Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun oleh :
Wahyu Hananto
Pembimbing
Hari :
Tanggal : 2017
Pembimbing
2
DAFTAR ISI
…………………………………………………………………...
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tindakan bedah laparoskopi …………………….…………………..
3
Prosedur laparoskopi ……….……...…………..………………….....
4
Perubahan fisiologi selama laparoskopi .……………..…………. 5
1
Monitoring pada laparoskopi ………………………………….
3
2
BAB III LAPORAN KASUS …………………………………………......... 2
5
BAB IV PEMBAHASAN ………………………………………………….. 2
9
BAB V KESIMPULAN …………………………….………………………. 3
3
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 3
3
4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Tipe atresia dan tracheoesophageal fistula ……....…………………....... 4
Gambar 2. By. Ny. Tri Murni Astiti saat pemeriksaan pre operatif ………………. 21
Gambar 3. Foto OMD …………………………………………………………….. 22
Gambar 4. Babygram ……………………………………………………………... 23
Gambar 5. Kondisi post operatif di NICU ……………………………………….. 28
DAFTAR TABEL
4
Manajemen Anestesi pada Neonatus dengan Atresia Esophagus,
Pneumonia Aspirasi, dan Sepsis Early Onset
Indra C., R.Th. Supraptomo
Bagian / SMF Anestesi dan Terapi Intensif RSUD Dr. Moewardi / FK UNS Surakarta
ABSTRAK
Operasi thorakotomi repair esophagus dilakukan pada seorang bayi perempuan berusia 3 hari dengan
diagnosa atresia esophagus, pneumonia aspirasi, dan sepsis early onset. Operasi dilakukan pada
tanggal 18 April 2015. Pasien masuk dengan keluhan muntah tiap diberi minum ASI (rujukan dari RS
Pekalongan). Dari pemeriksaan diperoleh sakit sedang, compos mentis, gerak aktif, dengan status gizi
baik. Ditemukan pula gejala pneumonia aspirasi dan sepsis early onset. Pemeriksaan penunjang
ditemukan OGT tidak bisa masuk ke lambung dan adanya ronchi basah kasar pada kedua lapang
paru. Anestesi umum dilakukan dengan tehnik wake intubation. Induksi dan pelumpuh otot diberikan
setelah pasien terintubasi dan patensi jalan napas terjaga. Durante operasi pasien sempat mengalami
desaturasi akibat manipulasi pembedahan pada paru yang kemudian diatasi dengan menghentikan
manipulasi sejenak dan pemberian oksigen 100%. Posisi ETT juga diperiksa kembali. Tanda vital lain
relatif normal. Operasi berlangsung kurang lebih 3 jam dengan perdarahan minimal. Post operatif,
pasien terpasang WSD pada hemithoraks kanan dan dipindahkan ke NICU dalam kondisi tetap
terintubasi dan menggunakan ventilator mekanik. Hingga hari ketiga post operatif, ventilasi pasien
masih belum adekuat dan masih membutuhkan bantuan ventilasi mekanik. Hasil analisis gas darah
post operatif juga menunjukkan asidosis metabolik primer. Secara kesimpulan, penanganan yang
dilakukan pada kasus ini telah sesuai dengan sumber literatur yang ada.
5
BAB I
PENDAHULUAN
Prosedur bedah telah semakin maju dan modern untuk membantu pasien
dalam mengurangi trauma, morbiditas, mortalitas, dan lama rawat inap di rumah
sakit. Semua itu dengan hasil akhir berupa menurunnya biaya kesehatan yang harus
ditanggung oleh pasien. Seiring dengan meningkatnya pengetahuan tentang anatomi
dan patofisiologi, telah mengantarkan berkembangnya suatu teknik endoscopy untuk
prosedur diagnostik dan pembedahan. Diawali pada awal tahun 1970, beberapa kasus
ginekologi didiagnosa dan diterapi dengan menggunakan teknik laparoscopy.
Pendekatan endoscopy tersebut kemudian berkembang untuk cholecystectomy pada
tahun 1980. Sejak diperkenalkan pertamakali untuk prosedur laparoscopy
cholecystectomy, teknik laparoscopy telah semakin luas penggunaannya di seluruh
dunia.
1
Masalah utama pada laparoskopi berkaitan dengan efek kardiopulmoner
akibat pneumoperitoneum, absorbsi sistemik karbondioksida, insuflasi gas
ekstraperitoneal, emboli gas vena, cedera sutuktur intra abdominal yang tidak
disengaja dan posisi pasien. (Joshi, 2002)
Pada laporan kasus ini aka dibahas teknik anestesi, meliputi anestesi umum
dan regional, dimana mulai berkembang penggunaan teknik anestesi regional pada
tindakan laparoskopi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum tidakan laparoskopi dapat dibagi menjadi intra abdominal dan
ginekologi. Beberapa tindakan yang sering menggunakan teknik laparoskopi :
(Michaels, 2005)
a. Intra abdominal
Cholescystectomy
Appendectcomy
Colectomy
Inguinal hernia repair
Adrenalectomy
Nephrectomy
Prostatectomy
Pancreatectomy
Splenectomy
Liver resection
b. Ginekologi
Kehamilan ektopik
Ovarian cystectomy
Pemulihan torsi ovarium
Salphingo-oophorectomy
Hysterectomy
Myomectomy
Lymphadenectomy
B. PROSEDUR LAPAROSKOPI
3
Benefit intraoperatif :
4
Perubahan fisiologi kardiopulmoner selama laparoskopi merupakan suatu
masalah yang kompleks dan tergantung pada interaksi : (Joshi, 2002)
CO2 dapat melewati sawar darah otak dan membran sel otak sehingga dapat
mempengaruhi metabolisme sel otak. Perubahan PCO2 akan menyebabkan
perubahan yang cepat pada PH cairan serebrospinal. CO2 merupakan faktor
penting dalam regulasi aliran darah otak (CBF). Hubungan antara PCO2 dengan
CBF akan tetap linea pada PCO2 20-100 mmHg, vasodilatasi pembuluh darah
serebral akan terjadi secara maksimal pada PCO2 120 mmHg. CBF normal
berkisar 20 % dari cardiac output atau 50 ml/100 gr/menit. Setiap peningkatan
PCO2 1 mmHg pada PCO2 antara 25-100 mmHg akan meningkatkan CBF sebesar
2-4 %. Hiperkarbia akan menurunkan tahanan vaskular serebral, mengakibatkan
CBF meningkat. Keadaan hiperkarbia menyebabkan meningkatnya tekanan
intrakranial, hal ini kemungkinan dari efek sekunder vasodilatasi pembuluh darah
otak. Bila pasien diposisikan trendelenburg akan terjadi kongesti vena pada kepala
5
dan leher. Hal tersebut diperparah dengan adanya peningkatan tekanan
intraabdominal dan intrathorax.
Efek langsung atau lokal keadaan hiperkarbia pada pasien sering disamarkan
oleh berbagai perubahan sistemik diantaranya sekunder dari stimulasi sistem saraf
pusat dan sistem simpatoadrenal. Bila efek hiperkarbia sudah tampak, hasil akhirnya
akan berupa peningkatan cardiac output, laju jantung, kontraktilitas miokard, tekanan
darah, tekanan vena sentral, vasokonstriksi pembuluh darah pulmonar, dan
menurunnya resistensi perifer. Meningkatnya cardiac output diatas 50 % tidak
menaikkan tekanan darah lebih lanjut karena menurunnya resistensi pembuluh darah
perifer dan meningkatnya aliran darah ke serebral dan sirkulasi koroner. Efek
stimulasi dari hiperkarbia akan terjadi hingga PCO2 90 mmHg, diatas nilai tersebut
6
akan mengakibatkan respon yang depresi
7
fisiologis dan metabolik dalam rentang normal. Pada pasien dengan fungsi
kardiovaskular terbatas, keadaan insuflasi peritoneal dapat mengakibatkan
peningkatan signifikan pada kerja jantung. Pada situasi tersebut, dapat dilakukan
monitor transesofageal ekokardiografi sehingga memberikan estimasi fungsi
ventrikel kiri secara noninvasif.
8
Perubahan pada sistem respirasi
9
Perubahan pada sistem neuroendokrin
10
menurunnya aliran darah ke kortek ginjal dengan akibat lanjut berupa shunting ke
medula adrenal, konstriksi arteriol aferen glomerular, dan meurunnya glomerular
filtration rate (GFR). Didapatkan data bahwa pada tekanan intraabdominal lebih
dari 15 mmHg, maka aliran darah ke kortek ginjal akan menurun sebesar 60 % dan
terjadi penurunan produksi urine sebesar 50 % yang sifatnya reversibel. Pada
gasless laparoscopy, tidak terjadi penurunan produksi urine dengan pengangkatan
dinding abdominal dengan kekuatan penarikan 15 mmHg. Maka didapatkan bahwa
adanya ruang pneumoperitonium dengan tekanan intaabdominal yang meningkat
akan menyebabkan penurunan pada perfusi ginjal.
D. KOMPLIKASI LAPAROSKOPI
11
Akses awal ke dalam rongga peritoneum dilakukan dengan menggunakan
jarum Veress yang diinsersi melalui insisi subumbilikal. Karena insersi dilakukan
secara blind, ada kemungkinan terjadi kekeliruan masuknya jarum ke subkutan,
pembuluh darah, viscus, omentum, mesenterium atau retroperitoneum. Perdarahan
yang tidak terkontrol akibat cederanya pembuluh darah besar oleh instrumen
pembedahan dapat menyebabkan hipotensi. Dengan kata lain persarahan yang
tersembunyi dapat diketahui pada masa pasca operasi dengan adanya penurunan
hematokrit. Cedera pada kandung kencing dapat dihindari dengan pengosongan
buli atau dengan pemasangan kateter. Insisi minilaparotomi untuk memasukkan
trokar akan mengurangi komplikasi. (Joshi, 2002; Miller 2005)
KOMPLIKASI KARDIOVASKULER
KOMPLIKASI PULMONER
12
cardiac output, emboli CO2, pneumothorak, pneumomediastinum,
pneumoperikardium dan emfisema subkutan. (Joshi, 2002)
ANESTESI UMUM
13
menyebabkan tekanan negatif pada dada dan meningkatkan resiko
pneumothorak. IAP akan bertambah dan meningkatkan resiko perforasi oleh
instrumen pembedahan. Paralisis otot akan menurunkan IAP sesuai dengan
derajat distensi abdomen. Pemberian ventilasi dengan tekanan positif
dengan kontrol ventilasi akan dapat mempertahankan kondisi normokarbi.
Ventilasi dengan tidal volume yang besar (12-15 ml/kgbb akan mencegah
timbulnya atelaktasis dan hipoksemia dan memberikan ventilasi alveolar
serta eliminasi CO2 yang lebih efektif.
14
4. Rawat inap lebih singkat
Beberapa kondisi yang menjadi alasan pemilihan teknik anestesi regional
pada laparoskopi adalah bila anestesi umum tidak direkomendasikan, yaitu dalam
hal :
1. Pasien menolak
2. Prediksi sulit intubasi
3. Alergi terhadap obet anestesi (khususnya curare)
4. Untuk melindungi pita suara (misalnya pada penyanyi)
5. Pada kasus tertentu dimana ahli bedah ingin berkomunikasi dengan
pasien untuk pengambilan keputusan tindakan selama operasi
Pada kasus-kasus tersebut diatas perlu adanya komunikasi yang baik antara
operator dan ahli anestesi akan kepentingan anestesi, prosedur operasi dan
kemungkinan dilakukannya anestesi umum bila anestesi regional yang dilakukan
tidak maksimal. (P. Schoeffler, 2005)
ANESTESI LOKAL
15
serendah mungkin agar dapat mengurangi rasa nyeri dan gangguan ventilasi bila
memungkinkan tekanan insuflasi harus lebih rendah daripada 10-12 mmHg .
(Miller, 2005)
ANESTESI REGIONAL
16
Nyeri bahu akibat iritasi diafragma dan ketidaknyamanan karena distensi
abdomen tidak dapat diatasi secara penuh dengan teknik epidural murni.
Laparoskopi membutuhkan blok sensorik yang cukup luas (T4-L5) dan mungkin
dapat menyebabkan ketidaknyamanan. Pemberian opioid atau clonidine secara
epidural dapat memberikan anestesi yang adekuat.
Selain adanya resiko kegagalan dan potensi toksisitas akan obat anestesi
lokal, penggunaan teknik epidural pada laparoskopi memerlukan perhatian pada
problem-problem berikut : (P. Schoeffler, 2005)
17
4. Poin penting dari anestesi regional pada laparoskopi adalah bagaimana
menerapkan teknik regional ini mulai dari lamanya pemasangan alat,
monitoring dan kontak dengan pasien dengan prosedur laparoskopi itu
sendiri sehingga waktu operasi secara keseluruhan selesai dalam waktu
yang relatif singkat rata-rata 30-90 menit rata-rata.
18
Pada grup SSA, anestesi spinal dilakukan pada posisi duduk, insersi jarum
midline pada L3-4 atau L4-5 dengan jarum spinal Whitacre 27 G. Obat anestesi
lokal yang digunakan adalah lidocaine 1 % 10 mg dan sufentanil 10 µg. Saat
insuflasi CO2 pasien diposisikan Trendelenburg untuk meminimalisasi iritasi
diafragma dan nyeri bahu akibat pneumoperitoneum. Kecemasan dan rasa tidak
nyaman pada abdomen atau bahu diterapi dengan midazolam 1 mg dan fentanyl
25-50 µg IV.
Pada kelompok anestesi umum (DES) digunakan induksi propofol 2 mg/kg
IV dan fentanyl 2 µg/kg IV. Fasilitasi intubasi trakeal dengan mivacurium 0,15
mg/kg IV dan 4 % lidocaine 160 mg diberikan intratracheal diberikan sebelum
intubasi. Pemeliharaan anestesi dengan desflurane 2%-6% dengan kombinasi N 2O
65 % dalam O2 dititrasi. Ventilasi dilakukan secara mekanik. Mivacurium 0,04
mg/kg diberikan untuk pemeliharaan. Bila diperlukan dilakukan reversal dengan
neostigmin dan glikopirolat. Pada kedua teknik ini kondisi pembedahan dinilai
oleh ahli bedah.
Di Post Anesthesia Care Unit (PACU), nyeri postoperatif dikelola dengan
fentanyl 25 µg IV dan atau codeine 30-60 mg IM. Post Operative Nausea and
Vomiting (PONV) dikelola dengan dolasetron 50 mg IV.
Hasil penilaian (tabel 3) kondisi pembedahan dikatakan “good hingga
excellent” pada 9 dari 10 kasus pada grup SSA dan 10 dari 10 kasus pada DES.
Tiga pasien mengeluhksn rasa tidak nyaman pada bahu dan dua diantaranya
mendapat tambahan fentanyl IV. Hasil penilaian dengan skor Aldrete menunjukkan
grup SSA lebih baik secara bermakna dibandingkan dengan grup DES tabel 4).
Nyeri post operatif tidak didapatkan pada grup SSA, sebaliknya didapatkan pada 5
pasien grup DES. PONV ringan hingga sedang dijumpai pada 3 pasien grup SSA.
Tidak ada perbedaan bermakna dalam hal lama waktu perawatan di PACU
19
Dosis lidokain yang digunakan pada penelitian ini lebih kecil daripada dosis
konvensional. Penambahan opioid intratekal dapat mengatasi resiko blok yang
inadekuat akibat penggunaan dosis kecil lidokain. Penggunaan lidokain dengan
dosis kecil memungkinkan status hemodinamik yang lebih stabil.
dengan teknik kombinasi spinal epidural (combined spinal epidural (CSE)) pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif menahun yang menjalani operasi
laparoskopi kolesistektomi. Blok dilakukan dengan insersi jarum CSE pada ruang
interspinosum setinggi vertebra thoracal ke 10, dengan bupivacaine murni 0,5%
1,0 ml dan sulfentanil 2,5 mg (0,5ml). Sebelumnya tidak diberikan premedikasi
dan tidak diberikan pula tambahan obat sedasi dan analgesik selama operasi.
Bupivacaine 1,25 mg/ml dengan sulfentanil 1 mg/ml diberikan melalui infus
epidural kontinyu, dimulai dengan pemberian sebanyak 5 ml/jam pada saat akhir
operasi dan diteruskan hingga 2 hari. Dilaporkan terjadi penurunan tensi dari
122/84 hingga 82/67 mmHg dan denyut jantung dari 80 hingga 50 kali per menit,
namun tanpa diikuti kejadian muntah dan berespon baik pada pemberian ephedrin
10 mg. Blok sensorik terjadi setinggi T3 hingga L2 namun tanpa blok motorik dan
distress repiratorik. Operasi berlangsung selama 43 menit, dan berakhir tanpa ada
20
perubahan pada fungsi pulmoner. Pasien kembali ke rumah pada hari keempat
pasca operasi. (Zundert, 2006)
Laporan kasus ini menunjukkan teknik ini dapat diterapkan pada pasien
dengan gangguan respirasi yang berat, meskipun ada kekhawatiran akibat cedera
spinal karena lokasi tusukan yang tinggi dan kemungkinan gangguan respirasi
akibat blok saraf thorakal. (Zundert, 2006)
1. Ahli anestesi yang selalu waspada. Hal ini adalah yang paling penting
2. Monitor ventilasi, oksigenasi, sirkulasi dan temperatur tubuh pasien
3. Automated noninvasive blood pressure monitor (NIBP)
4. End-tidal carbondioxide analyzer (capnograph)
5. Probe temperatur (esofageal atau kulit)
Capnography
Capnograph merupakan alat yang paling awal dapat mendeteksi emboli gas
vena dari kelima monitor standar di atas. Hal ini ditandai dengan respon bifasik
dengan meningkatnya CO2 ekspirasi diikuti penurunan konsentrasi. (Murray,
2005)
21
Pulsatile Oxygen Saturation Monitor (SpO2)
Produksi Urine
22
Stetoskop prekordial atau esophageal dapat mendeteksi adanya emphysema
pembedahan (mediastinal, subkutis, leher) dengan terdengarnya “crackles”
23
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Ny. Sumarsih
Umur : 33 tahun
Agama : Islam
Anamnesis
Keluhan Utama: Ingin punya anak
24
suami. Pasien mengeluhkan haid tidak teratur dan kadang nyeri saat haid,pasien
sudah beberapa kali berobat ke dokter kandungan dan yang terakhir pasien
disarankan untuk berobat ke RSUD DR. Moewardi dan sampai di RS pasien di
lakukan pemeriksaan lanjutan dan disarankan untuk dilakukan laparoskopi
diagnostik
Stroke : disangkal
Pemeriksaan Fisik
• Saturasi 100%
25
• BB : 50 kg TB : 160cm
AIRWAY
• Mulut : Buka mulut > 3 jari, Malampati I , gigi dalam batas normal
BREATHING
• Perkusi : Sonor
• Auskultasi : SDV pada kedua paru, tidak didapatkan suara napas tambahan
CIRCULATION
ABDOMEN
• Inspeksi : Datar
26
• Perkusi : dalam batas normal
EKSTREMITAS
Pemeriksaan Penunjang
EKG
Rontgen Thorax :
27
Diagnosa Anestesiologi
Tatalaksana
Tatalaksana Anestesi
Pasien masuk ruang operasi pada tanggal 10 Juni 2015 pukul 07.45, dilakukan
pemasangan lead EKG, saturasi oksigen, tekanan darah, dan pengukuran suhu tubuh.
Didapatkan data tanda vital:
Operasi dimulai pada pukul 08.00 berjalan selama 30 menit dan selesai pada
pukul 08.40. Dilakukan teknik regional anestesi dengan sub arachnoid block
menggunakan agen anestesi local bupivakain 0,5% hiperbarik 15 mg dengan ajuvant
fentanyl 25mcg menggunakan jarum spinal ukuran 27G. Pucture pada L3-L4 dengan
target sampai di T4. Sebelumnya pasien diberikan premedikasi ondancetron 4mg
sebagai pencegahan mual muntah durante dan post operasi.
Durante operasi kisaran tekanan darah sistolik 91-125 mmHg, tekanan darah
diastolik 65-82mmHg, MAP 74-95 mmHg, nadi pasien 71-96 kali x/menit, dan
saturasi O2 99-100%. Temperatur tubuh pasien berkisar 35,5o C hingga 36o C.
28
Perdarahan durante operasi minimal, kurang lebih 50ml dengan volume urine total
sebanyak 150 ml Durante operasi diberikan cairan kristaloid sebanyak 650 ml.
Balance cairan durante operasi didapatkan kurang lebih +150 ml.
Komponen Jumlah
EBV 65 ml x 50 = 3250 ml
Post Operatif
29
BAB IV
PEMBAHASAN
Preoperatif
Sebelum dilakukan operasi laparaskopi, pasien telah melakukan pemeriksaan
diagnostic USG dan didapatkan hasil kista coklat ukuran 4,5 x 5,5 cm. Sebagai cara
untuk melihat patensi tuba dilakukan laparaskopi diagnostik. Dimana pemilihan
laparoskopi memiliki keuntungan yaitu berkurangnya stress respon dengan
penurunan reaktan fase akut (C-reactive protein dan interleukin-6), berkurangnya
repon metabolik dengan berkurangnya hiperglikemia dan leukositosis, berkurangnya
pergeseran cairan, sistem imun dapat dipertahankan lebih baik dan berkurangnya
ekspos dan manipulasi isi abdomen.
Status hidrasi pasien ini pada saat pre operatif baik dan tidak terdapat penyakit
komorbid yang mengganggu jalannya laparaskopi. Pasien dengan laparaskopi harus
diperhatikan status kardiopulmoner, teknik anestesi dan beberapa faktor pembedahan
meliputi : tekanan intra-abdomen, absorbsi CO2 , posisi pasien, durasi pembedahan
guna menghindari komplikasi durante laparaskopi. Rotgen thoraks pasien dalam batas
normal dan hasil EKG menunjukkan normo sinus. Durasi laparoskopi diagnostik
selama 30 menit, maka di pilih pendekatan anestesi laparoskopi dengan anestesi
regional. Tindakan laparoskopi yang singkat seperti pada laparoskopi diagnostik,
pain mapping, laparoskopi untuk infertilitas dan ligasi tuba dapat dilakukan dengan
30
anestesi lokal atau regional. Teknik anestesi regional, baik epidural maupun spinal,
dikombinasikan dengan posisi kepala lebih rendah dapat digunakan untuk laparoskopi
ginekologi tanpa gangguan bermakna pada ventilasi. Secara umum, anestesi epidural
dan spinal memberikan keuntungan dan kerugian yang sebanding. Anestesi regional
memberikan keuntungan kebutuhan obat sedasi dan narkotika minimal, relaksasi
lebih baik. Respon metabolik yang ditimbulkan akan lebih rendah pada anestesi
regional. Prosedur laparoskopi dengan teknik anestesi rogional sebaiknya tidak
digunakan pada tindakan yang membutuhkan waktu lama dan keberhasilan teknik
hal ini sangat dipengaruhi kondisi pasien yang kooperatif, ahli laparoskopi yang
terlatih dan berpengalaman, IAP dan kemiringan yang rendah.
Durante Operasi
Pasien masuk ruang operasi pada tanggal 10 Juni 2015 pukul 07.45,
dilakukan pemasangan lead EKG, saturasi oksigen, tekanan darah, dan pengukuran
suhu tubuh. Didapatkan data tanda vital dalam batas normal. Operasi dimulai pada
pukul 08.00 berjalan selama 30 menit dan selesai pada pukul 08.40. Dilakukan
teknik regional anestesi dengan sub arachnoid block menggunakan agen anestesi
local bupivakain 0,5% hiperbarik 15 mg dengan ajuvant fentanyl 25mcg
menggunakan jarum spinal ukuran 27G. Pucture pada L3-L4 dengan target sampai di
T4.
31
Walaupun blok simpatis dapat memfasilitasi timbulnya reflek vagal, vasodilatasi dan
penghindaran pemberian ventilasi tekanan positif dapat mengurangi terjadinya
perubahan-perubahan kardiovaskuler pada pneumoperitoneum.
32
didapatkan kurang lebih +150 ml.
Post Operatif
Kondisi post operatif Kondisi pasca operasi pasien dalam kondisi
hemodinamik stabil, TD 110/72 Hr 82x/menit nafas spontan dan saturasi 100%
dengan suplementasi oksigen 2 lpm,tidak ada mual dan muntah, post operasi
diberikan analgetik paracetamol 1gram/8jam intra vena. Pasien berada di ruangan
recovery selama 30 menit dan di dapatkan bromage skor 0. Pasien kembali ke
ruangan perawatan. Komplikasi laparoskopi meliputi hal yang berkaitan dengan
instrumentasi pembedahan, pneumoperitoneum dan posisi pasien. Kondisi post
operatif pasien tidak didapatkan komplikasi.
33
BAB V
KESIMPULAN
34
Telah dilakukan operasi laparoskopi diagnostik pada wanita 34 tahun dengan
ststus fisik ASA 1. Tehnik anestesi yang dilakukan adalah dengan anestesi regional.
Hasil pre operasi, durante operasi, post operasi pasien hemodinamik stabil.
Seiring dengan kemajuan teknik pembedahan, laparoskopi sekarang telah
menjadi pilihan untuk beberapa prosedur bedah karena mempunyai keuntungan pasca
operasi meliputi trauma yang minimal, nyeri yang minimal, disfungsi paru yang
minimal, pulih sadar yang lebih cepat, dan waktu tinggal di rumah sakit yang lebih
singkat.
DAFTAR PUSTAKA
35
G, Joshi. 2002. Anesthesia for laparoscopic surgery. Canadian journal of
anesthesiology, Volume 49: : R1–R5
H, Gharaibeh. 1998. Anaesthetic management of laparoscopic surgery, Eastern
Mediterranean Health Journal, Volume 4, 1st issue : 185-188
Haryoga. 2008. Anestesi pada laparoskopi cholesistektomi
IK, Michaels. 2005. Laparoscopy in :Reed AP, Yudkowitz FS, editors. Clinical case in
anesthesia. Elsevier : 217-23
JL, Joris. 2005. Anesthesia for laparoscopic surgery in Miller: Miller’s anesthesia,
Elsevier Churchil Livingstone, sixth edition
Ng, Smith G. 2002. Intraperitoneal administration of analgesia: is this practice of any
utility?. British journal of anaesthesia Vol 89/4:534-7
PH, Lennox, Vaghadia H, Henderson C. 2002. Small-dose selective spinal anesthesia
for short-duration outpatient laparoscopy: recovery characteristics compared
with desflurane anesthesia. Anesthesia analgesia, volume 94:346–50
S, Tuteja. Next article safety considerations during anesthesia in laparoscopy :
Review article, New Delhi url:
http://www.laparoscopyhospital.com/Laparoscopic_anesthesia_special_consede
ration.htm
Schellpfeffer, Crino D. 2006. Anesthesia for minimally invasive surgery in : Duke J
editor. Anestesia secrets. Mosby elsevier 3rd ed.: 494-99
Schoeffler, P. 2012, Practical training and research in gynecologic endoscopy in
Anaesthesia for gynecological endoscopy,Geneva Foundation for Medical
Education and Research. url :
http://www.gfmer.ch/Books/Endoscopy_book/Ch04_Anaesthesia.html
Scott-Conner. 2006. Intraoperative management of the laparoscopic patient in Whelan
LR, Fleshman JW, Fowler DL editors : The sages manual : perioperative care in
minimally invasive surgery. Springer science
url: http://imadeharyoga.wordpress.com/2008/06/26/anestesi-pada-laparoskopi-
cholesistektomi/
36
WB, Murray. 2005, Monitoring devices and anesthesia for laparoscopic surgery. New
textbook prevention and management of laparoendoscopic surgical
complications, 2nd edition
Zundert, Ham D, Wildsmith J. 2006. Segmental spinal anaesthesia for
cholecystectomy in a patient with severe lung disease : case report, British
Journal of Anaesthesia 96 (4): 464–6
37