Anda di halaman 1dari 16

5

BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1 Profil Perusahaan


PT. Hengjaya Mineralindo merupakan salah satu perusahaan yang
bergerak di bidang pertambangan, Sejalan dengan pergerakan penggunaan dan
harga Nikel dunia yang akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan dari waktu ke
waktu, hal ini merupakan peluang yang sangat baik bagi PT. Hengjaya
Mineralindo untuk melakukan penambangan dengan memproduksi “raw
material” guna melakukan penetrasi pasar bahkan berupaya langsung kepada
“end user” dari Nikel laterit di wilayah konsesi Ijin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi PT. Hengjaya Mineralindo No. 540.3/SK.001/DESDM/VI/2011 dengan
target produksi sebesar 30.000 WMT/bulan pada lahan seluas 1.000 Ha.

2.2 Sejarah Singkat Perusahaan


PT. Hengjaya Mineralindo telah mendapatkan Ijin Usaha Pertambangan
Eksplorasi Nomor 540.2/SK.001/DESDM/VI/2011, dengan luasan area 6.249
Ha (Lampiran 10). Kemudian dari tingkat keyakinan dan penelaahan hasil
eksplorasi, maka dapat diyakinkan bahwa ada prospek area Nikel di daerah IUP
Eksplorasi PT.Hengjaya Mineralindo, atas dasar keyakinan tersebut PT. Hengjaya
Mineralindo mengajukan permohonan ijin peningkatan menjadi Ijin Usaha
Pertambangan Operasi Produksi. Pada tanggal 16 Juni 2011 PT. Hengjaya
Mineralindo mendapatkan Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi No.
540.3/SK.001/DESDM/VI/2011, dengan luasan area dan lokasi yang masih sama
dengan Ijin Usaha Pertambangan Eksplorasi, yang di tandatangani oleh Bupati
Morowali, Drs. Anwar Hafid, pada tanggal 13 Mei 2011 (Lampiran 10). Daerah
IUP Eksplorasi PT.Hengjaya Mineralindo terletak di Desa Bete-Bete dan Desa
Padabaho, Kecamatan Bahodopi, dan Desa Tangofa dan Desa Pungkeu,
Kecamatan Bungku Pesisir. Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi
milik PT. Hengjaya Mineralindo dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Sumber : PT.Hengjaya Mineralindo (HM)

Gambar 2.1 Bentuk Koordinat IUP PT. Hengjaya Mineralindo (HM)


6

Mineralindo
7

2.3 Lokasi Kesampaian Daerah


Lokasi Ijin Usaha Pertambangan PT. Hengjaya Mineralindo tepatnya
berada di Desa Tangofa dan Pungkeu, Kecamatan Bungku Pesisir, dan Desa Bete-
Bete, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah.
Perjalanan menuju lokasi konsesi ini dapat di tempuh dari kota Jakarta, perjalanan
di awali dengan penerbangan dari Jakarta menuju kota Kendari, yang diteruskan
dengan jalan darat selama ± 8 jam, hingga ke Desa Tangofa.

Sumber : Google Earth 2016


Gambar 2.2 Letak Konsesi PT. Hengjaya Mineralindo
Untuk sampai ke lokasi Ijin Usaha Pertambangan PT. Hengjaya
Mineralindo dari Desa Tangofa di perlukan waktu ± 30 menit dengan kendaraan
roda empat (di sarankan double gardan, 4 x 4).
Sedangkan untuk dermaga yang akan direncanakan pembangunannya
sebagai entry point dimana kebutuhan alat berat akan masuk dan juga sebagai
dermaga saat pengapalan material ore akan dikapalkan terletak di Desa Tangofa
yang terdapat di tepi pantai bagian timur wilayah IUP PT. Hengjaya Mineralindo.
Dari hasil survey Bathymetri lokasi ini sangat tepat mengingat jarak yang relatif
dekat, jauh dari pemukiman dan juga gelombang yang masih dapat ditoleransi.
8

Sumber : PT.Hengjaya Mineralindo (HM)


Gambar 2.3 Wilayah IUP PT. Hengjaya Mineralindo

2.4 Kondisi Sosial Masyarakat Sekitar


Penduduk Desa Tangofa dan Bete-Bete mayoritas memeluk agama Islam.
Tradisi adat istiadat dari desa ini masih cukup kuat. Tingkat pendidikan penduduk
desa tersebut rata–rata sampai pada tingkat SMP. Sedangkan penghasilan dan
mata pencaharian mereka umumnya adalah sebagai petani dan nelayan. Selain
bertani dan nelayan, sebagian penduduknya juga bekerja di tambang-tambang
nikel yang ada seperti PT Total Prima Indonesia dan PT. Bintang Delapan
Mineral. Kebutuhan tenaga kerja lokal harian (helper) selama kegiatan penelitian
ini berasal dari desa terdekat, yaitu Desa Tangofa, Pungkeu dan Bete-Bete.
Selama kegiatan ini berlangsung sebagian tenaga harian lokal tersebut tinggal di
lokasi sekitar lokasi penelitian, dengan cara flying camp.
Hampir seluruh lokasi penelitian umumnya berupa hutan dengan fauna
babi hutan, rusa, ular, biawak, anoa, berbagai jenis unggas dan serangga,
sedangkan fauna sungai atau laut di antaranya udang air tawar, kerang laut,
bintang laut, serta berbagai jenis ikan. Vegetasi di lokasi penelitian terdiri dari
9

tumbuhan semak belukar, pohon damar, sengon, dan pohon-pohon yang


berdiameter ± 10 – 30 cm.

2.5 Geologi Ragional Daerah Penelitian

Gambar 2.4.Peta Geologi Sulawesi Tengah(Villeneuve dkk.,2002)

Batuan magmatik potassic calc-alkaline berusia akhir Miosen di Sulawesi


Tengah terdapat di bagian kiri bentangan Zona sesar Palu- Koro, dimana batuan
Granitdi wilayah tersebut berkorelasi dengan subduksi microcontinent Banggai-
Sula dengan Pulau Sulawesi pada pertengahan Miosen. Berdasarkan aspek
petrografi, batuan granit berumur Neogen tersebut dapat diklasifikasikan menjadi
tiga kelompok dari yang paling tua sampai dengan yang termuda untuk melihat
karakteristik perubahannya di masa mendatang. Pertama adalah bantalan Granit
yang kasar (Granitoid-C) yang terdistribusi di bagian utara dan selatan wilayah
Palu-Koro yang berumur 8,39-3,71 Ma, dimana dua karakteristik petrografi
tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Biotit yang mengandung Granit dan
Hornblende sebagai mineral mafik (4,15-3,71 Ma dan 7,05-6,43 Ma) dan Biotit
yang mengandung granit sebagai mineral mafik utama (8,39-7,11Ma). Kelompok
kedua adalah batuan Granit medium mylonitic-gneissic (Granitoid-B) yang relatif
10

terdapat di daerah pusat (sekitar Palu-Kulawi) berupa medium grained granitoids


yang kadang- kadang mengandung xenoliths. Batuan Granit ini juga dapat dibagi
lagi menjadi hornblende-biotit yang terdistribusi di bagian selatan (Saluwa-
Karangana) sekitar 5,46-4,05 Ma dan granit bantalan Biotit yang berumur 3,78-
3,21 Ma di sekitar Kulawi. Kelompok ketiga adalah Fine andbiotite-
poorgranitoid (Granitoid-A) kelompok batuan termuda yang tersebar di daerah
Palu-Koro sekitar 3,07-1,76 Ma, yang nampak sebagai dyke kecil hasil potongan
dari Granit lain. Batuan tersebut berwarna putih bersih mengandung sejumlah
biotitessebagai mineral mafik tunggal, kebanyakan batuan tersebut.

Gambar 2.5.PetaGeologi Sulawesi Tengah(Villeneuve dkk.,2002)

2.5.1 Morfologi
Morfologi daerah penelitian merupakan morfologi dengan kelerengan
topografi bervariasi dari 5° – 50°. Terbentuknya sudut dan pola kelerengan pada
setiap klasifikasi memiliki kaitan erat terhadap intensitas proses dari kondisi 4
faktor, yaitu waktu, jenis material, struktur geologi, serta iklim.
11

Dengan demikian, kelompok derajat kelerengan dari suatu bentang alam


memiliki peran kontrol dalam pembentukan pelapukan suatu batuan, di mana pada
kondisi–kondisi tertentu derajat kelerengan dari suatu wilayah akan mengontrol
sirkulasi air beserta reagen–reagen lainnya apakah akan menjadikan air sebagai
aliran permukaan (surface run off) ataukah air akan meresap ke dalam lapisan
tanah (infiltrasi) yang selanjutnya akan mendukung proses-proses pelapukan
batuan di dalamnya.
Morfologi daerah penelitian yang terdiri dari Blok A,B,C,D dan E,
merupakan daerah perbukitan dengan variasi kelerengan berkisar 5° – 70° dan
elevasi tertinggi 800 meter di atas permukaan air laut. Secara deskripsi
kuantitatif/morfometri maka morfologi masing-masing daerah penelitian dengan
wilayah sekitarnya dapat dikelompokkan berdasarkan arah umum kelerengan
menjadi 2 (dua) satuan morfologi yaitu datar – landai (< 20°) ditunjukkan degan
warna putih pada peta kelerengan, dan curam (> 40°) ditunjukkan dengan warna
hitam pada peta kelerengan di bawah ini.

Sumber : PT.Hengjaya Mineralindo (HM)


Gambar 2.6 Peta Kelerengan Daerah Penelitian.

1. Morfologi Daerah Curam


Daerah ini memiliki ketinggian antara 75 m – 375 m di atas permukaan
laut dan terlihat adanya variasi punggungan undulasi kuat di bagian timur, utara
dan selatan batas Wilayah IUP. Kenampakan topografi dan morfologi yang ada
menunjukkan adanya perbedaan intensitas proses lateritisasi yang terjadi. Hal ini
12

dapat di lihat bahwa pada bagian-bagian puncak punggungan atau puncak bukit
cenderung memiliki derajat kelerengan yang rendah atau memiliki morfologi yang
landai – sedang, ini membuktikan proses pelapukan yang terjadi cukup intensif
sehingga menghasilkan endapan laterit yang cukup bagus. Sedangkan pada
daerah-daerah yang menempati sayap atau lereng bukit cenderung akan memiliki
tingkat kelerengan yang tinggi atau memiliki morfologi yang cenderung curam
karena proses pelapukan yang terjadi tidak begitu intensif sehingga kedalaman
laterit yang terbentuk cenderung lebih dangkal. Sebagian besar lokasi penelitian
mempunyai kelerengan yang landai,yaitu sekitar 0° – 20°.
2. Morfologi Daerah Landai
Daerah ini mempunyai ketinggian antara 305 m – 576 m di atas
permukaan laut, memiliki sudut lereng 5° – 20° dan membentuk morfologi
pegunungan dan perbukitan. Daerah ini dapat di lihat pada bagian tengah dari
wilayah IUP PT. Hengjaya Mineralindo. Sayap lereng punggungan ini
mempunyai kemiringan yang relatif sedang - curam yaitu antara 20° – 45°. Pada
daerah ini di dominasi oleh bongkahan batuan segar (fresh rock) ultramafik. Pada
puncak punggungan mempunyai kemiringan lereng berkisar 5° – 20° (datar –
landai), dan pada daerah ini berkembang tanah laterit sebagai hasil dari proses
laterisasi.

2.5.2 Topografi
Ditinjau dari peta topografi yang mencakup daerah Tangofa dan
sekitarnya, morfologi wilayah ini di dominasi oleh perbukitan yang memanjang
berarah relatif Barat laut – Tenggara dan Utara – Selatan, yang di duga
merupakan lipatan-lipatan yang dipengaruhi oleh Sesar Matano di sebelah utara
dan Sesar Lasolo di bagian selatannya. Adanya bukit-bukit soliter yang
ditemukan, diperkirakan merupakan bagian dari lipatan-lipatan yang tersesarkan.
Pola pengairannya di dominasi oleh pola dendritik dan rektangular. Satuan
kelerengannya terbagi atas dataran landai di sepanjang pantai timur Sulawesi,
perbukitan bergelombang lemah – kuat, serta perbukitan tertajam kuat di sekitar
patahan. Keadaan topografi setempat akan sangat mempengaruhi sirkulasi air
13

beserta unsur-unsur lain. Untuk daerah yang landai, maka air akan bergerak
perlahan-lahan sehingga akan mempunyai kesempatan untuk mengadakan
penetrasi lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori batuan. Akumulasi
endapan umumnya terdapat pada daerah-daerah yang landai sampai kemiringan
sedang, hal ini menerangkan bahwa ketebalan pelapukan mengikuti bentuk
topografi. Pada daerah yang curam, secara teoritis, jumlah air yang meluncur (run
off) lebih banyak dari pada air yang meresap ini dapat menyebabkan pelapukan
kurang intensif.
Pada daerah yang landai (kemiringan 5° – 10°), maka air akan bergerak
perlahan-lahan sehingga mempunyai kesempatan untuk melakukan infiltrasi dan
mengadakan penetrasi yang lebih dalam melalui rekahan-rekahan batuan.

Gambar 2.7 Profil Topografi dalam Pembentukan Zona Laterit


(Darijanto,1988)
Dalam kaitannya terhadap pembentukan bijih Nikel, pelapukan batuan
berikut reagennya merupakan media leaching dan enrichment karena Ni sebagai
elemen yang bebas dan karena gravitasi maka terjadi pengkayaan pada zona
pelapukan batuan bagian bawah (supergene). Dengan demikian maka wilayah
dengan kelerengan rendah akan mencerminkan suatu keadaan dimana pelapukan
dapat terkonsentrasi dengan baik dan menghasilkan zona laterit yang tebal dan
memungkinkan terjadinya sekuen laterit yang lengkap.
Ketebalan pelapukan mengikuti bentuk dari suatu topografi. Pada
topografi yang curam, jumlah air yang mengalir (run off) akan lebih banyak dari
14

pada air yang meresap dan menyebabkan pelapukannya menjadi tidak intensif.
Pada tempat dimana terdapat keseimbangan, Nikel akan mengendap melalui
proses pelapukan kimia.

Gambar 2.8 Profil Topografi dalam Pembentukan Zona Laterit


(Darijanto,1988)

2.5.3 Litologi dan Stratigrafi


Berdasarkan himpunan batuan, struktur dan umur batuan, terdapat 3
kelompok batuan (Simandjuntak, 1983), pada wilayah sulawesi yaitu :
1. Batuan Malihan Kompleks Mekongga
Batuan malihan berderajat rendah (low grade metamorphic) ini merupakan
batuan alas di lengan tenggara Sulawesi. Batuan malihan kompleks Mekongga ini
diperkirakan berumur Permo-Karbon. Dan termasuk kepada batuan metamorf
fasies epidot-amfibolit. Batuan malihan ini terjadi karena adanya proses burial
metamorphism. Batuan penyusunnya berupa sekis mika, sekis kuarsa, sekis
klorit, sekis mika-amfibol, sekis grafit dan genes.
2. Kelompok Batuan Sedimen Mesozoikum
Di atas batuan malihan itu secara tak selaras menindih batuan sedimen
klastika, yaitu Formasi Meluhu dan sedimen karbonat Formasi Laonti. Keduanya
diperkirakan berumur Trias Akhir hingga Jura Awal. Formasi Meluhu
tersusun dari batusabak, filit dan kuarsit, setempat sisipan batu gamping hablur.
Formasi Laonti terdiri atas batu gamping hablur bersisipan filit di bagian
bawahnya dan setempat sisipan kalsilutit rijangan.
15

3. Kelompok Mollasa Sulawesi


Pada Neogen tak selaras di atas kedua mendala yang saling bersentuhan
itu, diendapkan kelompok Molasa Sulawesi. Batuan jenis Molasa yang tertua
di daerah penelitian adalah Formasi Langkowala yang diperkirakan berumur akhir
Miosen Tengah. Formasi ini terdiri dari batupasir konglomerat.
Formasi Langkowala mempunyai Anggota Konglomerat yang keduanya
berhubungan menjemari. Di atasnya menindih secara selaras batuan berumur
Miosen Akhir hingga Pliosen yang terdiri dari Formasi Eemoiko dan
Formasi Boepinang. Formasi Eemoiko dibentuk oleh batugamping koral,
kalkarenit, batupasir gampingan dan napal. Formasi Boepinang terdiri atas
batulempung pasiran, napal pasiran, dan batupasir. Secara tak selaras kedua
formasi ini tertindih oleh Formasi Alangga dan Formasi Buara yang saling
menjemari. Formasi Alangga berumur Pliosen, terbentuk oleh konglomerat dan
batupasir yang belum padat. Formasi Buara dibangun oleh terumbu koral,
setempat terdapat lensa konglomerat dan batupasir yang belum padat. Formasi
ini masih memperlihatkan hubungan yang menerus dengan pertumbuhan terumbu
pada pantai yang berumur Resen. Satuan batuan termuda yaitu endapan sungai,
rawa, dan kolovium.

2.5.4 Struktur Geologi


Struktur geologi di Sulawesi didominasi oleh arah barat laut – tenggara
yang berupa sesar mendatar sinistral dan sesar naik (Gambar 2.8).
Sesar Palu–Koro memotong Sulawesi bagian barat dan tengah, menerus ke
bagian utara hingga ke Palung Sulawesi Utara yang merupakan batas tepi benua di
Laut Sulawesi. Jalur Sesar Palu–Koro merupakan sesar mendatar sinistral dengan
pergeseran lebih dari 750 km (Tjia, 1973; Sukamto, 1975), arah gerak sesuai
dengan jalur Sesar Matano dan jalur Sesar Sorong. Sesar Sadang yang terletak di
bagian barat dan sejajar dengan Sesar Palu berada pada lengan Selatan
Sulawesi, menghasilkan lembah sungai sadang dan sungai masupu yang
sistemnya dikontrol oleh sesar mendatar (Hamilton, 1997).
16

Gambar 2.9 Struktur utama di sulawesi, Hamilton (1997)

2.6 Zona Lateritisasi Pada Daerah Penelitian


Daerah penelitian dari hasil pengamatan survey geologi banyak dijumpai
blok-blok/spot area yang merupakan zona laterit, dengan ketebalan rata-rata ± 10
meter. Kenampakan laterit secara visual terutama dari sisi warna permukaan
memiliki perubahan-perubahan yang cukup drastis, hal ini sebagai akibat adanya
perbedaan derajat serpentinisasi pada batuan ultramafik di wilayah tersebut.
Sedangkan keberadaan mineral bearing nikel seperti garnierite dan chrysophas
berada pada rekah-rekah batuan/boulder dan membentuk zona serta jalur-jalur
tertentu dalam satu satuan zona vein. Kondisi ini menyebabkan tingginya
17

kandungan silika (SiO2). Sebagai representatifnya, Kondisi ini dapat di lihat pada
lereng sepanjang jalan trans Sulawesi yang melintasi Wilayah IUP Produksi
PT.Hengjaya Mineralindo.
Pada blok-blok tersebut sudah dilakukan pemboran detail dengan grid 100
m – 25 m, terdapat singkapan saprolit yang cukup meyakinkan, adanya indikasi
mineral-mineral garnierite yang berkembang ke arah utara dan selebihnya
perkembangan kearah timur, terjadi perubahan kualitas menjadi batuan ultramafik
(serpentinit) yang masih fresh.
Berdasarkan hasil penggalian tespit pada Block B, maka rata–rata
kedalaman laterit yang diperoleh antara 3 - 6 m. Lithologi yang didapatkan masih
Ferruginous saprolite. Hal ini disebabkan kondisi batuan peridotit yang
terserpentinisasi memiliki tingkat serpentinisasi yang berbeda-beda sehingga
menghasilkan profil laterite yang bervariasi.
Pada umumnya daerah penelitian merupakan silicates laterite dengan
ditandai banyaknya pisolit dan hematite dipermukaan. Keadaan permukaan tanah
seperti ini dapat menghasilkan tespit yang cukup dalam. Keberadaan butiran
pisolite yang melimpah di permukaan merupakan salah satu ciri keberadaan
silicates laterite pada suatu daerah. Berdasarkan kenampakan visual tespit
menghasilkan profile limonit – ferruginous saprolite yang cukup bagus, dengan
ditandai adanya manganese oxide dan chromite streaks. Ferruginous saprolite
dapat terus berkembang hingga kedalaman 10 – 11 m dangkal lateritnya, namun
kaya akan mineral garnierite yang terdapat pada rekahan batuannya,
memungkinkan kandungan unsur nikel yang sangat tinggi, dan dapat
dimungkinkan bisa menjadi sebuah Injector pada saat pengapalan dangan hasil
penambangan yang memiliki kandungan kadar Nikel yang rendah.

2.7 Kawasan Fungsi Hutan


Berdasarkan Peta Penunjukkan atas areal IUP PT. Hengjaya Mineralindo
terhadap peta penunjukan kawasan hutan dan perairan Sulawesi tengah pada
posisi geografis 122º 9’57,1”BT dan 2º 55’ 0” LS. 2º 57’26. 11” LS, Bahwa areal
terletak pada Fungsi Kawasan Hutan Produksi terbatas (HPT) seluas ± 3.055 Ha,
18

Kawasan Hutan Lindung ± 2.459 Ha dan areal Penggunaan lain (APL) ± 734 Ha
dari luas keselurhan ± 6.249 Ha.

2.8 Iklim dan Curah Hujan


Kondisi iklim di area IUP PT. Hengjaya Mineralindo relatif sama dengan
daerah lainnya di Indonesia yaitu iklim tropis, dan memiliki pergantian 2 (dua)
musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Mengingat belum tersediannya data
iklim mikro secara langkap di instansi terkait, maka data iklim daerah studi
didasarkan atas data iklim yang diperoleh hasil pengukuran di PT. INCO Tbk
Sorowako, sedangkan data secar macro berupa peta curah hujan rata-rata curah
hujan setahun berkisar antara 2.500 – 3.000 mm.
Sedangkan didasarkan atas catatan stasiun pengukur curah hujan PT.INCO
Tbk Sorowako pada tahun 2007 sampai 2011 total curah hujan pertahun antara
2.358,63 sampai 1.926,6 mm dan terjadi pada tahun 2009, sebesar 4.272 mm.
Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret, dan terendah pada bulan Agustus
(Lampiran 8).

2.9 Sistem/Metode Penambangan


Metode penambangan PT. Hengjaya Mineralindo (HM) dilakukan dengan
metode tambang terbuka (open pit) dan secara garis besar aktivitas penambangan
sebagai berikut :
1. Pembersihan lahan tambang (land clearing)
Kegiatan ini merupakan langkah awal proses penambangan meliputi
pembersihan vegetasi yang menetupi daerah tambang agar tidak mengganggu
pada saat dilakukan pengupasan tanah penutup (OB) serta pembuatan jembatan,
jalanan untuk akses penambangan.
2. Pengupasan lapisan penuutup (striping)
Penambangan dimulai dengan mengupas lapisan penutup (overburden)
merupakan material bagian atas yang menutupi tanah laterit. Ketebalan lapisan
penutup bervariasi dari 0.8-4 meter yang meupakan top soil serta overburden
dengan kadar nikel yang rendah dan bila lapisan yang megandung ore sudah
tersingkap, persiapan penambangan dilakukan dengan pembuatan jalan menuju
19

level yang telah direncanakan. Lapisan penutup dikupas dengan buldozer


kemudian diangkut dan ditumpuk pada daerah tertentu (disposal) yang digunakan
untuk menutupi daerah pasca tambang sebagai dasar bagi tanaman penghijauan
dalam revegetasi atau diangkut menuju lokasi-lokasi yang membutuhkan
penimbunan jalan.
3. Penggalian
Penggalian adsalah kegiatan yang dilakukan untuk memisahkan bahan
galian dari induknya. Bijih nikel yang akan di tambang ditetapkan berdasarkan cut
off grade (COG), dengan sasaran produksi sebagai berikut:
 Bijih nikel kadar rendah (low grade) dengan kandungan Ni sekitar 1.5 % -
1.79 %
 Bijih nikel berkadar tinggi (high grade) dengan kandungan Ni ≥ 1.8 %
Penggalian bijih nikel dengan menggunakan alat gali muat Excavator PC.
Proses penggalian dilakukan secara Selective Mining (SM) yaitu dengan memilih
endapan bijih yang memiliki kadar tinggi.
Adapun prosedur penambangan dengan menggunakan selective mining
(SM) sebagai berikut :
 PC (excavator) menggali ore dari front tambang serta melakukan
mixing/pencampuran secara merata dan memisahkan boulder yang berukuran
diatas 20 x 20 cm dan hasilnya terbentuk satu tumpukan ore.
 Tumpukan hasil mixing dipindahkan dan disortir boulder yang berukuran di
atas 20 x 20 cm yang masih tertinggal pada tumpukan tersebut, pekerjaan ini
terbentuk lagi satu tumpukan ore yang bersih dari boulder yang berukuran di
atas 20 x 20 cm.
 Boulder hasil sortir yang berukuran diatas 20 x 20 cm ditempatkan pada
tempat khusus yang tidak mengganggu kegiatan penambangan sebagai file.
 Hasil selective mining adalah tumpukan ore yang siap diangkut sesuai dengan
kadar nikel yang diinginkan.
4. Pemuatan dan Pengangkutan
Pemuatan dan pengangkutan adalah kegiatan yang dilakukan untuk
memuat bijih (ore) ke atas alat angkut (dump truck) untuk diteruskan ke suatu
20

tempat penampungan. Bijih nikel yang di tumpuk oleh alat gali di dekat front
penambangan dan jiika kadar dianggap layak untuk diangkut maka akan dimuat
ke dalam dump truck untuk diteruskan ke tempat penimbunan (stockyard).
5. Penimbunan pada stockyard
Penimbunan pada stockyard dilakukan pada bijih nikel yang langsung di
ekspor tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Bijih nikel yang tidak
memenuhi standar untuk masuk ke pabrik selanjutnya diangkut dari front
penambangan ke tempat penimbunan (stockyard). Bijih nikel pada stockyard
dipisahkan berdasarkan kandungan kadar Ni agar mempermudah pada saat
pengangkutan.
6. Pencampuran
Kadar bijih nikel yang ditambang sangat bervariasi sehingga untuk
diperoleh kadar bijih nikel yang dinginkan (permintaan konsumen) perlu
dilakukan pencampuran (blending) antara bijih nikel kadar terendah dengan bijih
nikel kadar tinggi.

Anda mungkin juga menyukai