Anda di halaman 1dari 20

TEXT BOOK READING

“MALARIA SEREBRAL”

Pembimbing:
dr. Hernawan, Sp.S

Disusun Oleh:
Firman Pranoto
G4A016002

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO

2017
LEMBAR PENGESAHAN

TEXT BOOK READING


“MALARIA SEREBRAL”

Oleh:
Firman Pranoto
G4A016002

Text Book Reading ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu
prasyarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian SMF Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, November 2017


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Hernawan, Sp.S


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas


segala limpahan rahmat yang telah diberikan sehingga Text Book Reading dengan
judul “Malaria Serebral” ini dapat diselesaikan.
Text Book Reading ini merupakan salah satu tugas di Kepaniteraan Klinik
SMF Ilmu Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Penulisan Text
Book Reading ini dapat terwujud atas bantuan berbagai pihak, oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
1. dr. Hernawan, Sp.S selaku dosen pembimbing;
2. Dokter-dokter spesialis kulit dan kelamin di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto;
3. Orang tua serta keluarga penulis atas doa dan dukungan yang tidak pernah
henti diberikan kepada penulis;
4. Rekan-rekan co-assisten Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Saraf
5. Seluruh pihak terkait yang telah membantu penulis dalam menyusun tugas
ini.
Dalam penyusunan presentasi kasus ini penulis menyadari bahwa masih
memiliki banyak kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi
kesempurnaan penyusunan presentasi kasus di masa yang akan datang. Semoga
laporan presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di dalam
maupun di luar lingkungan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Purwokerto, November 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Malaria masih menjadi masalah kesehatan di dunia terutama negara tropis


karena angka kesakitan dan kematiannya yang tinggi. Infeksi Plasmodium
falciparum ini dapat menimbulkan gejala yang berat sampai kematian. Perbedaan
perjalanan penyakit pada masing-masing individu salah satunya dipengaruhi oleh
sistim imun.
Malaria adalah penyakit infeksi parasit utama di dunia yang mengenai
hampir 170 juta orang tiap tahunnya di hampir 103 negara endemis. Angka
kematian yang dilaporkan mencapai 1 – 1,5 juta penduduk per tahun, khususnya
daerah yang kurang terjangkau oleh pelayanan kesehatan.
Di Indonesia, malaria masih menjadi masalah kesehatan. Menurut Menteri
Kesehatan, malaria ditemukan di daerah-daerah terpencil dan sebagian besar
penderitanya dari golongan ekonomi lemah. Angka kesakitan akibat malaria sejak
4 tahun terakhir menunjukkan peningkatan.
Penyakit malaria disebabkan oleh protozoa genus plasmodium, yang
ditular-kan oleh nyamuk anopheles betina dan sudah dikenal sejak 3000 tahun yang
lalu. Ada empat jenis plasmodium yang menyebabkan penyakit malaria pada
manusia yaitu Plasmodium falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale. Diantara
mereka, P. falciparum adalah yang terpen-ting karena penyebarannya luas, angka
kesakitan yang disebabkannya tinggi, bersifat ganas, sehingga menyebabkan
malaria berat dan menimbulkan lebih dari dua juta kematian setiap tahun di seluruh
dunia.
Plasmodium falciparum saat ini di dunia sudah ditemukan memiliki lebih
kurang 14 strain. Di Indonesia strain-strain dari P. falciparum sampai saat ini belum
dilaporkan. P.falciparum terdiri dari sekitar 5300 gen dan 211 gen di antaranya
berfungsi sebagai imunogen pada tubuh manusia. Perbedaan strain P.falciparum
akan memberikan gejala klinik, patologi, sifat transmisi, maupun respons terhadap
pengobatan yang berbeda pula.
Secara umum dikatakan imunitas terhadap malaria sangat kompleks karena
melibatkan hampir seluruh komponen sis-tim imun baik imunitas spesifik maupun
non spesifik, imunitas humoral maupun seluler yang timbul secara alami maupun
di dapat sebagai akibat infeksi. Sejak permulaan invasi stadium sporozoit yang
diikuti stadium selanjutnya, timbul reaksi sitokin yang demikian kompleks terhadap
parasit malaria sebagai akibat terpaparnya berbagai jenis sel sistim imun terhadap
berbagai macam antigen plasmodium.
Sitokin adalah suatu glikoprotein yang berasal dari sel T helper, sel natural
killer (NK) dan makrofag, yang berperan penting pada respon tubuh melawan
infeksi malaria. Sel T helper terdiri dari dua subset yang masing-masing
menghasilkan sitokin pengatur perbedaan fungsi imun efektor dan bereaksi satu
sama lain. Sel T helper tipe 1 (Th-1) menghasilkan IFN-γ (interferon gama), IL-2
(interleukin-2) dan TNF-α (tumor necrosis factor alfa). Sitokin ini mengaktifkan
makrofag, untuk membentuk sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6
dan menginduksi mekanisme imun efektor sitotoksik dari makrofag. Sebaliknya,
sel T helper tipe 2 (Th-2) menghasilkan IL-4, IL-5, IL-10 dan IL-13. Sitokin ini
menginduksi pembentukan antibodi tetapi juga menghambat fungsi makrofag dan
disebut sitokin anti inflamasi.
TNF-α merupakan sitokin yang bersifat sebagai pirogen. Pada kadar rendah
ia dapat menghambat pertumbuhan stadium darah parasit dengan mengak-tifkan
sistim imun seluler, dan juga dapat membunuh parasit secara langsung namun
aktifitasnya lemah. Peran ganda dari sitokin terutama TNF-α yaitu pada kadar yang
tepat akan memberi perlindungan dan penyembuhan. Akan tetapi kadar berlebihan
yang mungkin merupakan tanggapan terhadap hiperparasitemia dan pertumbuhan
parasit yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan jaringan yang sangat berat
dan fatal.
IL-10 ditemukan di dalam plasma penderita malaria akut, dihasilkan oleh
monosit, sel Th-2 dan sel B, menghambat produksi sitokin pada Th-1 dan sel CD8+.
IL-10 berfungsi sebagai down regulator pada makrofag/inhibitor makrofag,
mengurangi presentasi antigen, mencegah sel Th-1 berproliferasi dan menekan
produksi IFN-γ dan TNF-α. Pada malaria serebral, peng-hambatan IFN-γ dan
sekresi TNF-α oleh sintesis IL-10 berperan penting dalam menetralkan patologi dari
makrofag (Irawati ,dkk, 2008).
Malaria serebral sering dijumpai pada daerah endemik seperti Jawa Tengah
(Jepara), Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Jaya. Di Sulawesi Utara mortalitasnya
30,5% sedangkan di RSUP Manado 50% (Suparman, 2005).
Angka kejadian malaria cerebral pada kasus malaria dewasa yang di rawat
di rumah sakit di beberapa daerah di Indonesia 3,18% - 14,8% dengan rata – rata
11% - 12%. Menurut kelompok usia, malaria cerebral menonjol pada kelompok
usia produktif 14 – 45 tahun. Menurut jenis kelamin perbandingan laki – laki dan
perempuan (1,2 – 20 : 1). Menurut pekerjaan 66,7% merupakan petani (Wibisono,
1995).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Malaria cerebral adalah malaria dengan penurunan kesadaran yang
dinilai dengan skala dari Glasgow Coma Scale (GCS). Nilai GCS untuk
penderita malaria dewasa <15. Hampir semua malaria serebral disebabkan
Plasmodium falsiparum. (Pribadi dan Sungkar, 1994)

2.2 ETIOLOGI
Penyebab malaria serebral adalah akibat sumbatan pembuluh darah
kapiler di otak karena menurunnya aliran darah efektif dan adanya hemolisa
sel darah. Hal tersebut dikarenakan oleh infeksi Plasmodium falciparum yang
ditularkan oleh nyamuk anopheles betina (Combes; Coltel; Faille; Wassmer;
Grau, 2006).
a. Morfologi Plasmodium falciparum (lihat gambar 1)
1) Tropozoit awal  berbentuk cincin yang sangat halus, ukurannya 1/5
eritrosit, dan tidak berpigmen.
2) Tropozoit yang sedang berkembang  (jarang terlihat dalam darah
perifer) berbentuk padat, ukurannya kecil, pigmennya kasar; berwarna
hitam; dan jumlahnya sedang,.
3) Skizon imatur  (jarang terlihat dalam darah perifer) ukurannya
hampir mengisi eritrosit, bentuknya padat, dan pigmennya tersebar.
4) Skizon matur  (jarang terlihat dalam darah perifer) bentuknya
bersegmen, pigmen berwarna hitam dan berkumpul di tengah,
ukurannya hampir menutupi eritrosit.
5) Makrogametosit  waktu timbulnya 7-12 hari, jumlahnya dalam
darah sangat banyak, memiliki ukuran lebih besar dari eritrosit,
berbentuk bulan sabit (ujung bulat atau runcing), sitoplasmanya
berwarna biru tua, pigmennya bergranul hitam dengan inti bulat.
6) Mikrogametosit  waktu timbul, jumlah dan ukurannya sama dengan
stadium makrogametosit, sitoplasmanya berwarna biru kemerahan,
berbentuk ginjal dengan ujung tumpul, pigmennya bergranul gelap.

Gambar 1. Morfologi semua stadium Plasmodium falciparum


b. Siklus Hidup Plasmodium (CDC, 2010)
Gambar 2. Siklus Hidup Plasmodium

Keterangan Gambar 2 :
1) Siklus Hidup pada Manusia
a) Sporozoit melalui gigitan nyamuk anopheles betina masuk ke
jaringan sub kutan lalu beredar dalam darah menuju hepar dan
menyerang sel hepar.
b) Parasit berkembang biak dan setelah 1-2 minggu skizon pecah dan
melepasakan merozoit yang lalu masuk aliran darah untuk
menginfeksi eritrosit.
c) Dalam eritrosit, merozoit berkembang menjadi skizon yang pecah
untuk melepaskan merozoit yang punya kemampuan menginfeksi
sel eritrosit baru. Proses perkembangan aseksual ini disebut
skizogoni.
d) Selanjutnya, setelah 48 jam eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah
dan 6 - 36 merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah
lainnya. Siklus ini disebut siklus erirositer.
e) Setelah 2-3 minggu siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang
menginfeksi eritrosit akan membentuk stadium seksual (gamet
jantan dan betina).
2) Siklus Hidup pada Nyamuk
a) Nyamuk anopheles betina  menghisap darah yang mengandung
gametosit  pembuahan menjadi zigot.
b) Zigot akan berkembang menjadi ookinet kemudian menembus
dinding lambung nyamuk.
c) Pada dinding luar lambung nyamuk, ookinet akan menjadi ookista
dan selanjutnya mengeluarkan sporozoit.
d) Sporozoit bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia.

2.3 FAKTOR RISIKO


a. Bayi dengan BBLR
b. Hipoglikemi yang tidak tertangani (WHO et al., 2001)
Gejala hipoglikemia dapat berupa gangguan kesadaran sampai koma. Bila
sebelumnya penderita sudah dalam keadaan koma karena malaria
serebral, maka komanya akan lebih dalam lagi.

2.4 PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI


Sampai saat ini masih belum memuaskan dan belum dimengerti
dengan baik patogenesis dan patofisiologi malaria serebral. Ada tiga teori
yang dikemukakan, yaitu Teori Mekanis (Sitoadherens, Rosetting dan
Deformabilitas Eritrosit), Teori Toksik dan Teori Permeabilitas. Namun tidak
banyak perbedaan antara ketiga teori tersebut dimana teori yang satu saling
terkait dengan teori yang lain (Dondorp, 2005):
a. Teori Mekanis
1) Sitoadherens
Plasmodium falciparum merupakan satu-satunya spesies yang
dapat menginduksi sitoadherens ke endotelium vaskular eritrosit yang
mengandung parasit matur. Sebagai parasit matur, protein parasit
dibawa dan dimasukkan ke membran eritosit. Sitoadherens
menyebabkan penyerapan eritrosit berparasit pada mikrosirkulasi,
terutama kapiler dan post kapiler venula.
Penelitian menunjukkan, penyerapan eritrosit berparasit lebih
banyak pada otak, tetapi juga pada hati, mata, jantung, ginjal,
intestinum dan jaringan adiposa. Penyerapan yang paling menonjol
pada serebrum, serebelum (medula oblongata). Dari penelitian pada
anak dengan malaria serebral didapatkan penyerapan eritrosit
berparasit dan akumulasi platelet intravaskular, yang berperan adalah
sitoadherens.
2) Deformabilitas eritrosit dan rosetting.
Eritrosit berparasit yang dapat melakukan sitoadherens juga
dapat melakukan resetting, dimana berkelompoknya eritrosit
berparasit yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit non parasit. Proses
ini mempermudah terjadinya sitoadherens karena obstruksi aliran
darah dalam jaringan.
Adanya sitoadherens, roset, penyerapan eritorsit berparasit
dalam otak dan menurunnya deformabilitas eritrosit berparasit
menyebabkan obstruksi mikrosirkulasi akibatnya terjadi hipoksia
jaringan.
b. Teori Toksik
Pada Malaria berat dengan infeksi berat, konsentrasi sitokin
proinflamasi dalam darah seperti TNF alfa, IL-1. IL-6, dan IL-8
meningkat, begitu juga dengan sitokin Th2 anti inflamasi (IL-4 dan IL-
10). Stimulator yang menginduksi produksi sitokin proinflamasi oleh
leukosit adalah glycosylphosphatidylinositol (GPI) yang dimiliki oleh
Plasmodium falciparum. GPI (glycosylphosphatidylinositol)
menstimulasi produksi TNF alfa dan juga limfotoksin. Kedua sitokin
tersebut dapat meregulasi ekspresi ICAM-1 (intercellular adhesion
molecule – 1) dan VCAM-1 pada sel endotelium, kemudian terjadi
penyerapan eritrosit berparasit di otak, dan menyebabkan koma.
Peningkatan konsentrasi plasma TNF alfa pada pasien dengan malaria
falciparum berhubungan dengan keparahan penyakit, termasuk koma,
hipoglikemia, hiperparasitemia dan kematian.
Selain hal tersebut, TNF alfa juga menyebabkan pelepasan NO
(Nitrit Oksida). Pelepasan NO (Nitrit Oksida) mengakibatkan kelainan
neurologis karena mengganggu neurotransmitter.
c. Teori Permeabilitas
Terdapat sedikit peningkatan permeabilitas vaskular pada malaria
berat, namun Blood Brain Barrier (BBB) pada pasien dewasa dengan
malaria serebral secara fungsional utuh. Penelitian pada anak – anak
afrika dengan malaria serebral memperlihatkan peningkatan
permeabilitas BBB (Blood Brain Barrier) dengan disrupsi endotel
interseluler.
Penelitian yang dilakukan pada pasien dewasa dengan malaria
serebral tidak memperlihatkan adanya oedem serebral. Namun pada anak
– anak afrika, frekuensi oedem serebral lebih banyak terjadi, meskipun
tidak secara konsisten ditemukan.
Disebutkan pula, pembukaan tekanan lumbal pungsi pada pasien
dewasa biasanya normal, namun meningkat > 80% pada anak dengan
malaria serebral. Peningkatan tekanan intrakranial sebagian disebabkan
oleh penyerapan eritrosit berparasit oleh otak.

Gambar 3. Platelet dan mikropartikel merupakan elemen patogenik pada


malaria serebral

Berdasarkan gambar 3 diatas diketahui bahwa (Combes; Coltel;


Faille; Wassmer; Grau, 2006):
Selama fase akut malaria serebral, terlihat adanya peningkatan level
mikropartikel endotelial dalam plasma dari pasien mencerminkan aktivasi
endotel secara luas dan atau terjadi perubahan, disebabkan karena
peningkatan level TNF (Tumour Necrosis Factor). Secara in vitro, platelet
dapat memperkuat ikatan antara erirosit berparasit (PRBC) dengan sel endotel
dan menyebabkan molekul adhesi baru antara 2 tipe sel. Juga, platelet mampu
menginduksi perubahan PRBC monolayer endotel, terutama dengan
meningkatkan permeabilitas dan mempromosikan apoptosis.

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis yang didapatkan pada malaria serebral dibagi
menjadi 2 fase, yaitu (Munthe, 2001):
a. Fase prodromal: gejala yang timbul tidak spesifik, penderita mengeluh
sakit pinggang, mialgia, demam yang hilang timbul serta kadang-kadang
menggigil, dan sakit kepala.
b. Fase akut: gejala yang timbul menjadi bertambah berat dengan timbulnya
komplikasi seperti sakit kepala yang sangat hebat, mual, muntah, diare,
batuk berdarah, gangguan kesadaran, pingsan, kejang, hemiplegi dan
dapat berakhir dengan kematian. Pada fase akut ini dalam pemeriksaan
fisik akan ditemukan cornea mata divergen, anemia, ikterik, purpura, akan
tetapi tidak ditemukan adanya tanda rangsang meningeal.

2.6 PENEGAKKAN DIAGNOSIS


Penegakkan diagnosis malaria serebral adalah ditemukannya :
a. Gejala klinik: trias malaria (demam, menggigil dan berkeringat), sakit
kepala, gangguan mental, nyeri tengkuk, kaku otot dan kejang umum.
b. Pemeriksaan fisik:
1) Sering dijumpai splenomegali dan hepatomegali.
2) Gangguan kesadaran atau koma (biasanya 24 – 72 jam)  dewasa
GCS < 11 dan anak Blantyre coma score < 3.
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pada pemeriksaan apusan darah tebal dan tipis dijumpai bentuk
aseksual dari Plasmodium falciparum.
2) Tidak ditemukan infeksi lain.
3) Hipoglikemi, hiponatremi, hipofosfatemi, pleositosis sampai 80
sel/mikron3, limfosit sampai 15 sel/mikron3.
4) Analisa cairan serebrospinal  adanya peningkatan limfosit > 15/ul.
5) CT dan MRI  edema serebral.

2.7 DIAGNOSIS BANDING


a. Meningitis
Untuk membedakan meningitis bakterial dan malaria cerebral
diperlukan hasil dari pemeriksaan laboratorium, diantaranya penemuan
plasmodium pada apusan darah, hitung leukosit pada CSS, kultur darah
dan CSS, serta tes antigen bakteri pada CSS (berkley, mwang, mellington,
mwarumba and marsh, 1999; Endang, 1992).
b. Tifoid ensefalopati
Pemeriksaan darah dapat menentukan jenis bakteri atau parasit
yang menyebabkan ensefalopati yang di derita, baik akibat salmonella
typhii maupun plasmodium (dept IKA usu, 2008).
c. Tetanus
Pada malaria dan tetanus yang terjadi pada anak sering
menunjukkan gejala opistotonus. Hal tersebut harus dibedakan melalui
anamnesis yang detail, seperti riwayat luka sebelumnya dan demam yang
menyertai. pada tetanus terdapat riwat luka sebelumnya yang merupakan
port de entry kuman Clostridium tetani. Riwayat demam hanya
ditemukan pada 60% pasien tetanus. Pada malaria serebral gejala
opistotonus biasanya dibarengi dengan keadaan koma (penurunan
kesadaran), tidak seperti pada tetanus yang kesadarannya baik (dept IPD
usu, 2008).
d. Penyakit pembuluh darah otak (stroke hemoragik/nonhemoragik)
Pada malaria serebral, demam timbul sebelum kelainan
neurologik, sedangkan pada penderita stroke, demam timbul setelah
kelainan neurologik dan biasanya dijumpai lateralisasi (Endang, 1992).
e. Penyakit endokrin/metabolik (diabetes dan tiroid)
Salah satu gejala malaria serebral adalah koma (penurunan
kesadaran). Namun koma pada malaria serebral dan koma oleh penyebab
lain harus dibedakan untuk penatalaksanaan. Koma diabetik dapat
diketahui dari pemeriksaan gula darah. Koma hipotiroid dan krisis tiroid
dapat diketahui dari gejala klinik yang lain (Endang, 1992).

2.8 PENATALAKSANAAN
Terapi yang diberikan untuk pasien malaria serebrum karena infeksi
Plasmodium falciparum berdasarkan pada terapi ACT (Artemisin
Combination Therapy) (WHO, 2010)
a. Pengobatan Lini – 1
Tabel 1. Terapi ACT Lini - 1
Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok umur

Ha 1–4 10 – > 15
0- 1 2 – 11 5–9
ri Dosis tunggal tahu 14 tahu
bulan bulan tahun
n tahun n

Artesunate ¼ ½ 1 2 3 4

1 Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

Primakuin -- -- ¾ 1½ 2 2-3

Artesunate ¼ ½ 1 2 3 4
2
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

Artesunate ¼ ½ 1 2 3 4
3
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

Setelah pemberian Lini – 1, kemudian dipantau dari hari pertama


pemberian sampai hari ke 28. Dikatakan gagal pengobatan Lini – 1, bila
dalam 28 hari setelah pemberian obat:
1) Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif atau
2) Gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang
atau timbul kembali.
b. Pengobatan Lini – 2
Tabel 2. Terapi ACT Lini - 2

Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok umur


Ha
0 – 11 1–4 5–9 10 – 14 > 15
ri Dosis tunggal
bulan tahun tahun tahun tahun

3 x 10
1 Kina mg/kg 3x½ 3x1 3 x 1½ 3 x (2-3)
BB
Doksisiklin -- -- -- 2 x 50mg 2 x 100mg

Primakuin -- ¾ 1½ 2 2-3

3 x 10

2- Kina mg/kg 3x½ 3x1 3 x 1½ 3x2

3 BB

Doksisiklin -- -- -- 2 x 50mg 2 x 100mg

4x4
Dosis Tetrasiklin -- -- -- 4 x 250 mg
mg/kg BB

2 x 10 2 x 10
Dosis Clindamycin -- -- --
mg/kg BB mg/kg BB

2.9 PENCEGAHAN
a. Pemberian obat anti malaria secara teratur pada anak tiap jadwal vaksinasi
rutin untuk mencegah komplikasi malaria dan anemia.
b. Vaksinasi malaria, saat ini sedang dalam proses pengembangan namun
beberapa penelitian telah menunjukkan hasil yang menjanjikan (Milner et
al., n.d.).
c. Penanganan segera dan kombinasi pengobatan antimalaria yang adekuat
(WHO, 2010)
d. Penegakan diagnosis secara dini (WHO et al., 2001)

2.10 KOMPLIKASI
a. Kecacatan
b. Defisit neurologis, misalnya kelemahan, paralisis flaccid, kebutan,
gangguan bicara dan epilepsi (WHO et al., 2001)
c. Kematian (WHO, 2010)
2.11 PROGNOSIS
Tergantung pada (Zulkarnain dan setiawan, 2007; Harijanto, 2007):
a. Kecepatan/ ketepatan diagnosis dan pengobatan
Makin cepat dan tepat dalam menegakkan diagnosis dan pengobatannya
akan memperbaiki prognosisnya serta memperkecil angka kematiannya.
b. Kegagalan fungsi organ
Semakin sedikit bagian vital yang terganggu dan mengalami kegagalan
dalam fungsinya, semakin baik prognosisnya.
c. Kepadatan parasit
Pada pemeriksaan hitung parasit (parasite count) semakin padat/ banyak
jumlah parasitnya yang didapatkan, semakin buruk prognosisnya,
terlebih lagi bila didapatkan bentuk skizon dalam pemeriksaan darah
tepinya.
d. Kadar laktat pada CSS (cairan serebro-spinal)
Pada malaria serebral kadar laktat pada CSS meningkat, yaitu >2,2
mmol/l. Bila kadar laktat >6 mmol/l memiliki prognosa yang fatal.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN
1. Kasus malaria serebral yang merupakan infeksi Plasmodium falciparum
masih sangat jarang ditemukan. Hal ini disebabkan karena
keterlambatan penanganan malaria berat.
2. Malaria serebral merupakan malaria kasus berat yang ditandai dengan
penurunan kesadaran, dimana tingkat mortalitasnya tinggi pada anak –
anak.
3. Perkembangan terapi malaria serebral sampai sekarang mengalami
perbaikan, dimana terapi ACT (Artemisin Combination Therapy) yang
diberikan pada penderita malaria serebral terbukti efektif terhadap
Plasmodium falciparum.

4.2 SARAN
1. Dikembangkannya penelitian lebih lanjut mengenai vaksin yang
adekuat untuk mencegah malaria serebral.
2. Setiap tenaga kesehatan memiliki pengetahuan agar tidak adanya
keterlambatan diagnosis yang menyebabkan meningkatnya kasus
malaria serebral, terutama pada anak-anak
3. Dilakukannya pemberian terapi secara optimal sehingga dapat
dilakukan penatalaksanaan secara adekuat.
DAFTAR PUSTAKA

Anon. 2007. Plasmodium falciparum. [Online] Available at: HYPERLINK


www.kalbe.co.id www.kalbe.co.id [Accessed 28 September 2010]
Combes, Valery; N. Coltel; D. Faille; S. C. Wassmer; G. E. Grau. 2006. Cerebral
malaria: role of microparticles and platelets in alterations of the blood-
brain barrier. International Journal for Parasitology, 36, pp541-46.
Divisi penyakit tropic dan infeksi departemen penyakit dalam FK USU/ RS H.adam
malik. 2008. Tetanus. [Online] Available at: HYPERLINK “ocw.usu.ac.id”
ocw.usu.ac.id [Accessed 29 September 2010]
Divisi penyakit tropic departemen ilmu kesehatan anak FK USU/ RS H.adam
malik .2008. Malaria Pada Anak. [Online] Available at: HYPERLINK
“ocw.usu.ac.id” ocw.usu.ac.id [Accessed 29 September 2010]
Error! Bookmark not defined.. 2010. Biology: Malaria. [Online] Available at:
HYPERLINK “www.cdc.gov” www.cdc.gov [Accessed 28 September
2010]
Dondorp, Arjen M. 2005. Pathophysiology, clinical presentation and treatment of
cerebral malaria, 10, pp67-77. [Online] Available at: HYPERLINK
“www.neurology-asia.org” www.neurology-asia.org [Accessed 27
September 2010]
Endang Haryanti Gani . 1992. Penatalaksanaan Malaria Berat Masa Kini. [Online]
Available at: HYPERLINK “www.kalbe.co.id” www.kalbe.co.id [Accessed
29 September 2010]
Iskandar Zulkarnain dan Budi Setiawan. 2007. Malaria Berat dalam: Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid III ed IV. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. 1745-7
J.A. Berkley, Mwang, F. Mellington, S. Mwarumba and K. Marsh. 1999. Cerebral
malaria versus bacterial meningitis in children with impaired consciousness.
Q J Med oxford Journal, 92, pp151–57.
Lili Irawati ,dkk. 2008. Ekspresi Tumor Necrosis Factor-Alfa (TNF-α) Dan
Interleukin-10 (IL-10) Pada Infeksi Malaria Falciparum. Jakarta:
Universitas Andalas.
Milner, D.A., Montgomery, J., Rogerson, S.J. & Seydel, K.B., n.d. Severe malaria
in children and pregnancy: an update and perspective. Trends in
Parasitology, 24(12), p.592.
Munthe, C. E. 2001. Laporan Kasus: Malaria Serebral, 131. [Online] Available at:
HYPERLINK “www.kalbe.co.id” www.kalbe.co.id [Accessed 27
September 2010]
Paul N. Harijanto. 2007. Malaria dalam: Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III ed
IV. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam. 1732-43
Suparman, Eddy. 2005. Malaria pada Kehamilan. [Online] Available at:
HYPERLINK www.kalbe.co.id www.kalbe.co.id [Accessed 30 September
2010]
WHO, 2010. Guideline for the treatment of malaria. Publication. Switzerland:
WHO Press World Health Organization.
WHO, UNDP & UNICEF, 2001. Roll Back Malaria. [Online] Roll Back Malaria
Partnership Available at: HYPERLINK
"http://www.rollbackmalaria.org/cmc_upload/0/000/015/367/RBMInfoshe
et_6.pdf"
http://www.rollbackmalaria.org/cmc_upload/0/000/015/367/RBMInfoshee
t_6.pdf [Accessed 07 November 2017].
Wibisono BH. 1995. Aspek Klinis Malaria Otak Pada Orang Dewasa. AMI, vol.
XXVII, Nomor Gabungan. 189 – 215
Wita Pribadi, saleha Sungkar. 1994.Malaria. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Anda mungkin juga menyukai