LAPORAN PRAKTIKUM
MIKROBIOLOGI AKUAKULTUR
Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas nikmat dan karunia Allah SWT, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan praktikum Mikrobiologi Akuakultur ini dengan baik. Rasa
terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir.
Widanarni, M.Si selaku koordinator mata kuliah Mikrobiologi Akuakultur beserta
tim yang telah memberikan petunjuk dan membimbing dalam pelaksanaan
praktikum sampai penulisan laporan praktikum ini.
Laporan praktikum ini penulis selesaikan dalam rangka memenuhi tugas
akhir semester satu pada mata kuliah Mikrobiologi Akuakultur. Laporan
praktikum ini disusun berdasarkan hasil praktikum yang dilaksanakan di
Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor setiap hari Rabu, pukul
13.30-16.30 WIB.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini, masih terdapat
kesalahan-kesalahan dalam penulisannya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Selain itu, dengan laporan
penulis juga mengharapkan ada banyak manfaat bagi kita semua untuk menambah
ilmu pengetahuan terutama yang berhubungan dengan mikrobiologi akuakultur.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................... iii
RIWAYAT PENULIS .................................................................... iv
LAPORAN PRAKTIKUM
1. Penyiapan Medium, Sterilisasi Bahan dan Peralatan ..................... 1
2 Isolasi Bakteri dan Fungi dari Lingkungan Akuatik ...................... 13
3. Pewarnaan Gram ……..................................................................... 23
4. Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi Bakteri ..................... 33
5. Morfologi Fungi …….………………………………..................... 42
6. Perhitungan Bakteri dengan Metode Hitungan Cawan ………....... 53
7. Penanda Antibiotik Resisten ……………………………………… 62
8. Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Viabilitas Bakteri ........ 69
9. Pengaruh Bahan Antimikroba Terhadap Pertumbuhan Bakteri ..... 78
10. Seleksi Bakteri Probiotik untuk Akuakultur ................................. 90
11. Deteksi Koi Herpes Virus (KHV) dengan Metode PCR …………. 99
iv
RIWAYAT PENULIS
Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151
I. PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan mempelajari prosedur umum untuk merekonstitusi
(mengembalikan kepada keadaan asalnya) medium berbentuk bubuk (terdehidrasi)
dan menaruhnya dalam jumlah yang dikehendaki ke dalam wadah-wadah yang
sesuai, serta mempelajari berbagai macam prosedur sterilisasi bahan dan
peralatan.
3
II. METODOLOGI
Gambar 4. Pembuatan medium agar miring pada tabung reaksi pada praktikum
Mikrobiologi Akuakultur 2012.
6
3.1. Hasil
Berikut ini adalah tabel hasil praktikum penyiapan medium dan sterilisasi
bahan dan peralatan.
Tabel 1. Kontaminan yang terjadi pada penuangan medium ke cawan petri
No. Tabung Kontaminan
1. Deny -
2. Darmawan -
3. Sri -
4. Anis -
5. Yeni -
Keterangan:
- : aseptik
+ : sedikit kontaminan
++ : banyak kontaminan
Gambar 5. Hasil pengamatan media agar pada cawan petri setelah inkubasi 24 jam
Berdasar tabel 1. dan gambar 5. diperoleh hasil bahwa setelah inkubasi
selama 24 jam seluruh media agar yang dibuat tidak ditumbuhi kontaminan.
3.2. Pembahasan
Dalam mikrobiologi medium sangat dibutuhkan untuk membiakkan
mikroba. Medium dalam hal ini adalah suatu substrat untuk menumbuhkan
mikroba, yang menjadi padat dan tetap tembus pandang pada suhu inkubasi yaitu
suhu yang cocok bagi pertumbuhan mikroba (Pelczar & Chan, 1986). Berdasarkan
bentuknya terdapat dua macam medium, yaitu medium padat dan medium cair
(Dwidjoseputro, 1998).
7
membentuk gel bila suhu dikurangi sampai di bawah 45oC. Agar bukan sumber
nutrien bagi bakteri (Pelczar & Chan, 1986).
Yeast ekstrak, yaitu suatu ekstrak cair sel khamir, tersedia secara komersial
dalam bentuk bubuk. Yeast ekstrak merupakan sumber yang amat kaya akan
vitamin B, juga mengandung nitrogen dan senyawa-senyawa karbon (Pelczar &
Chan, 1986).
Media yang digunakan dalam praktikum ini berupa media TSA
(Trypticase Soya Agar) agar padat. Media TSA memiliki komposisi pepton dari
kasein 17 gram, pepton dari kedelai 3 gram, glukosa 2.5 gram, NaCl 5 gram,
K2HPO4 2.5 gram, dan aquades 1 liter (Acumedia, 2010).
Banyak persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat menumbuhkan
mikroorganisme dalam suatu medium. Untuk menunjang keberhasilan dalam
kultur mikroba diperlukan suatu kombinasi nutrien dan lingkungan fisik yang
sesuai. Di dalam Madigan et al. (1997), faktor tumbuh adalah komponen organik
seperti mikronutrien yang hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit, termasuk
vitamin, asam amino, purin, dan pirimidin; kebanyakan mikroorganisme dapat
mensintesis semua komponen-komponen tersebut walaupun ada satu atau lebih
dapat mengambilnya dari alam. Menurut Filzahazny (2008) parameter lingkungan
fisik yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba adalah suhu, atmosfer gas,
keasaman atau kebasaan (pH), cahaya dan tekanan osmotik.
Semua proses pertumbuhan bergantung pada reaksi kimiawi dan laju
reaksi-reaksi ini dipengaruhi oleh suhu, sehingga pola pertumbuhan bakteri dapat
sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu juga mempengaruhi laju pertumbuhan dan
jumlah total pertumbuhan organisme. Keragaman suhu juga dapat proses-proses
metabolik tertentu serta morfologi sel. Setiap spesies bakteri tumbuh pada suatu
kisaran suhu tertentu. Atas dasar ini, maka bakteri dapat diklasifikasikan sebagai
psikrofil, yang tumbuh pada 00C sampai 300C ; mesofil yang tumbuh pada 250C
sampai 400C; termofil tumbuh pada 500C atau lebih. Suhu inkubasi yang
memungkinkan pertumbuhan tercepat selama periode waktu yang singkat (12
sampai 24 jam), dikenal sebagai suhu pertumbuhan optimum (Filzahazny, 2008).
Gas-gas utama yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri adalah oksigen
dan karbon diosida. Bakteri memperlihatkan keragaman yang luas dalam hal
9
respon terhadap oksigen bebas dan atas dasar ini maka mudah sekali untuk
membagi mereka menjadi lima kelompok, yaitu aerobik (organisme yang
membutuhkan oksigen), anaerobik fakultatif (tumbuh pada keadaan aerobik dan
anaerobik), dan mikroaerofilik (tumbuh baik bila ada sedikit oksigen atmosfirik),
aerob aerotoleran (tidak mati dengan adanya oksigen), aerob obligat (tumbuh
subur apabila ada oksigen dalam jumlah besar). Beberapa bakteri tidak hanya
anaerobik, tetapi juga sangat sensitif terhadap oksigen, yakni apabila terkena
oksigen akan terbunuh (Filzahazny, 2008).
PH optimum pertumbuhan bagi kebanyakan bakteri terletak antara 6,5 dan
7,5. Namun, beberapa spesies dapat tumbuh dalam keadaan masam, atau sangat
alkaline. Bagi kebanyakan spesies, nilai pH minimum dan maksimum antara 4
dan 9. Bila bakteri dikultivasi di dalam suatu medium yang mula-mula
disesuaikan pH-nya misalnya 7, maka mungikn sekali pH ini akan berubah
sebagai akibat adanya senyawa asam atau basa yang dihasilkan selama
pertumbuhannya. Pergeseran pH ini dapat sedemikian besar sehingga dapat
menghambat pertumbuhan selanjutnya organisme tersebut. Pergeseran pH dapat
dicegah dengan menggunakan larutan penyangga dalam medium. Larutan
penyangga adalah senyawa atau pasangan senyawa yang dapat menahan
perubahan pH. Suatu kombinasi garam phospat, seperti KH2PO4 dan K2HPO4
digunakan secara luas dalam media bakteriologi untuk tujuan ini. Beberapa bahan
nutrisi medium, seperti pepton juga mempunyai kapasitas penyangga. Perlu atau
tidaknya suatu medium diberi larutan penyangga tergantung dari maksud
penggunaanya dan dibatasi oleh kapasitas penyangga yang dimiliki senyawa-
senyawa yang digunakan (Filzahazny, 2008).
Beberapa kelompok bakteri mempunyai persyaratan tambahan. Sebagai
contoh, organisme fotoautotrofik (fotosintetik) harus diberi sumber pencahayaan,
karena cahaya adalah sumber energinya (Filzahazny, 2008).
Pertumbuhan bakteri dapat dipengaruhi oleh keadaan tekanan osmotic,
yaitu tenaga atau tegangan yang terhimpun ketika air berdifusi melalui suatu
membran) atau tekanan hidrostatik (tegangan zat alir). Bakteri tertentu tumbuh
dalam lingkungan berkonsentrasi garam tinggi atau rendah. Ini menunjukan
adanya tanggapan terhadap tekanan osmotik (Filzahazny, 2008).
10
4.1. Kesimpulan
Medium adalah suatu substrat untuk menumbuhkan mikroba, yang
menjadi padat dan tetap tembus pandang pada suhu inkubasi yaitu suhu yang
cocok bagi pertumbuhan mikroba. Bahan kompleks yang sering digunakan
sebagai bahan medium adalah ekstrak daging sapi, pepton, agar, dan yeast ekstrak.
Tumbuh kembang mikroorganisme memerlukan suatu kombinasi nutrien dan
lingkungan fisik yang sesuai. seluruh praktikan dalam kelompok XI dapat
dinyatakan bekerja secara aseptik saat pembuatan media agar pada cawan petri,
hal ini dapat dilihat ketika pengamatan satu hari setelah praktikum medium yang
dituang oleh tidak mengandung koloni bakteri.
4.2. Saran
Kerja mikrobiologi membutuhkan lingkungan yang benar-benar aseptik.
Penggunaan sarana penunjang seperti laminar air flow sangat disarankan untuk
peningkatan kerja aseptik tersebut, sehingga diperoleh hasil yang maksimal dan
akurat.
12
DAFTAR PUSTAKA
Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151
I. PENDAHULUAN
1.2.Tujuan
Praktikum ini bertujuan mempelajari cara mengisolasi bakteri dan fungi
dari lingkungan budidaya serta mengamati ciri-ciri koloni bakteri dan fungi yang
tumbuh.
15
II. METODOLOGI
Keterangan :
(A) Pembagian sektor pada permukaan luar dasar cawan petri.
(B) Pembagian sektor tampak melalui tutup cawan petri.
Tangan dan meja praktikum disterilkan dengan alkohol. Sebelum
bakteri/fungi dipindahkan dengan lup inokulasi, lup inokulasi dibakar hingga
16
kawatnya berpijar. Dengan lup inokulasi, secara aseptik satu lup sampel air
dipindahkan pada media dalam cawan petri.
Bakteri diisolasi dengan goresan zigzag pada media dalam cawan petri
pada kuadran O hingga kuadran III. Lup digoreskan zig-zag pada kuadran O,
setelah itu lup dibakar lagi. Kemudian, setelah lup dingin, lup digoreskan zigzag
dengan mengambil sedikit isolat mikroba yang ada pada kuadran O dan diteruskan
sampai kuadaran I tergores penuh. Penggoresan tidak bertumpang tindih. Langkah
tersebut diulangi untuk pengenceran biakan dari kuadran I ke kuadran II dan
kuadran III ke kuadran III. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut
ini.
Gambar 2.A
Kuadran O adalah tempat mula-mula diletakkannya inokulum
dengan lup inokulasi
Gambar 2.B
Sektor I merupakan pengenceran pertama. Garis-garis goresan
pada sektor I saling terpisah seseragam dengan menggunakan
lup inokulasi.
Gambar 2.C
Sektor II adalah usaha pengenceran kedua.
Gambar 2.D
Sektor III merupakan usaha pengenceran terakhir.
17
3.1. Hasil
Berikut ini adalah hasil pengisolasian bakteri dan fungi yang diambil dari
air sampel.
Tabel 1. Hasil pengamatan pertumbuhan koloni bakteri dan fungi dari lingkungan
budidaya
Tidak
Laut TCBS -
tumbuh
Tidak
Kolam GYA -
tumbuh
3.2. Pembahasan
Mikroorganisme yang diisolasi pada praktikum ini adalah bakteri dan
fungi. Isolasi mikroorganisme ini menggunakan media SWC (Sea Water
Complete), TCBS (Thiosulphate Citrate Bile-Salt Sucrose), dan TSA (Trypticase
18
Soy Agar) untuk menumbuhkan bakteri. Media GYA (Glucose Yeast Agar) untuk
menumbuhkan fungi.
SWC (Sea Water Complete) adalah salah satu medium yang berfungsi
menumbuhkan bakteri air laut. Komposisi bahan yang terkandung dalam SWC
adalah bacto pepton, yeast ekstrak, gliserol bacto agar, air laut, dan akuades.
Masing-masing bahan tersebut memiliki peranan penting dalam media tumbuh
bakteri. Bacto pepton berfungsi sebagai sumber utama nitrogen organik, dapat
mengandung vitamin dan kadang-kadang karbohidrat, dan bergantung pada jenis
bahan berkandungan protein yang dicernakan. Yeast ekstrak merupakan sumber
yang amat kaya akan vitamin B, juga mengandung nitrogen dan senyawa-senyawa
karbon. Di dalam gliserol bacto agar terdapat agar yang merupakan suatu
karbohidrat kompleks yang diperoleh dari alga laut tertentu, diolah untuk
membuang substansi yang tidak dikehendaki. Peranan agar adalah sebagai bahan
pemadat media, agar yang lebur dalam larutan cair akan membentuk gel bila suhu
dikurangi sampai di bawah 45oC. Agar bukan sumber nutrien bagi bakteri (Pelczar
& Chan, 1986). SWC digunakan untuk menumbuhkan bakteri air laut, sehingga
dalam SWC terdapat harus terdapat air laut yang berfungsi untuk membentuk
media tumbuh bakteri yang sesuai dengan habitat aslinya. Akuades dalam SWC
berfungsi mengencerkan media dalam proses pembuatannya.
TCBS ((Thiosulphate Citrate Bile-Salt Sucrose) merupakan salah satu
media selektif yang berfungsi dalam isolasi dan pemeliharaan bakteri jenis Vibrio.
TSA (Trypticase Soy Agar) berfungsi untuk menumbuhkan bakteri air
tawar. TSA mengandung soya peptone (soytone) sebagai sumber nitrogen, vitamin
dan mineral, tryptone sebagai sumber asam amino untuk pertumbuhan, sodium
cloride untuk menyeimbangkan tekanan osmotik, dan bacto agar.
GYA (Glucose Yeast Agar) untuk menumbuhkan fungi. GYA
mengandung antibiotik yang berfungsi menghambat pertumbuhan
mikroorganisme selain fungi yang ditumbuhkan. Antibiotika adalah segolongan
senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau
menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme (Wikipedia, 2008)
Bakteri ditumbuhkan pada media SWC, TCBS dan TSA pada praktikum
ini. Bakteri adalah mikroorganisme uniselular, prokariotik (tidak memiliki
19
membran inti), berukuran kira-kira 0.5-1.0 x 2.0-5.0 µm (Pelczar & Chan, 1986).
Berdasarkan bentuk morfologinya, maka bakteri dapat di bagi atas tiga golongan,
yaitu golongan basil (silindris), golongan kokus (bola) dan golongan spiril (spiral)
(Dwidjoseputro, 1978).
Bakteri yang diisolasi dalam praktikum ini adalah bakteri air tawar dan air
laut. Mikroba air tawar yang berasal dari air kolam yang ditumbuhkan pada
medium TSA menghasilkan dua jenis koloni. Ciri-ciri koloni ini yaitu warna
kuning dan putih, bentuk bulat, elevasi cembung, tepian wooly, dan konsistensi
lengket. Ada tiga koloni bakteri air laut yang tumbuh pada medium SWC, dua
jenis koloni yang paling banyak memiliki ciri-ciri yaitu warna kuning dan putih,
tepian smooth, elevasi cembung, dan tidak lengket. Bakteri yang diisolasi dari air
laut tidak tumbuh pada media TCBS.
Selain bakteri, yang diisolasi dalam praktikum ini adalah cendawan/fungi.
Tidak terdapat cendawan yang tumbuh pada medium GYA yang diisolasi dari air
kolam. Fungi adalah nama regnum dari sekelompok besar makhluk hidup
eukariotik heterotrof yang mencerna makanannya di luar tubuh lalu menyerap
molekul nutrisi ke dalam sel-selnya. Fungi memiliki bermacam-macam bentuk.
Orang awam mengenal sebagian besar anggota Fungi sebagai jamur, kapang,
khamir, atau ragi, meskipun seringkali yang dimaksud adalah penampilan luar
yang tampak, bukan spesiesnya sendiri. Kesulitan dalam mengenal fungi sedikit
banyak disebabkan adanya pergiliran keturunan yang memiliki penampilan yang
sama sekali berbeda. Fungi memperbanyak diri secara seksual dan aseksual
(Wikipedia, 2008). Cendawan/fungi merupakan organisme heterotrof yang
berfilamen, umunya bersifat saprofit, beberapa di antaranya bersifat parasit,
bahkan ada yang bersifat parasit obligat
Klasifikasi cendawan air menurut Moore-Landecker (1996) diacu dalam
Prihartini (2003) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Mycetacea
Divisi : Mastigospora
Kelas : Oomycetes
Ordo : 1. Laginidiales
2. Leptomitales
20
3. Peronosporales
4. Saprolegniales
21
4.1 Kesimpulan
Mikroba air tawar yang berasal dari air kolam yang ditumbuhkan pada
medium TSA menghasilkan dua jenis koloni saja. Ciri-ciri koloni ini yaitu warna
putih dan kuning, tepian wooly, elevasi cembung, dan konsistensi lengket. Ada
dua jenis koloni bakteri air laut yang tumbuh pada medium SWC, memiliki ciri-
ciri yaitu warna kuning dan putih, tepian smooth, elevasi cembung, dan
konsistensi tidak lengket. Tidak terdapat koloni bakteri yang diisolasi dari air laut
yang tumbuh pada media TCBS dan tidak terdapat cendawan yang tumbuh pada
medium GYA yang diisolasi dari air kolam.
4.2 Saran
Isolasi bakteri dan fungi dari lingkungan akuatik berguna untuk
mendeteksi keanekaragaman mikroba yang ada. Penggunaan berbagai macam
media yang lebih bervariasi sangat disarankan untuk menunjang hasil isolasi yang
lebih optimal.
22
DAFTAR PUSTAKA
Sari, Febianty BP. 2003. Identifikasi dan Uji Postulat Koch Cendawan Penyebab
Penyakit pada Ikan Gurami [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
PEWARNAAN GRAM
Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151
I. PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengenalkan dan mempelajari prosedur pewarnaan
gram serta memahami pentingnya setiap langkah dalam prosedur tersebut.
25
II. METODOLOGI
3.1. Hasil
Hasil pengamatan pewarnaan Gram disajikan melalui tabel di bawah ini.
Tabel 1. Hasil pewarnaan Gram.
Batang + Monobasil
H
Bulat + Staphylococcus
11 B Batang + Monobasil
Batang + mono
E
Bulat + staphylo
B Batang + Mono
Batang + mono
E
Bulat + staphylo
12
Mono
Batang +
H Mono, diplo,
Bulat +
staphylo
27
3.2. Pembahasan
Banyak senyawa organik berwarna yang digunakan untuk mewarnai
mikroorganisme dalam proses pengidentifikasian mikroba dengan menggunakan
mikroskop. Menurut Pelczar & Chan (1986), langkah-langkah utama dalam
mempersiapkan spesimen mikroba yang diwarnai untuk pemeriksaan mikorskopik
adalah penempatan olesan, atau lapisan tipis spesimen, pada kaca objek; fiksasi
olesan itu pada kaca objek, biasanya dengan pemanasan yang menyebabkan
mikroorganisme itu melekat pada kaca objek; dan aplikasi pewarna tunggal
(pewarnaan sederhana) atau serangkaian larutan pewarna atau reagen (pewarnaan
diferensial).
Pemberian warna pada bakteri atau jasad-jasad renik lain dengan
menggunakan larutan tunggal suatu pewarna pada lapisan tipis, atau olesan yang
sudah difiksasi, dinamakan pewarnaan sederhana. Sedangkan prosedur pewarnaan
yang menampilkan perbedaan di antara sel-sel mikrobe atau bagian sel-sel
mikrobe disebut teknik pewarnaan diferensial (Pelczar & Chan, 1986).
Teknik pewarnaan yang dilakukan pada praktikum ini adalah pewarnaan
gram yang merupakan merupakan salah satu teknik pewarnaan diferensial yang
paling penting dan paling luas digunakan untuk bakteri. Pewarnaan Gram atau
metode Gram adalah suatu metode empiris untuk membedakan spesies bakteri
menjadi dua kelompok besar, gram-positif dan gram-negatif, berdasarkan sifat
kimia dan fisik dinding sel mereka. Metode ini diberi nama berdasarkan
penemunya, ilmuwan Denmark Hans Christian Gram (1853–1938) yang
mengembangkan teknik ini pada tahun 1884 untuk membedakan antara
pneumokokus dan bakteri Klebsiella pneumoniae (Wikipedia, 2008).
Dalam praktikum ini olesan bakteri terfiksasi ditetesi dengan larutan ungu
kristal (Gram A), iodium (Gram B), alkohol (Gram C) dan safranin (Gram D)
secara berurutan. Setiap larutan yang diteteskan pada olesan bakteri memiliki
fungsi dan peran masing-masing terutama dalam pengidentifikasian bakteri gram
positif ataupun gram negatif. Hasil akhir dari proses pewarnaan pada praktikum
menunjukkan bahwa bakteri gram positif berwarna ungu pada saat diamati dengan
mikroskop, sedangkan bakteri gram negatif berwarna merah muda saat diaamati
dengan mikroskop.
28
Pada bakteri gram positif, larutan ungu kristal (UK) menyebabkan sel
berwarna ungu. Pada saat penetesan larutan iodium (Y), kompleks ungu kristal-
iodium (UK-Y) terbentuk di dalam sel dan sel tetap berwarna ungu. Penetesan
alkohol mengakibatkan dinding sel mengalami dehidrasi, pori-pori menciut, daya
rembes dinding sel dan membran menurun, UK-Y tidak dapat keluar dari sel,
sehingga pada saat penetesan safranin sel tetap berwarna ungu (Pelczar & Chan,
1986).
Berbeda dengan bakteri gram positif, pada saat pemberian alkohol bakteri
gram negatif mengalami ekstraksi lipid dari dinding sel, pori-pori mengembang,
kompleks ungu kristal-iodium ke luar dari sel, dan sel menjadi tak berwarna. Pada
penetesan safranin sel menyerap zat pewarna dan menjadi merah (Pelczar &
Chan, 1986).
Faktor yang mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan dalam pewarnaan
gram adalah pelaksanaan fiksasi panas terhadap olesan, fiksasi panas yang
berlebihan akan menyebabkan pecahnya dinding sel, sehingga bakteri gram positif
akan melepaskan pewarna utama dan menyerap pewarna tandingan yaitu sfranin
sehingga tampak seperti gram negatif. Selain itu, faktor yang lainnya adalah
kerapatan olesan; konsentrasi dan umur reagen yang digunakan; sifat, konsentrasi,
dan jumlah pencuci yang digunakan; serta sejarah (umur) biakan.
Isolat bakteri yang diamati pada praktikum ini adalah isolat A, B, C, D, E,
G, H, dan I. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bakteri A berbentuk batang,
gram (+) dengan penataan diplobasilus; bakteri B berbentuk batang, gram (+)
dengan penataan monobasilus; bakteri C berbentuk batang koma (vibrio), gram (-)
dengan penataan lapisan pagar; bakteri D berbentuk batang, gram (+) dengan
penataan streptobasilus; bakteri E merupakan campuran antara bakteri berbentuk
batang dan bulat, keduanya gram (+) dengan penataan monobasilus dan
staphylicoccus; bakteri H merupakan campuran antara bakteri berbentuk batang
dan bulat, keduanya gram (+) dengan penataan monobasilus dan staphylicoccus;
bakteri I merupakan campuran antara bakteri berbentuk batang gram (+) dan bulat
gram (-), dengan penataan monobasilus dan monococcus.
Beberapa jenis bakteri dari gram positif maupun gram negatif dapat
meneybabkan penyakit pada ikan. Hama dan penyakit ikan karantina golongan
29
4.1. Kesimpulan
Pewarnaan Gram atau metode Gram adalah suatu metode empiris untuk
membedakan spesies bakteri menjadi dua kelompok besar, gram-positif dan gram-
negatif, berdasarkan sifat kimia dan fisik dinding sel mereka. Olesan bakteri
terfiksasi yang ditetesi dengan larutan ungu kristal (Gram A), iodium (Gram B),
alkohol (Gram C) dan safranin (Gram D) secara berurutan, di mana setiap larutan
yang diteteskan pada olesan bakteri memiliki fungsi dan peran masing-masing
terutama dalam pengidentifikasian bakteri gram positif ataupun gram negatif.
Setiap langkah yang dilakukan pada pewarnaan gram penting untuk dicermati dan
dipahami agar diperoleh hasil pewarnaan yang tepat.
Hasil pengamatan pada praktikum ini menunjukkan bahwa bakteri A
berbentuk batang, gram (+) dengan penataan diplobasilus; bakteri B berbentuk
batang, gram (+) dengan penataan monobasilus; bakteri C berbentuk batang koma
(vibrio), gram (-) dengan penataan lapisan pagar; bakteri D berbentuk batang,
gram (+) dengan penataan streptobasilus; bakteri E merupakan campuran antara
bakteri berbentuk batang dan bulat, keduanya gram (+) dengan penataan
monobasilus dan staphylococcus; bakteri H merupakan campuran antara bakteri
berbentuk batang dan bulat, keduanya gram (+) dengan penataan monobasilus dan
staphylococcus; bakteri I merupakan campuran antara bakteri berbentuk batang
gram (+) dan bulat gram (-), dengan penataan monobasilus dan monococcus.
4.2. Saran
Sebaiknya jenis bakteri diketahui dahulu sebelum pengamatan dilakukan,
sehingga pelaksanaan prosedur dapat dievaluasi berdasarkan hasil yang diperoleh.
32
DAFTAR PUSTAKA
DKP. 2004. Penyakit Ikan Karantina Golongan Bakteri. www. Dkp.go.id. [1 April
2008].
33
Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151
I. PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan mempelajari prosedur karakterisasi fisioligi dan
biokimia bakteri.
35
II. METODOLOGI
3.1. Hasil
Hasil dari uji-uji karakterisasi biokimia dan fisiologi bakteri yang telah
dilakukan disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. Hasil uji identifikasi bakteri
Uji Bakteri
Sampel O/F
Gram Genus
Kelompok Katalase Oksidase Non Motilitas
Parafin
Parafin
7 + - Kuning Kuning - + Staphylococcus
Staphylococus,
8 + - Kuning Hijau + + Corynebacterium,
Listeria
9 + + Kuning Hijau - + -
10 + + Kuning Hijau - + -
11 + - Hijau Hijau - + Staphylococus
12 + - Kuning Kuning - + Bacillus
3.2. Pembahasan
Identifikasi bakteri dapat menggunakan cara karakterisasi sifat biokimia dan
morfologi bakteri. Uji-uji yang dilakukan dalam mengkarakterisasi sifat biokimia
dan morfologi bakteri menurut Sharpe (1980 dalam Malaka dan Laga, 2005)
adalah sifat Gram, temperatur pertumbuhan, uji katalase, fermentasi karbohidrat,
toleransi NaCl, uji pasteurisasi, kemampuan tumbuh pada pH basa, kemampuan
tumbuh pada susu yang mengandung biru metilen, toleransi garam empedu,
produksi asam laktat dalam susu, dan uji sensitifitas terhadap antibiotik. Dalam
praktikum ini hanya dilakukan beberapa dari uji-uji tersebut, di antaranya adalah
uji oksidatif/fermentatif, uji motilitas, uji oksidase, uji katalase, dan uji gelatin.
Oksidasi merupakan hilangnya energi elektron dari suatu molekul, selalu
disertai dengan reduksi, yaitu diperolehnya elektron oleh molekul yang lain.
Fermentasi merupakan kegiatan mikroorganisme anaerob dalam menghasilkan
energi yang menggunakan bahan organik sebagai donor dan aklseptor elektron
(Pelczar & Chan, 1986). Uji oksidatif/fermentatif dalam praktikum ini
menggunakan parafin untuk mencegah kontak antara medium dan udara. Dalam
penelitiannya, Purnawati (2008) menggunakan larutan agar-agar 3 % untuk
38
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan uji-uji yang telah dilakukan didapatkan sifat biokimia dan
fisiologi dapat dilakukan identifikasi menggunakan tabel Cowan. Hasil
identifikasi didapatkan 4 jenis bakteri dari genus Staphylococcus,
Corynebacterium, Listeria, dan Bacillus.
4.2. Saran
Sebaiknya jenis bakteri diketahui dahulu sebelum pengamatan dilakukan,
sehingga pelaksanaan prosedur dapat dievaluasi berdasarkan hasil yang diperoleh.
41
DAFTAR PUSTAKA
Feliatra et al. 2004. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Probiotik dari Ikan Kerapu
Macan (Ephinephelus fuscogatus) dalam Upaya Efisiensi Pakan Ikan. Jurnal
Natur Indonesia. 6(2): 75-80 (2004). ISSN 1410-9379.
Misgiyarta & Widowati, S. 2002. Seleksi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat
(BAL) Indigenus. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan
Bioteknologi Tanaman.
MORFOLOGI FUNGI
Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151
I. PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengamati morfologi fungi.
44
II. METODOLOGI
Kultur dan uji biokimia khamir, jarum ose dibakar diatas api bunsen
sampai membara. Setelah membara, jarum ose didinginkan dibagian pinggir
microtube yang berisi larutan isolat khamir, kemudian ujung jarum ose
dimasukkan ke dalam isolat khamir dan digoreskan pada media GYA lalu
diinkubasi selama 24 jam. Setelah 24 jam diinkubasi, khamir yang telah tumbuh
pada media GYA kemudian dipindahkan secara aseptis ke masing-masing tabung
45
yang berisi larutan gula sederhana, diinkubasi lagi selama 24 jam kemudian
diamati perubahan warna larutan gula.
46
III. PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Hasil dari pengamatan yang telah dilakukan disajikan dalam tabel-tabel
di bawah ini.
Tabel 1. Jumlah persentase khamir yang mati dan hidup pada biakan murni.
Jenis Rataan Sel Rataan Sel Persentase Persentase Sel
Kel.
Sampel Mati (A) Hidup (B) Sel Mati (%) hidup (%)
7 A 39 183 17,57 82,47
11 A 4 24 15 85
3.2. Pembahasan
Fungi atau cendawan adalah organisme heterotrofik yang memerlukan
senyawa organik untuk nutrisinya. Cendawan dapat lebih bertahan dalam keadaan
alam sekitar yang tidak menguntungkan dibanding dengan jasad-jasad renik
lainnya. Cendawan mampu memanfaatkan berbagai macam bahan untuk gizinya.
Sekalipun demikian, cendawan adalah heterotrof (Pelczar & Chan, 1986).
47
Klasifikasi cendawan terutama didasarkan pada ciri spora seksual dan tubuh
yang ada selama tahap-tahap seksual dalam daur hidupnya. Namun jika tingkat
seksual cendawan tidak diketahui maka klasifikasinya harus menggunakan ciri-
ciri lain diluar tingkat seksual. Ciri-ciri itu mencakup morfologi spora aseksual
dan miseliumnya. Oleh karena itu berdasarkan pada ciri dan morfologi
reproduksinya terdapat empat kelas cendawan sejati atau berfilamen di dalam
dunia fungi, yaitu Phycomycetes, Ascomycetes, Basidiomycetes, dan
Deuteromycetes (Pelczar & Chan, 1986).
Khamir dan kapang adalah cendawan yang diamati dalam praktikum ini.
Khamir termasuk dalam kelas Ascomycetes, sedangkan kapang termasuk ke
dalam kelas Deuteromycetes. Perbedaan antara keduanya terletak pada tingkat
seksualnya. Khamir sudah diketahui tingkat seksualnya sehingga disebut
cendawan perfek/sempurna, sedangkan kapang belum diketahui tingkat
seksualnya sehingga disebut cendawan imperfek. Selama belum diketahui tingkat
seksualnya cendawan digolongkan pada kelas Deuteromycetes (Pelczar & Chan,
1986).
Banyak khamir tergolong kelas Ascomycetes karena membentuk askospora.
Pola sederhana pembentukan askospora tampak pada daur hidup khamir yang
umum, yaitu Schizosaccharomyces. Secara aseksual, genus khamir ini melalui
pembelahan biner melintang. Khamir lain dalam kelas ini, seperti khamir dari
Saccharomyces cerevisiae (digunakan untuk membuat roti, anggur dan bir),
memperbanyak diri secara aseksual dengan bertunas (Pelczar & Chan, 1986).
Bentuk sel Saccharomyces yang diamati adalah bulat, elips sedangkan yeast yang
diamati berbentuk bulat.
Gambar 4. Khamir yang diberi MB, tanda panah menunjuk khamir hidup.
Kapang lendir merupakan sekumpulan mikroorganisme yang heterogen,
memiliki ciri-ciri hewan dan tumbuhan. Fase vegetatif atau somatik yang aselular
dan merayap jelas mempunyai struktur dan fisiolog seperti binatang, struktur
reproduksinya seperti tumbuhan, yaitu menghasilkan spora yang terbungkus
dinding yang nyata. Gabungan fase seperti binatang dan tumbuhan dalam satu
daur hidup merupakan ciri pembeda kapang lendir (Pelczar & Chan, 1986).
Tubuh atau talus suatu kapang pada dasarnya terdiri dari dua bagian yaitu
miselium dan spora (sel resisten, istirahat atau dorman). Miselium merupakan
kumpulan beberapa filamen yang dinamakan hifa. Setiap hifa lebarnya 5-10 µm,
dibanding sel bakteri yang biasanya berdiameter 1 um. Ada tiga macam morfologi
hifa, yaitu aseptat (tidak mempunyai dinding sekat atau septum), septat dengan
sel-sel uninukleat, dan septat dengan sel-sel multi nukleat (Pelczar & Chan, 1986).
Hasil pengamatan pada kapang menunjukkan bahwa kapang yang diamati
memiliki tipe morfologi hifa aseptat.
4.1. Kesimpulan
Bentuk sel Saccharomyces yang diamati adalah bulat, elips sedangkan yeast
yang diamati berbentuk bulat. Hasil pengamatan mortalitas khamir menunjukkan
bahwa tingkat kematian khamir yang diberi metilen blue berkisar antara 15%
sampai 26,14%. Khamir yang mati berwarna biru sedangkan khamir yang hidup
berwarna bening. Kapang yang diamati memiliki tipe morfologi hifa aseptat.
Reaksi yang dihasilkan oleh khamir terhadap tujuh jenis gula yang diujikan, pada
gula jenis laktosa dan trehalosa terjadi reaksi negatif (warna tetap ungu), sedang
pada maltose, dekstrosa, galaktosa, sukrosa, dan rafinosa terjadi reaksi oksidatif
positif (warna berubah menjadi kuning).
4.2. Saran
Keterampilan dalam penggunaan mikroskop perlu ditingkatkan agar
praktikum berjalan lancar.
52
DAFTAR PUSTAKA
Sucipto, Adi. 2008. Penyakit pada Ikan. http://www.naksara.net [29 April 2008].
Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151
I. PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari cara melakukan pengenceran
serial dan menentukan jumlah bakteri dalam suatu dengan metode hitungan
cawan.
55
II. METODOLOGI
dalam cawan cawan petri ini dibiarkan menjadi padat. Setelah itu diletakkan
dalam posisi terbalik untuk diinkubasikan pada suhu kamar selama 24 jam.
Jumlah koloni dihitung (30-300) dan dikalikan dengan faktor pengencernya.
3.1. Hasil
Hasil dari penghitungan bakteri dengan metode hitungan cawan dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil penghitungan bakteri dengan metode hitungan cawan.
Jumlah Koloni
Kelompok Metode
10-4 10-5 10-6
7 Tuang TBUD 40 83
Sebar TBUD TBUD 292
8 Tuang TBUD 126 27
Sebar Kontaminan TBUD 262
9 Tuang TBUD TBUD 178
Sebar 78 TBUD TBUD
10 Tuang TBUD 70 53
Sebar TBUD TBUD 73
11 Tuang TBUD 1,95 x 10-8 2,8 x 10-8
Sebar TBUD 2,63 x 10-8 8,3 x 10-8
12 Tuang 49 - 72
Sebar 48 124 80
Keterangan:
TBUD : Terlalu Banyak Untuk Dihitung
3.2. Pembahasan
Bakteri terdapat berkoloni di berbagai tempat. Dalam satu koloni bakteri
terdapat sangat banyak sel bakteri. Untuk mengetahui jumlah bakteri pada suatu
bahan maka dapat dilakukan penghitungan jumlah bakteri. Metode yang dapat
digunakan untuk menentukan jumlah mikrobe di dalam bahan pangan terdiri
terdiri metode hitungan cawan, Most Probable Number (MPN), dan metode
hitungan mikroskopis langsung, serta metode turbidimetri (Hadioetomo, 1990).
Dalam praktikum ini digunakan metode hitungan cawan.
Prosedur yang paling menentukan dalam metode hitungan cawan tuang
adalah pengenceran. Suatu bahan yang diperkirakan mengandung lebih dari 300
sel mikroba per ml, per gram, atau per cm2 memerlukan perlakuan pengenceran
sebelum ditumbuhkan pada medium agar di dalam cawan petri, sehingga setelah
diinkubasi akan terbentuk koloni dalam cawan tersebut dalam jumlah yang dapat
58
dihitung, di mana jumlah yang terbaik adalah 30-300 koloni. Larutan yang
digunakan untuk pengenceran dapat berupa larutan buffer fosfat, larutan garam
fisiologi 0,85%, atau larutan Ringer (Hadioetomo, 1990). Larutan fisiologi yang
digunakan dalam pengenceran pada praktikum ini adalah larutan garam fisiologi
0,85%.
Hadioetomo (1990) menyatakan bahwa metode hitungan cawan dapat
dibedakan atas metode tuang (pour plate) dan metode permukaan (surface/spread
plate). Kedua metode tersebut dilakukan dalam praktikum ini, namun istilah yang
digunakan berbeda yaitu metode cawan tuang dan cawan sebar.
Menurut Hadioetomo (1990) prinsip dari metode hitungan cawan adalah jika
sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar maka sel mikroba
tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat
langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop. Metode hitungan cawan
merupakan cara yang paling sensitif untuk menentukan jumlah mikroba karena
hanya sel yang masih hidup yang dihitung, beberapa jenis mikroba dapat dihitung
sekaligus, dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba karena koloni
yang terbentuk mungkin berasal dari satu sel mikroba dengan penampakan
pertumbuhan yang spesifik.
Hasil praktikum dari masing-masing kelompok menunjukkan hasil yang
bervariasi. Hampir semua kelompok mendapatkan hasil TBUD (Terlalu Banyak
Untuk Dihitung). Metode hitungan cawan dapat dikatakan berhasil jika jumlah
koloni bakteri yang diperoleh semakin kecil pada akhir pengenceran. Hal ini dapat
terjadi akibat kesalahan prosedur pengenceran atau kerja yang tidak aseptik.
Prosedur pengenceran yang tidak tepat akan mengakibatkan bakteri yang
diencerkan tidak tersebar merata, sehingga ketika pengenceran dilanjutkan bakteri
yang terencerkan semakin sedikit. Akhirnya bakteri yang terhitung pada cawan
tuang ataupun cawan gores menjadi kurang dari 30 koloni.
Kerja yang tidak aseptik akan menyebabkan terjadi kontaminan yang dapat
berkembang menjadi koloni pada media cawan tuang maupun sebar. Akibatnya
kontaminan tersebut akan terhitung, sehingga koloni bakteri dalam satu cawan
petri menjadi lebih dari 300 koloni. Sesuai dengan Hadioetomo (1990), bahwa
beberapa jenis mikroba dapat dihitung sekaligus pada metode hitungan cawan.
59
4.1. Kesimpulan
Hasil praktikum dari masing-masing kelompok menunjukkan hasil yang
bervariasi. Hampir semua kelompok mendapatkan hasil TBUD (Terlalu Banyak
Untuk Dihitung). Metode hitungan cawan dapat dikatakan berhasil jika jumlah
koloni bakteri yang diperoleh semakin kecil pada akhir pengenceran. Hal ini dapat
terjadi akibat kesalahan prosedur pengenceran atau kerja yang tidak aseptik.
4.2. Saran
Sebagian besar praktikan masih belum dapat bekerja secara aseptik dan
sesuai prosedur yang benar, oleh karena itu diharapkan untuk praktikum
selanjutnya agar praktikan lebih siap dan hati-hati dalam melakukan prosedur
kerja.
61
DAFTAR PUSTAKA
Rajab, Fahmi. 2006. Isolasi dan Seleksi Bakteri Probiotik dari Lingkungan
Tambak dan Hatchery Untuk Pengendalian Penyakit Vibriosis pada Larva
Udang Windu (Penaeus monodon) [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
62
Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151
I. PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah mengetahui isolat bakteri yang
digunakan resisten atau sensitif terhadap antibiotik rifampisin dan mempelajari
metode rekayasa mutasi spontan pada isolat bakteri yang digunakan sehingga
menjadi resisten terhadap antibiotik rifampisin.
64
II. METODOLOGI
2.1. Waktu dan Tempat
Praktikum dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 7 November 2012,
bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.1. Hasil
Hasil pengamatan praktikum pembuatan penanda resisten antibiotik dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Pengamatan penanda resisten antibiotik.
3.2. Pembahasan
Pengujian keberadaan, sifat, dan aktivitas suatu bakteri pada habitat dan
lingkungan hidupnya membutuhkan suatu metode khusus yang dapat mendeteksi
kehadiran bakteri tersebut yang berasal dari isolate yang diujikan. Widanarni et al.
(2004) menggunakan bakteri Vibrio harveyi berpenanda resisten antibiotik
rifampisin untuk menguji sifat patogenisitasnya pada larva udang windu. Penanda
resistensi terhadap antibiotik rifampisin (Rf) merupakan suatu pilihan karena
bakteri asal laut pada umumnya sensitif terhadap rifampisin (Tjahjadi et al., 1994
dalam Widanarni et al., 2008).
Bakteri Pseudoalteromonas sp. habitatnya berada di laut. Selain itu mutan
resisten rifampisin bersifat stabil pada media tanpa penambahan antibiotik (Hala
66
et al., 2000 in Widanarni et al., 2008) sehingga dapat digunakan uji tantang pada
jangka waktu lama. Melalui penanda tersebut, bakteri uji juga dapat dibedakan
dari bakteri lain yang sebelumnya telah terdapat pada larva udang atau air media
pemeliharaannya.
Hasil uji sensitivitas terhadap antibiotik rifampisin menunjukkan bahwa
semua isolat sensitif terhadap antibiotik tersebut. Tjahjadi et al. (1994) dalam
Widanarni et al. (2004) menyatakan bahwa bakteri yang diisolasi dari air laut dan
lingkungan pembenihan udang sensitif terhadap rifampisin. Rifampisin adalah
antibiotik bakterisidal yang bekerja dengan menghambat sintesis mRNA pada
proses transkripsi. Antibiotik tersebut efektif untuk bakteri gram positif dan
beberapa gram negatif (Widanarni et al. 2004). Antibiotik berdasarkan mekanisme
kerjanya digolongkan menjadi 5 golongan yaitu menghambat sintesis dinding sel,
mengganggu fungsi membran sel, menghambat sintesis protein, menghambat
sintesis asam nukleat, dan berperan sebagai antimetabolit (Purnomo, 2007).
Uji mutasi spontan menunjukkan hasil positif terjadi mutasi pada
kelompok 12 ditandai dengan tumbuhnya koloni pada inokulan bakteri pada
media SWC + rifampisin yang berasal dari isolat yang telah disentrifus.
Tumbuhnya inokulan tersebut menunjukkan bahwa bakteri tersebut berubah dari
sensitif terhadap rifampisin menjadi resisten terhadap rifampisin. Resistensi
didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian
antibiotik secara sistemik pada dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat
minimalnya. Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal
yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau
bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Bakteri
yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih banyak
bahaya (Utami, 2012).
67
4.1. Kesimpulan
Isolat bakteri yang digunakan sensitif terhadap rifampisin. Rekayasa
mutasi spontan pada isolat bakteri yang digunakan berhasil dilakukan,
ditunjukkan dengan resistensi bakteri terhadap antibiotik rifampisin setelah
dilakukan perlakuan sentrifugasi.
4.2. Saran
Perlu dilakukan uji lanjut melalui karakterisasi fisiologi dan genetik dari
isolate bakteri tersebut, sebelum dan perlakuan untuk membuktikan bahwa benar-
benar terjadi mutasi spontan.
68
DAFTAR PUSTAKA
Utami, E.R. 2012. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Saintis 1(1) :
124-138.
69
Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151
I. PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Mempelajari pengaruh suhu dan salinitas terhadap viabilitas bakteri.
71
II. METODOLOGI
3.1. Hasil
Hasil pengamatan pengaruh salinitas dan suhu terhadap viabilitas bakteri
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh salinitas dan suhu terhadap viabilitas bakteri
Perlakuan
Kelompok Bakteri Salinitas Suhu
o o
0% 3% 10% 4C 28 C 37oC 70oC
Ah + + - + + + -
7
B + + - + + + +
Ah + + - + + + -
8
B + + - + + + +
Ah + + - + + + -
9
B + + - + + + +
Ah + + + + + -
10
B + - - + + + +
Ah ++ ++ ++ ++ ++ ++
11
B ++ ++ ++ ++ ++ +
Ah + + - + + + -
12
B + + - + + + +
Keterangan
Ah : Aeromonas hydrophila
B : Bacillus sp.
+ : Tumbuh
- : Tidak tumbuh
3.2 Pembahasan
Pengujian pengaruh suhu dan salinitas terhadap viabilitas bakteri pada
praktikum ini menggunakan medium TSA (Tripticase Soy Agar). Medium ini
mengandung casein dan tepung kedelai yang menyediakan asam amino dan
sumber nitrogen lain sebagai nutrisi medium untuk berbagai varietas organisme.
Sumber energi dalam medium ini adalah dextrose. Sodium klorid berperan
mempertahankan tekanan osmotik, sementara dipotasium pospat berperan sebagai
73
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Family : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Hasil dari praktikum ini, Aeromonas hydrophila tidak dapat tumbuh pada
perlakuan 70oC dan dapat tumbuh pada perlakuan suhu lemari es, 28oC, dan 37oC.
Pada perlakuan salinitas, bakteri Aeromonas hydrophila tumbuh baik pada
medium TSA dengan salinitas 0% dan 3%. Bacillus sp. tumbuh pada semua
perlakuan suhu (suhu kamar, lemari es, 37oC, dan 70oC), pada perlakuan salinitas
Bacillus sp. tumbuh pada medium TSA dengan salinitas 0% dan 3%.
Menurut Dwijoseputro (1978) faktor-faktor alam yang mempengaruhi
kehidupan bakteri adalah temperatur, kebasaan, nilai osmotik dari medium, radiasi
oleh sinar biasa dan radiasi oleh sinar-sinar lainnya, serta penghancuran secara
mekanik. Faktor alam yang diamati dalam praktikum ini adalah parameter suhu
dan salinitas.
Pola pertumbuhan bakteri dapat sangat dipengaruhi oleh suhu karena semua
proses pertumbuhan bergantung pada reaksi kimiawi, laju reaksi kimiawi ini
dipengaruhi oleh suhu. Suhu juga mempengaruhi laju pertumbuhan dan jumlah
total pertumbuhan organisme. Keragaman suhu dapat juga mengubah proses-
proses metabolik tertentu, serta morfologi sel (Pelczar & Chan, 1986).
Setiap spesies bakteri tumbuh pada suatu kisaran suhu tertentu. Atas dasar
ini maka bakteri dapat diklasifikasikan sebagai psikrofil, yang tumbuh pada 0-
30oC; mesofil, yang tumbuh pada suhu 25-40oC; dan termofil, yang tumbuh pada
suhu lebih dari 50oC (Pelczar & Chan, 1986). Adanya perbedaan daya tahan
terhadap suhu antara Aeromonas dengan Bacillus adalah karena Bacillus mampu
membentuk spora pada kondisi yang ekstrim (Dwijoseputro, 1978), sehingga
masih dapat tumbuh baik setelah dibiakkan pada medium TSA.
Menurut Dwijoseputro (1978), dalam menentukan daya tahan panas suatu
spesies perlu diperhatikan tinggi temperatur, lama bakteri berada dalam suhu
tersebut, keadaan medium (basah/kering), pH medium saat mulai dipanasi, serta
sifat lain dari medium. Kelima syarat tersebut digunakan untuk menentukan
75
4.1. Kesimpulan
Hasil dari praktikum ini, Aeromonas hydrophila tidak dapat tumbuh pada
perlakuan 70oC dan dapat tumbuh pada perlakuan suhu lemari es, 28oC, dan 37oC.
Pada perlakuan salinitas, bakteri Aeromonas hydrophila tumbuh baik pada
medium TSA dengan salinitas 0% dan 3%. Bacillus sp. tumbuh pada semua
perlakuan suhu (suhu kamar, lemari es, 37oC, dan 70oC), pada perlakuan salinitas
Bacillus sp. tumbuh pada medium TSA dengan salinitas 0% dan 3%.
4.2. Saran
Ada baiknya jika dalam praktikum ini digunakan bakteri yang memiliki
kemampuan hidup yang jauh berbeda, misalnya digunakan bakteri yang dapat
hidup pada salinitas rendah dan bakteri yang dapat hidup pada salinitas tinggi,
sehingga dapat lebih mudah dibandingkan viabilitasnya.
77
DAFTAR PUSTAKA
Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151
I. PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengamati pengaruh berbagai bahan
antimikroba terhadap viabilitas bakteri.
80
II. METODOLOGI
3.1. Hasil
Hasil pengamatan pengaruh bahan antimikroba dapat disajikan dalam tabel
seperti di bawah ini.
Tabel 1. Diameter zona bening pada bakteri Aeromonas hydrophila.
Ulangan 1
No. Bahan
1 2
1. Kloramfenikol 50 ppm 0 0
2. Kloramfenikol 25 ppm 0 0
3. Meniran 30 ppt 0 0
4. Meniran 3 ppt 0 0
5. Formalin 0,4% 0 0
6. Formalin 4% 2,3 2,5
7. Penicillin 50 ppm 0 0
8. Penicillin 25 ppm 0 0
9. Kontrol 0 0
3.2. Pembahasan
Pengujian pengaruh bahan anti mikroba terhadap viabilitas bakteri pada
praktikum ini menggunakan medium TSA (Tripticase Soy Agar). Medium ini
mengandung casein dan tepung kedelai yang menyediakan asam amino dan
sumber nitrogen lain sebagai nutrisi medium untuk berbagai varietas organisme.
Sumber energi dalam medium ini adalah dextrose. Sodium klorid berperan
mempertahankan tekanan osmotik, sementara dipotasium pospat berperan sebagai
82
Chester (1901) dan Stanier (1934) diacu dalam Wikipedia (2008), klasifikasi
taksonomi Aeromonas hydrophila adalah sebagai berikut.
Domain : Bacteria
Kingdom : Proteobacteria
Phylum : Gammaproteobacteria
Kelas : Aeromonadales
Genus : Aeromonas
Speries : A. hydrophila
Selain Aeromonas hydrophila bakteri lain yang diuji dalam praktikum ini
adalah Vibrio harveyi. Bakteri yang dihitung dalam praktikum ini adalah Vibrio
harveyi. Klasifikasi V. harveyi menurut Baumann et al. (1994) diacu dalam Rajab
(2006) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Vibrionales
Famili : Vibrionaceae
Genus : Vibrio
Spesies : Vibrio harveyi
V. harveyi merupakan bakteri gram negatif berbentuk koma dan memiliki
sifat-sifat antara lain: oksidase positif, fakultatif anaerobik, tidak membentuk
spora, motil, memiliki flagella tunggal, serta tidak tumbuh pada suhu 4oC
(Tjahjadi et al. 1994 dalam Rajab 2006).
Beberapa dari galur V. harveyi dapat menyebabkan kematian total larva
udang dengan dosis yang sangat rendah (102 CFU/ml). Pada sistem budidaya
udang, V. harveyi dapat ditemukan di hatchery, dapat diisolasi dari air laut yang
masuk, induk, larva, dan air tangki pembesaran larva (Otta et al. 1990, diacu
dalam Ayuzar 2008). V. harveyi juga dapat diisolasi dari tambak pembesaran
udang (Karunasagar et al. 1994, diacu dalam Ayuzar 2008). Kematian yang
disebabkan vibriosis terjadi apabila udang mengalami stress akibat kualitas buruk,
kepadatan tinggi, temperatur tinggi, dan pergantian yang rendah (Brock and
Lightner 1990, diacu dalam Ayuzar 2008). Berdasarkan hasil penelitian Lavilla-
84
Pitogo (1990) diacu dalam Ayuzar (2008), kematian larva terjadi setelah 48 jam
pasca infeksi bakteri V. harveyi dan V. splendidus. Terjadinya pendaran tidak
selamanya menunjukkan kekuatan infeksi dari bakteri V. harveyi, oleh karena
larva yang tidak berpendar di dalam gelap seringkali juga positif mengandung
bakteri akan berpendar jika diamati pada medium yang tepat (Lavilla-Pitogo et al.
1990, diacu dalam Meha 2003).
Bahan antimikroba yang diamati dalam praktikum ini adalah , larutan
antibiotik penicline 25 ppm dan 50 ppm, larutan ekstrak daun meniran 3 ppt dan
30 ppt, larutan formalin 0.4% dan 4%, serta larutan kloramfenikol 25 ppm dan 50
ppm. Keempat bahan tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap
viabilitas bakteri. Pengamatan hasil praktikum menunjukkan bahwa bahan-bahan
tersebut memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya zona bening pada cawan petri biakan bakteri tersebut.
Namun terjadi kesalahan prosedur yang menyebabkan zona bening tidak muncul
pada beberapa perlakuan larutan antimikroba. Kesalahan yang terjadi di antaranya
adalah kesalahan penyebaran inokulasi bakteri pada media di dalam cawan petri
serta kertas saring yang terlalu lama dikeringanginkan sehingga larutan
antimikroba menguap habis. Oleh karena itu, antar zat antimikroba tidak dapat
dibandingkan efektivitasnya.
Formalin merupakan bahan antimikroba yang paling baik dalam
menghambat viabilitas bakteri Aeromonas sp. dan Bacillus sp. Hal ini ditunjukkan
oleh zona bening yang timbul pada cawan petri dengan biakan kedua bakteri
tersebut adalah yang paling besar di antara ketiga bahan lainnya. Menurut
Dwidjoseputro (1998), suatu larutan formaldehida 40% biasanya disebut formalin
banyak sekali digunakan untuk membunuh bakteri, virus, dan jamur. Formalin
tidak biasa digunakan untuk jaringan tubuh manusia, akan tetapi banyak
digunakan untuk merendam bahan-bahan laboratorium, alat-alat seperti gunting,
sisir, dan lain-lain pada ahli kecantikan (Dwidjoseputro, 1998).
Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang
mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam
organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika
khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam
85
bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap
mutan atau transforman. Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan
atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri.
Antibiotika berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desifektan
membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman
untuk hidup (Wikipedia, 2008). Dalam Wikipedia (2008), penisilin (Inggris:
Penicillin atau PCN) adalah sebuah kelompok antibiotika β-laktam yang
digunakan dalam penyembuhan penyakit infeksi karena bakteri, biasanya berjenis
gram positif.
Kloramfenikol merupakan turunan asam dikloroasetat yang mengandung
gugus nitrobenzena. Kloramfenikol dapat diisolasi dari Streptomyces venezuelae.
Obat ini berbentuk kristal putih yang sulit larut dalam air tapi dapat larut dalam
lemak. Kloramfenikol bekerja dengan menghambat pembentukan protein
mikroba. Obat ini berikatan secara irreversibel dengan reseptor pada ribososom
sub unit 50S dan menghambat enzim peptidil transferase, sehingga pembentukan
ikatanikatan peptida pada proses sintesis protein mikroba tidak terjadi.
Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik, namun pada konsentrasi tinggi
obat ini dapat bersifat bakterisidal terhadap mikroba-mikroba tertentu (Setiabudy
& Kunardi, 2003; Dowling, 2006).
Meniran Phyllanthus niruri merupakan jenis tanaman obat yang dapat
bermanfaat untuk menurunkan panas, obat batuk, radang, batu ginjal, susah buang
air kecil, disentri, sakit ayan, hepatitis, rematik. Selain itu, meniran dapat
mencegah berbagai macam infeksi virus dan bakteri serta mendorong sistem
kekebalan tubuh. Hal ini dikarenakan terdapat kandungan flavonoid, alkaloid,
saponin, tanin, dan vitamin C (Triarsari, 2009).
Menurut Mela (2007), hampir semua bagian dari tanaman meniran berkhasit
obat. Hasil penelitian menyebutkan bahwa meniran memiliki aktivitas
imunomodulator yang berperan membuat sistem imun lebih aktif dalam
menjalankan fungsinya, menguatkan sistem imun tubuh (imunostimulator) atau
menekan reaksi sistem imun yang berlebihan (imunosupresan). Dengan demikian,
kekebalan atau daya tahan tubuh selalu optimal sehingga tetap sehat ketika
diserang virus, bakteri, dan mikroba lainnya. Kandungan kimia yang bermanfaat
86
4.1. Kesimpulan
Bahan-bahan antimikroba dalam praktikum ini mempunyai pengaruh yang
berbeda terhadap viabilitas bakteri. Pengamatan hasil praktikum menunjukkan
bahwa bahan-bahan tersebut memiliki kemampuan dalam menghambat
pertumbuhan bakteri. Hal ini ditunjukkan dengan adanya zona bening pada cawan
petri biakan bakteri tersebut.
4.2. Saran
Praktikum yang akan datang, akan lebih baik jika bakteri yang digunakan
lebih beragam. Sehingga dapat lebih diketahui pengaruh bahan antimikroba
terhadap viabilitas bermacam-macam bakteri. Selain itu juga perlu diujikan
pengaruh bahan antimikroba terhadap viabilitas fungi.
88
DAFTAR PUSTAKA
Rajab, Fahmi. 2006. Isolasi dan Seleksi Bakteri Probiotik dari Lingkungan
Tambak dan Hatchery Untuk Pengendalian Penyakit Vibriosis pada Larva
Udang Windu (Penaeus monodon) [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya
Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151
I. PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Praktikum ini bertujuan mempelajari metode seleksi bakteri probiotik untuk
akuakultur.
92
II. METODOLOGI
diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam dan diamati serta diukur zona bening
yang terbentuk.
c. Kultur bersama
Satu koloni bakteri patogen dan satu koloni tunggal bakteri kandidat
probiotik (IUB) terlebih dahulu ditumbuhkan pada media SWC cair selama
semalam pada suhu ruang, selain itu ditumbuhkan juga bakteri patogen murni
sebagai kontrol. Kultur bersama probiotik dan V. harveyi dibuat pada pengenceran
10-1, dan 10-2, dan pengenceran 10-3 sedangkan untuk bakteri V. harveyi yang
berfungsi sebagai kontrol dilakukan pengenceran serial 10-5, 10-6, dan 10-7.
Kemudian hasil pengenceran tersebut disebar merata ke dalam media TCBS
dengan menggunakan batang penyebar. Inkubasi di dalam inkubator selama 24
jam, setelah itu dihitung jumlah koloni yang tumbuh. TCBS adalah media spesifik
Vibrio, sehingga dapat dibandingkan jumlah Vibrio yang kultur bersama probiotik
dengan kultur murni.
94
3.1. Hasil
Hasil pengamatan dari praktikum ini adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Jumlah koloni bakteri penghambat pada media cair.
Vibrio harveyi + probiotik
Vibrio harveyi (cfu/ml)
Kelompok (cfu/ml)
10-5 10-6 10-7 10 -1
10-2 10-3
TBUD dan tidak ada zona hambat
7
- - - di sekitar kertas cakram
8 108
9
10 64 - - -
11 TBUD - - -
12 - - - -
Keterangan
* : Terjadi kontaminasi oleh bakteri vibrio lain (warna kuning)
3.2. Pembahasan
Menurut Fuller (1992) probiotik adalah mikrob hidup yang ditambahkan ke
dalam pakan yang dapat memberikan pengaruh menguntungkan bagi hewan inang
dengan memperbaiki keseimbangan mikrob ususnya (Fuller 1992). Pada hewan
95
4.1. Kesimpulan
Hasil dari metode penghambatan pertumbuhan bakteri patogen dengan
media cair adalah tidak ada koloni bakteri yang tumbuh pada kontrol V. harveyi
pengencerasn 10-7, pada pengenceran 10-6 jumlah bakteri yang tumbuh adalah 108
CFU (kelompok 8) dan pada pengenceran 10-5 bakteri yang tumbuh sebesar 64
CFU (kelompok 10). Pada biakan campuran antara V. harveyi dengan 1-UB
hasilnya V. harveyi yang tumbuh adalah TBUD (terlalu banyak untuk dihitung)
pada pengenceran 10-1, 10-2 dan 10-3 (kelompok 7). Hasil yang didapat pada
pengamatan praktikum uji amilolitik yaitu terjadi zona bening disekitar koloni
bakteri yang tumbuh
4.2. Saran
Praktikum yang akan datang akan lebih baik jika digunakan bakteri selain
bakteri potensial probiotik agar dapat diketahui perbedaan pengaruhnya secara
jelas dan nyata pada bakteri patogen yang dikultur bersama-sama.
98
DAFTAR PUSTAKA
Disusun oleh:
Darmawan Setia Budi
C151120151
I. PENDAHULUAN
II. METODOLOGI
3.1. Hasil
Hasil elektroforesis sampel DNA dari ginjal dan insang ikan koi
ditunjukkan oleh gambar 1.
3.2. Pembahasan
Menurut Hilwa (2004), analisa DNA yang dilakukan meliputi tahap
ekstraksi, PCR, dan Elektroforesis. Tahap pengambilan genom DNA dari sumber
sel pada organ atau bagian tubuh ikan sampel. Sedangkan untuk melakukan
analisa DNA diperlukan DNA bentuk yang murni. Ekstraksi dan pemurnian DNA
berlangsung dalam lima tahapan kegiatan, yaitu penghancuran sel penghilangan
RNA, pengendapan protein, pengendapan DNA, dan hibridisasi DNA.
PCR (polymerase chain reaction) atau reaksi rantai polimerase adalah suatu
proses untuk mengamplifikasi (memfotokopi) molekul DNA yang diinginkan
secara in vitro (di luar tubuh makhluk hidup). Prinsip PCR diilhami oleh proses
penggandaan DNA yang terjadi secara alamiah dalam tubuh makhluk hidup, yang
kita kenal dengan istilah replikasi. Pada proses PCR, hasil fotokopi tidak lain
106
berukuran 400 bp yang ditunjukkan oleh kontrol positif. Dengan demikian ikan
mas yang dijadikan sampel tidak terserang KHV.
Praktikum ini bertujuan untuk mendeteksi penyakit viral yang disebabkan
oleh KHV (Koi Herpes virus). KHV merupakan penyakit viral pada ikan mas dan
koi yang sangat menular dan mengakibatkan morbiditas dan mortilitas antara 80-
100% dari populasi ikan, dengan masa inkubasi 1-14 hari. Individu yang bertahan
hidup sekitar 20% pada saat terjadi wabah umumnya akan menjadi resisten
terhadap infeksi berikutnya. Namun ketahanan tersebut tidak menunjukan adanya
transfer kepada turunananya (Taukhid et al., 2005).
Koi herpesvirus diidentifikasi pertama kali tahun 1998 yang menyebabkan
kematian massal pada ikan mas budidaya di Israel (Gilad et al., 2003) dan
Amerika Serikat (Gray et al., 2002). Carp nephritis and gill necrosis virus
(CNGV) adalah nama awal virus yang berasal dari virus DNA yang morfologinya
mirip dengan anggota kelompok Herpesviridae yang nama lainnya adalah koi
herpesvirus dan Cyprinid herpesvirus (Dishon et al. 2005). Nama lain dari virus
KHV adalah Cyprinid Herpesvirus 3 atau CyHV-3 (Aoki et al., 2007). Virus ini
masuk ke Indonesia pada tahun 2002 melalui perdagangan ikan koi (Sunarto et
al., 2005).
Virus herpes merupakan virus yang berukuran besar dibandingkan dengan
virus lain. KHV memiliki kapsid simetri ikosahedral dengan diameter 100-110
nm, sedangkan virion matang memiliki amplop yang longgar sehingga ukuran
diameternya menjadi 170-230 nm. Selain itu juga terdapat benang-benang
penyangga seperti struktur tegument pada permukaan inti yang mirip dengan
kelompok Herpesvirus (Pokorova et al., 2005).
Hasil pemotongan tipis pellet virus yang telah dimurnikan menunjukkan
adanya partikel yang terbungkus dengan struktur seperti benang pada permukaan
inti (Hutoran et al., 2005). KHV juga berisi daerah padat-elektron asimetrik yang
relatif kecil di dalam inti viral yang kemungkinan merupakan DNA genomik dan
kompleks nucleoprotein (Hutoran et al., 2005).
Secara morfologi, anggota virus herpes mempunyai arsitekrtur yang serupa.
Morfologi struktur virus herpes dari bagian dalam ke bagian luar terdiri genom
DNA untai ganda linier berbentuk toroid, kapsid, lapisan tegumen dan selubung.
108
Kapsid terdiri atas protein yang tersusun dalam simetri ikosahedral. Menurut
Miwa et al. (2007) inti sel yang terinfeksi KHV mengandung banyak kapsid KHV
dengan diameter 10 nm dan morfologi yang bervariasi.
Kelompok herpesvirus umumnya memiliki karakter yang unik, yaitu
memiliki kemampuan untuk survive latent dalam sel inang untuk jangka waktu
yang lama dan akan menjadi aktif kembali apabila ada pemicu seperti perubahan
lingkungan atau stress yang terjadi pada inang (Taukhid et al., 2005). Sejumlah
virus herpes tinggal tetap dalam bentuk laten seumur hidup induk semangnya
(Malole, 1989).
Mekanisme penularan KHV umumnya terjadi melalui kontak antar ikan,
cairan dari ikan yang terinfeksi, lewat air atau lumpur yang terkontaminasi, serta
peralatan perikanan (Sunarto et al., 2005). Hal ini didukung pula oleh pendapat
Crane et al. (2004) yang menyatakan bahwa partikel virus KHV dapat bertahan
hidup di air selama 20 Jam dan lebih lama pada kolam pada kondisi buruk, ada
yang menyebutkan juga bahwa dapat bertahan di luar inang (dalam air) dan masih
infektif sekurang-kurangnya selam 4 jam. Di sisi lain mekanisme infeksi KHV
sangat dipengaruhi pula oleh faktor suhu lingkungan (Gilad et al., 2003).
Virus ini dapat menginfeksi ikan pada suhu lingkungan yang sangat
spesifik, yaitu pada suhu air 18-24oC (Hutoran et al., 2005), 18-28oC (Gilad et al.,
2003) pada sistem budidaya. Penyakit ini sangat ganas dan dapat menyebabkan
kematian massal 80-100% pada suhu 17-270C (Perelberg et al., 2003). Namun
kematian ikan akan menurun bahkan berhenti bila berada di atas dan di bawah
kisaran toleransi suhu tersebut (Gilad et al., 2003). Kisaran suhu optimal bagi
kehidupan KHV yang diamati pada penelitian secara in vitro yaitu pada kisaran
15-25oC dan tidak ada atau minimum replikasinya pada suhu 4, 10, 30, 37 oC
(Gilad et al., 2003).
109
4.1. Kesimpulan
Sampel yang berasal dari ikan mas yang digunakan dalam praktikum ini
menunjukkan hasil negatif KHV. Hal ini berdasarkan tidak adanya pita yang
terbentuk pada gel elektroforesis. Gen penyandi KHV berukuran 400 bp yang
ditunjukkan oleh kontrol positif.
4.2. Saran
Sebelum pengambilan sampel sebaiknya dilakukan diagnosa terhadap gejala
klinis ikan agar memungkinkan didapat sampel dari ikan sakit dan ikan sehat,
sehingga dapat dibedakan sampel positif dan negatif KHV.
111
DAFTAR PUSTAKA
Aoki T, Hirono I, Kurokawa K, Fukuda H., Nahary R, Eldar A, Davidson AJ,
Waltzek TB, Bercovier H, Hedrick RP. 2007. Genomic sequences of three
koi herpesvirus isolates representing the expanding distribution of an
emerging diseases threatening koi and comon carp worldwide. J. Virol, 81
(10): 5058-5065.
Gilad, O., Yun, S., Andree, K., Adkison, M., Zlotkin, A., Bercovier, H., Eldar, A.,
Hedrick, R. 2003. Molecular comparison of isolates of an emerging fish
patogen, koi herpesvirus and the effect of water temperature on mortality of
experimentally infected koi. Journal of General Virology, 84: 2661-2668.
Gray WL, Mullis L, LaPatra SE, Grott JM, Goodwin A. 2002. Detection of Koi
herpesvirus DNA in Tissues ofinfected fish. J. Fish Disease, 25:171-178.
Hartman, K.H., Yanong, R.P.E., Petty, B.D., Francis-Floyd, R. and Riggs, A.C.
2004. Koi Herpes Virus (KHV) Disease. University of Florida.
Hedrick, R.P., Gilad, O., Yun, S., Spangenberg, J.V., 2000. A Herpes Virus
associated with mass mortality of juvenile and adult koi, a strain of common
carp. Aquatic Animal Health, 12: 44-57.
Hutoran, M., Ronen, A., Perelberg, A., Ilouze, M., Dishon, A., Bejerano, I., Chen,
N., and Kotler, M. 2005. Description of an as yet unclassifield DNA virus
from diseased Cyprinus carpio species. J. Virol., 79: 1983–1991.
Perelberg, A., Smirnov, M., Hutoran, M., Diamant, A., Bejerano, T., Kotler, M.,
2003. Epidemiological description of new viral disease affecting cultured
Cyprinus carpio in Israel. Bamidgeh, 55: 5-12.
Sunarto, A., Rukyani, A., Itami, T., 2005. Indonesian experience on the outbreak
of Koi Herpesvirus in koi and carp (Cyprinus caprio). Bull. Fish. Res. Agen.
Suplement, 2: 15-21.