Tinjauan Pustaka
I. Defenisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphtheriae. Mudah menular dan yang diserang terutama tractus
respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan
dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal.1
II. Etiologi
Disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae bakteri gram positif yang
bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Perwarnaan langsung
dapat dilakukan dengan metilen blue atau toluidin blue. Basil ini dapat ditemukan
dengan sediaan langsung dari lesi.1
Sifat Basil
Polimorf, gram positif, tidak bergerak, tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60⁰C selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es, air, susu,
dan lendir yang telah mengering.1
Terdapat 3 jenis basil, yaitu bentuk gravis, mitis dan intermedius atas dasar
perbentukkan koloni dalam biakkan agar darah yang mengandung kalium telurit.1
Uji Schick
Adalah suatu pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03 ml satuan/ ml darah cukup dapat
menahan infeksi diffteri. 1s
Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intracutan
dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml. Bila orang tersebut tidak
mengandung antitoksin maka akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan akan
hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang
rendah, uji ini dapat positif; pada bekas suntikkan akan timbul warna merah
kecoklatan dalam 24 jam.1
Uji ini dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat
suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin
yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin
yang akan menghilang dalam 72 jam.1
III. Epidemiologi
Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat
pula melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.1
Difteri tersebar luas diseluruh dunia. Angka kejadian menurun nyata setelah
perang dunia ke II, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian pula terdapat
penurunan mortalitas yang berkisar antara 5-10%. Diruang perawatan penyakit
menular bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo dalam tahun 1982-1986
rata-rata dirawat 200-400 kasus difteria setiap tahun dengan angka kematian sekitar 4-
7%, akan tetapi dari tahun ke tahun tampak penurunan jumlah pasien dan pada tahun
1989 terdapat 130 kasus dengan angka kematian 3,08%. Delapan puluh persen kasus
terjadi dibawah 15 tahun, meskipun demikian dalam keadaan wabah, angka kejadian
menurut umur tergantung status imunitas populasi setempat.2
Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya
fasilitas kesehatan merupakan faktor penting tejadinya penyakit ini. Angka kesakitan
dan kematian tahun 1992-1996 di rumah sakit provinsi Jakarta, Semarang, Bandung,
Palembang dan Ujung Pandang ternyata masih tetap tinggi.2
Difteria ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui
droplet ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu bisa menjadi wahana
penularan (vehicles of transmission). Difteria kulit meskipun jarang dibahas,
memegang peran yang cukup penting secara epidemiologik. Pada suatu saat ketika
angka kejadian diftreia faucial dibeberapa negara mulai memudar, difteria kulit
dilaporkan meningkat. Hal yang penting bahwa dalam populasi tertentu dengan karier
kulit dengan proporsi yang cukup tinggi terdapat kekebalan terhadap difteria faucial,
namun sebaliknya berperan pula dalam terjadinya wabah difteria faucial.2
IV. Patogenesa
Basil hidup dan berkembang biak pada tractus respiratorius bagian atas
terlebih-lebih bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus dan lain-lain. Tetapi
walaupun jarang basil dapat hidup pada daerah vulva, telinga dan kulit. Pada tempat
ini basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran
dapat timbul lokal atau kemudian menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan
seluruh tractus respiratorius bagian atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih
berat. Kelenjer getah bening disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan
mengandung toksin.1
V. Klasifikasi
Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokasi jaringan yang terkena
infeksi. Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit juga diajukan oleh Beach
dkk. (1950) sebagai berikut1:
1. Infeksi Ringan
Pseudomembran terbatas pada mucosa hidung atau fausial dengan gejala
hanya nyeri menelan.
2. Infeksi Sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring
dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan
konservatif.
3. Infeksi Berat
Disertai gejala sumbatan jalan napas yang berat, yang hanya dapat diatasi
dengan trekeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis, paralisis ataupun
nefritis dapat menyertainya.
Gejala umum yang timbul berupa demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat,
nyeri kepala, anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali. Gejala ini
biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek
atau nyeri menelan atau sesak napas dengan serak dan stridor, sedangkan gejala akibat
eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti miokarditis, paralisis
jaringan saraf dan nefritis.1
Difteri Hidung
Gejalanya paling ringan dan jarang terdapat (hanya 2%). Mula-mula hanya
tampak pilek, tapi kemudian sekret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal
dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai faring dan
laring. Penderita diobati seperti penderita difteri lainnya.1
Difteri Faring Dan Tonsil (Difteri Fausial)
Paling sering dijumpai (±75%). Gejala mungkin ringan hanya berupa radang
pada selaput lendir dan tidak membentuk pseudomembran, sedangkan diagnosis
dibuat berdasarkan hasil biakkan yang positif. Dapat sembuh sendiri dan memberikan
imunitas pada penderita.1
Pada penyakit yang lebih berat, mulanya seperti radang akut tenggorok dengan
suhu yang tidak terlalu tinggi, dapat ditemukan pseudomembran yang mula-mulanya
hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring dan laring.
Napas berbau dan timbul pembengkakkan kelenjer regional sehingga leher tampak
seperti leher sapi (bull neck).1
Dapat terjadi sulit menelan dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun
belum terjadi sumbatan laring. Hal ini disebabkan oleh paresis palatum molle. Pada
pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar hemoglobin, leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin, sedangkan pada
urin mungkin dapat ditemukan albuminuria.1
Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cendrung menahun. Difteria pada mata dengan lesi pada
conjunctiva berupa kemerahan, edema dan membran pada conjunctiva palpebra. Pada
Telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.2
VII. Diagnosis
Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis karena penundaan
pengobatan akan membahayakan nyawa pasien. Penentuan kuman difteria dengan
sedian langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan
identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan
seorang ahli. Diagnositik pasti dengan isolasi C.dipththeriae dengan pembiakkan pada
median Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in vivo (marmut) dan in
vitro (tes Elek).2
Preparat langsung biasanya dibuat dari basis eksudat atau membran yang
kemudian diberi pewarnaan metilen blue atau toluidin blue atau perwarnaan dengan
cara Ljubinski. Kultur yang negatif belum dapat menyebabkan infeksi difteri
(Nelson). Jika bila membran terlihat dengan cepat menyebar, walaupun biakkan
ataupun sediaan langsung negatif, maka pengobatan terhadap difteri harus segera
diberikan.1
1. Pengobatan Umum
Terdiri dari perawatan yang baik, istirahat mutlak ditempat tidur, isolasi
penderita dan pengawasan yang ketat atas timbulnya komplikasi antara lain
pemeriksaan EKG setiap minggu.1
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakkan hapus tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama ± 2-3
minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring
dijaga agar jalan napas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan humidifier.2
2. Pengobatan Khusus
a. Anti Diphtheriae Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000 U/hari selama 2
hari berturut-turut dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata. Bila
ternyata penderita peka terhadap serum tersebut, maka harus dilakukan
desensitisasi dengan cara Besredka.1
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari 1, angka kematian penderita < 1%,
namun dengan penundaan lebih dari hari ke 6 menyebabkan angka kematian
bisa meningkat sampai 30%.2
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu karena dapat terjadi reaksi anafilaktik sehingga harus
disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan
penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 (ic), hasil
positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >10 mm. Uji mata dilakukan
dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam larutan garam fisiologis,
pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis, hasil positif bila dalam 20
menit tampak gejala hiperemis pada conjunctiva bulbi dan lakrimasi. Uji
kulit/ mata positif, maka ADS diberikan dengan cara desensitisasi
(Besredka).2
Tabel 2.1 Dosis ADS Menurut Lokasi Membran Dan Lama Sakit2
Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakkan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti
setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.2
Pengobatan Penyulit
Pengobatan Karier
Pengobatan yang dapat diberikan pada karier (mereka yang tidak menunjukkan
keluhan, mempunyai Schick negatif tapi mengandung basil difteri dalam
nasofaringnya) adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari (oral/ injeksi intravena) atau
eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama 1 minggu, mungkin perlu dilakukan tonsilektomi
atau adenoidektomi.2
X. Komplikasi
1. Saluran Pernapasan
Obstruksi jalan napas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis.1
2. Cardiovascular
Miokarditis akibat toksin yang dibentuk kuman ini.1
3. Urogenital
Dapat terjadi nefritis.1
4. Susunan Saraf
Kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang mengenai sistem
saraf terutama sistem motorik.1
XI. Pencegahan
1. Pencegahan umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan
tentang bahaya difteria bagi anak.2
2. Isolasi penderita. Penderita harus diisisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah
pmeriksaan sedian langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C.diphtheriae 2 kali
berturut-turut.1
3. Imunisasi DPT. Pada umunya seorang anak yang menderita difteria, kekebalan
terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi. Seorang anak yang
telah mendapat imunisasi difteria secara lengkap mempunyai antibodi terhadap
toksin difteria tetapi tidak mempnyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan
demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam
nasofaringnya (karier) atau menderita difteria ringan.2
4. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria. Dilakukan dengan uji Schick,
yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier atau pernah mendapat
imunisasi) maka harus dilakukan apusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan
C.diphtheriae penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.1
XII. Prognosis
Nelson berpendapat kematian penderita difteria sebesar 3-5% dan sangat
bergantung kepada1:
1. Umur penderita, karena makin muda umur anak prognosisnya makin buruk.
2. Perjalanan penyakit, karena makin lanjut makin buruk prognosisnya.
3. Letak lesi difteria.
4. Keadaan umum penderita, pada penderita gizi kurang prognosisnya kurang
baik.
5. Pengobatan. Makin lambat pemberian antitoksin maka prognosisnya makin
buruk.