Anda di halaman 1dari 8

A.

Tujuan
Menentukan kecepatan cahaya di udara
B. Landasan Teori
Cahaya merupakan energi berbentuk gelombang elektromagnetik yang memiliki
panjang gelombang sekitar 380-750 nm. Pada mulanya, cahaya dikategorikan sebagai
gelombang elektromagnetik, sehingga untuk mendeskripsikan sifat dan karakteristik
cahaya menggunakan teori gelombang. Namun, teori tersebut gagal mendeskripsikan
sifat cahaya saat cahaya berinteraksi dengan materi. Sehingga pada tahun 1920-an
melalui serangkaian percobaan yang dilakukan para ilmuwan tentang bagaimana
cahaya berinteraksi dengan materi ditemukanlah bahwa cahaya memiliki sifat
dualisme dimana cahaya dapat memiliki sifat sebagai gelombang dan materi.
Pada tahun 1638, Galileo Galilei berusaha untuk mengukur laju cahaya
dengan mengukur waktu yang dibutuhkan untuk cahaya (lentera) bergerak bolak-balik
antara dua puncak bukit yang terpisah sejauh beberapa kilometer. Dengan mengetahui
jarak antar puncak bukit dan waktu yang dibutuhkan cahaya untuk terlihat dibukit
lainnya maka dapat diperoleh nilai laju cahaya. Metoda ini pada prinsipnya masuk
akal, namun karena kecepatan cahaya terlalu besar sedangkan jarak yang digunakan
sangat kecil sehingga waktu yang teramati pun juga akan sangat singkat dibandingkan
dengan fluktuasi dalam waktu tanggapan manusia, sehingga Galileo gagal
mendapatkan nilai kecepatan cahaya melalui percobaan tersebut.
Pada tahun 1676, sebuah percobaan awal untuk mengukur laju cahaya
dilakukan oleh Ole Christensen Rømer, seorang ahli fisika Denmark dan anggota grup
astronomi dari French Royal Academy of Sciences. Dengan menggunakan teleskop,
Ole Christensen Rømer mengamati gerakan planet Jupiter dan salah satu bulan
satelitnya, bernama Io. Dengan menghitung pergeseran periode orbit Io, Rømer
memperkirakan jarak tempuh cahaya pada diameter orbit bumi sekitar 22 menit. Jika
pada saat itu Rømer mengetahui angka diameter orbit bumi, perhitungan laju cahaya
yang dibuatnya akan mendapatkan angka 227×106m/s.. Dengan data Rømer ini,
Christiaan Huygens mendapatkan estimasi kecepatan cahaya pada sekitar 220×106m/s.
Penemuan awal penemuan grup ini diumumkan oleh Giovanni Domenico
Cassini pada tahun 1675, periode Io, bulan satelit planet Jupiter dengan orbit
terpendek, nampak lebih pendek pada saat Bumi bergerak mendekati Jupiter daripada
pada saat menjauhinya. Rømer mengatakan hal ini terjadi karena cahaya bergerak
pada kecepatan yang konstan.
Pada tahun 1849, pengukuran laju cahaya, yang lebih akurat, dilakukan di
Eropa oleh Hippolyte Fizeau. Fizeau menggunakan roda sprocket yang berputar untuk
meneruskan cahaya dari sumbernya ke sebuah cermin yang diletakkan sejauh
beberapa kilometer. Pada kecepatan rotasi tertentu, cahaya sumber akan melalui
sebuah kisi, menempuh jarak menuju cermin, memantul kembali dan tiba pada kisi
berikutnya. Dengan mengetahui jarak cermin, jumlah kisi, kecepatan putar roda,
Fizeau mendapatkan kalkulasi laju cahaya pada 313×106m/s.
Albert Abraham Michelson melakukan percobaan-percobaan dari tahun 1877
hingga tahun 1926 untuk menyempurnakan metode yang digunakan Foucault dengan
penggunaan cermin rotasi untuk mengukur waktu yang dibutuhkan cahaya pada 2 x
jarak tempuh antara Gunung Wilson dan Gunung San Antonio, di California. Hasil
pengukuran menunjukkan 299.796.000 meter/detik. Pengukuran laju cahaya secara
tidak langsung, yang dilakukan pada tahun itu prinsipnya mengikuti persamaan:
𝑗𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ
𝑐=
𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ
Cepat rambat cahaya di ruang hampa ialah sekitar 3×108m⁄s , bila berkas cahaya itu
masuk ke dalam medium lain, maka cepat rambatnya bergantung pada indeks bias
mediumnya. Pada percobaan pengukuran kecepatan cahaya menggunakan sinar laser,
berkas sinar laser yang berasal dari emitter diarahkan ke cermin pemantul dengan
panjang lintasan L1, kemudian oleh cermin sinar tersebut dipantulkan ke receiver
dengan panjang lintasan L2. Skema percobaan seperti pada gambar berikut:

Receiver

Osiloscop

Transmiter

Sinyal ketika berkas laser dipancarkan akan dideteksi oleh osiloskop melalui channel
1 dan sinyal yang ditangkap oleh detector (receiver) akan dideteksi oleh osiloskop
melalui Channel 2. Karena berkas sinar laser yang masuk melalui receiver menempuh
jarak sejauh ∆L maka saat gelombang cahaya sampai pada osiloskop akan terjadi beda
fase dengan gelombang yang masuk melalui channel 1. Jika persamaan gelombang
pada channel 1 adalah y1 = A cos (𝜔t1) dan y2 = A cos 𝜔(t1-t2), dimana t2= ∆L/c dan
t2 t1
𝜔 = 2𝜋/𝑇 . Maka beda fase antara kedua gelombang sebesar =  , karena
T2 T1
pada praktikum ini menggunakan laser yang bersifat monokromatis, maka kedua
gelombang pada cannel 1 dan channel 2 memiliki nilai T yang sama (T2 = T1 = T).
∆𝑡
Jika ∆t = t2 – t1maka persamaan beda fase menjadi = 𝑇 , sehingga beda fase yang

dimaksud disini adalah .T =∆t, nilai ∆t tersebut yang akan terekam oleh osiloskop
yang diperoleh dengan menghitung jarak antara dua puncak gelombang pada channel
1 dan channel 2.Dengan mengetahui jarak lintasan sinar laser dan waktu tempuhnya
maka akan dapat ditentukan kecepatan sinar laser tersebut.
Pada percobaan ini terdapat dua variabel yaitu jarak tempuh cahaya yang merupakan
variabel bebas dan variabel terikat yaitu waktu tempuh cahaya.
C. Alat dan Bahan
No Alat dan Bahan Jumlah
1. Osiloscop 1
2. Transmiter 1
3. Receiver 1
4. Power Supply 1
5. Penggaris 2
6. Cermin Pemantul 1
7. Kabel Konektor 2

D. Prosedur Percobaan
Adapun langkah langkah yang dilakukan dalam percobaan ini adalah:
1. Menyaiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam percobaan.
2. Merangkai alat percobaan seperti sketsa.

Receiver

Osiloscop

Transmiter

3. Menghubungkan emiter, receiver, dan osiloscop pada ground.


4. Menghubungkan channel 1 osiloskop pada terminal keluaran transmiter
dengan menggunakan kabel koaksial.
5. Menghubungkan channel 2 osiloskop pada terminal keluaran receiver dengan
menggunakan kabel koaksial.
6. Menyalakan transmiter dan receiver, tunggu hingga 10-30 menit agar
frekuensi modulasinya tetap.
7. Mengatur cermin pemantul agar sinar yang berasal dari transmiter terpantul
pada cermin hingga masuk kedalam receiver.
8. Mengatur posisi vertikal pada osiloskop sehingga channel 1 dan channel 2
berada pada sumbu horizontal yang sama.
9. Mengukur beda fase antara channel 1 dan channel 2.
10. Mengulangi langkah 7 hingga 10 kali.
11. Mencatat data yang diperoleh pada tabel.
12. Merapikan alat dan bahan.
E. Data Praktikum
No L1 (mm) L2 (mm) L1 + L2 = X (mm) Δt (ns)
1. 675 615 1290 5,8
2. 895 830 1725 6,2
3. 713 663 1376 5,2
4. 563 513 1076 4,8
5. 884 823 1707 6,2
6. 1008 941 1949 6,6
7. 863 801 1664 5,8
8. 764 712 1476 5,2
9. 665 624 1289 4,6
10. 916 957 1873 6,6

F. Pengolahan Data
No L1 (mm) L2 (mm) L1 + L2 = X (m) Δt (ns) Δt (x 10-9) s
1. 675 615 1,290 5,8 5,8
2. 895 830 1,725 6,2 6,2
3. 713 663 1,376 5,2 5,2
4. 563 513 1,076 4,8 4,8
5. 884 823 1,707 6,2 6,2
6. 1008 941 1,949 6,6 6,6
7. 863 801 1,664 5,8 5,8
8. 764 712 1,476 5,2 5,2
9. 665 624 1,289 4,6 4,6
10. 916 957 1,873 6,6 6,6

Pengolahan Data Menggunakan Metode Statistika

Untuk menghitung besarnya nilai kecepatan cahaya, data yang diperoleh dari
𝐿1+𝐿2
percobaan dimasukan kedalam rumus 𝑐 = sehingga diperoleh :
𝛥𝑡
Σc 26,94795237 𝑥 10^−8
Didapat : c = = = 2,694795237 𝑥 10−8 𝑚/𝑠
𝑛 10

Dengan ketidak pastian :

0,589937388 𝑥 10^−16
Δc = √ = √0,00655486 𝑥 10−16 = 0,0809620899 x 10^-8
10(10−1)

Sehingga : c = (2,694795237 ± 0,080962) x 10-8 m/s


𝛥𝑐 0,0809620899
% kesalahan presisi x 100 = x 108 x 100% = 3,00438745%
𝑐 2,694795237

Pengolahan Data Menggunakan Grafik

Untuk menghitung besarnya nilai kecepatan cahaya berdasarkan metode grafik,


adalah sebagai berikut:
𝑥 𝐿1+𝐿2
c= 𝑡 = 2

X = c sin θ
𝑥 𝐿1+𝐿2
tan θ = 𝑡 = 2

y = c cos θ
Dengan menggunakan pengolahan data secara grafik menggunakan origin diperoleh
persamaan garis linier :

Dari pengolahan data menggunakan origin didapatkan persamaan linear :

Y= (3,51695 + 0,636415) x 108

Sumbu y pada grafik dan persamaan di atas adalah jarak tempuh yang dilalui cahaya
pada transmiter (L1 + L2). Sumbu x di dalam persamaan tersebut merupakan selang
waktu (t). Sehingga kecepatan cahaya di udara adalah kemiringan garis dari
persamaan garis linear di atas.

c = 3,51695 x 108 m/s

Untuk ketidak pastianya :

Δc = 0,636415 x 108 m/s

Sehingga c = (3,51695 + 0,636415) x 108 m/s.


𝛥𝑐 0,636415 x 108 m/s
% kesalahan presisi = = 𝑥 100% = 18,095 %
𝑐 3,51695 x 108 m/s
Untuk memperoleh nilai kecepatan cahaya diudara dilakukan dengan menggunakan
∆𝐿
persamaan kecepatan pada gerak lurus beraturan, yaitu 𝑐 = dengan ∆L = L1 +
∆𝑡

L2menunjukan jarak tempuh cahaya atau panjang lintasan total ang dilalui cahaya dari
transmiter sampai ke recever, dan ∆t menunjukan beda fase antara channel 1 dan
channel 2 yang terekam osiloskop . Persamaan tersebut digunakan karena kecepatan
cahaya relatif konstan sehingga menggukana persamaan pada GLB.
Pada percobaan ini, untuk memperoleh nilai c dilakukan dengan mengubah
variabel bebas berupa ∆L dengan mengubah jarak atara cermin pemantul dengan
transmiter dan receiver. Cermin pemantul diatur sedemikian rupa sehingga berkas
sinar dari transmiter tepat jatuh pada pusat cermin dan masuk pada receiver. Dalam
pengaturan posisi cermin tersebut, sudut yang dibentk oleh L1 dan L2 tidak
mempengaruhi hasil perhitungan kecepatan cahaya karena yang dihitung adalah
lintasan linier atau jarak tempuh cahya yang dilakukan dengan menghitung jarah dari
cermin ke transmiter dan receiver.
Berdasarkan percobaan yang dilakukan diperoleh nilai kecepatan cahaya
𝑚
(2,695 ± 0,08096 ) 𝑥108 yang dilakukan dengan pengolahan secara statistik dan c
𝑠
𝑚
= (3,51695 ± 0,636415 ) 𝑥108 𝑠 yang dilakukan dengan pengolahan data secara grafik.

Berdasarkan referensi nilai kecepatan cahaya diudara adalah 2,997046445 x 108 m/s.
Terlihat bahwa terdapat perbedaan antara hasil pada literatur dengan hasil percobaan.
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut diantaranya adalah.
1. Karena berkas sinar laser tidak tepat masuk pada receiver mengakibatkan
gelombang yang terekam pada osiloskop tidak jelas atau berbayang, sehingga
dalam penentuan puncak gelombang lebih sulit dan memungkinkan terjadi
kesalahan paralaks, kesalahan tersebut mengakibatkan terjadi kesalahan dalam
penentuan ∆t.
2. Kesalahan dalam penentuan jarak lintasan cahaya.
Nilai kecepatan udara dimedium udara bereda dengan kecepatan cahaya pada
ruang hampa (vakum), dimana berdasarkan percobaan nilai kecepatan cahay diudara
𝑚
c=(2,695 ± 0,08096 ) 𝑥108 𝑠 , sedangkan dalam vakum c = 3x108 m/s. Perbedan nilai

tersebut karena perbedaan indeks bias di udara dengan di vakum. Indeks bias udara
lebih besar daripada indeks bias pada vakum. Sehingga saat cahaya merambat pada
indeks bias yang lebih besar akan menyebabkan cahaya merambat lebih lambat.
Alat yang digunakan dalam percobaan menentukan cepat rambat cahaya diudara
mungkin dapat juga digunakan untuk mengukur cepat rambat cahaya dalam medium
lain seperti kaca yaitu dengan menambahkan medium lain misalnya kaca dalam lintasan
cahaya yang akan dilalui cahaya dari transmiter ke cermin, dan dari cermin ke receiver.
Namun hal tersebut akan sangat sulit untuk dilakukan.

G. Kesimpulan
Besar kecepatan cahaya diudara yang diperoleh melalui metode statistik adalah
𝑚
c= (2,695 ± 0,08096 ) 𝑥108 𝑠 .

Dengan besar persentase kesalahan praktikum 3,004 %..


Besar kecepatan cahaya diudara yang diperoleh melalui metode grafik adalah V =
3,51695 x 108 m/s

Dengan besar persentase kesalahan praktikum 18,095 %

DAFTAR PUSTAKA
Tipler, A. Paul. (2001). Fisika Untuk SAINS dan Teknik Jilid 1 Edisi Ketiga
(terjemahan). Jakarta: Elangga.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai