Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Semua bahan yang dicampurkan pada saat anda memasak makanan selama proses
pengolahannya, proses penyimpanannya, dan proses pengepakannya bisa disebut sebagai zat
aditif makanan.

Jika dilihat dari penggunaan bahan tambahan yang ditambahkan ke dalam makanan sangat
berbeda antara zaman dahulu dan zaman sekarang. Zaman dahulu manusia menggunakan bahan
alami, sedangkan zaman sekarang manusia banyak menggunakan bahan sintesis yang dibuat oleh
pabrik.

Berdasarkan dengan fungsi pada zat aditif makanan bisa dikategorikan beberapa jenis,
meliputi pewarna, pengawet, pemanis, antioksidan, penyedap, pemutih, penambah gizi, perenyah
dan pengisi, pengering, pemantap, pencegah buih, pengkilap, dan pencegah lengket.

Dalam penggunaan zat aditif seperti halnya sintesis wajib melalui tahap pengujian di
laboratorium dan mendapat pengawasan yang sangat ketat, sehingga dipakai sesuai kadar yang
dibutuhkan dan yang menjadi poin penting yakni tidak mempunyai dampak yang buruk bagi
tingkat kesehatan manusia sebagai pengguna sekaligus pengonsumsinya.

Agar makanan yang tersaji tersedia dalam bentuk yang lebih menarik, rasa enak, rupa dan
konsistensinya baik serta awet maka sering dilakukan penambahan bahan tambahan makanan
yang sering disebut zat aditif kimia (food aditiva). Adakalanya makanan yang tersedia tidak
mempunyai bentuk yang menarik meskipun kandungan gizinya tinggi.

Dalam proses pengolahan makanan, produsen selalu mengusahakan untuk menghasilkan


makanan yang disukai dan berkualitas baik. Oleh karena itu, biasanya produsen sering
menambahkan Bahan Tambahan Pangan (BTP) ke dalam makanan. Penggunaan bahan tambahan
pangan (BTP) atau food additives sudah sangat meluas. Hampir semua industri pangan, baik
industri besar maupun industri rumah tangga, dipastikan menggunakan BTP. Penggunaan BTP
memang tidak dilarang asalkan bahan

1
tersebut benar-benar aman bagi kesehatan manusia dan dalam dosis yang tepat. Akan tetapi,
terdapat dua permasalahan utama dalam penggunaannya. Pertama, produsen menggunakan BTP
yang diizinkan akan tetapi melebihi dosis yang diizinkan. Kedua, produsen menggunakan bahan
yang bukan merupakan BTP. Salah satu contoh bahan yang bukan termasuk BTP tetapi sering
ditambahkan ke dalam makanan yaitu formalin

2.1Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat kandungan formalin pada sampel berbagai jenis ikan di kota Manado ?
2. Metode apa yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kandungan formalin pada ikan?
3. Bagaimana dampak penggunaan formalin pada bahan makanan (ikan) yang dilarang
menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 472/ Menkes/ Per/ V/ 1996 tentang
Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan ?

3.1Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi


kandungan formalin pada berbagai jenis ikan di kota Manado.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bahan Tambahan Pangan
Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan
merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi
sifat atau bentuk pangan antara lain bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat
dan pengental.
Didalam peraturan Mentri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88 dijelaskan juga bahwa BTP
adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan
ingredien khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi yang sengaja ditambahkan
kedalam makanan untuk maksud tekhnologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan,
pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan suatu
komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut.
Menurut Winarno 1980 BTP atau ´food additive´ yang digunakan harus mempunyai sifat-sifat
sebagai berikut: dapat mempertahankan nilai gizi makanan tersebut, tidak mengurangi zat-zat
essensial dalam makanan, dapat mempertahankan atau memperbaiki mutu makanan, dan menarik bagi
konsumen dan tidak merupakan penipuan.
Dalam kehidupan sehari-hari BTP sudah umum digunakan namun sering terjadi kontroversi
karena banyak produsen pangan yang menggunakan bahan tambahan yang berbahaya bagi kesehatan
serta melebihi dari dosis yang diizinkan dalam industri. Secara khusus tujuan penggunaan BTP dalam
pangan adalah untuk:
1. Mengawetkan makanan dengan mencegah pertumbuhan mikroba perusak pangan atau mencegah
terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan.
2. Membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah dan enak dimulut.
3. Memberikan warna dan aroma yang lebih menarik
4. Meningkatkan kualitas pangan.
5. Menghemat biaya.

3
Berdasarkan tujuan penggunaannya dalam pangan, pengelompokan BTP yang diizinkan
digunakan dalam makanan menurut peraturan Mentri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88 adalah
sebagai berikut:

1. Pewarna, yaitu BTP yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan.
Contoh pewarna sintetik adalah amaranth, indigotine, dan nafthol yellow.
2. Pemanis buatan, yaitu BTP yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan yang tidak atau
hamper tidak memiliki nilai gizi. Contohnya adalah Sakarin, Siklamat dan Aspartam.
3. Pengawet yaitu BTP yang dapat mencegah atau menghambat terjadinya fermentasi, pengasaman
atau penguraian lain pada makanan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba. Contohnya:
asam asetat, asam propionat dan asam benzoat.
4. Antioksidan yaitu BTP yang dapat memghambat atau mencegah proses oksidasi lemak sehingga
mencegah terjadinya ketengikan. Contohnya adalah TBHQ (tertiary butylhydroquinon).
5. Antikempal, yaitu BTP yang dapat mencegah menggumpalnya makanan serbuk, tepung atau
bubuk.contohnya adalah: kalium silikat.
6. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa, yaitu BTP yang dapat memberikan, menembah atau
mempertegas rasa dan aroma. Contohnya Monosodium Glutamate (MSG).
7. Pengatur keasaman (pengasam, penetral dan pendapar), yaitu BTP yang dapat mengasamkan,
menetralkan dan mempertahankan derajat asam makanan. Contohnya agar, alginate, lesitin dan
gum.
8. Pemutih dan pematang tepung, yaitu BTP yang dapat mempercepat proses pemutihan atau
pematangan tepung sehingga memperbaiki mutu pemanggangan. Contohnya adalah asam
askorbat dan kalium bromat.
9. Pengemulsi, pemantap dan pengental, yaitu BTP yang dapat membantu terbentuknya dan
memantapkan system disperse yang homogen pada makanan.
10. Pengeras yaitu BTP yang dapat memperkeras atau mencegah lunaknya makanan. Contohnya
adalah kalsium sulfat, kalsium klorida dan kalsium glukonat.
11. Sekuestan, yaitu BTP yang dapat mengikat ion logam yang terdapat dalam makanan, sehingga
memantapkan aroma, warna dan tekstur. Contohnya asam fosfat dan EDTA (kalsium dinatrium
edetat).
12. BTP lain yang termasuk bahan tambahan pangan tapi tidak termasuk golongan diatas. Contohnya
antara lain: enzim, penambah gizi dan humektan.

4
2.2 Pengawet Makanan

Bahan pengawet adalah sebuah zat atau bahan kimia yang ditambahkan ke dalam produk seperti
makanan, minuman, obat-obatan, cat, sampel biologis, kosmetik, kayu, dan produk lainnya untuk
mencegah terjadinya dekomposisi yang disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikroba atau oleh
perubahan kimiawi.

Secara umum, pengawetan dilakukan melalui dua cara, yaitu secara kimiawi atau fisik.
Pengawetan kimiawi melibatkan penambahan senyawa kimia ke dalam produk. Pengawetan fisik
melibatkan berbagai proses seperti pembekuan atau pengeringan. Bahan pengawet aditif makanan
mengurangi risiko keracunan makanan, mengurangi paparan mikroba, dan mempertahankan
kesegaran serta kualitas nutrisi produk tersebut. Beberapa teknik fisik untuk mengawetkan makanan
diantaranya dehidrasi, radiasi UV-C, pengeringbekuan, dan pembekuan. Teknik pengawetan kimiawi
dan fisik terkadang dikombinasikan.

Kualitas makanan ditentukan oleh cita rasa, tekstur, warna dan nilai gizi. Untuk meningkatkan
kualitas mutu nilai pangan, pengawetan makanan bisa meningkatkan kualitas produk makanan.
Seperti pada tujuan menambahkan pengawet makanan adalah memperpanjang daya simpan dengan
cara.

a. Pengawet Makanan Alami


Golongan pertama pengawet alami yang bisa diperoleh dari bahan makanan segar
seperti bawang putih, gula, garam dan asam, dan dari berbagai rempah – rempah. Aman
digunakan dalam jangka waktu yang lama dan tidak memiliki dampak buruk bagi tubuh.
Namun bahan pengawet alami ini tidak dapat mengawetkan bahan makanan dalam
jangka waktu yang lama, sehingga penggunaanya banyak digantikan dengan pengawet
makanan sintetik
b. Pengawet Makanan Buatan (sintesis )
Pengawet ini merupakan hasil sintesis secara kimia. Bahan pengawet sintetis
mempunyai sifat lebih stabil, lebih pekat dan penggunaannya lebih sedikit. Kelemahan
pengawet sitetis adalah efek samping yang ditimbulkan.

5
Pengawet sintetis dipercaya bisa menimbulkan efek negatif bagi kesehatan, seperti
memicu pertumbuhan sel kanker akibat senyawa karsinogenik dalam pengawet. Contoh dari
pengawet sintetis adalah nastrium benzoat, kalium sulfit dan nitrit. Penambahan pengawet
alami jauh lebih baik karena dampak buruknya terhadap kesehatan lebih kecil.

Pemerintah sudah memberikan daftar pengawet yang boleh digunakan dalam


makanan. Tetapi kenyataannya masih ada saja pengawet yang bukan untuk makanan yang
dicampur dalam pengan, di antaranya yang sering ditemukan di Indonesia adalah formalin
atau yang sering disebut sebagai anti basi di kalangan masyarakat.

Formalin

Formalin merupakan larutan yang tidak berwarna, memiliki bau yang menyengat, dan
mengandung 37% formaldehid dalam air. Formalin tidak diperkenankan ada dalam makanan
maupun minuman, karena dalam jangka panjang dapat memicu perkembangan sel-sel kanker,
iritasi pada saluran pernafasan, reaksi alergi, dan luka bakar. Salah satu makanan yang sering
ditambahkan formalin adalah tahu.

Karena resin formaldehida dipakai dalam bahan konstruksi seperti kayu lapis/tripleks,
karpet, dan busa semprot dan isolasi, serta karena resin ini melepaskan formaldehida pelan-
pelan, formaldehida merupakan salah satu polutan dalam ruangan yang sering ditemukan.
Apabila kadar di udara lebih dari 0,1 mg/kg, formaldehida yang terhisap bisa menyebabkan
iritasi kepala dan membran mukosa, yang menyebabkan keluarnya air mata, pusing,
teggorokan serasa terbakar, serta kegerahan.

Jika terpapar formaldehida dalam jumlah banyak, misalnya terminum, bisa


menyebabkan kematian. Dalam tubuh manusia, formaldehida dikonversi menjadi asam format
yang meningkatkan keasaman darah, tarikan napas menjadi pendek dan sering, hipotermia,
juga koma, atau sampai kepada kematiannya.

Di dalam tubuh, formaldehida bisa menimbulkan terikatnya DNA oleh protein,


sehingga mengganggu ekspresi genetik yang normal. Binatang percobaan yang menghisap
formaldehida terus-terusan terserang kanker dalam hidung dan tenggorokannya, sama juga
dengan yang dialami oleh para pegawai pemotongan papan artikel. Tapi, ada studi yang
menunjukkan apabila formaldehida dalam kadar yang lebih sedikit, seperti yang digunakan

6
dalam bangunan, tidak menimbulkan pengaruh karsinogenik terhadap makhluk hidup yang
terpapar zat tersebut.

2.3 Pembahasan Jurnal


A. JUDUL
ANALISIS KUALITATIF KANDUNGAN FORMALIN PADA BERBAGAI JENIS IKAN
DI KOTA MANADO
B. LATAR BELAKANG

Peningkatan kualitas sumber daya manusia salah satunya ditentukan oleh kualitas
pangan yang dikonsumsi. Undang-undang No.7 tahun 1996 menyatakan bahwa kualitas
pangan yang dikonsumsi harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya adalah aman,
bergizi, bermutu, dan dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat. Aman yang dimaksud disini
mencakup bebas dari pencemaran biologis, mikrobiologis, kimia dan logam berat.
Penggunaan pengawet pada bahan makanan sampai saat ini masih banyak dijumpai
akhir-akhir ini. Pengawet yang lagi ramai dibicarakan di kalangan masyarakat adalah
penggunaan formalin sebagai pengawet bahan makanan. Penggunaan bahan kimia berbahaya
dalam penanganan dan pengolahan ikan, seperti: formalin, boraks, zat pewarna, CO,
antiseptik, antibiotik (kloramfenikol, Niiro furans, OTC) semakin marak disebabkan karena
bahan pengganti pengawet tersebut kurang tersedia dan peredaran bahan kimia berbahaya
tidak terkontrol dengan baik, dapat diperoleh dengan harga murah dan sangat mudah
diperoleh.
Kesalahan fatal yang dilakukan oleh para produsen makanan adalah menggunakan
formalin sebagai bahan pengawet makanan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi
tentang formalin dan bahayanya, tingkat kesadaran kesehatan masyarakat yang masih rendah,
harga formalin yang sangat murah dan mudah untuk didapat.
Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam
amino esensial yang diperlukan oleh tubuh, di samping itu nilai biologisnya mencapai 90%,
dengan jaringan pengikat sedikit sehingga mudah dicerna. Hal paling penting adalah harganya
jauh lebih murah dibandingkan dengan sumber protein lain. Ikan juga dapat digunakan sebagai
bahan obat – obatan, pakan ternak, dan lainnya. Kandungan kimia, ukuran, dan nilai gizinya

7
tergantung pada jenis, umur kelamin, tingkat kematangan, dan kondisi tempat hidupnya
(Rabiatul, 2008).
Ikan dikenal sebagai bahan makanan yang mudah dan cepat mengalami penurunan
mutu (perishable food) karena kandungan protein dan air yang tinggi pada tubuhnya sehingga
ikan cepat membusuk. Oleh karena hal itu, banyak masyarakat yang menggunakan bahan
pengawet untuk ikan agar dapat bertahan lama. Namun penggunaan bahan pengawet yang
dilarang merupakan suatu pelanggaran karena dapat beresiko bagi yang mengkonsumsi ikan
tersebut. Oleh karena itu menarik perhatian untuk melakukan penelitian tentang analisis
formalin pada berbagai jenis ikan yang dijual di pasar tradisional dan swalayan di Kota
Manado.
C. METODE PENELITIAN

 Alat dan Bahan


 Bahan yang digunakan
Beberapa jenis ikan (ikan cakalang, ikan tude, ikan asin dan ikan teri).
Bahan kimia akuades, metanol, formaldehida 37%, pereaksi Schiff, larutan H2SO4
96%
 Alat yang digunakan
1. Erlenmeyer
2. Tabung reaksi
3. Mikro pipet
4. Labu ukur
5. Gelas ukur
6. Timbangan analitik
7. Pisau
8. Destilasi uap dan spektrofotometer

Analisis kualitatif kandungan formalin

 Prosedur kerja analisa kualitatif kandungan formalin


1. Pengambilan Sampel
Sampel ikan cakalang, ikan tude, ikan asin dan ikan teri diambil pada pasar
tradisional (pasar A dan pasar B) di Kota Manado. Kedua pasar tersebut dipilih karena
merupakan pasar terbesar di Kota Manado.

8
2. Persiapan Sampel
10 gram sampel ikan, dipotong-potong dan dihaluskan, kemudian
dimasukkan ke dalam labu destilat, ditambahkan 50 mL air, kemudian diasamkan
dengan 1 mL H3PO4 85%. Labu destilat dihubungkan dengan pendingin dan
didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu ukur 50 mL.
3. Pembuatan Pereaksi Schiff
Dilarutkan 0,2 gram fuchsin basis dalam 120 mL aquades panas, dan
didinginkan. Ditambahkan 2 mL NaHSO3 dalam 20 mL aquades, ditambahkan 2 –
3 mL HCL pekat dan diencerkan dengan aquades sampai 200 mL. Larutan yang
sudah jadi dibiarkan semalam sebelum digunakan dan disimpan pada tempat yang
terlindung dari cahaya .
4. Uji Sensitivitas Pereaksi Terhadap Larutan Standar Formalin
Larutan standard formaldehid diencerkan menjadi 0,037;3,7; 370 ppm.
Masing-masing hasil pengenceran dimasukkan ke dalam enam tabung yang
berbeda, kemudian ditambahkan pereaksi uji. Pengujian dilakukan pada rentang
konsentrasi formalin yang menunjukkan hasil positif dan negatif terhadap pereaksi.
5. Uji Kualitatif
Uji kualitatif dilakukan dengan menggunakan uji warna pereaksi Schiff.
Diambil 1 mL hasil destilat dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 mL H2SO4 96%
1:1 lewat dinding, kemudian ditambahkan 1 mL pereaksi Schiff, jika terbentuk
warna merah keunguan maka positif mengandung formalin

D. Hasil Dan Pembahasan

Pengujian Sensitivitas Pereaksi Schiff


Pengujian sensitivitas pereaksi terhadap larutan standard formalin dimaksudkan untuk
mengetahui batas konsentrasi formalin yang masih dapat terdeteksi oleh pereaksi uji.
Pengujian sensitivitas pereaksi uji dilakukan terhadap larutan formalin konsentrasi 0,037;
3,7; 370 ppm. Syafitri dkk, (2013) meneliti skrining pereaksi spot test untuk deteksi
kandungan formalin pada bahan pangan dengan peraksi Schiff memberikan hasil yang
relatif memuaskan dengan tingkat sensitivitas pereaksi hingga 10 ppm. Pengembangan
pereaksi juga dilakukan dengan menambahkan CuSO4 dapat meningkatkan sensitivitas
sampai 0,01 ppm. Dari hasil yang diperoleh pereaksi Schiff dapat mendeteksi formalin

9
hingga konsentrasi terkecil yaitu 0,037 ppm. Sensitivitas pereaksi dapat menunjukan hasil
yang baik pada kosentrasi 0,037; 3,7; 370 ppm.

Pengujian Kualitatif Formalin Pada Sampel


Dalam pengujian kualitatif, sampel terlebih dahulu didestilasi dengan tujuan untuk
memisahkan kandungan formalin yang ada dalam sampel ikan. Sebelum dilakukan proses
destilasi sepuluh gram pada masing-masing sampel ikan, dihalusakan dengan cara
diblender. Penghalusan sampel dilakukan untuk memperluas permukaan sentuh sampel,
karena luas permukaan juga mempengaruhi proses ekstraksi. Semakin kecil ukuran partikel
sampel maka luas permukaan semakin besar. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam
labu destilat, ditambahkan 50 mL aquades, kemudian diasamkan dengan 1 mL H3PO4 85%
dan dihomogenkan.
Pengujian kualitatif pada penelitian ini digunakan pereaksi Schiff untuk mengetahui
adanya formalin pada sampel. Pereaksi Schiff ini digunakan untuk menunjukan adanya
gugus aldehid. Menurut Widyaningsih dan Erni (2006), pereaksi Schiff digunakan untuk
mengikat formalin agar terlepas dari sampel, formalin juga bereaksi dengan pereaksi Schiff
menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna merah keunguan. Semakin intensif warna
yang tampak, dapat menggambarkan bahwa formalin yang terkandung dalam sampel
semakin banyak. (Kusumawati dan trisharyanti, 2004).

10
11
Dari hasil yang didapat, semua sampel ikan yang telah di analisis dengan tiga kali
pengulangan, menunjukan tidak terjadi perubahan warna menjadi ungu yang merupakan
indikator adanya gugus aldehid. Hal ini dapat dilihat dari warna yang dihasilkan yaitu
warna kuning. Warna kuning yang di dapat berasal dari warna pereaksi Schiff.
Hasil tersebut juga dilakukan uji pembanding dengan penambahan formalin pada
sampel. Formalin berkonsentrasi rendah (0,037 ppm) dengan sampel ditetesi pereaksi
Schiff mengalami perubahan dari warna bening menjadi merah muda. Hal ini menunjukan
sampel ikan dari berbagai pasar tradisional ( pasar A dan pasar B) dan pasar swalayan di
Kota Manado tidak mengandung formalin dan aman dikonsumsi oleh masyarakat Kota
Manado.
2.4Berita Acara Diskusi

Berita Acara

1. Belinda Arabella : Kenapa harus menggunakan destilasi pada percobaannya? Kenapa


bukan ekstrasi?
Jawab :
Karena destilasi reaksinya lebih cepat dan suhunya bisa diatur sedangkan ekstraksi suhunya
adalah suhu ruangan.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa :

Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa dari dua belas sampel
ikan di pasar tradisional (pasar A dan pasar B) di Kota Manado tidak mengandung formalin,
hal ini berarti ikan cakalang, ikan tude, ikan teri dan ikan asin aman untuk dikonsumsi dan baik
untuk kesehatan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. WHO. 2002. Concise International dalam pengolahan potensi lokal. Sumba
Chemocal Assessment Document 40 Tengah
Formaldehyde. Geneva : World Health Saparinto, C dan Hidayati, D. 2006. Bahan
Organization Tambahan Pangan. Yogyakarta :
Alsuhendra dan Ridawati.2013 . Bahan Kanisius
Toksik dalam Makanan. Rosda.Jakarta. Singgih, H. 2013. Uji Kandungan Formalin
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2003. Pada Ikan Asin Menggunakan Sensor
Mengenal Formalin. Jakarta: BPOM Warna Dengan Bantuan FMR. Jurnal
Cahyadi, W. 2012. Analisis dan Aspek ELTEK, Vol 11 No 01.ISSN 1693-4024.
Kesehatan Bahan Tambahan Makanan. Sudjarwo, Darmawati, A., Hariyanto V. W.
Edisi 2. Cetakan 3. Bumi Aksara. Jakarta 2007. Penetapan Kadar Formalin dalam
Fardiaz, S. 2007. Bahan Tambahan Ayam Potong dipasar Tradisional
Makanan. Institut Pertanian Bogor. Surabaya Timur. Surabaya : UNAIR
Gandjar, I. G. dan Rohman, A. 2007.Kimia Susanti, S. 2010. Penetepan Kadar
Farmasi Analisis. Cetakan Formaldehid Pada Tahu yang di Jual di
II.Yogyakarta: Pustaka pelajar. Halaman Pasar Ciputat Dengan Metode
246. Spektrofotometri Uv-Vis disertai
Kusumawati, F dan Trisharyanti D. K, I. Kolorimetri menggunakan pereaksi
Penetapan Kadar Formalin Yang Nash. Skripsi. Program Studi Farmasi,
Digunakan Sebagai Pengawet Dalam Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Bakmi Basah Di Pasar Wilayah Kota Kesehatan Universitas Islam Negeri
Surakarta. Jurnal Penelitian Sains & Syarif Hidayatulla. Jakarta.
Teknologi, Vol. 5, No. 1, 2004: 131- 140 Underwood, AL. 1990. Analisis Kimia
Miller JN and Miller JC. 2000. Statistic and Kuantitatif . Jakarta : Erlangga.
Chemometrics for Analytical Chemistry, Warsito, H., Rindiani dan Nurdyansyah, F.
4th ed. Prentice Hall : Harlow. 2014. Ilmu Bahan Makanan Dasar.
Rabiatul, A. 2008. Pengolahan dan Yogyakarta : Nurha Medika.
Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta Widyaningsih, T.D. dan Murtini, E.S. 2006.
Rahmawati, F. 2012. Aneka Ragam Alternatif Pengganti Formalin
Pengolahan Ikan. Pemberdayaan social PadaProduk Pangan. Jakarta: Trubus
untuk kegiatan pendidikan alternative Agrisarana.
14
Winarno,F.G dan Titi, S., “Bahan Tambahan
Untuk Makanan dan Kontaminasi”,
Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1992,
hal. 101 - 108.
Wiryawan, A., Retnowati, R dan Sabarudin,
A. 2007. Kimia Analitik. Malang :
Departemen Pendidikan Nasional.
Yuliarti, N. 2007. Awas! Bahaya Di Balik
Lezatnya Makanan. Andi. Yogyakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai