Anda di halaman 1dari 19

‘(Anamnesis Sistem Muskuluskeletal,Persarafan Dan Idera)’

Dosen Mk: Ns. U.B. Ohorella, M. Kep.,Sp.Kep. MB

Disusun Oleh
Nama : Rakima mau
Tingkat : 2B
Semester : IV ( Empat)

KEMENTRIAN KESEHATAN RI
POLTEKKES KESEHATAN KEMENKES MALUKU
PRODI KEPERAWATAN MASOHI
T.A 20217/2018
Pengkajian Umum Sistem Muskuloskeletal

Cara melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan diagnostik.


Keluhan Utama (PQRST)
1. Nyeri
Nyeri merupakan gejala yang tersering ditemukan pada masalah
sistem muskuloskeletal yang perlu diketahui secara lengkap tentang sifa-sifat
nyeri. Kebanyakan klien dengan penyakit atau kondisi traumatik, baik yang
terjadi pada otot, tulang, dan sendi biasanya mengalami nyeri. Nyeri tulang
biasanya di gambarkan sebagai nyeri dalam tumpul yang bersifat menusuk
sedangkan nyeri otot di gambarkan sebagai adanya rasa pegal. Nyeri fraktur
bersifat tajam dan menusuk dan dapat di hilangkan dengan imobilisasi. Nyeri
tajam juga di timbulkan oleh infeksi nyeri tulang akibat spasme otot atau
penekanan pada syaraf sensoris.
Kebanyakan nyeri muskuloskeletal dapat dikurangi dengan istirahat.
Memar sendi atau otot menimbulkan nyeri akan bertambah karena aktivitas.
Nyeri pada satu titik yang terus bertambah menunjukan proses infeksi
osteomielitis tumor ganas, atau komplikasi faskula nyeri menyebar terdapat
pada keadaan yang menimbulkan tekanan pada serabut syaraf nyeri bisa
berbeda-beda dan pengkajian maupun penanganan keperawatannya harus di
bedakan pula untuk masing-masing klien.
Rasa nyeri berbeda antara satu individu dengan individu yang lain
berdasarkan ambang nyeri dan toleransi nyeri masing-masing klien sifat-sifat
nyeri perlu diketahui dapat dikaji menggunakan PQRST.
2. Deformitas
Deformitas atau kelainan bentuk menimbulkan suatu keluhan yang
menyebabkan klien meminta pertolongan layanan kesehatan. Perawat perlu
menanyakan berapa lama keluhan di rasakan kemana klien pernah meminta
pertolongan sebelum ke rumah sakit apakah pernah ke dukun urut atau patah
tulang pada beberapa kasus iyang menyebabkan deformitas setelah terjadi
trauma atau patah tulang adalah karena intervensi dukun patah, atau apakah
tidak ada tindakan setelah mengalami trauma pengkajian juga untuk
mengetahui apakah keadaan atau masalah kelainan bentuk pada dirinya
menyebabkan perubahan citra diri klien.
Provoking incident : apakah ada peristiwa yang menjadi fartor
penyebab nyeri, apakah nyeri berkurang apadila beristirahat,
apakah nyeri bertambah berat bila beraktifitas (aggravation) ,pada
aktivitas mana nyeri bertambah (apakah pada saat batuk, bersin,
berdiri, dan berjalan). Pada umumnya nyeri akan bertambah berat
apabila ada gerakan setempat dan berkurang apabila beristirahat.
Pada kondisi nyeri otot, tulang dan sendi biasanya disebabkan oleh
adanya kerusakan jaringan saraf akibat suatu trauma atau merupakan respon
dari peradangan local.
Quality off paint : seperti apa rasa nyeri dirasakan / digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, tajam, / menusuk
Dalam hal ini perlu ditanyakan kepada pasien apa maksud dari keluhankeluhannya.
Apakah keluhan nyeri bersifat menusuk, tajam, atau tumpul
menusuk.
Ingat : Bahwa kebanyakan deskripsi sifat dari nyeri sulit ditafsirkan oleh
karena itu pengkaji harus bisa menerangkan dalam bahasa yang lebih mudah
dimengerti oleh pasien sehingga pasien akan lebih mudah mendeskripsikan ras
nyeri tersebut.
Region, radiation, relief : dimana lokasi nyeri harus ditunjukan dengan tepat oleh
klien, apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar / menyebar, dan
dimana rasa sakit terjadi tekanan pada saraf / radiks saraf akan memberi gejala
nyeri yang disebut radiating paint, misalnya pada skiatika yang nyerinya menjalar
mulai dari bokong sampai anggota gerak bawah sesuai dengan distribusi saraf.
Nyeri lain yang disebut nyeri kiriman / referred paint adalah nyeri pada suatu
tempat yang sebenarnya akibat kelainan dari tempat lain, misalnya nyeri lutut
akibat kelainan pada sendi panggul.
Severity (scale) off pain :seberapa hebat rasa nyeri yang dirasakan klien, dapat
berdasarkan scala nyeri / gradasi dan klien menerangkan seberapa hebat rasa sakit
mempengaruhi fungsinya.
Pengkajian ini juga menjadi parameter penting dalam menentukan
keberhasilan suatu intervensi.
Sebagia contoh : pasien yang mengalami fraktur sebelum dilakukan intervensu
imobilisasi mempunyai derajat skala nyeri 3 (0-4) atau nyeri berat, maka setelah
mendapat intervensi apakah skala mengalami penurunan, misalnya 1(0-4)
atau nyeri ringan.
Berat ringannya suatu keluhan nyeri bersifat subjektif oleh karena itu pada
pengkajian tersebut estimasi harus ditentukan oleh pasien sendiri. Teknik
pengkajian dilakukan dengan cara; Pasien bisa ditanya dengan menggunakan
rentang 0-4 dan pasien akan menilai seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan.
0 = tidak nyeri
1 = nyeri ringan
2 = nyeri sedang
3 = nyeri berat
4 = nyeri berat sekali
Time : beberapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari / siang hari.
Sifat mula timbulnya (onset), tentukan apakah gejala timbul mendadak,
perlahan-lahan, atau seketika itu juga. Tanyakan apakah gejala-gejala timbul
secara terus menerus atau hilang timbul (Intermiten). Tanyakan apa yang sedang
dilakukan pasien saat gejala timbul.
Lama timbulnya (durasi). Tanyakan kapan gejala tersebut pertama kali timbul dan
usahakan menghitung tanggalnya seteliti mungkin.
1. Kekakuan/ ketidakstabilan sendi
Kekakuan atau ketidakstabilan sendi adalah suatu keluhan yang
dirasakan klien menggunakan aktivitasnya sehari-hari dan menyebabkan
klien meminta pertolongan kesehatan. Perawat perlu menanyakan berapa
lama keluhan dirasakan serta sejauh mana keluhan menyebabkan gangguan
pada aktivitas klien.
Kelainan ini bisa bersifat umum (misalnya pada artritis reumatoid,
spondilitis ankilosan) atau bersifat lokal pada sendi-sendi tertentu locking
merupakan suatu kekauan sendi yang terjadi secara tiba-tiba akibat block
mekanis pada sendi oleh tulangj rawan atau meniskus. Perlu diketahui apakah
kelainan pada menyebabkan ketidakstabilan sendi dan diteluri pula
penyebabnya apakah karean kelemahan otot atau kelemahan atau robekan
pada ligamen dan selaput sendi.
2. Pembekakaan atau benjolan
Keluhan adanya pembengkakaan ekstrmitas merupakan suatu tanda
adanya bekas trauma yang terjadi pada klien. Pembekaan dapat terjadi pada
jaringan lunak sendi atau tulang hal yang perlu ditanyakan adalah lokasi
spesifik pembekaan sudah berapa lama proses terjadinya trauma sudah
meminta pertolongan kepada siapa saj untuk mengatasi keluhan, dan apakah
terjadi secara perlahan misalnya pada hematoma progresif pembekakaan juga
dapat disebabkan oleh infeksi tumor jinak atau ganas.
3. Kelemahan otot
Keluhan adanya kelemahan otot biasanya dapat bersifat umum
(misalnya pada peyakit distrofi muskular) atau bersifat lokal karena gangguan
neurologis gangguan otot (misalnya pada morbushansen, peroneaparalisis,
atau pada penyakit poliomielitis).
4. Gangguan sensinilitas
Keluhan adanya gangguan sensibilitas muncul apabila terjadi
kerusakan saraf pada upper/lower motor neuron, baik bersifat total maupun
menyeluruh. Gangguan sensibilitas dapat pula terjadi bila ada trauma atau
penekanan pada syaraf. Gangguan sensorik sering berhubungan dengan
masalah muskuluskeletal. Klien mungkin menyatakan mengalami parestesia
1. Waktu dan sifat kemampuan otot, apakah keluhan terjadi secara
bertahap atau tiba-tiba tanpa adanya sebab.
2. Lokasi bagian tubuh yang mengalami kelemahan otot, apakah
keluhan kelemahan otot mengenal seluruh badan atau hanya
ekstremitas bawah, apakah keluhan dirasakan sebagian atau
bilateral.
3. Apakah disertai dengan kelainan sensorik, misalnya parastesia,
hipoestesia, atau hipersetesia.
4. Adanya riwayat kelemahan otot akibat pengobatan sebelumnya.
(perasaan terbakar atau kesemutan) dan kebas. Perasaan tersebut mungkin
akibat penekanan pada serabut saraf ataupun gangguan peredaraan darah.
Pembengkakan jaringan lunak atau trauma langsung terhadap struktur
tersebut dapat menganggu fungsinya. Kehilangan fungsi dapat terjadi akibat
gangguan struktur saraf dan peredaraan darah yang terletak sepanjang sistem
muskuluskeletal. Status neurofaskular di daerah muskuluskeletal yang
terkena harus dikaji guna memperoleh informasi untuk perencanaan
intervensi. Hal ini yang perlu ditanyakan adalah apakah klien mengalami
perasaan yang tidak normal atau kebas; apakah gangguan ini bertambah berat
atau malah makin berkurang dari permulaan keluhan muncul sampai pada
saat wawancara,apakah keluhan lain yang dirasakan seperti nyeri atau edema;
apakah ada perubahan warna kulit bagian distal dari daerah yang terkena
seperti pucat atau sianotik.
5. Gangguan atau kehilangan fungsi
Keluhan gangguan dan hilangnya fungsi organ muskulskeletal
merupakan gejala yang sering menjadi keluhan utama. Gangguan atau
hilangnya fungsi baik pada sendi maupun anggota gerak mungkin disebabkan
oleh nyeri, kekakuan sendi, atau kelemahan otot. Anamnesis yang dilakukan
perawat untuk menggali keluhan utama klien adalah berapa lama keluhan
muncul, lokasi atau organ yang mengalami gangguan atau kehilangan fungsi,
dan apakah ada keluhan lain yang menyertai.
Riwayat Kesehatan
Pengajian selanjutnya adalah mengenai riwayat kesehatan klien. Dalam
wawancara awal, perawat berusaha memperoleh gambaran umum status
kesehatan klien. Perawat memperoleh data subjektif dari klien mengenai awitan
masalahnya dan ada penanganan yang sudah dilakukan. Persepsi dan harapan
klien sehubungan dengan masalah kesehatan dapat mempengaruhi perbaikan
kesehatan.
1. Identitas klien
Meliputi nama, usia (pengkajian usia klien) gangguan muskulusekeletal
penting karena berhubungan dengan status anastesi dan pemeriksaan
diagnostik tambahan, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan ,
asuransi kesehatan, agama,bahasa yang dipakai, status perkawinan,suku
bangasa,tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), nomor
register,diagnosis medis, dan golongan darah.
2. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang mencakup masalh klien mulai awitan keluhan
utama sampai pengkajian. Keluhan utama nyeri dapat dikaji dengan
menggunakan metode PQRST. Pada klien yang dirawat di rumah sakit,
penting untuk ditanyakan apakh keluhan utama masih sama seperti pada
saat masuk rumah sakit, kemudian tindakan yang sudah dilakukan
terhadapnya. Perawat mengetahui apakh klien pernah mengalami trauma
yang menimbulkan gangguan muskuluskeletal, baik berupa kelainan
maupun komplikasi yang dialami saat ini. Pengkajian lainnya yang juga
penting adalah pengkajian status kesehatan secara umum saat ini.
3. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan penyakit-penyakit yang dialami sebelumnya kemungkinan
mempunyai hubungan dengan masalah klien sekarang, seperti apakah klien
pernah mengalami fraktur atau trauma, apakah klien pernah mengalami
peningkatan kadar gula darah, apkah klien pernah mempunyai tekanan
darah tinggi.
Riwayat opreasi klien perlu ditanyakan karena kemungkinan mempunyai
hubungan dengan keluhan sekarang seperti opresi kasdinoma prostat,
karsinoma mamae yang dapat bermetastasis ketulang dengan segala
komplikasinya.
Hal yang lain perlu ditanyakan adalah pengunaan obat-obatan sebelumnya
oleh klien karena dalam menimbulkan komplikasi, misalnya pemakaian
kortisem dapat menimbulkan negrosis avaskular pada panggul. Selain itu
ditanyakan pula pada klien tentang adanya riwayat alergi terhadap obatobatan.
4. Riwayat penyakit keluarga
Penulusuran riwayat keluarga sangat penting karena beberapa penyakit
muskuluskeletal berkaitan dengan kelainan genetik dan dapat diturunkan.
Perlu ditanyakan apakah pada generasi terdahulu ada yang mengalami
keluhan sama dengan keluhan klien saat ini.
5. Pengkajian psikosial spiritual
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan
perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi,
kognitif, dan perilaku klien. Perawat melakukan pemeruiksaan klien tentang
kapasitas fisik dan intelektual saat ini, yang menentukan tingkat perlunya
pengkajian psikososial spiritual yang seksama. Suatu pemeriksaan mental
meliputi penampilan, perilaku, afek, suasana hati, lafal, isi dan kecepatan
berfikir, persepsi, dan kognitif. Pengkajian status emosi dan mental yang
terkait dengan fisik termasuk pengkajian fungsi serebral (tingkat kesadaran
klien, perilaku dan penampilan, bahasa, fungsi intelektual, termasuk
ingatan, pengetahuan, kemampuan berfikir abstrak, asosiasi, dan penilaian)
sebagian besar pengkajian ini dapat dilakukan ketika interaksi dengan klien
dalam pengkajian lain.
6. Kemampuan koping
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga peting di nilai
untuk mengetahui respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan perubahan peran klien, serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari. Apakah muncul dampak seperti takut cacat, cemas,
ketidak mampuan melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan citra
tubuh. Pengkajian mengenai mekanisme koping yang biasa digunakan klien
semala stress meliputi :
a. Kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini.
Apakah klien mengalami situasi krisis atau kehilangan?
Adakah penerimaan atau penolakan terhadap hal tersebut?
Apakah klien bertanya atau meminta informasi mengenai
masalah?
Apakah klien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan
masalah?
b. Perubahan perilaku akibat stress
Apakah efek atau mood klien menujukkan kecemasan (gelisa,
insomnia, kontak mata kurang, gemetar, wajah tegang) atau
depresi (afektumpul, tidak berdaya, rasa bersalah,
ketidakmampuan berbicara, apatis, kemampuan harga diri)?
Apakah telah ada perubahan dalam kebisaan makan, tidur, dan
beraktivitas?
Apakah klien mengalami kesulitan berkosentrasi terhadap tugas,
tetap produktif, atau menyelesaikan hal-hal kecil?
Apakah klien mempunyai kecenderungan menunjukkan ledakan
emosi tanpa alasan?
c. Sumber koping
Apakah klien mampu meminta pertolongan?
Pada siapa klien bergantung selama krisis? Adakah orang tersebut
?
Metode kopping apakah yang terbaik bagi klien selama stress ?
Berapa lama klien secara normal mengatasi suatu krisis?
7. Pengkajian sosioekonomispiritual
Bila klien dirawat inap, apakah keadaan ini memberi dampak pada status
ekonomi klien karena perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang
tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian fungsi neurologis
dengan dampak neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.
Perspektif perawatan dalam mengkaji terdiri atas dua aspek keterbatasan
yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya dengan peran
sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi terhadap
gangguan neurologis dalam sistem pendukung individu.
Pertanyaan-petanyaan berikut dapat membantu perawat mengkaji lebih
lanjut :
a. Kesehatan spiritul meliputi konsep klien mengenai Yang Mahakuasa.
Apakah klien mempunyai sumber pengharapan, kenyamanan,
kekuatan?
Ibadah spiritual apa yang penting menurut klien?
Apakah klien melihat hubungan antara kepercayaan spiritualnya
denga kesehatan atau situasi hidup saat ini?
Apakah klien membicarakan pentingnya hadir ketempat ibadah
atau melaksaan acara ritual lain?
Apakah klien mempunyai kitab suci atau benda relijius dalam
ruanganya?
b. Identivikasi ras, budaya, dan suku bangsa
Apakah latar belakang budaya klien?
Apakah klien mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia
(nasional) atau perlu penerjemah?
Apa nilai kebudayaan klien yang berhubungan dengan pelayanan
kesehatan?
Adakah tabu budaya atau acara tabu yang klien ikuti?
Aps sistem sehat-sakit (dokter, ahli neuralogi, kebatinan, dukun)
atau kepercayaan rakyat yang klien gunakan?
Sampai tingkat mana penyakit dan perawatan dirumah sakit
mempengaruhi kemampuan klien untuk mengikuti norma
budaya?
c. Pekerjaan
Apakah pekerjaan klien?
Adakah asuransi kesehatan untuk keluarganya?
Sampai tingkat mana klien senang terhadap pekerjaannya?
Apakah penyakit atau perawatan dirumah sakit mengancam
pekerjaan klien?
Seberapa berat stres yang dialami klien ditempat kerja?
d. Hubungan keluarga
Siapa saja yang klien anggap sebagai anggota keluarga?
Bagaimana hubungan klien dengan pasangan, orang tua, saudara,
dan teman?
Bagaimana pembagian tugas dalam keluarga?
Bagaimana status pernikahan klien?
Adakah anggota keluarga dekat yang baru meninggal?
Bagaimana keluarga secara normal mengatasi stres saat ini?
Apakah anggota keluarga menghormati pandangan setiap anggota
lainnya?
8. Pengertian klien tentang masalah kesehatan
Hal ini memperlihatkan tingkat penerimaan tingkat intelektual dan
kemampuan untuk melakukan perewatan mandiri klien.
a. Persepi klien tentang masalah kesehatan
Apakah klien mempunyai pengertian yang akurat mengenai
masalah kesehatan?
Apakah klien memahami beratnya masalah?
Bagaimana pemahaman klien tentang perawatan sekarang dan yang
akan dilakukan?
b. Perilaku terhadap tim perawatan kesehatan
Siapakah pemberi perawatan kesehatan utama klien?
Bagaimana penilaian dan perilaku klien terhadap pembeli
perawatan kesehatan?
Apakah klien melakukan pencegahan?
Seberapa sering klien melakukan pemeriksaan kesehatan?
c. Kepatuhan terhadap terapi
Apakah terapi untuk masalah kesehatan klien saat ini? Apakah
klien mengikuti rangkaian terapi?
Apakah klien mampu membayar terapi?
Apakah ada alat transportasi ke tempat terapi tersebut?
Apakah klien menderita gangguan kognitif atau fisik yang
menghalangi pemenuhan terapi?
d. Pertimbangan pediatik. Perawat harus melakukan pertimbangan
pediatik yang mencakup :
Dampak hospitalisasi pada anak
Pengkajian psikososial yang terbaik dilaksanakan saat
mengobservasi anak-anak bermain atau selama berinteraksi dengan
orang tua
Orang tua biasanya merupakan sumber terbaik untuk
menggambarkan perubahan perilaku
Anak-anak sering kali tidak mampu mengekspresikan perasaan
mereka dan cenderung memperlihatkan masalah mereka melalui
tingkah laku
Anak-anak yang mengalami peristiwa traumatik (kehilangan orang
tua, binatang peliharan, sahabat dekat) dapat mengalami masa
depresi akut
Anak-anak yang mengalami masalah pikososial mungkin
mengalami kesulitan di sekolahnya
e. Pertimbangan gerontologik. Perawat harus melakukan pertimbangan
gerontik yang mencakup :
Pengkajian psikososial pada lansia meliputi pembedaan antara
karakteristik normal yang menyimpang dari proses penuaan dan
kondisi patologis
Pertimbangan bidang kepuasan sehari-hari klien
Siapakah sumber pendukung utuma klien?
Pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi persepsi klien
mengenai peristiwa saat ini
Tanyakan harapan atau aspirasi klien yang tidak terpenuhi
Kumpulkan data pengkajian melalui pertemuan yang singkat dan
terus-menerus
Pusatkan wawancara pada kekuatan dan keterampilan klien, bukan
kekurangan klien.
Prosedur Pemeriksaan Fisik Persyarafan
Atur posisi klien, mintalah klien untuk duduk disisi tempat tidur. Amati cara berpakaian klien,
postur tubuh klien, ekspresi wajah dan kemampuan bicara, intonasi, keras lembut,
pemilihan kata dan kemudahan berespon terhadap pertanyaan. Nilai kesadara dengan
menggunakan patokan Glasgow Coma Scale (GCS). Tanyakan waktu, tanggal, tempat
dan alasan berkunjung, kaji kemampuan klien dalam berhitung dan mulailah dengan
perhitungan yang sederhana. Kaji kemampuan klien untuk berfikir abstrak.
SISTEM SARAF
a. Fungsi saraf kranial I (N Olvaktorius)
Pastikan rongga hidung tidak tersumbat oleh apapun dan cukup bersih. Lakukan
pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan dekatkan bau-bauan
seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta menebak bau tersebut. Lakukan untuk
lubang hidung yang satunya.
b. Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)
Catat kelainan pada mata seperti katarak dan infeksi sebelum pemeriksaan. Periksa
ketajaman dengan membaca, perhatikan jarak baca atau menggunakan snellenchart
untuk jarak jauh.
Periksa lapang pandang: Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100 cm, minta untuk
menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup sebelah mata dengan mata yang
berlawanan dengan mata klien. Gunakan benda yang berasal dari arah luar klien dank
lien diminta ,mengucapkan ya bila pertama melihat benda tersebut. Ulangi pemeriksaan
yang sama dengan mata yang sebelahnya. Ukur berapa derajat kemampuan klien saat
pertama kali melihat objek. Gunakan opthalmoskop untuk melihat fundus dan optic disk
(warna dan bentuk)
c. Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan Abdusen)
Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi konjungtiva, dan ptosis
kelopak mata
Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil, dan adanya perdarahan pupil
Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi cardinal) yaitu lateral,
lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral bawah. Minta klien mengikuti arah
telunjuk pemeriksa dengan bolamatanya
d. Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)
Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah maxilla, mandibula dan
frontal dengan mengguanakan kapas. Minta klien mengucapkan ya bila merasakan
sentuhan, lakukan kanan dan kiri.
Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau peniti di ketiga area
wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan tumpul.
Dengan mengguanakan suhu panas dan dingin juag dapat dilakukan diketiga area wajah
tersebut. Minta klien menyebutkan area mana yang merasakan sentuhan. Jangan lupa
mata klien ditutup sebelum pemeriksaan.
Dengan rasa getar dapat pukla dilakukan dengan menggunakan garputala yang digetarkan
dan disentuhkan ke ketiga daerah wajah tadi dan minta klien mengatakan getaran
tersebut terasa atau tidak
Pemerikasaan corneal dapat dilakukan dengan meminta klien melihat lurus ke depan,
dekatkan gulungan kapas kecil dari samping kea rah mata dan lihat refleks menutup
mata.
Pemeriksaan motorik dengan mengatupkan rahang dan merapatkan gigi periksa otot
maseter dan temporalis kiri dan kanan periksa kekuatan ototnya, minta klien melakukan
gerakan mengunyah dan lihat kesimetrisan gerakan mandibula.
e. Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)
Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan sentuhkan ke ujung lidah,
minta klien mengidentifikasi rasa ulangi untuk gula dan asam
Fungsi mootorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat kedua al;is
berbarengan, menggembungkan pipi. Lihat kesimetrisan kanan dan kiri. Periksa
kekuatan otot bagian atas dan bawah, minta klien memejampan mata kuat-kuat dan
coba untuk membukanya, minta pula klien utnuk menggembungkan pipi dan tekan
dengan kedua jari.
f. Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)
cabang vestibulo dengan menggunakan test pendengaran mengguanakan weber test dan
rhinne test
Cabang choclear dengan rombreng test dengan cara meminta klien berdiri tegak, kedua kaki
rapat, kedua lengan disisi tubuh, lalu observasi adanya ayunan tubuh, minta klien
menutup mata tanpa mengubah posisi, lihat apakah klien dapat mempertahankan posisi
g. Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)
Minta klien mengucapkan aa lihat gerakan ovula dan palatum, normal bila uvula terletak di
tengan dan palatum sedikit terangkat.
Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring menggunakan
aplikator dan observasi gerakan faring.
Periksa aktifitas motorik faring dengan meminta klien menel;an air sedikit, observasi gerakan
meelan dan kesulitan menelan. Periksa getaran pita suara saat klien berbicara.
h. Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)
Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua bahu secara
bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.
Periksa fungsi otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien menoleh ke kanan dank e
kiri, minta klien mendekatkan telinga ke bahu kanan dan kiri bergantian tanpa
mengangkat bahu lalu observasi rentang pergerakan sendi
Periksa kekuatanotottrapezius dengan menahan kedua bahu klien dengan kedua telapak
tangan danminta klien mendorong telapak tangan pemeriksa sekuat-kuatnya ke atas,
perhatikan kekuatan daya dorong.
Periksa kekuatan otot sternocleidomastoideus dengan meminta klien untuk menoleh kesatu
sisi melawan tahanan telapak tangan pemeriksa, perhatikan kekuatan daya dorong
i. Fugsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)
Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke kanan, observasi kesimetrisan
gerakan lidah
Periksa kekuatan lidah dengan meminta klien mendorong salah satu pipi dengan ujung lidah,
dorong bagian luar pipi dengan ujung lidah, dorong kedua pipi dengan kedua jari,
observasi kekuatan lidah, ulangi pemeriksaan sisi yang lain

Fungsi Motorik
Kaji cara berjalan dan keseimbangan dengan mengobservasi cara berjalan, kemudahan
berjalan, dan koordinasi gerakan tangan dan kaki. Minta klien berjalan dengan
menyentuhkan ibujari pada tumit kaki yang lain (heel to toe), minta klien jalan jinjit dan
minta klien berjalan dengan bertumpu pada tumit.
Lakukan romberg test
Lakukan pemeriksaan jari hidung dengan mata terbuka dan tertutup, evaluasi perbedaan
yang terjadi.
Tes pronasi dan supinasi dengan meminta klien duduk dan meletakan telapak tangan di
paha, minta untuk melakukan pronasi dan supinasi bergantian dengan cepat. Observasi
kecepatan, irama, dan kehalusan gerakan.
Melakukan pemeriksaan heel to shin test dengan meminta klien tidur pada posisi supine,
minta klien menggesekkan tuimit telapak kaki kiri sepanjang tulang tibia tungkai kanan
dari bawah lutut sampai ke pergelangan kaki. Ulangi pada kaki kanan. Observasi
kemudahan klien menggerakkan tumit pada garis lurus

Fungsi Sensorik
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi respon klien terhadap beberapa stimulus.
Pemeriksaan harus selalu menanyakan kepada klien jenis stimulus. Pemeriksaan
dilakukan dengan memberikan stimulus secara acak pada bagian tubuh klien dan dapat
berupa sentuhan ringan seperti kapas, tumpul dan tajam, suhu, getaran, identifikasi
objek tanpa melihat objek (stereognosis test), merasakan tulisan di tangan
(graphesthesia test), kemampuan membedakan dua titik, kemampuan mengidentifikasi
bagian tubuh yang diberi sentuhan dengan menutup mata (topognosis test)

Fungsi Refleks
a. Biseps: Klien diminta duduk dengan rilekx dan meletakkan kedua lengan diatas paha,
dukung lengan bawah klien dengan tangan non dominan, letakkan ibujari lengan non
dominan diatas tendon bisep, pukulkan refleks hammer pada ibu jari, observasi
kontraksi otot biseps (fleksi siku)
b. Triseps: Minta klien duduk, dukung siku dengan tangan non dominan, pukulkan refleks
hammer pada prosesus olekranon, observasi kontraksi otot triseps (ekstensi siku).
c. Brachioradialis: Minta klien duduk dan meletakkan kedua tangan di atas paha dengan
posisi pronasi, pukulkan hammer diatas tendon (2-3 inchi dari pergelangan tangan),
observasi fleksi dan supinasi telapak tangan.
d. Patelar: Minta klien duduk dengan lulut digantung fleksi, palpasi lokasi patella (interior
dari patella), pukulkan reflek hammer, perhatikan ekstensi otot quadriceps.
e. Tendon archiles: Pegang telapak kaki klien dengan tangan non dominant, pukul
tendon archiles dengan mengguanakan bagian lebar refleks hammer, obsvasi plantar
leksi telapak kaki.
f. Plantar: Minta klien tidur terlentang dengan kedua tungkai sedikit eksternal rotasi,
stimulasi telapak kaki klien dengan ujung tajam refleks hammer mulai dari tumit kearah
bagain sisi luar telapak kaki, observasi gerakan telapak kaki (normal jika gerakan plantar
fleksi dan jari-jari kaki fleksi).
g. abdomen: minta klien tidur terlentang, sentuhkan ujung aplikator ke kulit di bagian
abdomen mulai dari arah lateral ke umbilical, observasi kontraksi otot abdomen,
lakuakan prosedur tersebut pada keempat area abdomen.

Pemeriksaan Fisik Indra Penglihatan


Pemeriksaan fisik mata dapat dilakukan dengan beberapa cara. Berikut ini akan dijelaskan
cara melakukan pemeriksaan mata yaitu:
Pemeriksaan ketajaman penglihatan (pemeriksaaan visus) Mata merupakan organ tubuh
yang berfungsi sebagai indera penglihatan sehingga pemeriksaan ketajaman mata
sangat penting untuk bisa mengetahui fungsi mata. Pemeriksaan ketajaman mata
dilakukan paling awal sebelum melakukan pemeriksaan mata lebih lanjut.
Ketajaman penglihatan dituliskan dalam rasio perbandingan jarak penglihatan normal
seseorang dengan jarak penglihatan yang dapat dilihat oleh orang seseorang. Misalnya
ketajaman penglihatan 20/30 yang berarti seseorang dapat melihat dengan jarak 20 kaki
sedangkan pada penglihatan normal dapat dilihat dengan jarak 30 kaki. Orang dengan
mata normal memiliki nilai ketajaman mata 20/20.
Pemeriksaan menggunakan kartu snellen standar
Cara melakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan menggunakan kartu snellen ini yaitu:
Pasien berdiri sejauh 6 meter (20 kaki) dari kartu snellen.
Minta pasien untuk menutup salah satu mata dengan karton.
Minta pasien untuk membaca huruf yang ada pada kartu sampai pasien tidak dapat
membaca lagi huruf tersebut.
Menilai pasien dengan penglihatan buruk
Jika pasien tidak dapat membaca huruf yang ada pada kartu snellen, maka pasien harus
diperiksa menggunakan kemampuan membaca jari tangan. Cara pemeriksaan
menggunakan kemampuan membaca jari tangan yaitu:
Tutup salah satu mata pasien.
Perawat berdiri di depan pasien dengan menunjukkan angka pada jari perawat.
Jika pasien tidak dapat melihat jari perawat maka dilakukan pemeriksaan menggunakan
cahaya.
Pemeriksaan lapangan pandangan
Cara yang paling mudah dalam melakukan pemeriksaan lapangan pandangan adalah
menggunakan metode uji telunjuk.
Indikasi: pasien yang diduga mengalami gangguan sensori.
Kontraindikasi: –
Cara:
1) Pasien dan perawat duduk berhadapan.
2) Minta pasien untuk menutup salah satu matanya.
3) Perawat juga ikut menutup salah satu matanya. Misalnya jika pasien menutup mata
kirinya, maka perawat menutu mata kanannya.
4) Minta pasien memandang hidung perawat.
5) Minta pasien menghitung jumlah jari yang ada pada bagian superior dan inferior lirikan
temporal dan nasal.
Pemeriksaan buta warna (tes isihara)
Salah satu gangguan mata yang bersifat herediter, yaitu buta warna. Buta warna merupakan
penglihatan warna-warna yang tidak sempurna, seringkali disebut sebagai cacat
penglihatan warna. Cacat penglihatan warna bersifat didapat, terkadang merupakan
gejala dini kerusakan mata. Untuk mengetahui adanya cacat penglihatan mata perlu
dilakukan tes isihara.
Tes isihara merupakan gambar-gambar pseudoisokromatik yang disusun oleh titik dan
kepadatan warna yang berbeda, berasal dari warna primer yang didasarkan warna yang
hamper sama. Titik-titik warna tersebut disusun dengan bentuk dan pola tertentu tanpa
adanya kelainan persepsi warna.
Pemeriksaan Fisik Indra Pendengaran
Sama halnya dengan pemeriksaan mata, dalam melakukan pemeriksaan telinga juga dapat
dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
Tes ketajaman auditorius
Tes ini akan dapat mengetahui kemampuan pasien dalam mendengarkan bisikan kata(voice
test) atau detakan jam tangan.
Uji weber
Alat: garputala.
Tujuan: untuk membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural.
Indikasi: bisa digunakan pada anak-anak dan dewasa.
Kontraindikasi: –
Cara:
1)Pukulkan garputala pada telapak tangan.
2)Letakkan garputalapada garis tengah kepala pasien.
3)Tanyakan pada pasien letak suara yang terdengar paling keras.
Hasil: pada pasien sensorineural, suara terdengar pada telinga yang tidak terganggu.
Ssedangkan pada tuli konduktif, suara terdengar lebih jelas pada telinga yang
terganggu.

Pemeriksaan Fisik Pengecap.


Pada hakekatnya, lidah mempunyai hubungan erat dengan indera khusus pengecap. Zat
yang memberikan impuls pengecap mencapai sel reseptor lewat pori pengecapan. Ada
empat kelompok pengecap atau rasa yaitu manis, asin, asam, dan pahit.
Gangguan indera pengecap biasanya disebabkan oleh keadaan yang mengganggu tastants
atau zat yang memberikan impuls pengecap pada sel reseptor dalam taste bud
(gangguan transportasi) yang menimbulkan cedera sel reseptor (gangguan sensorik)
atau yang merusak serabut saraf aferen gustatorius serta lintasan saraf sentral
gustatorius (gangguan neuron).
Manifestasi klinis dari indera pengecap apabila dilihat dari sudut pandang psikofisis,
gangguan pada indera pengecap dapat digolongkan menurut keluhan pasien atau
menurut hasil pemeriksaan sensorik yang objektif missal sebagai berikut.
Ageusia total adalah ketidakmampuan untuk mengenali rasa manis, asin, pahit, dan asam.
Ageusia parsial adalah kemampuan mengenali sebagian rasa saja.
Ageusia spesifik adalah ketidakmampuan untuk mengenali kualitas rasa pada zat tertentu.
Hipogeusia total adalah penurunan sensitivitas terhadap semua zat pencetus rasa.
Hipogeusia parsial adalah penurunan sensitivitas terhadap sebagian pencetus rasa.
Disgeusia adalah kelainan yang menyebabkan persepsi yang salah ketika merasakan zat
pencetus rasa.
Pasien dengan keluhan hilangnya rasa bisa dievaluasi secara psikofisis untuk fungsi
gustatorik selain menilai fungsi olfaktorius. Langkah pertama melakukan tes rasa
seluruh mulut untuk kualitas, intensitas, dan persepsi kenyamanan dengan sukrosa,
asam sitrat, kafein, dan natrium klorida. Tes rasa listrik (elektrogustometri) digunakan
secara klinis untuk mengidentifikasi defisit rasa pada kuadran spesifik dari lidah. Biopsi
papilla foliate atau fungiformis untuk pemeriksaan histopatologik dari kuncup rasa masih
eksperimental akan tetapi cukup menjanjikan mengetahui adanya gangguan rasa.
Pemeriksaan Fisik Peraba.
Pemeriksaan fisik indra perabaan didasarkan pada sensibilitas. Pemeriksaan fisik sensori
indra perabaan (taktil) terbagi atas 2 jenis, yaitu basic sensory modalities dan testing
higher integrative functions. Basic sensory modalities(pemeriksaan sensori primer)
berupa uji sensasi nyeri dan sentuhan, uji sensasi suhu, uji sensasi taktil, uji propiosepsi
(sensasi letak), uji sensasi getar (pallestesia), dan uji sensasi tekanan. Sedangkan
testing higher integrative functions (uji fungsi integratif tertinggi) berupa stereognosis,
diskriminasi 2 titik, persepsi figure kulit (grafitesia), ekstinksi, dan lokalisasi titik.
Sensasi raba dihantarkan oleh traktus spinotalamikus ventralis. Sedangkan sensasi nyeri
dan suhu dihantarkan oleh serabut saraf menuju ganglia radiks dorsalis dan kemudian
serabut saraf akan menyilang garis tengah dan akan masuk menuju traktus
spinotalamikus lateralis kontralateral yang akan berakhir di talamus sebelum
dihantarkan ke korteks sensorik dan diinterpretasi. Adanya lesi pada traktus-traktus
tersebutlah yang dapat menyebabkan gangguan sensorik tubuh.
pemeriksaan Fisik Indra Penciuman
Indra penciuman merupakan penentu dalam identifikasi aroma dan cita rasa makanan-
minuman yang dihubungkan oleh saraf trigeminus sebagai pemantau zat kimia yang
terhirup. Indra penciuman dianggap salah satu sistem kemosensorik karena sebagian
besar zat kimia menghasilkan persepsi olfaktorius, trigeminus, dan pengecapan. Hal ini
dikarenakan sensasi kualitatif penciuman ditangkap neuroepitelium olfaktorius sehingga
menimbulkan sensibilitas somatic berupa rasa dingin, hangat, dan iritasi melalui serabut
saraf aferen trigeminus, glosofaringeus, dan vagus dalam hidung, kavum oris, lidah,
faring, dan laring.
Etiologi dari gangguan penciuman adalah sebagai berikut.
Defek konduktif
Proses inflamasi
Proses inflamasi dapat menyebabkan gangguan pembauan akibat rintitis dan sinus kronik.
Rintitis dan sinus kronik mengakibatkan inflamasi mukosa nasal sehingga terjadi
abnormalitas sekresi mucus. Sekreai mucus yang berlebihan mengakibatkan silia
olfaktorius tertutup mucus sehingga sensitivitas olfaktorius menurun/menghilang.

Anda mungkin juga menyukai