook, dan seperangkat materi pelajaran yang
harus dikuasai peserta didik dalam waktu tertentu. Peserta dianggap “botol kosong” yang siap
diisi oleh guru. Tata ruang kelas yang monoton dari sejak bangku SD hingga bahkan
perguruan tinggi. Kelas kurang mengakomodir perbedaan kecenderungan model belajar
individu peserta didik karena guru cenderung monologis alias ceramah, siswa yang cenderung
auditory lah yang paling pintar.
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

Padahal model pembelajaran konstruktivisme bisa dikatakan berlawanan dengan


behavioristik, sehingga sistem di atas harus diubah total. Perubahan harus berawal dari pola
pikir tentang perlunya perubahan ke konstruktivisme, dilanjutkan tindakan nyata dengan
mengaplikasikan dalam dunia pendidikan secara bertahap. Selanjutnya setiap kendala yang
muncul akibat pelaksanaan model pembelajaran dijadikan bahan evaluasi sehingga
pelaksanaan model konstruktivisme dapat terlaksana dengan optimal.
Penerapan model pembelajaran konstruktivisme harus dilaksanakan diawali dari
jenjang pendidikan dasar, demikian terus bertahap hingga tingkat perguruan tinggi.
Pendidikan dan pelatihan bagi guru yang akan menerapkan model pembelajaran
konstruktivisme harus secara rutin dilaksanakan. Sarana dan prasarana juga harus disiapkan.
Untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi model pembelajaran gabungan antara
behavioristik konstruktivisme dapat dilakukan, sehingga pendidikan dapat tetap terlaksana.
Sedangkan secara konsep,-jika boleh dikatakan kelemahan- maka model pembelajaran
konstruktivisme mempunyai kelemahan sebagai berikut :
a) Siswa dituntut untuk memilki pengetahuan atau konsep awal tentang pelajaran
yang akan diterima. Setiap siswa dapat dipastikan berbeda-beda tingkat
pengetahuan terhadap suatu pelajaran sehingga pada tataran praktis penyatuan
konsep awal dari siswa dengan konsep yang harus disampaikan guru butuh lebih
banyak waktu.
b) Guru dituntut mempunyai kemampuan dan wawasan yang lebih karena harus
mampu mensintesis setiap perbedaan yang timbul ketika proses pembelajaran
berlangsung menjadi nilai tambah bagi siswa. Guru juga harus mampu memotivasi
siswa untuk mengeksplorasi setiap permasalahan, menyampaikan serta
merangkumnya menjadi sebuah pengetahuan baru ke dalam dirinya. Jika tidak,
maka proses pembelajaran akan terhenti atau bahkan tidak berlangsung.
c) Kesadaran belajar bagi siswa dan guru harus tinggi karena kekuatan dari model
pembelajaran konstruktivisme adalah asimilasi dari pengetahuan masing-masing
siswa, guru dan disinkronkan dengan konsep dari para ahli dari materi yang
sampaikan.
UJIAN AKHIR SEMESTER LANDASAN KEPENDIDIKAN

DAFTAR PUSTAKA

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivisme. Surabaya :


Prestasi Pustaka.
Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Direktori Lembaga Pendidikan Nasional (DLPN). 2008. Mutu Tenaga Kependidikan. Jakarta :
Depdiknas.
Ibrahim, Muslimin. Nur, Mohammad. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya :
Universitas Negeri Surabaya.
Novak, J.D. & Gowin, B. 1985. Learning how to Learn. Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai