Anda di halaman 1dari 17

UPDATE DIAGOSTIK DAN TATALAKSANA IKTERIK PADA BAYI

DWI PRASETYO

Disampaikan pada acara


Simposium “ Pediatric Update 2015”

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2015
DAFTAR ISI

Halaman
Daftar Isi ...................................................................................................... i
Pendahuluan ................................................................................................. 1
Patofisiologi ................................................................................................. 2
Etiologi ......................................................................................................... 2
Diagnosis...................................................................................................... 4
Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 6
Penatatalaksanaan ........................................................................................ 9
Simpulan ...................................................................................................... 12
Daftar Pustaka .............................................................................................. 13

i
Update Diagnostik dan Tatalaksana Ikterik pada Bayi

Dwi Prasetyo

PENDAHULUAN
Ikterus atau jaundice adalah suatu keadaan yang ditandai dengan kulit dan sklera berwarna
kuning, yang disebabkan oleh akumulasi bilirubin pada kulit dan membrana mukosa, karena
kadar bilirubin pada tubuh tinggi atau disebut juga hiperbilirubinemia. Ikterik terlihat secara
kasat mata apabila konsentrasi bilirubin dalam darah pada bayi atau anak >5 mg/L. Ikterik
terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan pada minggu pertama
kehidupan. Pada sebagian besar bayi, kondisi ini merupakan suatu hal yang fisiologis.1-2
Bila ikterik menetap hingga melebihi 2 minggu pada bayi cukup bulan dan 3 minggu
pada bayi kurang bulan maka disebut prolonged jaundice, yang terdiri dari prehepatik,
hepatik dan post hepatiK.2-6 Hal ini dapat terjadi pada kurang lebih 15% bayi baru lahir.
Membedakan jaundice fisiologis dengan kelainan hepatobilier merupakan suatu hal yang
tidak mudah.7 Data epidemiologi menunjukkan bahwa 1 dari 2.500 bayi lahir hidup
mengalami kelainan hepatobilier, karena itu setiap prolonged jaundice harus mendapatkan
perhatian khusus dan pemeriksaan lebih lanjut.6
Etiologi jaundice menurut peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi menjadi karena
peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated hyperbilirubinemia) dan bilirubin
terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia).8 Ditinjau dari letaknya, penyebab utama
conjugated hyperbilirubinemia atau kolestasis secara umum dibagi menjadi 2 golongan besar,
yaitu kelainan intrahepatik (hepatoseluler) serta kelainan ekstrahepatik (obstruktif).9
Kolestasis adalah terjadinya hambatan aliran empedu, dengan manifestasi conjugated
hyperbilirubinemia.9-11 Disertai kadar bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total kurang dari
5 mg, sedangkan bila kadar bilirubin total lebih dari 5 mg/dl, kadar bilirubin direk lebih dari
20% kadar bilirubin total dan biasanya terjadi pada usia 90 hari kehidupan. Akibat
penumpukan empedu di sel hati, secara klinis bayi terlihat ikterik, urin berwarna lebih gelap,
dan tinja berwarna lebih pucat sampai seperti dempul. Kolestasis harus dipikirkan sebagai
salah satu penyebab ikterus pada bayi baru lahir bila ikterus menetap setelah bayi berusia 2
minggu.9-12
1
Untuk menentukan diagnosis kolestasis sering kali tidak sederhana. Diagnosis dini
kolestasis sangat diperlukan untuk mencegah progesivitas penyakit terutama pada atresia
biliaris. Diagnosis dini atresia biliaris sangat menentukan prognosisnya, oleh karena bila
ditegakkan dan tindakan operasi dilakukan sebelum usia 8 minggu maka angka
keberhasilannya 80%. Bila operasi pada usia lebih dari 12 minggu maka angka
keberhasilannya hanya 20% dan apabila tidak dilakukan operasi penderita hanya bisa
bertahan hidup sampai 2 tahun.9,13,14

PATOFISIOLOGI
Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir. Jaundice harus diwaspadai sebagai
tanda penyakit dan tidak secara rutin dianggap fisiologis, tetapi jaundice fisiologis pun tetap
merupakan suatu tanda gangguan metabolisme bilirubin. Prolonged jaundice, seharusnya
tidak dianggap sebagai kondisi fisiologis sampai terbukti sebaliknya.4
Ikterus dapat terjadi karena:15
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan
2. Defek pengambilan bilirubin oleh sel hati
3. Defek konjugasi bilirubin
4. Penurunan ekskresi bilirubin
5. Gabungan antara peningkatan kadar bilirubin yang terjadi karena produksi yang
berlebihan dan penurunan sekresi
Gangguan berupa pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek pengambilan, dan
konjugasi bilirubin akan menghasilkan peningkatan biliribin tidak terkonjugasi. Penurunan
ekskresi bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin terkonjugasi atau disebut juga
kolestasis. Bila mekanismenya bersifat campuran, akan terjadi peningkatan bilirubin
terkonjugasi maupun tidak terkonjugasi.15

ETIOLOGI
Etiologi jaundice menurut peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi menjadi karena
peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated hyperbilirubinemia) dan bilirubin
terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia).8 Ditinjau dari letaknya, penyebab utama
conjugated hyperbilirubinemia atau kolestasis secara umum diklasifikasikan menjadi 2
golongan besar, yaitu kelainan intrahepatik serta kelainan ekstrahepatik9

2
Ekstrahepatik
- Atresia biliaris
- Hipoplasia biliaris
- Stenosis duktus biliaris
- Anomalies choledochopancreaticoductal junction
- Perforasi spontan duktus biliaris
- Massa (neoplasma, batu)

Intrahepatik
Idiopatik
a. Hepatitis neonatal idiopatik
b. Kolestasis intrahepatik persisten
- Displasia arteriohepatik (sindrom Allagile)
- Byler’s disease
- Trihydroxycoprostanic academia
- Sindrom Zellweger (sindrom serebrohepatorenal)
- Nonsyndromic paucity of intrahepatic ducts
- Disfungsi mikrofilamen
c. Kolestasis intrahepatik rekurens
- Familiar benign recurrent cholestasis
- Kolestasis herediter dengan limfedema

Anatomi
a. Fibrosis hepatik kongenital/polikistik infantil pada hati dan ginjal
b. Caroli’s disease (dilatasi kistik duktus intrahepatik)

Gangguan Metabolisme
a. Gangguan metabolisme asam amino, tirosin dan hipermetionin
b. Gangguan metabolisme lemak
- Wolman’s disease
- Niemann-Pick disease
- Gauchers’s disease
c. Gangguan metabolisme karbohidrat
- Galaktosemia
- Fruktosemia
- Glikogenosis IV
d. Gangguan metabolisme asam empedu
- 3β-hidroksisteroid dehidrogenase/isomerase
- 4-3 oksosteroid 5β-reduktase
e. Gangguan metabolik yang tidak khas
- Defisensi alfa-1 antitripsin
- Fibrosis Kistik
- Hipopituarisme idiopatik
- Hipotiroid
- Neonatal iron storage disease
- Infantile copper overload
- Multiple acyl-coA dehydrogenation deficiency
- Familiar erytrophagocytic lymphohistiocytosis

3
Hepatitis
a. Infeksi (hepatitis pada neonatus)
- Cytomegalovirus (CMV)
- Virus hepatitis B
- Virus Rubela
- Reovirus tipe 3
- Virus herpes
- Virus varisela
- Coxsackievirus
- Echovirus
- Parvovirus B19
- Toksoplasmosis
- Sifilis
- Tuberkulosis
- Listeriosis
b. Toksik
- Kolestasis akibat nutrisi perenteral
- Sepsis

Gangguan genetik atau kromosom


a. Trisomi E
b. Sindrom Down
c. Sindrom Donahue

Lain-lain
a. Histiositosis X
b. Syok atau hiperperfusi
c. Obstruksi intestinal
d. Sindrom polisplenia
e. Lupus neonatal

DIAGNOSIS
Beberapa kondisi jaundice pada neonatus yang harus waspadai sebagai non fisiologis
jaundice, yaitu: 3
1. Jaundice yang terjadi sebelum usia 24 jam
2. Peningkatan bilirubin serum yang sangat tinggi sehingga memerlukan fototerapi
3. Peningkatan bilirubin serum >0,5 mg/dL/jam
4. Tanda-tanda penyakit dasar yang meyertai (muntah, letargis, malas menetek,
apnea, takipnea, kehilangan berat badan yang ekstrem, atau suhu yang tidak stabil)
Dalam menentukan diagnostik kolestasis yang paling penting adalah menetapkan
apakah intrahepatik atau ekstrahepatik, terutama atresia biliar yang prognosisnya tergantung
usia pada saat dioperasi. Pada usia kurang 8 minggu angka keberhasilan bisa mencapai 80%,

4
sedangkan setelah 12 minggu angka keberhasilan tinggal 20% karena telah terjadi sirosis.
Membedakannya dengan kolestasis intrahepatik tidaklah mudah, karena semua bentuk
kolestasis menimbulkan sindrom klinis ikterik yang sama, yaitu disertai pruritus, peningkatan
transaminase dan alkali fosfatase dan gangguan ekskresi zat warna kolesistografi.10,12
Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan
ekstrahepatik, namun tidak ada cara yang dapat digunakan secra tunggal dengan akuarasi
diagnostik 100%, oleh karena itu memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat
dan pemeriksaan penunjang yang memadai.9,10
 Pada anamnesis harus ditanyakan tentang riwayat prenatal, perinatal dan riwayat mulai
timbulnya sindrom kolestasis, ras serta riwayat keluarga yang menyeluruh dan
bagaimana perjalanan penyakitnya pada saudara kandung untuk menyingkirkan
kolestasis hepatik akibat kelainan genetik atau metabolik. Demikian pula mengenai
riwayat morbitias ibu selama kehamilan, misalnya infeksi Toksoplasma, others, rubela,
cytomegalovirus dan Herpes (TORCH), hepatitis B serta infeksi lainnya dan riwayat
kelahiran (adanya infeksi intrapartum, berat lahir), riwayat pemberian nutrisi parenteral,
transfusi darah serta penggunaan obat hepatotoksik.10
 Pemeriksaan fisis penderita kolestasis harus mencakup berat badan, tinggi badan dan
lingkar kepala, selain pemeriksaan abdomen yang mencakup lingkar perut, hati, limpa
serta adanya massa atau asites. Walaupun etiologi kolestasis sangat beragam, terdapat
beberapa gambaran klinis yang dapat memberi petunjuk kolestasis tersebut, apakah suatu
kelainan intrahepatik atau ekstrahepatik. Misalnya bayi kolestasis yang disertai gejala
muntah dan riwayat hipoglikemia harus dicurigai kemungkinan sepsis, galaktosemia,
intoleransi fruktosa atau tirosinemia. Contoh lainnya adalah kecurigaan sindrom paucity
duktus biliaris intrahepatik (sindrom Alagille) sebagai penyebab kolestasis bila
ditemukan danya defek vertebra dan kardiovaskular serta peningkatan trigliserida. Selain
itu, keadaan umum penderita kolestasis intrahepatik biasanya lebih berat dan mungkin
disertai dengan kelainan non hepatik seperti katarak, kalsifikasi intrakranial, wajah
dismorfik, hipotoni atau gejala perinatal lainnya, sedangkan penderita kolestasis
ekstrahepatik bisanya memiliki keadaan umum yang baik. Tetapi atresia biliaris mungkin
disertai dengan levokardia, atresia intestinal dan sindrom Turner.11
Selain pengamatan di atas, juga dapat dilakukan pengamatan warna tinja harian dengan
mengumpulkan tinja 3 porsi (porsi pertama antara jam 06.00 – 14.00) porsi kedua jam 14.00
– 22.00, dan porsi ketiga antara jam 22.00 – 06.00) dalam wadah yang transparan dan
5
disimpan di dalam kantong plastik yang berwarna gelap. Tindakan ini dapat digunakan
sebagai penyaring tahap pertama, karena kolestasis ekstrahepatik terutama atresia biliaris
hampir selalu menyebabkan tinja yang akolis pada semua porsi tinja. Bila ketiga porsi tinja
tetap berwarna dempul selama beberapa hari, maka kemungkinan besar adalah kolestasis
ekstra hepatik (atresia biliaris). Pada kolestasis intrahepatik, warna tinja kuning atau dempul
berfluktuasi dan pada keadaan lanjut tinja dapat pula seperti dempul terus-menerus.16,17

PEMERIKSAAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan laboratorium
 Pencitraan
 Biopsi hati

Pemeriksaan laboratorium
 Kadar bilirubin
 Darah lengkap: jumlah trombosit dan retikulosit bila ada anemia
 Fungsi hati : transaminase (SGOT, SGPT), gama glutamil transpeptidase (γGT), alkali
fosfatase (AF), Waktu protombin dan tromboplastin
 Elektroforesis protein, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, kolesterol, asam
empedu serum dan urin serta asam empedu dalam tinja.
Whitington, menyampaikan beberapa pemeriksaan laboratorium awal yang dapat mendukung
diagnosis kolestasi ekstrahepatik atau intrahepatik.18

Tabel 1. Data Laboratoris Awal Kolestasis Bayi


Uji Fungsi hati Kolestasis Kolestasis
Ekstrahepatik Intrahepatik

Bilirubin total (mg/dl) 10,2 ± 4,5 12,1± 9,6


Bilirubin direk (mg/dl) 6,2 ± 2,6 8,0 ± 6,8
SGOT < 5 x normal >10x normal/>800u/L
SGPT < 5 x normal >10x normal/>800u/L
γGT > 5 x normal/> 600 U/L < 5 x normal atau normal

Sumber : Whitington 199618

Peningkatan SGOT dan SGPT yang lebih dari 10 kali nilai normal atau > 800 U/L
terutama yang disertai peningkatan γGT yang kurang dari 5 x normal, lebih mendukung
kelainan hepatoselular (kolestasis intrahepatik). Sebaliknya bila peningkatan SGOT atau

6
SGPT kurang dari 5 x nilai normal dengan peningkatan γGT lebih dari 5 x normal atau > 600
U/L, lebih mengarah kepada atresia biliaris atau obstruksi duktus biliaris lainnya.19
Bila AF tinggi dan γGT rendah (< 100 U/L), penderita mungkin mengidap suatu
kolestasis familial progesif atau gangguan sintesis garam empedu. Dengan cara pemeriksaaan
spektrometri terhadap urin penderita. Kelainan metabolisme asam empedu seperti defisiensi
3-β- hidroksisteroid-dehidrogenase/isomerase yang bermanifestasi sebagai penyakit hati
yang berat dapat dideteksi pula.20
Pemeriksaan lain yang dilakukan pada kecurigaan kolestasis intrahepatik adalah
pemeriksaan serologis untuk mendeteksi infeksi TORCH, petanda hepatitis B (bayi dan ibu)
dan kadar a-1-antitripsin serta fenotipenya. Sementara pemeriksaan khusus seperti hormon
tiroid, asam amino serum dan urin, kultur darah dan urin, zat reduktor dalam urin, galaktosa-
1 fosfat uridil-transferase, uji klorida keringat dan pemeriksaan kromosom dilakukan atas
indikasi, yaitu bila ada gejala klinis lainnya yang mendukung ke arah penyakit-penyakit
tersebut.20
Pemeriksaan oftalmologis dilakukan pada kolestasis intrahepatik untuk mencari
korioretinitis (infeksi CMV, toksoplasmosis, rubela), embriotokson posterior (pada sindrom
Alagille), katarak (pada galaktosemia) atau cherry-red spot (pada lipid storage disease).20

Utrasonografi
Ultrasonografi (USG) mempunyai peran yang sangat penting untuk skrining kolestasis
pada bayi. Pemeriksaan ini sebaiknya dikerjakan pada semua penderita kolestasis karena
tekniknya sederhana dan non invasif. Melalui USG ini kista (duktus koledokus atau
intrahepatik), batu kandung empedu atau biliary sludge akibat nutrisi parenteral atau penyakit
hemolitik serta tumor dapat dideteksi. Untuk kista duktus koledokus dan batu, akurasi
pemeriksaan ini mencapai 90−95%. Tetapi untuk biliary sludge atau inspissated bile
akurasinya buruk. Pada pemeriksaan USG juga dapat diukur panjang dan kontraktilitas gall
bladder. Pada atresia biliaris dapat ditemukan panjang gall bladder <1,5 cm, kolaps, tidak
berlumen, atau bahkan gall bladder tidak terlihat sama sekali. Selain itu, pada atresia biliaris
didapatkan nilai kontraktilitas gall bladder rendah atau tidak terdapat kontraktilitas sama
sekali. Pemeriksaan ini dilakukan setelah penderita dipuasakan minimal 3-4 jam dan diulang
kembali setelah bayi minum. Akurasi diagnostik pemeriksaan USG ini untuk kolestasis hanya
80%. Namun dengan USG dapat ditemukan gambaran Triangular cord sign (gambaran masa
fibrotik membentuk kerucut atau tubular pada bagian cranial dan bifurkasio vena porta) yang
7
sangat membantu untuk mendiagnosis atresia biliaris. Triangular cord sign dengan ketebalan
> 4 mm dengan memberikan kepastian diagnosa atresia biliaris dengan sensitivitas 80% dan
spesifisitas 100%.21

Scintigraphy
Disida Tc99m (Tc99m yang berikatan dengan 2.6-diisopropyliminodiacetic acid) adalah
radioisotope yang paling sering digunakan pada pemeriksaan cholestasis jaundice karena
memiliki waktu paruh yang pendek, konsentrasi yang tinggi di dalam hepar, dan dieksresikan
melalui hepar dan ginjal. Disida Tc99m tidak boleh dilakukan bila kadar blirubin direk
>20mg/dl. Satu minggu sebelum pemeriksaan, penderita diberikan phenobarbital oral dengan
dosis 5-10mg/kg/hari dibagi menjadi 2 dosis. Bila terdapat ekskresi isotope pada usus halus
dalam 24 jam setelah pemeriksaan, menunjukkan patensi dari sistem duktus biliaris. Hasil
scan yang negatif belum pasti dapat menyingkirkan penyebab kolestatsis jaundice lainnya,
karena sekitar 40% penderita dengan hepatitis neonatal yang lanjut menunjukkan hasil scan
yang negatif akibat terjadinya disfungsi hepar, oleh karena itu pemeriksaan scintigraphy
dapat diulang 2 minggu kemudian. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan dicida untuk
diagnosa atresia biliaris menghasilkan sensitivitas 100% dan spesifitas 43%.21

Cholangiography
Cholangiography dilakukan setelah dengan semua pemeriksaan diatas diagnosis masih
meragukan. Terdapat 3 pemeriksaan cholangiography yang dapat dilakukan untuk
memastikan diagnosis prolonged jaundiced, terutama untuk memastikan adanya atresia
biliaris, yaitu :
1. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP adalah endoskopi ke duktus biliaris melalui ampula vateri, dengan
memasukkan kontras untuk memvisualisasikan duktus biliaris. Sensitivitas dan
spesifitasnya 100%. Namun ERCP memerlukan general anestesia dan merupakan
pemeriksaan operator dependen, yang membutuhkan keahlihan dan pengalaman
klinis. Karena itu pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan
rutin.22
2. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)
Saat ini MRCP merupakan gold standar untuk atresia biliaris dengan akurasi 100%.
Namun pemeriksaan ini memerlukan sedasi dalam atau general anestesia. Diperlukan
8
keahlian dan pengalaman klinis khusus untuk menerapkan MRCP pada anak. Karena
itu pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin.22
3. Intraoperative Cholangiography (IOC)
Langkah akhir untuk menegakkan diagnosis adalah dengan melakukan laparotomy
diagnostik dengan persiapan intraoperative cholangiography (IOC), wedge biopsy
hepar, dan jika atresia biliaris ditemukan maka dilakukan Kasai prosedur
(portoenterostomy). 22

Biopsi hepar
Terdapat beberapa parameter yang dapat membedakan cholestasis jaundice antara
intrahepatik dan ekstrahepatik. Parameter yang merupakan tanda cholestasis ekstrahepatik
walaupun tidak terdapat patognomoni, tetapi spesifik terhadap atresia biliaris yaitu proliferasi
duktus pada porta hepatis, thrombus di daerah porta hepatis, proses inflamasi dan fibrosis
pada porta hepatis, dan lymphedema. Biopsi hepar memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas
95%.21

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kolestasis terdiri dari tindakan operatif dan pemberian obat-obatan dengan
tujuan mengatasi etiologi, meningkatkan aliran empedu, melindungi hepatosit, mengurangi
absorpsi lemak, mencegah dan mengatasi komplikasi di luar sistem hepatobilier serta
mempertahankan tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan cara pemberian nutrisi
dan suplemen/vitamin yang larut dalam lemak.9,23
Terapi operatif dilakukan pada kolestasis ekstrahepatik, misalnya portoenterostomi
pada atresia biliaris ekstrahepatik. Penggunaan obat-obatan pada kolestasis terbagi menjadi 2
yaitu: sebagai terapi spesifik pada tipe intrahepatik dan terapi suportif pada semua jenis
kolestasis. 16,19
Obat-obatan untuk mengatasi etiologi kolestasis
1. Obat-obatan yang sering digunakan adalah untuk infeksi toksoplasma yaitu pirimetamin,
sulfadiazin, asam folinik dan spiramisin.
a. Pirimetamin
Dosis yang diberikan 2 mg/kgbb/hari (maksimum 50 mg/hr) diberikan selama 2 hari
pertama selanjutnya dosis pemeliharaan 1 mg/kgbb/hr selama 6 bulan, kemudian

9
1mg/kgBB/hari diberikan selang sehari sampai 1 tahun. Efek samping yang sering terjadi
adalah anemia defisiensi asam folat.24
b. Sulfadiazin
Dosis yang diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 1 tahun. Sulfadiazin
diekskresikan dengan cepat melalui ginjal dan dapat menimbulkan kristaluria sehingga
pada pemberian sulfadiazine harus selalu dilakukan pemantauan terhadap diuresis.
Pemberian sulfadiazin dan pirimetamin mempunyai efek sinergisme. 25
c. Asam Folat (Kalsium Leukovorin)
Dosis 5-10 mg/kgbb/hari, 3 x perminggu untuk mencegah toksisitas pirimetamin.
2. Obat yang digunakan adalah untuk infeksi sitomegalovirus adalah gansiklovir.
Gansiklovir adalah obat antiviral yang banyak mempunyai kesamaan dengan asiklovir,
hanya berbeda dengan adanya gugus hidroksimetil tambahan. Cara pemberian terbagi
menjadi terapi induksi dan pemeliharaan. Pada dosis induksi diberikan 5mg/kgBB/hari
setiap 12 jam intravena dalam 3 minggu. Dosis pemeliharaan diberikan 5mg/kgBB/hari
intravena sehari sekali.26,27 Efek samping obat ini adalah supresi sumsum tulang,
neutropenia terjadi pada sekitar 15-40% kasus dan trombositopenia terjadi pada sekitar
5-20%. Neutropenia sering terjadi pada minggu kedua terapi dan biasanya reversibel
dalam 1 minggu setelah obat dihentikan. Efek samping lain adalah gangguan fungsi
ginjal, dan pada sistem saraf pusat yaitu sekitar 5-15%. Gejalanya dapat berupa sakit
kepala, perubahan tingkah laku, kejang, sampai koma.26-29

Obat-obatan Suportif
Akhir-akhir ini obat yang sering untuk terapi suportif adalah ursodeoxycholic acid (UDCA).
Ursodeoxycholic acid (3α, 7β-dihidroksi-5β-cholanic acid) merupakan asam empedu
yang terbentuk secara alami, secara normal terdapat pada 1-2% asam empedu manusia.
Ursodeoxycholic acid merupakan asam empedu tersier endogen yang disintesis di hepar
dari 7 ketolithicolic acid, yang merupakan hasil produk dari oksigenasi asam
kenodeoksikolat (AKDK) oleh bakteri usus.
Asam Ursodeoksikolat bekerja dengan cara :
1. Merubah Pool Asam Empedu
Pada manusia, asam empedu terutama terdiri dari 38-54% AKDK, 26-39% asam
kolat (AK) dan 16-33% asam deoksikolat; UDCA dan asam litokolat (LK)
didapatkan hanya dalam jumlah kecil (0,1-5%). Kecuali UDCA, semua asam
10
empedu bersifat toksis terhadap hati. Pada keadaan kolestasis karena terjadi
hambatan aliran empedu ke usus, asam empedu tersebut akan merusak hati yang
bila berlangsung lama akan menyebabkan sirosis hati. Selama pengobatan dengan
UDCA terdapat perubahan komposisi asam empedu yang utama, sementara
AKDK, asam deoksikolat berkurang. Hal ini menyebabkan UDCA memegang
peranan penting dalam pengobatan kolestasis. 29-31
2. Proteksi hepatosit dan kolangiosit
Asam empedu toksik mempunyai efek merusak membran sel dengan cara
meningkatkan polaritas pada bagian apolar membran hepatosit dan kolangiosit.
Ursodeoxycholic acid secara kompetitif akan berikatan dengan bagian apolar
membran tersebut, sehingga efek yang ditimbulkan oleh asam empedu toksik
dapat dikurangi.
Asam empedu toksik juga merusak sel dengan cara membuka pori-pori protein
pada membran mitokondria bagian dalam dan mengakibatkan peningkatan
permeabilitas mitokondria, sehingga terjadi kerusakan membran potensial dan
pembengkakan mitokondria. Ursodeoxycholic acid akan mengubah stuktur dan
komposisi miscelles yang terbentuk ini bersifat protektif terhadap hepatosit
maupun kolangiosit.32,33
3. Efek Imunomodulator
Pada kolestasis terjadi peningkatan ekspresi major histocompability complex
(MHC) kelas I dan II yang berakibat terjadinya dekstrusi sel oleh limfosit
Sitotoksik. Ursodeoxycholic acid bekerja mengurangi ekspresi kelas I dan II
tersebut.33,34
4. Meningkatkan Sekresi Hepatobilier
Mekanisme retensi asam empedu antara lain disebabkan oleh gangguan sekresi
bikarbonat di kolangiosit. Pemberian UDCA akan meningkatkan kalsium
intraselular yang akan mengaktifkan kanal klorida ini kemudian akan
meningkatkan sekresi bikarbonat ke saluran biliaris. 32,34
Dosis pemberian UDCA bervariasi, 10-16 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis.30,32,33
Efek samping UDCA yang pernah dilaporkan adalah diare, mual dan muntah.31,32

11
Nutrisi
Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis (lebih dari
60%). Penurunan ekskresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal,
solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Maka pada bayi dengan kolestasis
diperlukan kalori yang lebih tinggi untuk menjaga tumbuh kembang bayi, serta vitamin,
mineral dan trace element:
a. Formula Medium chain triglyceride (MCT) karena relative larut dalam air sehingga
tidak memerlukan garam empedu untuk absorbsi.
b. Kebutuhan kalori 125% dari normal dan protein 2-3g/kgbb/hari.
c. Vitamin yang larut dalam lemak:
- A : 5000-25000 U/hari
- D3 : calcitriol 0,05-0,2 ug/kgbb/hari
- E : 25-50 IU/kgbb/hari
- K1 : 2,5-5mg/2-7x/minggu
d. Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, Selenium dan Fe.

SIMPULAN
Ikterik menetap hingga melebihi 2 minggu pada bayi cukup bulan dan 3 minggu pada bayi
kurang bulan maka disebut prolonged jaundice, yang terdiri dari prehepatik, hepatik dan post
hepatik. Etiologi jaundice menurut peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi menjadi karena
peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated hyperbilirubinemia) dan bilirubin
terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia). Ditinjau dari letaknya, penyebab utama
conjugated hyperbilirubinemia atau kolestasis secara umum dibagi menjadi 2 golongan besar,
yaitu kelainan intrahepatik (hepatoseluler) serta kelainan ekstrahepatik (obstruktif).
Diagnosis dini kolestasis sangat diperlukan untuk mencegah progesivitas penyakit terutama
pada atresia biliaris.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Elias E. Jaundice and cholestasis. Dalam: Dooley JS, Lok A, Burroughs AK,
Heathcote EJ, editor. Sherlock's dissease of the liver and billiary system. Edisi ke-12:
Blackwell Publishing; 2011. hlm. 234−56.
2. Gomella TC. Neonatology, Management, procedures, on-call problems, dissseases,
and drug. United states of America: The McGraw-hill Companies Inc; 2009. hlm.
288−93.
3. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, editor.
Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins;
2004. hlm. 81−212.
4. Subcommitte on hyperbilirubinemia. Management of hyperbilirubinemia in the
newborn Infant 35 or more weeks of gestation. American Academy of Pediatrics.
2004;114:297−316.
5. Gilmour SM. Prolong neonatal jaundice: when to worry and what to do. Pediatr Child
Health. 2004;9:700−4.
6. Tyler W, Mckiernan PJ. Prolonged jaundice in the preterm infant−what to do, when
and why. Curr Pediatr. 2006;16:43−50
7. D'Agata ID, Balisteri WF. Evaluation of liver dissease in the pediatric petient.
Pediatrics in Review. 1999;20(11):376−89.
8. Omer M, Khattak TA, Shah SHA. Etiological spectrum of persistent neonatal
jaundice. JMRC. 2010;14(2):87−9.
9. Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis. Dalam: Suchy F, Sokoi R, Balisteri
W, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2001. h. 187-94
10. Moyer MS, Balistreri WF. Prolonged neonatal obstructive jaundice. Dalam: Walker
W, Durie P, Hamilton J, Walker-Smith J, Watkins J, penyunting. Pediatric
gastrointestinal disease. Philadelphia: BC Dekker Inc; 1991. h.835-48.
11. Mews C, Sinatra FR. Cholestasis in infancy. Pediatr Rev. 1994;15:233-40

13
12. Balistreri WF. Neonatal cholestasis. J Pediatr. 1985;106:171-84.
13. Ryckman FC, Alonso MH, Bucuvalas JC, Balistreri WF. Liver transplantation in
children. Dalam: Suchy F, Sokol R, Balistreri W, penyunting. Liver disease in
children. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins; 2001. h. 949-73.
14. Mieli G-Vergani, Portman B, Howard ER, Mowat AP. Late referral for biliary atresia-
missed oportunity for effective surgery. Lancet. 1989;25:421-3.
15. Billing BH. Bilirubin metabolism. Postgrand Med J. 1963;39:176−87.
16. Mowat AP. Hepatitis and cholestasis in infancy: intrahepatic disorders. Dalam:
Mowat A, penyunting. Liver disorders in childhood. Oxford: Buttenworth-
Heinemann; 1994. h. 79-96.
17. D'Agata, balistreri WF. Evaluation of liver disease in pediatric patient. Pediatr Rev.
1999;20:376-89.
18. Whitington PF. Chronic cholestasis of infancy. Pediatr Clin North Am. 1996;43:1-26.
19. Lai MW, Chang MW, Hsu CS, Hsu CH, Su CT, Kao CL, dkk. Differential diagnosis
of extrahepatic biliary atresia from neonatal hepatitis; a prospective study. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 1994;18:122-6
20. Suharyono, Ghazali V, Sunoto, Adnan SW. Duodenal aspiration test as a diagnostic
tool for obstructive jaundice. Pediatr Indones. 1986;26:152-5
21. Canduro SM. Ekstra hepatic billiary atresia. Journal de Pediatricia. 2003:107−14.
22. Moyer MD, Fresee D, Whitington PF, Olson AD, Brewer F, Colletti RB, et all.
Guideline for the evaluation of cholestatic jaundice in infants : recomendation of the
north american society for pediatric gastroenterology, hepatology and nutrition. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2004;39(2):115−28
23. Tracy JW, Webster LT. Drugs used in the chemotherapy of protozoal infections
malaria. In: Hardman J, Limbird L, Gilman A, editors. Goodman& Gilman's the
pharmacological basis of theurapeutics. New York: McGraw-Hill; 2001. h. 1080-1.
24. Petri WA. Antimicrobial agents sulfonamides, trimethoprime-sulfamethoxazole,
quinolones and agents for urinary tract infections. Dalam: Hardman J, Limbird L,
Gilman A, penyunting. Goodman & Gilman's the phamacological basis of
theurapeutics. New York: McGraw-Hill; 2001. h. 1171-6.
25. Hayden FG. Antimicrobial agents: antiviral agents (nonretroviral). In: Hardman J,
Limbird L, Gilman A, penyunting. Goodman & Gilman's the pharmacological basis
of theurapeutics. New York: McGraw-Hill; 2001. p. 1325-6
14
26. Schimdt GM, Horak DA, Niland JC, Duncan SR, Forman SJ. A randomised
controlled trial of prophylactic ganciclovir for cytomegalovirus pulmonary infection
of allogenic bone marrow transplant. N Eng J Med. 1991;324:1005-11.
27. Crumpcracker CS. Gansiclovir. N Eng J Med. 1996:335:721-9.
28. Fischler B, Cassawall TH, Malmborg P, Nemeth A. Ganciclovir treatment in infants
with cytomegalovirus infections and cholestasis. J Ped Gastroenterol Nutr
2002;34:154-7.
29. Feranchak AP, Ramirez RO, Sokol RJ. medical and nutritional management of
cholestasis. In: Suchy F, Sokol R, Balisteri W, editors. Liver disease in children. Edisi
ke-2 ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. h. 195-225.
30. Biro pengawasan farmaseutikal kebangsaan kementrian kesihatan malaysia.
Ursodeoxycholic acid. Petaling Jaya; 2000.
31. Kumar D, Tandon RK. Use of ursodeoxycholic in liver disease. J Gatrohepatol.
2001;16:3-14.
32. Paumgartner G, Beuers U. Ursodeoxycholic acid in cholestatic liver disease:
mechanisms of actions and teurapeutic use revisited. Hepatology. 2002;36:525-31.
33. McNamara JO. Drugs effective`in the therapy of epilepsies. Dalam: Hardman J,
Limbird L, Gilman A, penyunting. Goodman & Gilman's the pharmacologycal basis
of theurapeutics. New York: McGraw-Hill; 2001. h. 531-2.
34. Berg CL, Gollan JL. Pharmacotherapy of hepatobiliary disease. Dalam: Wolfe M,
penyunting. Gastrointestinal pharmacotherapy. Philadelphia: WB Saunders Company;
1993. h. 245-59.

15

Anda mungkin juga menyukai