Anda di halaman 1dari 116

i

LAPORAN PRAKTIKUM
MIKROBIOLOGI AKUAKULTUR

Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151

MAYOR ILMU AKUAKULTUR


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas nikmat dan karunia Allah SWT, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan praktikum Mikrobiologi Akuakultur ini dengan baik. Rasa
terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir.
Widanarni, M.Si selaku koordinator mata kuliah Mikrobiologi Akuakultur beserta
tim yang telah memberikan petunjuk dan membimbing dalam pelaksanaan
praktikum sampai penulisan laporan praktikum ini.
Laporan praktikum ini penulis selesaikan dalam rangka memenuhi tugas
akhir semester satu pada mata kuliah Mikrobiologi Akuakultur. Laporan
praktikum ini disusun berdasarkan hasil praktikum yang dilaksanakan di
Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor setiap hari Rabu, pukul
13.30-16.30 WIB.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini, masih terdapat
kesalahan-kesalahan dalam penulisannya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Selain itu, dengan laporan
penulis juga mengharapkan ada banyak manfaat bagi kita semua untuk menambah
ilmu pengetahuan terutama yang berhubungan dengan mikrobiologi akuakultur.

Bogor, 11 Januari 2013

Darmawan Setia Budi


iii

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................... iii
RIWAYAT PENULIS .................................................................... iv
LAPORAN PRAKTIKUM
1. Penyiapan Medium, Sterilisasi Bahan dan Peralatan ..................... 1
2 Isolasi Bakteri dan Fungi dari Lingkungan Akuatik ...................... 13
3. Pewarnaan Gram ……..................................................................... 23
4. Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi Bakteri ..................... 33
5. Morfologi Fungi …….………………………………..................... 42
6. Perhitungan Bakteri dengan Metode Hitungan Cawan ………....... 53
7. Penanda Antibiotik Resisten ……………………………………… 62
8. Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Viabilitas Bakteri ........ 69
9. Pengaruh Bahan Antimikroba Terhadap Pertumbuhan Bakteri ..... 78
10. Seleksi Bakteri Probiotik untuk Akuakultur ................................. 90
11. Deteksi Koi Herpes Virus (KHV) dengan Metode PCR …………. 99
iv

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Lumajang tanggal 18 September


1988 dari ayah Sudarmasto dan ibu Titin Sukowati. Penulis
merupakan anak kedua dari 3 bersaudara. Pendidikan formal
yang pernah dilalui penulis adalah SDN 1 Rogotrunan IV
(lulus tahun 2000), SMPN 1 Lumajang (lulus tahun 2003), dan
SMAN 1 Lumajang (lulus tahun 2006). Gelar Sarjana
Perikanan diperoleh dari program studi Teknologi dan
Manajemen Perikanan Budidaya pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor, pada tahun 2011 dengan skripsi yang berjudul
“Transplantasi Sel Testikular Ikan Gurame pada Ikan Nila”.
Selama menjadi mahasiswa strata satu di IPB, penulis aktif pada organisasi
kemahasiswaan, di antaranya adalah Himpunan Mahasiswa Akuakultur
(HIMAKUA) sebagai staf divisi kewirausahaan pada periode 2008 dan Forum
Keluarga Muslim FPIK (FKM-C) sebagai kepala divisi coorporation pada periode
2009. Penulis juga aktif menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah, di
antaranya Dasar-dasar Akuakultur (2008/2009), Fisiologi Hewan Air (2008/2009
dan 2009/2010), Manajemen Kualitas Air (2009/2010), serta Dasar-dasar
Genetika Ikan (2009/2010).
Penulis pernah mendapatkan pendanaan DIKTI pada Program Kreativitas
Mahasiswa bidang Penelitian (PKM-P) pada tahun 2009. Pada tahun 2010,
penulis menjadi salah satu delegasi IPB pada Pekan Ilmiah Nasional (PIMNAS)
XXIII yang dilaksanakan di Universitas Mahasaraswati Denpasar Bali, melalui
Program Kreativitas Mahasiswa bidang Gagasan Tertulis (PKM-GT) dengan judul
artikel ”Pengembangan Manipulasi Fish Germ Cells: Peningkatan Produksi dan
Pelestarian Diversitas Sumberdaya Ikan di Indonesia”, dan berhasil meraih
penghargaan setara perak.
Saat ini penulis tercatat sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana mayor
Ilmu Akuakultur, Institut Pertanian Bogor. Penulis juga tercatat aktif sebagai
pengurus organisasi Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana IPB periode
2012/2013.
1

Praktikum ke-1 Tanggal : 19 September 2012


m.k. Mikrobiologi Akuakultur Kelompok : XI
Asisten : Rahman
Adni Zein
Dewi Nurhayati
Firsty Rahmatia
Titi Nur Cahyati
Dendi Hidayatullah
Wahyu Afrilasari
Nurlita Christyaningsih

PENYIAPAN MEDIUM, STERILISASI BAHAN DAN


PERALATAN

Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151

MAYOR ILMU AKUAKULTUR


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
2

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Mikrobiologi ialah telaah mengenai organisme hidup yang berukuran
mikroskopis (Pelczar & Chan, 1986). Organisme mikroskopis (mikroba) ini dapat
hidup di berbagai tempat yang sesuai dengan kriteria persyaratan hidup masing-
masing organisme tersebut. Sehingga untuk bisa mengisolasi mikroba pada biakan
murni dalam laboratorium diperlukan medium yang cocok. Hingga saat ini telah
banyak dikenal jenis-jenis medium untuk membiakkan mikroba. Setiap jenis
medium memiliki kandungan nutrisi yang berbeda satu sama lain, bergantung
pada jenis mikroba target yang akan inokulasikan.
Populasi mikroba di alam sekitar kita sangat besar dan kompleks. Mikroba
hampir terdapat di semua tempat di bumi ini, termasuk di sekitar kita. Hal ini
menyebabkan inokulasi mikroba membutuhkan kerja yang aseptik agar mikroba
yang terinokulasi adalah benar-benar mikroba yang kita inginkan. Namun
sebelumnya tentu harus dipersiapkan peralatan dan medium yang aseptik pula.
Pembuatan biakan mikroba murni membutuhkan medium yang sesuai
serta peralatan dan medium yang steril atau tidak mengandung mikroba yang lain.
Oleh karena itu pengetahuan dan ketrampilan mengenai penyiapan medium serta
sterilisasi bahan dan peralatan sangat diperlukan untuk menunjang hal ini.

1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan mempelajari prosedur umum untuk merekonstitusi
(mengembalikan kepada keadaan asalnya) medium berbentuk bubuk (terdehidrasi)
dan menaruhnya dalam jumlah yang dikehendaki ke dalam wadah-wadah yang
sesuai, serta mempelajari berbagai macam prosedur sterilisasi bahan dan
peralatan.
3

II. METODOLOGI

2.1. Waktu dan Tempat


Praktikum Penyiapan Medium, Sterilisasi Bahan dan Peralatan ini
dilaksanakan pada hari Rabu 19 September 2012 dan pengamatan pada hari
Kamis 20 September 2012, bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan,
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

2.2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah gelas ukur,
erlenmeyer, timbangan digital, kertas timbang (alumunium foil), sprayer, spatula
atau sendok, batang pengaduk, pemanas air, tabung reaksi dan cawan petri steril,
kapas, pipet volumetrik, keranjang tabung reaksi, tissu, dan kertas bekas. Bahan-
bahan yang digunakan adalah medium TSA, aquades, dan alkohol.

2.3. Prosedur Sterilisasi dan Pembuatan Media


Sebelum disterilkan dengan autoklaf, pipet dibungkus dengan kertas.
Kertas A4 bekas di bagi menjadi empat bagian sama panjang. Ujung kertas dilipat
menjadi segitiga siku-siku. Ujung pipet dimasukkan ke dalam segitiga tersebut.
Kertas diputar ke arah badan pipet hingga menutupi seluruh pipet. Pipet yang
telah dibungkus dimasukkan ke dalam autoklaf.

Gambar 1. Teknik membungkus pipet ukur untuk sterilisasi pada praktikum


Mikrobiologi Akuakultur 2012.
4

Cawan petri yang akan disterilkan dibungkus dengan kertas A4 bekas.


Cawan petri diletakkan terbalik di atas kertas. Kertas dilipat menjadi dua bagian
yang sama hingga menutupi seluruh cawan petri. Ujung kertas yang masih tersisa
dilipat hingga menyerupai segitiga kemudian ditekuk ke bagian bawah cawan
petri. Setelah itu cawan petri yang sudah dibungkus dimasukkan dalam autoklaf.

Gambar 2. Pembungkusan cawan petri untuk sterilisasi pada praktikum


Mikrobiologi Akuakultur 2012.

Pembuatan medium agar pada cawan petri dikerjakan secara aseptik di


atas api bunsen. Sebelum melakukan penuangan media ke dalam petri, meja
tempat kerja dan tangan praktikan disemprot terlebih dahulu menggunakan
alkohol 70%.

Gambar 3. Pembuatan medium agar pada cawan petri pada praktikum


Mikrobiologi Akuakultur 2012.

Medium agar yang baru saja disterilisasi menggunakan autoklaf diletakkan


miring seperti pada gambar 4. Medium agar tersebut ditunggu hingga mengeras.
5

Gambar 4. Pembuatan medium agar miring pada tabung reaksi pada praktikum
Mikrobiologi Akuakultur 2012.
6

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Berikut ini adalah tabel hasil praktikum penyiapan medium dan sterilisasi
bahan dan peralatan.
Tabel 1. Kontaminan yang terjadi pada penuangan medium ke cawan petri
No. Tabung Kontaminan
1. Deny -
2. Darmawan -
3. Sri -
4. Anis -
5. Yeni -
Keterangan:
- : aseptik
+ : sedikit kontaminan
++ : banyak kontaminan

Gambar 5. Hasil pengamatan media agar pada cawan petri setelah inkubasi 24 jam
Berdasar tabel 1. dan gambar 5. diperoleh hasil bahwa setelah inkubasi
selama 24 jam seluruh media agar yang dibuat tidak ditumbuhi kontaminan.

3.2. Pembahasan
Dalam mikrobiologi medium sangat dibutuhkan untuk membiakkan
mikroba. Medium dalam hal ini adalah suatu substrat untuk menumbuhkan
mikroba, yang menjadi padat dan tetap tembus pandang pada suhu inkubasi yaitu
suhu yang cocok bagi pertumbuhan mikroba (Pelczar & Chan, 1986). Berdasarkan
bentuknya terdapat dua macam medium, yaitu medium padat dan medium cair
(Dwidjoseputro, 1998).
7

Pengamatan terhadap suatu jenis mikroba dapat dilakukan dengan


membuat biakan murni terlebih dahulu, yang dimaksud biakan murni adalah tidak
lebih dari satu jenis mikroba yang terdapat dalam suatu wadah biakan bakteri
(Pelczar & Chan, 1986). Untuk membuat biakan murni diperlukan peralatan dan
medium yang steril. Komposisi bahan dalam medium bergantung pada jenis
bakteri yang akan diinkubasi. Bahan-bahan yang menunjang untuk pembuatan
medium umumnya adalah kaldu nutrien dan agar nutrien.
Menurut Madigan et al. (1997) nutrien dibagi menjadi dua, yaitu
makronutrien yang dibutuhkan dalam jumlah besar yaitu karbon, nitrogen, pospat,
sulfur, potasium, magnesium, kalsium, sodium; dan mikronutrien yang
dibutuhkan dalam jumlah sedikit yaitu kromium, kobalt, tembaga, mangan, besi,
dan seng. Masing-masing unsur tersebut memiliki fungsi yang berbeda bagi
kelangsungan hidup mikroba itu sendiri.
Komposisi kaldu nutrien adalah ekstrak daging sapi, pepton, dan air;
sedangkan komposisi agar nutrien adalah ekstrak daging sapi, pepton, agar, dan
air (Pelczar & Chan, 1986). Bahan-bahan kompleks penyusun bahan pembuat
media tersebut memiliki ciri spesifik dan nilai nutrisi yang terkandung di
dalamnya.
Ekstrak daging sapi, yaitu suatu ekstrak cair jaringan daging sapi yang
empuk, dikonsentrasikan menjadi pasta. Nilai nutrisi yang terkandung di
dalamnya adalah substansi jaringan hewan yang dapat larut dalam air, meliputi
karbohidrat, senyawa nitrogen organik, vitamin yang dapat larut dalam air, dan
garam-garaman (Pelczar & Chan, 1986).
Pepton merupakan produk yang dihasilkan dari bahan-bahan yang
mengandung protein seperti daging, kasein, dan gelatin. Fungsi pepton yaitu
sebagai sumber utama nitrogen organik, dapat mengandung vitamin dan kadang-
kadang karbohidrat, dan bergantung pada jenis bahan berkandungan protein yang
dicernakan (Pelczar & Chan, 1986).
Agar merupakan suatu karbohidrat kompleks yang diperoleh dari alga laut
tertentu, diolah untuk membuang substansi yang tidak dikehendaki. Peranan agar
adalah sebagai bahan pemadat media, agar yang lebur dalam larutan cair akan
8

membentuk gel bila suhu dikurangi sampai di bawah 45oC. Agar bukan sumber
nutrien bagi bakteri (Pelczar & Chan, 1986).
Yeast ekstrak, yaitu suatu ekstrak cair sel khamir, tersedia secara komersial
dalam bentuk bubuk. Yeast ekstrak merupakan sumber yang amat kaya akan
vitamin B, juga mengandung nitrogen dan senyawa-senyawa karbon (Pelczar &
Chan, 1986).
Media yang digunakan dalam praktikum ini berupa media TSA
(Trypticase Soya Agar) agar padat. Media TSA memiliki komposisi pepton dari
kasein 17 gram, pepton dari kedelai 3 gram, glukosa 2.5 gram, NaCl 5 gram,
K2HPO4 2.5 gram, dan aquades 1 liter (Acumedia, 2010).
Banyak persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat menumbuhkan
mikroorganisme dalam suatu medium. Untuk menunjang keberhasilan dalam
kultur mikroba diperlukan suatu kombinasi nutrien dan lingkungan fisik yang
sesuai. Di dalam Madigan et al. (1997), faktor tumbuh adalah komponen organik
seperti mikronutrien yang hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit, termasuk
vitamin, asam amino, purin, dan pirimidin; kebanyakan mikroorganisme dapat
mensintesis semua komponen-komponen tersebut walaupun ada satu atau lebih
dapat mengambilnya dari alam. Menurut Filzahazny (2008) parameter lingkungan
fisik yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba adalah suhu, atmosfer gas,
keasaman atau kebasaan (pH), cahaya dan tekanan osmotik.
Semua proses pertumbuhan bergantung pada reaksi kimiawi dan laju
reaksi-reaksi ini dipengaruhi oleh suhu, sehingga pola pertumbuhan bakteri dapat
sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu juga mempengaruhi laju pertumbuhan dan
jumlah total pertumbuhan organisme. Keragaman suhu juga dapat proses-proses
metabolik tertentu serta morfologi sel. Setiap spesies bakteri tumbuh pada suatu
kisaran suhu tertentu. Atas dasar ini, maka bakteri dapat diklasifikasikan sebagai
psikrofil, yang tumbuh pada 00C sampai 300C ; mesofil yang tumbuh pada 250C
sampai 400C; termofil tumbuh pada 500C atau lebih. Suhu inkubasi yang
memungkinkan pertumbuhan tercepat selama periode waktu yang singkat (12
sampai 24 jam), dikenal sebagai suhu pertumbuhan optimum (Filzahazny, 2008).
Gas-gas utama yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri adalah oksigen
dan karbon diosida. Bakteri memperlihatkan keragaman yang luas dalam hal
9

respon terhadap oksigen bebas dan atas dasar ini maka mudah sekali untuk
membagi mereka menjadi lima kelompok, yaitu aerobik (organisme yang
membutuhkan oksigen), anaerobik fakultatif (tumbuh pada keadaan aerobik dan
anaerobik), dan mikroaerofilik (tumbuh baik bila ada sedikit oksigen atmosfirik),
aerob aerotoleran (tidak mati dengan adanya oksigen), aerob obligat (tumbuh
subur apabila ada oksigen dalam jumlah besar). Beberapa bakteri tidak hanya
anaerobik, tetapi juga sangat sensitif terhadap oksigen, yakni apabila terkena
oksigen akan terbunuh (Filzahazny, 2008).
PH optimum pertumbuhan bagi kebanyakan bakteri terletak antara 6,5 dan
7,5. Namun, beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan masam, atau sangat
alkaline. Bagi kebanyakan spesies, nilai pH minimum dan maksimum antara 4
dan 9. Bila bakteri dikultivasi di dalam suatu medium yang mula-mula
disesuaikan pH-nya misalnya 7, maka mungikn sekali pH ini akan berubah
sebagai akibat adanya senyawa asam atau basa yang dihasilkan selama
pertumbuhannya. Pergeseran pH ini dapat sedemikian besar sehingga dapat
menghambat pertumbuhan selanjutnya organisme tersebut. Pergeseran pH dapat
dicegah dengan menggunakan larutan penyangga dalam medium. Larutan
penyangga adalah senyawa atau pasangan senyawa yang dapat menahan
perubahan pH. Suatu kombinasi garam phospat, seperti KH2PO4 dan K2HPO4
digunakan secara luas dalam media bakteriologi untuk tujuan ini. Beberapa bahan
nutrisi medium, seperti pepton juga mempunyai kapasitas penyangga. Perlu atau
tidaknya suatu medium diberi larutan penyangga tergantung dari maksud
penggunaanya dan dibatasi oleh kapasitas penyangga yang dimiliki senyawa-
senyawa yang digunakan (Filzahazny, 2008).
Beberapa kelompok bakteri mempunyai persyaratan tambahan. Sebagai
contoh, organisme fotoautotrofik (fotosintetik) harus diberi sumber pencahayaan,
karena cahaya adalah sumber energinya (Filzahazny, 2008).
Pertumbuhan bakteri dapat dipengaruhi oleh keadaan tekanan osmotic,
yaitu tenaga atau tegangan yang terhimpun ketika air berdifusi melalui suatu
membran) atau tekanan hidrostatik (tegangan zat alir). Bakteri tertentu tumbuh
dalam lingkungan berkonsentrasi garam tinggi atau rendah. Ini menunjukan
adanya tanggapan terhadap tekanan osmotik (Filzahazny, 2008).
10

Pekerjaan menyiapkan medium sangat memerlukan ketelitian. Alat-alat


yang ada sangkut pautnya dengan medium harus diusahakan steril untuk
menghindari kontaminan. Kontaminan adalah mikroorganisme yang tidak
diinginkan yang masuk dalam medium yang telah dibuat (Dwidjoseputro, 1998).
Hal yang menyebabkan terjadinya kontaminan adalah cara kerja yang tidak
aseptik. Pada praktikum ini seluruh praktikan dalam kelompok XI dapat
dinyatakan bekerja secara aseptik saat pembuatan media agar pada cawan petri,
hal ini dapat dilihat ketika pengamatan satu hari setelah praktikum medium yang
dituang oleh tidak mengandung koloni bakteri.
11

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Medium adalah suatu substrat untuk menumbuhkan mikroba, yang
menjadi padat dan tetap tembus pandang pada suhu inkubasi yaitu suhu yang
cocok bagi pertumbuhan mikroba. Bahan kompleks yang sering digunakan
sebagai bahan medium adalah ekstrak daging sapi, pepton, agar, dan yeast ekstrak.
Tumbuh kembang mikroorganisme memerlukan suatu kombinasi nutrien dan
lingkungan fisik yang sesuai. seluruh praktikan dalam kelompok XI dapat
dinyatakan bekerja secara aseptik saat pembuatan media agar pada cawan petri,
hal ini dapat dilihat ketika pengamatan satu hari setelah praktikum medium yang
dituang oleh tidak mengandung koloni bakteri.

4.2. Saran
Kerja mikrobiologi membutuhkan lingkungan yang benar-benar aseptik.
Penggunaan sarana penunjang seperti laminar air flow sangat disarankan untuk
peningkatan kerja aseptik tersebut, sehingga diperoleh hasil yang maksimal dan
akurat.
12

DAFTAR PUSTAKA

Dwidjoseputro D. 1998. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.

Filzahazny. 2008. Pengantar Tentang Bakteri. http://filzahazny.wordpress.com.


[24 September 2012].

Madigan MT, Martinko JM, Parker J.1997. Biology of Microorganisms. New


Jersey: Prentice-Hall Inc.

Pelczar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume 1.


Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI-
Press. Terjemahan dari: Elements of Microbiology.

Acumedia. 2010. Tryptic Soy Agar (7100).


http://www.neogen.com/Acumedia/pdf/ProdInfo/7100_PI.pdf [24 September
2012].
13

Praktikum ke-2 Tanggal : 26 September 2012


m.k. Mikrobiologi Akuakultur Kelompok : XI
Asisten : Rahman
Adni Zein
Dewi Nurhayati
Firsty Rahmatia
Titi Nur Cahyati
Dendi Hidayatullah
Wahyu Afrilasari
Nurlita Christyaningsih

ISOLASI BAKTERI DAN FUNGI DARI LINGKUNGAN


AKUATIK

Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151

MAYOR ILMU AKUAKULTUR


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
14

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Mikroorganisme (bakteri, fungi/cendawan, protozoa, dan mikroorganisme
lain) yang terdapat di lingkungan budidaya umumnya terdapat dalam populasi
campuran. Mikroorganisme yang ditemukan dalam habitatnya, perlu diisolasi dan
ditumbuhkan menjadi biakan murni agar dapat digunakan dalam menelaah dan
mengidentifikasi mikroorganisme. Untuk memperoleh biakan murni dari populasi
digunakan metode cawan gores dan metode cawan tuang dengan prinsip yang
sama, yaitu mengencerkan organisme sedemikian sehingga individu spesies dapat
dipisahkan dari lainnya. Koloni terpisah yang tampak pada cawan petri setelah
diinkubasi, dianggap berasal dari satu sel tunggal.
Keterampilan dalam mengisolasi bakteri dan fungi dari lingkungan
budidaya sangat diperlukan untuk dapat memperoleh koloni tunggal dari bakteri
atau fungi yang diisolasi, yang nantinya berguna dalam pembuatan biakan murni
dari koloni tunggal mikroorganisme yang terbentuk. Sehingga hal ini akan
berguna dalam menelaah dan mengidentifikasi mikroorganisme terebut.

1.2.Tujuan
Praktikum ini bertujuan mempelajari cara mengisolasi bakteri dan fungi
dari lingkungan budidaya serta mengamati ciri-ciri koloni bakteri dan fungi yang
tumbuh.
15

II. METODOLOGI

2.1. Waktu dan Tempat


Praktikum ”Isolasi Bakteri dan Fungi dari Lingkungan Akuatik” ini
dilaksanakan pada hari Rabu 26 September 2012 dan pengamatan pada hari
Kamis 27 September 2012, bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan,
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

2.2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan adalah lup inokulasi, cawan petri, bunsen, korek
api, dan sprayer. Bahan-bahan yang digunakan adalah alkohol, SWC (Sea Water
Complete), GYA (Glucose Yeast Agar), TSA (Trypticase Soy Agar), TCBS
(Thiosulphate Citrate Bile-Salt Sucrose), air kolam, air sungai, dan air laut.

2.3. Prosedur Kerja


Pertama-tama nama/kelompok, media, dan air sampel ditulis pada cawan
petri masing-masing. Kemudian cawan petri dibalik dan dengan spidol seluruh
area dasar cawan petri di bagi seperti pada gambar 1.A dan gambar 1.B.

Gambar 1.A Gambar 1.B

Keterangan :
(A) Pembagian sektor pada permukaan luar dasar cawan petri.
(B) Pembagian sektor tampak melalui tutup cawan petri.
Tangan dan meja praktikum disterilkan dengan alkohol. Sebelum
bakteri/fungi dipindahkan dengan lup inokulasi, lup inokulasi dibakar hingga
16

kawatnya berpijar. Dengan lup inokulasi, secara aseptik satu lup sampel air
dipindahkan pada media dalam cawan petri.
Bakteri diisolasi dengan goresan zigzag pada media dalam cawan petri
pada kuadran O hingga kuadran III. Lup digoreskan zig-zag pada kuadran O,
setelah itu lup dibakar lagi. Kemudian, setelah lup dingin, lup digoreskan zigzag
dengan mengambil sedikit isolat mikroba yang ada pada kuadran O dan diteruskan
sampai kuadaran I tergores penuh. Penggoresan tidak bertumpang tindih. Langkah
tersebut diulangi untuk pengenceran biakan dari kuadran I ke kuadran II dan
kuadran III ke kuadran III. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut
ini.
Gambar 2.A
Kuadran O adalah tempat mula-mula diletakkannya inokulum
dengan lup inokulasi

Gambar 2.B
Sektor I merupakan pengenceran pertama. Garis-garis goresan
pada sektor I saling terpisah seseragam dengan menggunakan
lup inokulasi.

Gambar 2.C
Sektor II adalah usaha pengenceran kedua.

Gambar 2.D
Sektor III merupakan usaha pengenceran terakhir.
17

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Berikut ini adalah hasil pengisolasian bakteri dan fungi yang diambil dari
air sampel.
Tabel 1. Hasil pengamatan pertumbuhan koloni bakteri dan fungi dari lingkungan
budidaya

Dua Macam Koloni yang


∑ Macam Terbesar
Asal Sampel Jenis Media
Koloni
Ciri-ciri Koloni
Warna : kuning, putih
Bentuk : bulat
Sungai TSA 2 Elevasi : cembung
Tepian : wooly
Konsistensi : lengket
Warna : kuning, putih
Bentuk : bulat
Laut SWC 2 Elevasi : cembung
Tepian : smooth
Konsistensi : tidak lengket

Tidak
Laut TCBS -
tumbuh

Tidak
Kolam GYA -
tumbuh

3.2. Pembahasan
Mikroorganisme yang diisolasi pada praktikum ini adalah bakteri dan
fungi. Isolasi mikroorganisme ini menggunakan media SWC (Sea Water
Complete), TCBS (Thiosulphate Citrate Bile-Salt Sucrose), dan TSA (Trypticase
18

Soy Agar) untuk menumbuhkan bakteri. Media GYA (Glucose Yeast Agar) untuk
menumbuhkan fungi.
SWC (Sea Water Complete) adalah salah satu medium yang berfungsi
menumbuhkan bakteri air laut. Komposisi bahan yang terkandung dalam SWC
adalah bacto pepton, yeast ekstrak, gliserol bacto agar, air laut, dan akuades.
Masing-masing bahan tersebut memiliki peranan penting dalam media tumbuh
bakteri. Bacto pepton berfungsi sebagai sumber utama nitrogen organik, dapat
mengandung vitamin dan kadang-kadang karbohidrat, dan bergantung pada jenis
bahan berkandungan protein yang dicernakan. Yeast ekstrak merupakan sumber
yang amat kaya akan vitamin B, juga mengandung nitrogen dan senyawa-senyawa
karbon. Di dalam gliserol bacto agar terdapat agar yang merupakan suatu
karbohidrat kompleks yang diperoleh dari alga laut tertentu, diolah untuk
membuang substansi yang tidak dikehendaki. Peranan agar adalah sebagai bahan
pemadat media, agar yang lebur dalam larutan cair akan membentuk gel bila suhu
dikurangi sampai di bawah 45oC. Agar bukan sumber nutrien bagi bakteri (Pelczar
& Chan, 1986). SWC digunakan untuk menumbuhkan bakteri air laut, sehingga
dalam SWC terdapat harus terdapat air laut yang berfungsi untuk membentuk
media tumbuh bakteri yang sesuai dengan habitat aslinya. Akuades dalam SWC
berfungsi mengencerkan media dalam proses pembuatannya.
TCBS ((Thiosulphate Citrate Bile-Salt Sucrose) merupakan salah satu
media selektif yang berfungsi dalam isolasi dan pemeliharaan bakteri jenis Vibrio.
TSA (Trypticase Soy Agar) berfungsi untuk menumbuhkan bakteri air
tawar. TSA mengandung soya peptone (soytone) sebagai sumber nitrogen, vitamin
dan mineral, tryptone sebagai sumber asam amino untuk pertumbuhan, sodium
cloride untuk menyeimbangkan tekanan osmotik, dan bacto agar.
GYA (Glucose Yeast Agar) untuk menumbuhkan fungi. GYA
mengandung antibiotik yang berfungsi menghambat pertumbuhan
mikroorganisme selain fungi yang ditumbuhkan. Antibiotika adalah segolongan
senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau
menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme (Wikipedia, 2008)
Bakteri ditumbuhkan pada media SWC, TCBS dan TSA pada praktikum
ini. Bakteri adalah mikroorganisme uniselular, prokariotik (tidak memiliki
19

membran inti), berukuran kira-kira 0.5-1.0 x 2.0-5.0 µm (Pelczar & Chan, 1986).
Berdasarkan bentuk morfologinya, maka bakteri dapat di bagi atas tiga golongan,
yaitu golongan basil (silindris), golongan kokus (bola) dan golongan spiril (spiral)
(Dwidjoseputro, 1978).
Bakteri yang diisolasi dalam praktikum ini adalah bakteri air tawar dan air
laut. Mikroba air tawar yang berasal dari air kolam yang ditumbuhkan pada
medium TSA menghasilkan dua jenis koloni. Ciri-ciri koloni ini yaitu warna
kuning dan putih, bentuk bulat, elevasi cembung, tepian wooly, dan konsistensi
lengket. Ada tiga koloni bakteri air laut yang tumbuh pada medium SWC, dua
jenis koloni yang paling banyak memiliki ciri-ciri yaitu warna kuning dan putih,
tepian smooth, elevasi cembung, dan tidak lengket. Bakteri yang diisolasi dari air
laut tidak tumbuh pada media TCBS.
Selain bakteri, yang diisolasi dalam praktikum ini adalah cendawan/fungi.
Tidak terdapat cendawan yang tumbuh pada medium GYA yang diisolasi dari air
kolam. Fungi adalah nama regnum dari sekelompok besar makhluk hidup
eukariotik heterotrof yang mencerna makanannya di luar tubuh lalu menyerap
molekul nutrisi ke dalam sel-selnya. Fungi memiliki bermacam-macam bentuk.
Orang awam mengenal sebagian besar anggota Fungi sebagai jamur, kapang,
khamir, atau ragi, meskipun seringkali yang dimaksud adalah penampilan luar
yang tampak, bukan spesiesnya sendiri. Kesulitan dalam mengenal fungi sedikit
banyak disebabkan adanya pergiliran keturunan yang memiliki penampilan yang
sama sekali berbeda. Fungi memperbanyak diri secara seksual dan aseksual
(Wikipedia, 2008). Cendawan/fungi merupakan organisme heterotrof yang
berfilamen, umunya bersifat saprofit, beberapa di antaranya bersifat parasit,
bahkan ada yang bersifat parasit obligat
Klasifikasi cendawan air menurut Moore-Landecker (1996) diacu dalam
Prihartini (2003) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Mycetacea
Divisi : Mastigospora
Kelas : Oomycetes
Ordo : 1. Laginidiales
2. Leptomitales
20

3. Peronosporales
4. Saprolegniales
21

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Mikroba air tawar yang berasal dari air kolam yang ditumbuhkan pada
medium TSA menghasilkan dua jenis koloni saja. Ciri-ciri koloni ini yaitu warna
putih dan kuning, tepian wooly, elevasi cembung, dan konsistensi lengket. Ada
dua jenis koloni bakteri air laut yang tumbuh pada medium SWC, memiliki ciri-
ciri yaitu warna kuning dan putih, tepian smooth, elevasi cembung, dan
konsistensi tidak lengket. Tidak terdapat koloni bakteri yang diisolasi dari air laut
yang tumbuh pada media TCBS dan tidak terdapat cendawan yang tumbuh pada
medium GYA yang diisolasi dari air kolam.

4.2 Saran
Isolasi bakteri dan fungi dari lingkungan akuatik berguna untuk
mendeteksi keanekaragaman mikroba yang ada. Penggunaan berbagai macam
media yang lebih bervariasi sangat disarankan untuk menunjang hasil isolasi yang
lebih optimal.
22

DAFTAR PUSTAKA

Dwidjoseputro D. 1987. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.

Pelczar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume 1.


Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI-
Press. Terjemahan dari: Elements of Microbiology.

Prihartini, Tini. 2003. Identifikasi Cendawan pada Ikan Gurame (Osphronemus


gouramy Lac.) dan Penggunaan Daun Kirinyuh (Chromolaena odorata) untuk
Pengendaliannya (Pendekatan In Vitro) [Skripsi]. Bogor: Departemen
Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor

Sari, Febianty BP. 2003. Identifikasi dan Uji Postulat Koch Cendawan Penyebab
Penyakit pada Ikan Gurami [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Wikipedia. 2008. Antibiotika. www.wikipedia.org. [25 Maret 2008].

Wikipedia. 2008. Fungi. www.wikipedia.org. [25 Maret 2008].


23

Praktikum ke-3 Tanggal : 3 Oktober 2012


m.k. Mikrobiologi Akuakultur Kelompok : XI
Asisten : Rahman
Adni Zein
Dewi Nurhayati
Firsty Rahmatia
Titi Nur Cahyati
Dendi Hidayatullah
Wahyu Afrilasari
Nurlita Christyaningsih

PEWARNAAN GRAM

Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151

MAYOR ILMU AKUAKULTUR


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
24

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Biakan murni bakteri hasil dari isolasi perlu diidentifikasi dengan
menentukan morfologi sel, morfologi koloni, sifat biokimia (fisiologi),
patogenisitas dan serologinya. Untuk mengidentifikasi beberapa bakteri tertentu
terkadang tidak perlu dilakukan prosedur selengkap di atas.
Salah satu cara mengidentifikasi bakteri yang cukup sederhana adalah
dengan pewarnaan gram. Dengan pewarnaan gram dapat diketahui morfologi sel
bakteri antara lain sifat gram, bentuk sel, dan koloni sel. Dalam pewarnaan gram
bakteri dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bakteri gram positif dan gram negatif.
Perbedaan ini didasari pada hasil akhir pewarnaan, bakteri gram positif berwarna
ungu, sedangkan bakteri gram negatif berwarna merah muda.
Pewarnaan gram merupakan salah satu teknik pewarnaan diferensial yang
paling penting dan paling luas digunakan untuk bakteri. Prosedur ini juga
merupakan salah satu prosedur yang dapat mencirikan banyak bakteri. Oleh
karena itu pemahaman dan keterampilan dalam pewarnaan gram sangat
diperlukan untuk dapat mengidentifikasikan berbagai macam bakteri.

1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengenalkan dan mempelajari prosedur pewarnaan
gram serta memahami pentingnya setiap langkah dalam prosedur tersebut.
25

II. METODOLOGI

2.1. Waktu dan Tempat


Praktikum ”Pewarnaan Gram” ini dilaksanakan pada hari Rabu 3 Oktober
2012, bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

2.2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan adalah jarum ose, gelas objek, botol semprot,
mikroskop, stop watch, bunsen, dan korek api. Bahan-bahan yang digunakan
adalah akuades steril, alkohol 70%, larutan Gram A (kristal violet, ethanol 95%,
amonium oksalat, dan akuades), larutan Gram B (KI, I2, dan air), larutan Gram C
(Etanol 95% dan Aseton 95%), dan larutan Gram D (Safranin, Etanol, dan Air).

2.3. Prosedur Kerja


Preparat olesan bakteri disiapkan dengan pengambilan bakteri pada tabung
ependorf dengan jarum ose dan dioleskan pada preparat. Larutan Gram A
diteteskan sebanyak 2-3 tetes pada olesan bakteri dan dibiarkan selama 1 menit,
lalu dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan kertas isap secara hati-
hati. Larutan Gram B diteteskan pada preparat dan dibiarkan kering selama 1
menit, lalu dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Larutan Gram C
diteteskan dan didiamkan selama 30 detik, kemudian dicuci dengan air dan
dikeringkan. Larutan Gram D diteteskan dan didiamkan selama 30 detik, setelah
itu dicuci dengan air dan dikeringkan. Hasil pewarnaan diamati dengan mikroskop
pada perbesaran 1000 kali menggunakan minyak imersi.
26

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Hasil pengamatan pewarnaan Gram disajikan melalui tabel di bawah ini.
Tabel 1. Hasil pewarnaan Gram.

Kelompok Isolat Bentuk Gram Penataan Gambar


A Batang + Diplo
7
G Bulat + Strepto
E Bulat + Mono
G Batang - Strepto
8 E Batang + Mono
A Batang + Diplo
- Lapisan pagar
C Batang
+ Streptobasilus
Batang - Lapisan pagar
9 D
Bulat + streptobasilus
Batang + Mono
I
Bulat - Mono
C Batang koma - Lapisan pagar
D Batang + streptobasilus
10
Batang koma - Lapisan pagar
H
Batang + streptobasilus

Batang + Monobasil
H
Bulat + Staphylococcus

11 B Batang + Monobasil

Batang + mono
E
Bulat + staphylo

B Batang + Mono
Batang + mono
E
Bulat + staphylo
12
Mono
Batang +
H Mono, diplo,
Bulat +
staphylo
27

3.2. Pembahasan
Banyak senyawa organik berwarna yang digunakan untuk mewarnai
mikroorganisme dalam proses pengidentifikasian mikroba dengan menggunakan
mikroskop. Menurut Pelczar & Chan (1986), langkah-langkah utama dalam
mempersiapkan spesimen mikroba yang diwarnai untuk pemeriksaan mikorskopik
adalah penempatan olesan, atau lapisan tipis spesimen, pada kaca objek; fiksasi
olesan itu pada kaca objek, biasanya dengan pemanasan yang menyebabkan
mikroorganisme itu melekat pada kaca objek; dan aplikasi pewarna tunggal
(pewarnaan sederhana) atau serangkaian larutan pewarna atau reagen (pewarnaan
diferensial).
Pemberian warna pada bakteri atau jasad-jasad renik lain dengan
menggunakan larutan tunggal suatu pewarna pada lapisan tipis, atau olesan yang
sudah difiksasi, dinamakan pewarnaan sederhana. Sedangkan prosedur pewarnaan
yang menampilkan perbedaan di antara sel-sel mikrobe atau bagian sel-sel
mikrobe disebut teknik pewarnaan diferensial (Pelczar & Chan, 1986).
Teknik pewarnaan yang dilakukan pada praktikum ini adalah pewarnaan
gram yang merupakan merupakan salah satu teknik pewarnaan diferensial yang
paling penting dan paling luas digunakan untuk bakteri. Pewarnaan Gram atau
metode Gram adalah suatu metode empiris untuk membedakan spesies bakteri
menjadi dua kelompok besar, gram-positif dan gram-negatif, berdasarkan sifat
kimia dan fisik dinding sel mereka. Metode ini diberi nama berdasarkan
penemunya, ilmuwan Denmark Hans Christian Gram (1853–1938) yang
mengembangkan teknik ini pada tahun 1884 untuk membedakan antara
pneumokokus dan bakteri Klebsiella pneumoniae (Wikipedia, 2008).
Dalam praktikum ini olesan bakteri terfiksasi ditetesi dengan larutan ungu
kristal (Gram A), iodium (Gram B), alkohol (Gram C) dan safranin (Gram D)
secara berurutan. Setiap larutan yang diteteskan pada olesan bakteri memiliki
fungsi dan peran masing-masing terutama dalam pengidentifikasian bakteri gram
positif ataupun gram negatif. Hasil akhir dari proses pewarnaan pada praktikum
menunjukkan bahwa bakteri gram positif berwarna ungu pada saat diamati dengan
mikroskop, sedangkan bakteri gram negatif berwarna merah muda saat diaamati
dengan mikroskop.
28

Pada bakteri gram positif, larutan ungu kristal (UK) menyebabkan sel
berwarna ungu. Pada saat penetesan larutan iodium (Y), kompleks ungu kristal-
iodium (UK-Y) terbentuk di dalam sel dan sel tetap berwarna ungu. Penetesan
alkohol mengakibatkan dinding sel mengalami dehidrasi, pori-pori menciut, daya
rembes dinding sel dan membran menurun, UK-Y tidak dapat keluar dari sel,
sehingga pada saat penetesan safranin sel tetap berwarna ungu (Pelczar & Chan,
1986).
Berbeda dengan bakteri gram positif, pada saat pemberian alkohol bakteri
gram negatif mengalami ekstraksi lipid dari dinding sel, pori-pori mengembang,
kompleks ungu kristal-iodium ke luar dari sel, dan sel menjadi tak berwarna. Pada
penetesan safranin sel menyerap zat pewarna dan menjadi merah (Pelczar &
Chan, 1986).
Faktor yang mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan dalam pewarnaan
gram adalah pelaksanaan fiksasi panas terhadap olesan, fiksasi panas yang
berlebihan akan menyebabkan pecahnya dinding sel, sehingga bakteri gram positif
akan melepaskan pewarna utama dan menyerap pewarna tandingan yaitu sfranin
sehingga tampak seperti gram negatif. Selain itu, faktor yang lainnya adalah
kerapatan olesan; konsentrasi dan umur reagen yang digunakan; sifat, konsentrasi,
dan jumlah pencuci yang digunakan; serta sejarah (umur) biakan.
Isolat bakteri yang diamati pada praktikum ini adalah isolat A, B, C, D, E,
G, H, dan I. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bakteri A berbentuk batang,
gram (+) dengan penataan diplobasilus; bakteri B berbentuk batang, gram (+)
dengan penataan monobasilus; bakteri C berbentuk batang koma (vibrio), gram (-)
dengan penataan lapisan pagar; bakteri D berbentuk batang, gram (+) dengan
penataan streptobasilus; bakteri E merupakan campuran antara bakteri berbentuk
batang dan bulat, keduanya gram (+) dengan penataan monobasilus dan
staphylicoccus; bakteri H merupakan campuran antara bakteri berbentuk batang
dan bulat, keduanya gram (+) dengan penataan monobasilus dan staphylicoccus;
bakteri I merupakan campuran antara bakteri berbentuk batang gram (+) dan bulat
gram (-), dengan penataan monobasilus dan monococcus.
Beberapa jenis bakteri dari gram positif maupun gram negatif dapat
meneybabkan penyakit pada ikan. Hama dan penyakit ikan karantina golongan
29

bakteri yaitu Aeromonas salmonicida, Renibacterium salmoninarum, Nocardia


spp., Edwardsiella ictaluri, Pasteurella piscicida, Aerococcus viridans (var)
homari, Mycobacterium spp., Edwardsiella tarda, Streptococus spp. dan Yersinia
ruckeri. Beberapa jenis bakteri tersebut dilaporkan telah terdapat di Indonesia
namun belum tersebar luas, yaitu Aeromonas salmonicida di Jawa,
Mycobacterium sp. di Jawa dan Sumatera, Edwardsiella tarda di Jawa serta
Streptococcus sp. di Sulawesi (DKP, 2004).
Termasuk dalam golongan bakteri gram positif adalah Streptoccocus sp.,
Yersinia ruckeri, Nocardia sp., Renibacterium salmoninarum, Mycobacterium sp.,
dan Aerococcus viridans.
Streptoccocus sp. berbentuk bulat atau oval, memanjang seperti rantai,
bersifat gram positif, tidak bergerak, tidak membentuk spora atau kapsul dan
bersifat fakultatif aerob. Diameter bakteri berukuran 0,7-1,4 µm. Bakteri ini dapat
hidup di air tawar dan air laut dengan kisaran suhu bagi pertumbuhannya antara
10-45oC (DKP, 2004).
Yersinia ruckeri berbentuk batang, dengan ukuran 0,5-0,8 x 1,3 µm, bersifat
gram positif, tidak membentuk spora atau kapsul, bergerak dengan flagella
peritrichous pada suhu di bawah 30oC, sedangkan pada suhu 37oC tidak
membentuk flagella. Bakteri ini dapat dijumpai di air dengan suhu optimal
pertumbuhannya 22-25oC (DKP, 2004).
Nocardia sp. adalah bakteri yang bentuknya bervariasi yaitu bulat, oval dan
batang berfilamen, dengan ukuran diameter 0,5-1,2 µm, bersifat gram positif,
bergerak, tidak membentuk kapsul dan bersifat aerob. Bakteri ini tersebar di alam
termasuk di air dan tanah. Suhu optimal bagi pertumbuhan Nocardia asteroides
antara 28-35oC, sedangkan N. kampachi tidak tumbuh pada suhu 10oC atau 37oC
(DKP, 2004).
Renibacterium salmoninarum yang dikenal sebagai penyebab "kidney
disease" adalah bakteri yang berbentuk batang pendek dengan ukuran 0.3-1.5 x 0.
1-1.0 µm, bersifat gram positif, tidak bergerak, tanpa kapsul, sering terdapat
berpasangan dan bersifat aerob. Bakteri ini dapat dijumpai di lingkungan air tawar
maupun air laut dengan suhu optimal pertumbuhannya antara 15-18oC, sedangkan
pada suhu 25oC perturnbuhannya akan terhambat (DKP, 2004).
30

Mycobacterium sp. yang dikenal sebagai penyebab penyakit " tuberkulosis


ikan" (Fish TB), adalah bakteri yang berbentuk batang, dengan ukuran 0.2-0.6 x
1.0-10 µm, bersifat gram positif lemah, tidak bergerak, tidak membentuk spora
atau kapsul dan bersifat aerob. Bakteri ini banyak dijumpai di perairan tawar dan
laut maupun tanah dengan suhu optimal pertumbuhannya 25-30oC. Tidak dapat
tumbuh pada suhu 37oC kecuali M. marinum, M. fortuitum dan M. chelonei (DKP,
2004).
Aerococcus viridans (var.) homari adalah bakteri yang berbentuk bulat, ada
yang berpasangan atau seperti rantai, bersifat gram positif, tidak bergerak dan
tidak membentuk spora. Bakteri ini dapat ditemukan di air tawar atau juga air laut
(DKP, 2004).
Termasuk dalam golongan bakteri gram negatif adalah Aeromonas
salmonicida, Edwardsiella tarda dan E. Ictaluri, serta Pasteurella piscicida.
Aeromonas salmonicida adalah bakteri yang berbentuk batang pendek
dengan ukuran 1.3-2.0 x 0.8-1.3 µm, bersifat gram negatif, tidak bergerak, tidak
membentuk spora maupun kapsul, dan bersifat aerob. Bakteri ini tidak dapat hidup
lama tanpa inangnya dan suhu optimal bagi pertumbuhannya antara 22-28oC,
sedangkan pada suhu 35oC pertumbuhannya terhambat. Dapat dijumpai di
lingkungan air tawar maupun air laut dan dikenal sebagai penyebab penyakit
"furunculosis" (DKP, 2004).
Edwardsiella tarda dan E. Ictaluri berbentuk batang bengkok, dengan
ukuran 1 x 2-3 µm, bersifat gram negatif bergerak dengan bantuan flagella, tidak
membentuk spora atau kapsul dan bersifat fakultatif anaerob. Bakteri ini dapat
dijumpai di lingkungan air tawar dan air laut, dengan suhu optimal bagi
pertumbuhannya sekitar 35oC, sedangkan pada suhu di bawah 10oC atau di atas
45oC tidak dapat tumbuh (DKP, 2004).
Pasteurella piscicida berbentuk batang pendek, berukuran 0.6-1.2 x 0.8-2.6
µm, bersifat gram negatif, tidak bergerak, tidak membuat kapsul maupun spora
dan bersifat fakultatif anaerob. Bakteri ini dapat hidup di lingkungan air laut
dengan kisaran suhu untuk pertumbuhannya 10-39oC. Umumnya yang diisolasi
dari ikan dapat tumbuh baik pada suhu 25oC (DKP, 2004).
31

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Pewarnaan Gram atau metode Gram adalah suatu metode empiris untuk
membedakan spesies bakteri menjadi dua kelompok besar, gram-positif dan gram-
negatif, berdasarkan sifat kimia dan fisik dinding sel mereka. Olesan bakteri
terfiksasi yang ditetesi dengan larutan ungu kristal (Gram A), iodium (Gram B),
alkohol (Gram C) dan safranin (Gram D) secara berurutan, di mana setiap larutan
yang diteteskan pada olesan bakteri memiliki fungsi dan peran masing-masing
terutama dalam pengidentifikasian bakteri gram positif ataupun gram negatif.
Setiap langkah yang dilakukan pada pewarnaan gram penting untuk dicermati dan
dipahami agar diperoleh hasil pewarnaan yang tepat.
Hasil pengamatan pada praktikum ini menunjukkan bahwa bakteri A
berbentuk batang, gram (+) dengan penataan diplobasilus; bakteri B berbentuk
batang, gram (+) dengan penataan monobasilus; bakteri C berbentuk batang koma
(vibrio), gram (-) dengan penataan lapisan pagar; bakteri D berbentuk batang,
gram (+) dengan penataan streptobasilus; bakteri E merupakan campuran antara
bakteri berbentuk batang dan bulat, keduanya gram (+) dengan penataan
monobasilus dan staphylococcus; bakteri H merupakan campuran antara bakteri
berbentuk batang dan bulat, keduanya gram (+) dengan penataan monobasilus dan
staphylococcus; bakteri I merupakan campuran antara bakteri berbentuk batang
gram (+) dan bulat gram (-), dengan penataan monobasilus dan monococcus.

4.2. Saran
Sebaiknya jenis bakteri diketahui dahulu sebelum pengamatan dilakukan,
sehingga pelaksanaan prosedur dapat dievaluasi berdasarkan hasil yang diperoleh.
32

DAFTAR PUSTAKA

Pelczar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume 1.


Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI-
Press. Terjemahan dari: Elements of Microbiology.

Wikipedia. 2008. Pewarnaan Gram. www.wikipedia.org. [25 Maret 2008].

DKP. 2004. Penyakit Ikan Karantina Golongan Bakteri. www. Dkp.go.id. [1 April
2008].
33

Praktikum ke-4 Tanggal : 10 Oktober 2012


m.k. Mikrobiologi Akuakultur Kelompok : XI
Asisten : Rahman
Adni Zein
Dewi Nurhayati
Firsty Rahmatia
Titi Nur Cahyati
Dendi Hidayatullah
Wahyu Afrilasari
Nurlita Christyaningsih

KARAKTERISASI SIFAT BIOKIMIA


DAN FISIOLOGI BAKTERI

Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151

MAYOR ILMU AKUAKULTUR


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
34

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Mikroorganisme bertahan agar tetap hidup melalui penyesuaian diri terhadap
lingkungannya demi kelanjutan generasinya. Untuk itu, mikroorganisme mampu
merombak dan menggunakan bahan-bahan kimia (dalam bentuk larutan) yang ada
di lingkungannya sebagai sumber energi dan zat pembangun.
Semua kegiatan metabolisme mikroorganisme dilakukan oleh enzim, yaitu
biokatalisator yang dapat mempercepat reaksi kimia sel. Proses metabolisme akan
melibatkan tidak hanya satu jenis enzim, akan tetapi banyak enzim yang terkait
yang masing-masing bekerja dengan cepat agar reaksi kimia yang bersifat
komplek dapat berjalan. Kerja enzim bersifat spesifik yang berarti satu jenis
enzim hanya akan bekerja pada satu jenis senyawa.
Hasil akhir dari proses enzimatis dan berkurangnya bahan atau zat di dalam
media dapat dideteksi dan diukur. Seperti halnya kerja enzim yang spesifik, setiap
jenis mikroorganisme mempunyai kemampuan beradaptasi yang berbeda-beda.
Proses enzimatis pada berbagai jenis mikroorganisme berbeda-beda. Perbedaan ini
dapat diketahui dengan uji sifat biokimia mikroorganisme, sehingga hasil dari uji
ini dapat digunakan untuk identifikasi mikroorganisme baik genus ataupun
spesiesnya.

1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan mempelajari prosedur karakterisasi fisioligi dan
biokimia bakteri.
35

II. METODOLOGI

2.1. Waktu dan Tempat


Praktikum ”Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi Bakteri” ini
dilaksanakan pada hari Rabu 10 Oktober 2012 dan pengamatan dilakukan pada
hari Kamis 11 Oktober 2012, bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan,
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

2.2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah rak tabung reaksi,
tabung reaksi, sumbat kapas, sprayer, bunsen, pipet serologis, gelas arloji, pipet
tetes, lup inokulan, bulb, ice bath, kertas tissue, dan kertas saring. Bahan-bahan
yang digunakan adalah biakan bakteri A dan E, alkohol 70%, alkohol 90%, O/F
media, parafin, media SIM (Sulfida Indol Motility), larutan p-
aminodimethylaniline-oxalat 1%, larutan hidrogen peroksida, dan medium gelatin.

2.3. Prosedur Kerja


Uji yang digunakan untuk karakterisasi sifat biokimia dan fisiologi dalam
praktikum ini adalah uji oksidatif/fermentatif, uji oksidase, uji katalase, uji
motilitas, dan uji gelatin. Sebelum dilakukan masing-masing uji , tangan dan meja
disemprot dengan alkohol 70% terlebih dahulu kemudian dilap dengan tissue.
Sebelum lup inokulasi digunakan, dibakar di atas api bunsen terlebih dahulu
supaya lup steril, setelah dibakar, dicelupkan ke dalam alkohol 90% kemudian
dibakar lagi hingga siap digunakan.
Uji oksidatif/fermentatif dilakukan dengan pengambilan koloni bakteri
menggunakan jarum ose, kemudian diinokulasikan vertikal pada pada 1 set O/F
medium. Salah satu tabung diberi parafin cair 1 ml dan yang satu lagi tidak diberi
parafin. Kedua tabung tersebut diinokulasi selama 24 jam. Hasil pengujian, reaksi
oksidatif bila pada tabung yang tidak diberi parafin berubah menjadi kuning.
Reaksi fermentatif jika tabung yang diberi parafin berubah warna menjadi kuning
atau kedua tabung berubah warna menjadi kuning.
36

Uji oksidase, p-aminodimethylaniline-oxalat 1% diteteskan pada kertas


saring. Kemudian satu ose penuh biakan dari media padat diulaskan pada di atas
tetesan p-aminodimethylalanine-oxalat. Bila koloni berubah warna menjadi merah
berarti tes positif, dan bila berwarna ungu berarti tes negatif.
Uji katalase, sebagian koloni bakterio dari agar miring diambil dan
diletakkan pada gelas objek, dan larutan hydrogen peroksida diberikan pada
koloni tersebut. Reaksi positif ditunjukkan oleh adanya gelembung-gelembung.
Media SIM (Sulfida Indol Motility) digunakan dalam uji motilitas. Cara
melakukan uji, koloni bakteri diambil dengan menggunakan jarum inokulum,
diinhokulasi secara vertikal, dan diinkubasi selama 24 jam. Bakteri motil tumbuh
pada permukaan medium, sedangkan bakteri non motil tumbuh di sepanjang
tusukan.
Uji gelatin, biakan diinokulasikan pada nutrien gelatin tegak dan diinkubasi
pada 37oC selama 1 hari, kemudian dimasukkan dalam ice-bath. Kontrol dan
gelatin yang tidak mengalami hidrolisa akan membeku, sedangkan yang
terhidrolisa akan tetap cair atau menunjukkan reaksi positif.
37

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Hasil dari uji-uji karakterisasi biokimia dan fisiologi bakteri yang telah
dilakukan disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. Hasil uji identifikasi bakteri
Uji Bakteri
Sampel O/F
Gram Genus
Kelompok Katalase Oksidase Non Motilitas
Parafin
Parafin
7 + - Kuning Kuning - + Staphylococcus
Staphylococus,
8 + - Kuning Hijau + + Corynebacterium,
Listeria
9 + + Kuning Hijau - + -
10 + + Kuning Hijau - + -
11 + - Hijau Hijau - + Staphylococus
12 + - Kuning Kuning - + Bacillus

3.2. Pembahasan
Identifikasi bakteri dapat menggunakan cara karakterisasi sifat biokimia dan
morfologi bakteri. Uji-uji yang dilakukan dalam mengkarakterisasi sifat biokimia
dan morfologi bakteri menurut Sharpe (1980 dalam Malaka dan Laga, 2005)
adalah sifat Gram, temperatur pertumbuhan, uji katalase, fermentasi karbohidrat,
toleransi NaCl, uji pasteurisasi, kemampuan tumbuh pada pH basa, kemampuan
tumbuh pada susu yang mengandung biru metilen, toleransi garam empedu,
produksi asam laktat dalam susu, dan uji sensitifitas terhadap antibiotik. Dalam
praktikum ini hanya dilakukan beberapa dari uji-uji tersebut, di antaranya adalah
uji oksidatif/fermentatif, uji motilitas, uji oksidase, uji katalase, dan uji gelatin.
Oksidasi merupakan hilangnya energi elektron dari suatu molekul, selalu
disertai dengan reduksi, yaitu diperolehnya elektron oleh molekul yang lain.
Fermentasi merupakan kegiatan mikroorganisme anaerob dalam menghasilkan
energi yang menggunakan bahan organik sebagai donor dan aklseptor elektron
(Pelczar & Chan, 1986). Uji oksidatif/fermentatif dalam praktikum ini
menggunakan parafin untuk mencegah kontak antara medium dan udara. Dalam
penelitiannya, Purnawati (2008) menggunakan larutan agar-agar 3 % untuk
38

menutup permukaan media. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada praktikum


inii, namun dalam penelitian Purnawati (2008), inkubasi selama 7-14 hari, bila
media pada tabung yang tidak ditetesi parafin berwarna kuning dan media pada
tabung yang ditetesi parafin berwarna hijau maka hasilnya oksidatif (Fahy dan
Persley, 1983 dalam Purnawati, 2008) dan bakteri bersifat aerob (Pelczar dan
Reid, 1974 dalam Purnawati, 2008). Reaksi fermentatif terjadi jika tabung yang
diberi parafin berubah warna menjadi kuning atau kedua tabung berubah warna
menjadi kuning.
Uji katalase menggunakan hidogen peroksida dilakukan untuk mengetahui
ada tidaknya enzim katalase. Katalase adalah enzim yang dapat menguraikan
hidrogen peroksida yang tidak baik bagi tubuh makhluk hidup menjadi air dan
oksigen yang sama sekali tidak berbahaya (Helianti, 2006). Menurut Lay (1994
dalam Misgiyarta & Widowati, 2002) uji katalase menggunakan larutan H2O2 3%,
adanya gelembung udara menunjukkan uji katalase positif.
Uji Oksidase digunakan untuk melihat adanya aktivitas enzim dehidrogenase
pada bakteri. Pengujian ini dikorelasikan dengan adanya sitokrom dalam kadar
yang tinggi, yang dapat dipakai untuk mengenal bakteri tertentu yang termasuk
dalam genus Pseudomonas dan Neisseria. Oksidasi dari p-aminodimetilanilina
menjadi warna merah tua sampai hitam, dapat dipakai sebagai ukuran aktivitas
sitokrom. Bila koloni-koloni segera menjadi berwarna merah tua, menunjukkan
bahwa organisme itu diduga mengandung sitokrom-C. Dalam hal ini perlu
diperhatikan bahwa semua koloni dapat menjadi merah tua dengan reagen
oksidase, bila dibiarkan berada dalam cahaya. Karena itu hasil pengujian harus
segera diperiksa setelah reagen diberikan. Biakan tua tidak dapat memberikan
hasil yang akurat untuk pengujian ini (Sonic-stu, 2008).
Uji motilitas menggunakan media SIM (Sulfida Indol Motility) sehingga
dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan membentuk indol (produk hasil
degradasi protein), ikatan sulfida, dan pergerakan bakteri. Indol dibentuk dari
asam triptofan sebagai hasil aktivitas hidrolisis beberapa spesies bakteri (Sonic-
stu, 2008). Uji motilitas positif jika pertumbuhan koloni menyebar luas pada agar.
(Barrow et al., 1993 dalam Misgiyarta & Widowati, 2002). Pada praktikum ini
39

kedua bakteri menunjukkan uji motilitas positif yang ditandai dengan


terbentuknya koloni bakteri di permukaan medium yang digunakan.
Uji gelatin dilakukan untuk mengetahui aktifitas enzim gelatinase (Susatyo
& Dwi, 2007). Larutan gelatin bersifat cair pada suhu ruang dan padat di dalam
lemari es. Gelatin yang telah dihidrolisa akan tetap cair meskipun berada di dalam
lemari es.
Berdasarkan uji-uji yang telah dilakukan didapatkan sifat biokimia dan
fisiologi dapat dilakukan identifikasi menggunakan tabel Cowan. Hasil
identifikasi didapatkan 4 jenis bakteri dari genus Staphylococcus,
Corynebacterium, Listeria, dan Bacillus.
40

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan uji-uji yang telah dilakukan didapatkan sifat biokimia dan
fisiologi dapat dilakukan identifikasi menggunakan tabel Cowan. Hasil
identifikasi didapatkan 4 jenis bakteri dari genus Staphylococcus,
Corynebacterium, Listeria, dan Bacillus.

4.2. Saran
Sebaiknya jenis bakteri diketahui dahulu sebelum pengamatan dilakukan,
sehingga pelaksanaan prosedur dapat dievaluasi berdasarkan hasil yang diperoleh.
41

DAFTAR PUSTAKA

Feliatra et al. 2004. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Probiotik dari Ikan Kerapu
Macan (Ephinephelus fuscogatus) dalam Upaya Efisiensi Pakan Ikan. Jurnal
Natur Indonesia. 6(2): 75-80 (2004). ISSN 1410-9379.

Helianti, Is. 2006. Katalase Ultrastabil Untuk Penguraian Limbah Bleaching.


http://www.beritaiptek.com. [20 April 2008].

Malaka R, Laga A. 2005. Isolasi dan Identifikasi Lactobacillus bulgaricus Strain


Ropy dari Yoghurt Komersial. Jurnal Sains & Teknologi. Vol. 5 No. 1: 50 –
58.

Misgiyarta & Widowati, S. 2002. Seleksi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat
(BAL) Indigenus. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan
Bioteknologi Tanaman.

Pelczar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume 1.


Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI-
Press. Terjemahan dari: Elements of Microbiology.

Purnawati, Arika. 2008. Ketahanan Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) Varietas


Lokal Ketan dan Adira-4 Hasil Radiasi Terhadap Bakteri Xanthomonas
campestris pv. manihotis Secara In Vitro. images.soemarno.multiply.com. [20
April 2008].

Sonic-stu. 2008. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme Jilid II.


http://www.sonic-stu.com/images/Mikrobiologi.pdf. [20 April 2008]

Wikipedia. 2008. Acitenobacter. http://en.wikipedia.org [22 April 2008]


42

Praktikum ke-5 Tanggal : 17 Oktober 2012


m.k. Mikrobiologi Akuakultur Kelompok : XI
Asisten : Rahman
Adni Zein
Dewi Nurhayati
Firsty Rahmatia
Titi Nur Cahyati
Dendi Hidayatullah
Wahyu Afrilasari
Nurlita Christyaningsih

MORFOLOGI FUNGI

Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151

MAYOR ILMU AKUAKULTUR


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
43

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Fungi dapat dibiakkan pada media buatan dengan formulasi nutrien tertentu
sesuai dengan formulasi nutrien tertentu sesuai dengan sifat fisiologinya. Bentuk
dan ciri pertumbuhan masing-masing jenis fungi berbeda satu sama lain. Bentuk
dan ciri-ciri morfologis, terutama struktur-struktur yang berkaitan dengan
reproduksi, yaitu spora aseksual dan seksual serta tubuh-tubuh buahnya.
Pengamatan terhadap morfologi fungi sangat diperlukan dalam proses
pengidentifikasian berbagai jenis fungi sehingga bisa diklasifikasikan.

1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengamati morfologi fungi.
44

II. METODOLOGI

2.1. Waktu dan Tempat


Praktikum ”Morfologi Fungi” ini dilaksanakan pada hari Rabu 17 Oktober
2012, bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

2.2. Alat dan Badan


Alat-alat yang digunakan adalah gelas objek, gelas penutup, cawan petri,
tabung reaksi, sprayer, bunsen, pipet tetes, jarum inokulasi, dan mikroskop.
Bahan-bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, akuades steril, metilen blue,
serta biakan murni fungi dari larva ikan dan tempe.

2.3. Prosedur Kerja


Gelas objek dan gelas penutup dibersihkan dengan alkohol. Akuades steril
diteteskan pada bagian tengah gelas objek. Fungi yang akan diperiksa diletakkan
dengan lup inokulasi kemudian ditutup dengan gelas penutup. Kelebihan air yang
keluar dari gelas penutup dihisap dengan kertas penghisap agar mikroskop tidak
basah. Koloni fungi diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali.
Untuk melihat morfologi konidia atau spora, digunakan perbesaran 1000 kali.
Tingkat mortalitas pada Saccharomyces dan yeast diamati dengan
penambahan metilen blue pada gelas objek menggantikan akuades steril pada
prosedur sebelumnya. Rumus mortalitas adalah:
rata  rataA
%Mati  X 100%
rata  rataA  rata  rataB

Kultur dan uji biokimia khamir, jarum ose dibakar diatas api bunsen
sampai membara. Setelah membara, jarum ose didinginkan dibagian pinggir
microtube yang berisi larutan isolat khamir, kemudian ujung jarum ose
dimasukkan ke dalam isolat khamir dan digoreskan pada media GYA lalu
diinkubasi selama 24 jam. Setelah 24 jam diinkubasi, khamir yang telah tumbuh
pada media GYA kemudian dipindahkan secara aseptis ke masing-masing tabung
45

yang berisi larutan gula sederhana, diinkubasi lagi selama 24 jam kemudian
diamati perubahan warna larutan gula.
46

III. PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Hasil dari pengamatan yang telah dilakukan disajikan dalam tabel-tabel
di bawah ini.
Tabel 1. Jumlah persentase khamir yang mati dan hidup pada biakan murni.
Jenis Rataan Sel Rataan Sel Persentase Persentase Sel
Kel.
Sampel Mati (A) Hidup (B) Sel Mati (%) hidup (%)
7 A 39 183 17,57 82,47

8 A 5,67 19,67 21,02 80,98

9 A 4,67 18,67 20,02 79,98

10 A 7,67 21,67 26,14 73,86

11 A 4 24 15 85

12 A 4,67 18,67 20,02 79,98

Tabel 2. Hasil uji khamir pada berbagai media gula


Set I Set II Set III Set IV Set V
No Uji Gula
Gula Gas Gula Gas Gula Gula Gas Gula Gula Gas
1. Maltosa + + + + + + + - + +
2. Dekstrosa + + + + + + + - + +
3. Laktosa - - - - - - - - - -
4. Galaktosa + + + + + + + - + +
5. Sukrosa + + + + + + + + + +
6. Rafinosa + + + + + + + + + +
7. Trehalosa - - - + - - - - - -

3.2. Pembahasan
Fungi atau cendawan adalah organisme heterotrofik yang memerlukan
senyawa organik untuk nutrisinya. Cendawan dapat lebih bertahan dalam keadaan
alam sekitar yang tidak menguntungkan dibanding dengan jasad-jasad renik
lainnya. Cendawan mampu memanfaatkan berbagai macam bahan untuk gizinya.
Sekalipun demikian, cendawan adalah heterotrof (Pelczar & Chan, 1986).
47

Klasifikasi cendawan terutama didasarkan pada ciri spora seksual dan tubuh
yang ada selama tahap-tahap seksual dalam daur hidupnya. Namun jika tingkat
seksual cendawan tidak diketahui maka klasifikasinya harus menggunakan ciri-
ciri lain diluar tingkat seksual. Ciri-ciri itu mencakup morfologi spora aseksual
dan miseliumnya. Oleh karena itu berdasarkan pada ciri dan morfologi
reproduksinya terdapat empat kelas cendawan sejati atau berfilamen di dalam
dunia fungi, yaitu Phycomycetes, Ascomycetes, Basidiomycetes, dan
Deuteromycetes (Pelczar & Chan, 1986).
Khamir dan kapang adalah cendawan yang diamati dalam praktikum ini.
Khamir termasuk dalam kelas Ascomycetes, sedangkan kapang termasuk ke
dalam kelas Deuteromycetes. Perbedaan antara keduanya terletak pada tingkat
seksualnya. Khamir sudah diketahui tingkat seksualnya sehingga disebut
cendawan perfek/sempurna, sedangkan kapang belum diketahui tingkat
seksualnya sehingga disebut cendawan imperfek. Selama belum diketahui tingkat
seksualnya cendawan digolongkan pada kelas Deuteromycetes (Pelczar & Chan,
1986).
Banyak khamir tergolong kelas Ascomycetes karena membentuk askospora.
Pola sederhana pembentukan askospora tampak pada daur hidup khamir yang
umum, yaitu Schizosaccharomyces. Secara aseksual, genus khamir ini melalui
pembelahan biner melintang. Khamir lain dalam kelas ini, seperti khamir dari
Saccharomyces cerevisiae (digunakan untuk membuat roti, anggur dan bir),
memperbanyak diri secara aseksual dengan bertunas (Pelczar & Chan, 1986).
Bentuk sel Saccharomyces yang diamati adalah bulat, elips sedangkan yeast yang
diamati berbentuk bulat.

Gambar 1. Saccharomyces sp. hasil pengamatan yang diwarnai dengan metilen


blue. Tanda panah menunjuk tunas.
48

Gambar 2. Saccharomyces cerevisiae, tanda panah menunjuk tunas (Wikipedia,


2008)

Hasil pengamatan mortalitas khamir menunjukkan bahwa tingkat kematian


khamir yang diberi metilen blue berkisar antara 15% sampai 26,14%. Khamir
yang mati berwarna biru sedangkan khamir yang hidup berwarna bening (gambar
4).

Gambar 4. Khamir yang diberi MB, tanda panah menunjuk khamir hidup.
Kapang lendir merupakan sekumpulan mikroorganisme yang heterogen,
memiliki ciri-ciri hewan dan tumbuhan. Fase vegetatif atau somatik yang aselular
dan merayap jelas mempunyai struktur dan fisiolog seperti binatang, struktur
reproduksinya seperti tumbuhan, yaitu menghasilkan spora yang terbungkus
dinding yang nyata. Gabungan fase seperti binatang dan tumbuhan dalam satu
daur hidup merupakan ciri pembeda kapang lendir (Pelczar & Chan, 1986).

Gambar 5. Pengamatan jamur tempe Rhizopus sp. di bawah mikroskop


49

Tubuh atau talus suatu kapang pada dasarnya terdiri dari dua bagian yaitu
miselium dan spora (sel resisten, istirahat atau dorman). Miselium merupakan
kumpulan beberapa filamen yang dinamakan hifa. Setiap hifa lebarnya 5-10 µm,
dibanding sel bakteri yang biasanya berdiameter 1 um. Ada tiga macam morfologi
hifa, yaitu aseptat (tidak mempunyai dinding sekat atau septum), septat dengan
sel-sel uninukleat, dan septat dengan sel-sel multi nukleat (Pelczar & Chan, 1986).
Hasil pengamatan pada kapang menunjukkan bahwa kapang yang diamati
memiliki tipe morfologi hifa aseptat.

Gambar 6. Tiga tipe hifa: A. Aseptat, B. Septat uninukleat, C. Septat multinukleat


(Pelczar & Chan, 1986).
Beberapa cendawan hidup pada tubuh ikan. Salah satunya menjadi penyebab
penyakit saprolegniasis pada ikan. Penyakit ini merupakan penyakit jamur pada
ikan atau telur ikan yang disebabkan antara lain oleh jamur Achlya sp. dan
Saprolegnia sp. (Gambar 5.). Pada umumnya jamur merupakan infeksi kedua
pada ikan setelah penyakit primer yang menginfeksi berupa penyakit bacterial dan
parasiter, selain itu infeksi jamur bisa juga terjadi pada ikan yang luka (stress
fisik) karena penanganan kasar atau pengaruh kualitas air dan telur yang tidak
dibuahi. Tanda penyakit yang terserang adalah pada permukaan tubuh ikan
dipenuhi dengan pertumbuhan benang-benang putih seperti kapas putih atau
coklat yang tumbuh pada kulit, sirip, insang mata dan telur ikan. Jamur akan
tumbuh menempel pada jaringan otot dibawah kulit. Pengendalian jamur pada
telur dapat dilakukan dengan membuang telur yang tidak dibuahi, atau telur dapat
direndam menggunakan methilene blue 1 ppm (Sucipto, 2008).
50

Gambar 7. Jamur Achlya sp. dan Saprolegnia sp. (Sucipto, 2008).


Penyakit lain pada yang disebabkan oleh fungi adalah Ichthyosporidosis.
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Ichthyos poridium sp (Ichthyophonus sp).
Jamur ini berkembang mengikis jaringan luar bagian kepala dan menyebabkan
luka yan dalam yang berwarna kemerah-merahan dan dapat masuk ke dalam
sampai ke bagian tengkorak kepala ikan. Kadang-kadang juga ditemukan di
bawah kulit dan jaringan epitel kulit dari jaringan organ yang penting misalnya
insang, usus, hati dan jantung dalam bentuk gumpalan granula. Biasanya terdapat
pada ikan kerapu dan berkembang lambat karena penyakit ini terutama teramati
pada ikan-ikan atau ukuran pasar. Sampai saat ini belum ada pengobatan yang
manjur terhadap penyakit ini. Beberapa jenis antibiotik yang biasa terdapat di
pasaran kurang mempan menghadapi penyakit ini. Untuk itu dapat dihindari
dengan jalan menjaga makanan dari ikan rucah yang diberikan agar bersih dan
tidak ada gumpalan-gumpalan penyakit di bagian kulitnya atau di bagian lain
(Tarwiyah, 2001).
Reaksi yang dihasilkan oleh khamir terhadap tujuh jenis gula yang
diujikan, pada gula jenis laktosa dan trehalosa terjadi reaksi negatif (warna tetap
ungu), sedang pada maltose, dekstrosa, galaktosa, sukrosa, dan rafinosa terjadi
reaksi oksidatif positif (warna berubah menjadi kuning).
51

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Bentuk sel Saccharomyces yang diamati adalah bulat, elips sedangkan yeast
yang diamati berbentuk bulat. Hasil pengamatan mortalitas khamir menunjukkan
bahwa tingkat kematian khamir yang diberi metilen blue berkisar antara 15%
sampai 26,14%. Khamir yang mati berwarna biru sedangkan khamir yang hidup
berwarna bening. Kapang yang diamati memiliki tipe morfologi hifa aseptat.
Reaksi yang dihasilkan oleh khamir terhadap tujuh jenis gula yang diujikan, pada
gula jenis laktosa dan trehalosa terjadi reaksi negatif (warna tetap ungu), sedang
pada maltose, dekstrosa, galaktosa, sukrosa, dan rafinosa terjadi reaksi oksidatif
positif (warna berubah menjadi kuning).

4.2. Saran
Keterampilan dalam penggunaan mikroskop perlu ditingkatkan agar
praktikum berjalan lancar.
52

DAFTAR PUSTAKA

Pelczar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume 1.


Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI-
Press. Terjemahan dari: Elements of Microbiology.

Sucipto, Adi. 2008. Penyakit pada Ikan. http://www.naksara.net [29 April 2008].

Tarwiyah. 2001. Pedoman Teknis Penanggulangan Penyakit Ikan Budidaya Laut.


http://www.ristek.go.id [29 April 2008]

Wikipedia. 2008. Fungi. http://en.wikipedia.org [29 April 2008].


53

Praktikum ke-6 Tanggal : 31 Oktober 2012


m.k. Mikrobiologi Akuakultur Kelompok : XI
Asisten : Rahman
Adni Zein
Dewi Nurhayati
Firsty Rahmatia
Titi Nur Cahyati
Dendi Hidayatullah
Wahyu Afrilasari
Nurlita Christyaningsih

PERHITUNGAN BAKTERI DENGAN METODE HITUNGAN


CAWAN

Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151

MAYOR ILMU AKUAKULTUR


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
54

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pengukuran kuantitatif populasi mikroba dalam suatu sampel dilakukan
untuk mengetahui kualitas bahan dan tujuan lain berdasarkan jumlah mikroba
yang ada dalam sampel tersebut. Ada berbagai cara untuk mengukur jumlah sel,
antara lain dengan hitungan mikroskopis langsung (direct microscopis count), dan
hitungan tidak langsung (indirect count) dengan hitungan cawan, baik dengan
metode penyebaran maupun metode penuangan. Keterampilan dalam
penghitungan jumlah bakteri sangat untuk menghitung jumlah bakteri dalam suatu
ukuran tertentu. Pengetahuan jumlah bakteri dapat memberikan informasi keadaan
habitat asal bakteri tersebut.

1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari cara melakukan pengenceran
serial dan menentukan jumlah bakteri dalam suatu dengan metode hitungan
cawan.
55

II. METODOLOGI

2.1. Waktu dan Tempat


Praktikum ”Penghitungan Bakteri dengan Metode Hitungan Cawan” ini
dilaksanakan pada hari Rabu 24 Oktober 2012 dan pengamatan pada hari Kamis
25 Oktober 2012 bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

2.2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan adalah tabung reaksi, sumbat kapas, cawan petri,
tabung reaksi, sprayer, bunsen, korek api, pipet 1 ml, rak tabung reaksi, dan
batang penyebar. Bahan-bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, suspensi
bakteri Pseudo alteromonas, media SWC cair dengan suhu 50oC, dan larutan
fisiologis (0,85%).

2.3. Prosedur Kerja


Tabung-tabung berisi garam fisiologis disiapkan dan disusun berderet.
Sampel suspensi bakteri dikocok baik-baik sampai kekeruhannya rata.
Pengenceran serial sampel suspensi bakteri dilakukan seperti pada gambar 1.
Satu ml suspensi bakteri diambil secara aseptik lalu dimasukkan ke tabung
sebanyak 9 ml pertama (10-1), dikocok atau divortex agar homogen, lalu secara
aseptik 1 ml sampel dari tabung pengencer pertama dipipet dan dimasukkan ke
dalam tabung pengencer kedua (10-2), dan seterusnya untuk tabung-tabung
pengencer selanjutnya.
Tiga cawan petri steril dan 3 cawan petri berisi media SWC disiapkan dan
diberi kode sesuai dengan kode tabung pengencer yang akan dituang atau disebar.
Sampel dari tabung pengencer 5, 4, dan 3 dipipet sebanyak 0,1 ml lalu masing-
masing disebar dalm media SWC menggunakan batang penyebar. Sampel dari
tabung pengencer 5, 4, dan 3 dipipet sekali lagi sebanyak 0,1 ml lalu dituangkan
ke dalam cawan petri steril, kemudian ditambahkan media SWC cair dan
selanjutnya digoyangkan secara perlahan-lahan dengan menggeser-geserkan
cawan petri tersebut membentuk alur angka delapan pada meja praktikum. Agar
56

dalam cawan cawan petri ini dibiarkan menjadi padat. Setelah itu diletakkan
dalam posisi terbalik untuk diinkubasikan pada suhu kamar selama 24 jam.
Jumlah koloni dihitung (30-300) dan dikalikan dengan faktor pengencernya.

Gambar 1. Contoh penghitungan bakteri dengan metode hitungan cawan


57

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Hasil dari penghitungan bakteri dengan metode hitungan cawan dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil penghitungan bakteri dengan metode hitungan cawan.
Jumlah Koloni
Kelompok Metode
10-4 10-5 10-6
7 Tuang TBUD 40 83
Sebar TBUD TBUD 292
8 Tuang TBUD 126 27
Sebar Kontaminan TBUD 262
9 Tuang TBUD TBUD 178
Sebar 78 TBUD TBUD
10 Tuang TBUD 70 53
Sebar TBUD TBUD 73
11 Tuang TBUD 1,95 x 10-8 2,8 x 10-8
Sebar TBUD 2,63 x 10-8 8,3 x 10-8
12 Tuang 49 - 72
Sebar 48 124 80

Keterangan:
TBUD : Terlalu Banyak Untuk Dihitung

3.2. Pembahasan
Bakteri terdapat berkoloni di berbagai tempat. Dalam satu koloni bakteri
terdapat sangat banyak sel bakteri. Untuk mengetahui jumlah bakteri pada suatu
bahan maka dapat dilakukan penghitungan jumlah bakteri. Metode yang dapat
digunakan untuk menentukan jumlah mikrobe di dalam bahan pangan terdiri
terdiri metode hitungan cawan, Most Probable Number (MPN), dan metode
hitungan mikroskopis langsung, serta metode turbidimetri (Hadioetomo, 1990).
Dalam praktikum ini digunakan metode hitungan cawan.
Prosedur yang paling menentukan dalam metode hitungan cawan tuang
adalah pengenceran. Suatu bahan yang diperkirakan mengandung lebih dari 300
sel mikroba per ml, per gram, atau per cm2 memerlukan perlakuan pengenceran
sebelum ditumbuhkan pada medium agar di dalam cawan petri, sehingga setelah
diinkubasi akan terbentuk koloni dalam cawan tersebut dalam jumlah yang dapat
58

dihitung, di mana jumlah yang terbaik adalah 30-300 koloni. Larutan yang
digunakan untuk pengenceran dapat berupa larutan buffer fosfat, larutan garam
fisiologi 0,85%, atau larutan Ringer (Hadioetomo, 1990). Larutan fisiologi yang
digunakan dalam pengenceran pada praktikum ini adalah larutan garam fisiologi
0,85%.
Hadioetomo (1990) menyatakan bahwa metode hitungan cawan dapat
dibedakan atas metode tuang (pour plate) dan metode permukaan (surface/spread
plate). Kedua metode tersebut dilakukan dalam praktikum ini, namun istilah yang
digunakan berbeda yaitu metode cawan tuang dan cawan sebar.
Menurut Hadioetomo (1990) prinsip dari metode hitungan cawan adalah jika
sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar maka sel mikroba
tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat
langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop. Metode hitungan cawan
merupakan cara yang paling sensitif untuk menentukan jumlah mikroba karena
hanya sel yang masih hidup yang dihitung, beberapa jenis mikroba dapat dihitung
sekaligus, dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba karena koloni
yang terbentuk mungkin berasal dari satu sel mikroba dengan penampakan
pertumbuhan yang spesifik.
Hasil praktikum dari masing-masing kelompok menunjukkan hasil yang
bervariasi. Hampir semua kelompok mendapatkan hasil TBUD (Terlalu Banyak
Untuk Dihitung). Metode hitungan cawan dapat dikatakan berhasil jika jumlah
koloni bakteri yang diperoleh semakin kecil pada akhir pengenceran. Hal ini dapat
terjadi akibat kesalahan prosedur pengenceran atau kerja yang tidak aseptik.
Prosedur pengenceran yang tidak tepat akan mengakibatkan bakteri yang
diencerkan tidak tersebar merata, sehingga ketika pengenceran dilanjutkan bakteri
yang terencerkan semakin sedikit. Akhirnya bakteri yang terhitung pada cawan
tuang ataupun cawan gores menjadi kurang dari 30 koloni.
Kerja yang tidak aseptik akan menyebabkan terjadi kontaminan yang dapat
berkembang menjadi koloni pada media cawan tuang maupun sebar. Akibatnya
kontaminan tersebut akan terhitung, sehingga koloni bakteri dalam satu cawan
petri menjadi lebih dari 300 koloni. Sesuai dengan Hadioetomo (1990), bahwa
beberapa jenis mikroba dapat dihitung sekaligus pada metode hitungan cawan.
59

Metode hitungan cawan memiliki kelemahan-kelemahan antara lain, hasil


perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel mikroba yang sebenarnya karena
beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk satu koloni, medium dan
kondisi berbeda mungkin menghasilkan nilai yang berbeda, mikroba yang
ditumbuhkan harus dapat tumbuh pada medium padat dan membentuk koloni
yang jelas dan kompak serta tidak menyebar, memerlukan persiapan dan waktu
inkubasi yang lama sehingga pertumbuhan koloni dapat dihitung (Hadioetomo,
1990).
Jumlah koloni pada pengenceran 10-4, 10-5, dan 10-6 seharusnya cenderung
semakin sedikit. Hal ini sesuai dengan tujuan pengenceran, yaitu agar pada saat
ditumbuhkan dalam cawan petri, koloni yang terbentuk jumlahnya dapat dihitung.
Jumlah koloni yang lebih banyak pada pengenceran yang lebih besar
mengindikasikan kesalahan prosedur baik dalam pengenceran maupun kerja yang
aseptik. Menurut Hadioetomo (1990) ketelitian akan lebih tinggi jika digunakan
dua cawan petri untuk setiap pengenceran.
Bakteri yang dipakai pada praktikum ini adalah Pseudoalteromonas sp..
Pseudoalteromonas sp. merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang
atau basilus. Habitat umumnya berada di perairan laut, terutama pada karang koral
atau spons. Bakteri ini dapat mencegah biofouling, yaitu rusaknya karang akibat
organisme yang menempel pada suatu karang melebihi daya tampung karang dan
bermanfaat sebagai elemen daur ulang, detoxifikasi, dan sebagai bahan produksi
apabila membentuk biofilm (Answer, 2007).
Berikut ini taksonomi dari bakteri Pseudoalteromonas sp.
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Ordo : Alteromonadales
Famili : Alteromonadaceae
Genus : Pseudoalteromonas
Species : Pseudoalteromonassp.
(Answer, 2007)
60

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Hasil praktikum dari masing-masing kelompok menunjukkan hasil yang
bervariasi. Hampir semua kelompok mendapatkan hasil TBUD (Terlalu Banyak
Untuk Dihitung). Metode hitungan cawan dapat dikatakan berhasil jika jumlah
koloni bakteri yang diperoleh semakin kecil pada akhir pengenceran. Hal ini dapat
terjadi akibat kesalahan prosedur pengenceran atau kerja yang tidak aseptik.

4.2. Saran
Sebagian besar praktikan masih belum dapat bekerja secara aseptik dan
sesuai prosedur yang benar, oleh karena itu diharapkan untuk praktikum
selanjutnya agar praktikan lebih siap dan hati-hati dalam melakukan prosedur
kerja.
61

DAFTAR PUSTAKA

Answer. 2007. Pseudoalteromonas. http://answer.com/topic/pseudoalteromonas.

Ayuzar, Eva. 2008. Mekanisme Penghambatan Bakteri Probiotik Terhadap


Pertumbuhan Vibrio harveyi pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon)
[Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut pertanian Bogor.

Hadioetomo, Ratna. 1990. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Meha, Deliana. 2003. Patogenesitas Vibrio harveyi dengan Penanda Resistan


Rifampisin (Rf-R) dan Green Fluorescent Protein (GFP) pada Larva Udang
Windu (Penaeus monodon Fab.) [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Rajab, Fahmi. 2006. Isolasi dan Seleksi Bakteri Probiotik dari Lingkungan
Tambak dan Hatchery Untuk Pengendalian Penyakit Vibriosis pada Larva
Udang Windu (Penaeus monodon) [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
62

Praktikum ke-7 Tanggal : 7 November 2012


m.k. Mikrobiologi Akuakultur Kelompok : XI
Asisten : Rahman
Adni Zein
Dewi Nurhayati
Firsty Rahmatia
Titi Nur Cahyati
Dendi Hidayatullah
Wahyu Afrilasari
Nurlita Christyaningsih

PENANDA ANTIBIOTIK RESISTEN

Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151

MAYOR ILMU AKUAKULTUR


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
63

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Penelitian terhadap keberadaan dan aktivitas suatu bakteri pada habitat
(lingkungan) hidupnya memerlukan metode khusus. Metode yang digunakan
harus dapat mengetahui secara pasti dan spesifik mengenai aktivitasdan
keberadaannya. Oleh karena itu diperlukan suatu penanda yang dapat
membedakan antara bakteri target dan bakteri lain sehingga keberadaan dan
aktivitasnya dapat diamati dengan akurat. Salah satu cara untuk memonitor dan
mengetahui suatu bakteri target adalah dengan menggunakan penanda antibiotik
resisten.
Uji penanda resisten antibiotik terdiri dari uji sensitifitas untuk mengetahui
apakah bakteri tersebut resisten atau sensitif dengan antibiotik tertentu dan uji
mutasi spontan untuk mengetahui jumlah bakteri yang telah bermutasi menjadi
resisten antibiotik tertentu.

1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah mengetahui isolat bakteri yang
digunakan resisten atau sensitif terhadap antibiotik rifampisin dan mempelajari
metode rekayasa mutasi spontan pada isolat bakteri yang digunakan sehingga
menjadi resisten terhadap antibiotik rifampisin.
64

II. METODOLOGI
2.1. Waktu dan Tempat
Praktikum dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 7 November 2012,
bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

2.2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah cawan petri, batang
penyebar, inkubator, pinset, mikropipet, bunsen, korek api, tabung eppendorf,
dan tissue. Bahan-bahan yang digunakan adalah 3 isolat bakteri untuk uji
sensitifitas, uji mutasi spontan dan kontrol, media SWC dalam cawan petri, media
SWC bercampur antibiotik rifampisin dalam cawan petri, larutan fisiologis.

2.3. Prosedur Kerja


Uji sensitifitas antibiotik, media SWC bercampur antibiotik rifampisin
dibagi menjadi 4 bagian. Masing-masing bagian digores dengan isolat bakteri
yang berbeda. Selanjutnya diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam dan diamati
apakah ada koloni yang tumbuh atau tidak.
Uji mutasi spontan, isolat bakteri sebanyak 1 ml disentrifus dan
supernatannya dibuang, kemudian dipekatkan dengan 10 ml larutan fisiologis.
Selanjutnya, suspensi bakteri disebar pada media SWC bercampur antibiotik
rifampisin, diinkubasi selama 24 jam dalam inkubator dan dihitung jumlah koloni.
65

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Hasil pengamatan praktikum pembuatan penanda resisten antibiotik dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Pengamatan penanda resisten antibiotik.

Kelompok Media Hasil


Sensitivitas rifampisin Sensitif
7
Mutasi spontan -
Sensitivitas rifampisin Sensitif
8
Mutasi spontan -
Uji sensitivitas Sensitif ( tidak tumbuh)
10 Mutasi spontan Tidak mutasi
Kontrol 108
Uji sensitivitas Sensitif ( tidak tumbuh)
11 Mutasi spontan Tidak mutasi
Kontrol 108
Uji sensitivitas tidak ada
12 Mutasi spontan jumlah koloni  7
Kontrol jumlah koloni  TBUD

3.2. Pembahasan
Pengujian keberadaan, sifat, dan aktivitas suatu bakteri pada habitat dan
lingkungan hidupnya membutuhkan suatu metode khusus yang dapat mendeteksi
kehadiran bakteri tersebut yang berasal dari isolate yang diujikan. Widanarni et al.
(2004) menggunakan bakteri Vibrio harveyi berpenanda resisten antibiotik
rifampisin untuk menguji sifat patogenisitasnya pada larva udang windu. Penanda
resistensi terhadap antibiotik rifampisin (Rf) merupakan suatu pilihan karena
bakteri asal laut pada umumnya sensitif terhadap rifampisin (Tjahjadi et al., 1994
dalam Widanarni et al., 2008).
Bakteri Pseudoalteromonas sp. habitatnya berada di laut. Selain itu mutan
resisten rifampisin bersifat stabil pada media tanpa penambahan antibiotik (Hala
66

et al., 2000 in Widanarni et al., 2008) sehingga dapat digunakan uji tantang pada
jangka waktu lama. Melalui penanda tersebut, bakteri uji juga dapat dibedakan
dari bakteri lain yang sebelumnya telah terdapat pada larva udang atau air media
pemeliharaannya.
Hasil uji sensitivitas terhadap antibiotik rifampisin menunjukkan bahwa
semua isolat sensitif terhadap antibiotik tersebut. Tjahjadi et al. (1994) dalam
Widanarni et al. (2004) menyatakan bahwa bakteri yang diisolasi dari air laut dan
lingkungan pembenihan udang sensitif terhadap rifampisin. Rifampisin adalah
antibiotik bakterisidal yang bekerja dengan menghambat sintesis mRNA pada
proses transkripsi. Antibiotik tersebut efektif untuk bakteri gram positif dan
beberapa gram negatif (Widanarni et al. 2004). Antibiotik berdasarkan mekanisme
kerjanya digolongkan menjadi 5 golongan yaitu menghambat sintesis dinding sel,
mengganggu fungsi membran sel, menghambat sintesis protein, menghambat
sintesis asam nukleat, dan berperan sebagai antimetabolit (Purnomo, 2007).
Uji mutasi spontan menunjukkan hasil positif terjadi mutasi pada
kelompok 12 ditandai dengan tumbuhnya koloni pada inokulan bakteri pada
media SWC + rifampisin yang berasal dari isolat yang telah disentrifus.
Tumbuhnya inokulan tersebut menunjukkan bahwa bakteri tersebut berubah dari
sensitif terhadap rifampisin menjadi resisten terhadap rifampisin. Resistensi
didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian
antibiotik secara sistemik pada dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat
minimalnya. Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal
yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau
bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Bakteri
yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih banyak
bahaya (Utami, 2012).
67

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Isolat bakteri yang digunakan sensitif terhadap rifampisin. Rekayasa
mutasi spontan pada isolat bakteri yang digunakan berhasil dilakukan,
ditunjukkan dengan resistensi bakteri terhadap antibiotik rifampisin setelah
dilakukan perlakuan sentrifugasi.

4.2. Saran
Perlu dilakukan uji lanjut melalui karakterisasi fisiologi dan genetik dari
isolate bakteri tersebut, sebelum dan perlakuan untuk membuktikan bahwa benar-
benar terjadi mutasi spontan.
68

DAFTAR PUSTAKA

Widanarni, D. Meha, S. Nuryati, Sukenda, A. Suwanto. 2004. Uji Patogenisitas


Vibrio harveyi pada Larva Udang Windu Menggunakan Resisten
Rifampisin sebagai Penanda Molekuler. Akuakultur Indonesia. 3(3): 23-27
hal.

Widanarni, E. Ayuzar, Sukenda. 2008. Mekanisme Penghambatan Bakteri


Probiotik terhadap Pertumbuhan Vibrio harveyi pada Larva Udang Windu
(Penaeus monodon)

Purnomo, H. 2007. Antibiotika. Fakultas Farmasi Universitas Widya Mandala


Surabaya.

Utami, E.R. 2012. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Saintis 1(1) :
124-138.
69

Praktikum ke-8 Tanggal : 14 November 2012


m.k. Mikrobiologi Akuakultur Kelompok : XI
Asisten : Rahman
Adni Zein
Dewi Nurhayati
Firsty Rahmatia
Titi Nur Cahyati
Dendi Hidayatullah
Wahyu Afrilasari
Nurlita Christyaningsih

PENGARUH SUHU DAN SALINITAS TERHADAP


VIABILITAS BAKTERI

Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151

MAYOR ILMU AKUAKULTUR


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
70

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Seperti jasad hidup lain, mikroorganisme dalam melakukan kegiatannya
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan atau unsur-unsur ekologi.
Perubahan faktor lingkungan akan mengakibatkan perubahan sifat, baik morfologi
maupu fisiologi dari bakteri tersebut. Faktor-faktor lingkungan dapat
dikelompokkan menjadi 2, yaitu faktor abiotik yang meliputi faktor kimia dan
fisika, serta faktor biotik yaitu yang berhubungan dengan jasad hidup lain.
Pengaruh parameter yang diamati dalam praktikum ini adalah pengaruh
parameter fisika (suhu) dan kimia (salinitas). Pengetahuan mengenai pengaruh
parameter suhu dan salinitas terhadap viabilitas bakteri sangat penting dalam
pengontrolan jumlah populasi bakteri.

1.2. Tujuan
Mempelajari pengaruh suhu dan salinitas terhadap viabilitas bakteri.
71

II. METODOLOGI

2.1. Waktu dan Tempat


Praktikum ”Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Viabilitas Bakteri” ini
dilaksanakan pada hari Rabu 14 November 2012, pengamatan pada hari Kamis 15
November 2012. Praktikum ini bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan,
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

2.2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah cawan petri, jarum
ose, tabung eppendorf, bunsen, korek api, spidol permanen, dan inkubator. Bahan-
bahan yang digunakan adalah biakan cair bakteri Aeromonas hydrophila dan
Bacillus sp., serta medium TSA (Tripticase Soy Agar).

2.3. Prosedur Kerja


Prosedur kerja perlakuan suhu adalah pertama-tama biakan bakteri cair
diinkubasikan pada temperatur kamar, lemari es, suhu 37oC, dan 70oC selama 30
menit. Masing-masing biakan digoreskan pada media TSA (setiap petri untuk 2
jenis dan satu macam suhu hasil inkubasi). Biakan hasil goresan diinkubasikan
pada suhu kamar selam 24 jam. Pertumbuhan masing-masing biakan dicatat.
Prosedur kerja perlakuan salinitas adalah pertama-tama disiapkan terlebih
dahulu medium pada cawan petri dengan konsentrasi NaCl 0%, 3%, dan 10%.
Kemudian agar cawan yang sudah padat dibalik dan dibuat garis dengan spidol
pada pertengahan petri sehingga menjadi 2 sektor. Piaraan goresan dibuat dari
masing-masing bakteri pada tiap konsentrasi NaCl pada cawan petri. Seluruh
piaraan tersebut diinkubasikan selama 24 jam pada suhu kamar. Pertumbuhan
koloni pada setiap sektor dan cawan petri diamati.
72

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Hasil pengamatan pengaruh salinitas dan suhu terhadap viabilitas bakteri
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh salinitas dan suhu terhadap viabilitas bakteri

Perlakuan
Kelompok Bakteri Salinitas Suhu
o o
0% 3% 10% 4C 28 C 37oC 70oC
Ah + + - + + + -
7
B + + - + + + +
Ah + + - + + + -
8
B + + - + + + +
Ah + + - + + + -
9
B + + - + + + +
Ah + + + + + -
10
B + - - + + + +
Ah ++ ++ ++ ++ ++ ++
11
B ++ ++ ++ ++ ++ +
Ah + + - + + + -
12
B + + - + + + +

Keterangan
Ah : Aeromonas hydrophila
B : Bacillus sp.
+ : Tumbuh
- : Tidak tumbuh

3.2 Pembahasan
Pengujian pengaruh suhu dan salinitas terhadap viabilitas bakteri pada
praktikum ini menggunakan medium TSA (Tripticase Soy Agar). Medium ini
mengandung casein dan tepung kedelai yang menyediakan asam amino dan
sumber nitrogen lain sebagai nutrisi medium untuk berbagai varietas organisme.
Sumber energi dalam medium ini adalah dextrose. Sodium klorid berperan
mempertahankan tekanan osmotik, sementara dipotasium pospat berperan sebagai
73

buffer yang mempertahankan pH, serta ekstrak agar digunakan sebagai


pembentuk gel pada medium ini. Tiap liter medium TSA mengandung tripton 17
gram, soytone 3 gram, dextrose 2.5 gram, sodium klorid 5 gram, K2HPO4 2.5
gram, dan agar sebanyak 15 gram (Wikipedia, 2008).
Bakteri yang diuji pada praktikum ini adalah Aeromonas hydrophila.
Aeromonas hydrophila menyebabkan penyakit yang dikenal dengan Motile
Aeromonas Septicemia (MAS), Hemorrhagic Septicemia, penyakit ulcer atau Red-
Sore Disease. Sinonim dari penyakit ini berhubungan dengan gejala serangan
penyakit yang disebabkan bakteri atau racun yang ditimbulkan bakteri yaitu
septicemia pada permukaan tubuh ikan dan organ tubuh ikan lainnya. Bakteri ini
adalah bakteri gram negatif berbentuk batang yang biasanya diisolasi dari kolam
air tawar. Bakteri ini adalah organisme yang biasanya ditemui pada saluran
pencernaan ikan. Penyakit yang diakibatkan bakteri ini menyerang berbagai jenis
spesies ikan air tawar (Akuatika, 2008). Menurut Chester (1901) dan Stanier
(1934) diacu dalam Wikipedia (2008), klasifikasi taksonomi Aeromonas
hydrophila adalah sebagai berikut.
Domain : Bacteria
Kingdom : Proteobacteria
Phylum : Gammaproteobacteria
Kelas : Aeromonadales
Genus : Aeromonas
Speries : A. hydrophila
Selain Aeromonas hydrophila bakteri lain yang diuji dalam praktikum ini
adalah Bacillus sp. Bacillus adalah sebuah genus bakteri berbentuk batang, beta-
hemolytic, dan termasuk bakteri gram positif. Spesies Bacillus salah satu dari
aerob obligat atau fakultatif, dan mempunyai enzim katalase. Bacillus tersebar di
alam, hidup bebas, namun juga seringkali ditemukan sebagai pathogen. Pada
kondisi ekstrim, bakteri ini dapat membentuk endospora sehingga dapat dorman
untuk waktu yang lama (Wikipedia, 2008). Menurut Cohn (1872) diacu dalam
Wikipedia (2008), klasifikasi taksonomi Bacillus sp. adalah sebagai berikut.
Kingdom : Bacteria
Division : Firmicutes
74

Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Family : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Hasil dari praktikum ini, Aeromonas hydrophila tidak dapat tumbuh pada
perlakuan 70oC dan dapat tumbuh pada perlakuan suhu lemari es, 28oC, dan 37oC.
Pada perlakuan salinitas, bakteri Aeromonas hydrophila tumbuh baik pada
medium TSA dengan salinitas 0% dan 3%. Bacillus sp. tumbuh pada semua
perlakuan suhu (suhu kamar, lemari es, 37oC, dan 70oC), pada perlakuan salinitas
Bacillus sp. tumbuh pada medium TSA dengan salinitas 0% dan 3%.
Menurut Dwijoseputro (1978) faktor-faktor alam yang mempengaruhi
kehidupan bakteri adalah temperatur, kebasaan, nilai osmotik dari medium, radiasi
oleh sinar biasa dan radiasi oleh sinar-sinar lainnya, serta penghancuran secara
mekanik. Faktor alam yang diamati dalam praktikum ini adalah parameter suhu
dan salinitas.
Pola pertumbuhan bakteri dapat sangat dipengaruhi oleh suhu karena semua
proses pertumbuhan bergantung pada reaksi kimiawi, laju reaksi kimiawi ini
dipengaruhi oleh suhu. Suhu juga mempengaruhi laju pertumbuhan dan jumlah
total pertumbuhan organisme. Keragaman suhu dapat juga mengubah proses-
proses metabolik tertentu, serta morfologi sel (Pelczar & Chan, 1986).
Setiap spesies bakteri tumbuh pada suatu kisaran suhu tertentu. Atas dasar
ini maka bakteri dapat diklasifikasikan sebagai psikrofil, yang tumbuh pada 0-
30oC; mesofil, yang tumbuh pada suhu 25-40oC; dan termofil, yang tumbuh pada
suhu lebih dari 50oC (Pelczar & Chan, 1986). Adanya perbedaan daya tahan
terhadap suhu antara Aeromonas dengan Bacillus adalah karena Bacillus mampu
membentuk spora pada kondisi yang ekstrim (Dwijoseputro, 1978), sehingga
masih dapat tumbuh baik setelah dibiakkan pada medium TSA.
Menurut Dwijoseputro (1978), dalam menentukan daya tahan panas suatu
spesies perlu diperhatikan tinggi temperatur, lama bakteri berada dalam suhu
tersebut, keadaan medium (basah/kering), pH medium saat mulai dipanasi, serta
sifat lain dari medium. Kelima syarat tersebut digunakan untuk menentukan
75

temperatur maut (Thermal Death Point), yaitu temperatur serendah-rendahnya


yang dapat membunuh bakteri di dalam standart medium selama 10 menit.
Medium yang paling cocok dengan kehidupan bakteri adalah medium yang
isotonik terhadap isi sel bakteri. Jika bakteri ditempatkan di dalam suatu larutan
hipertonik terhadap isi sel, maka bakteri akan mengalami plasmolisis. Sebaliknya
bakteri yang ditempatkan di air suling akan kemasukan air sehingga dapat
menyebabkan pecahnya sel bakteri, dengan kata lain, bakteri mengalami
plasmoptisis (Dwijoseputro, 1978).
76

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Hasil dari praktikum ini, Aeromonas hydrophila tidak dapat tumbuh pada
perlakuan 70oC dan dapat tumbuh pada perlakuan suhu lemari es, 28oC, dan 37oC.
Pada perlakuan salinitas, bakteri Aeromonas hydrophila tumbuh baik pada
medium TSA dengan salinitas 0% dan 3%. Bacillus sp. tumbuh pada semua
perlakuan suhu (suhu kamar, lemari es, 37oC, dan 70oC), pada perlakuan salinitas
Bacillus sp. tumbuh pada medium TSA dengan salinitas 0% dan 3%.

4.2. Saran
Ada baiknya jika dalam praktikum ini digunakan bakteri yang memiliki
kemampuan hidup yang jauh berbeda, misalnya digunakan bakteri yang dapat
hidup pada salinitas rendah dan bakteri yang dapat hidup pada salinitas tinggi,
sehingga dapat lebih mudah dibandingkan viabilitasnya.
77

DAFTAR PUSTAKA

Akuatika. 2008. Aeromonas hydrophila. http://akuatika.net [17 Mei 2008]

Dwidjoseputro D. 1998. Dasar-dasar Mikrobiologi. Cetakan 14. Jakarta:


Djambatan.

Pelczar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume 1.


Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI-
Press. Terjemahan dari: Elements of Microbiology.

Wikipedia. 2008. Aeromonas hydrophila. http://en.wikipedia.org [17 Mei 2008].

Wikipedia. 2008. Bacillus. http://en.wikipedia.org [17 Mei 2008].

Wikipedia. 2008. Tripticase Soy Agar. http://en.wikipedia.org [17 Mei 2008].


78

Praktikum ke-9 Tanggal : 21 November 2012


m.k. Mikrobiologi Akuakultur Kelompok : XI
Asisten : Rahman
Adni Zein
Dewi Nurhayati
Firsty Rahmatia
Titi Nur Cahyati
Dendi Hidayatullah
Wahyu Afrilasari
Nurlita Christyaningsih

PENGARUH BAHAN ANTIMIKROBA TERHADAP


PERTUMBUHAN BAKTERI

Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151

MAYOR ILMU AKUAKULTUR


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
79

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Beberapa bahan kimia seperti senyawaan fenol, alkohol, formalin, dan lain-
lain diketahui dapat menghambat atau mematikan mikroorganisme. Berbagai
substansi tersebut menunjukkan efek antimikrobialnya dalam berbagai cara dan
terhadap berbagai mikroorganisme. Sifat ini digunakan untuk mengendalikan
populasi bakteri atau untuk tujuan desinfeksi suatu alat. Telaah mengenai
pengaruh bahan antimikroba terhadap viabilitas bakteri diperlukan dalam
akuakultur untuk mengontrol jumlah bakteri yang meragukan bagi lingkungan
budidaya.

1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengamati pengaruh berbagai bahan
antimikroba terhadap viabilitas bakteri.
80

II. METODOLOGI

2.1. Waktu dan Tempat


Praktikum ”Pengaruh Bahan Antimikroba Terhadap Viabilitas Bakteri” ini
dilaksanakan pada hari Rabu 21 November 2012, pengamatan pada hari Kamis 22
November 2012. Praktikum ini bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan,
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

2.2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah bunsen, korek api,
jarum ose, pipet serologis, cawan petri, pinset, batang penyebar, dan tabung
eppendorf. Bahan-bahan yang digunakan adalah biakan bakteri Aeromonas
hydrophila dan Vibrio harveyi, larutan fisiologis, larutan penicillin 25 ppm dan 50
ppm, larutan ekstrak daun meniran 3 ppt dan 30 ppt, larutan formalin 0.4% dan
4%, larutan kloramfenikol 25 ppm dan 50 ppm, medium TSA dan SWC, serta
kertas saring steril.

2.3 . Prosedur Kerja


Pertama-tama 0,1 ml suspensi bakteri diambil dengan pipet serologis,
kemudian diteteskan pada media, lalu disebar rata dengan batang penyebar (media
TSA untuk Aeromonas hydrophila dan media SWC untuk Vibrio harveyi). Pinset
dibakar sebentar dengan bunsen, kemudian kertas saring diambil satu persatu
dengan pinset. Kertas saring 1 dicelupkan dalam larutan fisiologis dan diletakkan
di atas permukaan media yang telah disebari biakan bakteri. Kertas saring 2
dicelupkan dalam larutan bahan anti mikroba dan diletakkan pada cawan petri
yang sama dengan jarak tertentu. Setelah itu diinkubasikan pada suhu kamar
selama 24 jam. Pertumbuhan yang terjadi diamati dan diameter daerah bening
yang timbul diukur.
81

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Hasil pengamatan pengaruh bahan antimikroba dapat disajikan dalam tabel
seperti di bawah ini.
Tabel 1. Diameter zona bening pada bakteri Aeromonas hydrophila.
Ulangan 1
No. Bahan
1 2
1. Kloramfenikol 50 ppm 0 0
2. Kloramfenikol 25 ppm 0 0
3. Meniran 30 ppt 0 0
4. Meniran 3 ppt 0 0
5. Formalin 0,4% 0 0
6. Formalin 4% 2,3 2,5
7. Penicillin 50 ppm 0 0
8. Penicillin 25 ppm 0 0
9. Kontrol 0 0

Tabel 2. Diameter zona bening pada bakteri Vibrio harveyi.


Ulangan 1
No. Bahan
1 2
1. Kloramfenikol 50 ppm - -
2. Kloramfenikol 25 ppm - -
3. Meniran 30 ppt 0,7 0,6
4. Meniran 3 ppt 0,6 0,6
5. Formalin 0,4% 0,9 0,7
6. Formalin 4% - -
7. Penicillin 50 ppm - -
8. Penicillin 25 ppm - -
9. Kontrol 0 0

3.2. Pembahasan
Pengujian pengaruh bahan anti mikroba terhadap viabilitas bakteri pada
praktikum ini menggunakan medium TSA (Tripticase Soy Agar). Medium ini
mengandung casein dan tepung kedelai yang menyediakan asam amino dan
sumber nitrogen lain sebagai nutrisi medium untuk berbagai varietas organisme.
Sumber energi dalam medium ini adalah dextrose. Sodium klorid berperan
mempertahankan tekanan osmotik, sementara dipotasium pospat berperan sebagai
82

buffer yang mempertahankan pH, serta ekstrak agar digunakan sebagai


pembentuk gel pada medium ini. Tiap liter medium TSA mengandung tripton 17
gram, soytone 3 gram, dextrose 2.5 gram, sodium klorid 5 gram, K2HPO4 2.5
gram, dan agar sebanyak 15 gram (Wikipedia, 2008).
SWC (Sea Water Complete) adalah salah satu medium yang berfungsi
menumbuhkan bakteri air laut. Komposisi bahan yang terkandung dalam SWC
adalah bacto pepton, yeast ekstrak, gliserol bacto agar, air laut, dan akuades.
Masing-masing bahan tersebut memiliki peranan penting dalam media tumbuh
bakteri. Bacto pepton berfungsi sebagai sumber utama nitrogen organik, dapat
mengandung vitamin dan kadang-kadang karbohidrat, dan bergantung pada jenis
bahan berkandungan protein yang dicernakan. Yeast ekstrak merupakan sumber
yang amat kaya akan vitamin B, juga mengandung nitrogen dan senyawa-senyawa
karbon. Di dalam gliserol bacto agar terdapat agar yang merupakan suatu
karbohidrat kompleks yang diperoleh dari alga laut tertentu, diolah untuk
membuang substansi yang tidak dikehendaki. Peranan agar adalah sebagai bahan
pemadat media, agar yang lebur dalam larutan cair akan membentuk gel bila suhu
dikurangi sampai di bawah 45oC. Agar bukan sumber nutrien bagi bakteri (Pelczar
& Chan, 1986). SWC digunakan untuk menumbuhkan bakteri air laut, sehingga
dalam SWC terdapat harus terdapat air laut yang berfungsi untuk membentuk
media tumbuh bakteri yang sesuai dengan habitat aslinya. Akuades dalam SWC
berfungsi mengencerkan media dalam proses pembuatannya.
Dalam praktikum ini bakteri yang diuji viabilitasnya terhadap bahan
antimikroba adalah Aeromonas sp. dan Bacillus sp. Salah satu bakteri yang
digunakan adalah Aeromonas sp. Aeromonas hydrophila menyebabkan penyakit
yang dikenal dengan Motile Aeromonas Septicemia (MAS), Hemorrhagic
Septicemia, penyakit ulcer atau Red-Sore Disease. Sinonim dari penyakit ini
berhubungan dengan gejala serangan penyakit yang disebabkan bakteri atau racun
yang ditimbulkan bakteri yaitu septicemia pada permukaan tubuh ikan dan organ
tubuh ikan lainnya. Bakteri ini adalah bakteri gram negatif berbentuk batang yang
biasanya diisolasi dari kolam air tawar. Bakteri ini adalah organisme yang
biasanya ditemui pada saluran pencernaan ikan. Penyakit yang diakibatkan bakteri
ini menyerang berbagai jenis spesies ikan air tawar (Akuatika, 2008). Menurut
83

Chester (1901) dan Stanier (1934) diacu dalam Wikipedia (2008), klasifikasi
taksonomi Aeromonas hydrophila adalah sebagai berikut.
Domain : Bacteria
Kingdom : Proteobacteria
Phylum : Gammaproteobacteria
Kelas : Aeromonadales
Genus : Aeromonas
Speries : A. hydrophila
Selain Aeromonas hydrophila bakteri lain yang diuji dalam praktikum ini
adalah Vibrio harveyi. Bakteri yang dihitung dalam praktikum ini adalah Vibrio
harveyi. Klasifikasi V. harveyi menurut Baumann et al. (1994) diacu dalam Rajab
(2006) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Vibrionales
Famili : Vibrionaceae
Genus : Vibrio
Spesies : Vibrio harveyi
V. harveyi merupakan bakteri gram negatif berbentuk koma dan memiliki
sifat-sifat antara lain: oksidase positif, fakultatif anaerobik, tidak membentuk
spora, motil, memiliki flagella tunggal, serta tidak tumbuh pada suhu 4oC
(Tjahjadi et al. 1994 dalam Rajab 2006).
Beberapa dari galur V. harveyi dapat menyebabkan kematian total larva
udang dengan dosis yang sangat rendah (102 CFU/ml). Pada sistem budidaya
udang, V. harveyi dapat ditemukan di hatchery, dapat diisolasi dari air laut yang
masuk, induk, larva, dan air tangki pembesaran larva (Otta et al. 1990, diacu
dalam Ayuzar 2008). V. harveyi juga dapat diisolasi dari tambak pembesaran
udang (Karunasagar et al. 1994, diacu dalam Ayuzar 2008). Kematian yang
disebabkan vibriosis terjadi apabila udang mengalami stress akibat kualitas buruk,
kepadatan tinggi, temperatur tinggi, dan pergantian yang rendah (Brock and
Lightner 1990, diacu dalam Ayuzar 2008). Berdasarkan hasil penelitian Lavilla-
84

Pitogo (1990) diacu dalam Ayuzar (2008), kematian larva terjadi setelah 48 jam
pasca infeksi bakteri V. harveyi dan V. splendidus. Terjadinya pendaran tidak
selamanya menunjukkan kekuatan infeksi dari bakteri V. harveyi, oleh karena
larva yang tidak berpendar di dalam gelap seringkali juga positif mengandung
bakteri akan berpendar jika diamati pada medium yang tepat (Lavilla-Pitogo et al.
1990, diacu dalam Meha 2003).
Bahan antimikroba yang diamati dalam praktikum ini adalah , larutan
antibiotik penicline 25 ppm dan 50 ppm, larutan ekstrak daun meniran 3 ppt dan
30 ppt, larutan formalin 0.4% dan 4%, serta larutan kloramfenikol 25 ppm dan 50
ppm. Keempat bahan tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap
viabilitas bakteri. Pengamatan hasil praktikum menunjukkan bahwa bahan-bahan
tersebut memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya zona bening pada cawan petri biakan bakteri tersebut.
Namun terjadi kesalahan prosedur yang menyebabkan zona bening tidak muncul
pada beberapa perlakuan larutan antimikroba. Kesalahan yang terjadi di antaranya
adalah kesalahan penyebaran inokulasi bakteri pada media di dalam cawan petri
serta kertas saring yang terlalu lama dikeringanginkan sehingga larutan
antimikroba menguap habis. Oleh karena itu, antar zat antimikroba tidak dapat
dibandingkan efektivitasnya.
Formalin merupakan bahan antimikroba yang paling baik dalam
menghambat viabilitas bakteri Aeromonas sp. dan Bacillus sp. Hal ini ditunjukkan
oleh zona bening yang timbul pada cawan petri dengan biakan kedua bakteri
tersebut adalah yang paling besar di antara ketiga bahan lainnya. Menurut
Dwidjoseputro (1998), suatu larutan formaldehida 40% biasanya disebut formalin
banyak sekali digunakan untuk membunuh bakteri, virus, dan jamur. Formalin
tidak biasa digunakan untuk jaringan tubuh manusia, akan tetapi banyak
digunakan untuk merendam bahan-bahan laboratorium, alat-alat seperti gunting,
sisir, dan lain-lain pada ahli kecantikan (Dwidjoseputro, 1998).
Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang
mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam
organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika
khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam
85

bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap
mutan atau transforman. Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan
atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri.
Antibiotika berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desifektan
membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman
untuk hidup (Wikipedia, 2008). Dalam Wikipedia (2008), penisilin (Inggris:
Penicillin atau PCN) adalah sebuah kelompok antibiotika β-laktam yang
digunakan dalam penyembuhan penyakit infeksi karena bakteri, biasanya berjenis
gram positif.
Kloramfenikol merupakan turunan asam dikloroasetat yang mengandung
gugus nitrobenzena. Kloramfenikol dapat diisolasi dari Streptomyces venezuelae.
Obat ini berbentuk kristal putih yang sulit larut dalam air tapi dapat larut dalam
lemak. Kloramfenikol bekerja dengan menghambat pembentukan protein
mikroba. Obat ini berikatan secara irreversibel dengan reseptor pada ribososom
sub unit 50S dan menghambat enzim peptidil transferase, sehingga pembentukan
ikatanikatan peptida pada proses sintesis protein mikroba tidak terjadi.
Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik, namun pada konsentrasi tinggi
obat ini dapat bersifat bakterisidal terhadap mikroba-mikroba tertentu (Setiabudy
& Kunardi, 2003; Dowling, 2006).
Meniran Phyllanthus niruri merupakan jenis tanaman obat yang dapat
bermanfaat untuk menurunkan panas, obat batuk, radang, batu ginjal, susah buang
air kecil, disentri, sakit ayan, hepatitis, rematik. Selain itu, meniran dapat
mencegah berbagai macam infeksi virus dan bakteri serta mendorong sistem
kekebalan tubuh. Hal ini dikarenakan terdapat kandungan flavonoid, alkaloid,
saponin, tanin, dan vitamin C (Triarsari, 2009).
Menurut Mela (2007), hampir semua bagian dari tanaman meniran berkhasit
obat. Hasil penelitian menyebutkan bahwa meniran memiliki aktivitas
imunomodulator yang berperan membuat sistem imun lebih aktif dalam
menjalankan fungsinya, menguatkan sistem imun tubuh (imunostimulator) atau
menekan reaksi sistem imun yang berlebihan (imunosupresan). Dengan demikian,
kekebalan atau daya tahan tubuh selalu optimal sehingga tetap sehat ketika
diserang virus, bakteri, dan mikroba lainnya. Kandungan kimia yang bermanfaat
86

dari meniran adalah flavonoid. Pada tanaman lainnya kandungan flavonoid


sebenarnya juga ada, bedanya pada meniran aktivitas peningkatan sistem imunnya
ternyata lebih baik. Sebagai imunomodulator, meniran tidak semata-mata berefek
meningkatkan sistem imun, namun juga menekan sistem imun apabila
aktivitasnya berlebihan. Jika aktivitas sistem imun berkurang, maka kandungan
flavonoid dalam meniran akan mengirimkan sinyal intraseluler pada reseptor sel
untuk meningkatkan aktivitasnya. Sebaliknya, jika sistem imun kerjanya
berlebihan, maka meniran berkhasiat dalam mengurangi kerja sistem imun
tersebut. Jadi, meniran berfungsi sebagai penyeimbang sistem imun.
87

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Bahan-bahan antimikroba dalam praktikum ini mempunyai pengaruh yang
berbeda terhadap viabilitas bakteri. Pengamatan hasil praktikum menunjukkan
bahwa bahan-bahan tersebut memiliki kemampuan dalam menghambat
pertumbuhan bakteri. Hal ini ditunjukkan dengan adanya zona bening pada cawan
petri biakan bakteri tersebut.

4.2. Saran
Praktikum yang akan datang, akan lebih baik jika bakteri yang digunakan
lebih beragam. Sehingga dapat lebih diketahui pengaruh bahan antimikroba
terhadap viabilitas bermacam-macam bakteri. Selain itu juga perlu diujikan
pengaruh bahan antimikroba terhadap viabilitas fungi.
88

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2007. High Potency Garlic. www.synergyindonesia.com. [25 Mei


2008].

Akuatika. 2008. Aeromonas hydrophila. http://akuatika.net [17 Mei 2008]

Aridiansyah. 2007. Antimikroba Dari Tumbuhan. www.beritaiptek.com. [25 Mei


2008].

Ayuzar, Eva. 2008. Mekanisme Penghambatan Bakteri Probiotik Terhadap


Pertumbuhan Vibrio harveyi pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon)
[Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut pertanian Bogor.

Dowling PM. 2006. Chloramphenicol, Thiamphenicol, and Florfenicol. Di dalam


Giguère S et al., editor. Antimicrobial Therapy in Veterinary Medicine. Ed ke-
4. Victoria: Blackwell Publ. hlm 241-245.

Dwidjoseputro D. 1998. Dasar-dasar Mikrobiologi. Cetakan 14. Jakarta:


Djambatan.

Meha, Deliana. 2003. Patogenesitas Vibrio harveyi dengan Penanda Resistan


Rifampisin (Rf-R) dan Green Fluorescent Protein (GFP) pada Larva Udang
Windu (Penaeus monodon Fab.) [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Mela. 2007. Meniran Si Peningkat Sistem Imun.


http://thenewpiogama.wordpress.com/2007/06/08/meniran-si-peningkat-
sistem-imun. [11 Januari 2009].

Pelczar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume 1.


Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI-
Press. Terjemahan dari: Elements of Microbiology.

Rajab, Fahmi. 2006. Isolasi dan Seleksi Bakteri Probiotik dari Lingkungan
Tambak dan Hatchery Untuk Pengendalian Penyakit Vibriosis pada Larva
Udang Windu (Penaeus monodon) [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Setiabudy R, Kunardi L. 2003. Golongan tetrasiklin dan kloramfenikol. Di dalam:


Ganiswarna SG, editor. Farmakologi dan Terapan. Ed ke-4. Jakarta: Gaya
Baru. hlm 657-659.

Triarsari D. 2009. Aneka ramuan pencegah SARS.


http://www.depkes.go.id/index.php?option=articles. [11 Januari 2009]

Wikipedia. 2008. Aeromonas hydrophila. http://en.wikipedia.org [17 Mei 2008].


89

Wikipedia. 2008. Antibiotika. http://id.wikipedia.org [26 Mei, 2008].

Wikipedia. 2008. Penicillin. www.wikipedia.org . [25 Meil 2008].

Wikipedia. 2008. Tripticase Soy Agar. http://en.wikipedia.org [17 Mei 2008].


90

Praktikum ke-10 Tanggal : 28 November 2012


m.k. Mikrobiologi Akuakultur Kelompok : XI
Asisten : Rahman
Adni Zein
Dewi Nurhayati
Firsty Rahmatia
Titi Nur Cahyati
Dendi Hidayatullah
Wahyu Afrilasari
Nurlita Christyaningsih

SELEKSI BAKTERI PROBIOTIK UNTUK AKUAKULTUR

Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151

MAYOR ILMU AKUAKULTUR


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
91

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Probiotik merupakan mikroba yang ditambahkan dalam pakan yang dapat
menguntungkan hewan inang dengan cara memperbaiki komposisi mikroba dalam
ususnya. Banyak tahapan yang dilakukan untuk skrining atau penapisan bakteri
probiotik untuk pemeliharaan larva hewan akuatik, diantaranya adalah
pengumpulan informasi dasar, pengumpulan probiotik potensial, evaluasi
kemampuan probiotik potensial berkompetisi dengan galur patogen, pendugaan
patogenisitas probiotik potensial pada larva ikan, dan analisis ekonomi biaya-laba.
Pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan skrining atau penapisan bakteri
probiotik akan sangat berguna untuk meneliti bakteri yang potensial digunakan
sebagai probiotik.

1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan mempelajari metode seleksi bakteri probiotik untuk
akuakultur.
92

II. METODOLOGI

2.1. Waktu dan Tempat


Praktikum ”Skrining Bakteri Probiotik untuk Akuakultur” ini dilaksanakan
pada hari Rabu 28 November 2012, pengamatan pada hari Kamis 29 November
2012. Praktikum ini bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

2.2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pipet serologis, cawan
petri, batang penyebar, bunsen, korek api, pinset, dan tabung eppendorf. Bahan-
bahan yang digunakan adalah media TCBS (Thiosulphate Citrate Bile-Salt
Sucrose), media SWC (Sea Water Complete), kultur murni bakteri patogen Vibrio
harveyi, kultur murni bakteri kandidat probiotik Pseudoalteromonas 1-UB,
alkohol, larutan fisiologis, dan kertas cakram.

2.3. Prosedur Kerja


a. Uji Amilolitik
Terlebih dahulu dipersiapkan media TSA yang ditambahkan amilum 2%,
satu cawan dibagi menjadi empat daerah. Bakteri diambil dari tabung eppendorf
dengan tusuk sate steril dan ditusukkan pada masing-masing daerah media
(tusukannya jangan sampai dasar petri) selanjutnya diinkubasi selama kurang
lebih 24 jam. Permukaan media yang telah ditumbuhi bakteri disiram dengan
kalium iodida (KI) untuk melihat zona bening. Zona bening yang terlihat diamati
dan diukur diameternya.
b. Uji Zona Hambat
Satu koloni tunggal bakteri patogen (Vibrio harveyi) disuspensikan secara
aseptik pada 1 ml larutan garam fisiologis kemudian disebarkan sebanyak 50 μl
pada media SWC dan biarkan beberapa menit hingga kering. Setelah itu kertas
cakram dicelupkan kedalam suspensi bakteri SKTb kemudian diletakan pada
media SWC yang sebelumnya telah disebarkan bakteri pathogen. Kemudian
93

diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam dan diamati serta diukur zona bening
yang terbentuk.
c. Kultur bersama
Satu koloni bakteri patogen dan satu koloni tunggal bakteri kandidat
probiotik (IUB) terlebih dahulu ditumbuhkan pada media SWC cair selama
semalam pada suhu ruang, selain itu ditumbuhkan juga bakteri patogen murni
sebagai kontrol. Kultur bersama probiotik dan V. harveyi dibuat pada pengenceran
10-1, dan 10-2, dan pengenceran 10-3 sedangkan untuk bakteri V. harveyi yang
berfungsi sebagai kontrol dilakukan pengenceran serial 10-5, 10-6, dan 10-7.
Kemudian hasil pengenceran tersebut disebar merata ke dalam media TCBS
dengan menggunakan batang penyebar. Inkubasi di dalam inkubator selama 24
jam, setelah itu dihitung jumlah koloni yang tumbuh. TCBS adalah media spesifik
Vibrio, sehingga dapat dibandingkan jumlah Vibrio yang kultur bersama probiotik
dengan kultur murni.
94

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Hasil pengamatan dari praktikum ini adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Jumlah koloni bakteri penghambat pada media cair.
Vibrio harveyi + probiotik
Vibrio harveyi (cfu/ml)
Kelompok (cfu/ml)
10-5 10-6 10-7 10 -1
10-2 10-3
TBUD dan tidak ada zona hambat
7
- - - di sekitar kertas cakram
8 108
9
10 64 - - -
11 TBUD - - -
12 - - - -
Keterangan
* : Terjadi kontaminasi oleh bakteri vibrio lain (warna kuning)

Tabel 2. Aktivitas amilolitik Bacillus sp. /(AH).


Diameter Zona Bening (mm)
Kelompok Zona Bening
Zona 1 Zona 2 Rata-Rata
7 + 0,75 0,75 0,75
8 1,2 1,3 1,25
9
10 + 8 7 7,5
11 + 0,75 0,65 0,20
12 1,2 0,9 1,05
0,7 0,6 0,65
0,4 0,4 0,4
0,7 0,6 0,65
Keterangan
+ : Terdapat zona bening
- : Tidak terdapat zona bening.

3.2. Pembahasan
Menurut Fuller (1992) probiotik adalah mikrob hidup yang ditambahkan ke
dalam pakan yang dapat memberikan pengaruh menguntungkan bagi hewan inang
dengan memperbaiki keseimbangan mikrob ususnya (Fuller 1992). Pada hewan
95

akuatik, selain saluran pencernaan, air di sekeliling organisme tersebut juga


memegang peranan penting. Sehingga probiotik untuk hewan akuatik adalah agen
mikrob hidup yang memberikan pengaruh menguntungkan pada inang dengan
memodifikasi komunitas mikrob atau berasosiasi dengan inang, menjamin
perbaikan dalam penggunaan pakan atau perbaikan nilai nutrisinya, memperbaiki
respon inang terhadap penyakit, atau memperbaiki kualitas lingkungan
ambangnya (Verschuere et al. 2000).
Hasil skrining bakteri probiotik Pseudoalteromonas 1-UB menggunakan
metode kertas cakram dalam praktikum ini dilihat dari besarnya diameter zona
hambat. Bakteri patogen yang dihambat perkembangannnya adalah V. harveyi.
Banyak hal yang memungkinkan bakteri 1-UB dapat menghambat pertumbuhan
V. harveyi. Menurut Dwidjoseputro (1998), hubungan ini adalah antagonisme.
Hasil dari metode penghambatan pertumbuhan bakteri patogen dengan
media cair adalah tidak ada koloni bakteri yang tumbuh pada kontrol V. harveyi
pengencerasn 10-7, pada pengenceran 10-6 jumlah bakteri yang tumbuh adalah 108
CFU (kelompok 8) dan pada pengenceran 10-5 bakteri yang tumbuh sebesar 64
CFU (kelompok 10). Pada biakan campuran antara V. harveyi dengan 1-UB
hasilnya V. harveyi yang tumbuh adalah TBUD (terlalu banyak untuk dihitung)
pada pengenceran 10-1, 10-2 dan 10-3 (kelompok 7).
Menurut Roffi (2007) banyak mekanisme yang dapat menyebabkan sifat
antagonistik dari bakteri probiotik di antaranya adalah produksi senyawa yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain sebagai contoh bacteriocins,
antibiotik seperti surfactins, itulins, bacilysins yang diproduksi spesies bacillus.
Kompetisi terhadap substansi yang essensial (yang diperlukan untuk
metabolisme). Sebagai contoh Vibrio strain P memenangkan persaingan dengan
Vibrio patogen dengan mengabsorbsi zat besi. Hal ini dikarenakan Vibrio strain P
memproduksi siderophores. Kompetisi untuk ruang adhesi (adhesion sites).
Semakin awal kolonisasi probiotik potensial di dalam saluran pencernaan, maka
semakin bagus (potensi kerja probiotik). „Quorum sensing‟ antar bakteri. Bakteri
dapat berkomunikasi satu sama lain dengan memanfaatkan molekul tertentu yang
berperan sebagai sinyal. Dengan quorum sensing, populasi bakteri dapat
meregulasi ekspresi gen dan pada akhirnya mempengaruhi komunitas bakteri
96

tersebut. Peneliti dari Ugent membuktikan bahwa bakteri dapat menghambat


quorum sensing dari bakteri pesaing dengan memproduksi enzim yang
menonaktifkan molekul sinyal.
Hasil yang didapat pada pengamatan praktikum uji amilolitik yaitu terjadi
zona bening disekitar koloni bakteri yang tumbuh. Hasil ini membuktikan bahwa
bakteri memanfaatkan glukosa sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhannya.
Bagian zona bening menggambarkan glukosa yang telah dimanfaatkan oleh
bakteri selama inkubasi. Isolat yang mampu menghidrolisis pati menghasilkan
zona bening di sekeliling isolat setelah ditetesi iodine. Zona bening yang
terbentuk di sekeliling isolat setelah ditetesi larutan iodin menunjukkan bahwa
isolat bakteri tersebut telah menghidrolisis pati di bagian media pati tersebut
(Cappuccino, 1983).
97

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Hasil dari metode penghambatan pertumbuhan bakteri patogen dengan
media cair adalah tidak ada koloni bakteri yang tumbuh pada kontrol V. harveyi
pengencerasn 10-7, pada pengenceran 10-6 jumlah bakteri yang tumbuh adalah 108
CFU (kelompok 8) dan pada pengenceran 10-5 bakteri yang tumbuh sebesar 64
CFU (kelompok 10). Pada biakan campuran antara V. harveyi dengan 1-UB
hasilnya V. harveyi yang tumbuh adalah TBUD (terlalu banyak untuk dihitung)
pada pengenceran 10-1, 10-2 dan 10-3 (kelompok 7). Hasil yang didapat pada
pengamatan praktikum uji amilolitik yaitu terjadi zona bening disekitar koloni
bakteri yang tumbuh

4.2. Saran
Praktikum yang akan datang akan lebih baik jika digunakan bakteri selain
bakteri potensial probiotik agar dapat diketahui perbedaan pengaruhnya secara
jelas dan nyata pada bakteri patogen yang dikultur bersama-sama.
98

DAFTAR PUSTAKA

Cappucino JG. 1983. Microbiology: A Laboratory Manual. Addison Wesley


Publishing Company.

Dwidjoseputro D. 1998. Dasar-dasar Mikrobiologi. Cetakan 14. Jakarta:


Djambatan.

Fuller, R. 1992. History and Development of Probiotics. Di dalam: Fuller R,


editor. Probiotics the Scientific Basis. London: Chapman and Hall. Hlm 1-8.

Roffi. 2007. Mekanisme Antagonistik dari Probiotik. Akuakultur Weblog [1 Juni


2008]

Verschuere L, Rombaut G, Sorgeloos P, Verstraete W. 200. Probiotic Bacteria as


Biological Control Agents in Aquaculture. Microbial Mol Biol Rev 64:655-
671.
99

Praktikum ke-11 Tanggal : 26 Desember 2012


m.k. Mikrobiologi Akuakultur Kelompok : XI
Asisten : Rahman
Adni Zein
Dewi Nurhayati
Firsty Rahmatia
Titi Nur Cahyati
Dendi Hidayatullah
Wahyu Afrilasari
Nurlita Christyaningsih

DETEKSI KOI HERPES VIRUS (KHV) DENGAN METODE


POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151

MAYOR ILMU AKUAKULTUR


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
100

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ikan mas Cyprinus carpio adalah spesies ikan air tawar yang memiliki nilai
ekonomis penting. Spesies ini sudah tersebar luas di Indonesia dan menjadi salah
satu dari 12 komoditas andalan perikanan budidaya di Indonesia. Kegiatan
budidaya ikan mas menjadi suatu lapangan usaha yang menarik bagi masyarakat
sehingga usaha budidaya ikan mas terus berkembang. Namun demikian,
perkembangan budidaya ikan mas menghadapi kendala ketika serangan penyakit
KHV (Koi Herpesvirus) mewabah di hampir seluruh sentra budidaya ikan mas di
Indonesia.
KHV diidentifikasi pertama kali pada tahun 1998 yang menyebabkan
kematian massal pada ikan mas budidaya di Israel (Gilad et al., 2003) dan
selanjutnya, penyakit KHV dilaporkan berjangkit di beberapa negara antara lain
negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (Gray et al., 2002). Sunarto et al.
(2005) menyatakan bahwa kasus KHV di Indonesia pertama kali terjadi di Blitar
pada bulan Maret 2002. Selanjutnya serangan KHV menyebar ke Jawa barat, Jawa
Tengah, Bali, Kalimantan dan Sumatera.
Kerugian akibat serangan KHV mempengaruhi agregat produksi ikan mas di
Indonesia hingga saat ini. Hal tersebut dikarenakan serangan KHV sangat ganas
dan dapat menyebabkan kematian massal mencapai 80-100%, secara sporadis
(Hedrick et al., 2000). Serangan penyakit ini menunjukkan kematian yang sangat
cepat, ikan akan terlihat sakit dan akhirnya mati dalam 24-48 jam. Sampai tahun
2011 virus ini belum mampu diatasi, hal ini sesuai dengan pemberitaan
Banjarmasin Post (2011) yang menyatakan petani ikan keramba asal Desa Telaga
Itar, Kecamatan Kelua, Banjarmasin mengalami kerugian akibat kematin masal
ikan mas, dari total ikan sebanyak 1000 ekor, tinggal 200 ekor yang masih hidup.
Sehingga petani ikan karamba mengalami kerugian finansial yang cukup besar.
Salah satu upaya untuk mengatasi kerugian akibat serangan KHV adalah
dengan mengembangkan prosedur deteksi penyakit ini secara dini. Penyakit yang
disebabkan oleh virus atau penyakit viral memerlukan prosedur identifikasi
spesifik, selain identifikasi gejala klinis karena ukuran virus yang sangat kecil.
Ada beberapa metode identifikasi penyakit viral, antara lain dengan metode
101

serologi, histopatologi, imunohistokimia, PCR, dan menggunakan mikroskop


elektron.
Salah satu aplikasi dari PCR adalah untuk mengidentifikasi penyakit ikan
baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus. PCR (Poly Chain Reaction)
merupakan metode identifikasi penyakit viral yang cukup efektif dengan
menggunakan sistem penggandaan DNA virus dibandingkan dengan sistem
antigen dan antibodi yang kurang akurat. Hasil elektroforesis DNA lebih spesifik
untuk deteksi hingga tingkat jenis penyakit dengan bantuan marker DNA yang
telah ditemukan, dalam hal ini marker DNA adalah DNA virus. Oleh karena itu
ketrampilan dalam melakukan prosedur PCR sangat diperlukan dalam identifikasi
penyakit viral pada ikan.

2.2. Tujuan Praktikum


Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari prosedur analisa
DNA untuk mendeteksi keberadaan KHV pada ikan Mas melalui teknik PCR.
102

II. METODOLOGI

2.1. Waktu dan Tempat


Praktikum “Deteksi Koi Herpes Virus (KHV) dengan Metode Polymerase
Chain Reaction (PCR)” dilaksanakan pada tanggal 5 Desember 2012, 12
Desember 2012, dan 19 Desember 2012 bertempat di Laboratorium
Pengembangbiakan danGenetika Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

2.2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah pinset, pipet mikro,
mesin PCR, sarung tangan, peralatan elektroforesis, microtube, sentrifus, marker
DNA, inkubator, peralatan untuk mencetak gel, sumber listrik, power supply,
microtip, vortex, chamber (wadah/bak) elektroforesis yang dihubungkan dengan
kabel ke power supply dan sumber listrik, perangkat untuk visualisasi gel: UV
transiluminator dan kamera.
Adapun bahan-bahan yang digunakan adalah ikan koi (ginjal dan insang),
Cell Lysis Solution, Sodium Dodecyl Sulfat (SDS) 10 %, ethidium bromida, gel
agarosa, akuades, buffer TE (tris-HCl + EDTA), RNase, proteinse-K, Protein
Precipitation Solution, isopropanol, ethanol 70%, Ion Exchange Water (IEW), Ex
Taq (DNA Polymerase), Extaq Buffer, campuran dNTP yang mengandung
masing-masing 2,5 mM dATP, dCTP, dGTP dan dTTP, primer Forward, primer
Reverse, Electrophoresis Gel- Loading Buffer yang terdiri dari x5 TBE 200 ml,
IEW 1800 ml, ethidium bromide (60 μl)

2.3. Prosedur Kerja


2.3.1. Isolasi DNA
a. Lisis sel secara enzimatis dengan Proteinase K
Pertama-tama, suhu inkubator diatur pada 55°C, kemudian disiapkan
microtube 1,5 μl steril dan diisi dengan 200 μl Cell Lysis Solution dan 1,5 μl
larutan enzim Proteinase K dengan konsentrasi 20 mg/ml. Sampel ikan (ginjal
dan insang) ditimbang sebanyak 5-20 mg dan dimasukkan ke dalam tabung 5
microtube. Masing-masing sampel diberi kode G1 (Ginjal 1), I1 (insang 1), G2
103

(Ginjal 2 sebagai ulangan), I2 (insang 2 sebagai ulangan) dan I3 (insang 3 sebagai


ulangan). Setelah sampel dimasukkan ke dalam microtube kemudian ditambahkan
dalam campuran Cell Lysis Solution dan Proteinase K, di-spindown dan di-vortex,
lalu diinkubasi semalam pada suhu 55°C.
b. Treatmen dengan RNAse
Sampel yang telah diinkubasi semalam, dikeluarkan dari inkubator dan
didiamkan hingga suhu ruang, kemudian ditambahkan 1,5 μl RNAse dengan
konsentrasi 4 mg/ml, dihomogenkan dengan cara membolak-balikan tabung
sebanyak 30 kali. Sampel diinkubasi kembali pada suhu 37°C selama 1 jam, lalu
didinginkan sampai suhu ruang.
c. Presipitasi protein
Sampel yang telah didinginkan sampai suhu ruang kemudian ditambahkan
50 μl Protein Precipitation Solution, dan di-vortex dengan kuat selama 30 detik
untuk menghomogenkan Protein Precipitation Solution dengan sampel. Sampel
ditempatkan di ice bath selama 10-15 menit dan disentrifus pada suhu 4°C dengan
kecepatan 13.000 rpm selama 10 menit. Sebanyak 300 μl isopropanol absolut
ditambahkan pada microtube yang baru, kemudian supernatan dituangkan pada
microtube tersebut, dihomogenkan dengan cara dibolak-balikkan sebanyak 50
kali, dan disentrifus pada suhu 4°C dengan kecepatan 13.000 rpm selama 10
menit, supernatan dibuang. Kemudian ditambahkan 300 μl etanol 70% dan
dibolak-balikkan beberapa kali untuk mencuci DNA, disentrifuge pada suhu 4°C
dengan kecepatan 13.000 rpm selama 10 menit dan supernatan dibuang. Sampel
kemudian dikeringudarakan selama sekitar 2 jam, lalu ditambahkan 50 μl sampai
100 μl IEW (Ion Exchange Water), di-vortex untuk melarutkan DNA, dan
disimpan pada suhu minus 20°C.
2.3.2. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pertama-tama premix disiapkan dengan komposisi sebagai berikut:
Nama Bahan Jumlah untuk 1 sampel Jumlah untuk 4 sampel
Primer Forward 1 μl 4 μl
Primer Reverse 1 μl 4 μl
dNTP 1 μl 4 μl
Buffer Ex 1 μl 4 μl
Ex Taq 0,05 μl 0,2 μl
SDW 4,95 μl 20 μl
104

Premix dibagikan pada 7 tabung PCR sejumlah masing-masing 9 μl, lalu


ditambahkan 1 μl DNA sampel dan divortex. Alat PCR disiapkan dengan
pengaturan sebagai berikut: tahap predenaturasi (94°C) selama 3 menit, denaturasi
(94°C) selama 30 detik, annealing (56°C) selama 30 detik, extention (72°C)
selama 30 menit dan final extention (72°C) selama 3 menit sebanyak 35 siklus.
2.3.3. Elektroforesis
Sebelum melakukan prosedur elektroforesis, terlebih dahulu dibuat gel
agarose yaitu serbuk agarose 0,8-1,9 % dalam 30 ml dalam larutan 1 x TBE (Tris
Base, Boric Acid, EDTA) atau 1 x TAE (Tris Base, Glacial Acetic Acid, EDTA).
Lalu dipanaskan dalam microwave/hot plate selama 1,5 menit atau larutan sampai
mendidih dan menjadi bening. Kemudian larutan dibiarkan sampai hangat (50-
600C). kemudian larutan dituangkan ke dalam cetakan yang telah dilengkapi
sisir/comb sebagai cetakan sumur/well elektroforesis. Selanjutnya dibiarkan
membeku, kemudian dimasukkan ke dalam bak elektroforesis yang telah berisi
larutan buffer elektroforesis (1xTBE atau 1XTAE).
Sampel DNA sebanyak 3 μl dicampurkan dengan 0,5 μl 6x gel-loading
buffer, lalu dimasukkan ke dalam sumur yang terdapat dalam gel dengan
menggunakan mikropipet. Setelah itu, 3 µl marker DNA dimasukkan ke dalam
sumur di dekat sumur sampel. Selanjutnya bak elektroforesis ditutup dan dialiri
listrik dengan tegangan 200 volt dan kuat arus 60 mA. Setelah DNA bermigrasi
dari kutub negatif ke kutub positif mencapai ¾ bagian dari panjang gel (dapat
diamati dari migrasi pewarna loading dye), maka proses elektroforesis dapat
dihentikan. Setelah itu, gel diangkat bak elektroforesis dan dilepaskan dari
cetakan untuk selanjutnya diamati dengan menggunakan ultraviolet transluminator
dengan panjang gelomnbang pendek (280 nm) melalui kamera digital
Canon®Powershot A640 yang sudah terhubung ke komputer dengan pemotretan
secara otomatis menggunakan bantuan software (image capture).
105

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Hasil elektroforesis sampel DNA dari ginjal dan insang ikan koi
ditunjukkan oleh gambar 1.

Gambar 1. Amplifikasi DNA Sampel


Keterangan : M (Marker), I1 (Insang 1), G1 (Ginjal 1), I2 (Insang 2), G2 (Ginjal
2), I3 (Insang 3), (+) kontrol positif, (-) kontrol negatif.

3.2. Pembahasan
Menurut Hilwa (2004), analisa DNA yang dilakukan meliputi tahap
ekstraksi, PCR, dan Elektroforesis. Tahap pengambilan genom DNA dari sumber
sel pada organ atau bagian tubuh ikan sampel. Sedangkan untuk melakukan
analisa DNA diperlukan DNA bentuk yang murni. Ekstraksi dan pemurnian DNA
berlangsung dalam lima tahapan kegiatan, yaitu penghancuran sel penghilangan
RNA, pengendapan protein, pengendapan DNA, dan hibridisasi DNA.
PCR (polymerase chain reaction) atau reaksi rantai polimerase adalah suatu
proses untuk mengamplifikasi (memfotokopi) molekul DNA yang diinginkan
secara in vitro (di luar tubuh makhluk hidup). Prinsip PCR diilhami oleh proses
penggandaan DNA yang terjadi secara alamiah dalam tubuh makhluk hidup, yang
kita kenal dengan istilah replikasi. Pada proses PCR, hasil fotokopi tidak lain
106

merupakan primer yang diperpanjang oleh enzim DNA polimerase, ketika


menempel pada salah satu untai templat DNA (molekul DNA yang menjadi target
fotokopi). Primer merupakan oligonukleotida (beberapa nukleotida) spesifik yang
dirancang untuk membatasi fragmen DNA yang akan diamplifikasi (seperti
diketahui DNA merupakan polinukleotida). Dengan adanya variasi suhu dan
bantuan enzim DNA polimerase, primer tersebut dapat menempel dan menyalin
informasi genetik sama persis dengan templat DNA, sehingga akhirnya
didapatkan jumlah molekul DNA target yang memadai (Pikiran-Rakyat, 2006).
Proses elektroforesis dimulai dengan pembuatan gel agarose. Menurut
Muladmo (2002) dalam Hilwa (2004), pada prinsipnya DNA dapat berintegrasi di
dalam gel dalam bentuk padat yang diletakkan dalam larutan penyangga yang
dialiri arus listrik. Salah satu gel yang biasa digunakan adalah gel agarose. Ketika
elektoforesis berlangsung, molekul DNA yang bermuatan negatif pada pH netral
akan bergerak atau bermigrasi ke arah positif (anode). Kecepatan migrasi DNA
ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah ukuran molekulnya. Migrasi
molekul DNA berukuran besar lebih lambat daripada migrasi molekul berukuran
kecil (Hilwa, 2004).
Gel yang biasa digunakan antara lain agarosa. Dengan gel agarosa dapat
dilakukan pemisahan sampel DNA dengan ukuran dari beberapa ratus hingga
20.000 pasang basa (bp). Molekul DNA bermuatan negatif sehingga di dalam
medan listrik akan bermigrasi melalui matriks gel menuju kutub positif (anode).
Makin besar ukuran molekulnya, makin rendah laju migrasinya. Berat molekul
suatu fragmen DNA dapat diperkirakan dengan membandingkan laju migrasinya
dengan laju migrasi fragmen-fragmen molekul DNA strandar (marker) yang telah
diketahui ukurannya. Visualisasi DNA selanjutnya dilakukan di bawah paparan
sinar ultraviolet setelah terlebih dulu gel direndam di dalam larutan etidium
bromid (Wibowo, 2009).
Berdasarkan hasil elektroforesis (Gambar 1), terlihat bahwa sampel I1, I2,
I3, G1, dan G2 menunjukkan hasil negatif atau tidak terkena KHV yang
ditunjukkan dengan tidak adanya pita yang terbentuk pada gel. Hal ini disebabkan
oleh tidak terjadinya proses amplifikasi karena sampel tidak mengandung
template DNA yang komplemen dengan primer gen KHV. Gen penyandi KHV
107

berukuran 400 bp yang ditunjukkan oleh kontrol positif. Dengan demikian ikan
mas yang dijadikan sampel tidak terserang KHV.
Praktikum ini bertujuan untuk mendeteksi penyakit viral yang disebabkan
oleh KHV (Koi Herpes virus). KHV merupakan penyakit viral pada ikan mas dan
koi yang sangat menular dan mengakibatkan morbiditas dan mortilitas antara 80-
100% dari populasi ikan, dengan masa inkubasi 1-14 hari. Individu yang bertahan
hidup sekitar 20% pada saat terjadi wabah umumnya akan menjadi resisten
terhadap infeksi berikutnya. Namun ketahanan tersebut tidak menunjukan adanya
transfer kepada turunananya (Taukhid et al., 2005).
Koi herpesvirus diidentifikasi pertama kali tahun 1998 yang menyebabkan
kematian massal pada ikan mas budidaya di Israel (Gilad et al., 2003) dan
Amerika Serikat (Gray et al., 2002). Carp nephritis and gill necrosis virus
(CNGV) adalah nama awal virus yang berasal dari virus DNA yang morfologinya
mirip dengan anggota kelompok Herpesviridae yang nama lainnya adalah koi
herpesvirus dan Cyprinid herpesvirus (Dishon et al. 2005). Nama lain dari virus
KHV adalah Cyprinid Herpesvirus 3 atau CyHV-3 (Aoki et al., 2007). Virus ini
masuk ke Indonesia pada tahun 2002 melalui perdagangan ikan koi (Sunarto et
al., 2005).
Virus herpes merupakan virus yang berukuran besar dibandingkan dengan
virus lain. KHV memiliki kapsid simetri ikosahedral dengan diameter 100-110
nm, sedangkan virion matang memiliki amplop yang longgar sehingga ukuran
diameternya menjadi 170-230 nm. Selain itu juga terdapat benang-benang
penyangga seperti struktur tegument pada permukaan inti yang mirip dengan
kelompok Herpesvirus (Pokorova et al., 2005).
Hasil pemotongan tipis pellet virus yang telah dimurnikan menunjukkan
adanya partikel yang terbungkus dengan struktur seperti benang pada permukaan
inti (Hutoran et al., 2005). KHV juga berisi daerah padat-elektron asimetrik yang
relatif kecil di dalam inti viral yang kemungkinan merupakan DNA genomik dan
kompleks nucleoprotein (Hutoran et al., 2005).
Secara morfologi, anggota virus herpes mempunyai arsitekrtur yang serupa.
Morfologi struktur virus herpes dari bagian dalam ke bagian luar terdiri genom
DNA untai ganda linier berbentuk toroid, kapsid, lapisan tegumen dan selubung.
108

Kapsid terdiri atas protein yang tersusun dalam simetri ikosahedral. Menurut
Miwa et al. (2007) inti sel yang terinfeksi KHV mengandung banyak kapsid KHV
dengan diameter 10 nm dan morfologi yang bervariasi.
Kelompok herpesvirus umumnya memiliki karakter yang unik, yaitu
memiliki kemampuan untuk survive latent dalam sel inang untuk jangka waktu
yang lama dan akan menjadi aktif kembali apabila ada pemicu seperti perubahan
lingkungan atau stress yang terjadi pada inang (Taukhid et al., 2005). Sejumlah
virus herpes tinggal tetap dalam bentuk laten seumur hidup induk semangnya
(Malole, 1989).
Mekanisme penularan KHV umumnya terjadi melalui kontak antar ikan,
cairan dari ikan yang terinfeksi, lewat air atau lumpur yang terkontaminasi, serta
peralatan perikanan (Sunarto et al., 2005). Hal ini didukung pula oleh pendapat
Crane et al. (2004) yang menyatakan bahwa partikel virus KHV dapat bertahan
hidup di air selama 20 Jam dan lebih lama pada kolam pada kondisi buruk, ada
yang menyebutkan juga bahwa dapat bertahan di luar inang (dalam air) dan masih
infektif sekurang-kurangnya selam 4 jam. Di sisi lain mekanisme infeksi KHV
sangat dipengaruhi pula oleh faktor suhu lingkungan (Gilad et al., 2003).
Virus ini dapat menginfeksi ikan pada suhu lingkungan yang sangat
spesifik, yaitu pada suhu air 18-24oC (Hutoran et al., 2005), 18-28oC (Gilad et al.,
2003) pada sistem budidaya. Penyakit ini sangat ganas dan dapat menyebabkan
kematian massal 80-100% pada suhu 17-270C (Perelberg et al., 2003). Namun
kematian ikan akan menurun bahkan berhenti bila berada di atas dan di bawah
kisaran toleransi suhu tersebut (Gilad et al., 2003). Kisaran suhu optimal bagi
kehidupan KHV yang diamati pada penelitian secara in vitro yaitu pada kisaran
15-25oC dan tidak ada atau minimum replikasinya pada suhu 4, 10, 30, 37 oC
(Gilad et al., 2003).
109

Gambar 2. Ikan terserang KHV (Hartman et al., 2004)


Gejala klinis ikan mas yang terinfeksi KHV menunjukkan kondisi ikan yang
lemah, kehilangan keseimbangan dan kesulitan bernafas. Penampakan ikan yang
umum terjadi yaitu pengelupasan epitelium dengan produksi mukus berkurang
dan kulit terasa kasar, pendarahan (hemorargi) pada operculum, sirip ekor dan
perut yang disertai kerusakan pada insang (Sunarto et al., 2005). Lebih lengkap
Taukhid et al. (2005) menunujukan beberapa gejala-gejjala yang timbul pada ikan
mas dan koi yang terinfeksi koi herpes virus: a) produksi lendir (mukus) berlebih
sebagai respon fisiologis terhadap kehadiran patogen, selanjutnya produksi lendir
menurun drastis sehingga tubuh ikan terasa kasar. b) insang berwarna pucat dan
terdapat bercak putih atau coklat (sebenanrnya adalah kematian sel-sel insang atau
nekrosa insang), selanjutnya menjadi rusak, geripis pada ujung tapis insang dan
akhirnya membusuk. Secara mikroskopis terjadi adanya kerusakan jaringan yang
serius serta kematian sel yang berat. c) pendarahan (hemorargi) disekitar pangkal
dan ujung sirip serta permukaan tubuh lainnya, d) adanya kulit melepuh, e) hati
berwarna pucat selanjutnya menjadi rusak, f) ginjal (anterior dan posterior)
berwarna pucat.
110

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Sampel yang berasal dari ikan mas yang digunakan dalam praktikum ini
menunjukkan hasil negatif KHV. Hal ini berdasarkan tidak adanya pita yang
terbentuk pada gel elektroforesis. Gen penyandi KHV berukuran 400 bp yang
ditunjukkan oleh kontrol positif.

4.2. Saran
Sebelum pengambilan sampel sebaiknya dilakukan diagnosa terhadap gejala
klinis ikan agar memungkinkan didapat sampel dari ikan sakit dan ikan sehat,
sehingga dapat dibedakan sampel positif dan negatif KHV.
111

DAFTAR PUSTAKA
Aoki T, Hirono I, Kurokawa K, Fukuda H., Nahary R, Eldar A, Davidson AJ,
Waltzek TB, Bercovier H, Hedrick RP. 2007. Genomic sequences of three
koi herpesvirus isolates representing the expanding distribution of an
emerging diseases threatening koi and comon carp worldwide. J. Virol, 81
(10): 5058-5065.

Crane M, Sano M, Komar C.2004.Infection with Koi herpesvirus-disease card.


Develop to support the NACA/FAO/OIE Regional quarterly aquatic animal
disease (QAAD) reporting system in the Asia Pasific. NACA, Bangkok,
Thailand. 11pp.

Dishon A, Parerlberg A, Bishar-Shieban J. Ilouze M, Davidovich M, Warker S,


Kotler M.2005. Detection of carp interstitial nephritis and gill necrosis virus
in fish dropping. Applied and Environmental Microbiology,71(11): 7285-
7291.

Gilad, O., Yun, S., Andree, K., Adkison, M., Zlotkin, A., Bercovier, H., Eldar, A.,
Hedrick, R. 2003. Molecular comparison of isolates of an emerging fish
patogen, koi herpesvirus and the effect of water temperature on mortality of
experimentally infected koi. Journal of General Virology, 84: 2661-2668.

Gray WL, Mullis L, LaPatra SE, Grott JM, Goodwin A. 2002. Detection of Koi
herpesvirus DNA in Tissues ofinfected fish. J. Fish Disease, 25:171-178.

Hartman, K.H., Yanong, R.P.E., Petty, B.D., Francis-Floyd, R. and Riggs, A.C.
2004. Koi Herpes Virus (KHV) Disease. University of Florida.

Hedrick, R.P., Gilad, O., Yun, S., Spangenberg, J.V., 2000. A Herpes Virus
associated with mass mortality of juvenile and adult koi, a strain of common
carp. Aquatic Animal Health, 12: 44-57.

Hilwa, Z. 2004. Karakterisasi Genotip Ikan Lele Sangkuriang Dengan Metode


PCR-RFLP ADN Mitokondria. Skripsi. Program Studi Teknologi dan
Manajemen Akuakultur. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hutoran, M., Ronen, A., Perelberg, A., Ilouze, M., Dishon, A., Bejerano, I., Chen,
N., and Kotler, M. 2005. Description of an as yet unclassifield DNA virus
from diseased Cyprinus carpio species. J. Virol., 79: 1983–1991.

Malole, M.B.M., Pramono, C.S.U. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di


Laboratorium. Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi. PAU. IPB.
112

Perelberg, A., Smirnov, M., Hutoran, M., Diamant, A., Bejerano, T., Kotler, M.,
2003. Epidemiological description of new viral disease affecting cultured
Cyprinus carpio in Israel. Bamidgeh, 55: 5-12.

Pikiran-rakyat. Memfotocopi DNA dengan PCR. http://www.pikiran-rakyat.com/


[1 Desember 2008].

Sunarto, A., Rukyani, A., Itami, T., 2005. Indonesian experience on the outbreak
of Koi Herpesvirus in koi and carp (Cyprinus caprio). Bull. Fish. Res. Agen.
Suplement, 2: 15-21.

Taukhid, A., Komarudin, O, Supriyadi, H., Bastiawan, D. 2005. Strategi


Pengendalian Penyakit pada Budidaya Ikan Air Tawar. Kumpulan Makalah
Strategi Pengelolaan dan Pengendalian Penyakit KHV. Pusat Riset
Perikanan Budidaya. Jakarta.

Wibowo, M. S. 2009. Elektroforesis. Sekolah Farmasi. Institut Teknologi


Bandung.

Anda mungkin juga menyukai