Anda di halaman 1dari 14

TAFSIR, TA’WIL, TARJAMAH DAN HERMENEUTIK

Oleh : Muhammad Ali Nugroho


Program Studi Magister Pendidikan Islam (M.Pd)
Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Email : sahabatmadrid@gmail.com

A. Pendahuluan
Al-Quran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw. dengan menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah
metode untuk menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam lafaz-lafaz kitab
suci tersebut. Metode itu dikenal dalam tradisi Islam dengan tafsir, sebuah metode
kajian yang bertujuan untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an. Di samping itu, lafazh
al-Qur'an terkadang diungkapkan secara tersirat (implisit) dan tidak tersurat
(eksplisit), atau diisyaratkan terutama dalam ayat-ayat Mutasyabihat, sehingga
maknanya tersembunyi di bawah permukaan lafaz.
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafadz dan ungkapan Qur’an
tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikan gamblang dan ayat-ayatnya pun
sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar di antara mereka ini adalah suatu hal yang
tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-
maknanya yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global. Sedangkan
kalangan cerdik cendekia dan terpelajar akan dapat menyimpulkan pula dari
padanya makna-makna yang menarik. Di antara dua kelompok ini terdapat aneka
ragam dan tingkat pemahaman. Maka tidaklah mengherankan jika Qur’an
mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama
dalam rangka menafsirkan kata-kata gharib (aneh, ganjil) atau menta’wilkan tarkib
(susunan kalimat).1

B. Tafsir
1. Pengertian
Tafsir diambil dari bahasa arab yaitu fassara-yufassiru-tafsiran yang
berarti keterangan atau uraian. Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”,
berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan

1
Manna Khalil al-Qattan, “Mabahits fi Ulum al-Qur’an”, diterjemahkan Mudzakir AS., Studi
Ilmu-ilmu al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 1992), hlm. 450.

1
menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata “al-fasr” berarti
menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti
menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil. Pengertian tafsir dengan
makna di atas, sesuai dengan firman Allah dalam surah Al Furqan :

ِ ‫َوالَ يَأْتُونَكَ ِب َمث َ ٍل ِإالَّ ِجئْنَاكَ ِبا ْل َح‬


َ ‫ق َوأ َ ْح‬
33 : ‫س َن ت َ ْفسِي ًرا ( الفرقان‬
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (sesuatu) yang ganjil
melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya”. (QS. 25 : 33)

Menurut Abu Hayyan, tafsir, secara terminologis merupakan ilmu yang


membahas tentang metode mengucapkan lafazh-lafazh al Qur`an, petunjuk-
petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika
tersusun dari makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun dari
hal-hal yang melengkapinya.2
Kata tafsir dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan dengan “
keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat al-Quran atau kitab suci lain
sehingga lebih jelas maksudnya“.3 Dari titik tolak ini, paling tidak tafsir dapat
dimaknai sebagai usaha keras untuk menjelaskan dan menerangkan atau
menguraikan tentang maksud-maksud Allah yang tertuang dalam al-Quran.

2. Pembagian Tafsir
Hasbi Assidiqiy, membedakan tafsir kedalam 3 macam, yaitu:4
a. Tafsir bi al riwayah atau tafsir bi al ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah penafsirannya terfokus pada riwayat-riwayat yaitu
dengan menggunakan penafsiran al-Quran dengan al-Quran, penafsiran al-
Quran dengan sunnah, penafsiran al-Quran dengan perkataan para sahabat
dan lain sebagainya. Dalam tradisi studi al-Quran klasik, riwayat merupakan
sumber penting di dalam pemahaman teks al-Quran. Sebab Nabi Muhammad
SAW. Adalah sebagai mufassir pertama terhadap al-Quran. Dalam konteks
2
Ibid.
3
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-1, (Jakarta: Balai Pustaka, t.th). Hlm.
822.
M. Hasbi AS Siddiqiey, Ilmu-ILmu Al Qur’an: Media-Media Pokok dalam Menafsirkan Al
4

Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintangm 1972). hlm. 208.

2
ini muncul istilah metode tafsir riwayat. Karena pada masa Rasullulah,
sahabat menerima riwayat-riwayat atau penjelasan Al-Quran dari Nabi
Muhammad SAW. Lalu sahabat tersebut menyampaikan riwayat tersebut
kepada sahabat yang lainnya begitu juga seterusnya.
b. Tafsir bi al dirayah atau tafsir bi al ra’yu
Tafsir bi al-ra'yi adalah jenis metode penafsiran al-Qur'an dimana seorang
mufassir menggunakan akal (rasio) sebagai pendekatan utamanya. Sejalan
dengan definisi diatas, Ash-Shabuni menyatakan bahwa tafsir bi al-ra'yi
adalah tafsir ijtihad yang dibina atas dasar-dasar yang tepat serta dapati
diikuti, bukan atas dasar ra‘yu semata atau atas dorongan hawa nafsu atau
penafsiran pemikiran seseorang dengan sesuka hatinya. Sementara menurut
Manna al-Qattan, tafsir bi al-ra'yi adalah suatu metode tafsir dengan
menjadikan akal dan pemahamannya sendiri sebagai sandaran dalam
menjelaskan sesuatu
c. Tafsir bi al syarah atau tafsir isyra’i
Tafsir al-Isyari adalah suatu tafsir di mana mufassir berpendapat dengan
makna lain tidak sebagai yang tersurat dalam al-Qur`an, tetapi penafsiran
tersebut tidak diketahui oleh setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah
dibukakan dan disinari oleh Allah, yakni orang-orang yang saleh yaitu
mereka yang telah dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah SWT.

Sedangkan bila dilihat dari segi kodifikasinya, tafsir terbagi menjadi 3


periode.5 Periode pertama, yaitu masa Rasul, sahabat dan permulaan masa
tabi’in, di mana tafsir pada masa itu belum tertulis, dan secara umum
periwayatannya pada masa itu tersebar secara lisan.
Periode kedua, bermula pada kodifikasi hadis secara resmi pada masa
pemerintahan Umar Bin Abdul Aziz (99-101 H). Tafsir ketika itu bergabung
dengan penulisan hadis, dan dihimpun dalam bab seperti bab-bab hadis yang
pada umumnya adalah tafsir bi al ma’tsur.

5
M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung, MIzan: 1999). hlm. 73

3
Periode Ketiga dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus
dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al Farra (
w. 207 H ) dengan kitabnya yang berjudul Ma’ani Al Qur’an.

C. Ta’wil
1. Pengertian
Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan bahwa “Allahu
a’lam bi muradihi” (Allah yang mengetahui maksud-Nya). Tetapi, ini tentunya
tidak memuaskan banyak pihak, apalagi dewasa ini. Karena itu, sedikit demi
sedikit sikap seperti itu berubah dan para mufasir akhirnya beralih pandangan
dengan jalan menggunakan ta’wil. Memang, literalisme (penafsiran) seringkali
mempersempit makna, berbeda dengan penta’wilan yang memperluas makna
sekaligus tidak menyimpang darinya. Di sinilah ta’wil dibutuhkan dalam
memahami Al Qur’an.6
Ta’wil sendiri secara bahasa berasal dari kata “al-aul” yang berarti
kembali ke asal. Bila dikatakan: “‫ ”آل إليه أوال ومآال‬artinya: kembali kepadanya.
Dan apabila dikatakan: “‫ ”أول الكالم تأويال‬artinya memikirkan, memperkirakan dan
menafsirkannya.7
Adapun menurut muta’akhkhirun ta’wil diartikan sebagai memalingkan/
mengganti makna lafadz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh)
karena adanya dalil yang menyertainya.8
Namun dari definisi ta’wil di atas bukan berarti dengan serta merta setiap
kita tidak dapat menggunakan ta’wil tanpa didukung oleh syarat-syarat tertentu.
Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi penta’wilan ayat-ayat al-
Quran:
a. Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka
yang memiliki otoritas.
b. Arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab.

6
Ibid., hlm.97
7
Muhammad Husain adz-Dzahabi. At-Tafsir wa al-Mufassirun (Cet. II; Beirut: Darul Fikri,
1976). Hlm.15-16
8
Ibid.,hlm.18

4
Dalam syarat al-Syathibi di atas, terbaca bahwa popularitas arti kosakata
tidak disinggung lagi. Bahkan lebih jauh al-Syathibi menegaskan bahwa kata-
kata yang bersifat ambigus/ musytarak (mempunyai lebih dari satu makna) yang
kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks tersebut selama tidak
bertentangan satu dengan lainnya.
Ta’wil, sebagaimana dikemukakan di atas, akan sangat membantu dalam
memahami dan membumikan al-Quran di tengah kehidupan modern dewasa ini
dan masa-masa yang akan datang. perlu kita garisbawahi bahwa tidaklah tepat
men-ta’wil-kan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan akal dan
mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat, lebih-lebih bila
bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan. Karena, hal ini berarti
mengabaikan ayat itu sendiri.

2. Perbedaan antara Tafsir dan Takwil


Fungsi tafsir dan ta’wil sama-sama menjelaskan makna suatu ayat yang
samar atau menguak kandungan makna teks-teks dalam al-Qur’an, maka ada
kalangan ulama’ yang menyamakan makna tafsir dan ta’wil. Di samping itu
juga, terdapat pula ulama’ yang membedakannya, seperti Al-Maturidy dan Abu
Zayd. Mereka berpendapat bahwa bahwa tafsir lebih umum dibanding ta’wil,
sebab tafsir umumnya berfungsi menerangkan maksud yang terkandung dalam
susunan kalimat. Sedangkan ta’wil digunakan untuk menjelaskan pengertian
kitab-kitab suci, sedangkan tafsir juga menerangkan hal-hal yang lainnya.9
Sebagaimana firman Allah "Dialah yang mengeluarkan yang hidup dari
juga yang mati" (Al-An'am: 95), apabila yang didimaksud pada ayat tersebut
ialah mengeluarkan burung dari dalam telur, maka itulah tafsir. Akan Tetapi
jika yang dimaksud ialah mengeluarkan orang beriman dari orang kafir, atau
orang berilmu dari orang yang tidak berimu, maka itulah yang dimaksud dengan
ta’wil.

No TAFSIR TAKWIL

9
M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras Suryadilaga, 2005),
hlm.29.

5
1. Pemakaiannya banyak dalam lafadh- lafadh Pemakaiannya lebih banyak pada
dan mufrodat makna-makna dan susunan kalimat

2. Jelas diterangkan dalam al-Qur’an dan hadits Kebanyakan diistimbat oleh para
shahih ulama

3. Banyak berhubungan dengan riwayat Banyak berhubungan dengan dirayat

4. Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat Digunakan dalam ayat-ayat


mutasyabihat

5. Bersifat menerangkan petunjuk yang Menerangkan hakikat yang


dikehendaki dikehendaki

D. Tarjamah
1. Pengertian
Terjemah berasal dari bahasa Arab, tarjamah atau turjumah, yang berarti
(a) menyampaikan perkataan kepada orang yang belum mengetahuinya, (b)
menjelaskan perkataan dengan bahasa aslinya, (c) menjelaskan perkataan
dengan bahasa lain, (d) mengalihkan bahasa satu kepada bahasa lain. Tetapi
secara kebiasaan terjemah biasa dipahami dengan makna yang keempat yakni
mengalihkan bahasa satu ke bahasa lain. Dengan demikian, terjemah secara
terminologi dapat didefinisikan dengan, mengungkapkan makna sebuah
perkataan dari bahasa asal ke bahasa lain dengan tetap memerhatikan semua
makna dan maksud yang terkandung dalam bahasa asalnya.10
2. Jenis Tarjamah
a. Tarjamah Harfiyah
Tarjamah Harfiyah adalah memindahkan (suatu isi ungkapan) dari satu
bahasa ke bahasa yang lain, dengan mempertahankan bentuk atau urutan
kata-kata dan susunan kalimat aslinya.
b. Tarjamah tafsiriyah
Tarjamah tafsiriyah adalah menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain,
dengan memahami makna bahasa asal, lalu mengungkapkannya kembali
dalam bahasa terjemahan, sesuai dengan susunan, struktur dan uslub bahasa
yang digunakan untuk menerjemahkan.

10
Anshori, Ulumul Quran Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan (Depok:Rajawali
Pers,2014). hlm.167

6
3. Metode Tarjamah
Penerjemahan dapat dilakukan melalui tiga metode, metode tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut;
a. Penerjemahan tekstual
Adalah menerjemahkan setiap kata dari bahasa aslinya ke dalam kata dari
bahasa penerjemah. Susunan-susunan kalimat, satu demi satu, kata demi kata
diubah hingga akhir.
Terjemahan seperti ini sangat sulit sekali, karena menemukan kata-kata yang
sama, dengan kriteria-kriteria yang sama dalam dua bahasa asli adalah
pekerjaan yang tidak mudah. Kebanyakan penerjemah, karena alasan ini,
mengalami banyak kesulitan. Selain itu, dalam banyak kasus, terjemahan-
terjemahan seperti ini tidak bisa menjelaskan makna dengan sempurna. Hal
ini disebabkan oleh ketidaksepadanan makna kata dalam bahasa asli dengan
makna kata bahasa penerjemah.
b. Penerjemahan bebas
Dalam metode ini, penerjemah berusaha memindahkan suatu makna dari
suatu wadah ke wadah yang lain. Tujuannya adalah mencerminkan makna
awal dengan sempurna. Maksud dari kalimat awal bisa diartikan tanpa harus
mengurangi makna dengan sedapat mungkin menyesuaikan dengan makna
dalam bahasa terjemah. Terjemahan ini disebut dengan terjemahan maknawi
karena usahanya tercurah untuk mengalihbahasakan pengertian-
pengertiannya secara sempurna bukan pada teksnya. Terjemahan seperti ini,
selama tidak merusak makna tidak harus mengikuti susunan kata dalam teks
aslinya.
c. Penerjemahan dengan metode penafsiran
Penerjemahan dengan metode tekstual sama sekali tidak bagus karena tidak
mungkin digunakan dalam pembahasan panjang dan buku-buku ilmiah.
Demikian juga dengan penerjemahan dengan metode penafsiran yang keluar
dari batas, juga tidak dianggap sebagai terjemahan yang baik. Penerjemahan
yang bagus adalah penerjemahan bebas. Sejak dahulu hingga kini

7
terjemahan-terjemahan Al-Qur’an, jika tidak diterjemahkan secara tekstual,
maka diterjemahkan dengan metode penafsiran.11
4. Pentingnya Terjemahan Al-Qur’an
Penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa lain dengan tujuan
mengenalkan bahasa Arab dan hakikat pengetahuan Qurani kepada bangsa-
bangsa asing harus menjadi salah satu alasan keharusan berdakwah. Hingga saat
ini tak ada satupun ulama yang melarang penerjemahan Al-Qur’an ke dalam
bahasa-bahasa lain. Tujuannya adalah berdakwah tentang agama Islam dan
memperkenalkan syari’at dan hakikat Al-Qur’an pada semua orang.
Penerjemahan Al-Qur’an sejak dulu hingga sekarang sudah menjadi
bagian sejarah yang digeluti para ilmuwan muslim bahkan non muslim.
Meskipun Al-Qur’an bukan untuk bangsa Arab saja, tidak ada paksaan bagi
bangsa-bangsa lain selain Arab untuk belajar bahasa Arab. Meskipun mereka
mau belajar hal itu adalah suatu keutamaan.
Oleh karena itu Al-Qur’an sangat perlu diterjemahkan ke semua bahasa-
bahasa dunia untuk bisa mereka miliki agar mengambil manfaat dari Al-Qur’an
secara langsung. Tentunya pekerjaan ini harus mendapat bimbingan orang-orang
ahli dan sholeh.12
5. Perbedaan Tafsir dengan Terjemah
Perbedaan tafsir dengan terjemah, baik terjemah harfiyah maupun tafsiriyah
antara lain:
a. Pada terjemah terjadi perpindahan bahasa dengan kata tidak ada lagi bahasa
pertama yang melekat pada bahasa terjemah, tidak demikian halnya dengan
tafsir. Tafsir selalu ada keterkaitan pada bahasa asalnya
b. pada terjemah tidak boleh melakukan istidhrad yaitu penguraian yang
meluas yang melebihi dari sekedar pemindahan bahasa, sedangkan tafsir
boleh.
c. pada terjemah dituntut terpenuhinya semua makna dan maksud yang ada
pada bahasa yang diterjemahkan, tidak halnya demikian dengan tafsir.

11
M.Hadi Ma'rifat, Sejarah lengkap Al-Quran (Al Huda ,2010).hlm.269-272
12
Ibid., hlm. 275

8
E. Hermeneutik
1. Pengertian
Hermeneutik berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang bermakna
mengartikan, menafsirkan, menerjemahkan, dan bertindak sebagai penafsir
dalam rangka membedakan hermeneutik dengan hermetik. Sedangkan hermetik
merupakan pandangan filsafat yang diasosiasikan pada tulisan-tulisan hermetik;
suatu literatur ilmiah di Yunani yang berkembang pada awal-awal abad setelah
kristus. Tulisan ini disandarkan pada Hermes Trismegistus.13
Kehadiran hermeneutik tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan
pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya. Pada
awalnya, hermeneutik banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat
dengan kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia.
Model ini dikenal dengan ilmu tafsir Kitab Suci. Namun, hermeneutik tidak
hanya mutlak milik kaum penafsir Kitab Suci, ia berkembang pesat dalam
pelbagai disiplin keilmuan yang luas. Kajian yang sama juga dilakukan pada
teks-teks klasik Yunani dan Romawi. Bentuk hermeneutik pada kajian di atas
mulai berkembang pada abad 17 dan 18.14 Hermeneutik secara luas dikenal
sebagai ilmu penafsiran/ interpretasi terhadap teks pada khususnya dan
penafsiran bahasa pada umumnya. Istilah yang bermula dari bahasa Yunani
kuno (hermeneuenin) ini pada zaman sekarang sangat akrab digauli para
intelektual. Salah satu alasan penting menerapkan metode hermeneutik ini
adalah objek (baca teks/bahasa) tidak memungkinkan diartikan tanpa melalui
metode penafsiran. Ketidakmungkinan tersebut selain disebabkan karena situasi
bahasa yang berbeda dan terus berubah, juga disebabkan alasan kesulitan para
pembaca dalam memahami subtansi makna yang terkandung dalam teks-teks
dan bahasa yang dipelajari.
2. Cara Kerja Hermeneutik Sebagai Metode Penafsiran
Kalangan ilmuan klasik dan modern telah sepakat tentang pengertian
hermeneutik, yang diartikan sebagai proses mengubah sesuatu dari situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti. Pengertian tersebut merupakan peralihan antara

13
Muzairi, Hermeneutik Dalam Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003),
hlm.53.
14
Ibid.,

9
sesuatu yang abstrak dan gelap kepada ungkapan yang jelas dalam bentuk
bahasa yang dipahami manusia. Hermeneutik juga diartikan dengan
menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir.15
Dari perkembangan pengertian tentang hermeneutik di setiap kurun yang
berbeda, diskursus hermeneutik tidak lepas dari perbincangan inti hermeneutik
sendiri. Dalam definisi- definisi hermeneutik hampir semuanya
mempermasalahkan dan mengkaji ulang prinsip hermeneutik, yaitu masalah
penafsiran di mana seorang penafsir mendekati subyek. Bila terdapat berbagai
macam rumusan pengertian mengenainya, maka hal itu lebih merupakan sebuah
proses penyusunan suatu tatanan dalam merespon problem penafsiran yang
dimunculkan oleh para penafsir. Jelasnya penafsiran merupakan problem
hermeneutik karena tindakan penafsiran terhadap fenomena dan gejala alam atau
terhadap segala ekspresi kehidupan manusia, berusaha mengungkap arti di balik
gejala alam atau makna di belakang ungkapan komunikasi antar manusia yang
tadinya tidak diketahui menjadi diketahui dan dimengerti adalah batasan umum
yang dianggap benar, baik oleh hermeneutik klasik maupun modern.16
Mudjia Rahardjo dalam tulisannya menerangkan bahwa mempelajari
herneneutik dan menggali makna yang terkandung dalam Al Qur’an, perlu
mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, yaitu teks,
pengarang (pembawa teks) dan pembaca teks. Dengan kata lain, sebagai sebuah
metode penafsiran, hermeneutika sangat memperhatikan 3 hal sebagai
komponen pokok dalam upaya penafsiran, yakni teks, konteks kemudian
melakukan kontektualisasi.17
Dengan demikian, untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap
suatu teks, keberadaan konteks diseputar teks tersebut tidak bisa dinafikan.
Sebab, kontekslah yang menentukan makna teks, bagaimana teks tersebut harus
di baca dan seberapa jauh teks tersebut harus dipahami. Teks yang sama dalam
waktu yang sama dapat memiliki makna yang berbeda di mata “penafsir” yang
berbeda. Bahkan seprang penafsir yang sama sekalipun dapat memberikan

15
Ibid., hlm.54
16
Ibid., hlm.58
17
Mudjia Rahardjo, Mengenal (kembali) Hermeneutika: Sebuah Metode Memahami Teks dalam
El Jadid: Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam Program Pascasarjana UIIS Malang , Vol. 1 No.01 Mei-Oktober
2003. hlm. 19

10
pemaknaan teks yang berbeda ketika ia berada dalam ruang waktu yang berbeda.
Dan disinilah fokus hermeneutika sebagai metode penafsiran.
Dalam usaha menangkap dan mendapatkan pesan dari teks Allah
berwujud dalam Al-Qur’an tentu saja mengandung problem karena keterbatasan
bahasa, disamping karena jarak ang membentang antara pemilik teks dan zaman
sekarang. Karena, setiap usaha menerjemahkan, menafsirkan, atau mencari
pemahaman terhadap teks klasik yang berjarak waktu, budaya, tempat sangat
jauh dengan pembacanya, selalu digelayuti problem hermeneutika (penafsiran).
Dengan adanya problem penafsiran teks tersebut, maka ada sebuah teori filsafat
yang digunakan menganalisis problem penafsiran, sehingga teks bisa dipahami
secara benar dan komprehensif.
Ricouer sebagaimana disitir oleh Mudjia Rahardjo mengemukakan
dengan panjang lebar tentang proses otonomi teks dengan beberapa sudut
pandang tentang penafsir melalui 3 tahapan, yaitu:
Tahap pertama. Pre-undestanding, yiatu penafsir menghadapi teks dengan
hipotesis tertentu, sebab menurut hermeunt tidak mungkin pembaca melakukan
pembacaan yang sungguh murni, obyektif dan netral
Tahap kedua. Eksplanation, yaitu pengaitan-pengaitan secara vertikal antara teks
dengan latar belakangnya juga secara horizontal antar teks dengan teks itu
sendiri. Disinilah terjadi kontekstualisasi.
Tahap ketiga. Understanding, yaitu mengaitkan semua ini dengan konteks baru
pembaca sendiri, dengan wawasan pribadinya.18
Kedati Ricoeur telah menawarkan gerak operasional langkah memahami
teks lewat lingkaran hermeunetiknya sebagaimana tahapan di atas, hasil ahir dari
penafsiran dipengaruhi oleh variabel berikut:
a. Corak literatur yang dibaca dan konteks sosialnya;
b. setting sosial dal peranan sosial terutana tentang agenda dan fokus masalah;
c. latar elakang pendidikan dan disiplin ilmu yang dikuasai terutana saat
melakukan proses interpretasi;
d. pengalaman dan karakteristik personal, dan
e. perubahan kondisi- kondisi politik, ekonomi, sosio kultural.19

18
Ibid., hlm.23

11
3. Perbedaan Ta’wil dengan Hermeneutik
Ta'wil berbeda dengan hermeneutika, karena ta'wil mesti berlandaskan
dengan tafsir, dan tafsir itu sendiri berdiri di atas lafazh harfiah al-Quran.
Perbedaan yang lain, orientasi ta'wil itu adalah menetapkan makna, sedangkan
orientasi hermeneutika ialah pemahaman yang berubah-ubah serta nisbi
menuruti pergerakan manusianya. Disamping itu, dari latar belakang sejarahnya,
metode hermeneutika timbul dari rahim tradisi barat yang mempunyai sejumlah
masalah berkaitan dengan teks-teks kitab suci mereka

Kehadiran hermeneutika dalam kejian tafsir al-Qur’an pada hakikatnya adalah


sebuah tawaran baru yang berasal dari para ilmuan metodologi kontemporer dari
berbagai displin ilmiah. Sebagai sebuah tawaran baru, tidak serta merta hermeneutika
ini harus diadopsi atau ditolak mentah-mentah. Pemahaman yang serius, upaya trial and
error, dan evaluasi yang berkesinambungan kiranya perlu dilakukan sebelum kemudian
diputuskan apakah hermeneutika akan menggantikan Ulumul Qur’an ataukah ditolak
seratus persen, atau sekedar menambah variable metodologi dalam Ulumul Qur’an yang
selama ini telah established.
Para pemerhati baik para ahli yang pro-hermeneutika maupun yang anti-
hermeneutika memiliki hak untuk memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini,
meskipun tentunya ketika perjuangan tersebut memasuki ruang publik, ada aturan-
aturan tertentu yang harus dipatuhi, agar tidak terjadi hegemoni, diskriminasi maupun
prilaku-prilaku tidak adil lainnya yang dilakukan oleh salah satu pihak. Karena diskusi
hermeneutika pada hakikatnya merupakan wacana ilmiah-filosofis, penerimaan dan
penolakan terhadap hermeneutika seharusnya didasarkan kepada argumen-argumen
yang ilmiah dan bukannya kepada apologi-apologi serta asumsi-asumsi yang tidak
perlu, seperti kecurigaan dan ketakukan tanpa dasar terhadap yang lain, maupun
sentimentalisme emosional untuk memihak atau menjatuhkan pandangan tertentu.
Semestinya, umat Islam tidak menunjukkan sikap ekstrim dalam menyikapi
setiap gagasan baru, baik bersikap latah untuk menerima atau menolaknya. Yang
diperlukan adalah sikap kritis. Sikap inilah yang telah ditunjukkan oleh para ulama

19
Ibid.,

12
Islam terdahulu, sehingga mereka mampu menjawab setiap tantangan zaman, tanpa
kehilangan jatidiri pemikiran Islam itu sendiri.

F. Kesimpulan
Tafsir, ta’wil, tarjamah maupun hermeneutika berupaya untuk memahami teks
al- Qur’an yang sampai saat ini dan seterusnya masih di anggap skaral dan
otentitasnya masih belum ada yan mampu menggoyahkan. Yang menjadi
kecurigaan, keraguan bahkan ketakutan, adalah dengan munculnya suatu metode
baru yang mencoba ditawarkan oleh beberapa ilmuwan Islam sendiri dengan
berbagai variannya diantaranya metode hermeneutik sebagai salah satu cara untuk
memahami teks al- Qur’an. Yang menjadi masalahnya adalah penerapan
hermeneutika terhadap teks al- Qur’an dipahami akan menngganti bangunan
penafsiran yang selama ini mapan, yakni tafsir, ta’wil dan tarjamah. Pada tahap
berikutnya timbul kebingungan antara menerima dan menolah metode baru itu.
Jika hermeneutik dipresepsi akan memperkokoh konstruk pemikiran tentang metode
penafsiran selama ini, maka ia adalah anugerah dan pintu untuknya sangat terbuka.
Namun jika tidak, maka malapetaka yang akan didapat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al Qathan, Manna’ Khalil. 2001. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an diterjemahkan Mudzakir


AS., Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa. Cet. Ke-6.

Al Siddiqiey, M. Hasbi. 1972. Ilmu-ILmu Al Qur’an: Media-Media Pokok dalam


Menafsirkan Al Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang.

Anshori. 2014. Ulumul Quran Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan . Depok:


Rajawali Pers.

Ma'rifat, Hadi. 2010. Sejarah lengkap Al-Quran. Al Huda [t.k]

Muhammad Husain adz-Dzahabi. 1976. At-Tafsir wa al-Mufassirun Cet. II. Beirut:


Darul Fikri,

Muzairi. 2003. Hermeneutik Dalam Pemikiran Islam. Yogyakarta: Penerbit Islamika

Rahardjo, Mudjia. Mengenal (kembali) Hermeneutika: Sebuah Metode Memahami Teks


dalam El Jadid: Jurnal Ilmu Pengetahuan Islam Program Pascasarjana UIIS
Malang , Vol. 1 No.01 Mei-Oktober 2003

Shihab, M. Quraish . 1999. Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung, Mizan. Cet. XX

Suryadilaga, M. Alfatih . 2005. Metodologi Ilmu Tafsir . Yogyakarta: Teras Suryadilaga

Tim Penyusun,[t.t]. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-1. Jakarta: Balai Pustaka

Zayd, Nasr Hamid Abu. 1994. Mafhum al-Nash, Dirasah fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Al-
Markaz al-Saqafi al-‘Araby.

14

Anda mungkin juga menyukai