BAB II
TINJAUAN UMUM
Mineralindo
7
2.5.1 Morfologi
Morfologi daerah penelitian merupakan morfologi dengan kelerengan
topografi bervariasi dari 5° – 50°. Terbentuknya sudut dan pola kelerengan pada
setiap klasifikasi memiliki kaitan erat terhadap intensitas proses dari kondisi 4
faktor, yaitu waktu, jenis material, struktur geologi, serta iklim.
11
dapat di lihat bahwa pada bagian-bagian puncak punggungan atau puncak bukit
cenderung memiliki derajat kelerengan yang rendah atau memiliki morfologi yang
landai – sedang, ini membuktikan proses pelapukan yang terjadi cukup intensif
sehingga menghasilkan endapan laterit yang cukup bagus. Sedangkan pada
daerah-daerah yang menempati sayap atau lereng bukit cenderung akan memiliki
tingkat kelerengan yang tinggi atau memiliki morfologi yang cenderung curam
karena proses pelapukan yang terjadi tidak begitu intensif sehingga kedalaman
laterit yang terbentuk cenderung lebih dangkal. Sebagian besar lokasi penelitian
mempunyai kelerengan yang landai,yaitu sekitar 0° – 20°.
2. Morfologi Daerah Landai
Daerah ini mempunyai ketinggian antara 305 m – 576 m di atas
permukaan laut, memiliki sudut lereng 5° – 20° dan membentuk morfologi
pegunungan dan perbukitan. Daerah ini dapat di lihat pada bagian tengah dari
wilayah IUP PT. Hengjaya Mineralindo. Sayap lereng punggungan ini
mempunyai kemiringan yang relatif sedang - curam yaitu antara 20° – 45°. Pada
daerah ini di dominasi oleh bongkahan batuan segar (fresh rock) ultramafik. Pada
puncak punggungan mempunyai kemiringan lereng berkisar 5° – 20° (datar –
landai), dan pada daerah ini berkembang tanah laterit sebagai hasil dari proses
laterisasi.
2.5.2 Topografi
Ditinjau dari peta topografi yang mencakup daerah Tangofa dan
sekitarnya, morfologi wilayah ini di dominasi oleh perbukitan yang memanjang
berarah relatif Barat laut – Tenggara dan Utara – Selatan, yang di duga
merupakan lipatan-lipatan yang dipengaruhi oleh Sesar Matano di sebelah utara
dan Sesar Lasolo di bagian selatannya. Adanya bukit-bukit soliter yang
ditemukan, diperkirakan merupakan bagian dari lipatan-lipatan yang tersesarkan.
Pola pengairannya di dominasi oleh pola dendritik dan rektangular. Satuan
kelerengannya terbagi atas dataran landai di sepanjang pantai timur Sulawesi,
perbukitan bergelombang lemah – kuat, serta perbukitan tertajam kuat di sekitar
patahan. Keadaan topografi setempat akan sangat mempengaruhi sirkulasi air
13
beserta unsur-unsur lain. Untuk daerah yang landai, maka air akan bergerak
perlahan-lahan sehingga akan mempunyai kesempatan untuk mengadakan
penetrasi lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori batuan. Akumulasi
endapan umumnya terdapat pada daerah-daerah yang landai sampai kemiringan
sedang, hal ini menerangkan bahwa ketebalan pelapukan mengikuti bentuk
topografi. Pada daerah yang curam, secara teoritis, jumlah air yang meluncur (run
off) lebih banyak dari pada air yang meresap ini dapat menyebabkan pelapukan
kurang intensif.
Pada daerah yang landai (kemiringan 5° – 10°), maka air akan bergerak
perlahan-lahan sehingga mempunyai kesempatan untuk melakukan infiltrasi dan
mengadakan penetrasi yang lebih dalam melalui rekahan-rekahan batuan.
pada air yang meresap dan menyebabkan pelapukannya menjadi tidak intensif.
Pada tempat dimana terdapat keseimbangan, Nikel akan mengendap melalui
proses pelapukan kimia.
kandungan silika (SiO2). Sebagai representatifnya, Kondisi ini dapat di lihat pada
lereng sepanjang jalan trans Sulawesi yang melintasi Wilayah IUP Produksi
PT.Hengjaya Mineralindo.
Pada blok-blok tersebut sudah dilakukan pemboran detail dengan grid 100
m – 25 m, terdapat singkapan saprolit yang cukup meyakinkan, adanya indikasi
mineral-mineral garnierite yang berkembang ke arah utara dan selebihnya
perkembangan kearah timur, terjadi perubahan kualitas menjadi batuan ultramafik
(serpentinit) yang masih fresh.
Berdasarkan hasil penggalian tespit pada Block B, maka rata–rata
kedalaman laterit yang diperoleh antara 3 - 6 m. Lithologi yang didapatkan masih
Ferruginous saprolite. Hal ini disebabkan kondisi batuan peridotit yang
terserpentinisasi memiliki tingkat serpentinisasi yang berbeda-beda sehingga
menghasilkan profil laterite yang bervariasi.
Pada umumnya daerah penelitian merupakan silicates laterite dengan
ditandai banyaknya pisolit dan hematite dipermukaan. Keadaan permukaan tanah
seperti ini dapat menghasilkan tespit yang cukup dalam. Keberadaan butiran
pisolite yang melimpah di permukaan merupakan salah satu ciri keberadaan
silicates laterite pada suatu daerah. Berdasarkan kenampakan visual tespit
menghasilkan profile limonit – ferruginous saprolite yang cukup bagus, dengan
ditandai adanya manganese oxide dan chromite streaks. Ferruginous saprolite
dapat terus berkembang hingga kedalaman 10 – 11 m dangkal lateritnya, namun
kaya akan mineral garnierite yang terdapat pada rekahan batuannya,
memungkinkan kandungan unsur nikel yang sangat tinggi, dan dapat
dimungkinkan bisa menjadi sebuah Injector pada saat pengapalan dangan hasil
penambangan yang memiliki kandungan kadar Nikel yang rendah.
Kawasan Hutan Lindung ± 2.459 Ha dan areal Penggunaan lain (APL) ± 734 Ha
dari luas keselurhan ± 6.249 Ha.
tempat penampungan. Bijih nikel yang di tumpuk oleh alat gali di dekat front
penambangan dan jiika kadar dianggap layak untuk diangkut maka akan dimuat
ke dalam dump truck untuk diteruskan ke tempat penimbunan (stockyard).
5. Penimbunan pada stockyard
Penimbunan pada stockyard dilakukan pada bijih nikel yang langsung di
ekspor tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Bijih nikel yang tidak
memenuhi standar untuk masuk ke pabrik selanjutnya diangkut dari front
penambangan ke tempat penimbunan (stockyard). Bijih nikel pada stockyard
dipisahkan berdasarkan kandungan kadar Ni agar mempermudah pada saat
pengangkutan.
6. Pencampuran
Kadar bijih nikel yang ditambang sangat bervariasi sehingga untuk
diperoleh kadar bijih nikel yang dinginkan (permintaan konsumen) perlu
dilakukan pencampuran (blending) antara bijih nikel kadar terendah dengan bijih
nikel kadar tinggi.