Disusun Oleh :
dr. Diah Eka Permanawati
2017
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit pembesaran prostat jinak (Benign Prostatic Hyperplasia, BPH)
merupakan kelainan yang sering dijumpai di klinik urologi di banyak negara. Di
Sub bagian urologi FKUI/RSCM, BPH menempati urutan kedua setelah penyakit
batu saluran kemih. Setiap tahun ditemukan antara 200 sampai 300 penderita baru dengan
BPH .
Pertumbuhan kelenjar prostat tidak berhenti pada usia dewasa tetapi terus
berlanjut sepanjang hidup. Pada saat lahir, berat prostat sekitar 1 gram, pada masa
pubertas kelenjar prostat tumbuh secara cepat dan mencapai berat sekitar 20 gram
pada usia 20 - 30 tahun. Adanya tanda-tanda histopatologi BPH sudah dapat
dijumpai pada laki-laki berusia 60 tahun diperkirakan 50% kemungkinan untuk
ditemukannya BPH secara histologis dan kemungkinan ini meningkat menjadi
sekitar 80% pada usia 80 tahun bahkan 100% pada usia 90 tahun. Walaupun
banyak pada laki-laki dapat ditemukan adanya BPH secara histologis, hanya pada
setengah diantara meraka dapat ditemukan pembesaran prostat secara
makroskopis dan pada akhirnya sekitar 25% dari penderita. Penderita ini
memerlukan pembedahan untuk mengatasi adanya sumbatan saluran kemih.
Kelenjar periuretral yang mengalami hiperplasi akan mendesak jaringan
prostat yang asli ke periper dan menjadi surgical capsul. Menurut teori sel stem,
faktor usia dan gangguan keseimbangan hormonal akan mempercepat proliferasi
sel stem sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral, teori reawakening
mengatakan jaringan akan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat
embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan
sekitarnya.
2
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mempelajari kasus BPH,
sehingga dapat menegakkan diagnosis, dan dapat menentukan penatalaksanan yang
tepat yang bisa diberikan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Tn. N
Umur : 74 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jelat, Pataruman
MRS : 20 Juli 2017
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
4
DM : disangkal
Riwayat trauma regio perineum : disangkal
Kencing keluar batu : disangkal
Kencing keluar darah : disangkal
D. Riwayat Keluarga
Asma : Disangkal
Hipertensi : Disangkal
Jantung : Disangkal
DM : Disangkal
5
Auskultasi : Peristaltik baik
Ekstremitas : Akral hangat, Nadi kuat.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : Darah Rutin (Hemoglobin, Leukosit, Hematokrit, Trombosit,
Eritrosit ) GDS, kreatinin, Ureum.
6
VI. RESUME
Seorang pria berusia 74 tahun ke IGD RSUD KOTA BANJAR pada
tanggal 20 Juli 2017. Penderita mengeluh sulit buang air kecil sejak 2 minggu
SMRS, BAK menetes (+), sering terasa masih bersisa (tidak lampias), BAK
sedikit-sedikit, terputus dan pancarannya lemah. Penderita juga sering
terbangun malam-malam untuk BAK (bisa 3-4 kali semalam). Penderita sudah
berobat ke dokter, oleh dokter penderita diberi obat dan dipasang kateter, dan
tidak bisa kencing jika kateter dilepas.
Pada pemeriksaan fisik status generalis ditemukan TD 130/80.
Pemeriksaan status lokalis pada rektal toucher ditemukan TSA baik, prostat
teraba membesar, bagian atas tidak teraba konsistensi kenyal.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik pasien ini didiagnosa dengan
Retensi urin ec benign prostatic hyperplasia. Penatalaksanaan pada penderita
ini yaitu dengan pemberian ceftriaxon 1gr (IV) dan direncanakan untuk operasi
TURP.
VII. DIAGNOSIS
Retensi urin ec BPH
VIII. PENATALAKSANAAN
- Direncanakan operasi elektif
- Persiapan pre op Laboratorium, Rontgen Thorax, EKG
- Pasang Kateter
- IVFD Nacl 0,9 % 20 tpm
- Ceftriaxone 1 1 g (iv)
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Benign Prostatic Hyperplasia merupakan pertumbuhan jinak pada kelenjar
prostat, yang menyebabkan prostat membesar. Kelenjar prostat adalah salah satu
organ genitalia pria yang terletak disebelah inferior buli-buli dan membungkus
uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars
prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa + 20
gram.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron, yang di
dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi metabolit aktif
(DHT) dengan bantuan enzim 5α – reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang
secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk
mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna.
Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80%
pria yang berusia 80 tahun. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan
terganggunya aliran urine sehingga menimbulkan gangguan miksi.
BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan
meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.1 Angka kejadian BPH di
Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital
prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-
‐2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-‐rata umur penderita berusia 66,61
tahun.
8
STRUKTUR DAN ZONA ANATOMI
Prostat terdiri atas kelenjar (50%) dan jaringan ikat fibromuscular (25%
myofibril otot polos dan 25% jaringan ikat). Jaringan fibromuscular ini tertanam
mengelilingi prostat dan berkontrasi selama proses ejakulasi untuk mengeluarkan
sekresi prostat ke dalam urethra. Kelenjar prostat adalah modifikasi bagian
dinding urethra.
9
dari lengkungan ini membagi urethra prostatika secara anatomi dan fungsional
menjadi bagian proksimal (preprostat) dan distal (prostat) Pada bagian proximal,
otot polos sirkuler menebal untuk membentuk spinkter urethra internum.
Pada lengkungan urethra, seluruh bagian utama kelenjar prostat terbuka sampai
ke urethra prostatika. Ujung urethra melebar dan menonjol dari dinding posterior
disebut verumontanum. Celah orificium kecil dari utrikulum prostat ditemukan
pada bagian apex dari verumontanum dan terlihat melelui sistoskopi. Utrikulum
panjangnya 6 mm sisa mullerian terbentuk dari kantong kecil yang terproyeksi ke
atas dan bawah prostat.
Pada pria dengan kelamin ganda, bisa terbentuk suatu divertikulum panjang
yang menonjol pada bagian posterior prostat. Pada bagian lain dari orificium
utrikula, 2 pembukaan kecil pada duktus ejakulatorius bisa terlihat. Duktus
ejakulatorius terbentuk dari persambungan vas deferens dengan vesikula seminalis
dan masuk ke basis prostat yang bergabung dengan vesica urinaria.
Dibawah sel epitel, sel basal terletak sejajar setiap asinus dan akan menjadi
stem sel untuk epitel sekretorius. Setiap asinus terlindungi oleh otot polos yang
tipis dan jaringan ikat.
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma
fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
10
b. Zona Perifer (Glandula prostatica propria)
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar
prostat. Sekitar 70% kanker prostat timbul pada zone ini dan umumnya
disebabkan oleh prostatitis kronik.
c. Zona Sentralis
d. Zona Transisional.
11
ETIOLOGI
1. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting
pada pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel
prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang
telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks
DHT-RA pada inti dan sel selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang
menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas
enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih
banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
12
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa
prostat jadi lebih besar.
6. Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma
pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular
budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona
13
preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang
terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan
adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa
tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari
jaringan sekitarnya.
FAKTOR RISIKO
Faktor risiko yang paling berperan dalam BPH adalah usia, selain adanya testis
yang fungsional sejak pubertas (faktor hormonal). Dari berbagai studi terakhir
ditemukan hubungan positif antara BPH dengan riwayat BPH dalam keluarga,
kurangnya aktivitas fisik, diet rendah serat, konsumsi vitamin E, konsumsi daging
merah, obesitas, sindrom metabolik, inflamasi kronik pada prostat, dan penyakit
jantung.
PATOFISIOLOGI
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala
yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak
uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra
vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan
kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha
adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun
kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis,
yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.
14
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Hiperplasia Prostat
↓
Penyempitan lumen uretra posterior
↓
Tekanan intravesika meningkat
↓ ↓
Trabekulasi Hidroureter
Selula Hidronefrosis
dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar
di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil
dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor
adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan
akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan
disfungsi saluran kemih atas.
15
Gambar. Penyulit hyperplasia prostat pada saluran kemih
MANIFESTASI KLINIS
Dengan BPO, gejala biasanya muncul secara bertahap selama beberapa tahun.
Pasien sering mengalami buang air kecil yang mendesak. Gejala terutama
mengganggu di malam hari dan mengganggu tidur. Endapan gejala sering muncul
secara bersamaan, tetapi tidak terlalu mengganggu pasien awalnya. Gejala
mungkin termasuk: aliran urin lemah, sulit untuk memulai buang air kecil,
mengosongkan kandung kemih membutuhkan waktu lebih lama, gangguan dalam
aliran urin, berusaha mengosongkan kandung kemih, dan sensasi yang kandung
kemih tidak sepenuhnya kosong.
Obstruksi Iritasi
Hesistansi Frekuensi
Pancaran miksi lemah Nokturi
Intermitensi Urgensi
Miksi tidak puas Disuria
Distensi abdomen Urgensi dan disuria jarang
Terminal dribbling (menetes) terjadi, jika ada disebabkan
Volume urine menurun oleh ketidakstabilan detrusor
Mengejan saat berkemih sehingga terjadi kontraksi
involunter.
16
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih
tergantung tiga faktor, yaitu:
Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh factor pencetus antara lain :
17
Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-
pertanyaan untuk menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala iritatif.
Total skor dapat berkisar antara 0-29. Skor <> 20 berat. Perbedaannya dengan skor
AUA adalah dalam skor Madsen Iversen penderita tidak menilai sendiri derajat
keluhannya. Perbedaan ini yang mendasari mengapa skor Madsen-Iversen
digunakan di Sub Bagian Urologi RSUPN Cipto Mangunkusumo.3
18
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Merupakan penyulit dari hiperplasi prostat, berupa gejala obstruksi antara lain
nyeri pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis), demam (infeksi/ urosepsis).
19
Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual
dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner & Suddarth, 2001).
Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi
kurang dari 100 ml.
Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan
sisa urin lebih dari 100 ml.
PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Urologis
- Ginjal
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi adanya obstruksi
atau tanda infeksi.1
- Kandung kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi untuk menilai
isi kandung kemih, ada tidaknya tanda infeksi.
Adakah asimetri
20
Adakah nodul pada prostat
Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih dapat diraba
biasanya besar prostat diperkirakan <60 gr.
Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal atau normal (
ingat tidak ada korelasi antara besar prostat dengan obstruksi yang
ditimbulkannya), permukaan licin dan konsistensi kenyal.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian
atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis
akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat
teraba apabila sudah terjadi retensi total, buli-buli penuh (ditemukan massa supra
pubis) yang nyeri dan pekak pada perkusi. Daerah inguinal harus mulai
diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula
diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat
menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior,
fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.
21
Derajat berat obstruksi
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin
setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih
dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan
ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100cc biasanya
dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan intervensi pada hipertrofi
prostat.Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin
pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih rata-
rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada
obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6 – 8 ml/detik, sedangkan maksimal
pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.
PEMERIKSAAN
1. Laboratorium
22
2. Pencitraan
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih,
adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-
buli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urin.
Pemeriksaan PIV dapat menerangkan kemungkinan adanya: (1) kelainan pada
ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, (2) memperkirakan
besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya indentasi prostat
(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter disebelah distal yang
berbentuk seperti mata kail atau hooked fish, dan (3) penyulit yang terjadi pada
buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau sakulasi buli-buli.
3. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara
mengukur :
Residual urin yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin ini dapat dihitung
dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi.
Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)
atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran
urin.
DIAGNOSIS
Diagnosis BPH ditegakkan dengan anemnesis berupa penderita laki-laki yang
berusia tua, sulit atau tidak bisa buang air kecil, buang air kecil tidak puas, sering
buang air kecil, menetes setelah buang air kecil. Pemeriksaan fisik pada pasien
23
BPH menunjukkan ada pembesaran pada suprasimfisis akibat vesika urinaria yang
terisi oleh urin. Pemeriksaan rektal toucher menunjukkan adanya pembesaran
prostat, tanpa nodul, simetris, dan konsistensi yang kenyal.
TERAPI
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien. Terapi
yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan
pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya adalah: (1) konservatif
(watchful waiting), (2) medikamentosa, (3) pembedahan (Tabel1), dan (4) lain-
lain (kondisi khusus).
1. Konservatif
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak
mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh
dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari‐hari.
Pada watchful waiting ini, pasien diberi penjelasan mengenai segala sesuatu hal
yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
24
1. jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan
malam,
2. kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada
kandung kemih (kopi atau cokelat),
3. batasi penggunaan obat‐obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin,
4. jangan menahan kencing terlalu lama.
5. penanganan konstipasi
Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3‐6 bulan) untuk menilai
perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume residu
urine. Jika keluhan berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan untuk memilih
terapi yang lain.
2. Medikamentosa
a. α1-blocker
Pengobatan dengan α1‐blocker bertujuan menghambat kontraksi otot
polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih
dan uretra. Beberapa obat α1‐blocker yang tersedia, yaitu terazosin,
doksazosin, alfuzosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari.
Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan
voiding symptom dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih hingga
30‐45% atau penurunan 4‐6 skor IPSS dan Qmax hingga 15‐30%.1‐3 Tetapi
obat α1‐blocker tidak mengurangi volume prostat maupun risiko retensi
urine dalam jangka panjang.
Masing‐masing α1‐blocker mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap
sistem kardiovaskuler yang berbeda (hipotensi postural, dizzines, dan
25
asthenia) yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan.
Penyulit lain yang dapat terjadi adalah ejakulasi retrograd. Salah satu
komplikasi yang harus diperhatikan adalah intraoperative floppy iris
syndrome (IFIS) pada operasi katarak dan hal ini harus diinformasikan
kepada pasien.
b. 5α‐reductase Inhibitor
5α‐reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis
sel epitel prostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 20 –
30%. 5a‐reductase inhibitor juga dapat menurunkan kadar PSA sampa 50%
dari nilai yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini
kanker prostat. Saat ini, terdapat 2 jenis obat 5α-reductase inhibitor yang
dipakai untuk mengobati BPH, yaitu finasteride dan dutasteride. Efek klinis
finasteride atau dutasteride baru dapat terlihat setelah 6 bulan. Finasteride
digunakan bila volume prostat >40 ml dan dutasteride digunakan bila
volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi pada pemberian
finasteride atau dutasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi disfungsi
ereksi, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak‐bercak
kemerahan di kulit.
26
penggunaan antimuskarinik dipertimbangkan jika penggunaan α‐blocker
tidak mengurangi gejala storage.
Penggunaan antimuskarinik dapat menimbulkan efek samping, seperti
mulut kering (sampai dengan 16%), konstipasi (sampai dengan 4%),
kesulitan berkemih (sampai dengan 2%), nasopharyngitis (sampai dengan
3%), dan pusing (sampai dengan 5%).
d. Phospodiesterase 5 inhibitor
e. Terapi Kombinasi
a. 1 α1-blocker + 5α‐reductase inhibitor
27
beberapa bulan untuk menunjukkan perubahan klinis yang signifikan. Data
saat ini menunjukkan terapi kombinasi memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan monoterapi dalam risiko terjadinya retensi urine akut dan
kemungkinan diperlukan terapi bedah. Akan tetapi, terapi kombinasi juga
dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping.
28
3. Pembedahan
Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga
berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan
pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa.
1. Invasif Minimal
a) Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan pada pasien BPH
dengan volume prostat 30‐80 ml. Akan tetapi, tidak ada batas maksimal
volume prostat untuk tindakan ini di kepustakaan, hal ini tergantung dari
pengalaman spesialis urologi, kecepatan reseksi, dan alat yang digunakan.
Secara umum, TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan
meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.
Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa perdarahan
yang memerlukan transfusi ( 0-9%), sindrom TUR (0‐5%), AUR (0-
13,3%), retensi bekuan darah (0‐ 39%), dan infeksi saluran kemih (0-
22%).. Sementara itu, angka mortalitas perioperatif (30 hari pertama)
adalah 0,1. Selain itu, komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi
meliputi inkontinensia urin (2,2%), stenosis leher kandung kemih (4,7%),
striktur urethra (3,8%), ejakulasi retrograde (65,4%), disfungsi ereksi (6,5-
‐14%), dan retensi urin dan UTI.
29
b) Laser Prostatektomi
Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu:
Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser, Thulium:YAG
(Tm:YAG), dan diode. Kelenjar prostat akan mengalami koagulasi pada
suhu 60‐650C dan mengalami vaporisasi pada suhu yang lebih dari 1000C.
Penggunaan laser pada terapi pembesaran prostat jinak dianjurkan
khususnya pada pasien yang terapi antikoagulannya tidak dapat
dihentikan.
c) Lain‐lain
Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) atau insisi leher kandung
kemih (bladder neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang
ukurannya kecil (kurang dari 30 ml) dan tidak terdapat pembesaran lobus
medius prostat. TUIP mampu memperbaiki keluhan akibat BPH dan
meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP.
Thermoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan >45oC sehingga
menimbulkan nekrosis koagulasi jaringan prostat. Gelombang panas
dihasilkan dari berbagai cara, antara lain adalah Transurethral Microwave
Thermotherapy (TUMT), Transurethral Needle Ablation (TUNA), dan
High Intensity Focused Ultrasound (HIFU). Semakin tinggi suhu di dalam
jaringan prostat, semakin baik hasil klinik yang didapatkan, tetapi semakin
banyak juga efek samping yang ditimbulkan. Teknik thermoterapi ini
seringkali tidak memerlukan perawatan di rumah sakit, tetapi masih harus
memakai kateter dalam jangka waktu lama. Angka terapi ulang TUMT
(84,4% dalam 5 tahun) dan TUNA (20-50% dalam 20 bulan).
Stent dipasang intraluminal di antara leher kandung kemih dan di
proksimal verumontanum, sehingga urine dapat melewati lumen uretra
prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Stent
yang telah terpasang bisa mengalami enkrustasi, obstruksi, menyebabkan
nyeri perineal, dan disuria.
30
2. Operasi Terbuka
3. Lain‐Lain
1. Trial Without Catheterization (TwoC)
TwoC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat berkemih
secara spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter dilepaskan, pasien
kemudian diminta dilakukan pemeriksaan pancaran urin dan sisa urin. TwoC
baru dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian α1‐blocker selama
minimal 3‐7 hari. TwoC umumnya dilakukan pada pasien yang mengalami
retensi urine akut yang pertama kali dan belum ditegakkan diagnosis pasti.
2. Clean Intermittent Catheterization (CIC)
CIC adalah cara untuk mengosongkan kandung kemih secara intermiten baik
mandiri
maupun dengan bantuan. CIC dipilih sebelum kateter menetap dipasang
pada pasien-pasien yang mengalami retensi urine kronik dan mengalami
gangguan fungsi ginjal ataupun hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam
lingkungan bersih ketika kandung kemih pasien sudah terasa penuh atau secara
periodik.
3. Sistostomi
Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak dapat
dilakukan, sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi dilakukan dengan cara
pemasangan kateter khusus melalui dinding abdomen (supravesika) untuk
mengalirkan urine.
31
4. Kateter menetap
Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah dan sering
digunakan untuk menangani retensi urine kronik dengan keadaan medis yang
tidak dapat menjalani tidakan operasi.
32
BAB III
ANALISA KASUS
Sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sulit kencing,
kencing menetes,tidak lampias, apabila ingin kencing tidak bisa ditahan , dan
kadang harus mengedan saat BAK. Bila siang hari bisa lebih dari 5 kali kencing
dan pada malam hari penderita sering terbangun untuk kencing (bisa 3-4 kali
semalam). Keluhan awalnya dirasakan sejak kurang lebih 3 tahun yang lalu.
Gejala-gejala tersebut mengarahkan bahwa adanya obstruksi pada salura kemih
terutama pada prostat.
Pada pasien, tidak terdapat gejala hiperkatabolisme seperti penurunan berat
badan drastis ataupun penambahan ukuran massa yang cepat, tidak pula terdapat
gejala perdarahan saat BAK. Hal tersebut membedakan antara adanya pembesaran
prostat akibat keganasan dengan pembesaran prosat jinak, Selain itu tidak adanya
gejala hiperkatabolisme pada pasien ini menghapuskan kemungkinan keganasan
walapun pada CA prostat stadium awal hampir tidak ditemukan gejala yang khas.
Tidak terdapat keluhan-keluhan yang menandakan adanya komplikasi pada
pasien berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang,
dan demam.
Pada pemeriksaan fisik status generalis ditemukan TD 130/80. Pemeriksaan
status lokalis pada rektal toucher ditemukan TSA baik, prostat teraba membesar,
simetris, bagian atas tidak teraba konsistensi kenyal dan tidak ditemukan nodul
ataupun nyeri tekan temuan tersebut mengarahkan pada klnis yang ditemukan
pada prostat dengan BPH dan menghindari adanya kecurigaan pada CA prostat.
33
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
34