Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi susunan saraf pusat sampai sekarang masih merupakan keadaan yang
membahayakan kehidupan anak, dengan berpotensial menyebabkan kerusakan permanen
pada pasien yang hidup. Infeksi ini juga merupakan penyebab tersering demam disertai tanda
dan gejala kelainan susunan saraf pusat pada anak. pada anak Infeksi sebenarnya dapat
disebabkan oleh mikroba apapun, patogen spesifik yang dipengaruhi oleh umur dan status
imun hospes dan epidemiologi patogen. Pada umumnya, infeksi virus sistem saraf pusat jauh
lebih sering daripada infeksi bakteri, yang pada gilirannya lebih sering daripada infeksi jamur
dan parasit. Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat dibagi menjadi dua kategori besar:
yang utamanya melibatkan meningen (meningitis) dan terbatas pada parenkim
(ensefalitis).1,2,7
Meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan pada meningen
atau lapisan otak, 3 lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum tulang belakang yang
terdiri dari Duramater, Arachnoid dan Piamater. Secara klinis, meningitis bermanifestasi
dengan gejala meningeal (misalnya, sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia), serta pleositosis
2
(peningkatan jumlah sel darah putih) dalam cairan cerebrospinal (CSS).
Penyebab paling umum peradangan pada meningens adalah akibat iritasi oleh infeksi bakteri
atau virus. Organisme biasanya masuk meningens melalui aliran darah dari bagian lain dari
tubuh ataupun dapat secara langsung (perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan
di dekat selaput otak.2
Meningitis piogenik (bakteri) terdiri dari peradangan meningens dan CSS
subarachnoid. Jika tidak diobati, meningitis bakteri dapat mengakibatkan kelemahan
(debility) seumur hidup atau kematian.2 Meningitis akut bakteri, menunjukkan bakteri
penyebab sindrom ini. Hal ini biasanya ditandai dengan onset akut gejala meningeal dan
pleositosis neutrophilic. Tergantung dari bakteri spesifik penyebabnya, sindrom yang dapat
disebut, misalnya, salah satu dari berikut: meningitis Pneumococcal, meningitis Haemophilus
influenzae, meningitis stafilokokus, meningitis meningokokus , meningitis tuberkulosis.
Tidak seperti subakut (1-7 hari) atau kronis (> 7 hari) meningitis, yang memiliki etiologi
infeksi dan non-infeksi yang sangat banyak, meningitis akut (<1 hari) hampir selalu infeksi
bakteri yang disebabkan oleh satu dari beberapa organisme . Pasien dengan meningitis
bakteri akut dapat dekompensasi sangat cepat, sehingga mereka memerlukan perawatan
darurat, termasuk terapi antimikroba, idealnya dalam waktu 30 menit pada unit gawat
darurat.2
Meningitis yang disebabkan oleh organisme nonbacterial, jamur dan parasit penyebab
meningitis juga disebut menurut agen spesifik penyebabnya, seperti meningitis kriptokokal,
meningitis Histoplasma, dan meningoencephalitis amebic.2
Meningitis viral, jika, setelah hasil pemeriksaan yang luas, meningitis aseptik
ditemukan memiliki etiologi virus, dapat direklasifikasi sebagai bentuk meningitis virus akut
(misalnya, meningitis enterovirus, meningitis herpes simplex virus [HSV]).2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Meningen terdiri dari pada tiga jaringan ikat membran yang terletak di bagian luar
organ sistem saraf pusat. Fungsi dari lapisan selaput otak ini adalah:
1. Melapisi dan memberikan proteksi kepada struktur organ sistem saraf pusat (otak dan
medula spinalis).
2. Memberikan proteksi pembuluh darah yang terdapat di otak dan menutupi sinus venosus.
3. Mengandung likour serebrospinalis
4. Membentuk partisi/ bagian bagian dari otak.(3)

Struktur meninges dari luar adalah, duramater, arakhnoid mater, dan piamater.

Gambar 1 Meningen
Meningen terdiri dari tiga lapis, yaitu :
a. Piamater
Yang menyelipkan dirinya ke dalam celah pada otak dan sumsum tulang belakang dan
sebagai akibat dari kontak yang sangat erat akan menyediakan darah untuk struktur-
struktur ini.
b. Arachnoid
Merupakan selaput halus yang memisahkan piameter dan duramater.
c. Duramater
Merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari jaringan ikat tebal
dan kuat.(4)

2.2 Liquor Cerebrospinalis (LCS)

1. Fungsi
LCS memberikan dukungan mekanik pada otak dan bekerja seperti jaket pelindung
dari air. Cairan ini mengontrol eksitabilitas otak dengan mengatur komposisi ion,
membawa keluar metabolit-metabolit (otak tidak mempunyai pumbuluh limfe), dan
memberikan beberapa perlindungan terhadap perubahan-perubahan tekanan (volume
venosus volume cairan cerebrospinal).

2. Komposisi dan Volume


Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Nilai normal rata-
ratanya yang lebih penting diperlihatkan pada tabel.

Tabel 1. Nilai Normal Cairan Cerebrospinal 13


LCS terdapat dalam suatu system yang terdiri dari spatium liquor
cerebrospinalis internum dan externum yang saling berhubungan. Hubungan antara
keduanya melalui dua apertura lateral dari ventrikel keempat (foramen Luscka) dan
apetura medial dari ventrikel keempat (foramen Magendie). Pada orang dewasa,
volume cairan cerebrospinal total dalam seluruh rongga secara normal ± 150 ml;
bagian internal (ventricular) dari system menjadi kira-kira setengah jumlah ini. Antara
400-500 ml cairan cerebrospinal diproduksi dan direabsorpsi setiap hari.

3. Tekanan
Tekanan rata-rata cairan cerebrospinal yang normal adalah 70-180 mm air; perubahan
yang berkala terjadi menyertai denyutan jantung dan pernapasan. Takanan meningkat
bila terdapat peningkatan pada volume intracranial (misalnya, pada tumor), volume
darah (pada perdarahan), atau volume cairan cerebrospinal (pada hydrocephalus)
karena tengkorak dewasa merupakan suatu kotak yang kaku dari tulang yang tidak
dapat menyesuaikan diri terhadap penambahan volume tanpa kenaikan tekanan.

4. Sirkulasi LCS
LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus lateralis ke
dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii masuk ke ventriculus
quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor cerebrospinalis externum melalui
foramen lateralis dan medialis dari ventriculus quartus. Cairan meninggalkan system
ventricular melalui apertura garis tengah dan lateral dari ventrikel keempat dan
memasuki rongga subarachnoid. Dari sini cairan mungkin mengalir di atas
konveksitas otak ke dalam rongga subarachnoid spinal. Sejumlah kecil direabsorpsi
(melalui difusi) ke dalam pembuluh-pembuluh kecil di piamater atau dinding
ventricular, dan sisanya berjalan melalui jonjot arachnoid ke dalam vena (dari sinus
atau vena-vena) di berbagai daerah – kebanyakan di atas konveksitas superior.
Tekanan cairan cerebrospinal minimum harus ada untuk mempertahankan reabsorpsi.
Karena itu, terdapat suatu sirkulasi cairan cerebrospinal yang terus menerus di dalam
dan sekitar otak dengan produksi dan reabsorpsi dalam keadaan yang seimbang.
Gambar 2. Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis 14

2.3 Definisi meningitis

Meningitis adalah sebuah inflamasi dari membran pelindung yang menutupi otak dan
medula spinalis yang dikenal sebagai meningens yang dapat disebabkan oleh beberapa
etiologi dan dapat diidentifikasi oleh peningkatan kadar leukosit dalam likuor cerebrospinal
(LCS).3

2.4 Etiologi
Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri,
jamur yang menyebar dalam darah ke cairan otak. Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan
atas :
1. Meningitis bakteri:

Age Group Causes

Usia 0-2 bulan Group B Streptococci, Escherichia coli

Usia 2 bulan – 5 Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae, Streptococcus


tahun pneumonia

Usia diatas 5 tahun Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumonia

2. Virus :

Meningitis virus umumnya tidak terlalu berat dan dapat sembuh secara alami tanpa
pengobatan spesifik. Infeksi virus lain yang dapat menyebabkan meningitis, yakni :
 Virus Mumps
 Virus Herpes, termasuk Epstein-Barr virus, herpes simplexs, varicella-zoster,
Measles, and Influenza
 Virus yang menyebar melalui nyamuk dan serangga lainnya (Arboviruses)
 Kasus lain yang agak jarang yakni LCMV (lymphocytic choriomeningitis virus),
disebarkan melalui tikus.5

3. Jamur :

Jamur yang menginfeksi manusia terdiri dari 2 kelompok yaitu, jamur patogenik
dan opportunistik. Jamur patogenik adalah beberapa jenis spesies yang dapat menginfeksi
manusia normal setelah inhalasi atau inflantasi spora. Jamur patogenik menyebabkan
histiplasmosis, blastomycosis, coccidiodomycosis dan paracoccidiodomycosis. Kelompok
kedua adalah kelompok jamur apportunistik. Kelompok ini tidak menginfeksi orang normal.
Penyakit yang termasuk disini adalah aspergilosis, candidiasis, cryptococcosis,mucormycosis
(phycomycosis) dan nocardiosis.
Infeksi jamur pada susunan saraf pusat dapat menyebabkan meningitis akut, subakut
dan kronik. Biasanya sering pada anak dengan imunosupresif terutama anak dengan leukemia
dan asidosis. Dapat juga pada anak yang imunokompeten. Cryptococcus neoformans dan
Coccidioides immitis adalah penyebab utama meningitis jamur pada anak imunokompeten.
Berikut beberapa patogen jamur :5

Common Fungal Pathogens


Yeast forms
Candica Albicans
Crytococcus neoformans
Dimorphic Forms
Blastomyces dermatidis
Coccidioides immitis
Histoplasma capsulatum
Mold forms
Aspergillus
Tabel 3. Patogen Jamur yang Sering
2.5 Epidemiologi
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap patogen
spesifik yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 – 12 bulan); 95
% terjadi antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap umur.

Meningitis Bakterial
Di Amerika Serikat, insidens dari meningitis bakteri ± 6000 kasus per tahun; dan sekitar
setengahnya adalah pasien anak (≤18 tahun). N. meningitidis menyebabkan 4 kasus per
100.000 anak (usia 1 – 23 bulan). Sedangkan S.pneumoniae menyebabkan 6,5 kasus per
100.000 anak (usia 1 – 23 bulan). Insidens dari meningitis bacterial pada neonatus sekitar
0,15 kasus per 1000 bayi lahir cukup bulan dan 2,5 kasus per 1000 bayi lahir kurang bulan
(premature). 1,8
Secara umum, mortalitas dari meningitis bacterial bervariasi menurut usia dan jenis
pathogen, dengan angka tertinggi untuk S.pneumoniae. Mortalitas pada neonatus tinggi dan
meningitis bakterial juga menyebabkan long term sequelae yang menyebabkan morbiditas
pada periode neonatal. Mortalitas tertinggi yakni pada tahun pertama kehidupan, menurun
pada pertengahan (mid life) dan meningkat kembali di masa tua. 8

Di Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2 bulan-2 tahun. Umumnya
terdapat pada anak distrofik,yang daya tahan tubuhnya rendah. Insidens meningitis bakterialis
pada neonatus adalah sekitar 0.5 kasus per 1000 kelahiran hidup. Insidens meningitis pada
bayi berat lahir rendah tiga kali lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir normal.
Streptococcus group B dan E.coli merupakan penyebab utama meningitis bakterial pada
neonatus. Penyakit ini menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). 9-11
Meningitis Tuberkulosis
Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan kematian pada
anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh kasus meningitis
bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai frekuensi yang lebih tinggi pada daerah
dengan sanitasi yang buruk.
Meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan di Indonesia karena morbiditas
tuberkulosis anak masih tinggi. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak terutama bayi
dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian jarang
dibawah usia 3 bulan dan mulai meningkat dalam usia 5 tahun pertama, tertinggi pada usia 6
bulan sampai 2 tahun. Angka kematian berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan
gejala sisa, hanya 18% pasien yang normal secara neurologis dan intelektual. 6,9,10

Meningitis Viral
Insidens meningitis viral di Amerika serikat yang secara resmi dilaporkan berjumlah lebih
dari 10.000 kasus, namun pada kenyataannya dapat mencapai 75.000 kasus. Menurut data
yang dilaporkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), pasien rawat inap
dengan meningitis viral sekitar 25.000 – 50.000 tiap tahunnya.12
Di seluruh dunia, penyebab meningitis viral termasuk enterovirus, mumps virus
mumps (gondongan), virus measles (campak), virus varicella zoster (VZV) dan HIV. Gejala
meningitis dapat timbul hanya pada 1 dari 3000 kasus. Mumps menyebabkan 10-20%
meningitis dan meningoencephalitis di bagian negara dimana akses vaksin sulit. Pada
neonatus lebih dari 7 hari, meningitis aseptik sering disebabkan oleh enterovirus. Menurut
WHO tahun 1997, meningitis enteroviral dengan sepsis merupakan penyebab tersering ke-5
kematian pada neonatus. 9

Meningitis Jamur
Meningitis jamur jarang ditemukan, namun dapat mengancam kehidupan. Walaupun semua
orang dapat terkena meningitis jamur, namun resiko tinggi terdapat pada orang yang
menderita AIDS, leukemia, atau bentuk penyakit imunodefisiensi ( sistem imun tidak
mempunyai respon yang adekuat terhadap infeksi) lainnya dan orang dengan imunosupresi
(malfungsi dari sistem imun sebagai akibat obat-obatan).5
Penyebab tersering dari meningitis jamur pada orang dengan defisiensi imun seperti
HIV adalah Cryptococcus. Penyakit ini merupakan salah satu dari penyebab tersering
meningitis di Afrika. Jamur lain yang dapat menyebabkan thrush, Candida, dapat
menyebabkan meningitis pada beberapa kasus, terutama pada bayi prematur dengan berat
lahir sangat rendah. (very low birth weight).5

2.6 Patofisiologi

Meningitis Bakterial
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :
1. Aliran darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis,
tonsillitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan
biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam
cairan otak.
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari
sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.
3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal dan
mielokel.
4. Meningitis pada neonatus dapat terjadi oleh karena:
 Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh
kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir
 Infeksi bakteri secara transplacental terutama Listeria.
Gambar 3. Patogenesis Meningitis Bakterial

Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran hematogen.
Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta.
Proses terjadinya meningitis bakterial melalui jalur hematogen mempunyai tahap-tahap
sebagai berikut :
1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi)
2. Bakteri menembus rintangan mukosa
3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel fagosit dan
aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia.
4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal
5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal
6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan otak.
Gambar 4. Patogenesis Meningitis Bakterial

Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu melampaui semua
tahap dan masing-masing bakteri mempunyai mekanisme virulensi yang berbeda-beda, dan
masing-masing mekanisme mempunyai peranan yang khusus pada satu atau lebih dari tahap-
tahap tersebut. Terjadinya meningitis bacterial dipengaruhi oleh interaksi beberapa faktor,
yaitu host yang rentan, bakteri penyebab dan lingkungan yang menunjang.

Faktor Lingkungan
Meningitis Tuberkulosis 9
Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis primer,
biasanya dari paru. Terjadinya meningitis bukanlah karena terinfeksinya selaput otak
langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan
tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah
ke dalam rongga arachnoid (rich dan McCordeck). Kadang-kadang dapat juga terjadi per-
kontinuitatum dari mastoiditis atau spondilitis.
Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama batang otak (brain
stem) tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat
menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis dan mengakibatkan hidrocephalus serta kelainan
saraf pusat.

Meningitis Viral
Virus masuk tubuh manusia melalui beberapa jalan. Tempat permulaan masuknya virus dapat
melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh
virus tersebut akan menyebar keseluruh tubuh dengan beberapa cara:1
 Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau organ
tertentu.
 Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar ke
organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
 Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah pertama kali
masuk (permukaan selaput lender) kemudian menyebar ke organ lain.
 Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak dipermukaan selaput lender dan
menyebar melalui system saraf.
Berikut contoh cara transmisi virus :12
 Enterovirus : biasanya melalui rute oral-fekal, namun dapat juga melalui rute saluran
respirasi
 Arbovirus : melalui artropoda menghisap darah, biasanya nyamuk
 Virus limfositik koriomeningitis – melalui kontak dengan tikus dan sejenisnya
ataupun bahan eksresinya.

Pada umumnya, virus masuk ke sistem limfatik, melalui penelanan enterovirus;


pemasukan membran mukosa oleh campak, rubela, VVZ atau HSV; atau dengan penyebaran
hematogen dari nyamuk atau gigitan serangga lain. Ditempat tersebut, mulai terjadi
multiplikasi dan masuk aliran darah menyebabkan infeksi beberapa organ. Pada stadium ini
(fase ekstraneural) ada sakit demam, sistemik, tetapi tidak terjadi multiplikasi virus lebih
lanjut pada organ yang ditempati, penyebaran sekunder sejumlah virus dapat terjadi. Invasi
SSP disertai dengan bukti klinis penyakit neurologis. HSV-1 mungkin mencapai otak dengan
penyebaran langsung sepanjang akson saraf.
Kerusakan neurologis disebabkan (1) oleh invasi langsung dan penghancuran jaringan
saraf oleh pembelahan virus secara aktif dan atau (2) oleh reaksi hospes terhadap antigen
virus. Kebanyakan penghancuran saraf mungkin karena invasi virus secara langsung,
sedangkan respon jaringan hospes yang hebat mengakibatkan demielinasi dan penghancuran
vaskuler serta perivaskuler dan (3) oleh reaksi aktivitas virus neurotropik yang bersifat
laten.1,7

Meningitis Jamur
Ada beberapa faktor yang berperanan dalam patogenesis infeksi Cryptococcus
neofarmans pada susunan saraf pusat. Jamur ini mempunyai beberapa fenotif karakteristik
yang dikatakan berhubungan dengan invasi pada susunan saraf pusat seperti, produksi
phenoloxidase, adanya kapsul polisakarida,dan kemampuan untuk berkembang dengan cepat
pada suhu tubuh host.Informasi terakhir mengatakan bahwa melanin bertindak sebagai
antioksidan yang melindungi organisme ini dari mekanisme pertahanan tubuh host. Faktor
karakteristik lainnya yaitu kemampuan kapsul untuk melindungi jamur dari pertahanan tubuh
terutama fagositosis dan kemampuan jamur untuk hidup dan berkembang pada suhu tubuh
manusia.
2.6 PATOFISIOLOGI

Meningitis Bakterial 1,2

Akhir – akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi meningitis bakterial, yaitu
suatu proses yang kompleks, komponen – komponen bakteri dan mediator inflamasi berperan
menimbulkan respons peradangan pada selaput otak (meningen) serta menyebabkan
perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan
aliran darah otak, yang dapat mengakibatkan tinbulnya gejala sisa. Proses ini dimulai setelah
ada bakteriemia atau embolus septik, yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam
susunan saraf pusat dengan jalan menembus rintangan darah otak melalui tempat – tempat
yang lemah, yaitu di mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan media
pertumbuhan yang baik bagi bakteri karena mengandung kadar glukosa yang tinggi. Segera
setelah bakteri berada dalam cairan serebrospinal, maka bakteri tersebut memperbanyak diri
dengan mudah dan cepat oleh karena kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis
dalam cairan serebrospinal melalui sistem ventrikel ke seluruh ruang subaraknoid.

Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan melepaskan
dinding sel atau komponen – komponen membran sel (endotoksin, teichoic acid) yang
menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan peradangan di selaput otak
(meningen) melalui beberapa mekanisme seperti dalam skema tersebut di bawah, sehingga
timbul meningitis. Bakteri Gram negative pada waktu lisis akan melepaskan
lipopolisakarida/endotoksin, dan kuman Gram positif akan melepaskan teichoic acid (asam
teikoat).
Gambar 5. Patofisiologi Molekuler Meningitis Bakterial 1

Produk – produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan makrofag di
susunan saraf pusat (sel astrosit dan microglia) memproduksi mediator inflamasi seperti
Interleukin – 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF).

Edema otak yang berat juga menghasilkan pergeseran midline kearah kaudal dan
terjepit pada tentorial notch atau foramen magnum. Pergeseran ke kaudal ini menyebabkan
herniasi dari gyri parahippocampal, cerebellum, atau keduanya. Perubahan intrakranial ini
secara klinis menyebabkan terjadinya gangguan kesadaran dan refleks postural. Pergeseran
ke kaudal dari batang otak menyebabkan lumpuhnya saraf kranial ketiga dan keenam. Jika
tidak diobati, perubahan ini akan menyebabkan dekortikasi atau deserebrasi.

Kelainan utama yang terjadi pada meningitis bakterial adalah peradangan pada selaput
otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan – bahan toksis bakteri. Peradangan selaput otak
akan menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris, akibatnya terjadi refleks kontraksi otot –
otot tertentu untuk mengurangi rasa sakit, sehingga timbul tanda Kernig dan Brudzinksi serta
kaku kuduk. Manifestasi klinis lain yang timbul akibat peradangan selaput otak adalah mual,
muntah, iritabel, nafsu makan menurun dan sakit kepala.

Pada fase akut, bahan – bahan toksis bakteri mula – mula menimbulkan hiperemia
pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang subaraknoid, dan selanjutnya
merangsang timbulnya kongesti dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah hingga
mempermudah adesi sel fagosit dan sel polimorfonuklear, serta merangsang sel
polimorfonuklear untuk menembus endotel pembuluh darah melalui tight junction dan
selanjutnya memfagosit bakteri bakteri, sehingga terbentuk debris sel dan eksudat dalam
ruang subaraknoid yang cepat meluas dan cenderung terkumpul didaerah konveks otak
tempat CSS diabsorpsi oleh vili araknoid, di dasar sulkus dan fisura Sylvii serta sisterna
basalis dan sekitar serebelum.

Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel PMN yang memfagosit
bakteri, secara berangsur-angsur sel PMN digantikan oleh sel limfosit, monosit dan histiosit
yang jumlahnya akan bertambah banyak dan pada saat ini terjadi eksudasi fibrinogen. Dalam
minggu ke-2 infeksi, mulai muncul sel fibroblas yang berperan dalam proses organisasi
eksudat, sehingga terbentuk jaringan fibrosis pada selaput otak yang menyebabkan perlekatan
– perlekatan. Bila perlekatan terjadi didaerah sisterna basalis, maka akan menimbulkan
hidrosefalus komunikan dan bila terjadi di aquaductus Sylvii, foramen Luschka dan Magendi
maka terjadi hidrosefalus obstruktif. Dalam waktu 48-72 jam pertama arteri subaraknoid juga
mengalami pembengkakan, proliferasi sel endotel dan infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan
adventisia, sehingga timbul fokus nekrosis pada dinding arteri yang kadang-kadang
menyebabkan trombosis arteri. Proses yang sama terjadi di vena. Fokus nekrosis dan trombus
dapat menyebabkan oklusi total atau parsial pada lumen pembuluh darah, sehingga keadaan
tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun, dan dapat menyebabkan terjadinya infark.

Infark vena dan arteri luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau
deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama beberapa hari
pertama dirawat tidak mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit dikontrol, kejang
menetap lebih dari 4 hari dirawat dan kejang yang timbul pada hari pertama dirawat dengan
penyakit yang sudah berlangsung lama, serta kejang fokal akan menyebakan manifestasi sisa
yang menetap. Kejang fokal dan kejang yang berkepanjangan merupakan petunjuk adanya
gangguan pembuluh darah otak yang serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul
sebelum dirawat sering menyebakna gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.
Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik korteks serebri.
Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau karena hipoksia, invasi kuman
akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang fokal dang gangguan fungsi motorik
berupa paresis yang sering timbul pada hari ke 3-4, dan jarang timbul setelah minggu I-II;
selain itu juga menimbulkan gangguan sensorik dan fungsi intelek berupa retardasi mental
dan gangguan tingkah laku; gangguan fungsi intelek merupakan akibat kerusakan otak karena
proses infeksinya, syok dan hipoksia. Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena di
duramater atau arakhnoid yang berupa trombophlebitis, robekan-robekan kecil dan perluasan
infeksi araknoid menyebabkan transudasi protein dengan berat molekul kecil ke dalam ruang
subaraknoid dan subdural sehingga timbul efusi subdural yang menimbulkan manifestasi
neurologis fokal, demam yang lama, kejang dan muntah.

Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak (blood brain barrier)
menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan arena aliran CSS terganggu atau hidrosefalus
akan menyebabkan terjadinya edema interstitial.

Meningitis Tuberkulosis 1
Meningitis tuberculosis pada umumnya sebagai penyebaran tuberculosis primer, dengan
focus infeksi di tempat lain. Biasanya fokus infeksi primer di paru, dari focus infeksi primer,
basil masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat
menimbulkan infeksi berat berupa tuberculosis milier.
Terjadinya meningitis tuberculosis adalah mula-mula terbentuk tuberkel di otak,
selaput otak atau medulla spinalis, akibat penyebaran basil secara hematogen selama infeksi
primer atau selama perjalanan tuberculosis kronik (walaupun jarang). Kemudian timbul
meningitis akibat terlepasnya basil dan antigennya dari tuberkel yang pecah karena
rangsangan mungkin berupa trauma atau factor imunologis. Basil kemudian langsung masuk
ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Hal ini mungkin terjadi segera setelah dibentuknya lesi
atau setelah periode laten beberapa bulan atau beberapa tahun. Bila hal ini terjadi pada pasien
yang sudah tersensitisasi, maka masuknya basil ke ruang subarachnoid menimbulkan reaksi
peradangan yang menyebabkan perubahan pada cairan cerebrospinal. Reaksi peradangan ini
mula-mula timbul di sekitar tuberkel yang pecah, tetapi kemudian tampak jelas di selaput
otak. Meningitis basalis yang terjadi akan menimbulkan komplikasi neurologis, berupa
paralisis saraf kranialis, infark karena penyumbatan arteria dan vena, serta hidrosefalus
karena tersumbatnya aliran cairan cerebrospinal. perlengketan yang sama dalam kanalis
sentralis medulla spinalis akan menyebabkan spinal block dan paraplegia.

Meningitis Virus
Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur utama: hematogen atau neural.
Hematogen merupakan jalur tersering dari patogen viral yang diketahui. Penetrasi neural
menunjukkan penyebaran disepanjang saraf dan biasanya terbatas pada virus Herpes dan
varicella zoster virus [VZV] ), dan kemungkinan beberapa enterovirus. Pertahanan tubuh
mencegah inokulum virus dari penyebab infeksi yang signifikan secara klinis. Hal ini
termasuk respon imun sistemik dan lokal, barier mukosa dan kulit, dan blood-brain barrier
(BBB). Virus bereplikasi pada sistem organ awal ( seperti mukosa sistem respiratorius atau
gastrointestinal ) dan mencapai akses ke pembuluh darah. Viremia primer memperkenalkan
virus ke organ retikuloendotelial (hati, spleen dan kelenjar limfe / limfonodus) jika
replikasinya timbul disamping pertahanan imunologis, viremia sekunder dapat timbul,
dimana dipikirkan untuk bertanggung jawab dalam SSP . Replikasi viral cepat tampaknya
memainkan peranan dalam melawan pertahanan host.
Mekanisme sebenarnya dari penetrasi viral kedalam SSP tidak sepenuhnya
dimengerti. Virus dapat melewati BBB secara langsung pada level endotel kapiler atau
melalui defek natural (area post trauma dan tempat lain yang kurang BBB).
Bukti menunjukkan bahwa beberapa virus dapat mencapai akses ke SSP dengan
transport retrograde sepanjang akar saraf.

2.7 Manifestasi klinik


Meningitis mempunyai karakteristik yakni onset yang mendadak dari demam, sakit kepala
dan kaku leher (stiff neck). Biasanya juga disertai beberapa gejala lain, seperti :
 Mual
 Muntah
 Fotofobia (sensitif terhadap cahaya)
 Perubahan atau penurunan kesadaran

Meningitis Bakterial
Meningitis pada bayi baru lahir dan prematur sangat sulit didiagnosis, gambaran klinis
sangat kabur dan tidak khas. Demam pada meningitis bayi baru lahir hanya terjadi pada ½
dari jumlah kasus. Biasanya pasien tampak lemas dan malas, tidak mau makan, muntah-
muntah, kesadaran menurun, ubun-ubun besar tegang dan membonjol, leher lemas, respirasi
tidak teratur. Secara umum apabila didapatkan sepsis pada bayi baru lahir kita harus
mencurigai adanya meningitis.
Bayi berumur 3 bulan – 2 tahun jarang memberi gambaran klasik meningitis.
Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa demam, muntah, gelisah, kejang berulang,
kadang-kadang didapatkan pula high pitch cry (pada bayi). Tanda fisik yang tampak jelas
adalah ubun-ubun tegang dan membonjol, sedangkan tanda Kernig dan Brudzinsky sulit di
evaluasi.
Pada anak besar dan dewasa meningitis kadang-kadang memberikan gambaran klasik.
Gejala biasanya dimulai dengan demam, menggigil, muntah dan nyeri kepala. Kadang-
kadang gejala pertama adalah kejang, gelisah, gangguan tingkah laku. Penurunan kesadaran
seperti delirium, stupor, koma dapat juga terjadi. Tanda klinis yang biasa didapatkan adalah
kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig. Nyeri kepala timbul akibat inflamasi pembuluh
darah meningen, sering disertai fotofobia, kaku kuduk disertai rigiditas spinal disebabkan
karena iritasi meningen serta radiks spinalis.
Kelainan saraf otak disebabkan oleh inflamasi lokal pada perineurium, juga karena
terganggunya suplai vaskular ke saraf. Saraf – saraf kranial VI, VII, dan IV adalah yang
paling sering terkena. Vaskulitis serebral menyebabkan kejang dan hemiparesis.1

Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah:9


1. Gejala infeksi akut.
a. Lethargy.
b. Irritabilitas.
c. Demam
d. Muntah.
e. Anoreksia.
f. Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).

2. Gejala tekanan intrakranial yang meninggi.


a. Muntah.
b. Nyeri kepala (pada anak yang lebih besar).
c. Moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus)
d. Penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma.
e. Kejang, dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching.
f. Bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang.
g. Gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis, Strabismus.
h. Crack pot sign.
i. Pernafasan Cheyne Stokes.
j. Hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak yang lebih besar).

3. Gejala ransangan meningeal.


a. Kaku kuduk positif.
b. Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas
terjadi, sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan punggung.

Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat diandalkan
sebagai diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu dilakukan pungsi lumbal
untuk mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).

Gambar 6. Tanda Brudzinski


Gambar 7. Tanda Kernig

Gambar 8. Manifestasi klinis pada bayi / neonatus

Gambar 9. Manifestasi klinis pada anak dan dewasa


Gambar 10. Opisthotonus dan Blank starring pada M.Meningococcus

Meningitis Tuberkulosis 9,10


Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun selaput otak
sudah terkena. Hal demikian terdapat pada tuberlukosis miliaris sehingga pada penyebaran
miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun gejala meningitis belum tampak.

1. Stadium prodromal
Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otak. Meningitis
biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat kenaikan suhu ringan, jarang
terjadi akut dengan panas tinggi. Sering di jumpai anak mudah terangsang (iritabel) atau anak
menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala.
Malaise, anoreksia, obstipasi, mual dan muntah juga sering ditemukan. Belum tampak
manifestasi kelainan neurologis.

2. Stadium transisi
Stadium prodromal disusul dengan stadium transisi dengan adanya kejang. Gejala diatas
menjadi lebih berat dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk dimana seluruh tubuh mulai
menjadi kaku dan opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih tinggi, ubun-ubun menonjol dan
umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan
nistagmus. Sering tuberkel terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran
lebih menurun hingga timbul stupor. Kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial
dan gerakan involunter (tremor, koreoatetosis, hemibalismus).
3. Stadium terminal
Stadium terminal berupa kelumpuhan kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil melebar
dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur, kadang-kadang
menjadi pernafasan Cheyne-Stokes (cepat dan dalam). Hiperpireksia timbul dan anak
meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali

Tiga stadium diatas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan yang
lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak meninggal.

Meningitis Viral 5,9


Biasanya gejala dari meningitis viral tidak seberat meningitis dan dapat sembuh alami tanpa
pengobatan yang spesifik.
Umumnya permulaan penyakit berlangsung mendadak, walaupun kadang-kadang
didahului dengan panas selama beberapa hari. Gejala yang ditemukan pada anak besar ialah
panas dan nyeri kepala mendadak yang disertai dengan kaku kuduk. Gejala lain yang dapat
timbul ialah nyeri tenggorok, nausea, muntah, penurunan kesadaran, nyeri pada kuduk dan
punggung, fotophobia, parestesia, myalgia. Gejala pada bayi tidak khas. Bayi mudah
terangsang dan menjadi gelisah. Mual dan muntah sering dijumpai tetapi gejala kejang jarang
didapati. Pada pemeriksaan ditemukan kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski kadang-
kadang positif.

Meningitis Jamur
Gejala klinis dari meningitis jamur sama seperti meningitis jenis lainnya; namun, gejalanya
sering timbul bertahap. Sebagai tambahan dari gejala klasik meningitis seperti sakit kepala,
demam, mual dan kekakuan leher, orang dengan meningitis jamur juga mengalami fotofobia,
perubahan status mental, halusinasi dan perubahan personaliti.5

2.8 Diagnosis
Meningitis Bakterial
Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala dan
tanda saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan adanya
tanda rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada meningismus, meningitis
TBC dan meningitis aseptic. Diagnosis pasti meningitis hanya dapat dibuat dengan
pemeriksaan cairan serebrospinalis melalui pungsi lumbal. Oleh Karena itu setiap pasien
dengan kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal.1
Umumnya cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi pada stadium
dini dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy umumnya didapatkan
positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik cairan yang sebagian besar
terdiri dari sel polimorphonuclear (PMN). Kadar protein dalam CSS meninggi. Kadar gula
menurun tetapi tidak serendah pada meningitis tuberkulosa. Kadar klorida kadang-kadang
merendah.9
Dari pemeriksaan sediaan langsung dibawah mikroskop mungkin dapat ditemukan
kuman penyebab, walaupun hal tersebut jarang terjadi. Pada pemeriksaan darah tepi
ditemukan leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri (Shift to the left). Umumnya
terdapat anemia megaloblastik.9

Meningitis Tuberkulosis
Diagnosis dapat ditentukan atas dasar gambaran klinis serta yang terpenting ialah
gambaran CSS. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila ditemukan kuman tuberkulosis dalam
CSS. Uji tuberkulin yang positif, kelainan radiologis yang tampak pada foto roentgen thorak
dan terdapatnya sumber infeksi dalam keluarga hanya dapat menyokong diagnosis. Uji
tuberkulin pada Meningitis tuberkulosis sering negatif karena reaksi anergi (false-negative),
terutama dalam stadium terminalis.9

Meningitis Viral
Diagnosis etiologis hanya dapat dibuat dengan isolasi virus. Dalam prakteknya,
pemeriksaan serologis tidak dikerjakan berhubung dengan banyaknya jenis virus yang dapat
menyebabkan penyakit ini.
Selain biakan CSS, pemeriksaan lain seperti uji tuberkulin, foto Roentgen thorak,
mencari sumber tuberkulosis harus dikerjakan agar dapat menyingkirkan kemungkinan
meningitis tuberkulosa.

Meningitis Jamur
Diagnosis spesifik dapat dibuat dari hapusan cairan serebrospinal . Pemeriksaan
cairan serebrospinal harus termasuk pemeriksaan tubercle basilli dan leukosit abnormal oleh
karena banyak terjadi infeksi bersama jamur dengan tuberkulosa dan leukemia atau limfoma
2.9 Pemeriksaan Penunjang
Pungsi Lumbal 1

Pengambilan cairan serebrospinal dapat dilakukan dengan cara lumbal Punksi. Lumbal
Punksi merupakan prosedur neuro diagnostik yang paling sering dilakukan.

Indikasi Punksi Lumbal


- Untuk mengetahui tekanan dan mengambil sample untuk pemeriksaan sel, kimia dan
bakteriologi.
- Untuk membantu pengobatan melalui spinal, pemberian antibiotika, anti tumor dan
spinal anestes.

Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah sekitar tempat
pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya proses desak ruang
dalam otak (space occupaying lesion) dan pada kelainan pembekuan yang belum diobati.
Pada tekanan intrakranial meninggi yang diduga karena infeksi (meningitis) bukan
kontraindikasi tetapi harus dilakukan dengan hati-hati.

Gambar . Lumbal Pungsi


Pengukuran Tekanan Cairan Serebrospinal
Bila tusukan jarum pungsi lumbal tepat dan LCS mengalir keluar, manometer pengukur
tekanan LCS dihubungkan dengan pangkal jarum pungsi lumbal tersebut. LCS dibiarkan
mengalir mengisi manometer, dan tingginya cairan yang mengisi manometer diukur dalam
milimeter air. Nilai normal tekanan LCS 50-200 mm pada keadaan tenang. Pada anak yang
berontak, menangis atau batuk tekanan akan meningkat.

Pemeriksaan LCS
Biasanya pada LP yang berhasil LCS yang keluar ditampung dalam botol steril untuk
pemeriksaan lengkap. Cairan yang keluar diperhatikan kejernihan dan warnanya, kemudian
ditentukan adanya protein yang meninggi dengan menggunakan uji Pandy dan Nonne.
Pada uji Pandy 1-2 tetes LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya
telah diisi dengan 1 ml larutan fenol jenuh (carbolic acid). Bila kadar protein meninggi akan
didapatkan warna putih keruh atau endapan putih dalam tabung reaksi tersebut.
Pada uji Nonne, 0,5 ml LCS dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya
telah diisi dengan 1 ml larutan amonium-sulfat jenuh. Bila kadar protein LCS meningkat
didapati cincin putih pada perbatasan kedua cairan tersebut.
Pada kesempatan selanjutnya ditentukan jumlah dan diferensiasi sel, kadar protein,
glukosa dan kuman dengan preparat langsung maupun kultur. Pada keadaan normal LCS
berwarna jernih seperti akuadest, tetapi pada neonatus bisa xantokrom.

Sel
Jumlah sel leukosit normal pada bayi sampai umur 1 tahun adalah 10 sel/ µl, 1-4 tahun 8 sel/
µl, remaja dan dewasa 2,59 ± 1,73 leukosit /µl. Eritrosit biasanya tidak terdapat pada anak
dan orang dewasa, kecuali pada pungsi traumatik. Adanya sel neoplastik, plasmasit, sel stem
dan eosinofil dalam LCS selalu abnormal.

Apabila terdapat peninggian jumlah sel dan terutama PMN, maka kemungkinan
pasien menderita meningitis bakterial, atau pada meningitis virus dini atau neoplasma.di
Bagian ilmu kesehatan anak FKUI dipakai patokan jumlah sel LCS normal pada anak 20/3
per µl dan pada neonatus minggu pertama 100/3 per µl, tetapi tergantung juga pada keadaan
klinis pasien dan diferensiasi sel.

Protein
Kadar protein normal 20-40 mg/dl. Kadar ini meningkat pada sindrom Guillain Barre, tumor
intrakranial atau intraspinal, perdarah intrakranial, penyakit degeneratif dan meningitis.
Pada neonatus kadar protein agak lebih tinggi, yaitu 40-80 mg/dl pada umur 0-2
minggu, dan 30-50 mg/dl pada umur 2-4 minggu. Pada neonatus dengan berat badan lahir
rendah kadar protein lebih tinggi lagi rata-rata 100 mg/dl. Kadar protein yang tinggi pada
neonatus mungkin disebabkan oleh fungsi sawar darah otak yang belum matang dan adanya
perdarahan-perdarahan kecil saat partus.

Glukosa
Kadar normal glukosa dalam LCS antara ½ - 2/3 kadar glukosa plasma, biasanya 50-90
mg/dl. Bila memeriksa kadar glukosa LCS perlu pula ditentukan kadar glukosa plasma dan
kedua nilai ini dibandingkan. Bila kadar glukosa LCS kurang dari 50% kadar glukosa plasma,
maka dapat dikatakan bahwa kadar glukosa dalam LCS merendah. Penurunan kadar glukosa
dalam LCS didapati pada pasien dengan meningitis bakterial, karsinomatosis selaput otak dan
lain-lain.

Mikroorganisme
Pemeriksaan mikroorganisme perlu dilakukan yang pertama-tama dengan pewarnaan gram.
Dengan melihat bentuk kuman dan gram dapat diduga diagnosisnya secara cepat. Biakan
LCS dalam media dan uji sensitivitas terhadap obat dapat menentukan kuman penyebab yang
sebenarnya dan obat yang serasi.

Meningitis bakterial 10
- Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit jika ada
indikasi.
- Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan menentukan etiologi :
 Didapatkan cairan keruh atau opalesens dengan Nonne (-)/(+) dan Pandy (+)/(++).
 Jumlah sel 100-10.000/m3 dengan hitung jenis predominan polimorfonuklear,
protein 200-500 mg/dl, glukosa <40 mg/dl. Pada stadium dini jumlah sel dapat
normal dengan predominan limfosit.
 Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya, gambaran LCS dapat tidak
spesifik.
- Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap diberikan pemberian
antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai diagnostik kecuali
identifikasi kuman, itupun jika antibiotiknya senstitif)
- Jika memang kuat dugaan kearah meningitis, meskipun terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intracranial, pungsi lumbal masih dapat dilakukan asalkan
berhati-hati. Pemakaian jarum spinal dapat meminimalkan komplikasi terjadinya
herniasi.
- Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan gejala
peningkatan tekanan intracranial oleh karena lesi desak ruang.
- Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI kepala (pada kasus berat atau curiga
ada komplikasi seperti empiema subdural, hidrosefalus dan abses otak)
- Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan umum.

Meningitis Tuberkulosis 10
- Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, laju endap darah, dan gula darah.
Leukosit darah tepi sering meningkat (10.000-20.000 sel/mm3). Sering ditemukan
hiponatremia dan hipokloremia karena sekresi antidiuretik hormon yang tidak
adekuat.
- Pungsi lumbal :
 Liquor serebrospinal (LCS) jernih, cloudy atau xantokrom
 Jumalh sel meningkat antara 10-250 sel/mm3 dan jarang melebihi 500 sel/mm3.
Hitung jenis predominan sel limfosit walaupun pada stadium awal dapat dominan
polimorfonuklear.
 Protein meningkat di atas 100 mg/dl sedangkan glukosa menurun dibawah 35
mg/dl, rasio glukosa LCS dan darah dibawah normal
 Pemeriksaan BTA (basil tahan asam) dan kultur M.Tbc tetap dilakukan.
 Jika hasil pemeriksaan LCS yang pertama meragukan, pungsi lumbal ulangan
dapat memperkuat diagnosis dengan interval 2 minggu.
- Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) dan Latex particle agglutination dapat mendeteksi kuman Mycobacterium di
cairan serebrospinal (bila memungkinkan).
- Pemeriksaan pencitraan CT-Scan atau MRI kepala dengan kontras dapat
menunjukkan lesi parenkim pada daerah basal otak, infark, tuberkuloma, maupun
hidrosefalus.
- Foto rontgen dada dapat menunjukkan gambaran penyakit Tuberkulosis.
- Uji Tuberkulin dapat mendukung diagnosis
- Elektroensefalografi (EEG) dikerjakan jika memungkinkan dapat menunjukkan
perlambatan gelombang irama dasar.9

Meningitis Viral
- Pemeriksaan hematologi dan kimia harus dilakukan
- Pemeriksaan LCS merupakan pemeriksaan yang penting dalam pemeriksaan penyebab
meningitis. CT Scan harus dilakukan pada kasus yang berkaitan dengan tanda neurologis
abnormal untuk menyingkirkanlesi intrakranial atau hidrosefalus obstruktif sebelum
pungsi lumbal (LP). Kultur LCSD tetap kriteria standar pada pemeriksaan bakteri atau
piogendari meningitis aseptic. Lagi-lagi, pasien yang tertangani sebagian dari meningitis
bakteri dapat timbul dengan pewarnaan gram negative dan maka timbul aseptic. Hal
berikut ini merupakan karakteristik LCS yangdigunakan untuk mendukung diagnosis
meningitis viral:
 Protein: Kadar protein LCS biasanya sedikit meningkat, tetapi dapat bervariasi dari
normal hingga setinggi 200 mg/dL.

Meningitis Jamur 14
Perubahan cairan serebrospinal pada meningitis jamur seperti pada meningitis tuberkulosis.
Tekanan meningikat bervariasi, pleiositosis moderat, biasanya kurang adri 1000 sel/mm3,
dengan predominan limfosit. Kecuali pada kasus yang akut, sel dapat meningkat lebih dari
1000/mm3 dengan predominan polimorfonuklear. Glukosa bisanya agak menurun
(subnormal) dan protein meningkat kadang-kadang sampai pada kadar yang sangat tinggi.
Tabel. 5. Gambaran Cairan Serebrospinal pada meningitis berdasarkan agen
etiologinya 2

2.10 Penatalaksanaan
Meningitis bakterial
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis.
Idealnya kultur darah dan likuor cerebrospinal (LCS) harus diperoleh sebelum antibiotik yang
8
diberikan.
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder akibat edema serebral jarang pada
bayi. Monitor kadar gas darah dengan ketat untuk memastikan oksigenasi yang memadai dan
stabilitas metabolisme.8
Pada bayi dan anak-anak, Manajemen meningitis bakteri akut melibatkan kedua terapi
antimikroba yang tepat dan terapi suportif. Semua pasien harus evaluasi audiologic setelah
selesai terapi.8
Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan memeriksa
tanda-tanda vital dan status neurologis dan balans cairan.8
Bila anak dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara
intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian diazepam dapat diulang
dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan dengan pemberian
fenobarbital dengan dosis awal 10-20mg/kgBB IM, 24 jam kemudian diberikan dosis
rumatan 4-5mg/kgBB/hari. Apabila dengan diazepam intravena 2 kali berturut-turut kejang
belum berhenti dapat diberikan fenitoin dengan dosis 10-20mg/kgBB secara intravena
perlahan-lahan dengan kecepatan dalam 1 menit jangan melebihi 50 mg atau
1mg/kgBB/menit. Dosis selanjutnya 5mg/kgBB/hari diberikan 12-24 jam kemudian. Bila
tidak tersedia diazepam, dapat digunakan langsung phenobarbital dengan dosis awal dan
selanjutnya dosis maintenance.1

Terapi antibiotic
Neonatus
Antibiotik harus diberikan segera setelah terdapat akses vena pada pasien dengan meningitis
bakteri. Secara konservatif, pengobatan antimikroba awal atau inisial terdiri dari ampisilin
dan kombinasi aminoglikosida (ampisilin dan cefotaxime juga). Jika S pneumoniae dicurigai,
vankomisin harus ditambahkan. Terapi empiris awal untuk penyakit late-onset pada bayi
prematur harus mencakup agen antistaphylococcus dan seftazidim, amikasin, atau
meropenem.8
Ampisilin memiliki cakupan yang baik untuk coccus gram-positif, termasuk
streptococcus grup B, enterococcus, L monocytogenes, beberapa strain dari E coli, dan jenis
H influenzae B. Ampisilin juga dapat mencapai kadar yang adekuat dalam likuor
cerebrospinal (LCS).8
Aminoglikosida (misalnya, gentamisin, tobramycin, amikasin) mempunyai aktivitas
yang baik terhadap hampir kebanyakan basil Gram-negatif, termasuk P. aeruginosa dan
Serratia marcescens. Namun, aminoglikosida hanya dapat mencapai kadar marginal pada
cairan LCS dan ventrikel, bahkan ketika meninges meradang.8
Beberapa generasi ketiga sefalosporin mencapai kadar yang baik dalam LCS dan telah
muncul sebagai agen efektif terhadap infeksi gram negatif. Seftriakson berkompetisi dengan
bilirubin untuk pengikatan oleh albumin, dan dosis terapeutik ceftriaxone menurunkan
cadangan albumin dalam serum bayi baru lahir sebesar 39%, dengan demikian, ceftriaxone
dapat meningkatkan risiko ensefalopati bilirubin, terutama pada bayi baru lahir beresiko
tinggi. Seftriakson juga menyebabkan sludging (lumpur) empedu. Tidak satupun dari
sefalosporin memiliki aktivitas terhadap L. monocytogenes dan enterococcus dan, karenanya,
tidak boleh digunakan sebagai agen tunggal untuk pengobatan awal.Kombinasi ampisilin dan
sefalosporin generasi ketiga diperlukan.8
Jika patogen terbukti menjadi bakteri yang rentan ampisilin dengan low minimum
inhibitory concentration (MIC) ampisilin, maka ampisilin dapat dilanjutkan
sendiri. Cefotaxime dan seftriakson juga mempunyai aktivitas yang baik terhadap
kebanyakan S.pneumoniae resisten penisilin. Baik vankomisin dan cefotaxime harus
diberikan pada pasien dengan meningitis S. pneumoniae sebelum hasil uji resistensi
antibiotik tersedia.8
Di antara aminoglikosida, gentamisin dan tobramycin telah digunakan secara
ekstensif dalam kombinasi dengan ampisilin. Meskipun kekhawatiran kadarnya pada LCS,
agen ini telah terbukti efektif bila dikombinasikan dengan antibiotik beta laktam-untuk
pengobatan meningitis yang disebabkan oleh organisme seperti streptococcus grup B dan
enterococcus yang sensitif. 8
Infeksi yang melibatkan Staphylococcus S, anaerob, atau P. aeruginosa mungkin
memerlukan antimikroba lainnya, seperti oksasilin, methicillin, vankomisin, atau kombinasi
dari seftazidim dengan aminoglikosida. Penetrasi LCS dan keamanan agen antimikroba harus
menentukan penggunaan.8
Agen etiologi dan penemuan klinis menjadi dasar dari lama pengobatan, namun
pengobatan selama 10 hari - 21-hari biasanya cukup untuk infeksi Streptococcus grup
B. Waktu yang lebih lama dibutuhkan untuk mensterilkan LCS dengan meningitis oleh bacil
gram negatif, dan biasanya diperlukan pengobatan selama 3-4 minggu .8
Lumbal pungsi ulangan diindikasi pada keadaan tidak adanya perbaikan klinis atau
meningitis yang disebabkan oleh strain S pneumonia yang resisten atau dengan basil enterik
gram negatif. Pada neonatus dengan meningitis basil gram negatif, pemeriksaan CSS selama
pengobatan diperlukan untuk memverifikasi kultur steril.Pemeriksaan ulang terhadap CSS
untukpemeriksaan kimia dan kultur harus dilakukan 48-72 jam setelah memulai pengobatan;
specimen lebih lanjut diperlukan bila tidak didapatkan sterilitas ataupun perbaikan klinis.8

Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi empirik untuk
neonatus dengan meningitis bakterial sebagai berikut :11
 Umur 0-7 hari
- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari
setiap 12 jam IV atau
- Seftriakson 50 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV atau
- Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Gentamisin 5 mg/kgBB/hari
setiap 12 ajm IV.
 Umur >7 hari
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 6 jam IV + Gentamisin 7,5 mg/kgBB/hari
setiap 12 jam IV atau
- Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV atau
- Seftriakson 75 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV.

Bayi dan anak


Pemberian antibiotik yang cepat pasien yang dicurigai meningitis adalah
penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan melawan 3 patogen umum: S
pneumoniae, N meningitidis, dan H. influenzae.8
Menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA) practice guidelines for
bacterial meningitis tahun 2004, kombinasi dari vankomisin dan ceftriaxone atau cefotaxime
dianjurkan bagi mereka yang dicurigai meningitis bakteri, dengan terapi ditargetkan
berdasarkan pada kepekaan patogen terisolasi. Kombinasi ini memberikan respon yang
adekuat terhadap pneumococcus yang resisten penisilin dan H. Influenza tipe B yang resisten
beta-laktam. Perlu diketahui, Ceftazidime mempunyai aktivitas yang buruk terhadap
penumococcus dan tidak dapat digunakan sebagai substitusi untuk cefotaxime atau
ceftriaxone.8
Oleh karena buruknya penetrasi vankomisin pada susunan saraf pusat, dosis yang
lebih tinggi 60 mg/kg/hari dianjurkan untuk mengatasi infeksi susunan saraf pusat.
Cefotaxime atau ceftriaxone cukup adekuat untuk pneumococcus yang peka. Namun, bila
S.pneumonia terisolasi mempunya MIC yang lebih tinggi untuk cefotaxime, dosis tinggi
cefotaxime (300 mg/kg/hari) dengan vankomisisn (60 mg/kg/hari) bisa menjadi pilihan.8
Terapi dengan Carbapenem merupakan pilihan yang baik patogen yang resisten
sefalosporin. Meropenem lebih dipilih dibandingkan imipenem oleh karena resiko kejang
lebih rendah. Fluorokuinolon dapat menjadi pilihan untuk pasien yang tidak dapat
menggunakan antibiotik jenis lain atau gagal pada terapi sebelumnya.8
Pada pasien yang alergi beta-laktam (penisilin dan sefalospori) dapat dipilih
vankomisin dan rifampisin untuk kuman S.pneumoniae. Kloramfenikol juga
direkomendasikan pada pasien dengan meningitis meningococcal yang alergi beta-laktam.8
Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi dan
anak dnegan meningitis bakterial sebagai berikut : 10
 Usia 1 – 3 bulan :
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim 200-
300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
 Usia > 3 bulan :
- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Kloramfenikol
100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan hasil kultur
dan resistensi.

Terapi Deksametason
Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis bakterial yang
menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses inflamasi, penurunan edema
serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit didapatkan kerusakan otak.8
Oleh karena itu IDSA merekomendasikan penggunaan deksametason pada kasus
meningits oleh H.influenza tipe B 10 – 20 menit sebelum atau saat pemberian antibiotik
dengan dosis 0,15 – 0,6 mg/kg setiap 6 jam selama 2-4 hari.1,8
Namun pemberian deksametason dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP. Oleh
karena itu pemberiannya harus dengan pemikiran yang matang berdasarkan kasus, resiko dan
manfaatnya.8

Meningitis Tuberkulosis 9
Berdasarkan rekomendasi American Academic of Pediatrics 1994 diberikan 4 macam obat
selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian INH dan Rifampisin selama 10 bulan.
Dasar pengobatan meningitis tuberkulosis adalah pemberian kombinasi obat anti-
tuberkulosa ditambah dengan kortikosteroid, pengobatan simptomatik bila terdapat kejang,
koreksi dehidrasi akibat masukan makanan yang kurang atau muntah-muntah dan fisioterapi.

Dosis obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah sebagai berikut:


1. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 300 mg/hari.
2. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari dengan maksimum dosis 600 mg/hari.
3. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2000 mg/hari.
4. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2500 mg/hari.
5. Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu dilanjutkan dengan tappering off
untuk menghindari terjadinya rebound phenomenon.

Meningitis Viral 2
Kebanyakan meningitis viral biasanya hanya perlu terapi suportif dan tidak memerlukan
terapi spesifik lainnya. Pada keadaan tertentu antiviral spesifik mungkin diperlukan.

Meningitis Jamur 2
Candida 2,6
Terapi awal pilihan untuk meningitis Candida adalah amfoterisin B (0,7 mg / kg / hari).
Flusitosin (25 mg / kg qid) biasanya ditambahkan dan disesuaikan untuk mempertahankan
tingkat serum 40-60 mcg / mL, di berikan selama 6-12 minggu, bergantung dari efektivitas
terapi dan adanya efek samping.Terapi Azole dapat digunakan untuk follow-up terapi atau
pengobatan supresi. Peniadaan material prostetik (misalnya, shunts ventriculoperitoneal)
adalah komponen penting dalam terapi meningitis Candida yang berkaitan dengan prosedur
bedah saraf.

Coccidioides immitis
Amfoterisin B merupakan drug of choice meningitis oleh coccidioides, diberikan secara
intravena dan intratekal. Dosis inisial intratekal 0,1 mg untuk 3 kali suntikan pertama.
Selanjutnya dosis ditingkatkan 0,25 – 0,5 mg 3-4 kali setiap minggu. Efek samping
pemberian secara intratekal seperti meningitis aseptic, nyeri punggung dan tungkai.
Mikonazol dapat diberikan secara intravena dan intratekal pada pasien yang tidak dapat
mentorelansi dosis tinggi dari Amfoterisin B.6
Regerensi lain menyebutkan flukonazol oral (400 mg / hari) sebagai terapi untuk C
immitis ataupun dengan dosis yang lebih besar flukonazol (1000 mg / hari) atau dengan
kombinasi flukonazol dan amfoterisin B.2

Histoplasma capsulatum
Rekomendasi terapi meningitis capsulatum H adalah amfoterisin B liposomal di IV 5-
mg/kg/hari untuk total 175 mg / kg diberikan selama 4-6 minggu, diikuti oleh itraconazole
oral 200-300 mg dua kali untuk tiga kali sehari minimal 1 tahun atau sampai resolusi kelainan
CSS dan antigen Histoplasma.2,6

Meningitis cryptococcal
Dengan AIDS
Untuk terapi awal, amfoterisin B (0,7-1 mg / kg / hari, IV) selama paling sedikit 2
minggu, dengan atau tanpa flusitosin (100 mg / kg PO) terbagi dalam 4 dosis . preparat
Liposomal amfoterisin B dapat digunakan pada pasien dengan atau yang cenderung akan
berkembang menjadi disfungsi ginjal (amfoterisin B 3-4 liposom mg / kg / hari atau lipid
amfoterisin B kompleks 5 mg / kg / hari).
Untuk terapi konsolidasi, flukonazol (400 mg / d selama 8 minggu).Itrakonazol adalah
alternatif jika flukonazol tidak ditolerir. Untuk terapi pemeliharaan, terapi antifungi jangka
panjang dengan flukonazol (200 mg / d) yang paling efektif (disbanding itraconazole dan
amfoterisin B 1 mg / kg / minggu) untuk mencegah kambuh. Risiko relaps tinggi pada pasien
dengan AIDS. Dalam banyak kasus, meningitis kriptokokus menyebabkan TIK meningkat.
Mengukur tekanan pembukaan selama pungsi lumbar sangat dianjurkan. Buatlah upaya untuk
mengurangi tekanan tersebut dengan pungsi lumbal berulang, menguras lumbal, atau shunt
atau pemberian manitol, juga telah digunakan.Peran agen baru, seperti vorikonazol dan
posaconazole, belum diselidiki.Echinocandins tidak memiliki aktivitas terhadap kriptokokus.
Untuk pengobatan optimal untuk terkait HIV kriptokokal meningitis akut di wilayah terbatas
sumber daya, agen-agen yang digunakan adalah amfoterisin B dan flukonazol. Go to HIV-1
SSP Kondisi Asosiasi - Meningitis untuk informasi lengkap tentang topik ini.

Tanpa AIDS
Untuk terapi induksi dan konsolidasi, amfoterisin B (0,7-1 mg / kg / hari) plus
flusitosin (100 mg / kg / hari) selama paling sedikit 4 minggu. Ini dapat diperpanjang sampai
6 minggu komplikasi neurologis. Kemudian, flukonazol (400 mg / d) untuk minimal 8
minggu.Pungsi lumbar dianjurkan setelah 2 minggu untuk mendokumentasikan sterilisasi dari
CSS. Jika infeksi berlanjut, terapi induksi lagi dianjurkan (6 minggu).

BAB IV
BAB IV
STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. R
Umur : 1 tahun 9 bulan
Berat badan : 9,2 kg
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Nama ayah : Tn. M
Pekerjaan : Wiraswasta
Nama Ibu : Ny.S
Pekerjaan Ibu : Ibu rumah tangga
Alamat : Simpang Rumbio solok
Tanggal masuk : 01 Juni 2016 pukul 08.47 WIB
Tanggal pemeriksaan : 01 Juni 2016 pukul 09.15 WIB
No. RM : 01078349

B. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dengan cara alloanamnesis terhadap ibu penderita
1. Keluhan Utama
Tidur terus-terusan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
2. Riwayat Penyakit Sekarang
 Tidur terus – terusan sejak 1 hari sebelum masuk Rumah sakit, jika dibangunkan
dengan rangsangan pasien terbangun kemudian tidur lagi.
 Kurang lebih 10 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami batuk pilek,
batuk berdahak , pasien masih bisa beraktivitas.
 Demam sejak 7 hari sebelum masuk Rumah sakit, demam hilang timbul, dan tidak
disertai kejang dan tidak menggigil.
 Muntah sejak 1 hari yang lalu, frekuensi ±5 x dalam sehari, muntahan apa yang
dimakan
 Nafsu makan menurun
 BAB jarang, BAB keras (+), hitam (-), BAK sering ± 3x/hari.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit demam sebelumnya : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat kejang sebelumnya : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat kejang pada keluarga : disangkal
5. Riwayat Nutrisi
ASI diberikan sejak lahir. Sejak usia 6 bulan diberikan susu formula merk
SGM dengan frekuensi diberikan setiap kali anak menangis atau minta minum. Sejak
usia 6 bulan juga diberikan bubur susu. Buah pisang diberikan 2 kali seminggu.

6. Riwayat Pemeriksaan Kehamilan dan Prenatal


Pemeriksaan kehamilan dilakukan ibu penderita di bidan setempat. Frekuensi
pemeriksaan pada trimester I dan II 1 kali tiap bulan, dan pada trimester III 2 kali tiap
bulan. Penyakit kehamilan disangkal.

7. Riwayat Kelahiran
Penderita lahir di Rumah Bersalin, partus normal, ditolong oleh bidan, cukup
bulan, menangis kuat segera setelah lahir. Berat lahir 2600 gram, panjang badan saat
lahir 46 cm.

8. Pemeriksaan Post Natal


Pemeriksaan bayi setelah lahir dilakukan di posyandu, setiap sebulan sekali
dan saat imunisasi.

12. Riwayat Imunisasi


Dari anamnesis, ibu pasien menyatakan imunisasi pasien lengkap, sesuai
jadwal imunisasi yang telah ditetapkan.
Jenis I II Ill IV
BCG 2 bulan - - -
DPT 2 bulan 3 bulan 4 bulan -
POLIO 2 bulan 3 bulan 4 bulan 9 bulan
Hepatitis 3 bulan 4 bulan 9 bulan -
Campak 9 bulan - - -

14. Keluarga Berencana


Ibu pasien mengikuti program KB dengan KB suntik.

B. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak lemah
Derajat Kesadaran : Samnolen
Vital sign
Suhu : 38 oC
Frekuensi nadi : 100 x/menit
Frekuensi nafas : 30 x/menit
Berat Badan : 10 kg
Tinggi Badan : 85 cm
Status gizi :
Menurut WHO BB/PB = - 1 SD
Kesan : Gizi Baik
Kulit : Warna sawo matang, kelembaban baik
Kepala : Mesocephal, kaku kuduk (+)
Mata : Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+/+)
Hidung : Bentuk normal, napas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : Sianosis (-), mukosa basah (+)
Telinga : Bentuk normal
Leher : Bentuk normal, Tidak ada pembersaran KGB
Thorax :
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Kiri atas : SIC II LPSS
Kiri bawah : SIC IV LMCS
Kanan atas : SIC II LPSD
Kanan bawah : SIC IV LPSD
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan =kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan =kiri
Perkusi : Sonor / Sonor di semua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

Abdomen : Inspeksi : dinding dada sejajar dinding perut


Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Urogenital : dalam batas normal

Ekstremitas : akral dingin - -


- -

oedem - -
Status Neurologis - -

 Kesadaran : Samnolen

GCS : E: 2 V: 3 M: 4
 Tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk +, kernig sign +, brudzinsky I dan II +.
 Nervus Kranialis :
- N I ( N. Olfaktorius) : sulit di nilai
- N II (N. Optikus ) : sulit di nilai
- N III ( N. Okulomotorius) : sulit di nilai
- N IV ( N. Throklearis ) : sulit di nilai
- N V ( N . Trigeminus ) : sulit di nilai
- N VI ( N. Abdusen ) : sulit di nilai
- N VII ( N. Fasialis ) : sulit di nilai
- N VIII ( N. Auditorius ) : sulit di nilai
- N IX ( N. Glosofaringius ) : sulit di nilai
- N X ( N. Vagus ) : sulit di nilai
- N. XI (N. Accesorius) : sulit di nilai
- N XII (N. Hipoglosus) : sulit di nilai

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 12,1 gr/d1
Ht : 39,2 %
Leukosit : 14.300 mm3
Trombosit : 449.000 mm3
Natrium : 136 mmol/L
Kalium : 4,7 mmol/L
Klorida : 105 mmol/L
GDS : 132 mg/dL
Pemeriksaan LCS:
Makroskopis:
Warna : Kuning muda
Kejernihan : Agak keruh
Bekuan : (-)
Tes Pandy : (+)
Glukosa : 97 mg/dL
Protein : 200 mg/dL
Jumlah sel : 100/uL
Hitung jenis sel PMN : 81%
Hitung jenis sel MN : 19%

F. DIAGNOSIS KERJA
Meningitis Bakterialis

G. PENATALAKSANAAN
 Terapi :
 O2 2 liter/menit
 IVFD KA EN 1B 10 tts/i
10 kg I : 100 x 10 kg
 Diet ML TKTP 1000kal/hari dan Air Susu Buatan sesuai permintaan
 Injeksi Ampisilin 4 x 500 mg IV
 Kloramfenikol 4 x 250 mg IV
 Injeksi dexametason 4 x 1,5 mg IV
 Paracetamol sirup 3 x cth 1 (kalau demam)
 Monitoring
KU dan VS per 6 jam

 Edukasi
Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit yang diderita pasien, pemeriksaan yang
dilakukan, pengobatan dan komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien

PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA

1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71
2. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview. Accessed May 29th,2011.
3. Tan TQ. Meningitis. In : Perkin RM, Swift JD, Newton DA, penyunting. Pediatric
Hospital Medicine, textbook of inpatient management. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins; 2003. h. 443-6.
4. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3546/1/anatomi-mega2.pdf. Accessed
June 1st, 2011.
5. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention.
Updated: August 6th, 2009 Available from :
http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html. Accessed May 29th, 2011.
6. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier saunders;
2005. h. 106-13.
7. Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman, Kliegman, Jenson,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders;
2004. h. 2038-47.
8. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/961497-overview. Accessed May 29th, 2011.
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta:
Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
10. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid
1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.
11. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2004 : 200 – 208.
12. Cordia W,dkk. Meningitis Viral. Updated: Mar 29th, 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1168529-overview. Accessed May 29th, 2011.
13. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention.
Updated: August 6th, 2009 Available from : http://www.cdc.gov/meningitis/about/
prevention.html. Accessed June 1st, 2011.

Anda mungkin juga menyukai