Anda di halaman 1dari 4

Hadiah Khitbah

Yang aku tahu malam ini seperti tak punya nafas. Tak ada angin yang meliukkan
tubuhnya. Pohon – pohon diam tak kudengar desah dedaunan. Gunung – gunung membisu
demikian juga dengan hamparan laut didepanku. Diam. Malam begitu terbungkus kesunyian
sehelai daun akasia yang menua, melayang diudara, jatuh. Terpulai di tanah basah kesunyian
kian lengkap.

Kesunyian dalam hati ini seakan – akan alampun juga merasakan perih pilu hati ini.
Tapi aku tahu dan selalu percaya Tuhan pasti akan menggantikan dengan sesuatu yang lebih
baik, karena Tuhan tahu mana yang baik untuk makhluknya. Tuhan tidak akan mengganti
yang lebih buruk, akan digantikannya dengan yang lebih baik.

Tapi, sampai saat ini aku tak habis pikir kau tega melakukan ini kepadaku. Kepadaku
yang sesungguhnya sangat mencintaimu, mencintai dengan sepenuh hati. Berat rasanya
melepaskan samurai yang telah ku genggam selama ini. Yang rasanya telah menyatu didalam
hati ini.

Ternyata, samurai yang telah kujaga dan kugenggam selama ini, yang kujaga seperti
diriku sendiri yang telah kugenggam jiwaku sendiri telah menusuk dan melukai hatiku
dengan tajam yang lebih tajam dari pisau. Kau lebih memilih wanita yang tak baik untuk
dirimu, wanita yang lebih menawan dari diriku ini.

Rasa sakit hati ini seolah tak ada obat yang bisa menyembuhkan, seolah tak ada obat
yang ampuh untuk mengobatinya. Aku merasakan ketersiksaan yang sangat mendalam, ketika
mengingat raut wajahmu kala itu, wajahmu yang saat itu tersenyum manis kepadaku , seperti
hanya akulah yang dapat memiliki senyum itu, hanya akulah yang dapat melihat senyum
manis itu. Namun senyum itu sekarang hanyalah seperti senyum pengianatan, senyum yang
tak ada artinya sama sekali. Hati ini semakin tercabik – cabik ketika kau mengatakan semua
itu setelah kebaya putih telah melekat ditubuhku dan bunga melati yang telah menghias
rambutku, disaat itu pula janur kuning melengkung di depan rumahku.

Kau yang bersalah dengan semua ini, kau yang harusnya bertanggung jawab atas
semua ini, kau telah menghancurkan semuanya. Gelap rasanya memikirkan masalah masa
depanku, masa depan yang telah kau hancurkan, masa depanku yang telah kau renggut lalu
kau buang begitu saja. Kau begitu tega melakukan semua ini kepadaku. Kesalahan seperti apa
yang telah membuat mu melakukan semua ini, melakukan hal yang telah merugikan diriku,
melakukan hal yang sangat menyedihkan hati, menyayat hati, menghancurkan hati. Apa aku
begitu hina dimata mu sehingga kau melakukan semua ini dengan sangat mudah, setelah apa
yang terjadi kepadaku.
Tapi, semakin aku menyesalinya keadaan ku ini, terasa hidupku ini tak ada artinya
lagi, seperti tak ingin melanjutkan hidup ini. Semakin tak jelas arah pikirku, terbang
melayang membayangkan kesengsaran dan kemalangan yang kualami, seperti tak ada tempat
bersandar lagi, hidup sendiri bagai orang mati. Sejenak ku terdiam memandang bintang di
langit gelap, merasakan kehadiran angin yang seperti larut dalam kesedihanku ini. Ku akhiri
curahan hati ini dan beranjak kembali ke gubuk tempat tinggalku.

Bagai tak punya harapan hidup, berjalan tak tentu arah, hilang akal hilang angan.
Perjalanan terasa berat untuk kulewati. Jika bisa kumemohon, ingin rasanya aku
menghilangkan ingatan tentang hal yang terjadi ini, agar aku bisa hidup tanpa kesedihan.
Kesedihan telah menyatu bersamaku, seperti melekat tak ingin lepas.

Sebelum ku memejamkan mata untuk berpindah ke dunia mimpi, aku meminta


kepada-Mu ya Tuhan semoga di saat aku membuka mata di esok hari aku mendapatkan
penawar rasa sakit yang kurasa dan mendapatkan samurai yang takkan mungkin mensuk serta
melukai ku. Di dalam mimpi ingin ku berbahagia dengan dunia baru tanpa kesedihan dan
kekecewaan. Hidup berbahagia sejenak walaupun di dunia mimpi mungkin dapat meredakan
kesakitan ini. Amin !

Sinar matahari menembus sela – sela di jendela, suara ayam jago berkokok
menggantikan dering alarm di kamarku. Ku bergegas menyapa sang Ilahi dengan penuh
harap. Ku buka jendela kamar, sang mentari nampak menyapa ku dengan senyuman yang
ramah seperti tak ingin ku beralih dan meninggalkannya.

Terdengar suara dari pojok pintu! “Tok..tok..tok.. nak bolehkah umi masuk?” ku
terdiam sejenak dan kembali duduk di ranjang tidurku “iya umi silahkan” masuklah seorang
wanita paruh baya yang menjadi satu – satunya semangat dalam hidupku, mungkin harta satu
– satunya yang paling berharga dari yang kupunya.

Aku sudah tahu umi mengahampiriku karena ia mengkhawatirkan keadaanku.


“sudahlah nak, lupakan saja semua kejadian yang telah kau alami, umi yakin kamu akan
mendapatkan yang lebih baik dari ini” Tanpa sepatah kata pun terucap, aku berdiri di dekat
jendela dengan memandangi matahari yang selalu memberikan senyuman kepadaku. “ umi
tak mau jika kau terlalu larut dengan keadaan ini, umi tak ingin kamu seperti ini” perkataan
umi tepat seperti menggoyahkan bibirku. “ Entahlah umi, berat rasanya mengilangkan
ingatan tentang kejadian itu, tak mudah jika harus melepaskannya secepat ini, dengan apa
yang telah terjadi sebelumnya aku tidak menyangka akan terjadi seperti ini aku benar benar
hancur umi, hancur. Semakin aku mencoba untuk melupakannya, semakin aku makin dalm
terjerumus di dalam ingatanku , semakin ingat begitu jelas dengan apa yang terjadi kepadaku
seperti terlihat makin jelas di pikiranku.” “ nak, janganlah kamu mengingat keburukan orang
lain yang telah menyakiti hatimu secara terus menerus, ingatlah kebaikannya agar kamu tidak
merasa makin larut dalam kesedihan, memang berat untuk melakukannya tapi kamu harus
tetap melakukannya untuk dirimu sendiri, lakukan itu agar kamu bisa tetap menjadi dirimu
yang dulu ceria dan berbahagia.” “ apakah aku bisa melakukan itu semua dengan apa yang
telah terjadi kepadaku umi”
“ umi hanya tak ingin kamu seperti ini, umi sangat sayang kepadamu, umi tak kuat jika harus
melihat putri kesayangan umi tersiksa, meskipun dengan apa yang telah terjadi kepadamu
kamu harus tetap tegar Tuhan sedang menguji hamba yang disayanginya”.

Terdengar suara salam dari pintu depan utama “ assalamu’alaikum” “


wa’alaikumsalam”jawab umi dengan lirih “ nanti kita teruskan, umi akan membuka pintu”.
Ketika pintu dibuka berdirilah seorang laki – laki muda dengan raut wajah yang bercahaya,
laki – laki ini tak dikenal oleh umi. “ mencari siapa nak?” “ saya Adam teman sekolah Hawa”
“ oh, mari silahkan masuk nak”. Munculah wanita dari balik pintu “ assalamu’alaikum” “
wa’alaikumsalam , apakah kamu Hawa?” “ iya aku Hawa dan kamu ini siapa?” “ aku Adam”
“ Adam? Sudah 10 tahun kita tidak bertemu, maaf jika aku sedikit tidak mengenalimu” .
Adam adalah teman sekolah ku. Ia memiliki tinggi kurang lebih 170 cm, tubuhnya tegap
dengan wajah yang berseri seri. Nampak wajah orang berbudi, orang yang belum kenal pun
akan mengangap dia orang yang baik. Kulit putih membuatnya semakin bercahaya. Dulu dia
adalah anak yang paling aktif dalam mengurus kepentingan masjid di sekolahku.

“ 10 tahun tidak bertemu merupakan waktu yang sangat lama bukan?” “ tentu saja
lama”. Kami bericara banyak karena sudah 10 tahun tidak bertemu, seperti orang yang
sedang reuni. Setelah kami berbicara banyak, dia mengarahkan pembicaraan ke kejadian
yang sedang ku alami, seperti tersayat – sayat hati ku ketika dia menyanyakan “ apa yang
membuat dia meninggalkan mu seperti ini” langsung diam tanpa kata, aku seperti tak bisa
berucap. Ingatan wajah orang itu muncul seperti tepat di depan mataku, lemas tak berdaya
rasanya. Sesakit inikah yang harus aku alami, jika bertemu dengan orang lain di luar sana.
Selalu ditanya dengan penuh pendesakkan, apakah mereka tidak ingin tahu dengan yang
kurasakan, apakah mereka tak pernah mengerti dengan kesakitan yang kualami. Mungkin
mereka di luar sana hanya ingin tahu permasalahanku saja, tak ingin menemaniku dan
memberiku dorongan untuk semangat hidup, seperti teman ku yang telah lama tak bertemu
denganku saja telah menanyakan hal yang sangat membuatku sakit. Apakah ini jawaban dari
doa ku ya Tuhan.

Adam memasang wajah sedih, mungkin dia merasa bersalah karena telah menanyakan
hal yang menurutku tak perlu ditanyakan dalam saat – saat seperti ini. “ maafkan aku Hawa,
aku tidak bermaksud untuk membuat mu bersedih, tapi aku hanya ingin tahu tentang
kebenaran yang ada” aku tetap terdiam. Setelah lama aku diam, aku berucap “ apakah tidak
ada yang ingin kau tanyakan lagi Adam?” ia nampak bingung untuk menjawab. “ tujuanku
kesini bukan untuk menanyakan tentang apa yang telah kamu alami. Aku disini dengan tujuan
yang berbeda, aku tak ada niatan membuatmu bersedih, wanita sepertimu tak pantas
membuang air mata bagi orang seperti itu, kamu harus tetap tegar dengan apa yang terjadi,
Tuhan tahu mana yang terbaik untukmu, mungkin bukan dia yang bisa memilikimu tapi aku”
aku terkejut mendengar kalimat terakhir yang diucapnya “ apa maksud dari perkataanmu” “
sebenarnya aku sudah tahu semua tentang apa yang kamu alami, semua sudah diceritakan
oleh Zara. Tujuanku kesini bukan lain adalah ingin mengkhitbah kamu, mungkin hal ini
sangat mengejutkan kamu dan keluargamu, tapi dengan adanya kejadian yang kamu alami,
aku begitu terkejut. Beberapa bulan lalu aku mendengar kau akan menikah dengan orang lain,
hatiku hancur berkeping keping, karena aku akan mendatangi mu ketika waktunya sudah
tepat, aku merasa telah didahului orang lain. Aku tetap pada perasaan yang sama, tetap ingin
mempersuntingmu, lalu aku mendengar kabar bahwa kejadian itu menimpamu, aku sangat
tersiksa dengan adanya kejadian kemarin, tapi tekat ku menjadi bulat aku memberanikan diri
menuju kerumah mu untuk mengkhitbah mu Hawa, aku sudah memendam perasaan ini cukup
lama, mungkin dari pertama kali kita berteman, namun aku tak bisa mengucapakan
perasaanku pada saat itu dan aku merasa sekaranglah waktu yang tepat” sunyi sejenak,
merasakan keadaan ini aku semakin teringat kepada Tuhan. “ aku ingin menjadi imammu
Hawa” mendengar penjelasan dari Adam, hati ini rasanya terobati sedikit, apakah ini jawaban
darimu Tuhan, apakah ini yang terbaik sebagai samuraiku yang seharusnya ku genggam.
Mungkin inilah jalan yang telah kau tunjukkan kepadaku, jalan kepada imam yang
sesungguhnya.

Anda mungkin juga menyukai