OLEH
TOGAR SITUMORANG,SH,.MH,.MAP
NIM (1690911014)
TAHUN 2017
1
I.PENDAHULUAN
2
harus dihadapi oleh pemerintah dalam tahap perkembangannya. Isu
ekonomi yang utama berupa kesinambungan fiskal untuk membiayai
pembangunan ekonomi di setiap daerah. Dengan demikian tantangan Pemerintah
Daerah di era desentralisasi fiskal adalah dituntut untuk mampu meningkatkan
kapasitas Pemerintah Daerah dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggung jawab
mereka dengan baik sebagai pelayan umum (public servant). Tidak hanya kapasitas
Pemerintah Daerah dalam mengatur pengeluaran atau belanja tetapi juga dalam rangka
meningkatkan pendapatan (revenue) yang berguna untuk membiayai pembangunan
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3
Obligasi adalah suatu istilah yang digunakan dalam dunia keuangan yang
merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi
beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada
saat tanggal jatuh tempo pembayaran. Ketentuan lain dapat juga dicantumkan dalam
obligasi tersebut seperti misalnya identitas pemegang obligasi, pembatasan-
pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan oleh penerbit. Dengan penerbitan
obligasi ini maka dimungkinkan bagi penerbit obligasi guna memperoleh pembiayaan
investasi jangka panjangnya dengan sumber dana dari luar perusahaan. Desentralisasi
fiskal di Indonesia mempedomani UU No.33 / tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dimana dalam pasal 5 ayat
(1) disebutkan bahwa sumber-sumber Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan
desentralisasi dapat diperoleh dari terdiri dari Pendapatan Daerah dan Pembiayaan.
Dikatakan bahwa obligasi juga merupakan suatu surat berharga yang dijual
kepada publik di mana disana dicantumkan berbagai ketentuan yang menjelaskan
berbagai hal seperti nilai nominal, tingkat suku bunga, jangka waktu, nama penerbit
dan beberapa ketentuan lainnya yang terjelaskan dalam Undang-undang yang
disyahkan oleh lembaga yang terkait (Irham Fahmi dan Yovi Lavianti (2011:116).
Secara umum jenis obligasi dapat dilihat dari penerbitnya, yaitu, Obligasi perusahaan
dan Obligasi Pemerintah. Obligasi pemerintah sendiri terdiri dalam beberapa jenis,
yaitu:
1. Obligasi Rekap diterbitkan guna suatu tujuan khusus yaitu dalam rangka
Program Rekapitalisasi Perbankan;
2. Surat Utang Negara (SUN), diterbitkan untuk membiayai defisit APBN;
3. Obligasi Ritel Indonesia (ORI), sama dengan SUN, diterbitkan untuk
membiayai defisit APBN namun dengan nilai nominal yang kecil agar dapat
dibeli secara ritel;
4. Surat Berharga Syariah Negara atau dapat juga disebut "obligasi syariah" atau
"obligasi sukuk", sama dengan SUN, diterbitkan untuk membiayai defisit
APBN namun berdasarkan prinsip syariah.
4
5. Obligasi daerah.
Penerbitan Obligasi ini sebagai salah satu solusi kegiatan pelaksana otonomi
daerah mengacu pada UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok- pokok Pemerintah
Daerah, dimana hak dan kewajiban Pemerintah Daerah untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahannya, dan ketika menemui keterbatasan dalam sumber
pendanaan. Selain itu, H.M.N. Purwosutjipto, S.H. (2000:203-208), dalam bukunya
yang berjudul Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Hukum Surat Berharga
mengatakan bahwa obligasi adalah surat bukti pengakuan utang, yang dapat
dikeluarkan oleh pemerintah atau oleh perusahaan, dengan jangka waktu sekurang-
kurangnya satu tahun. Obligasi dijual dengan memberikan bunga tetap tertentu, dan
obligasi dapat dijual kembali kepada orang lain atau melalui pasar modal, kapan saja
pemiliknya membutuhkan uang tunai.
Sebagian besar daerah kabupaten dan kota sangat bergantung pada dana
perimbangan yang diberikan Pemerintah Pusat, baik itu Dana Bagi Hasil (DBH), Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Seperti yang tercantum
dalam UU No.22 tahun 1999 pasal 7 ayat 1 Tentang kewenangan Pemerintah Daerah
bahwa dijelaskan kewenangan daerah mencakup kebijakan tentang perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan
keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Maka sejak
Undang –undang Otonomi daerah yang dituangkan pada UU No.22 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah maka penataan pemerintahan dan keuangan daerah semakin
mempunyai peranan.
Jalloh (2009) mengatakan bahwa pasar keuangan berperan penting dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui mobilisasi sumber daya keuangan dan
arus masuk modal. Perkembangan ini melibatkan setiap individu dari pemerintahan
daerah dan juga lembaga – lembaga pemerintahan. Sebagai contoh, pemerintah dapat
menerbitkan obligasi untuk membangun infrastruktur jalan raya, membangun rumah
5
sakit, transportasi umum, membangun bendungan, bandar udara, dan infrastruktur
sosial lainnya. Pemerintah Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah untuk
membiayai kegiatan investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan
memberikan manfaat bagi masyarakat yang menjadi urusan Pemerintah Daerah
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Hal ini tentu akan mendorong
penciptaan kekayaan negara dan tentu berdampak pada pertumbuhan ekonomi
domestik.
PERKEMBANGAN OBLIGASI
A. Zaman Kerajaan
Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan tanah yang dikuasai oleh berbagai
kerajaan dan kekaisaran, kadang-kadang hidup berdampingan dengan damai sementara
di lain waktu berada pada kondisi berperang satu sama lain. Walaupun demikian,
jaringan perdagangan telah berkembang di wilayah ini terhitung sejak awal permulaan
sejarah Asia. Berkaitan dengan jaringan perdagangan ini yang merupakan aset penting
bagi sebuah kerajaan untuk mendapatkan kekayaan dan komoditas, yang diperlukan
untuk menjadi kekuatan besar. Pada masa kerajaan di Indonesia belum mengenal istilah
transaksi perbankan seperti yang sekarang ini sudah ada dan berlaku. Dikarenakan
perkembangan perekonomian masih terbatas pada kepemilikan Sumber Daya Alam
yang diperjual belikan. Proses penyempurnaan terjadi ketika manusia sudah mengenal
proses kepemilikan barang baik berupa benda maupun barang bergerak yang bisa di
perjual belikan. Sebagaimana mestinya pemerintah yang dalam hal ini kedudukannya
disebut dengan kerajaan belum memerlukan istilah pinjaman dana untuk membangun
dan menambah perkembangan wilayahnya yang dikareakan masih terpenuhinya
sumber kekayaan Kerajaan. Dimana dalam melakukan transaksipun masih belum ada
peraturan tertulis yang mengatur dan membuat kegiatan tersebut menjadi legal dan
dapat dipastikan pelanggaran maupun resiko kerugian serta kehilangan dapat terjadi
sewaktu – waktu.
6
B. Zaman Kolonial
7
C. Zaman Kemerdekaan
Perdagang efek perkembangan mulai marak pada periode ini, namun tidak
bertahan lama karena dihadapkan pada resesi ekonomi pada tahun 1929 dan pecahnya
Perang Dunia II (PD II). Pada saat PD II, bursa efek di negeri Belanda tidak aktif karena
sebagian saham-saham milik orang Belanda dirampas oleh Jerman. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap bursa efek di Indonesia. Keadaaan makin memburuk dan tidak
memungkinkan lagi Bursa Efek Jakarta untuk beroperasi, sehingga pada tanggal 10
Mei 1940, Bursa Efek Jakarta resmi ditutup. Bursa Efek Surabaya dan Semarang telah
lebih dulu ditutup. Setelah tujuh bulan ditutup, pada tanggal 23 Desember 1940 Bursa
Efek Jakarta kembali diaktifkan, karena selama PD II Bursa Efek Paris tetap berjalan,
demikian pula halnya dengan Bursa Efek London yang hanya ditutup beberapa hari
saja. Akan tetapi, aktifnya Bursa Efek Jakarta tidak berlangsung lama, karena Jepang
masuk ke Indonesia pada tahun 1942, Bursa Efek Jakarta kembali ditutup.
8
bonds, atau kemudian disebut Surat Utang Negara (SUN), yang diperdagangkan di
pasar sekunder senilai Rp. 31, 6 triliun pada tahun 2000.
E. Zaman Reformasi
Tahun 2003
9
mengalami pertumbuhan yang pesat dari sekitar Rp. 49 triliun pada tahun 2000 dan
menambah ditiap tahunnya.
Tahun 2004
10
Tahun 2005
Pada tanggal 15 Maret 2005, Perseroan menerbitkan Obligasi Panin Sekuritas
II Tahun 2005 Dengan Tingkat Bunga Tetap. Obligasi ini memiliki Jumlah Pokok
seluruhnya sebesar Rp 75 miliar, yang terdiri dari 2 (dua) seri, yaitu:
Seri A, memiliki Jumlah Pokok sebesar Rp 25 miliar dengan tingkat bunga tetap
sebesar 10,5 % (sepuluh koma lima persen) per tahun. Jangka waktu Obligasi
adalah 370 hari, telah jatuh tempo dan dilunasi tepat waktu pada tanggal 20
Maret 2006.
Seri B, memiliki Jumlah Pokok sebesar Rp 50 miliar dengan tingkat bunga tetap
sebesar 11,625% (sebelas koma enam dua lima persen) per tahun. Jangka waktu
Obligasi adalah 2 (dua) tahun, telah jatuh tempo dan dilunasi tepat waktu pada
tanggal 15 Maret 2007.
Obligasi ini dicatatkan di Bursa Efek Surabaya mulai tanggal 16 Maret 2005
sampai dengan tanggal jatuh tempo. Seluruh dana hasil penerbitan Obligasi digunakan
untuk memperkuat modal kerja, khususnya meningkatkan pembiayaan fasilitas
perdagangan marjin sebagai fasilitas pinjaman perdagangan nasabah Perseroan.
Tahun 2006
Sebagai informasi, sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 2006, pemerintah
telah menerbitkan 12 seri Obligasi Negara Riteil (ORI). Pada umumnya, ORI
diterbitkan satu seri setiap tahunnya, kecuali pada tahun 2007 dan 2008, pemerintah
menerbitkan dua seri ORI pada tahun yang sama. Sepanjang satu dasawarsa
penerbitannya, ORI telah menyerap dana sebesar Rp144,125 triliun, dengan total
investor mencapai 214.852 investor. Nominal penerbitan ORI tertinggi mencapai
Rp27,439 triliun, yaitu seri ORI012, terendah sebesar Rp2,714 triliun dari penerbitan
seri ORI005. Penerbitan ORI sendiri memiliki peran strategis bagi perekonomian
nasional. Selain berfungsi sebagai salah satu sumber pembiayaan defisit Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), ORI juga menjadi alternatif investasi bagi
11
masyarakat, khususnya investor ritel. Selain itu, penerbitan ORI merupakan salah satu
strategi Pemerintah untuk melakukan pendalaman pasar Surat Berharga Negara,
dengan memanfaatkan potensi besarnya jumlah penduduk Indonesia. Penerbitan ORI
juga mendukung terwujudnya masyarakat yang berorientasi pada investasi jangka
menengah dan panjang. Yang tidak kalah penting, melalui penerbitan ORI, pemerintah
bermaksud mewujudkan cita-cita kemandirian dalam pembiayaan pembangunan.
Perkembangan pasar surat utang tersebut turut mendorong iklim investasi
jangka panjang. Hal ini terlihat dari pertumbuhan dan keberagaman jenis instrumen
investasi berbasis surat utang seperti reksadana, unit-link, bancassurance, EBA (Efek
Beragun Aset), dan lain-lain. Semakin berkembangnya pasar surat utang Indonesia
merupakan bukti nyata pentingnya peran instrumen surat utang sebagai instrumen
fiskal dan moneter bagi pemerintah maupun sebagai instrumen pendanaan dan
investasi bagi dunia usaha. Perkembangan pasar dan struktur surat utang yang semakin
kompleks mendorong diperlukannya suatu mekanisme penetapan nilai pasar wajar
Efek yang objektif, transparan, dan independen. Meskipun ketentuan Marked-to-
Market (MtM) sudah menjadi salah satu standar dalam penetapan nilai pasar wajar Efek
pada industri keuangan, namun di pasar OTC (over the counter) praktek MtM masih
rentan akan manipulasi, cenderung bias, dan kurang transparan. Sulitnya mendapatkan
harga yang benar-benar mencerminkan nilai wajar semakin diperburuk dengan kondisi
pasar obligasi yang relatif kurang likuid. Berbeda dengan pasar saham, maka hanya
sebagian kecil dari seluruh obligasi yang beredar di pasar sekunder diperdagangkan
setiap hari dan memiliki informasi harga harian. Kondisi ini menjadikan kebutuhan
akan nilai pasar wajar harian menjadi sangat vital bagi pelaku pasar dan investor dalam
pengelolaan investasi dan risiko portfolio.
12
Peran sentral pasar surat utang perlu didukung oleh keberadaan pasar yang
wajar dan transparan. Nature perdagangan surat utang yang OTC dan tidak terpusat
(de-centralized), menjadikan isu likuiditas dan transparansi melalui ketersediaan harga
pasar wajar (fair market price valuation) menjadi sangat kritikal di dalam menciptakan
pasar surat utang yang wajar, teratur, dan efisien. Sebagai solusi atas kebutuhan akan
pasar surat utang yang wajar, teratur, efisien, serta berdaya saing global, pada tahun
2006, tepatnya pada tanggal 5 Juli, pemerintah dan Bank Indonesia mengeluarkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) Gubernur Bank Indonesia, Menko Perekonomian, Menteri
Keuangan, dan Meneg BUMN yang berisi Paket Kebijakan Sektor Keuangan. Dalam
rangka penyempurnaan struktur sektor keuangan yang lebih kuat, seimbang dan stabil,
SKB 5 Juli 2006 tersebut mengamanahkan pembentukan suatu lembaga independen
yang berfungsi untuk melakukan valuasi terhadap surat utang.
Tahun 2007
Sebagai tindak lanjut dari kebijakan pembentukan lembaga independen yang
melakukan valuasi terhadap surat utang, selanjutnya Presiden RI mengeluarkan Inpres
No. 6 Tahun 2007 yang mengintruksikan dilakukannya dengan sasaran kelembagaan
Pasar Modal. Salah satu inisiatif terkait dengan Pasar Modal tersebut adalah
peningkatan likuiditas dan stabilitas Pasar Obligasi (surat utang) melalui
pengembangan mekanisme pembentukan harga (price discovery mechanism).
Selanjutnya didalam inisiatif tersebut, Presiden menginstruksikan penyusunan
peraturan tentang persyaratan, kriteria, dan tatacara pendirian lembaga yang melakukan
valuasi surat utang. Menindaklanjuti hal tersebut, pada tanggal 19 September 2007,
Bapepam dan LK kemudian mengeluarkan Peraturan No V.C.3 tentang Lembaga
Penilaian Harga Efek (LPHE). Peraturan tersebut mengatur persyaratan pendirian dan
kewajiban LPHE sebagai pihak yang melakukan penilaian harga Efek bersifat utang,
Sukuk, dan surat berharga lainnya untuk menetapkan harga pasar wajar secara objektif,
independen, kredibel, dan dapat dipertanggung jawabkan.
13
Pembentukan LPHE, atau biasa disebut juga Bond Pricing Agency (BPA)
merupakan fenomena baru di Indonesia. Kehadiran BPA juga sudah menjadi
kebutuhan di beberapa negara, khususnya di negara-negara yang perkembangan pasar
surat utangnya diawali oleh krisis sektor keuangan. Negara-negara seperti Meksiko,
Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand adalah negaranegara yang pernah mengalami
krisis sektor keuangan sebelumnya. Kebutuhan suatu pasar surat utang yang
transparan, likuid, wajar, teratur, dan efisien, telah mendorong otoritas pasar modal
untuk membentuk BPA sebagai lembaga resmi yang melakukan penilaian dan
penetapan harga pasar wajar secara harian dari seluruh instrumen surat utang, Sukuk,
dan surat berharga lainnya yang diperdagangkan di pasar sekunder. Dalam
perkembangannya, informasi harga pasar wajar yang diterbitkan BPA menjadi
referensi yang wajib digunakan oleh institusi keuangan dalam penetapan secara harian
nilai aset bersih (NAB) dan nilai pasar wajar portfolio. Karena pendapatan daerah yang
diperoleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan belanja daerah maka pemerintah
daerah akan menggunakan penerimaan yanga bersumber dari pembiayaan. Secara rata-
rata, pada tahun 2012, penerimaan daerah yang bersumber dari pembiayaan adalah
sebesar 6%. Rendahnya persentase ini menunjukkan bahwa peluang untuk mencari
sumber dana tambahan untuk memenuhi kebutuhan belanja modal masih terbuka lebar.
14
Salah satu sumber pembiayaan adalah pinjaman daerah. Pinjaman daerah
adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau
menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani
kewajiban untuk membayar kembali. Berbeda dengan pendapatan, penerimaan yang
berasal dari pinjaman mengandung kewajiban untuk membayar kembali pokok
pinjamannya dan juga bunganya. Oleh sebab itu, penggunaan pinjaman daerah harus
dilakukan dengan memperhatikan kemampuan daerah dalam memenuhi kewajiban
yang timbul tersebut agar tidak membahayakan keuangan daerah. Walaupun investasi
publik yang dilakukan harus menghasilkan penerimaan namun dalam peraturan
perundang-undangan tidak ditentukan jumlah minimum penerimaan yang harus
diperoleh. Pada waktu investasi yang dilakukan telah mencapai tahap operasional,
jumlah penerimaannya pun tidak dipersyaratkan harus dapat mencapai titik impas atau
dapat menutup seluruh biaya operasional yang timbul. Bahkan, penerimaan yang
dihasilkan juga tidak dipersyaratkan harus dapat memenuhi kebutuhan untuk
pembayaran bunga dan pokok dari obligasi daerah yang diterbitkan.
Tahun 2015
OJK punya peran sangat vital atas keberhasilan penerbitan obligasi daerah oleh
pemda. Lewat MoU, diharapkan setiap pihak (stakeholder) punya pandangan yang
sama tentang pentingnya obligasi daerah bagi pembangunan di daerah. Hingga
penghujung tahun 2015, belum ada satupun pemerintah daerah (pemda) yang berhasil
menerbitkan obligasi daerah. Padahal tahun 2015 ini direncanakan menjadi tahun
pertama penerbitan obligasi daerah bagi pemda. Sampai-sampai Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) sepanjang tahun 2015 pun terus berupaya untuk mendorong
penerbitan obligasi daerah. Sejumlah upaya telah dilakukan oleh OJK. Bahkan, sejak
awal tahun 2015, OJK sudah concern memacu pertumbuhan perekonomian khususnya
di sektor pasar modal.
15
Saat itu, OJK mengarahkan industri jasa keuangan pada tiga hal, yang mana
salah satunya adalah dalam hal mendukung pembangunan berkelanjutan serta
meningkatkan akses keuangan dan kemandirian finansial masyarakat dalam
mendukung pemerataan pembangunan. Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D
Hadad mengatakan bahwa dalam rangka mendorong penerbitan obligasi daerah, OJK
mengambil peran dengan merevitalisasi peran Bank Pembangunan Daerah (BPD) serta
mengidentifikasi potensi-potensi penerbitan obligasi daerah untuk membiayai proyek-
proyek pembangunan di daerah. Untuk diketahui, obligasi daerah merupakan salah satu
sumber pinjaman daerah jangka menengah dan/atau jangka panjang. Yang
membedakannya dengan obligasi biasa (bond), yakni obligasi daerah diterbitkan untuk
tujuan mendapatkan modal yang diterbitkan oleh pemda melalui penawaran umum
(Initial Public Offering/IPO). Dari sisi regulasi, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan
peluang kepada pemda untuk menggali dana (fund raising) lewat obligasi daerah.
Beberapa waktu setelah itu, selain pihak OJK, Menteri Keuangan Bambang PS
Brodjonegoro juga telah melonggarkan aturan persyaratan penerbitan obligasi daerah,
salah satunya dengan menghapus persyaratan tentang studi kelayakan. Kelonggaran itu
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 180/PMK.07/2015 tentang
Perubahan Atas PMK Nomor 111/PMK.07/2012 tentang Tata Cara Penerbitan dan
Pertanggungjawaban Obligasi Daerah. Selain dilonggarkan dalam hal studi kelayakan,
dalam aturan yang sama, yakni Pasal 9 ayat (2) huruf b yang mengatur tentang aturan
mengenai penyertaan laporan penilaian studi kelayakan oleh penilai yang terdaftar di
OJK juga dihapus. Namun, di sisi lain, peran serta kewenangan Menteri Keuangan dan
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan justru diperkuat. Keduanya, diberi tugas
untuk menilai secara administrasi atas dokumen rencana penerbitan obligasi daerah.
16
Instrumen atau surat-surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal sering
di-sebut efek. Pengertian efek adalah setiap surat berharga yang diterbitkan oleh
perusahaan seperti surat pengakuan utang, surat berharga komersial (commercial
paper), saham, obligasi, tanda bukti utang, bukti right (right issue), waran (warran),
unit penyertaan kontrak, kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan
setiap turunan (derivatif) dari efek. Berikut ini adalah penjelasan dari instrumen-
instrumen Pasar Modal.
Obligasi adalah surat berharga atau sertifikat yang berisi kontrak antara
pemberi pinjaman (dalam hal ini adalah pemodal) dengan yang diberi pinjaman
(emiten). Jadi surat obligasi adalah selembar kertas yang menyatakan bahwa pemilik
kertas tersebut memberikan pinjaman kepada perusahaan yang menerbitkan surat
obligasi. Obligasi digolongkan sebagai efek yang memberikan penghasilan tetap
karena penerbit (issuer) menjanjikan kepada pemegang obligasi untuk:
Bunga obligasi umumnya dibayarkan setiap jumlah waktu yang tetap, misalnya
setiap 3 bulan, 6 bulan, atau 1 tahun. Besarnya bunga tergantung dari kupon. Selain itu
seperti halnya saham biasa, obligasi juga mengenal penghasilan dari capital gain yang
bisa terjadi apabila saat pemegang obligasi melakukan penjualan obligasinya,
mendapatkan harga yang lebih tinggi dari harga ketika saat membelinya. Obligasi
Konversi (convertible bond), sudah dikenal di pasar modal Indonesia. Untuk kalangan
emiten swasta, sebenarnya obligasi konversi lebih dulu populer dari pada obligasi.
Obligasi konversi sekilas tidak ada bedanya dengan obligasi biasa, misalnya
memberikan kupon tetap, memiliki jatuh tempo, dan memiliki nilai pari. Hanya saja
obligasi konversi memiliki keunikan, yaitu bisa ditukar dengan saham biasa
17
PENUTUP
18
persyaratan yang cukup ringan ini maka terbuka kesempatan bagi pemerintah daerah
untuk melakukan investasi sektor publik yang penting bagi pelayanan publik namun
tidak menarik dibangun oleh sektor swasta karena tidak memenuhi kelayakan secara
komersial.
19
DAFTAR PUSTAKA
http://www.academia.edu/21114016/Sejarah_Dan_Perkembangan_Sosiologi_Hukum
diunduh 16/2/2017 pkl.11.59
Eugen Ehrlich. 1962. Fundamental Principles of the Sociology of Law (Law and
Society Series). Transaction Publisher (October 3, 2001).
Abdul manan, Hukum Ekonomi Syariah (dalam persfektik kewenangan peradilan agama).
Jakarta; kencana prenada media grup; 2012.
20