Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Beberapa gangguan jiwa dapat menyebabkan perubahan khas fisiologi tidur.1 Tidur
terdiri atas dua keadaan fisiologis yaitu non REM (rapid eye movement) atau juga dikenal
sebagai slow wave sleep yang terdiri dari empat tahap dan REM disebut juga tidur
paradoksal.1,2 Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian
antara 4-7 kali siklus semalam. Tiap siklus berlangsung kira-kira 90 menit. Pemendekan
latensi REM sering terjadi pada gangguan seperti gangguan depresif dan norkolepsi.1
Gangguan tidur ialah merupakan suatu keadaan seseorang dengan kuantitas dan
kualitas tidur yang kurang. Diperkirakan tiap tahun 20%-40% orang dewasa mengalami
kesukaran tidur dan 17% diantaranya mengalami masalah serius. Pada kebanyakan kasus,
gangguan tidur adalah salah satu gejala dari ganggaun lainnya, baik mental atau fisik. Kaplan
dan Sadock melaporkan kurang lebih 40-50% dari populasi usia lanjut menderita gangguan
tidur. Gangguan tidur kronik (10-15%) disebabkan oleh gangguan psikiatri, ketergantungan
obat dan alkohol.
Klasifikasi dan penatalaksanaan gangguan tidur masih terus berkembang seiring
dengan penelitian yang ada. Tujuan terapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan
meningkatkan kualitas hidup bagi pasien dan keluarga. Perawatan yang tepat memiliki
potensi mengurangi morbiditas terkait insomnia, termasuk risiko depresi, cacat, dan
gangguan kualitas hidup.1,7
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tidur adalah suatu keadaan berulang, teratur, mudah reversible yang ditandai dengan
keadaan relatif tidak bergerak dan tingginya peningkatan ambang respons terhadap
stimulus eksternal dibandingkan dengan keadaan terjaga. Beberapa gangguan jiwa dapat
menyebabkan perubahan khas fisiologi tidur.1
Sampai saat ini sistem klasifikasi untuk tingkatan tidur yang diterima adalah usulan
dari Rechtchaffen dan Kales yaitu dengan pemeriksaan EEG, Elektrooculogram (EOG)
dan electromyogram (EMG). Tidur terdiri atas dua keadaan fisiologis yaitu non REM
(rapid eye movement) atau juga dikenal sebagai slow wave sleep yang terdiri dari empat
tahap dan REM disebut juga tidur paradoksal.1,2
2
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti
oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian
antara 4-7 kali siklus semalam. Tiap siklus berlangsung kira-kira 90 menit. Bayi baru lahir
total tidur 16- 20 jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada
umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5 jam/hari pada orang dewasa.1
Kira-kira 90 menit setelah awitan tidur, NREM menghasilkan epidosde REM pertama
malam tersebut. Latensi REM 90 menit ini merupakan temuan yang konsisten pada orang
dewasa normal; pemendekan latensi REM sering terjadi pada gangguan seperti gangguan
depresif dan norkolepsi.1
1. Tidur stadium 1
Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini didapatkan
kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan bola mata kekanan dan
kekiri. Ia menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur. Fase ini hanya berlangsung 3-5
menit dan mudah sekali dibangunkan. Gambaran EEG biasanya terdiri dari gelombang
campuran alfa, betha dan kadang gelombang theta dengan amplitudo yang rendah. Tidak
didapatkan adanya gelombang sleep spindle dan kompleks K.
2. Tidur stadium 2
Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang,
tidur lebih dalam dari pada fase pertama, nadi dan tekanan darah cenderung menurun.
Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur dangkal. Gambaran EEG terdiri dari gelombang
theta simetris. Terlihat adanya gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan komplek
K. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur.
3. Tidur stadium 3
Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih
banyak gelombang delta simetris antara 25%-50% serta tampak gelombang sleep spindle.
Tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata.
3
4. Tidur stadium 4
Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran EEG didominasi
oleh gelombang delta sampai 50% tampak gelombang sleep spindle. Fase tidur NREM, ini
biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase
REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih
insten dan panjang saat menjelang pagi atau bangun.
Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat
rendah, apabila dibangunkan hampir semua orang akan dapat menceritakan mimpinya,
denyut nadi bertambah dan pada laki-laki terjadi ereksi penis, tonus otot menunjukkan
relaksasi yang dalam.
Pada orang dewasa muda normal periode tidur NREM berakhir kira-kira 90 menit
sebelum periode pertama REM, periode ini dikenal sebagai periode REM laten. Rangkaian
dari tahap tidur selama tahap awal siklus adalah sebagai berikut : NREM tahap 1,2,3,4,3, dan
2; kemudian terjadi periode REM. Jumlah siklus REM bervariasi dari 4 sampai 6 tiap
malamnya, tergantung pada lamanya tidur.
4
Gambar 1.
Sleep pattern in a young, healthy subject. REM, rapid eye movement. (From Gillian JC, Seifritz E,
Zoltoltoski RK, Salin- scual RJ. Basic science of sleep. In: Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan &
Sadock Com- prehensive Textbook of Psychiatry. 7th e d . Vol. 1 . Philadelphia: Lippincott Williams
&Wilkins; 2000:1 99, with permission.)
5
Pola tidur REM berubah sepanjang kehidupan seseorang seperti periode neonatal
bahwa tidur REM mewakili 50% dari waktu total tidur. Periode neonatal ini pada EEG-nya
masuk ke fase REM tanpa melalui stadium 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan pola berubah
sehingga persentasi total tidur REM berkurang sampai 40% hal ini sesuai dengan kematangan
sel-sel otak, kemudian akan masuk keperiode awal tidur yang didahului oleh fase NREM
kemudian fase REM pada dewasa muda dengan distribusi fase tidur sebagai berikut:
Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistem ARAS (Ascending
Reticulary Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam
keadaan tidur. Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur.
Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter seperti sistem
serotoninergik, noradrenergik, kholinergik, histaminergik.
1. Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino
trypthopan. Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang
terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Hasil
serotogenik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino trypthopan.
Dengan bertambahnya jumlah trypthopan, maka jumlah serotonin yang terbentuk
juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari
trypthopan terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/jaga.
Menurut beberapa peniliti lokasi yang terbanyak sistem serotonergik ini terletak
pada nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktifitas
serotonin di nukleus raphe dorsalis dengan tidur REM.
2. Sistem Adrenergik
6
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel
nukleus coeruleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus coeruleus
sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang
mempengaruhi peningkatan aktifitas neuron noradrenergic akan menyebabkan
penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.
3. Sistem Kolinergik
Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigmin intra vena dapat
mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kholinergik ini, mengakibatkan
aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktifitas
kholinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada
orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat
antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran kholinergik dari lokus
coeruleus maka tampak gangguan pada fase awal dan penurunan REM.
4. Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur
5. Sistem hormon
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormone seperti
ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-masing disekresi secara
teratur oleh kelenjar pituitary anterior melalui hipotalamus pathway. Sistem ini
secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter norepinefrin, dopamin,
serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan bangun.4
Gangguan tidur ialah merupakan suatu keadaan seseorang dengan kuantitas dan
kualitas tidur yang kurang. Hampir semua orang pernah mengalami gangguan tidur
selama masa kehidupannya. Diperkirakan tiap tahun 20%-40% orang dewasa mengalami
kesukaran tidur dan 17% diantaranya mengalami masalah serius. Pada kebanyakan kasus,
gangguan tidur adalah salah satu gejala dari gangguan lainnya, baik mental atau fisik.
Walaupun gangguan tidur yang spesifik terlihat secara klinis berdiri sendiri, sejumlah
factor psikiatrik dan atau fisik yang terkait memberikan kontribusi pada kejadiannya.
Secara umum adalah lebih baik membuat diagnosis gangguan tidur yang spesifik
7
bersamaan dengan diagnosis lain yang relevan untuk menjelaskan secara adekuat
psikopatologi dan atau patofisiologinya.1
2.2.2 Epidemiologi
Kaplan dan Sadock melaporkan kurang lebih 40-50% dari populasi usia lanjut
menderita gangguan tidur. Gangguan tidur kronik (10-15%) disebabkan oleh gangguan
psikiatri, ketergantungan obat dan alkohol. Menurut data internasional of sleep disorder,
prevalensi penyebab-penyebab gangguan tidur adalah sebagai berikut: Penyakit asma (61-
74%), gangguan pusat pernafasan (40-50%), kram kaki malam hari (16%),
psychophysiological (15%), sindroma kaki gelisah (5-15%), ketergantungan alkohol
(10%), sindroma terlambat tidur (5-10%), depresi (65). Demensia (5%), gangguan
perubahan jadwal kerja (2-5%), gangguan obstruksi sesak saluran nafas (1-2%), penyakit
ulkus peptikus (<1%), narcolepsy (mendadak tidur) (0,03%-0,16%). Klasifikasi dan
penatalaksanaan gangguan tidur masih terus berkembang seiring dengan penelitian yang
ada.1
2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi gangguan tidur non organic menurut PPDGJ III :5
1. F51.0 Insomnia Non-organik
2. F51.1 Hipersomnia Non-organik
3. F51.2 Gangguan Jadwal Tidur-jaga Non-organik
4. F51.3 Somnambulisme (Sleepwalking)
5. F51.4 Teror Tidur
6. F51.5 Mimpi Buruk
7. F51.8 Gangguan Tidur Non-organik Lainnya
8. F51.9 Gangguan Tidur Non-organik YTT
F51 kelompok gangguan ini termasuk ;
a. Dyssomnia yaitu kondisi psikogenik primer dimana gangguan utamanya
adalah jumlah, kualitas atau waktu tidur yang disebabkan oleh hal-hal
emosional, misalnya: insomnia, hipersomnia, gangguan tidur – jaga; dan
b. Parasomnia yaitu merupakan peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama
tisur; (pada kanak-kanak hal ini terkkait terutama dengan perkembangan anak,
sedangkan pada saat dewasa terutama pengaruh psikogenik) misalnya:
8
somnambulisme (sleepwalking), teror tidur (night terrors), mimpi buruk
(nightmares).
A. Insomnia
B. Hipersomnia
Hipersomnia tampak sebagai tidur yang berlebihan, rasa mengantuk (somnolen) di
siang hari yang berlebihan, atau kadang – kadang keduanya. Hipersomnia terdapat
pada 5% populasi dewasa.1
Gambaran klinik:
a) Pola tidur-jaga dari individu tidak seirama (out of synchrony) dengan pola tidur-
jaga yang normal bagi masyarakat setempat
b) Insomnia pada waktu orang tidur dan hipersomnia pada waktu kebanyakan orang
jaga, yang dialami hampir setiap hari min 1 bulan atau berulang dengan kurun
waktu yang lebih pendek
c) Ketidakpuasan dalam kuantitas, kualitas, dan waktu tidur menyebabkan
penderitaan yang berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
Adanya gangguan jiwa lain, misal anxietas, depresi, hipomania, tidak menutup
kemungkinan diagnosis gangguan jadwal tidur-jaga non-organik, yang penting adanya
dominasi gambaran klinik gangguan ini pada penderita.
2.2.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Umum
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan meningkatkan
kualitas hidup bagi pasien dan keluarga. Perawatan yang tepat memiliki potensi
mengurangi morbiditas terkait insomnia, termasuk risiko depresi, cacat, dan
gangguan kualitas hidup.
12
1) Hindari dan meminimalkan penggunaan kafein, rokok, stimulan, alkohol, dan obat
lainnya.
2) Meningkatkan tingkat aktivitas pada sore atau awal malam (tidak dekat dengan
waktu tidur) dengan berjalan atau berolahraga di luar ruangan.
3) Meningkatkan pajanan cahaya alami dan cahaya terang selama siang hari dan awal
malam.
4) Hindari tidur siang, terutama setelah pukul 2 siang; batasi tidur siang, batas untuk 1
tidur kurang dari 30 menit.
Terapi ini bertujuan untuk memutus siklus masalah yang sering dikaitkan dengan
kesulitan memulai atau jatuh tidur. Terapi ini membantu mengurangi faktor primer dan
reaktif yang sering ditemukan pada insomnia. Ada beberapa instruksi yang harus diikuti
oleh penderita insomnia:
1) Ke tempat tidur hanya ketika telah mengantuk.
13
2) Menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
4) Jangan berbaring-baring di tempat tidur karena bisa bertambah frustrasi jika tidak
bisa tidur.
5) Jika tidak bisa tidur (setelah beberapa menit) harus bangun, pergi ke ruang lain,
kerjakan sesuatu yang tidak membuat terjaga, masuk kamar tidur setelah kantuk
datang kembali.
6) Bangun pada saat yang sama setiap hari tanpa menghiraukan waktu tidur, total
tidur, atau hari (misalnya hari Minggu).
8) Jangan menggunakan stimulan (kopi, rokok, dll) dalam 4-6 jam sebelum tidur
Hasil terapi ini jarang terlihat pada beberapa bulan pertama. Bila kebiasaan ini terus
dipraktikkan, gangguan tidur akan berkurang baik frekuensinya maupun beratnya.
14
relaksasi. Umpan balik ini dapat meningkatkan kesadaran diri pasien tentang perbaikan
yang didapat. Teknik ini dapat dikombinasi dengan higene tidur dan terapi pengontrolon
tidur.
g. Terapi apnea tidur obstruktif
Apnea tidur obstruktif dapat diatasi dengan menghindari tidur telentang,
menggunakan perangkat gigi (dental appliance), menurunkan berat badan, menghindari
obat-obat yang menekan jalan nafas, menggunakan stimulansia pernafasan seperti
acetazolamide, nasal continuous positive airway pressure (NCPAP), upper airway
surgery (UAS). Nasal continuous positive airway pressure ditoleransi baik oleh sebagian
besar pasien. Metode ini dapat memperbaiki tidur pasien di malam hari, rasa mengantuk
di siang hari, dan keletihan serta perbaikan fungsi kognitif.
Uvulopalatopharyngeoplasty (UPP) merupakan salah satu teknik pembedahan
yang digunakan untuk terapi apnea tidur. Efikasi metode ini kurang. Trakeostomi juga
merupakan pilihan terapi untuk apnea tidur berat. Penggunaan kedua bentuk terapi bedah
ini sangat terbatas karena risiko morbiditas dan mortalitas.
Keputusan untuk mengobati apnea tidur didasarkan atas frekuensi dan beratnya
gangguan tidur, beratnya derajat kantuk di siang hari, dan akibat medik yang
ditimbulkannya.1,6
2. Pendekatan Farmakologi
Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara
kausal, juga dapat diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Pada dasarnya semua obat
yang mempunyai kemampuan hipnotik merupakan penekanan aktifitas dari reticular
activating system (ARAS) di otak. Hal tersebut didapatkan pada berbagai obat yang
menekan susunan saraf pusat, mulai dari obat anti anxietas dan beberapa obat anti
depresan.
Obat hipnotik selain penekanan aktivitas susunan saraf pusat yang dipaksakan dari
proses fisiologis, juga mempunyai efek kelemahan yang dirasakan efeknya pada hari
berikutnya (long acting) sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari. Begitu pula bila
pemakaian obat jangka panjang dapat menimbulkan over dosis dan ketergantungan obat.
Sebelum mempergunakan obat hipnotik, harus terlebih dahulu ditentukan jenis gangguan
tidur misalnya, apakah gangguan pada fase latensi panjang (NREM) gangguan pendek,
bangun terlalu dini, cemas sepanjang hari, kurang tidur pada malam hari, adanya
15
perubahan jadwal kerja/kegiatan atau akibat gangguan penyakit primernya. Walaupun
obat hipnotik tidak ditunjukkan dalam penggunaan gangguan tidur kronik, tapi dapat
dipergunakan hanya untuk sementara, sambil dicari penyebab yang mendasari. Dengan
pemakaian obat yang rasional, obat hipnotik hanya untuk mengkoreksi dari problema
gangguan tidur sedini mungkin tanpa menilai kondisi primernya dan harus berhati-hati
pada pemakaian obat hipnotik untuk jangka panjang karena akan menyebabkan
terselubungnya kondisi yang mendasarinya serta akan berlanjut tanpa penyelesaian yang
memuaskan.
Jadi yang terpenting dalam penggunaan obat hipnotik adalah mengidentifikasi
penyebab yang mendasarinya atau obat hipnotik adalah sebagai pengobatan tambahan.
Pemilihan obat hipnotik sebaiknya diberikan jenis obat yang bereaksi cepat (short action)
dgn membatasi penggunaannya sependek mungkin yang dapat mengembalikan pola tidur
yang normal. Lamanya pengobatan harus dibatasi 1-3 hari untuk transient insomnia, dan
tidak lebih dari 2 minggu untuk short term insomnia. Untuk long term insomnia dapat
dilakukan evaluasi kembali untuk mencari latar belakang penyebab gangguan tidur yang
sebenarnya. Bila penggunaan jangka panjang sebaiknya obat tersebut dihentikan secara
berlahan-lahan untuk menghindarkan withdrawl terapi.1,7
Obat anti insomnia
Sinonim : hypnotic, somnifacient, hipnotika
Obat acuan : phenobarbital
Penggolongan obat anti-insomnia
1. Benzodiazepine, contoh : Nitrazepam, Estazolam (benzodiazepine receptor agonist
: B2RA)
16
2. Zolpidem STILNOX Tab 10 mg 10-20 mg/malam
(Sanofi-Aventis)
ZOLMIA Tab 10 mg
(Fahrenheit)
ZOLTA Tab 10 mg
(Novell Pharma)
Indikasi penggunaan
Indikasi penggunaan obat anti-insomnia terutama pada kasus transient insomnia dan
short term insomnia, sangat berhati-hati pada kasus long term insomnia. Selalu diupayakan
mencari penyebab dasar dari gangguan tidur dan pengobatan ditujukan pada penyebab dasar
tersebut.
Mekanisme Kerja
Obat golongan benzodiazepine tidak menyebabkan REM suppression and rebound.
Pada kasus depresi terjadi pengurangan delta sleep (gelombang delta < 20%), sehingga tidak
pulas tidurnya dan mudah terbangun. Pada awal depresi terjadi defisit REM sleep (0-10%,
dimana pada orang normal sekitar 20%) yang menyebabkan tidur sering terbangun akibat
mimpi buruk (REM sleep bertambah untuk mengatasi defisit), sehingga siklus tidur menjadi
tidak teratur (disorganized).
Obat anti-depresi (trisiklik dan tetrasiklik) menekan dan menghilangkan REM sleep
dan meningkatkan delta sleep, sehingga pasien tidur nyaman tidak diganggu mimpi buruk.
Bila obat mendadak dihentikan terjadi REM rebound dimana pasien akan mengalami mimpi-
mimpi buruk lagi.
17
Efek Samping
Obat-obatan ini dapat menimbulkan supresi susunan saraf pusat (SSP) pada saat tidur.
Hati-hati pada pasien dengan insufisiensi pernapasan , uremia, dan gangguan fungsi hati, oleh
karena keadaan tersebut terjadi penurunan fungsi SSP dan dapat memudahkan timbulnya
koma. Pada pasien usia lanjut dapat terjadi oversedation sehingga risiko jatuh dan trauma
menjadi besar, yang sering terjadi adalah hip fracture.
Pemilihan Obat
Ditinjau dari sifat gangguan tidur, dikenal dengan :
1. Initial insomnia : sulit masuk ke dalam proses tidur. Obat yang dibutuhkan dalah
bersifat sleep inducing anti-insomnia, yaitu golongan benzodiazepine (short acting).
Misalnya pada gangguan anxietas.
2. Delayed insomnia : proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke
proses tidur selanjutnya. Obat yang dibutuhkan adalah bersifat prolong latent phase
anti-insomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (trisiklik dan tetrasiklik).
Misalnya pada gangguan depresi.
3. Broken insomnia : siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah
menjadi beberapa bagian (multiple awakening). Obat yang dibutuhkan adalah bersifat
sleep maintaining anti-insomnia, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (long acting). Misalnya pada gangguan stress psikososial.
Pengaturan Dosis
Pemberian tunggal dosis anjuran 15-30 menit sebelum pergi tidur. Dosis awal dapat
dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian
secepatnya tappering off untuk mencegah timbunya rebound dan toleransi obat. Pada usia
lanjut dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan, untuk menghindari
oversedation dan intoksikasi.
Lama Pemberian
Pemakaian obat anti-insomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2
minggu, agar risiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat
menimbulkan perubahan sleep EEG yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
Kesulitan pemberhentian obat seringkali oleh karena psychological dependence (habituasi)
sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Perhatian Khusus
18
Obat anti-insomnia kontraindikasi pada sleep apnoe syndrome, congestive heart
failure, dan chronic respiratory disease. Penggunaan benzodiazepine pada wanita hamil
mempunyai risiko menimbulkan teratogenic effect (misalnya cleft plate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Benzodiazepine juga diekskresi melalui ASI, berefek pada
bayi, yaitu penekanan fungsi SSP .
Di antara obat anti-insomnia tersebut, benzodiazepin paling sering digunakan dan
tetap merupakan pilihan utama untuk mengatasi insomnia baik primer maupun sekunder.
Kloralhidrat dapat pula bermanfaat dan cenderung tidak disalahgunakan. Antihistamin,
prekursor protein seperti l-triptofan yang saat ini tersedia dalam bentuk suplemen juga dapat
digunakan.
Obat hipnotik hendaklah digunakan dalam waktu terbatas atau untuk mengatasi
insomnia jangka pendek. Dosis harus kecil dan durasi pemberian harus singkat.
Benzodiazepin dapat direkomendasikan untuk dua atau tiga hari dan dapat diulang tidak lebih
dari tiga kali. Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan masalah tidur atau dapat
menutupi penyakit yang mendasari.
Penggunaan benzodiazepin harus hati-hati pada pasien penyakit paru obstruktif
kronik, obesitas, gangguan jantung dengan hipoventilasi. Benzodiazepin dapat mengganggu
ventilasi pada apnea tidur. Efek samping berupa penurunan kognitif dan terjatuh akibat
gangguan koordinasi motorik sering ditemukan. Oleh karena itu, penggunaan benzodiazepin
pada lansia harus hati-hati dan dosisnya serendah mungkin.
Benzodiazepin dengan waktu paruh pendek (triazolam dan zolpidem) merupakan obat
pilihan untuk membantu orang-orang yang sulit masuk tidur. Sebaliknya, obat yang waktu
paruhnya panjang (estazolam, temazepam, dan lorazepam) berguna untuk penderita yang
mengalami interupsi tidur. Benzodiazepin yang kerjanya lebih panjang dapat memperbaiki
anxietas di siang hari dan insomnia di malam hari.
Sebagian obat golongan benzodiazepin dimetabolisme di hepar. Oleh karena itu,
pemberian obat-obat yang menghambat oksidasi sitokrom (seperti simetidin, estrogen, INH,
eritromisin, dan fluoxetine) dapat menyebabkan sedasi berlebihan di siang hari. Triazolam
tidak menyebabkan gangguan respirasi pada pasien COPD ringan-sedang yang mengalami
insomnia. Neuroleptik dapat digunakan untuk insomnia sekunder terhadap delirium pada
lansia. Dosis rendah-sedang benzodiazepin seperti lorazepam digunakan untuk memperkuat
efek neuroleptik terhadap tidur.
19
Antidepresan yang bersifat sedatif seperti trazodone dapat diberikan bersamaan
dengan benzodiazepin pada awal malam. Antidepresan kadang-kadang dapat memperburuk
gangguan gerakan terkait tidur (RLS).
Mirtazapine merupakan antidepresan baru golongan noradrenergic and specific
serotonin antidepressant (NaSSA). Ia dapat memperpendek onset tidur, stadium 1 berkurang,
dan meningkatkan dalamnya tidur. Latensi REM, total waktu tidur, kontinuitas tidur, serta
efisiensi tidur meningkat pada pemberian mirtazapine. Obat ini efektif untuk penderita
depresi dengan insomnia tidur.
Tidak dianjurkan menggunakan imipramin, desipramin, dan monoamin oksidase
inhibitor pada lansia karena dapat menstimulasi insomnia. Lithium dapat menganggu
kontinuitas tidur akibat efek samping poliuria.
Khloralhidrat dan barbiturat jarang digunakan karena cenderung menekan pernafasan.
Antihistamin dan difenhidramin bermanfaat untuk beberapa pasien tapi penggunaannya harus
hati-hati karena dapat menginduksi delirium.
2.2.5. Komplikasi
Gangguan tidur atau ketidakmampuan tidur memperngaruhi performa, keamanan, dan
kualitas hidup dari seorang individu. Hampir 20% kecelakaan lalu lintas berhubungan dengan
pengemudi yang mengantuk atau mabuk minuman beralkhohol.
Penelitian terkini mengemukakan bahwa gangguan memiliki neurobehavioral effect,
mulai dari yang paling ringan yakni attensi dan reaksi, dan yang lebih kompleks yakni
kesalahan dalam melakukan penilaian terhadap suatu hal, atau membuat keputusan. Orang
yang memiliki gangguan tidur akan memiliki masalah dalam ingatan jangka pendeknya. Dan
walaupun individu dengan gangguan tidur mampu melakukan pekerjaan dengan baik, akan
tetapi membutuhkan waktu pengerjaan yang lebih lama.
Meskipun data yang ada sangat terbatas, efek dari gangguan tidur, kehilangan tidur
kronis, dan tidur yang kurang akan mempengaruhi perekonomian Amerika secara signifikan.
Apabila gangguan tidur tidak diobati dengan baik, maka akan menimbulkan kerugian yang
jauh lebih besar daripada biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobati gangguan tidur itu
sendiri.
Lebih dari 10 tahun yang lalu, terdapat suatu paradigma yang menyatakan bahwa
tidak terdapat hubungan antara gangguan tidur dengan kesehatan. Akan tetapi, penelitian
20
terkini menyatakan bahwa sleep loss (kurang dari 7 jam per malam) memiliki efek pada
system kardiovaskuler, endokrin, imun, dan system saraf.1,6,7
21
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan tidur ialah merupakan suatu keadaan seseorang dengan kuantitas dan
kulaitas tidur yang kurang. Hampir semua orang pernah mengalami gangguan tidur selama
masa kehidupannya. Diperkirakan tiap tahun 20%-40% orang dewasa mengalami kesukaran
tidur dan 17% diantaranya mengalami masalah serius. Pada kebanyakan kasus, gangguan
tidur adalah salah satu gejala dari ganggaun lainnya, baik mental atau fisik. Kaplan dan
Sadock melaporkan kurang lebih 40-50% dari populasi usia lanjut menderita gangguan tidur.
Gangguan tidur kronik (10-15%) disebabkan oleh gangguan psikiatri, ketergantungan obat
dan alkohol.
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup
bagi pasien dan keluarga. Terapi dapat dengan pendekatan non farmakologi dan farmakologi.
Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara kausal, juga
dapat diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Obat anti insomnia, sinonim : hypnotic,
somnifacient, hipnotika. Obat acuan adalah phenobarbital. Pemilihan obat ditinjau dari sifat
gangguan tidur : Initial insomnia : sulit masuk ke dalam proses tidur. Obat yang dibutuhkan
dalah bersifat sleep inducing anti-insomnia, yaitu golongan benzodiazepine (short acting).
Misalnya pada gangguan anxietas. Delayed insomnia : proses tidur terlalu cepat berakhir dan
sulit masuk kembali ke proses tidur selanjutnya. Obat yang dibutuhkan adalah bersifat
prolong latent phase anti-insomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (trisiklik dan
tetrasiklik). Misalnya pada gangguan depresi. Broken insomnia : siklus proses tidur yang
normal tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening). Obat
yang dibutuhkan adalah bersifat sleep maintaining anti-insomnia, yaitu golongan
phenobarbital atau golongan benzodiazepine (long acting). Misalnya pada gangguan stress
psikososial. Pemakaian obat anti-insomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari
2 minggu, agar risiko ketergantungan kecil.1,7
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock : Buku ajar psikiatri klinis. 2nd Ed. Jakarta;
EGC. 2010. P.337-51
2. Cheng, Ruey-Kuang. 2009. Neurophysiological Mechanism of Sleep Dependent
Memory Consolidation and its facilitation by prenatal choline supplementation.
Chinese Journal of Physiology. 52(4): 223-225.
3. Colten, Harvey R. Et Al. 2006. Sleep Disorders And Sleep Deprivation: An Unmet
Public Health Problem. National Academy Of Sciences : Washington, Dc
4. Meadows R. 2005. The “Negotiated Night:” An Embodied Conceptual Framework
For The Sociological Study Of Sleep. Oxford: Blackwell.
5. Maslim R. Buku saku: Diagnosis gangguan jiwa. Rujukan ringkas dari PPDGJ – III
dan DSM-5. Jakarta; Bagian ilmu kesehatan jiwa FK Atma Jaya. 2013. P. 90-8
6. Gregory M. Asnis , Manju Thomas and Margaret A. Henderson. Pharmacotherapy
Treatment Options for Insomnia: A Primer for Clinicians, Albert Einstein College
of Medicine/Montefiore Medical Center, Department of Psychiatry & Behavioral
Science, Bronx, NY 10467, USA. Published: 30 December 2015. Cited February
9th 2016
7. Maslim R. Panduan klinis obat psikotropik. Jakarta; Bagian ilmu kesehatan jiwa FK
Atma Jaya. 2014. P. 46-50
23