Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

Disusun Oleh :
dr. Diah Eka Permanawati

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BANJAR

2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit pembesaran prostat jinak (Benign Prostatic Hyperplasia, BPH)
merupakan kelainan yang sering dijumpai di klinik urologi di banyak negara. Di
Sub bagian urologi FKUI/RSCM, BPH menempati urutan kedua setelah penyakit
batu saluran kemih. Setiap tahun ditemukan antara 200 sampai 300 penderita baru dengan
BPH .
Pertumbuhan kelenjar prostat tidak berhenti pada usia dewasa tetapi terus
berlanjut sepanjang hidup. Pada saat lahir, berat prostat sekitar 1 gram, pada masa
pubertas kelenjar prostat tumbuh secara cepat dan mencapai berat sekitar 20 gram
pada usia 20 - 30 tahun. Adanya tanda-tanda histopatologi BPH sudah dapat
dijumpai pada laki-laki berusia 60 tahun diperkirakan 50% kemungkinan untuk
ditemukannya BPH secara histologis dan kemungkinan ini meningkat menjadi
sekitar 80% pada usia 80 tahun bahkan 100% pada usia 90 tahun. Walaupun
banyak pada laki-laki dapat ditemukan adanya BPH secara histologis, hanya pada
setengah diantara meraka dapat ditemukan pembesaran prostat secara
makroskopis dan pada akhirnya sekitar 25% dari penderita. Penderita ini
memerlukan pembedahan untuk mengatasi adanya sumbatan saluran kemih.
Kelenjar periuretral yang mengalami hiperplasi akan mendesak jaringan
prostat yang asli ke periper dan menjadi surgical capsul. Menurut teori sel stem,
faktor usia dan gangguan keseimbangan hormonal akan mempercepat proliferasi
sel stem sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral, teori reawakening
mengatakan jaringan akan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat
embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan
sekitarnya.

2
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mempelajari kasus BPH,
sehingga dapat menegakkan diagnosis, dan dapat menentukan penatalaksanan yang
tepat yang bisa diberikan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Tn. N
Umur : 74 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jelat, Pataruman
MRS : 20 Juli 2017
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani

II. ANAMNESA (AUTOANAMNESA)


A. Keluhan Utama
Tidak bisa kencing
B. Riwayat penyakit sekarang
Sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sulit kencing,
kencing hanya menetes sedikit – sedikit. Penderita juga mengeluh kencing
tidak lampias, mengedan, dan apabila ingin kencing tidak bisa ditahan. Sejak 7
hari sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh tidak bisa kencing dan
terasa sakit sekali.
Sebelumnya kurang lebih 3 tahun sebelum masuk rumah sakit, penderita mulai
mengeluh sering mengejan saat kencing, kencing kurang deras, dan
pancarannya kurang jauh sehingga penderita lebih lama di kamar mandi. Bila
siang hari bisa lebih dari 5 kali kencing dan pada malam hari penderita sering
terbangun untuk kencing (bisa 3-4 kali semalam). BAK darah (-), BAK
berpasir (-), demam (-), nyeri pinggang (-), mual (-), muntah (-). Penderita
sudah berobat ke dokter, oleh dokter penderita diberi obat dan dipasang
kateter, jika kateter dilepas pasien mengeluh tidak bisa kencing lagi dan terasa
sakit sekali. Pasien pernah direncanakan untuk operasi prostat sebelumnya
namun karena kendala ekonomi operasi dibatalkan.
C. Riwayat penyakit dahulu
Asma : disangkal
Hipertensi : disangkal

4
DM : disangkal
Riwayat trauma regio perineum : disangkal
Kencing keluar batu : disangkal
Kencing keluar darah : disangkal
D. Riwayat Keluarga
Asma : Disangkal
Hipertensi : Disangkal
Jantung : Disangkal
DM : Disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : BB :47kg TB:158 IMT : 18.8 (Normal)
TD : 130/80 mmhg S : 36,5 C
N : 88 X / mnt P : 20 X / mnt
Kulit : Dbn
Kepala : Normocephal
Mata :Conjunctiva anemis ( - ), sclera tidak ikterik
Telinga : Sekret ( - )
Hidung : Sekret ( - )
Mulut : Lidah Kotor tidak ada, gigi karies tidak ada
Thorax
Pulmo : Inspeksi : Retraksi ( - ), Ketinggalan gerak nafas ( - )
Palpasi : Ketinggalan gerak nafas ( - )
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler, ronkhi ( - ), Wheezing (-/-)
Jantung : Inspeksi : Ictus Cordis tak tampak
Palpasi : Ictus Cordis teraba di SIC IV
Perkusi : Redup
Auskultasi : Regular, bising ( - )
Abdomen : Inspeksi : Perut sejajar dada.
Palpasi : Hepar / lien tidak teraba, NT ( - )
Perkusi : Pekak alih ( - )

5
Auskultasi : Peristaltik baik
Ekstremitas : Akral hangat, Nadi kuat.

IV. STATUS LOKALIS


 Regio costo vertebre
Inspeksi: bulging (-)
Palpasi: balotemen (-)
 Regio Suprapubik
Inspeksi: Bulging (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi: timpani
 Regio genetalia eksterna
Inspeksi: benjolan daerah inguinal (-), benjolan di scrotum (-), OUE tak
tampak kelainan
Palpasi: nyeri takan (-), masa (-)
 Rectal Toucher :
TSA baik
Prostat teraba membesar
Bagian atas tidak teraba
Nodul (-), konsistensi kenyal, nyeri tekan (-)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : Darah Rutin (Hemoglobin, Leukosit, Hematokrit, Trombosit,
Eritrosit ) GDS, kreatinin, Ureum.

6
VI. RESUME
Seorang pria berusia 74 tahun ke IGD RSUD KOTA BANJAR pada
tanggal 20 Juli 2017. Penderita mengeluh sulit buang air kecil sejak 2 minggu
SMRS, BAK menetes (+), sering terasa masih bersisa (tidak lampias), BAK
sedikit-sedikit, terputus dan pancarannya lemah. Penderita juga sering
terbangun malam-malam untuk BAK (bisa 3-4 kali semalam). Penderita sudah
berobat ke dokter, oleh dokter penderita diberi obat dan dipasang kateter, dan
tidak bisa kencing jika kateter dilepas.
Pada pemeriksaan fisik status generalis ditemukan TD 130/80.
Pemeriksaan status lokalis pada rektal toucher ditemukan TSA baik, prostat
teraba membesar, bagian atas tidak teraba konsistensi kenyal.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik pasien ini didiagnosa dengan
Retensi urin ec benign prostatic hyperplasia. Penatalaksanaan pada penderita
ini yaitu dengan pemberian ceftriaxon 1gr (IV) dan direncanakan untuk operasi
TURP.

VII. DIAGNOSIS
Retensi urin ec BPH

VIII. PENATALAKSANAAN
- Direncanakan operasi elektif
- Persiapan pre op Laboratorium, Rontgen Thorax, EKG
- Pasang Kateter
- IVFD Nacl 0,9 % 20 tpm
- Ceftriaxone 1 1 g (iv)

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Benign Prostatic Hyperplasia merupakan pertumbuhan jinak pada kelenjar
prostat, yang menyebabkan prostat membesar. Kelenjar prostat adalah salah satu
organ genitalia pria yang terletak disebelah inferior buli-buli dan membungkus
uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars
prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa + 20
gram.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron, yang di
dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi metabolit aktif
(DHT) dengan bantuan enzim 5α – reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang
secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk
mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna.
Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80%
pria yang berusia 80 tahun. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan
terganggunya aliran urine sehingga menimbulkan gangguan miksi.

PREVALENSI & EPIDEMIOLOGI

BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan
meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.1 Angka kejadian BPH di
Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital
prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-
­‐2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-­‐rata umur penderita berusia 66,61
tahun.

8
STRUKTUR DAN ZONA ANATOMI

Prostat terdiri atas kelenjar (50%) dan jaringan ikat fibromuscular (25%
myofibril otot polos dan 25% jaringan ikat). Jaringan fibromuscular ini tertanam
mengelilingi prostat dan berkontrasi selama proses ejakulasi untuk mengeluarkan
sekresi prostat ke dalam urethra. Kelenjar prostat adalah modifikasi bagian
dinding urethra.

Ujung urethra terproyeksi ke bagian dalam garis tengah posterior, berjalan


sepanjang urethra prostatika dan berakhir spinkter striata. Pada bagian ujung yang
lain, sebuah celah terbentuk (sinus prostaticus), dimana seluruh kelenjar mengalir
kesitu). Pada bagian pertengahan, urethra melengkung kira-kira 35o kearah
anterior (lengkungan ini dapat bervariasi antara 0 – 90o). Sudut yang terbentuk

9
dari lengkungan ini membagi urethra prostatika secara anatomi dan fungsional
menjadi bagian proksimal (preprostat) dan distal (prostat) Pada bagian proximal,
otot polos sirkuler menebal untuk membentuk spinkter urethra internum.

Pada lengkungan urethra, seluruh bagian utama kelenjar prostat terbuka sampai
ke urethra prostatika. Ujung urethra melebar dan menonjol dari dinding posterior
disebut verumontanum. Celah orificium kecil dari utrikulum prostat ditemukan
pada bagian apex dari verumontanum dan terlihat melelui sistoskopi. Utrikulum
panjangnya 6 mm sisa mullerian terbentuk dari kantong kecil yang terproyeksi ke
atas dan bawah prostat.

Pada pria dengan kelamin ganda, bisa terbentuk suatu divertikulum panjang
yang menonjol pada bagian posterior prostat. Pada bagian lain dari orificium
utrikula, 2 pembukaan kecil pada duktus ejakulatorius bisa terlihat. Duktus
ejakulatorius terbentuk dari persambungan vas deferens dengan vesikula seminalis
dan masuk ke basis prostat yang bergabung dengan vesica urinaria.

Secara umum kelenjar prostat berbentuk tubuloalveolar dengan sedikit


percabangan dan sejajar dengan epitel kuboid atau kolumner. Penyebaran sel
neuroendokrin, yang fungsinya tidak diketahui, ditemukan diantara sel
sekretorius.

Dibawah sel epitel, sel basal terletak sejajar setiap asinus dan akan menjadi
stem sel untuk epitel sekretorius. Setiap asinus terlindungi oleh otot polos yang
tipis dan jaringan ikat.

Jaringan kelenjar membentuk tiga buah gugusan konsentris, dibedakan oleh


lokasi duktus masing-masing ke dalam urethra, perbedaan lesi patologinya dan
pada beberapa kasus berdasarkan embryologinya, yaitu :

a. Zona Anterior atau Ventral

Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma
fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.

10
b. Zona Perifer (Glandula prostatica propria)

Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar
prostat. Sekitar 70% kanker prostat timbul pada zone ini dan umumnya
disebabkan oleh prostatitis kronik.

c. Zona Sentralis

Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus


tengah meliputi 25% massa glandular prostat. Zone ini mengandung 25%
dari volume prostat dan membentuk kerucut disekeliling duktus
ejakulatorius pada bagian dasar vesica urinaria. Zone ini memiliki
karakteristik secara struktural dan imunohistokimia yang berbeda dari
bagian prostat yang lain, dan diduga berasal dari sistem duktus Wolffian
(umumnya mirip dengan epididimis, vas deferens dan vesica seminalis)
dimana bagian prostat yang lain berasal dari sinus urogenital. Berdasarkan
hal tersebut zone sentral jarang terkena penyakit, hanya 1 – 5%
adenokarsinoma yang timbul pada lokasi ini sekalipun terinfiltrasi oleh sel
kanker dari zone yang berdekatan.

d. Zona Transisional.

Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai


kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang
lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskular
anterior menjadi benign prostatic hyperpiasia (BPH). Benign Prostat
Hypertrophy (BPH) umumnya muncul dari zone ini. BPH awalnya
merupakan mikronodul kemudian berkembang membentuk makronodul
disekitar tepi inferior dari urethra preprostatik tepat diatas verumontanum.
Makronodul ini selanjutnya menekan jaringan normal sekitarnya pada
posteroinferior zone perifer dengan membentuk kapsul palsu disekitar
jaringan hyperplasia. Perkembangan zone transisi ini menghasilkan
gambaran lobus pada sisi atas urethra, Lobus ini pada saatnya akan
menekan urethra pars prostatic dan preprostatik untuk menimbulkan gejala.
Sekitar 20% dari adenocarsinoma terjadi pada zone ini.

11
ETIOLOGI

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya


hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT), proses
fisiologi, hormon dan proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga
sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat jinak adalah : (1) Teori
Dihidrotestosteron, (2) Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron,
(3) Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4) Berkurangnya kematian
sel prostat/ apoptosis, (5) Teori Stem sel dan, (6) Teori Reawakening.

1. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting
pada pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel
prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang
telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks
DHT-RA pada inti dan sel selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang
menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas
enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih
banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

2. Ketidakseimbangan antara Estrogen - Testosterone


Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosterone relatif
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel- sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
sensitifitas sel- sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan
jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan
terbentuknya sel- sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel – sel

12
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa
prostat jadi lebih besar.

3. Interaksi Stroma – Epitel (Teori Growth Factors)


Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel
prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator
(growth factor) tertentu. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di
bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth
factor (EGF) dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan
ekspresi transforming growth factor-α (TGF-α), akan menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.

4. Berkurangnya kematian sel prostat (Apoptosis)


Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik homeostatis
kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju
proliferasi sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang
apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin
meningkat sehingga mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon
androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah
dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.1

5. Teori stem cell hypotesis


Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada
kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada
hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel
akan berkembang menjadi sel aplifying, yang keduanya tidak tergantung pada
androgen. Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung
secara mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan
berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.

6. Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma
pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular
budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona

13
preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang
terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan
adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa
tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari
jaringan sekitarnya.

FAKTOR RISIKO

Faktor risiko yang paling berperan dalam BPH adalah usia, selain adanya testis
yang fungsional sejak pubertas (faktor hormonal). Dari berbagai studi terakhir
ditemukan hubungan positif antara BPH dengan riwayat BPH dalam keluarga,
kurangnya aktivitas fisik, diet rendah serat, konsumsi vitamin E, konsumsi daging
merah, obesitas, sindrom metabolik, inflamasi kronik pada prostat, dan penyakit
jantung.

PATOFISIOLOGI

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala
yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak
uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra
vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan
kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha
adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun
kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis,
yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.

Berbagai keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi uretra.


Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk mengatasi
resistensi uretra yang meningkat, otot-otot detrusor akan berkontraksi untuk
mengeluarkan urine. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan
anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut
fase kompensasi.

14
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.

Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam


fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke
seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada
kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke
ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
gagal ginjal.

Hiperplasia Prostat

Penyempitan lumen uretra posterior

Tekanan intravesika meningkat

↓ ↓

Buli-buli : Ginjal dan ureter :

Hipertrofi otot detrusor Refluks VU

Trabekulasi Hidroureter

Selula Hidronefrosis

Divertikel buli-buli Gagal ginjal

dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar
di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil
dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor
adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan
akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan
disfungsi saluran kemih atas.

15
Gambar. Penyulit hyperplasia prostat pada saluran kemih

MANIFESTASI KLINIS

Dengan BPO, gejala biasanya muncul secara bertahap selama beberapa tahun.
Pasien sering mengalami buang air kecil yang mendesak. Gejala terutama
mengganggu di malam hari dan mengganggu tidur. Endapan gejala sering muncul
secara bersamaan, tetapi tidak terlalu mengganggu pasien awalnya. Gejala
mungkin termasuk: aliran urin lemah, sulit untuk memulai buang air kecil,
mengosongkan kandung kemih membutuhkan waktu lebih lama, gangguan dalam
aliran urin, berusaha mengosongkan kandung kemih, dan sensasi yang kandung
kemih tidak sepenuhnya kosong.

a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)5

Terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi :

Obstruksi Iritasi
 Hesistansi  Frekuensi
 Pancaran miksi lemah  Nokturi
 Intermitensi  Urgensi
 Miksi tidak puas  Disuria
 Distensi abdomen Urgensi dan disuria jarang
 Terminal dribbling (menetes) terjadi, jika ada disebabkan
 Volume urine menurun oleh ketidakstabilan detrusor
 Mengejan saat berkemih sehingga terjadi kontraksi
involunter.

Tabel 1. Gejala Obstruksi dan Iritasi Benigna Prostat Hiperplasia

16
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih
tergantung tiga faktor, yaitu:

 Volume kelenjar periuretral

 Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

 Kekuatan kontraksi otot detrusor

Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli


untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan
(fatigue) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam
bentuk retensi urin akut.

Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh factor pencetus antara lain :

1) Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan


yang mengandung diuretikum, minum tertalu banyak)

2) Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas seksual/


infeksi prostat)

3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi otot


detrusor (golongan antikolinergik atau adrenergic-α)

Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan


penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan
BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem
skoring, di antaranya skor International Prostate Skoring System (IPSS) yang
diambil berdasarkan skor American Urological Association (AUA). Sistem
skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor Boyarski. Skor AUA
terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan
obstruksi dan iritatif mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-
35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat.

17
Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-
pertanyaan untuk menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala iritatif.
Total skor dapat berkisar antara 0-29. Skor <> 20 berat. Perbedaannya dengan skor
AUA adalah dalam skor Madsen Iversen penderita tidak menilai sendiri derajat
keluhannya. Perbedaan ini yang mendasari mengapa skor Madsen-Iversen
digunakan di Sub Bagian Urologi RSUPN Cipto Mangunkusumo.3

18
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Merupakan penyulit dari hiperplasi prostat, berupa gejala obstruksi antara lain
nyeri pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis), demam (infeksi/ urosepsis).

c. Gejala di luar saluran kemih

Keluhan pada penyakit hernia/ hemoroid sering mengikuti penyakit hipertropi


prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi
sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Sjamsuhidayat,
2004).

19
Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual
dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner & Suddarth, 2001).

Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu:

 Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok


dubur) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.

 Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi
kurang dari 100 ml.

 Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan
sisa urin lebih dari 100 ml.

 Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Urologis
- Ginjal

Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi adanya obstruksi
atau tanda infeksi.1

- Kandung kemih

Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi untuk menilai
isi kandung kemih, ada tidaknya tanda infeksi.

2. Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )

Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat


memberikangambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain
sepertibenjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba prostat. Pada perabaan
prostat harus diperhatikan :

 Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal

 Adakah asimetri

20
 Adakah nodul pada prostat

 Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih dapat diraba
biasanya besar prostat diperkirakan <60 gr.

Gambar. Pemeriksaan Colok Dubur

Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal atau normal (
ingat tidak ada korelasi antara besar prostat dengan obstruksi yang
ditimbulkannya), permukaan licin dan konsistensi kenyal.

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian
atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis
akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat
teraba apabila sudah terjadi retensi total, buli-buli penuh (ditemukan massa supra
pubis) yang nyeri dan pekak pada perkusi. Daerah inguinal harus mulai
diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula
diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat
menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior,
fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.

21
Derajat berat obstruksi

Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin
setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih
dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan
ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100cc biasanya
dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan intervensi pada hipertrofi
prostat.Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin
pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih rata-
rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada
obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6 – 8 ml/detik, sedangkan maksimal
pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.

PEMERIKSAAN

1. Laboratorium

Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan hematuria.


Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya. Bila dicurigai
adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine.

Faal ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang


mengenai saluran kemih bagian atas, sedangkan gula darah dimaksudkan untuk
mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes melitus yang dapat menimbulkan
kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli neurogenik). Jika dicurigai adanya
keganasan prostat perlu diperiksa kadar penanda tumor PSA.

22
2. Pencitraan
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih,
adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-
buli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urin.
Pemeriksaan PIV dapat menerangkan kemungkinan adanya: (1) kelainan pada
ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, (2) memperkirakan
besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya indentasi prostat
(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter disebelah distal yang
berbentuk seperti mata kail atau hooked fish, dan (3) penyulit yang terjadi pada
buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau sakulasi buli-buli.

Pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau TRUS, dimaksudkan untuk


mengetahui: besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan pembesaran
prostat maligna, sebagai guidance (petunjuk) untuk melakukan biopsi aspirasi
prostat, menentukan jumlah residual urin, dan mencari kelainan lain yang mungkin
ada di dalam buli-buli. Di samping itu ultrasonografi transabdominal mampu untuk
mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH
yang lama.

3. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara
mengukur :

 Residual urin yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin ini dapat dihitung
dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi.
 Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)
atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran
urin.

DIAGNOSIS
Diagnosis BPH ditegakkan dengan anemnesis berupa penderita laki-laki yang
berusia tua, sulit atau tidak bisa buang air kecil, buang air kecil tidak puas, sering
buang air kecil, menetes setelah buang air kecil. Pemeriksaan fisik pada pasien

23
BPH menunjukkan ada pembesaran pada suprasimfisis akibat vesika urinaria yang
terisi oleh urin. Pemeriksaan rektal toucher menunjukkan adanya pembesaran
prostat, tanpa nodul, simetris, dan konsistensi yang kenyal.

Pada pemeriksaan USG ditemukan adanya pembesaran prostat yang dapat


disertai dengan pembesaran ginjal.

TERAPI
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien. Terapi
yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan
pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya adalah: (1) konservatif
(watchful waiting), (2) medikamentosa, (3) pembedahan (Tabel1), dan (4) lain-
lain (kondisi khusus).

1. Konservatif
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak
mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh
dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari‐hari.
Pada watchful waiting ini, pasien diberi penjelasan mengenai segala sesuatu hal
yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:

24
1. jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan
malam,
2. kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada
kandung kemih (kopi atau cokelat),
3. batasi penggunaan obat‐obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin,
4. jangan menahan kencing terlalu lama.
5. penanganan konstipasi

Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3‐6 bulan) untuk menilai
perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume residu
urine. Jika keluhan berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan untuk memilih
terapi yang lain.

2. Medikamentosa

Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi resistensi


otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika
dengan obat-obatan dengan penghambat adrenergik alfa dan (2) mengurangi
volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-reduktase. Terapi
medikamentosa diberikan pada pasien dengan skor IPSS >7. Jenis obat yang
digunakan adalah:

a. α1-blocker
Pengobatan dengan α1‐blocker bertujuan menghambat kontraksi otot
polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih
dan uretra. Beberapa obat α1‐blocker yang tersedia, yaitu terazosin,
doksazosin, alfuzosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari.
Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan
voiding symptom dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih hingga
30‐45% atau penurunan 4‐6 skor IPSS dan Qmax hingga 15‐30%.1‐3 Tetapi
obat α1‐blocker tidak mengurangi volume prostat maupun risiko retensi
urine dalam jangka panjang.
Masing‐masing α1‐blocker mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap
sistem kardiovaskuler yang berbeda (hipotensi postural, dizzines, dan

25
asthenia) yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan.
Penyulit lain yang dapat terjadi adalah ejakulasi retrograd. Salah satu
komplikasi yang harus diperhatikan adalah intraoperative floppy iris
syndrome (IFIS) pada operasi katarak dan hal ini harus diinformasikan
kepada pasien.

b. 5α‐reductase Inhibitor
5α‐reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis
sel epitel prostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 20 –
30%. 5a‐reductase inhibitor juga dapat menurunkan kadar PSA sampa 50%
dari nilai yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini
kanker prostat. Saat ini, terdapat 2 jenis obat 5α-reductase inhibitor yang
dipakai untuk mengobati BPH, yaitu finasteride dan dutasteride. Efek klinis
finasteride atau dutasteride baru dapat terlihat setelah 6 bulan. Finasteride
digunakan bila volume prostat >40 ml dan dutasteride digunakan bila
volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi pada pemberian
finasteride atau dutasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi disfungsi
ereksi, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak‐bercak
kemerahan di kulit.

c. Antagonis Reseptor Muskarinik


Pengobatan dengan menggunakan obat‐obatan antagonis reseptor
muskarinik bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi
reseptor muskarinik sehingga akan mengurangi kontraksi sel otot polos
kandung kemih. Beberapa obat antagonis reseptor muskarinik yang terdapat
di Indonesia adalah fesoterodine fumarate, propiverine HCL, solifenacin
succinate, dan tolterodine l‐tartrate
Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala storage
LUTS. Analisis pada kelompok pasien dengan nilai PSA <1,3 ng/ml
(≈volume prostat kecil) menunjukkan pemberian antimuskarinik
bermanfaat. Sampai saat ini, penggunaan antimuskarinik pada pasien dengan
BOO masih terdapat kontroversi, khususnya yang berhubungan dengan
risiko terjadinya retensi urine akut. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi
rutin keluhan dengan IPSS dan sisa urine pasca berkemih. Sebaiknya,

26
penggunaan antimuskarinik dipertimbangkan jika penggunaan α‐blocker
tidak mengurangi gejala storage.
Penggunaan antimuskarinik dapat menimbulkan efek samping, seperti
mulut kering (sampai dengan 16%), konstipasi (sampai dengan 4%),
kesulitan berkemih (sampai dengan 2%), nasopharyngitis (sampai dengan
3%), dan pusing (sampai dengan 5%).

d. Phospodiesterase 5 inhibitor

Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan


konsentrasi dan memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine
monophosphate (cGMP) intraseluler, sehingga dapat mengurangi tonus otot
polos detrusor, prostat, dan uretra. Di Indonesia, saat ini ada 3 jenis PDE5
Inhibitor yang tersedia, yaitu sildenafil, vardenafil, dan tadalafil. Sampai
saat ini, hanya tadalafil dengan dosis 5 mg per hari yang direkomendasikan
untuk pengobatan LUTS.

Tadalafil 5 mg per hari dapat menurunkan nilai IPSS sebesar 22‐37%.


Penurunan yang bermakna ini dirasakan setelah pemakaian 1 minggu. Pada
penelitian uji klinis acak tanpa meta‐analisis, peningkatan Qmax
dibandingkan plasebo adalah 2,4 ml/s dan tidak didapatkan perbedaan yang
bermakna pada residu urine. Data meta‐analisis menunjukkan PDE 5
inhibitor memberikan efek lebih baik pada pria usia lebih muda dengan
indeks massa tubuh yang rendah dengan keluhan LUTS berat.

e. Terapi Kombinasi
a. 1 α1-blocker + 5α‐reductase inhibitor

Terapi kombinasi α1‐blocker (alfuzosin, doksazosin, tamsulosin) dan


5α‐reductase inhibitor (dutasteride atau finasteride) bertujuan untuk
mendapatkan efek sinergis dengan menggabungkan manfaat yang berbeda
dari kedua golongan obat tersebut, sehingga meningkatkan efektivitas
dalam memperbaiki gejala dan mencegah perkembangan penyakit.

Waktu yang diperlukan oleh α1-blocker untuk memberikan efek klinis


adalah beberapa hari, sedangkan 5α-reductase inhibitor membutuhkan

27
beberapa bulan untuk menunjukkan perubahan klinis yang signifikan. Data
saat ini menunjukkan terapi kombinasi memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan monoterapi dalam risiko terjadinya retensi urine akut dan
kemungkinan diperlukan terapi bedah. Akan tetapi, terapi kombinasi juga
dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping.

Terapi kombinasi ini diberikan kepada orang dengan keluhan LUTS


sedang-­‐berat dan mempunyai risiko progresi (volume prostat besar, PSA
yang tinggi (>1,3 ng/dL), dan usia lanjut). Kombinasi ini hanya
direkomendasikan apabila direncanakan pengobatan jangka panjang (>1
tahun).

a. 2 α1‐blocker + antagonis reseptor muskarinik

Terapi kombinasi α1‐blocker dengan antagonis reseptor muskarinik


bertujuan untuk memblok α1‐adrenoceptor dan cholinoreceptors
muskarinik (M2 dan M3) pada saluran kemih bawah. Terapi kombinasi ini
dapat mengurangi frekuensi berkemih, nokturia, urgensi, episode
inkontinensia, skor IPSS dan memperbaiki kualitas hidup dibandingkan
dengan α1-blocker atau plasebo saja. Pada pasien yang tetap mengalami
LUTS setelah pemberian monoterapi α1‐blocker akan mengalami
penurunan keluhan LUTS secara bermakna dengan pemberian anti
muskarinik, terutama bila ditemui overaktivitas detrusor (detrusor
overactivity).

Efek samping dari kedua golongan obat kombinasi, yaitu α1‐blocker


dan antagonis reseptor muskarinik telah dilaporkan lebih tinggi
dibandingkan monoterapi. Pemeriksaan residu urine harus dilakukan
selama pemberian terapi ini.

28
3. Pembedahan

Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan


komplikasi, seperti:

1. retensi urine akut;


2. gagal Trial Without Catheter (TwoC);
3. infeksi saluran kemih berulang;
4. hematuria makroskopik berulang;
5. batu kandung kemih;
6. penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH;
7. dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih
bagian atas.

Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga
berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan
pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa.

1. Invasif Minimal
a) Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan pada pasien BPH
dengan volume prostat 30‐80 ml. Akan tetapi, tidak ada batas maksimal
volume prostat untuk tindakan ini di kepustakaan, hal ini tergantung dari
pengalaman spesialis urologi, kecepatan reseksi, dan alat yang digunakan.
Secara umum, TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan
meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.
Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa perdarahan
yang memerlukan transfusi ( 0-9%), sindrom TUR (0‐5%), AUR (0-
13,3%), retensi bekuan darah (0‐ 39%), dan infeksi saluran kemih (0-
22%).. Sementara itu, angka mortalitas perioperatif (30 hari pertama)
adalah 0,1. Selain itu, komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi
meliputi inkontinensia urin (2,2%), stenosis leher kandung kemih (4,7%),
striktur urethra (3,8%), ejakulasi retrograde (65,4%), disfungsi ereksi (6,5-
­‐14%), dan retensi urin dan UTI.

29
b) Laser Prostatektomi
Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu:
Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser, Thulium:YAG
(Tm:YAG), dan diode. Kelenjar prostat akan mengalami koagulasi pada
suhu 60‐650C dan mengalami vaporisasi pada suhu yang lebih dari 1000C.
Penggunaan laser pada terapi pembesaran prostat jinak dianjurkan
khususnya pada pasien yang terapi antikoagulannya tidak dapat
dihentikan.

c) Lain‐lain
Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) atau insisi leher kandung
kemih (bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang
ukurannya kecil (kurang dari 30 ml) dan tidak terdapat pembesaran lobus
medius prostat. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan
meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP.
Thermoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan >45oC sehingga
menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas
dihasilkan dari berbagai cara, antara lain adalah Transurethral Microwave
Thermotherapy (TUMT), Transurethral Needle Ablation (TUNA), dan
High Intensity Focused Ultrasound (HIFU). Semakin tinggi suhu di dalam
jaringan prostat, semakin baik hasil klinik yang didapatkan, tetapi semakin
banyak juga efek samping yang ditimbulkan. Teknik thermoterapi ini
seringkali tidak memerlukan perawatan di rumah sakit, tetapi masih harus
memakai kateter dalam jangka waktu lama. Angka terapi ulang TUMT
(84,4% dalam 5 tahun) dan TUNA (20-50% dalam 20 bulan).
Stent dipasang intraluminal di antara leher kandung kemih dan di
proksimal verumontanum, sehingga urine dapat melewati lumen uretra
prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Stent
yang telah terpasang bisa mengalami enkrustasi, obstruksi, menyebabkan
nyeri perineal, dan disuria.

30
2. Operasi Terbuka

Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal


(Hryntschack atau Freyer) dan retropubik (Millin).Pembedahan terbuka
dianjurkan pada prostat yang volumenya lebih dari 80 ml.

Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasif dengan


morbiditas yang lebih besar. Penyulit dini yang terjadi pada saat operasi
dilaporkan sebanyak 7-14% berupa perdarahan yang memerlukan transfusi.
Sementara itu, angka mortalitas perioperatif (30 hari pertama) adalah di bawah
0,25%. Komplikasi jangka panjang dapat berupa kontraktur leher kandung
kemih dan striktur uretra (6%) dan inkontinensia urine (10%).

3. Lain‐Lain
1. Trial Without Catheterization (TwoC)
TwoC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih
secara spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan, pasien
kemudian diminta dilakukan pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin. TwoC
baru dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian α1‐blocker selama
minimal 3‐7 hari. TwoC umumnya dilakukan pada pasien yang mengalami
retensi urine akut yang pertama kali dan belum ditegakkan diagnosis pasti.
2. Clean Intermittent Catheterization (CIC)
CIC adalah cara untuk mengosongkan kandung kemih secara intermiten baik
mandiri
maupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum kateter menetap dipasang
pada pasien-pasien yang mengalami retensi urine kronik dan mengalami
gangguan fungsi ginjal ataupun hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam
lingkungan bersih ketika kandung kemih pasien sudah terasa penuh atau secara
periodik.
3. Sistostomi
Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak dapat
dilakukan, sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan cara
pemasangan kateter khusus melalui dinding abdomen (supravesika) untuk
mengalirkan urine.

31
4. Kateter menetap
Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah dan sering
digunakan untuk menangani retensi urine kronik dengan keadaan medis yang
tidak dapat menjalani tidakan operasi.

32
BAB III
ANALISA KASUS

Sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sulit kencing,
kencing menetes,tidak lampias, apabila ingin kencing tidak bisa ditahan , dan
kadang harus mengedan saat BAK. Bila siang hari bisa lebih dari 5 kali kencing
dan pada malam hari penderita sering terbangun untuk kencing (bisa 3-4 kali
semalam). Keluhan awalnya dirasakan sejak kurang lebih 3 tahun yang lalu.
Gejala-gejala tersebut mengarahkan bahwa adanya obstruksi pada salura kemih
terutama pada prostat.
Pada pasien, tidak terdapat gejala hiperkatabolisme seperti penurunan berat
badan drastis ataupun penambahan ukuran massa yang cepat, tidak pula terdapat
gejala perdarahan saat BAK. Hal tersebut membedakan antara adanya pembesaran
prostat akibat keganasan dengan pembesaran prosat jinak, Selain itu tidak adanya
gejala hiperkatabolisme pada pasien ini menghapuskan kemungkinan keganasan
walapun pada CA prostat stadium awal hampir tidak ditemukan gejala yang khas.
Tidak terdapat keluhan-keluhan yang menandakan adanya komplikasi pada
pasien berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang,
dan demam.
Pada pemeriksaan fisik status generalis ditemukan TD 130/80. Pemeriksaan
status lokalis pada rektal toucher ditemukan TSA baik, prostat teraba membesar,
simetris, bagian atas tidak teraba konsistensi kenyal dan tidak ditemukan nodul
ataupun nyeri tekan temuan tersebut mengarahkan pada klnis yang ditemukan
pada prostat dengan BPH dan menghindari adanya kecurigaan pada CA prostat.

33
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartz’s Principles of Surgery 8th


Edition. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005
2. Mansjoer A, Suprahaita, Wardhani. 2000. Pembesaran Prostat Jinak. Dalam:
Kapita selekta Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta ; 329-344.
3. Mulyono, A. 1995. Pengobatan BPH Pada Masa Kini. Dalam :
Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 40-48.5.
4. Purnomo, Basuki B. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta : Sagung
Seto.
5. Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah.
Binarupa aksara, Jakarta ; 161-703.
6. Ramon P, Setiono, Rona, Buku Ilmu Bedah, Fakultas KedokteranUniversitas
Padjajaran ; 2002: 203-75.
7. Sabiston, David. Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih bahasa : Petrus. Timan.
EGC. 1994.
8. Sjafei, M. 1995. Diagnosis Pembesaran Prostat Jinak. Dalam :
Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta ; 6-17
9. Sjamsuhidajat R, De Jong W. 1997. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar
Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997; 1058-64.
10. Umbas, R. 1995. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak.
Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 1-52.
11. Mochtar. C. A. dkk, 2015. Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran
Prostat Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia/BPH) Edisi ke‐2. IAUI, Jakarta

34

Anda mungkin juga menyukai