Anda di halaman 1dari 167

SULIM BATAK TOBA: SEBUAH KAJIAN

KONTINUITAS DAN PERUBAHAN

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan

O
l
e
h

NAMA: BONGGUD TYSON SIDABUTAR


NIM: 070707022

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2013

0
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


1
Skripsi ini akan membahas instrument sulim mulai dari aspek

keberadaannya hingga pada berbagai fenomena yang terjadi pada fungsi dan

pengunaannya dalam kehidupan sehari-hari mulai dari masa-masa yang silam

hingga pada masa kini,dan secara lebih spesifik lagi akan memfokuskan

pembahasan pada kajian kontinuitas dan perubahan yang terjadi terhadap berbagai

aspek yang terkait dengan fungsi dan penggunaan sulim yang membawa pengaruh

besar dalam berbagai fenomena kebudayaan musikal Batak Toba.

Sulim (seruling) adalah sejenis instrumen tiup bambu yang berasal dari

daerah Batak Toba di Sumatera Utara. Dalam klasifikasi alat musik oleh Curt Sachs

dan Hornbostel, instrumen ini tergolong kepada jenis aerophone dengan spesifikasi

side blown flute yang terdiri dari sebuah lobang tiupan dan 6 (enam) buah lobang

nada. Dilihat dari karakteristik organologisnya, sulim hampir sama dengan jenis

seruling yang ada pada etnis lain pada umumnya. Yang membedakannya hanya

pada penambahan lobang yang dibalut oleh sebilah kertas tipis ataupun plastik tipis

pada pertengahan antara lobang tiupan dengan lobang nada. Lobang tambahan ini

dapat menciptakan warna bunyi yang menjadi ciri khas tersendiri dibandingkan

instrumen seruling yang lain.

Ditinjau dari aspek penggunaannya, awalnya sulim hanya tergolong kepada

sejenis solo instrumen atau instrumen tunggal yang biasa dipakai oleh seseorang

sebagai media hiburan untuk mengungkapkan perasaannya. Dalam kehidupan

1
Instrument (Kamus Musik M.Suharto,1992 : 4) dalam bahasa inggris, yaitu alat musik
yang digolongkan berdasarkan cara memakainya.

1
sehari-hari instrument ini lazim dipakai oleh seseorang diwaktu-waktu senggang

baik ketika menggembalakan kerbau, menjaga ladang/sawah, bermain ataupun saat

melakukan berbagai aktivitas lainnya. Kemudian seiring dengan perkembangan

zaman, dengan hadirnya opera Batak 2 yang dari tahun 1920-an hingga 1970-an,

sulim membawa pengaruh dan perubahan dalam hal pola pikir dan selera musik

masyarakat Batak Toba pada masa itu. Lagu-lagu opera Batak yang didominasi

oleh karya almarhum Tilhang Gultom 3 pada masa itu sangat digemari oleh

masyarakat Batak mulai dari kawula muda hingga kalangan orang tua. Sehingga

para musisi opera Batak kala itu dianggap sebagai sosok layaknya seorang artis

yang selalu dipuja-puja oleh para penggemarnya.

Sebelum hadirnya opera Batak, sulim bukanlah sebuah instrumen yang

biasa dimainkan dalam ensambel 4 . Sebab pada masa itu, hanya ada 2 jenis

ensambel yang berkembang dalam tradisi Batak Toba yakni ensambel gondang

sabangunan dan ensambel gondang hasapi, dimana di antara kedua ensambel ini

tidak mencakup sulim sebagai salah satu instrumen pendukungnya walau pun sulim

mampu berperan sebagai pembawa melodi utama dalam sebuah repertoar. Tetapi

seiring perkembangan zaman dan rasa musikal masyarakat Batak Toba pada masa

itu maka terjadilah sedikit pergeseran dimana instrumen sulim dan taganing mulai

dipadukan dengan instrumen-instrumen yang ada dalam ensambel gondang hasapi.

Dalam ensambel ini, sulim berperan sebagai pembawa melodi penuh disamping

instrumen lain yang juga pembawa melodi utama seperti hasapi inang (lute),

2
Opera Batak merupakan seni pertunjukan masyarakat Batak Toba yang
melibatkan/menggabungkan seni teater, musik, tari, dan nyanyian (vokal)
3
Seorang pelopor musik dan lagu Opera Batak
4
Ensambel/Ansambel (Kamus Musik M. Suharto,1992 : 4) dalam bahasa perancis adalah
kelompok kegiatan seni musik dengan jenis kegiatan seperti tercantum dalam sebutannya. Biasanya
tampil sebagai kerjasama pesertanya dibawah pimpinan seorang pelatih.

2
sarune etek (oboe) dan garantung (xylophone). Selain sebagai pembawa melodi,

sulim juga berperan sebagai pembawa melodi variatif yang mampu keluar dari

wilayah nada pokok sebagai wujud dari improvisasi nada-nada yang dimainkan

baik dari sebuah lagu maupun repertoar sesuai kemampuan pemainnya. Menurut

para narasumber pemusik tradisional Batak Toba, masuknya sulim ke dalam

gondang hasapi merupakan pengaruh dari ensambel musik opera Batak yang

disebut dengan uning-uningan.

Selain itu, sulim termasuk instrumen yang unik jika dibandingkan dengan

instrumen tradisi Batak Toba lainnya. Salah satu keunikannya adalah, sulim mampu

mengubah sebuah tradisi yang sudah dilestarikan bertahun-tahun tanpa mengubah

ciri khas dari instrumen itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat melalui berbagai aspek

yang menunjukkan bahwa betapa pentingnya sulim hadir dalam sebuah kajian

musikologis khususnya dalam Budaya Batak. Sebagai bukti selain dari pada

beberapa fakta di atas adalah ;

Pertama, selain memberikan pengaruh pada era opera Batak sulim juga

hadir dalam formasi Brass Band atau dikenal dengan ensambel Musik Tiup Logam5

yang juga digemari pada masa itu dimana ensambel ini acapkali dipakai dalam

setiap acara adat orang Batak. Dalam konteks ini, sulim berperan sebagai pembawa

melodi yang pada akhirnya mampu mengubah tradisi musik tiup yang didominasi

oleh instrumen tiup modern dari Eropa menjadi sebuah formasi yang lebih

sederhana yang dikenal dengan istilah ‘Sulkibta’ (sulim, kibot, taganing) atau

‘Sulkib’ (sulim, kibot) saja, sehingga berbagai instrumen tiup dari Eropa tersebut

jadi sangat jarang dipakai;

5
Musik tiup logam merupakan ensambel yang terdiri seperangkat alat musik tiup logam
yang tersaji dalam bentuk semi combo band yang terdiri dari instrumen terompet, trombone,
saxofon, tuba, dan 1 set drum yg terbuat dari logam.

3
Kedua, sulim tidak hanya memberikan pengaruh dalam eksistensi opera

Batak atau pun musik tiup dalam konteks hiburan maupun adat, tetapi sulim juga

hadir dalam perkembangan Musik Gereja. Hal ini dapat kita lihat ketika sulim

dipakai sebagai salah satu intrumen pengiring lagu-lagu ibadah ketika ada perayaan

tertentu di dalam sebuah gereja atau pun dalam perayaan akbar di luar gereja sekali

pun seperti Perayaan Hari Besar Agama Kristen dan acara Kebangkitan

Kebangunan Rohani (KKR) jemaat Kristiani.

Selain dari itu, sulim juga sudah sering dipakai sebagai salah satu media

pengiring lagu rohani mau pun sekuler bernuansa tradisi yang dibawakan oleh

berbagai Paduan Suara ;

Ketiga, setelah berakhirnya kejayaan opera Batak pada akhir 1970-an maka

muncullah Hits-hits Album Batak popular yang diwarnai dengan nuansa Musik

Barat yang pada masa itu didominasi oleh lagu-lagu karya almarhum Nahum

Situmorang6 dan sudah berkembang hingga pada masa kini. Seiring perkembangan

tersebut tidaklah pula warna tradisi malah menghilang dari berbagai lagu Batak

yang disajikan. Kehadiran sulim dalam mengisi setiap lagu Batak (tradisonal dan

popular) yang diciptakan menjadi keunikan tersendiri bagi setiap pendengar. Hal ini

menunjukkan bahwa sulim tidak selamanya hanya dipakai dalam memainkan

melodi sebuah lagu atau repertoar secara utuh tetapi juga mampu memainkan

sebagian atau penggalan dari beberapa repertoar tertentu untuk mengisi intro

(musik pembuka) dan interlude (musik tengah) dari sebuah lagu popular (pop) dan

tradisional Batak yang dihasilkan dalam industri rekaman ;

Keempat, selain menjadi instrumen yang sering disandingkan dengan

instrumen Batak yang lain, sulim juga mampu berperan sebagai instrumen tunggal

6
Seorang pelopor musik dan lagu Pop Batak

4
yang dapat membawakan melodi andung-andung ( nyanyian ratapan tangis) yang

seiyogianya dimainkan pada intrumen lain seperti sordam7. Namun, seiring dengan

semakin langkanya sordam maka pada masa sekarang ini alunan andung-andung

tersebut dapat dimainkan pada sulim. Hal ini dimungkinkan karena produksi nada

sulim selain dihasilkan oleh lobang nada juga dapat diproduksi melalui teknik

tiupan, sehingga karakter bunyi sordam dapat dihasilkan walau tidak terlalu persis

tapi setidaknya mirip dengan yang aslinya ;

Kelima, selain sebagai instrumen tunggal maupun instrumen yang selalu

dimainkan dengan isntrumen Batak yang lainnya, pada masa sekarang ini sulim

juga sudah sering ditampilkan dengan suguhan yang berbeda yakni mampu

berkolaborasi dengan intrumen tradisi dari berbagai sub-etnis Batak atau bahkan

etnis-etnis yang lain. Hal ini bisa terbukti dengan terbentuknya berbagai group

musik antar lintas etnis di kota Medan seperti “D’Tradisi” yang baru-baru ini sudah

mengharumkan nama baik Sumatera Utara di kancah blantika musik Indonesia, dan

juga group antar lintas etnis yang lain seperti “Group Incidental Music”,

“Metronom” serta group musik yang lainnya yang sudah tidak asing lagi dalam

mengiringi berbagai tari garapan etnis yang ada di kota Medan.

Terlepas dari gaya atau teknik yang dimainkan, instrumen sulim sudah

memberikan warna baru dan dinamika tersendiri dalam keberlangsungan atau

eksistensi musik Batak dan kolaborasi antara musik Batak dengan musik etnis

lainnya di tanah air.

Selain beberapa hal yang penulis paparkan di atas, mungkin masih banyak

lagi hal unik lain tentang pemakaian sulim yang berkembang hingga pada saat ini

7
Sejenis instrument tiup bambu Batak Toba yang lain dengan spesifikasi end blown flute
dimana lobang tiupan ada pada ujung badan instrumen yang memiliki 4 (empat) buah lobang nada.

5
yang belum penulis paparkan. Oleh karena itu, penulis masih butuh informasi atau

referensi dari berbagai sumber untuk melengkapi tulisan ini, dan dengan

memperhatikan berbagai fakta unik tentang instrumen sulim yang penulis paparkan

tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membuat sebuah kajian skripsi yang

berjudul “SULIM BATAK TOBA : SEBUAH KAJIAN KONTINUITAS DAN

PERUBAHAN”.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi topik

bahasan dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana keberadaan (eksistensi) sulim terkait dengan fungsi dan

penggunaannya ketika dimainkan dalam konteks tunggal (solo instrument),

dengan ensambel serta kolaborasi dengan instrument yang lain dalam berbagai

fenomena Budaya Batak Toba.

2. Hal-hal apa sajakah yang melatar-belakangi terjadinya perubahan dan

kontinuitas baik pada instrumen itu sendiri maupun pengaruhnya terhadap

berbagai aspek dimana instrument tersebut digunakan.

3. Bagaimana gambaran proses kontinuitas (keberlanjutan) dan perubahan yang

terjadi dari berbagai aspek tersebut.

4. Aspek apa saja yang berubah dan berlanjut dalam keberadaannya di tengah-

tengah masyarakat pendukungnya.

6
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui aspek-aspek apa sajakah yang menjadi kelebihan sulim

dibandingkan isntrumen lain sehingga mampu dimainkan dalam berbagai

konteks baik solo, ensambel, maupun kollaborasi dengan instrument lain

sehingga mampu membawa perubahan dalam berbagai fenomena budaya Batak

Toba.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya

kontinuitas dan perubahan itu sendiri.

3. Untuk memberikan gambaran umum tentang proses bagaimana kontinuitas dan

perubahan itu bisa terjadi.

4. Untuk mengetahui aspek-aspek apa saja yang berubah dan berlanjut (kontinu)

dalam proses tersebut.

1.3.2 Manfaat penelitian

Adapun beberapa manfaat yang diperoleh dan ingin dicapai dalam tulisan ni

adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para

pembaca, baik yang berada dalam disiplin etnomusikologi maupun di luar

etnomusikologi, khususnya bagi penulis sendiri dalam menambah wawasan

tentang budaya masyarakat Batak.

2. Untuk menambah referensi tentang pemahaman teori fungsional struktural serta

kajian kontinutias dan perubahan dalam berbagai fenomena kebudayaan lainnya.

7
3. Sebagai dokumentasi tambahan mengenai fenomena Budaya Batak Toba yang

bisa dipakai sebagai masukan bagi Departemen Etnomusikologi.

4. Semoga dapat digunakan oleh penulis lain yang ingin membahas tentang

masalah yang sama dengan objek yang berbeda.

5. Untuk memenuhi syarat ujian untuk mendapatkan gelar Sarjana di Departemen

Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep adalah kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang

perlu dirumuskan. Konsep juga merupakan rancangan ide atau pengertian yang

diabstrakkan dari peristiwa konkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

1991 : 431). Untuk memperjelas konsep yang akan penulis gunakan dalam

penulisan skripsi ini, maka sebaiknya perlu dijelaskan 2 (dua) hal pokok yang

menjadi topik utama dalam pembahasan yakni mengenai kajian kontinuitas dan

perubahan.

Kajian merupakan kata jadian yang terbentuk dari kata “kaji” yang berarti

mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan

mendalami. Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian kata

“kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan

dengan teliti (Badudu, 1982: 132).

Kontinuitas memiliki arti keberlanjutan, keberlangsungan, dan

kesinambungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1988). Kontinuitas

yang dimaksud di sini adalah adanya hal-hal yang masih tetap eksis, dipertahankan,

dan masih berlanjut hingga pada saat ini. Sebagai bentuk kontinuitas dapat dilihat

8
dari struktur organologis dan ciri khas bunyi serta teknik-teknik dasar dalam

memainkan sulim, dimana hingga pada saat ini hal-hal tersebut masih tetap

dipertahankan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1234), kata perubahan

berarti; hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam bahasa inggris

perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau sosial change, artinya

perubahan dalam kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial suatu

masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, dan perilaku di antara kelompok

manusia (Yandianto, 2000:656; Abdulsyani, 1995:83)

Dalam hal ini, perubahan yang dimaksud dibedakan menjadi 2 (dua) aspek

yakni aspek fisik maupun non-fisik. Aspek fisik menyangkut hal-hal yang berkaitan

dengan kondisi fisik istrumen itu sendiri, sedangkan aspek non-fisik menyangkut

fungsi dan penggunaan sulim itu sendiri dalam berbagai konteks penyajiannya.

Berbicara tentang aspek fisik, salah satu perubahan yang terjadi adalah

bahwa awalnya sulim tidaklah memiliki nada dasar tetap yang sudah ditentukan

pada masa itu, sebab sulim awalnya tidak dimainkan dalam sebuah ensambel yang

disesuaikan dengan nada dasar dan mengikuti pola akord tertentu. Sehingga

dulunya sulim memiliki bentuk ukuran yang berbeda-beda yang sifatnya bebas

tanpa harus mengikuti pola,aturan pembuatan tertentu. Dalam arti bahwa ketika itu

nada-nada yang dihasilkan oleh sulim belum sesuai dengan standardisasi nada yang

dihasilkan oleh piano.

Sedangkan pada masa kini, sulim sudah diciptakan dengan berbagai inovasi.

Tanpa harus menghilangkan ciri khas warna bunyinya, sulim sudah tersedia dengan

aturan pembuatan tertentu yang diselaraskan dengan standardisasi bunyi piano.

Tidak hanya dari kunci atau nada dasar tertentu saja bahkan sulim juga sudah

9
diciptakan berdasarkan 12 (dua belas) nada yang ada pada wilayah (range) satu

oktaf nada piano mulai dari nada C standard hingga C’ (C oktaf). Hal ini bisa

terjadi mungkin karena semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat

pendukungnya terhadap penyajian sulim itu sendiri. Salah satu bukti yang paling

signifikan adalah dengan hadirnya sulim dalam mengiringi lagu ibadah gereja,

berbagai lagu dalam paduan suara, dan juga dalam pengisian komposisi musik lagu

Batak Tradisional maupun Populer dalam industri rekaman dimana situasi tersebut

memaksa supaya sulim juga harus disesuaikan dengan nada dasar lagu atau pun

repertoar yang dipintakan.

Kemudian selain daripada itu, aspek lain yang bisa dilihat adalah ketika

sulim tidak lagi hanya memainkan nada-nada pentatonis, tetapi juga mampu

dimainkan dengan nada-nada yang diatonis bahkan dapat diwarnai dengan

penambahan nada kromatis. Hal ini terjadi karena sulim tidak lagi semata hanya

memainkan repertoar gondang Batak Toba yang mengandung ciri khas nada

pentatonis, tetapi juga sudah sering ditampilkan untuk mebawakan lagu-lagu baik

itu lagu tradisional Batak Toba, lagu Populer, lagu Rohani, maupun lagu Sekuler

lainnya dimana sudah banyak terkontaminasi oleh nada-nada musik Barat. Sejalan

dengan uraian tersebut di atas, mungkin hal inilah yang memicu diciptakannya

sulim dengan 12 kunci (nada dasar) dengan pelarasan nada musik Barat.

Bicara mengenai aspek non-fisik, perubahan yang terjadi menyangkut hal-

hal di luar aspek fisik yang berkaitan dengan fungsi dan penggunaan sulim yang

mampu membawa perubahan besar dalam eksistensi musik Batak yang sedikit

banyak sudah disinggung dalam bahasan yang dipaparkan di latar belakang

masalah.

10
1.4.2 Teori

Teori merupakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta, dan

juga dugaan yang menerangkan sesuatu (Marzuki 1999 : 33). Teori juga dapat

berarti sebagai suatu analisis terhadap suatu hal yang sudah terbukti dan teruji

kebenarannya. Dan teori juga merupakan landasan berpikir secara ilmiah untuk

menguji, membandingkan, atau menerapkan untuk objek penelitian.

Dalam pembahasan ini teori dapat digunakan sebagai landasan dan kerangka

berpikir dalam membahas setiap permasalahan. Oleh karena itu, penulis

mengadopsi beberapa teori sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini.

Menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk

menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan dengan

pertumbuhan masyarakat (Soekanto 1992 : 21). Suatu kebudayaan tidaklah bersifat

statis, melainkan selalu berubah dengan kemajuan zaman sebab kebudayaan

bukanlah suatu hal yang lahir hanya sekali (Ihromi 1987 :32).

Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan

kelanjutan (kontinuitas) merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami

sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan

fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap

kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan,

dimana variasi-variasi dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat

dielakkan (Merriam 1964 : 303).

Selain itu penulis juga menggunakan teori perubahan budaya. Menurut

Herskovitz perubahan kebudayaan dapat dilihat dari dua titik pandang, yaitu

bagaimana yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang. Berdasarkan titik

pandang pertama, mereka selalu mempergunakannya dalam istilah difusi yang

11
didefenisikan sebagai transmisi budaya dalam proses. Perubahan dapat dipandang

dari bagaimana asal-usul sebuah kebudayaan tersebut apakah karena faktor internal

atau eksternal. Perubahan yang terjadi karena faktor internal disebut inovasi, dan

perubahan karena faktor eksternal disebut akulturasi (1948 : 525).

Sependapat dengan uraian tersebut, Koentjaraningrat (1965:135) juga

mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan

kebudayaan, yaitu: inovasi (innovation) adalah suatu proses perubahan kebudayaan

yang besar tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini

meliputi satu penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain bagian

masyarakat dan cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya

dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemudian Lauwer juga berpendapat

bahwa terjadinya suatu perubahan dapat diakibatkan oleh adanya akulturasi

(acculturation), dimana akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu kebudayaan

lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan

terjadinya suatu perubahan (1989:402).

Perubahan juga merupakan sebuah konsep yang serba mencakup, menunjuk

kepada perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat manusia. Perubahan sosial

dapat dilihat pada suatu tingkat tertentu atau dengan menggunakan berbagai

kawasan studi dan menganalisis. Perubahan sikap ini melambangkan perubahan

hubungan sesama manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara jelas

untuk mengetahui adanya perubahan dalam suatu komunitas masyarakat merupakan

cerminan masyarakat tersebut (Lauer 2001 : 5).

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan

perubahan adalah sebuah konsep yang mencakup perubahan dari berbagai unsur

kebudayaan, termasuk perubahan sikap pandangan masyarakat di berbagai tingkat

12
kehidupan. Kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan

seperti pengetahuan, ekonomi, teknologi, atau geografi merupakan faktor-faktor

penyebab terjadinya perubahan pada aspek sosial lainnya.

Sehubungan dengan pengkajian instrument sulim, penulis juga mengacu

pada teori yang yang dikemukakan oleh Kashima Susumu dengan menjelaskan dua

pandangan yang mendasar yaitu :

“1. Structural and 2. Fungsional. Structural studies deal with the physical
aspect of musical instrument – observing, measuring, and recording the
shape, size, construction and the materials used in making the instrument.
The second deals with its function as a sound-producing tool researching,
measuring and recording the playing methods, tuning methods, sound
producing uses and the loudness, pitch, timbre, and quality of the sound
produced”(Susumu, 1978 : 174).8

“1. Struktural dan 2. Fungsional. Secara Struktural, yaitu aspek fisik


instrument musik – pengamatan, mengukur, dan merekam bentuk,
ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai dalam pembuatan
instrument tersebut. Secara Fungsional yaitu berkaitan dengan fungsi
instrument sebagai alat penelitian untuk memproduksi bunyi, metode
pengukuran dan perekaman bunyi, metode penyelarasan nada, penggunaan
bunyi yang diproduksi dan kekuatannya, ketepatan nada, warna bunyi, dan
kualitas bunyi yang diproduksi.”

Berkaitan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Susumu dan dengan

melihat kenyataan yang terjadi pada masyarakat Batak Toba, maka penulis

melakukan pembahasan baik secara struktural maupun fungsional dari instrument

itu sendiri.

Dalam membicarakan aspek musikologis pada tulisan ini, penulis

memperhatikan pendapat Malm (1977:8) yang menyatakan beberapa karakter yang

harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu : (1) tangga nada, (2) nada

dasar, (3) wilayah nada, (4) jumlah masing-masing nada, (5) interval, (6) pola-pola

8
Lihat Martahan Sitohang, 2009 hal.9

13
kadens, (7) formula melodi, (8) kontur. Teori ini disebut juga dengan teori

Weighted Scale (bobot tangga nada). Teori ini pada dasarnya melihat struktur ruang

dalam musik dengan menggunakan ukuran-ukuran tertentu.

Untuk membahas tentang fungsi dan penggunaan musik dalam masyarakat

Batak Toba terkait dengan penggunaan sulim dalam berbagai konteks penyajiannya,

penulis berpedoman pada teori Uses and Function yang dikemukakan oleh

Meriam (1964: 119-222) yang menawarkan sekurang-kurangnya ada sepuluh fungsi

dalam musik, yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional (the funtion of emotional),

(2) fungsi penghayatan estetis (the funtion of aesthetic enjoyment), (3) fungsi

hiburan (the funtion of entertainment), (4) fungsi komunikasi (the funtion of

comunication), (5) fungsi perlambangan (the funtion of symbolic representation),

(6) fungsi reaksi jasmani (the funtion of physical response), (7) fungsi yang

berkaitan dengan norma-norma sosial (the funtion of enforcing coformity to social

norms), (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama (the funtion of

validation of social institution and religious rituals), (9) fungsi kesinambungan

budaya (the funtion of contribution to the continuity and stability of culture), (10)

fungsi pengintegrasian masyarakat (the funtion of contribution the integration of

society).

1.5 Metode Penelitian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:581), metode penelitian diartikan

sebagai suatu cara mencari kebenaran dan azas-azas alam, masyarakat atau kemanusiaan

yang bersangkutan. Dalam kaitan ini Hasan (1985:7) mengatakan metode merupakan cara

atau sistematika kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan.

14
Menurut Caplin (1989:301), metode adalah prosedur sistematis yang tercakup

dalam upaya menyelidiki suatu fakta atau konsep. Dari beberapa kutipan tersebut dapat

diartikan bahwa yang dimaksud dengan metode penelitian dalam disiplin ilmu tertentu. Di

dalam ilmu-ilmu sosial, objek pengamatan dan penelitian yang merupakan dasar dari

pengetahuan ilmiah adalah gejala-gejala masyarakat yang lebih khusus, terdiri dari

kejadian-kejadian kongkrit.

Menurut Nettl (1964:62-64) ada dua hal yang esensial untuk melakukan

aktivitas penelitian dalam disiplin Etnomusikologi yaitu kerja lapangan (field work)

dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan ini meliputi pemilihan

informan, pendekatan dan pengumpulan data, pengumpulan dan perekaman data,

latar belakang perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh pemakaian musik.

Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data yang didapat dari

lapangan, menganalisis dan membuat hasil dari keseluruhan data-data yang

diperoleh.

Untuk mendapatkan data secara sistematis, maka penulis menggunakan

metode penelitian dengan pendekatan kualitatif. Menurut Nawawi dan Martini

(1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau proses menjaring data

(informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek

atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Selanjutnya Moleong juga

menambahkan bahwa penelitian kualitatif dibagi dalam empat tahap, yaitu: tahap

sebelum kelapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data dan

penulisan laporan.

Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang

bersifat kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa

penelitian yang bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat

15
sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan

frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat.

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan

Dalam hal penentuan lokasi penelitian, penulis memilih berdasarkan tempat

berdomisilinya para informan atau musisi yang dianggap berkaitan dengan

penelitian ini. Oleh karena itu, penulis dalam hal ini melihat kasus yang sering

terjadi di kota Medan sebagai bahan penelitian dan memilih wilayah Samosir

sebagai perbandingan dan juga sebagai tempat tinggal para informan. Selain karena

tempat berdomisilinya para informan, alasan memilih kedua tempat tersebut adalah

bahwa kota Medan merupakan ibukota Sumatera Utara yang juga tempat

berdomisilinya penulis dan mayoritas masyarakat Batak secara keseluruhan,

dimana tempat ini berperan sebagai pusat kehidupan yang dinamis dan berkembang

serta penuh dengan fenomena budaya Batak Toba, sedangkan Samosir merupakan

tempat yang menjadi pusat peradaban masyarakat Batak Toba dan akar

bertumbuhnya budaya masyarakat Batak Toba.

1.7 Kerja Lapangan

Dalam kerja lapangan penulis melakukan wawancara untuk mendapatkan

informasi yang akurat tentang tulisan ini. Sebelum melakukan wawancara terlebih

dahulu penulis menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan di dalam melakukan

wawancara, yaitu: menyusun pertanyaan, mempersiapkan alat-alat tulis,

menyediakan alat perekam untuk merekam hasil wawacara dengan informan.

16
1.8 Studi Kepustakaan

Sebagai landasan penulis dalam melakukan penelitian, sebelum melakukan

kerja lapangan penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan, baik dari

artikel, skripsi, maupun buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi

ini bertujuan untuk memperoleh konsep-konsep serta teori-teori yang relevan untuk

membahas permasalahan dalam tulisan ini sekaligus untuk menghindari kesamaan

topik pembahasan.

Beberapa tulisan yang membahas tentang sulim Batak Toba, antara lain:

Skripsi Martogi Sitohang yang berjudul “Sulim Batak Toba : Suatu Kajian

dalam Konteks Gondang Hasapi ”. Skripsi ini secara umum membahas tentang

kajian musikologis sulim dalam konteks ensambel gondang hasapi saja. Selanjutnya

Skripsi Frendy Sirait yang berjudul “Instrumen Sulim Pada Ansambel Musik Tiup

Batak Toba Di Kota Medan : Kajian Terhadap Fungsi, Perkembangan Dan

Organologis”. Skripsi ini secara umum juga hanya membahas tentang kajian

fungsional, dan perkembangan penggunaan serta organologis sulim dalam konteks

ensambel Musik Tiup saja. Kalo penulis melihat perbandingan antara kedua judul

tersebut di atas, penulis menilai bahwa ada kesamaan topik konteks pembahasan

yakni sama-sama membahas tentang kajian fungsional sulim dalam konteks

ensambel. Hal yang membedakannya hanya terlihat ketika instrument tersebut

dimainkan dalam nama ensambel yang berbeda,yakni antara ensambel gondang

hasapi dan musik tiup.

Sedangkan dalam tulisan ini penulis lebih mendalam membahas tentang

kajian struktural dan fungsional sulim dalam berbabagi konteks penyajian baik

ketika dimainkan dalam konteks solo, ensambel maupun kollaborasi dengan

17
instrument yang lain,selain daripada itu penulis juga membahas tentang kontinuitas

dan perubahan fungsi dan penggunaannya dalam berbagai aspek tersebut.

Selain dari kedua skripsi di atas, untuk mendukung bahasan tentang kajian

organologis serta kajian kontinuitas dan perubahan yang juga dibahas dalam tulisan ini

penulis juga mengambil referensi dari skripsi-skripsi lain seperti skripsi Martahan Sitohang

yang berjudul “Perubahan dan Kontinuitas Ritual Pembuatan Taganing di Desa Turpuk

Limbong Kecamatan Harian Kabupaten Samosir”, skripsi Leonald Nainggolan yang

berjudul “Kontinuitas dan Perubahan Gondang Naposo Pada Masyarakat Batak

Toba di Desa Gajah Kecamatan Sei Balai Kabupaten Asahan”, dan juga skripsi

yang berjudul “Studi Organologis dan Musikologis Tulila Dalam Kebudayaan

Batak Toba di Desa Turpuk Limbong Kecamatan Harian Boho Kabupaten Tapanuli

Utara” serta banyak skripsi lain yang mungkin tidak dapat penulis paparkan satu

persatu dengan alasan bahwa sejalan dengan proses penulisan skripsi ini

kemungkinan akan ada referensi lain yang penulis dapatkan baik berupa skripsi

atau sumber buku yang lain secara tiba-tiba atau dalam konteks situasi yang

berbeda.

1.9 Kerja Laboratorium

Seluruh data yang diperoleh penulis dari lapangan dan studi kepustakaan,

kemudian dianalisis kembali di dalam kerja laboratorium. Penulis akan melakukan

seleksi data, analisis data, dan mengelompokkannya sesuai dengan informasi yang

penulis harapkan. Proses analisis data penelitian dimulai dengan menelaah

keseluruhan data yang diperoleh. Analisis data dilakukan mulai awal penelitian dan

berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan penelitian selesai.Begitu

juga dengan data yang berbentuk gambar, penulis akan mencantumkannya dalam

18
tulisan ini. Data yang tidak bersifat musikal diolah kemudian dan dituliskan dalam

bentuk tulisan atau karya ilmiah. Selama proses pengolahan data, penulis juga

melakukan diskusi-diskusi dengan para dosen pembimbing dan teman-teman yang

ada di Departemen Etnomusikologi.

19
BAB II

MASYARAKAT BATAK TOBA DI BONA PASOGIT

DAN DI PERANTAUAN

2.1 Konsep Adat

Kebudayaan terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendukung terjadinya

kebudayaan itu. Dalam masyarakat Batak Toba, dapat kita temukan adanya

kebudayaaan yang berisikan adat isitiadat dan juga kesenian. Hal ini masih tetap

dilaksanakan dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak pada masa kini dan

merupaan suatu hal pokok yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak

itu sendiri.

Adat merupakan warisan dari leluhur yang harus dilanjutkan oleh generasi

berikutnya yang merupakan pedoman kepada masyarakat dalam melaksanakan

kegiatan sehari-hari. Di dalam adat terdapat unsur hukum, aturan dan tata cara yang

mengatur tentang hubungan manusia dan manusia.

Menurut masyarakat Batak Toba, adat merupakan pemberian Mulajadi Na

9
Bolon yang harus dituruti oleh makhluk penciptanya. Adat inilah yang menjadi

hukum bagi setiap orang yang memberikan pengetahuan tentang cara kehidupan

untuk membedakan yang baik dan yang buruk.

Adat adalah kebiasaan atau hasomalan yang berarti aturan-aturan yang

dibiasakan. Pengertian lain yaitu kebiasaan di suatu tempat atau yang terdapat pada

suatu kelompok marga yang berasal dari orang-orang tua dan diwariskan secara

turun temurun, berupa pesan tentang aturan dan hukum yang tidak boleh diabaikan

9
Akan lebih dijelaskan pada bahasan selanjutnya

20
atau dilupakan. Hukum adat yang merupakan pemberian dari Mulajadi Na Bolon

sebagai perintah yang harus dituruti bermula dari kebiasaan adat yang dilaksanakan

oleh sekelompok masyarakat. Oleh karena itu, tertanam suatu kepercayaan pada

masyarakat Batak Toba terhadap hukum adat itu sendiri. Masyarakat Batak Toba

meyakini bahwa apabila adat diikuti dan dilaksanakan maka orang tersebut

dipercaya akan mendapat berkah, sedangkan orang yang tidak peduli dengan adat

tersebut akan mendapat bala (hukum tersirat).

Secara teologis, adat adalah bentuk keseluruhan suatu agama suku, adat

merangkum, meresapi dan menentukan suku atau bangsa dengan cara yang

bagaimanapun. Adat menghubungkan orang yang hidup yang kelihatan dengan

orang yang mati yang tidak kelihatan; adat mengatur tata tertib sosial untuk desa

sebagai persekutuan hukum, persekutuan produksi, dan persekutuan agama; adat

mempertahankan daya hidup mitos dimana kekuatannya terdapat pada nomisme,

yaitu sikap hukum yang alamiah dan tujuannya ialah utk tercapainya kelanggengan

dan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam keseluruhan aspek

ini, dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan disatu-padukan sepenuhnya sama seperti

dunia alam dan cakrawala. Adat mepunyai corak bermotif sebab ia mempunyai

dasar dalam mitos yang merupakan konsepsi suatu bangsa untuk memahami

dirinya. Oleh karena itu, adat adalah bagian lahiriah serta pengembangan mitos

dalam kehidupan bersama dan penerapannya dalam segala seluk belukn kehidupan

(Pasaribu, 1986:61).

Adat memiliki asal usul keilahian dan merupakan seperangkat norma yang

diturunkan dari nenek moyang, yang berulang-ulang atau yang teratur datang

kembali, lalu kembali menjadi suatu kebiasaan atau hal yang biasa (Schreiner,

1994:18). Pola-pola kehidupan yang tampak dalam bentuk pergaulan sehari-hari,

21
pembangunan rumah, upacara perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara,

dilaksanakan dan diatur menurut adat (ibid, 1994:20).

Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi

masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya.

Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa

kehidupannya selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan bagian

dari kewajiban yang harus ditaati dan dijalankan. Dalam praktek pelaksanaan adat

Batak Toba, realita di lapangan menunjukkan terdapat empat (4) katagorial adat

yang telah dilakukan.

Pertama, komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan

adat tersendiri. Menunjukkan, setiap komunitas mempunyai tipologi adat masing-

masing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih intensif dan merekat,

dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relatif lebih individualistis

menyikapi adat Batak. Perilaku ini muncul akibat pengaruh lingkungan yang

membentuk pola pikir disamping unsur teknologi yang mempengaruhi.

Kedua, Adat yang diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar

manusia Batak Toba, dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam

masyarakatnya. Peraturan perundang-undangan dan hukum agama yang banyak

mengatur kehidupan normatif masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil

peranan adat dalam mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya.

Seiring pula dengan aturan perundang-undangan dan hukum agama yang sudah

membudaya, sering juga dipandang dan dianggap sebagai bagian dari adat istiadat

Batak Toba sendiri.

22
Ketiga, Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak

Toba berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami

perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu.

Keempat, pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga

mengalami perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan

informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat

pendukungnya.

Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia.

Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat

disebut dengan na so maradat (orang yang tidak memiliki adat) dan akan ada

sanksi sosial terhadap orang-orang yang melanggar adat. Pelanggaran adat yang

dilakukan dapat berbentuk perkawinan terlarang. Misalnya, perkawinan semarga

(incest). Pencurian, pencemaran nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai

tatanan sosial masyarakat yang tidak dapat dilanggar (bandingkan, Bruner

1961:510). Sanksi bagi pelanggar hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilahi

yang mereka percayai. Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun

yang tidak kunjung sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan

sanksi kematian. Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan

selanjutnya dalam beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari

keilahian yang diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang

menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek moyangnya.

2.2 Religi atau Kepercayaan

Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, persoalan kehidupan

selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai karya Mula

23
Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam kepercayaan Hindu dalam

cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum dewa

masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari

Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan

manusia (Situmorang, 2009:21).

Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang

diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam

tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan

Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi

Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3) Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya

di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam

yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asi-

asi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara (roh

leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang memberi

ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat.

(Tampubolon, 1978:9-10).

Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke

mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini

terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak.

Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki

dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri

sendiri (Hutauruk, 2006:8)

Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh

Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik

otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata

24
kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam tonggo-

tonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu,

Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat

oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan

berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak

disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon

(Sangti, 1977:279).

Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep

bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal.

Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah

meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri.

Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk

ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama

jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya

setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio

suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia

nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh.

(ibid. 1978:10).

Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa

orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu

yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang

Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi

dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata

Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia

adalah awal dari semua yang ada.

25
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk

mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar

pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus

mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup,

kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan,

kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan

oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap

pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara orang Batak. Sehingga sahala adalah

wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon.

Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia.

Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting

dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang

memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa

diperoleh atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilai-

nilai kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan)

dan hasangapon (kehormatan).

Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri

secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang

Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian

menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan

orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga

sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan

ke”raja”annya sendiri. Manusia harus menghormati sanak saudaranya dan marga

yang dia miliki.

26
Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah

mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih

dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak

yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang

Batak memiliki sahala sebagai raja.

Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan

gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon

digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai harajaon,

hamoraon, dan hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak beradik

dalam satu marga. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang tinggi akan

mencoba menengahi, tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah kelompok

bisa pergi untuk mendirikan pemukiman baru.

Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang

kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu,

masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan

masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki

gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.

2.3 Konsep Kemasyarakatan

Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang

Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat prinsip yaitu: 1)

Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba

berdasarkan perbedaan tingkat umur ysng dapat dilihat dalam sistem adat istiadat.

Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi, akan lebih

banyak berbicara atau disebut raja adat. 2) Perbedaan pangkat dan jabatan. Sistem

27
pelapisan sosial berdasarkan perbedaan pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada

perbedaan harta dan keahlian yaitu pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik

(pargonsi) dan juga pandai-pandai seperti besi, tenun, ukir dan lain-lain. 3)

Perbedaan sifat keaslian. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat dan

keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem ini

berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal marga

Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih berhak atas

jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau yang di luar

jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat dalam pemilikan

tanah. 4) Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin

dapat dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah

berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat atau

berbicara dalam lingkungan keluarganya, dan biasanya orang Batak yang sudah

berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam kehidupan sehari-

hari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada masyarakat Batak Toba.

2.4 Konsep Kekerabatan

Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal

dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan

mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang

disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang

secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal atau

laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan dalam

sebuah kelompok yang dinamai marga (klan). Sedangkan patrilineal adalah garis

keturunan menurut laki-laki. Sehingga, kelompok marga Batak adalah sebuah

28
organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi orang

Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba. Mereka

membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group) sebagai

kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh umum.

Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal

10
merupakan masyarakat yang patriakal . Dalam masyarakat tradisional, posisi

perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak

laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak

melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari

anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat

mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan

laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa

kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering

memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, perkawinan antara

orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu.

Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa

pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga

Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah

memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih

tinggi dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru). Di pihak lain, marga

yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah

memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih

tinggi. Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari

10
Patriakal merupakan sistem pewarisan garis keturunan menurut garis keturunan/marga
sibapak.

29
satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga

batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang

pun berada diatas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga

yang mereka anggap lebih tinggi.

Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari

filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang

laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu

yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan.

Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing

memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat

hidup kekerabatan inilah yang disebut Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang

terdiri dari:

1. Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah

mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula bukan

hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari yaitu

marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang yaitu

saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang (tulang

kandung dari bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang ro robot

(ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya anak dari

tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu ipar; bao

(istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan anak laki-

laki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman dari anak laki-laki,

termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu pertama, cucu dari tulang,

saudara dari menantu perempuan, paraman dari bao; hula-hula hatopan yaitu

semua abang dan adik dari pihak hula-hula.

30
2. Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk

di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara

perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari

menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua

laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto (saudara

perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara perempuan

nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang termasuk di

dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari putri, amang

boru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang termasuk di

dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak atau adik

perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari putri, suami

dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere (kemenakan)

atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua keturunan dari

putri kakak kita dari tingkat kelima.

3. Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya

segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan laki-laki

dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi sebagai

dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hula-hula-nya,

dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-hula dan

terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu. Penyebutan

kata somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu adalah salah

satu semboyan yang hidup hingga saat ini pada masyarakat Batak Toba yang

mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini. Artinya

hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan

fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-hula dan

31
harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga

golongan ini. Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran

artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap

jernih dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai

debata na tarida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber

berkat, perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya hula-

hula harus selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati

dan perasaan boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus

berperasaan seia sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan

saling hormat menghormati.

Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah

mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak

dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi

masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis

berlaku fungsi dalihan na tolu, dan selama orang Batak Toba tetap

mempertahankan kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu

tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.

2.5 Sistem mata pencaharian

Secara tradisional, mata pencaharian masyarakat Batak Toba umumnya

adalah bercocok tanam. Pekerjaan bercocok tanam yang dilakukan adalah

berladang dan menanam padi di sawah. Di samping itu, mereka juga mengelola

hasil hutan terutama untuk memenuhi hidup sehari-hari. Salah satu ciri khas desa-

desa kecil yang terdapat di Samosir adalah bentuk dari permukiman tradisionalnya.

Pola permukiman desa-desa tersebut umumnya terdiri atas beberapa perumahan

32
yang dikelilingi oleh rerimbunan pohon di antara bentangan lahan persawahan di

sekelilingnya.

Menurut hukum adat, dahulu lahan yang dijadikan untuk bercocok tanam

tersebut diperoleh dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat

tanah warisan tetapi tidak boleh menjualnya. Tapi seiring perkembangan zaman,

hukum tersebut lama kelamaan sudah mulai tidak dipakai lagi, sebab sudah ada

beberapa oknum yang pernah menjual tanahnya meskipun tanah itu warisan

marganya. Kendatipun demikian, penduduk Samosir masih banyak yang memegang

teguh hukum adat tersebut.

Gambaran umum tentang keadaan lingkungan alam khususnya yang

didapatkan di Pulau Samosir sedikit berbeda. Meskipun terdapat juga lahan-lahan

persawahan kecil di Pulau tersebut,wilayah Samosir merupakan wilayah yang

relatif kering dan kurang subur jika dibandingkan dengan wilayah Batak Toba yang

lainnya. Untuk memenuhi debit air yang dibutuhkan tanaman terkadang sebagian

besar penduduk mengandalkan air hujan, sebab selain lahan yang relatif kering,

sistem irigasi juga tidak berjalan maksimal. Oleh karena itu, sebagian besar

masyarakat menghidupi dirinya dengan bertanam bawang. Sebab menurut

penduduk setempat, selain perawatannya yang lebih mudah, biasanya bawang

merupakan salah satu tanaman yang tidak terlalu membutuhkan banyak debit

seperti tanaman yang lain. Di samping itu, ada juga yang bertanam padi dan sayur-

sayuran.

Selain sektor pertanian, perternakan juga merupakan salah satu mata

pencaharian penduduk Samosir, antara lain perternakan kerbau, sapi, babi,

kambing, ayam, dan bebek. Usaha nelayan atau penangkapan ikan dilakukan

sebagian penduduk yang bermukim di pinggiran pantai Danau Toba. Sebagian dari

33
mereka beternak ikan dan umumnya menggunakan jaring terapung yang dikenal

dengan istilah doton. Doton adalah sejenis jaring yang digunakan untuk menangkap

ikan yang ada di Danau Toba. Jenis ikan yang diternakkan pada umumnya adalah

ikan mas dan ikan mujair. Jika ditelusuri dari berbagai daerah di sepanjang

pinggiran Samosir, misalnya mulai dari Tomok, desa-desa kecil sekitar kota

Pangururan, hingga wilayah Palipi, kita akan menemukan peternakan ikan seperti

ini. Hasil dari pertanian dan peternakan tersebut sebagian dijual di pasar dan

sebagian lagi dikonsumsi oleh keluarga. Sedangkan penduduk yang bermukim jauh

dari kawasan pantai biasanya bermatapencaharian sebagai petani, peternak ataupun

wiraswastawan. Sektor kerajinan tangan juga berkembang. Misalnya tenun,

anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitannya dengan pariwisata.

Jika ditinjau secara keseluruhan sebagian besar masyarakat Batak Toba di

Samosir saat ini bermata pencaharian sebagai petani, peladang, nelayan, pegawai,

wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang

banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha

penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga

yang memulai merambah ke bidang usaha jasa.

2.6 Batak Toba di Bona Pasogit

Secara umum, masyarakat Batak Toba bermukim di wilayah pegunungan di

sekitar Danau Toba, Tapanuli ataupun di tanah perantauan adalah sama. Orang

menunjukkan identitas mereka sebagai etnis Batak. Namun lebih cenderung

konotosi penyebutan ini terarah pada Batak Toba.

Batak Toba merupakan istilah yang sering digunakan untuk mengkaji

kelompok masyarakat ini. Penyebutan nama Batak Toba sering dikonotasikan oleh

34
pemilik kebudayaan ini sebagai “Batak yang sebenarnya”. Penggunaan nama ini

dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda.

Pertama, penyebutan Batak bagi penganut agama Islam dari sub kultur

Tapanuli bagian selatan dan sebagian kelompok di Sumatera Utara bagian timur

(Asahan dan Labuhan Batu), mereka tidak mau disebut sebagai suku Batak, namun

sebagian dari mereka menerima akan hal ini.

Kedua, bagi masyarakat Batak Toba yang bermukim di wilayah bona

pasogit 11 , sering mengklaim bahwa sub kultur merekalah yang dianggap asli.

Masyarakat Batak Toba yang tinggal di Rura Silindung sebelah barat daya Danau

Toba pada umumnya lebih memilih dirinya sendiri sebagai halak Batak (orang-

orang Batak). Namun, persepsi lain menyebutkan bahwa dalam penyebutan “halak

Batak” sering kali merujuk pada kelompok masyarakat yang bermukim di sekitar

tepian Danau Toba.

Identitas orang Batak Toba yang tinggal di Bona Pasogit, dapat dilihat dari

kultur eksogami marga yang terdapat dalam daerah kebudayaan di seluruh wilayah

tempat orang Batak bermukim. Terdapat 4 (empat) wilayah kultur yang didiami

oleh orang Batak di bona pasogit yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten

Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir (Toba Holbung), dan Kabupaten

Samosir.12

11
Bona pasogit, tempat bermukimnya masyarakat Batak di sekitar pegunungan Bukit Barisan,
hidup dalam kelompok-kelompok yang terbagi dengan area culture sesuai dengan sub kulturnya.
Terbagi atas 4 (empat) sub kultur dengan penyebutan “halak” (masyarakat), yaitu: “halak Samosir”
kelompok masyarakat yang bermukim di pulau Samosir - kabupaten Samosir, “halak Toba”
kelompok masyarakat yang tinggal di Toba Holbung - kabupaten Toba Samosir sekarang, “halak
Humbang” masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Humbang - kabupaten Humbang Hasundutan
dan “halak Silindung” adalah masyarakat yang bermukim di Silindung kabupaten Tapanuli Utara.
12
Lihat Monang Sianturi, 2012. Hal. 82-90.

35
Gambar-1:
Daerah Pemukiman Orang Batak Toba
Sumber: Koentjaraningrat, 1995:97
2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba

Persebaran masyarakat Batak Toba dimulai ketika badan zending masuk

ke tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang lama

menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu

kebiasaan oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan

lain diluar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak

Toba. Badan zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang ditularkan

melalui pengajaran agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan timbulnya

minat orang Batak melakukan persebaran ke seluruh pelosok.

Pendidikan yang ditanamkan oleh missionaris agama Kristen di tanah

Batak diyakini sebagai satu cara membuka cakrawala baru untuk mengenal dunia

luar lebih jauh yang sekaligus dapat memberikan hasil dalam meningkatkan

36
kesejahteraan hidupnya, dan pendidikan itu dipandang sebagai sarana untuk

mengatasi kemiskinan dan meningkatkan status ekonomi dan sosial.

Status sosial bagi masyarakat Batak Toba yang dianggap paling mendasar,

membuat orang Batak selalu suka bekerja keras sehingga pekerjaan adalah sesuatu

yang penting. Adakalanya, pekerjaan sebagai guru jemaat dengan gaji yang kecil

akan dilakukan untuk mengejar status sosial. Karena anggapan bahwa seorang guru

lebih tinggi kedudukan sosialnya dari seorang petani.

Dengan terbetiknya berita dari para missionaris tentang adanya kehidupan

lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah

mengecap pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan mencari

pengalaman baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka melakukan

perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur

(penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera), orang-

orang Batak yang tinggal di Toba Na Sae (tanah Batak Toba yang luas) harus

dengan menyusuri tepian Danau Toba dengan sampan dari Balige menuju Tigaras

dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga Dolok.

Selain pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak menuju Sumatera

Timur, masih ada peluang untuk keluar walau dengan resiko perjalanan yang berat

dan berbahaya. Misalnya, alternatif jalan menuju Padang sebagai pelabuhan

internasional ketika itu, dapat dilalui dari Sibolga dengan kapal barang. Hal ini

pernah terjadi dengan adanya orang-orang Batak Toba berkediaman di tanah

Minang pada tahun 1900-an dan orang Batak yang ada di Jawa diyakini berangkat

dengan kapal api dari Padang, atau dengan masuknya tentera Paderi pada tahun

1820-an ke tanah Batak pada saat perang Paderi/Bonjol.

37
Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui

beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil dari

tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang lokal

(perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak.

Rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir

timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea.

Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru

dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea,

Parapat, Tiga Dolok menuju Pematang Siantar (Cunningham, 1958:85). Dengan

dibukanya jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain

semakin tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga

Batak yang sudah tiba lebih dahulu di tanah-tanah garapan mereka.

Persebaran masyarakat Batak Toba ke daerah lain untuk mengejar tingkat

perekonomian yang lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang

berpendidikan saja, tetapi adalah juga para petani-petani yang hanya mengandalkan

semangat dan pengetahuan pertaniannya. Mereka rela meninggalkan kampung

halamannya, dan kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah

kolonial Belanda di kampungnya. Untuk kepergiannya, mereka mau membayar

pajak rodi sebesar 3 (tiga) gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan

rodi selama setahun. Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah

pilihan untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka (Sangti, 1977:180)

Bagi orang-orang Batak yang tinggal menetap di daerah-daerah

parserahan selanjutnya membentuk komuni-komuni baru dengan membawa segala

aspek kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan begitu

saja. Mereka berpegang pada konsep adat yang sudah dibangun nenek moyang

38
mereka terdahulu. Karena beragamnya orang Batak dari berbagai latar belakang

daerah di bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat adat Batak itu

dapat diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah asal mereka.

Mereka menjalankan adat Batak dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak di

bona pasogit, termasuk dalam pemakaian musik untuk mengiringi upacara-upacara

adat Batak mereka.

Masyarakat Batak Toba dewasa ini yang berada di Simalungun, menempati

hampir semua daerah yang ada di Simalungun. Mereka hidup berkelompok di

Pematang Siantar, Perdagangan, Kerasaan, Serbelawan, Dolok Sinumbah, Bah

Jambi, Maria Bandar, Panei Tongah, Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga Balata, Tanah

Jawa, Parapat dan daerah lain.

Di Medan, sekitar tahun 1920-an perubahan dominasi etnik mulai berubah.

Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil

pekerjaan mereka yang cukup memuaskan sekaligus memperlihatkan identitas

mereka.

Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang Batak juga

menunjukkan identitas mereka. Mereka-merka ini adalah orang-orang yang ulet dan

pekerja keras, sehingga kelompok etnis lain heran mendapati bahwa orang-orang

yang tertib dan pandai yang mereka kenal ternyata adalah orang Batak. Walaupun

orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-kota, tetapi sangat

berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan.

(lihat Hasselgren, 2008:48)

Keberadaan orang Batak Toba di Jakarta (Batavia) diperkirakan sekitar

tahun 1900-an, yang dibawa oleh pihak kolonial Belanda sebagai pembantu utama

mereka. Dapat dicatat, orang Batak pertama yang sudah ada di Jakarta adalah

39
seorang pemuda Batak Kristen alumni sekolah Seminari Pansurnapitu Tarutung

yang menjadi guru di Batavia bernama Simon Hasibuan, dia sudah berada di

Batavia pada tahun 1907 (Sihombing, 1962:65). Setahun kemudian terjadi eksodus

orang Batak dalam mencari pekerjaan ke Batavia dengan menempuh perjalanan

sendiri.

Komunitas pertama orang Batak yang tinggal di Batavia, berada di kawasan

Sawah Besar dengan membentuk perkumpulan Batak Kristen Protestan

sebagaimana mereka dahulunya di Tapanuli (Hasibuan, 1922:61). Bagi orang Batak

yang datang ke Batavia, awalnya ditampung oleh orang Batak pertama datang ke

daerah itu, secara estafet perlakuan itu tetap dipergunakan dalam menyatukan dan

membentuk komunitas Batak di Jakarta. Hingga pada tahun 1917, kumpulan orang

Batak Kristen sudah melakukan kebaktian sebagai upaya penyatuan semua orang

Batak yang berada di Jakarta sebanyak 50 orang, dan berkembang sangat pesat

hingga saat ini.

Di Kalimantan orang Batak sudah mendiami daerah itu pada tahun 1923,

mereka berada di sekitar Singkawang, Pontianak dan Mempawah. Sedang di pulau

Sulawesi, orang Batak sudah bermukim mulai tahun 1920-an, seperti

ditempatkannya beberapa orang Batak menjadi anggota militer. Di Papua dimulai

pada tahun 1942, dengan masuknya orang Batak sebagai tentara Heiho dan

Romusha yang dibawa oleh tentara Jepang. Tahun 1961, seorang petinggi militer

Batak telah menjumpai orang Batak di pulau Morotai Papua.

Hal yang perlu dicatat, adalah adanya orang Batak yang sudah bermukim di

luar negeri. Orang Batak pertama yang berada di Eropa tercatat pada tahun 1876

bernama Djaogot, dia dibeli oleh Pdt. Van Asselt sebagai budak yang kemudian

dikirim ke luar negeri untuk menimba ilmu di sana.

40
Setelah itu terdapat beberapa nama yang juga menetap di luar negeri baik itu

dengan alasan untuk melanjutkan studi ataupun mencari pekerjaan misalnya, M.H

Manullang seorang putra Tarutung melanjutkan sekolahnya di Senior Cambridge

Singapura antara tahun 1907-1909. Tahun 1920-an sudah ada beberapa orang Batak

yang menjadi guru di sana. Tahun 1927 seorang Kristen Batak tamatan sekolah

Zending asal Sipirok, yakni A. Batubara berangkat ke Singapura untuk mencari

pekerjaan. Tahun 1930, Bintatar W.F Napitupulu asal Sangkarnihuta Balige pindah

ke Malaya dan bekerja di Ipoh sebagai pegawai Lindeteves.

Sementara itu, pulau Batam juga menjadi tujuan orang-orang Batak Toba

dalam mencari pekerjaan. Berdasarkan statistik HKBP, warga HKBP di pulau

Batam dan Singapura tahun 1991 sebanyak 5.629 jiwa (Almanak HKBP 1994:370).

Pada tahun 2011, masyarakat Batak yang bermukim di pulau Batam dan Tanjung

Pinang dengan statistik terdaftar sebagai penduduk menetap sebanyak 68.126

jiwa.13

2.8 Budaya Musikal Batak Toba

2.8.1 Musik vokal

Budaya musikal masyarakat Batak Toba tercakup dalam dua bahagian

besar, yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal pada masyarakat

Batak Toba disebut dengan ende. Dalam musik vokal tradisional,

pengklasifikasiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat

dilihat berdasarkan liriknya. Ben Pasaribu (1986 : 27-28) membuat pembagian

terhadap musik vokal tradisional Batak Toba dalam delapan bagian, yaitu :

13
Monang Sianturi, ibid.

41
1. Ende mandideng, adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak

(lullaby).

2. Ende sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang

akan melangsungkan pernikahan. Biasanya dinyanyikan pada waktu senggang

saat menjelang pernikahan.

3. Ende pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo

chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda-mudi dan daam waktu senggang,

biasanya malam hari.

4. Ende tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring

tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat

dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini

dilakukan oleh para muda-mudi atau remaja di alaman (halaman kampung) pada

malam terang bulan.

5. Ende sibaran, adalah musik vokal yang menggambarkan cetusan penderitaan

seseorang yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita

tersebut, dan biasanya dinyanyikan di tempat yang sepi.

6. Ende pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkaitan dengan pemberkatan, dan

berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang Maha Kuasa. Biasanya

dinyanyikan oleh para orang tua kepada keturunannya.

7. Ende hata, adalah musik vokal berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan

secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian pantun dengan

bentuk pola “aa bb” yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya

dimainkan oleh kumpulan anak-anak yang dipimipin oleh seseorang yang lebih

dewasa atau orang tua.

42
8. Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup

seseorang yang telah meninggal, yang disajikn pada saat atau setelah

disemayamkan. Dalam ende andung alunan melodi biasanya muncul secara

spontan sehingga penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan

terampil dalam sastra yang menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting

untuk jenis nyanyian ini.

Demikian juga Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony membagi kelompok

musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu :

1. Ende namarhadohoan, yaitu musik vokal yang diyanyikan untuk acara-acara

namarhadodoan (resmi)

2. Ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak

Toba dalam kegiatan sehari-hari.

3. Ende sibaran, yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan

berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita.

Tetapi apabila dikaji lebih rinci dari banyaknya jenis musik vokal pada

masyarakat Batak Toba, maka dibuat pengklasifikasian yang lebih mendetail

terhadap nyanyian-nyanyian tersebut sesuai dengan sudut pandang masing-masing.

Berikut ini adalah pembagian jenis musik vokal Batak Toba oleh Jan Harold

Brunvand yang dikutip oleh Ritha Ony (1983:13). Jenis musik vokal tersebut adalah

sebagai berikut :

1. Nyanyian kelonan (lullaby), yakni musik vokal yang mempunyai irama

halus, tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang

sehingga dapat membangkitkan rasa kantuk bagi sianak yang

mendengarkan. Contoh : mandideng.

43
2. Nyanyian kerja (work song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama dan

kata-kata yang bersifat menggugah semangat,sehingga dapat menimbulkan

rasa gairah untuk bekerja. Contoh : luga-luga solu.

3. Nyanyian permainan (play song), yakni musik vokal yang mempunyai irama

gembira serta kata-kata yang lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan.

Contoh : sampele-sampele.

4. Nyanyian yang bersifat kerohanian atau keagamaan, yaitu musik vokal yang

teksnya berhubungan dengan kitab Injil, legenda-legenda keagamaan, atau

pelajaran-pelajaran keagamaan. Contoh : metmet ahu on

5. Nyanyian nasehat, yaitu musik vokal yang liriknya berisi nasehat tentang

bagaimana pola bertingkah laku yang baik. Contoh : siboruadi.

6. Nyanyian mengenai hubungan berpacaran dan pernikahan, yaitu musik vokal

yang liriknya biasanya mengungkapkan kebiasaan muda-mudi yang sedang

bercinta dan akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Contoh : madekdek

ma gambiri.

2.8.2 Musik instrumental

Musik instrumental masyarakat Batak Toba dibagi menjadi dua kategori

berdasarkan bentuk penyajiannya, yakni ada yang lazim digunakan dalam bentuk

ensambel, dan ada yang disajikan dalam bentuk permainan tunggal baik dalam

kaitannya dengan upacara adat, religi/kepercayaan, maupun sebagai hiburan. Secara

umum, pada masyarakat Batak Toba terdapat dua ensambel musik tradisional, yakni

: gondang hasapi dan gondang sabangunan. Selain dalam bentuk ensambel, ada

juga instrumen yang disajikan secara tunggal.

44
2.8.2.1 Gondang hasapi

Komposisi instrumen pada gondang hasapi terdiri dari :

1. Hasapi ende (plucked lute), atau kadang kala disebut dengan hasapi inang

atau hasapi taganing, yaitu sejenis sebuah lute berleher pendek yang

dimainkan dengan cara dipetik dan memiliki dua buah senar. Instrumen ini

merupakan pembawa melodi dan dianggap sebagai instrumen utama dalam

ensambel gondang hasapi.

2. Hasapi doal (plucked lute), instrumen ini sama bentuknya dengan hasapi

ende, perbedaannya hanya terletak pada peranan musikalnya yakni hasapi

doal berfungsi sebagai pembawa ritem konstan.

3. Sarune etek (shawn), yakni sejenis alat tiup berlidah tunggal (single reed)

yang juga berfungsi sebagai pembawa melodi. Instrumen ini tergolong ke

dalam kelompok aerophone yang memiliki lima lobang nada (empat di atas

dan satu di bawah),dan dimainkan dengan cara mangombus marsiulak hosa

(meniup secara sirkular tanpa berhenti) yang dalam istilah musiknya disebut

dengan circular breathing.

4. Garantung (xylophone), yaitu alat musik berbilah yang terbuat dari kayu dan

umumnya memiliki lima buah bilah nada. Selain berperan sebagai pembawa

melodi, juga berperan sebagai pembawa ritem pada lagu-lagu tertentu.

14
Dimainkan dengan cara mamalu.

5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi yang terbuat dari plat besi atau botol kaca

yang berperan sebagai pembawa tempo atau ketukan dasar.

14
Mamalu dapat diartikan dengan memukul, memainkan atau membunyikan. Contoh
mamalu hasapi (membuyikan hasapi), mamalu garantung (membunyikan garantung) dan lain-lain.
Palu-palu merupakan alat pemukul berupa stik yang digunakan untuk memukul instrumen.

45
Gondang hasapi dianggap sebagai bentuk ensambel musik yang kecil.

Penggunaannya terbatas pada ruang yang lebih kecil dan tertutup, dimainkan oleh

lima orang walaupun jumlah pemusik ini dapat juga bervariasi. Jika mengacu pada

15
praktek pertunjukan gondang hasapi di komunitas parmalim , sarune etek

kadangkala bisa terdiri dari dua alat yang masing-masing dimainkan oleh satu orang

pemain. Begitu juga dengan jumlah orang yang memainkan hasapi ende atau pun

hasapi doal. Dengan kata lain, jumlah pemusik keseluruhan dalam gondang hasapi

yang terdapat pada kelompok parmalim bisa mencapai enam hingga delapan

16
orang.

2.8.2.2 Gondang sabangunan

Ensambel gondang sabangunan mempunyai beberapa istilah yang sering

digunakan oleh masyarakat Batak Toba, yakni ogung sabangunan atau gondang

bolon. Komposisi alatnya terdiri dari :

1. Sarune bolon (shawm, oboe), yaitu sejenis alat tiup berlidah ganda (double reed)

yang berperan sebagai pembawa melodi dan dimainkan dengan cara mangombus

marsiulak hosa. Instrumen ini tergolong kepada kelompok aerophone.

2. Taganing (single headed drum), yaitu seperangkat gendang bernada bermuka

satu yang tersusun atas lima buah gendang, yang berfungsi sebagai pembawa

melodi dan juga pembawa ritem variabel untuk lagu atau repertoar tertentu.

Kelima gendang tersebut dibedakan sesuai dengan namanya masing-masing,

15
Sebuah aliran kepercayaan tradisional/agama suku Batak Toba yang berkembang di
Huta Tinggi, Laguboti, Sumatera Utara.
16
Dikutip dari Buku yang berjudul “Gondang Batak Toba” oleh Ritha Ony dan Irwansyah
Harahap.

46
yakni odap-odap, paiduani odap, painonga, paiduani ting-ting, dan ting-ting.

Instrumen ini tergolong ke dalam kelompok membranophone.

3. Gordang bolon (single headed drum), yakni sebuah gendang-bas bermuka satu

yang ukurannya lebih besar dari taganing, yang berperan sebagai pembawa

ritem konstan dan ritem variabel. Insrumen juga sering disebut sebagai bass dari

ensambel gondang sabangunan. Klasifikasi instrumen ini termasuk kepada

kelompok membranophone.

4. Ogung (gong), yaitu seperangkat gong yang terdiri dari empat buah dengan

ukuran yang berbeda-beda. Keempat buah gong tersebut diberi nama oloan,

ihutan, doal, dan panggora. Masing-masing ogung sudah memiliki ritem

tertentu dan dimainkan terus menerus secara konstan/tidak berubah-ubah.

Instrumen ini tergolong kepada kelompok idiophone.

5. Hesek, yaitu sejenis alat perkusi berupa plat besi, botol, atau benda lainnya yang

dapat menghasilkan bunyi tajam untuk dijadikan sebagai pembawa tempo.

Instrumen ini tergolong kepada idiophone.

6. Odap (double headed drum), yakni sejenis gendang kecil bermuka dua (dua sisi

selaput gendang) yang berperan sebagai pembawa ritem variabel. Instrumen ini

biasanya hanya dimainkan pada lagu atau repertoar tertentu. Instrumen ini

tergolong kepada kelompok membranophone.

Gondang sabangunan pada zaman dahulu digunakan untuk setiap upacara

yang berhubungan dengan adat ataupun religius. Gondang sabangunan berperan

sebagai media untuk menghubungkan manusia dengan penciptanya (secara vertikal)

dan menghubungkan manusia dengan sesama (secara horizontal)17.

17
Lihat, Martogi Sitohang, 1998 hal 23.

47
Penggunaan odap dalam ensambel gondang sabangunan jarang ditemukan

saat ini. Beberapa musisi tradisional Batak seperti Marsius Sitohang, Guntur

Sitohang, dan S.Sinurat mengatakan bahwa penggunaan alat ini sangat terbatas dan

hanya diperuntukkan dalam upacara-upacara tertentu, dan biasanya hanya

parmalim yang masih tetap melestarikan instrumen tersebut. Namun, berkaitan

dengan peran dan bunyi musikalnya, pada zaman sekarang ini teknik permainan

odap sudah banyak ditransformasikan oleh taganing yang juga mampu berperan

sebagai pembawa ritem variabel. Mungkin hal ini juga menjadi salah satu faktor

yang mengakibatkan odap sudah semakin jarang dipergunakan dalam kehidupan

sehari-hari.

Ensambel gondang sabangunan pada umumnya dimainkan oleh tujuh

orang, yakni satu orang memainkan sarune bolon, satu orang memainkan taganing

dan odap, satu orang memainkan gordang bolon, satu orang memainkan ogung

oloan dan ihutan, satu orang memainkan ogung doal, satu orang memainkan ogung

panggora, dan satu orang memainkan hesek. Namun, formasi dan jumlah pemusik

ini sedikit berbeda dengan apa yang terdapat di dalam upacara parmalim. Dalam

konteks tersebut, umumnya pemusik berjumlah delapan orang, dimana alat musik

ogung oloan dan ihutan masing-masing dimainkan oleh satu orang. Kadang-kadang

juga bisa ditemukan pemain sarune bolon berjumlah dua orang pada beberapa

upacara parmalim tertentu. Pada masyarakat Batak Toba secara umum di luar

parmalim, formasi pemusik dalam formasi ensambel semacam ini jarang terjadi

pada kebanyakan pertunjukan gondang sabangunan.

48
2.8.2.3 Instrumen tunggal

Menurut adat Batak Toba, dahulu instrumen tunggal diartikan sebagai

instrumen yang dimainkan secara tunggal dan tidak boleh digabungkan ke dalam

ensambel gondang hasapi maupun gondang sabangunan, sebab pada dasarnya

sudah ditetapkan berbagai instrumen tertentu yang boleh dimainkan ke dalam kedua

ensambel tersebut. Dalam hal ini, penggunaannya hanya dikaitkan ke dalam kedua

ensambel tersebut karena berdasarkan sejarah, dahulu hanya ada dua ensambel

dalam musik adat masyarakat Batak Toba yakni gondang hasapi dan gondang

sabangunan. Instrumen tunggal biasanya hanya digunakan pada waktu senggang

untuk mengisi kekosongan atau menghibur diri. Instrumen ini juga tidak pernah

dimainkan dalam upacara-upacara adat yang bersifat ritual layaknya instrumen-

intrumen yang ada pada ensambel gondang sabangunan atau gondang hasapi.

Namun jika diartikan secara lebih luas dan terkait perkembangan berbagai musik

Batak Toba pada masa kini, instrumen tunggal pada dasarnya bukan hanya

instrumen yang tidak boleh dimainkan bersama dengan ensambel gondang hasapi

maupun gondang sabangunan saja, melainkan juga pada berbagai ensambel atau

format musik yang lain.

Selain sulim, ada berbagai intrumen Batak Toba yang termasuk ke dalam

instrumen tunggal seperti :

1. Saga-saga (jew’s harp) yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara

menggetarkan lidah instrument tersebut dengan bantuan hentakan tangan dan

rongga mulut berperan sebagai resonator. Instrumen ini tergolong ke dalam

keompok ideophone.

49
2. Jenggong (jew’s harp) yang terbuat dari logam dan mempunyai konsep yang

sama dengan saga-saga. Juga termasuk ke dalam kelompok ideophone.

3. Talatoit (transverse flute), sering juga disebut dengan salohat atau tulila, yaitu

alat musik yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara meniup dari

samping. Mempunyai empat lobang nada yakni dua di sisi kiri dan dua di sisi

kanan, sedangkan lobang tiupan berada di tengah. Instrumen diklasifikasikan ke

dalam kelompok aerophone.

4. Sordam (up blown flute) yang terbuat dari bambu, dan dimainkan dengan cara

meniup dari ujungnya dengan meletakkan bibir pada ujung instrumen yang

diposisikan secara diagonal. Instrumen ini memiliki lima lobang nada, yakni

empat di bagian atas dan satu di bagian bawah, sedangkan lobang tiupan berada

pada ujung atas nya. Instrumen ini juga termasuk ke dalam kelompok

aerophone.

5. Tanggetang (bamboo ideochord), yaitu alat musik yang terbuat dari batang

bambu besar dan memiliki senar yang dibentuk dari badan bambu itu sendiri dan

badan bambu tersebut berperan sebagai resonator. Prinsip pembuatan, cara

memainkan dan karakter bunyi instrumen ini hampir sama dengan keteng-keteng

yang ada pada masyarakat Batak Karo, dimana instrumen ini bersifat ritmis dan

gaya permainannya seakan mengimitasikan karakter bunyi ogung (gong Batak

Toba). Instrumen ini termasuk kelompok yang dipadukan antara ideophone

dengan chordophone sehingga disebut dengan ideochordophone

6. Mengmung juga merupakan instrumen sejenis ideochordophone yang mirip

dengan tanggetang, hanya saja senarnya terbuat dari rotan dan peti kayu

dijadikan sebagai resonator.

50
Dari keseluruhan intrumen tunggal yang ada pada masyarakat Batak Toba,

sulim adalah instrumen yang masih tetap eksis dan paling sering digunakan hingga

pada saat ini. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sulim merupakan instrumen

tiup yang lebih kompleks dengan frekuensi nada serta jangkauan nada yang lebih

luas dibandingkan instrumen tunggal yang lainnya, sehingga berbagai jenis lagu

atau repertoar dapat dimainkan pada instrumen tersebut.

Sementara instrumen tunggal yang lain sudah sangat jarang digunakan

dalam kehidupan sehari-hari bahkan ada orang yang mengatakan bahwa beberapa

di antaranya sudah hampir punah keberadaannya seperti saga-saga, jenggong,

tanggetang dan mengmung. Sebab pada umumnya, keempat instrumen ini sudah

sangat jarang kelihatan atau digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan

mungkin hanya satu dua orang yang masih melestarikan instrumen ini, dan itu pun

kemungkinan jika siempunya masih hidup atau instrumen tarsebut masih tetap

diwariskan secara turun temurun.

51
BAB III

KAJIAN ORGANOLOGIS SULIM

3.1 Tradisi Pembuatan Sulim Pada Masa Pra-Kristen

Pada awalnya proses pembuatan sulim harus mengikuti pola-pola ritual

tertentu, namun lama kelamaan seiring perkembangan zaman dan masuknya agama

pola-pola tersebut berubah dengan mengabaikan aspek ritualnya.

Kalau proses pembuatan taganing menurut adat pra-Kristen merupakan tata

cara atau rangkaian kegiatan bersifat religius yang dilakukan oleh masyarakat Batak

Toba untuk menghubungkan manusia dengan Mulajadi Nabolon, roh nenek

moyang dan sesama manusia, tidak sama halnya dengan proses pembuatan sulim

pada masa itu. Ritual proses pembuatan sulim dilakukan hanya oleh beberapa

oknum yang memiliki pengetahuan alam gaib yang ditujukan untuk menambah

ilmu kebatinan sipelaku tersebut.

Berbicara bahan material, teknis, dan pola pengukuran dalam proses

pembuatan sulim pada masa pra-agama dengan pasca agama pada prinsipnya

hampir sama. Sebab sulim yang akan dibuat sama-sama terbuat dari bambu dan

bambu tersebut akan dilobangi sesuai dengan tonika (nada dasar) yang diinginkan.

Yang membedakannya adalah cara sipembuat dalam memilih bahan atau bambu

yang tepat serta bagaimana proses dalam pelobangannya.

Menurut Bapak Sinurat, yang juga merupakan salah seorang pemain dan

pembuat sulim dari Tiga Balata mengatakan bahwa konon katanya seseorang yang

ingin membuat sulim dengan tujuan ilmu kebatinan haruslah mengikuti pola ritual

tertentu. Beliau menjelaskan bahwa ritual tersebut hanya pernah dilakukan oleh

52
orang-orang tertentu yang memiliki kharisma dan bakat tertentu dalam hal warisan

kebatinan dan bersedia untuk menjalani syarat-syarat ritual tertentu. Selain

menyangkut bahan dan proses pembuatan yang dilakukan, teknis pelaksanaan ritual

tersebut juga menyangkut pengucapan ayat-ayat tertentu berupa mantra sebagai

syarat pelengkap ritual tersebut. Namun dalam hal teknis ritual yang akan penulis

paparkan berikut ini hanya menyangkut berbagai tahapan pelaksanaan atau proses

pembuatan, sebab Bapak Sinurat selaku narasumber manceritakan berdasarkan

pengalaman orang lain yang beliau sendiri pun belum pernah melakukannya. Dan

beliau menambahkan bahwa tidak sembarang orang boleh mengetahui mantra

tersebut dan sipelaku juga tidak akan bersedia jika mantranya diberitahu secara

sembarang kepada orang lain termasuk beliau sendiri. Jadi yang boleh diberitahu

adalah bagaimana tentang teknis pembuatannya saja.

Adapun tahapan ritual proses pembuatan sulim tersebut adalah sebagai

berikut. Ketika seseorang ingin membuat sebuah sulim, maka langkah awal yang

harus dilakukan adalah memilih jenis bambu yang tumbuhnya di daerah lahan

basah atau yang digenangi air, dan bambu tersebut harus tumbuh memanjang dan

melengkung ke arah jalan yang kira-kira sering dilewati oleh orang banyak. Ketika

seorang melintas dari tempat tersebut, maka lengkungan ruas bambu itulah yang

dilewati oleh orang tersebut. Dengan kata lain, posisi lengkungan ruas bambu itu

harus tepat di atas kepala orang-orang yang melintas dari tempat tersebut.

Kemudian setelah bambu ditemukan, lalu ditebang, dan penebangan

tersebut dilakukan harus dari ruas paling bawah, tidak boleh ditebang dari bagian

tengah ataupun mendekati ujungnya. Setelah penebangan selesai, bambu yang telah

ditebang tersebut kemudian dipotong menjadi beberapa ruas sesuai dengan berapa

jumlah ruas yang memungkinkan dapat dibuat menjadi sulim dari bilahan bambu

53
tersebut. Lalu langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah meletakkan ruas

bambu yang telah dipotong tersebut ke atas tungku api untuk dikeringkan, yang

tentunya jarak antara tungku dengan bambu tersebut diatur sedemikian rupa agar

bambu tidak terbakar dan tidak terlalu panas karena jarak yang terlalu dekat.

Pengeringan dilakukan selama beberapa minggu hingga bambu benar-benar kering

dan kokoh.

Setelah bambu tersebut kering sesuai dengan yang diinginkan, kemudian

bambu dipindahkan ke atas asbes rumah di mana posisi asbes tersebut tingginya

harus di atas kepala sipemilik rumah. Bambu yang diletakkan di atas asbes tersebut

didiamkan untuk beberapa lama hingga waktu pelobangan dilakukan.

Hal yang paling menarik dan mistis dari tahapan pembuatan sulim ini adalah

pada saat proses pelobangan mulai dilakukan. Uniknya adalah bahwa setiap lobang

yang hendak dibuat harus dimulai dan diakhiri dengan tragedi orang yang

meninggal. Maksudnya adalah ketika sipembuat hendak membuat lobang pertama

hingga lobang terakhir, sipemilik harus menyaksikan bahwa ada sebuah peristiwa

orang yang meninggal, dan orang meninggal yang disaksikan orang tersebut harus

meninggal dengan cara yang tidak wajar seperti kecelakaan berupa jatuh dari

kendaraan, tabrakan, terhanyut di sungai, mendadak meninggal akibat diguna-

gunai dan lain sebagainya.

Setiap satu orang korban yang meninggal dengan cara yang tidak wajar

tersebut mewakili satu buah lobang yang akan dibuat pada bambu tersebut. Dengan

kata lain, jika ada 7 (tujuh) buah lobang yang akan dibuat dalam sebuah sulim

(lobang yang dimaksud terdiri dari satu lobang tiupan dan enam lobang nada),

maka sipembuat harus menyaksikan 7 (tujuh) orang korban meninggal baik di

waktu yang bersamaan maupun berbeda. Oleh karena itu, dahulu untuk membuat

54
sebuah sulim yang mengandung nilai mistis itu butuh waktu berbulan-bulan bahkan

bertahun-tahun tergantung cepat atau lambatnya seorang pembuat tersebut

menyaksikan tragedi orang meninggal. Namun dalam tahapan pelobangan, ada

syarat awal yang harus dilakukan yakni setiap hendak melobangi bambu dari

lobang yang pertama hingga lobang yang ketujuh, sipembuat harus terlebih dahulu

mengucapkan beberapa mantra sebelum melobangi bambu tersebut. Mantra yang

harus diucapkan sebelum pembuatan lobang dalam istilah Batak Toba tersebut

dikenal dengan istilah tabas. Apabila ketujuh lobang sudah selesai terbentuk maka

langkah terakhir yang dilakukan adalah pengucapan tabas terakhir sebagai tahapan

penyempurnaan. Apabila keseluruhan syarat tersebut terpenuhi maka jadilah sebuah

sulim yang diinginkan. Namun perlu diketahui bahwa apabila sulim tersebut sudah

jadi, maka yang boleh memainkannya adalah hanya sipemilik selaku sipembuat itu

sendiri. Konon katanya jika sulim tersebut dipakai secara sembarang oleh orang

yang tidak bertanggung jawab maka orang tersebut akan mengalami musibah.

Demikianlah sebuah proses ritual yang harus dilakukan untuk menghasilkan sebuah

sulim yang berisi nuansa mistis.

Tetapi, pada zaman sekarang ini oknum-oknum yang melakukan ritual

tersebut sudah mulai berkurang bahkan nyaris tidak pernah terdengar lagi. Hal ini

disebabkan karena adanya agama sebagai mediator untuk membatasi hubungan

manusia dengan roh-roh atau makhluk yang tidak kelihatan.

Di dalam bahasan ini, penulis tidak menjelaskan terlalu detail tentang ritual

pembuatan sulim dengan segala aspek-aspeknya, sebab inti dari skripsi ini bukanlah

membahas tentang sebuah kajian ritual. Penulis hanya memaparkan secara garis

besarnya saja melalui wawancara dengan beberapa orang narasumber seperti

Marsius Sitohang, S. Sinurat, Guntur Sitohang yang merupakan orang terpercaya

55
dan merupakan para maestro pemusik tradisional Batak Toba yang telah memiliki

banyak pengalaman hidup bermain musik tradisi selama puluhan tahun lamanya.

Hal ini bertujuan untuk menambah referensi terhadap para pembaca bahwa ternyata

dahulu pernah diadakan ritual proses pembuatan sulim yang memang awalnya

jarang didengar oleh masyrakat Batak Toba secara umum.

3.2 Klasifikasi sulim

Pengklasifikasian instrumen oleh Curt Sachs-Hornbostel dibagi atas 4

(empat) kelompok yakni : idiophone, membranophone, cordophone, dan aerophone

(Nettl, 1964 :212).

Dalam sistem Sachs-Hornbostel, sulim diklasifikasikan sebagai aerophone.

Hal ini disebabkan karena suara yang dihasilkan oleh instrumen berasal dari udara

(aero) yang dihembuskan/ditiup ke arah lobang tiupan pada instrumen tersebut.

Sulim merupakan aerophone yang murni menggunakan tiupan udara dari mulut

sebagai penghasil bunyi dan menggunakan kedua jari tangan sebagai penghasil

nada-nada yang berbeda-beda sesuai teknik penjariannya. Oleh karena sulim

merupakan instrumen yang ditiup melalui lobang dan ditiup dengan cara

menyamping atau posisi lobang tiupan ada pada sisi samping tubuh instrumen,

maka sulim dikategorikan sebagai aerophone dengan spesifikasi side blown flute.

3.2.1 Konstruksi sulim

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sulim terbuat dari seruas bambu

yang dibentuk sedemikian rupa dengan satu buah lobang penghasil bunyi di bagian

atasnya dan enam buah lobang nada sebagai penghasil nada-nada yang diinginkan.

56
Diantara lobang penghasil bunyi dengan lobang nada terdapat satu buah lobang

pemecah bunyi yang ditutup dengan kertas tipis (Lihat gambar-1).

C B
D E

A F

Gambar-2. Nama-nama dari bagian sulim

Keterangan Gambar :
A. Keliling bambu sulim
B. Diameter bambu sulim
C. Lobang tiupan / hembusan
D. Lobang nada atas
E. Lobang nada bawah
F. Lobang tonika
G. Lobang pemecah suara yang dilapisi kertas tipis

3.2.2 Ukuran sulim

Pitch (ketepatan nada) merupakan hal yang mutlak dalam pembuatan

sebuah sulim. Oleh karena itu, pola ukur atau teknik mengukur oleh sipembuat

sulim yang satu dengan pembuat sulim yang lain pada prinsipnya adalah sama.

Hanya saja, jenis ukuran bambu yang diperoleh oleh masing-masing sipembuat

pasti berbeda-beda, sehingga mengakibatkan sulim yang dihasilkan pun berbeda-

57
beda ukuran jarak antar lobang dan besar kecilnya lobang yang akan dibentuk.

Namun pada dasarnya teknik mengukurnya adalah sama.

Gambar-3. Sulim dengan ukurannya.

Tabel-1. Pola Ukuran Sulim

NO NAMA UKURAN

1 Diameter bambu sulim 2,6 cm


2 Keliling bambu sulim 5,3 cm
3 Jarak lobang tiupan dengan ruas bambu 2,6 cm
4 Jarak antara lobang tiupan dengan lobang nada atas 17,5 cm
5 Jarak antara lobang nada atas dengan lobang nada bawah 17,5 cm
6 Jarak antara lobang nada bawah dengan lobang tonika 8,75 cm
7 Jarak antar lobang nada 3,5 cm
8 Jarak antara lobang nada dan lobang pemecah 8,75 cm

9 Diameter lobang tiupan 1,2 cm

10 Diameter lobang nada 1 cm


11 Panjang bambu sulim 46,35 cm
Keterangan : Ukuran sulim yang tertera pada tabel di atas adalah ukuran sulim
dengan kunci F yang dibuat oleh bapak M. Sitohang, dengan aturan pola ukur
pembuatan sulim secara umum18

18
Akan dijelaskan lebih lanjut pada tahapan proses pembuatan.

58
3.3 Proses Pembuatan

Proses pembuatan sulim dikerjakan oleh tangan yang dibantu dengan

peralatan-peralatan yang sederhana. Sebelum pada tahap proses pembuatan, penulis

akan menjelaskan lebih dahulu bahan material dan alat-alat yang digunakan.

3.3.1 Bahan material

Material yang digunakan dalam pembuatan sulim relatif sederhana.

Pembuatan sulim tidaklah sesulit pembuatan instrumen Batak Toba yang lain

seperti taganing yang membutuhkan material yang kompleks dengan proses yang

sulit dan butuh waktu yang relatif lama. Sulim adalah salah satu instrumen Batak

Toba yang relatif sederhana dalam proses pembuatannya. Sebab bahan utama yang

digunakan dalam pembuatan sulim hanya seruas bambu saja.

Jenis bambu yang baik untuk dijadikan sebuah sulim adalah bambu yang

sudah tua dan matang. Hal ini dimaksudkan agar bambu tersebut tidak mengalami

perubahan fisik dan tidak mudah kisut/susut sewaktu dikeringkan. Dibuat dari

seruas bambu dengan panjang ruas bambu yang ideal biasanya berkisar antara 30

cm s/d 75 cm dengan ketebalan bambu yang berkisar antara 0,1 cm s/d 0,3 cm.

3.3.2 Peralatan yang digunakan

Selain bahan material yang sederhana, peralatan yang digunakan juga tidak

terlalu banyak, yakni hanya membutuhkan gergaji, pisau belati kecil ataupun

sebilah besi bulat dengan ukuran tertentu, meter atau seutas daun pisang dan bara

api. Namun, bilahan besi bulat tersebut memiliki ukuran diameter yang berbeda-

beda tergantung besar kecilnya bambu yang akan dibuat.

59
Gergaji atau parang berfungsi untuk memotong bambu dari pohonnya serta

memotong bilahan bambu menjadi beberapa ruas tergantung seberapa banyak sulim

yang akan dibuat.

Gambar-4. Parang

Pisau belati kecil dan besi bulat panjang berfungsi untuk membuat lobang

tiupan dan lobang nada sesuai dengan ukuran yang ditentukan.

60
Gambar-5. Pisau belati

Gambar-6. Besi bulat panjang

Meter atau seutas tali dipakai sebagai alat untuk mengukur jarak antara

lobang tiupan, lobang vibrasi, dan lobang nada, atau jarak antar lobang yang satu

dengan yang lainnya

61
Gambar-7. Mengukur lobang tiupan

Api berfungsi untuk memanaskan besi yang telah diukur agar mampu

menembus bambu dalam proses pelobangannya.

Gambar-8. Memanaskan besi pembuat lobang sulim

62
3.3.3 Langkah-langkah pembuatan

Dalam bahasan ini, penulis akan memaparkan langkah-langkah pembuatan

sulim secara umum yang tentunya tidak mengandung unsur magis atau makna ritual

tertentu.

Untuk menghasikan sulim yang baik, harus melalui tahapan yang baik pula

sebagai berikut :

a) Pemilihan bambu

b) Pemotongan badan bambu

c) Pemotongan ruas bambu

d) Pengeringan

e) Pelobangan

f) Pengornamentasian

3.3.3.1 Pemilihan bambu

Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya, bambu yang baik untuk dijadikan

sebuah sulim adalah bambu yang sudah tua dan matang. Kematangan bambu dapat

dilihat dari ciri-ciri kulit batang bambu yang sudah berwarna hijau tua, daun

berwarna hijau kecoklatan, ruas batang yang sudah cukup banyak dan biasanya

sedikit ditumbuhi lumut atau tumbuhan fungi lainnya pada batangnya yang paling

bawah. Hal ini bertujuan agar bambu tidak mudah kisut/susut sewaktu dikeringkan

atau pun setelah sulim sudah terbentuk.

Dalam proses pemilihan bambu, ternyata tidak semua kategori bambu cocok

untuk dijadikan sebuah sulim. Menurut berbagai narasumber yang sudah

berpengalaman dalam membuat sulim seperti Bapak Sinurat, Marsius Sitohang,

63
Junihar Sitohang, bambu yang ideal untuk dijadikan sebuah sulim yang kokoh dan

tahan lama sebaiknya dipilih bambu telur (bulu tolor). Karena tipikal bambu ini

tidaklah terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, juga memiliki diameter yang tidak

terlalu besar yang setidaknya sangat ideal untuk dijadikan sebuah sulim.

Gambar-9. Pohon bambu telur (bulu tolor)

3.3.3.2 Pemotongan badan bambu

Setelah bambu pilihan ditemukan, dilakukanlah penebangan atau

pemotongan bambu. Pemotongan dapat dilakukan dengan memakai parang ataupun

gergaji. Cara memotong badan bambu yang baik adalah potonglah bambu mulai

dari pangkalnya jangan dari ujungnya. Karena ketebalan bambu tersebut ada pada

64
pangkalnya. Ketika memotong, tafsirlah kira-kira ada berapa buah sulim yang dapat

dibentuk dari ruas bambu yang ada.

Gambar-10. Memotong ruas bambu

3.3.3.3 Pemotongan ruas bambu

Ketika bambu sudah selesai ditebang, potonglah ruas-ruas bambu menjadi

beberapa bagian sesuai dengan jumlah sulim yang direncanakan akan dibuat. Hal

yang perlu diperhatikan dalam memotong ruas bambu adalah pemotongan

dilakukan harus dari atas buku bambu. Sebab posisi lobang tiupan sulim yang baik

adalah harus berada di bawah bukunya bukan di atas buku bambu tersebut.

65
Gambar-11. Ruas bambu sebagai bahan sulim

3.3.3.4 Pengeringan

Dalam proses pengeringan bambu, tidak terlalu memakan waktu yang

begitu panjang sebab bambu yang telah dipilih sudah dalam kondisi tua dan matang

artinya bambu dengan tingkat kekeringan 70% sd. 80% sudah cukup untuk

dibentuk menjadi sulim. Tujuan pengeringan sebenarnya adalah agar ketahanan

bambu lebih terjamin ketika nantinya sulim sudah siap dipakai untuk jangka waktu

yang lebih lama seperti yang diharapkan.

Tahapan pengeringan dilakukan dengan cara meletakkan bambu yang sudah

dipotong menjadi beberapa ruas ke atas tungku perapian atau pun di suatu tempat

kering yang tidak terkena langsung oleh teriknya sinar matahari.

66
3.3.3.5 Pelobangan

Inti dari tahapan pembuatan sulim adalah pembuatan lobang melalui proses

pelobangan dengan mengikuti pola aturan pengukuran tertentu. Pelobangan dapat

dilakukan dengan memakai pisau belati kecil yang ujungnya tajam ataupun dengan

memakai besi bulat yang bagian ujungnya runcing dengan ukuran tertentu.

Tahapan pelobangan yang pertama dimulai dari lobang tiupan kemudian

dilanjutkan ke lobang nada secara berurutan.

Gambar-12. Membuat lobang tiupan dengan besi yang dipanaskan

Gambar-13. Pelobangan lobang nada pertama

67
Gambar-14 Pelobangan lobang nada ke-2

Gambar-15. Pelobangan lobang nada ke-3

68
Gambar-16. Pelobangan nada ke-4

Gambar-17. Pelobangan nada ke-5

69
Gambar-18. Pelobangan nada ke-6

Gambar-19. Sulim sederhana seusai tahapan pengelobangan

Pada saat lobang tiupan selesai dibuat sebenarnya situkang tersebut sudah

dapat menafsirkan nada dasar dari sulim tersebut. Sebab pada sulim ditiup tanpa

memiliki lobang, itu sama halnya dengan meniup sulim dengan menutup semua

lobang nada, dimana akan menghasilkan nada do (1) yang menjadi nada dasar sulim

tersebut. Hanya saja jika nada (pitch)nya kurang memenuhi atau kurang tinggi dari

nada dasar yang diperkirakan maka solusi yang dilakukan adalah dengan sedikit

demi sedikit memperbesar diameter lobang tiupan sesuai dengan nada yang

diharapkan dan sampai pada batas besar lobang tiupan yang wajar. Sebab jika

70
lobang tiupan terlalu besar meskipun dengan nada (pitch) yang sudah memenuhi

pada akhirnya tidak akan menjadi sulim yang ideal untuk dipakai, sebab lobang

tiupan yang terlalu besar akan mengakibat pemborosan nafas pada saat peniupan.

Oleh karena itu, perlu ketelitian dalam penentuan besar lobang tiupan. 19

Kemudian setelah lobang tiupan selesai dibuat, maka lobang yang akan

dibuat selanjutnya adalah keenam lobang nada. Dari keenam lobang nada yang

akan dibuat, lobang nada pertama yang akan dibuat adalah lobang nada bawah,

kemudian lobang nada bawah ke dua, dan seterusnya hingga lobang nada yang

keenam. Biasanya setiap membuat lobang nada, sulim tersebut selalu ditiup dahulu

untuk memastikan nada yang diinginkan. Demikianlah seterusnya hingga

keseluruhan lobang nada selesai dibuat sesuai dengan ketentuan nada yang

diinginkan.

Sebagai tambahan, lobang pemecah suara biasanya dibuat setelah lobang

tiupan berikut dengan seluruh lobang nada selesai dibentuk. Setelah lobang

pemecah terbentuk, kemudian dibalut dengan kertas tipis atau plastik tipis. Jika

tahapan ini selesai, maka selesailah sudah tahapan pelobangan sulim. Adapun

aturan-aturan atau pola pengukuran jarak antar lobang dalam membuat sebuah

sulim adalah sebagai berikut :

19
Penetapan/penentuan nada (pitch) akan dibahas lebih mendalam pada bagian “sistem
pelarasan nada” sub bab berikutnya.

71
C E
D

B F

Gambar-20. Pola jarak antar lobang sulim

Keterangan gambar:

 Jarak antara lobang tiupan (C) dengan ruas bambu = panjang diameter
bambu (B)
 Jarak antara lobang tiupan (C) dengan lobang nada atas (D) = 2 x
keliling bambu (A)
 Jarak antara lobang nada atas (D) dengan lobang nada bawah (E) = 2 x
keliling bambu (A)
 Jarak antara lobang nada bawah (E) dengan lobang tonika (F) = 1 x
keliling bambu (A)
 Jarak antara masing-masing keenam lobang nada = jarak antara lobang
nada bawah dengan lobang nada atas kemudian dibagi 5 untuk
mendapatkan 4 lobang nada berikutnya.
 Posisi lobang yang ditutup oleh selembar kertas tipis (G) berada pada
pertengahan jarak antara lobang tiupan (C) dengan lobang nada atas (D)

3.3.3.6 Ornamentasi

Setelah proses pelobangan selesai, sebenarnya tahap pembuatan sulim

secara sederhana sudah dianggap selesai. Sebab tidak semua sulim yang dapat kita

lihat secara umum memiliki ornamentasi. Ada tidaknya ornamentasi pada sulim

tergantung pada selera sipemilik atau si pembuat. Tapi ada kalanya ornamentasi

menjadi ciri khas dari seorang pembuat sulim yang bahkan itu bisa menjadi salah

72
satu faktor ketenarannya sebagai seorang pembuat sulim ternama disamping

kualitas bunyi sulim yang dia ciptakan.

Bentuk pengornamentasian pada sulim sangat beragam tergantung

kebiasaan dari sipembuat itu sendiri. Ada kalanya seorang pembuat sulim hanya

memiliki satu jenis ornamentasi yang menjadikan itu sebagai ciri khas, tetapi ada

juga orang yang mampu membuat sulim dengan beragam jenis ornamentasi sesuai

seleranya. Sebab tidak ada aturan atau batasan-batasan tertentu dalam pembuatan

ornamentasi sulim. Ada orang membuat ornamentasi berupa gorga (seni lukis atau

seni ukir Batak Toba), ada juga yang membuat hanya dengan menambahkan

lobang-lobang ornamentasi yang sama sekali tidak mempengaruhi kualitas bunyi,

ada juga yang ornamentasi hanya dengan mengukir nama atau tulisan tertentu di

bagian badan sulim tersebut, bahkan ada yang membuat dengan ketiga jenis

ornamentasi tersebut, dan masih banyak jenis ornamentasi yang lain. Hal ini dapat

kita lihat dari sekian banyaknya sulim yang beredar di tengah-tengah masyarakat

yang menunjukkan bahwa setiap sulim tidak memiliki jenis ornamentasi yang sama

kecuali ornamentasi tersebut dibuat oleh orang yang sama.

Berikut ini adalah jenis berbagai sulim dengan bentuk ornamentasi yang

berbeda-beda.

73
Gambar-21. Sulim polos tanpa ornamentasi

Gambar-22. Ornamentasi lobang

74
Gambar-23. Ornamentasi gorga

Gambar-24. Ornamentasi nama

Gambar-25. Ornamentasi simbol

75
3.3.4 Kontinuitas dan perubahan fisik sulim

Berbicara tentang kontinuitas dalam konteks fisik, berarti berbicara tentang

adanya hal-hal yang masih tetap eksis, dipertahankan, dan masih berlanjut hingga

pada saat ini yang berkaitan dengan kondisi fisik instrumen itu sendiri. Hal yang

tetap dipertahankan sebagai wujud kontinuitas fisik sulim adalah bahwasanya dari

zaman dahulu hingga pada saat ini bentuk sulim selalu sama/tetap dan tidak pernah

berubah-ubah, tetap terbuat dari bambu bahkan jumlah lobang penentu kualitas

bunyi selalu sama yakni memiliki satu lobang hembusan dan 6 (enam) buah lobang

nada.

Secara umum, bentuk fisik sulim tidak ada yang berubah. Yang berubah

adalah proses pembuatannya dan adanya pengembangan metode baru dalam

menciptakan sulim yang lebih kaya terkait akan fungsi dan penggunaannya.

Kristenisasi pada masyarakat Batak Toba membawa pengaruh atas munculnya

oknum-oknum tertentu yang membawa praktek ritual pembuatan sulim. Pada masa

reformasi ini, pembuatan sulim dengan melakukan ritual sudah sangat jarang

ditemukan baik di perkotaan maupun di pedesaan. Menurut Bapak J.Sinurat, salah

seorang pemain dan pembuat sulim mengatakan bahwa selama beliau menjadi

pengrajin sulim, ritual pembuatan sulim tidak pernah lagi dilakukan. Beliau juga

menambahkan, bahwa menurut beliau ritual pembuatan sulim diabaikan karena

nilai kepemilikan sulim pada masa sekarang ini sudah mengalami perubahan.

Tujuan seorang pengrajin sulim sudah lebih dominan kepada tujuan dagang dengan

mengutamakan keuntungan secara ekonomis dan waktu yang relatif lebih singkat

dibandingkan dengan aspek-aspek proses pembuatan dan proses ritualnya. Maka

tidak heran kalau praktek ritual tersebut diabaikan, sebab pada prakteknya pun

untuk membuat satu buah sulim membutuhkan waktu yang relatif lama.

76
Selain daripada perubahan dalam proses pembuatan yang dulunya memakai

ritual menjadi non-ritual, hal yang berubah adalah adanya metode baru dalam

menciptakan sebuah sulim yang lebih kaya akan fungsi dan penggunaannya.

Dahulu awalnya sulim tidaklah memiliki nada dasar tetap yang sudah ditentukan

pada masa itu, sebab sulim awalnya tidak dimainkan dalam sebuah ensambel yang

disesuaikan dengan nada dasar dan mengikuti pola akord tertentu. Sehingga

dulunya sulim memiliki bentuk ukuran yang berbeda-beda yang sifatnya bebas

tanpa harus mengikuti pola,aturan pembuatan tertentu. Dalam arti bahwa ketika itu

nada-nada yang dihasilkan oleh sulim belum sesuai dengan standardisasi nada yang

dihasilkan oleh piano.

Sedangkan pada masa kini, sulim sudah diciptakan dengan berbagai inovasi.

Tanpa harus menghilangkan ciri khas warna bunyinya, sulim sudah tersedia dengan

aturan pembuatan tertentu yang diselaraskan dengan standardisasi bunyi piano.

Tidak hanya dari kunci atau nada dasar tertentu saja bahkan sulim juga sudah

diciptakan berdasarkan 12 (dua belas) nada yang ada pada wilayah (range) satu

oktaf nada piano mulai dari nada C standard hingga c’ (C oktaf). Hal ini bisa terjadi

karena semakin meningkatnya permintaan dan kebutuhan masyarakat

pendukungnya terhadap penyajian sulim itu sendiri. Salah satu bukti yang paling

signifikan adalah dengan hadirnya sulim dalam mengiringi lagu ibadah gereja,

berbagai lagu dalam paduan suara, dan juga dalam komposisi musik lagu Batak

tradisional maupun populer dalam industri rekaman dimana situasi tersebut

memaksa supaya sulim juga harus disesuaikan dengan nada dasar lagu ataupun

repertoar yang diinginkan

Kemudian selain daripada itu, aspek lain yang bisa dilihat adalah ketika

sulim tidak lagi hanya memainkan nada-nada pentatonis, tetapi juga mampu

77
dimainkan dengan nada-nada yang diatonis bahkan dapat diwarnai dengan

penambahan nada kromatis. Hal ini terjadi karena sulim tidak lagi semata hanya

memainkan repertoar gondang Batak Toba yang mengandung ciri khas nada

pentatonis, tetapi juga sudah sering ditampilkan untuk mebawakan lagu-lagu baik

itu lagu tradisional Batak Toba, lagu Populer Batak atau non-Batak, lagu Rohani

gereja, maupun lagu-lagu sekuler lainnya dimana sudah banyak terkontaminasi oleh

nada-nada musik Barat. Sejalan dengan uraian tersebut di atas, mungkin hal inilah

yang memicu diciptakannya sulim dengan 12 kunci (nada dasar) yang berpatokan

pada pelarasan nada musik Barat.

3.4 Kajian Fungsional Sulim

Dalam pembahasan kajian fungsional, penulis hanya menitikberatkan

bahasan pada sistem pelarasan (tuning), teknik permainan, dan proses pembelajaran

sulim.

3.4.1 Sistem pelarasan (tuning)

Wilayah nada (range) dan jangkauan nada (ambitus) yang terdapat pada

sulim dibedakan menurut besar kecilnya diameter bambu. Apabila diameter bambu

memiliki ukuran yang besar maka akan menghasilkan bunyi dengan jangkauan

nada (ambitus) yang rendah. Sebaliknya apabila memiliki diameter yang kecil maka

otomatis akan menghasilkan bunyi dengan jangkauan nada (ambitus) yang tinggi.

Secara umum ambitus nada paling tinggi yang mampu dijangkau oleh sipemain

pada sebuah instrumen sulim adalah nada oktaf ke-2 dalam wilayah nada (range) 2

oktaf. Selain ukuran diameter dan panjang-pendeknya bambu, faktor yang juga

78
menentukan tinggi rendahnya nada sulim adalah besar kecilnya lobang dan panjang

pendeknya jarak antar lobang nada.

Sistem pelarasan nada sulim pada zaman sekarang ini tentunya tidak

terlepas dari peran nada-nada standard yang ada pada piano atau instrumen yang

lain yang dianggap memiliki standardisasi bunyi/nada. Berbicara tentang hal

pelarasan nada pada sulim, sesungguhnya tidak ada ilmu atau metode tertentu yang

dapat menjamin secara pasti penentuan kunci atau nada dasar sulim yang akan

dihasilkan. Sebab sulim termasuk jenis instrumen yang bersifat alami yang secara

teknis tidak sama dengan instrumen tiup Barat yang ada pada umumnya. Seperti

diketahui bahwa setiap instrumen tiup Barat seperti saxofon, flute, trompet, dan lain

sebagainya dapat memainkan keseluruhan tangga nada yang ada pada sistem tangga

nada diatonis musik Barat, sementara sebuah sulim hanya mampu mewakili satu

atau dua nada dasar saja. Oleh karena itu, sistem pelarasan dilakukan hanya dengan

mengandalkan penafsiran, perkiraan, dan perasaan semata.

Menurut Bapak Sinurat, hal pertama yang dilakukan untuk penentuan nada

dasar pada sebuah sulim adalah dengan melihat besar-kecilnya diameter bambu dan

panjang-pendeknya bambu yang akan dibuat. Biasanya seorang pengrajin sulim

yang baik akan mampu menafsirkan secara umum bahwa bambu yang akan dibuat

akan menghasilkan sulim dengan nada dasar tertentu hanya dengan melihat besar-

kecilnya diameter dan panjang-pendeknya ruas bambu tersebut. Apabila penafsiran

sedikit meleset ada metode tertentu yang dapat dilakukan. Misalkan sebuah sulim

yang ditafsir akan menghasilkan kunci E tetapi ternyata pitch (ketepatan nada) yang

diperkirakan kurang mencapai, caranya adalah dengan memperbesar atau

menambah sedikit demi sedikit besar keseluruhan lobang tiupan dan lobang nada.

Walaupun untuk itu dibutuhkan ketelitian dalam melakukan pekerjaan tersebut,

79
karena apabila terjadi kesalahan sedikit saja akan mengakibatkan hal yang fatal.

Apabila terjadi kesalahan dalam pelobangan maka nada dasar yang dihasilkan pun

akan kedengaran sumbang (fals) dan akan sangat susah untuk mencari solusi untuk

memperbaikinya kembali. Jalan keluarnya adalah hanya dengan mengganti bahan.

Penambahan besar lobang bertujuan untuk meninggikan pitch (nada) yang

dibutuhkan. Oleh karena itu, apabila keseluruhan lobang yang diperbesar ternyata

terlalu besar otomatis pitch (nada ) yang dihasilkan pun terlalu tinggi dan akan

melebihi pitch atau nada dasar E yang sebenarnya. Beliau juga menambahkan kalau

dalam hal pelarasan sulim lebih baik pitch yang diharapkan kurang mencapai

daripada melebihi ketinggian nada yang diharapkan. Sebab kalaupun terjadi

kekurangan pitch masih bisa diantisipasi dengan cara memperbesar keseluruhan

lobang yang tentunya akan memperkecil jarak antar lobang. Sedangkan apabila

pitch yang dihasilkan melebihi dari yang diharapkan maka tidak akan mungkin lagi

diantisipasi dengan cara memperkecil lobang dan memperbesar jarak antar lobang.

Oleh karena itu, beliau menyarankan agar poses pelobangan dimulai dengan

membuat lobang yang lebih kecil terlebih dahulu.

Pada dasarnya sulim mempunyai tonika yang diawali dari nada yang paling

rendah (semua lobang ditutup dengan jari), dimana nada tersebut menjadi nada

awal dalam menghasilkan nada-nada dalam tangga nada diatonis. Untuk

menentukan nada dasar sulim yang telah dibentuk, maka yang harus dilakukan

adalah menyelaraskan nada sulim dengan nada piano. Caranya adalah dengan

meniup sulim dengan posisi keenam jari menutup keenam lobang nada. Setelah

ditiup, carilah nada tersebut di antara kedua belas nada yang ada pada tuts piano.

Apabila nada yang dihasilkan adalah nada “F” pada tuts piano, maka nada dasar

sulim tersebut adalah “F=do”, sebab ketika sulim ditiup dengan posisi keenam jari

80
menutup keenam lobang nada maka akan menghasilkan nada “do(1)”, dan apabila

ada sebuah sulim yang ukurannnya lebih kecil juga ditiup dengan posisi keenam jari

menutup keenam lobang nada yang menghasilkan nada “A” pada tuts piano, maka

nada dasar sulim tersebut adalah “A=do”, dan lain sebagainya.

Untuk mengetahui interval dan tangga nada yang terdapat pada sulim dapat

dilihat berdasarkan posisi setiap lobang nada yang dimainkan. Di bawah ini kita

akan melihat contoh gambar interval nada pada sulim yang memiliki nada dasar

“F=do”

6 5 4 3 2 1

Gambar -26. Posisi lobang nada sulim

Gambar-27. Semua lobang nada tertutup akan menghasilkan nada “F”

81
Gambar-28 Lobang nada 1 dibuka akan menghasilkan nada “G”

Gambar-29. Lobang nada 1,2 dibuka akan menghasilkan nada “A”

Gambar-30. Lobang nada 1,2,3 dibuka akan menghasilkan nada “Bes”

82
Gambar-31. Lobang nada 1,2,3,4 dibuka akan menghasilkan nada “C”

Gambar-32. Lobang nada 1,2,3,4,5 dibuka akan menghasilkan nada “D”

Gambar-33. Lobang nada 1,2,3,4,5,6 dibuka akan menghasilkan nada “E”

83
Gambar-34. Lobang nada 1,2,3,4,5 ditutup sedangkan lobang nada ke-6 dibuka
akan menghasilkan nada “F oktaf (f’)”

Dari beberapa gambar di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem

interval nada pada sulim sama dengan interval nada yang ada dalam tangga nada

diatonis Barat. Apabila disusun dengan deret naik, maka nada-nada yang terdapat

pada sulim “F” adalah sebagai berikut :

Nada F G A Bes C D E F

Interval 2M 2M 2M 2m 2M 2M 2m

Keterangan :

 2M = interval second major atau sekunda mayor

 2m = interval second minor atau sekunda minor

3.4.2 Teknik permainan

Secara umum, ada 4 (empat) hal yang harus dikuasai dalam memainkan

sulim yakni ambasir, penjarian, pernafasan dan permainan lidah.

84
Ambasir berasal dari bahasa Perancis yaitu embouchure yang berarti “di

dalam mulut” atau “meletakkan pada mulut”. Jadi secara sederhana ambasir berarti

teknik peletakan bibir pada lobang tiup. Biasanya ambasir berlaku untuk instrumen

yang bertipikal side blown seperti flute dan jenis seruling yang lain.

Untuk instrumen flute, ambasir lebih cocok kalau dikatakan “di luar mulut’

(out of mouth). Ambasir yang digunakan antara flute dan sulim memiliki persamaan

dan perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama ditiup dari samping (side blown).

Tetapi juga terdapat perbedaan, perbedaan tersebut terdapat pada bentuk bibirnya.

Pada flute bentuk bibir lebih melebar kesamping (kanan kiri). Sedangkan pada

ambasir sulim lebih bulat yang mana perbedaan tersebut dapat dilihat sebagai

berikut :

Contoh gambar ambasir pada flute :

Contoh ambasir pada sulim :

Secara sederhana, teknik menggunakan ambasir yang benar pada sulim

adalah dengan cara meletakkan lobang tiupan ke arah pertengahan garis antara bibir

atas dengan bibir bawah lalu memutar sekitar 45 derajat ke arah luar bibir

kemudian sedikit melebarkan bentuk bibir ke arah kiri dan kanan.

85
Gambar-35. Ambasir pada sulim

Penjarian merupakan teknik membuka dan menutup jari pada lobang nada

sesuai dengan melodi yang dimainkan. Posisi jari biasanya tergantung kebiasaan

sipemain itu sendiri. Apabila sipemain lebih dominan meletakkan sulim di sebelah

kanannya, maka posisi 3 (tiga) jari tangan kiri berada pada 3 (tiga) lobang nada atas

dan posisi 3 (tiga) jari tangan kanan berada pada 3 (tiga) lobang nada bawah.

Sebaliknya, apabila sipemain cenderung meletakkan sulim di sebelah kirinya, maka

posisi 3 (tiga) jari tangan kanan berada pada 3 (tiga) lobang nada atas dan posisi 3

(tiga) jari tangan kiri berada pada 3 (tiga) lobang nada bawah. Berikut contoh

gambar.

Gambar-36. Sulim dengan posisi di sebelah kanan

86
Gambar-37. Sulim dengan posisi di sebelah kiri

Pernafasan yaitu teknik bernafas yang baik dalam memainkan sebuah sulim

yakni boleh dengan melalui hidung dan juga melalui mulut. Tetapi cara bernafas

yang efektif dalam memainkan sulim menurut pengamatan dan pengalaman penulis

adalah bernafas melalui mulut. Artinya, menarik nafas dari mulut kemudian

dihembuskan lagi melalui mulut, sementara pernafasan melalui hidung hanya boleh

dilakukan sesekali ketika ada spasi waktu dalam peniupan. Spasi waktu yang

dimaksud adalah ketika sipemain sulim berhenti sejenak untuk mengambil nafas

sebelum melanjutkan permainan ke bagian atau bait selanjutnya. Jika hanya butuh

waktu singkat dalam pengambilan nafas dalam memainkan bagian motif atau frasa

lagu yang berdekatan maka pernafasan mulut adalah cara yang paling efisien untuk

dilakukan. Tujuan bernafas melalui mulut ini adalah agar lebih mempercepat waktu

dalam pengambilan nafas dengan jumlah cukup besar yang akan diisi ke paru-paru

dan lebih mempermudah sipemain untuk menghemat nafas yang dikeluarkan.

Permainan lidah (tonguing) merupakan teknik mengatur pola ritme

pergerakan lidah ketika dalam memainkan sebuah sulim. Teknik permainan lidah

(tonguing) pada sulim sama dengan tonguing pada flute. Ada 2 (dua) jenis tonguing

dalam memainkan sulim yakni :

87
1) Single tonguing, yakni dipakai dengan cara memainkan pola Staccato untuk

interval nada yang berjauhan. Misalnya, interval nada dari E-E’ (E oktaf)

atau dari nada G-G’(G oktaf). Biasanya teknik ini dipakai pada teknik

mangangguk, mangenet, mandila-dilai dan manganak-anaki.

2) Double tonguing, yakni dipakai untuk memainkan interval nada-nada yang

berdekatan. Biasanya teknik ini dipakai pada teknik mangarutu dan

mangaroppol.

Apabila dikaji secara teliti, ada banyak pola atau teknik permainan yang

terdapat pada sulim tergantung kemampuan dan kemahiran sipemain itu sendiri.

Beberapa skripsi sebelumnya juga sudah ada yang membahas tentang pola atau

teknik permainan sulim secara umum berdasarkan kemampuan orang atau sipemain

yang diteliti. Oleh karena itu, penulis berusaha merangkum secara detail dan lebih

spesifik mengenai teknik permainan sulim dari beberapa narasumber yaitu

mangarutu, mandila-dilai, mangangguk, mangenet, manganak-anaki dan

mangaroppol.

Dalam teknik permainan sulim, ada 3 (tiga ) unsur pokok yang sangat

berperan penting dan saling berkaitan satu dengan yang lainnya yakni tiupan nafas,

lidah dan jari. Setiap teknik yang dimainkan dalam permainan sulim akan

berhubungan dengan ketiga unsur ini. Dalam prakteknya, masing-masing memiliki

peranan dan porsi yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya.

Misalnya teknik mangarutu dan mandila-dilai dimainkan dengan

memaksimalkan fungsi lidah, teknik mangangguk dimainkan dengan

memaksimalkan fungsi tiupan nafas dan penekanan lidah, dan teknik mangenet

dimainkan dengan memaksimalkan tiupan nafas dan permainan jari, dan teknik

manganak-anaki dimainkan dengan memaksimalkan fungsi lidah dan permainan

88
jari. Namun ada juga teknik yang memaksimalkan fungsi ketiga unsur tersebut

dalam porsi yang sama yaitu disebut dengan teknik mangaroppol.

3.4.2.1 Teknik permainan lidah

Dalam teknik permainan lidah, unsur yang paling berperan penting adalah

lidah. Teknik permainan lidah dapat dibagi menjadi 2 (dua) teknik yakni mangarutu

(double tonguing) dan mandila-dilai (single tonguing).

3.4.2.1.1 Mangarutu

Mangarutu adalah teknik permainan lidah dengan kombinasi double

tonguing yang memberikan penekanan ritem lidah seperti melafalkan kata “tu” dan

“ru” dengan mengeluarkan desis tiupan tanpa mengeluarkan suara/bunyi dari mulut.

Kata “tu” dilafalkan pada penekanan ritem pertama dan kata “ru” dilafalkan pada

penekanan ritem kedua. Pola mangarutu dikembangkan dengan melipatgandakan

not seperempat (1/4) atau not seperdelapan (1/8) menjadi not seperenambelas

(1/16). Teknik ini sering muncul pada berbagai lagu/repertoar yang bertempo

sedang atau cepat yang memiliki ritem rapat dengan not seperenambelas (1/16).

Teknik mangarutu biasanya lebih enak dan nyaman jika dimainkan untuk repertoar

yang bertempo sedang/cepat dibandingkan repertoar yang bertempo lambat, karena

jika dimainkan pada lagu atau repertoar lambat kesannya akan terdengar kasar dan

seakan dimainkan tidak pada tempatnya. Contoh teknik mangarutu dapat dilihat

sebagai berikut :

89
Contoh :

Keterangan :

 Setiap nada pertama dan nada ganjil pada pola teknik mangarutu di atas
ditiup dengan menggunakan penekanan lidah seperti pelafalan kata “tu”,
sedangkan nada kedua dan nada genap yang lain ditiup dengan meggunakan
penekanan lidah seperti pelafalan kata “ru”.

Secara praktis, teknik memainkan pola mangarutu pada repertoar dapat

dilihat pada penggalan melodi gondang siburuk berikut ini:

3.4.2.1.2 Mandila-dilai

Mandila-dilai merupakan teknik permainan lidah dengan memberikan

tekanan atau aksen lebih pada setiap nada yang dimainkan. Dalam istilah musik,

teknik ini lazim dikenal dengan istilah staccato. Untuk menghasilkan teknik

mandila-dilai atau staccato dalam permainan sulim biasanya diimitasikan dengan

cara menekan lidah seperti mengucapkan kata “tut” .Biasanya teknik ini dapat

90
dimainkan jika hanya sesuai terhadap lagu atau repertoar yang dimainkan. Sebab

pada umumnya tidak semua lagu atau repertoar “enak dan cocok” jika disajikan

secara terus menerus dengan memakai pola staccato, paling hanya sedikit repertoar

dapat dimainkan dengan pola ini dan itu pun hanya di beberapa bagian tertentu saja.

Hal ini disebabkan karena umumnya repertoar Batak Toba jarang dimainkan

dengan pola staccato kecuali ditemui pada bagian penggalan melodi gondang hata

sopisik saja. Jika ada yang memainkan pola staccato dalam bentuk repertoar yang

lain, biasanya hal itu merupakan bagian dari improvisasi dari sipemain tersebut.

Oleh karena itu, teknik ini biasanya hanya muncul sesekali dalam penyajiannya.

Contoh teknik mandila-dilai dapat dilihat pada penggalan melodi repertoar

gondang hata sopisik di bawah ini.

3.4.2.2 Mangangguk (Teknik permainan lidah dan tiupan)

Di dalam teknik permainan ini yang paling berperan penting adalah

penekanan lidah dan keras lembutnya tiupan nafas. Teknik permainan yang

melibatkan lidah dan tiupan ini dinamakan teknik mangangguk.

Mangangguk merupakan teknik permainan sulim dengan penggarapan

sebuah nada yang bersifat ritmik dengan memunculkan 2 (dua) nada yang sama

dengan jenis warna yang berbeda yakni nada oktaf atas (nada balikan) dan nada

oktaf bawah dalam interval dan wilayah nada satu oktaf. Dalam hal ini, ritme dari

satu ketuk nada panjang tersebut dilipatgandakan ke dalam bentuk not

91
seperenambelas (1/16). Untuk menghasilkan warna nada yang pertama yakni nada

oktaf atas dilakukan dengan penekanan lidah dengan teknik peniupan seperti

melafalkan kata “tu”, sedangkan warna nada kedua yakni nada oktaf bawah

dihasilkan melalui tiupan lembut tanpa tekanan lidah dengan teknik peniupan

seperti melafalkan kata “hu”. Teknik ini biasanya dipakai ketika memainkan lagu

atau repertoar yang yang bernuansa andung-andung (nyanyian ratapan) dengan

tempo yang lambat ataupun sedang. Contoh teknik mangangguk dapat dilihat dalam

penggalan lagu andung berjudul “Sawan” berikut ini:

Keterangan :

 Nada “g” oktaf bawah (g) yang menghasilkan bunyi “hu” dan nada “g “

oktaf atas (g’) yang menghasilkan bunyi “tu” menunjukkan pola garapan

ritmis dalam teknik mangangguk.

3.4.2.3 Mangenet (Teknik permainan jari dan tiupan)

Teknik mangenet merupakan kebalikan dari mangangguk dimana teknik ini

dimainkan dengan permainan jari dan tiupan nafas. Mangenet adalah suatu teknik

permainan nada dengan cara membuka dan menutup sedikit demi sedikit lobang

nada oleh jari dan mengkombinasikannya dengan keras-lembutnya tiupan nafas

yang bertujuan untuk menghasilkan nada yang bunyinya terkesan seperti ratapan

tangis. Teknik ini merupakan salah satu teknik yang bersifat improvisatoris yakni

pengembangan teknik yang biasanya dimainkan di luar melodi lagu atau repertoar

92
yang dimainkan dengan tujuan untuk memperindah lagu atau repertoar yang

dimainkan. Sesuai dengan suara yang dihasilkan, teknik ini biasa dipakai untuk

lagu-lagu yang bernuansa kesedihan dengan memainkan tempo lagu atau repertoar

yang lambat. Teknik mangenet dapat dilihat dari contoh penggalan lagu andung

yang berjudul tiope mual berikut ini :

Contoh penggalan melodi pokok vokal :

Contoh penggalan melodi dalam bentuk instrumen sulim dengan teknik

mangangguk :

Contoh penggalan melodi lagu dalam bentuk instrumen sulim dengan menggunakan

teknik mangangguk yang diakhiri dengan teknik mengenet :

Keterangan :

 Teknik mangenet dalam penggalan melodi di atas dapat dilihat dalam

pengembangan pola nada akhir yakni dari bentuk nada akhir penggalan

93
melodi kedua menjadi nada akhir penggalan melodi ketiga

 Untuk menghasilkan nada “es” dalam penggalan nada

diperoleh melalui teknik mangenet yakni dengan cara membuka sedikit

demi sedikit nada “d” (posisi nada keenam ditutup secara utuh) pada sulim

dengan nada dasar “F=1” sehingga lobang nada keenam yang ditutup secara

utuh menjadi terbuka setengah bagian sehingga perlahan akhirnya

membentuk nada “es”.

3.4.2.4 Manganak-anaki (Teknik permainan lidah dan jari)

Dalam teknik permainan ini yang paling memiliki peranan penting adalah

fungsi lidah dan jari artinya, teknik manganak-anaki dapat terjalin jika ada kerja

sama yang baik antara lidah dan jari. Manganak-anaki merupakan sebuah teknik

dengan pola permainan nada yang mengkombinasikan permainan lidah dengan jari

dalam penggarapan ritem dasar dari suatu komposisi lagu. Secara bentuk, Pola

penggarapan pada teknik menganak-anaki sebenarnya sama dengan pengembangan

pola mangarutu, yaitu sama-sama dikembangkan dengan cara melipatgandakan not

seperempat (1/4) atau not seperdelapan (1/8) ke dalam bentuk not seperenambelas

(1/16). Yang membedakannya hanya pada teknik memainkannya. Mangarutu lebih

memaksimalkan fungsi lidah, sedangkan manganak-anaki lebih memaksimalkan

fungsi lidah dan jari, sehingga menghasilkan karakter bunyi yang berbeda.

94
Dalam hal ini sistem kerjasama antara fungsi lidah dan jari dapat

ditunjukkan melalui penekanan lidah pada bentuk ritem pertama yang kemudian

disambut oleh jari pada ritem berikutnya. Teknik penekanan lidah pada ritem yang

pertama dilakukan seperti pelafalan kata “tu” dan penekanan ritem yang kedua

yang disambut oleh jari dilakukan dengan teknik peniupan seperti melafalkan kata

“wu”, sehingga apabila kerjasama ini terjalin dengan baik, maka bunyi yang

dihasilkan akan membentuk 2 (dua) warna yang berbeda dari 2 (dua) nada yang

sama. Teknik ini biasanya muncul ketika memainkan lagu atau repertoar yang

bertempo sedang ataupun cepat. Secara praktis, teknik memainkan pola manganak-

anaki pada repertoar dapat dilihat pada contoh penggalan repertoar Sihutur Sanggul

berikut ini:

Keterangan :

 Pola not seperenambelas pada teknik manganak-anaki

sama dengan pengembangan pola not seperenambelas pada teknik

mangarutu, yang membedakannya hanyalah pada teknik memainkan dan

produksi bunyinya. Jika diimitasikan ke dalam bentuk bunyi, pola not

seperenambelas pada teknik manganak-anaki tersebut dimainkan dengan

membentuk pola “tuwutuwu tuwutuwu”, sedangkan pola not

seperenambelas yang dimainkan pada teknik mangarutu dimainkan dengan

membentuk pola “turuturu turuturu”.

95
3.4.2.5 Mangaroppol (Kombinasi teknik permainan lidah, jari dan tiupan)

Di dalam teknik permainan sulim, mangaroppol merupakan sebuah teknik

yang paling kompleks dibandingkan teknik yang lain karena teknik ini mampu

memaksimalkan ketiga fungsi yakni lidah, jari, dan tiupan nafas dalam porsi yang

relatif sama. Selain itu mangaroppol juga merupakan sebuah teknik permainan

yang memadukan berbagai teknik ke dalam satu bentuk permainan.

Pada prinsipnya, setiap pemain sulim memiliki karakter yang berbeda-beda

dalam bermain. Ada seorang pemain sulim yang memiliki ciri khas mangarutu

dalam setiap permainannya, ada pula orang tidak mampu memakai teknik

mangarutu sehingga mengakibatkan dia bermain dengan memakai teknik

manganak-anaki sebagai ciri khasnya, dan ada pula pemain sulim yang tidak bisa

memainkan kedua-duanya sehingga dia selalu memakai teknik mangangguk dalam

setiap permainannya baik ketika memainkan lagu atau repertoar yang lambat

maupun yang cepat.

Tetapi selain daripada ketiga bentuk ciri khas pemain di atas ada pula

seorang pemain sulim yang mampu memainkan ketiga bentuk karakter permainan

tersebut. 20 Orang yang mampu memainkan ketiga bentuk karakter permainan

tersebut di atas biasanya selalu menyuguhkan lagu atau repertoar yang dimainkan

dengan metode penggabungan ketiga teknik tersebut yang dinamakan dengan

teknik mangaroppol. Ketiga bentuk permainan tersebut merupakan teknik dasar

yang pada prinsipnya harus diketahui oleh setiap pemain sulim. Oleh karena itu,

seorang pemain sulim yang baik diharapkan mampu memainkan teknik

mengaroppol dalam setiap memainkan sebuah lagu atau repertoar tertentu. Contoh

20
Tingkat kemudahan antara ketiga teknik permainan tersebut tergantung pada kebiasaan
dan kemampuan sipemain itu sendiri. Masing-masing teknik tersebut diperoleh melalui proses yang
berbeda-beda, ada yang belajar secara otodidak (marsiajar sandiri) dan ada yang belajar dari seorang
guru/ahli sulim (marguru)

96
teknik mangaroppol yakni teknik yang memadukan antara teknik mangarutu,

mangangguk, dan manganak-anaki dapat dilihat dalam bentuk penyajian penggalan

melodi pembuka atau introduce repertoar gondang batara guru berikut ini:

Keterangan :

 Pola “tu ru” mewakili teknik mangarutu

 Pola “tu wu” mewakili teknik manganak-anaki

 Pola “tu hu” mewakili teknik mangangguk

3.5 Proses Belajar Sulim

Pada umumnya, pengetahuan untuk memainkan instrumen Batak Toba

dipelajari dengan cara oral tradition (tradisi lisan). Dalam konteks ini, belajar yang

dimaksud adalah dengan cara melihat dan mendengar serta memperhatikan secara

seksama sebuah permainan instrumen tersebut kemudian menirukan dan

menghafalkannya.

Dalam budaya musikal masyarakat Toba, ada 2 (dua) macam proses

belajar. Kedua proses belajar tersebut merupakan proses belajar yang diperoleh

secara langsung dan tidak langsung. Proses belajar yang diperoleh secara langsung

dari seorang pengajar dalam istilah masyarakat Batak Toba lazim disebut dengan

marguru, sedangkan proses belajar yang diperoleh secara tidak langsung disebut

dengan marsiajar sandiri (otodidak).

97
3.5.1 Marguru

Secara harafiah, marguru memiliki arti belajar dari seorang guru atau

instruktur. Dalam konteks belajar sulim, marguru diartikan dengan seseorang yang

belajar kepada seorang pemain sulim yang dianggap sudah mahir dan profesional.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan kata “mahir” dan “profesional” adalah telah

terjun bermain musik dalam acara-acara adat Batak Toba dan telah memperoleh

legitimasi (pengakuan) dari masyarakat itu sendiri. Bentuk pengakuan tersebut

dapat dilihat ketika mayoritas masyarakat Batak Toba baik dalam ruang lingkup

nasional maupun hanya daerah setempat sudah mengenal bahkan meyakini bahwa

si pemain sulim tersebut sudah pernah bermain sulim pada setiap acara-acara adat

mau pun dalam bentuk even yang lain sesuai konteks penyajiannya.

Di dalam konteks marguru, ada 2 (dua) oknum yang terlibat yakni murid

dan guru. Dalam prosesnya, seorang murid biasanya akan mendapatkan

pengetahuan bermain sulim dengan bimbingan langsung oleh sang guru. Pada

prinsipnya, setiap guru pasti memiliki metode yang berbeda-beda dalam mengajar,

tapi pada dasarnya tujuannya sama saja yakni supaya si murid lebih mudah untuk

memahami dan mampu memainkan sulim dengan baik.

Secara umum, metode yang biasa dipakai oleh seorang guru untuk

mengajarkan cara bermain sulim yang baik kepada muridnya adalah dengan melalui

tahapan-tahapan sebagai berikut yaitu pengajaran cara meniup yang baik,

penguasaan posisi jari (penjarian), penguasaan tangga nada, penguasaan teknik

bermain, hingga kepada penguasaan dan penghafalan melodi lagu atau repertoar

yang akan dimainkan.

Jika seorang murid sudah mampu meniup dengan baik dan menguasai

penjarian serta tangga nada sulim tersebut, berikutnya sang guru akan mengajarkan

98
teknik-teknik permainan. Dalam mengajarkan pola teknik permainan, metode yang

dipakai oleh sang guru tersebut adalah dengan mengimitasikan atau menirukan

teknik permainan yang ada pada sulim tersebut ke dalam bentuk bunyi vokal yang

bertujuan agar simurid dapat membedakan karakter bunyi yang terdapat dalam

suatu bentuk teknik permainan yang berbeda- beda.

Pengajaran teknik bermain biasanya sejalan dengan pengajaran melodi lagu

atau repertoar yang akan dimainkan. Sebab dalam memainkan melodi itulah sang

guru menerapkan teknik-teknik dalam bermain. Dalam pengajaran teknik bermain

sulim, sang guru akan mengambil sampel repertoar lagu Batak Toba yang ada,

biasanya pada awalnya akan dimulai dari repertoar yang mudah dimainkan terlebih

dahulu. Ciri-ciri repertoar yang mudah dimainkan biasanya dapat dilihat dari durasi

melodi yang singkat, dan berisikan nada-nada yang berinterval pendek.

Agar simurid dapat lebih mudah menguasai teknik sekaligus menghafalkan

setiap melodi lagu ataupun repertoar yang diinginkan, sang guru akan

mengajarkannya melalui 2 (dua) langkah, langkah yang pertama yaitu dengan

pengajaran metode ende baba/gondang baba (mengimitasikan dengan nyanyian

mulut) atau dalam istilah musik Barat disebut dengan mnemonics, dan langkah yang

kedua yakni dengan cara memainkan instrumen secara langsung.

Dalam metode pengajaran ende baba, setiap bunyi atau melodi yang

dimainkan dibedakan dengan membuat klasifikasi suara yang dihasilkan dengan

menggunakan lidah, jari, dan tiupan nafas. Kemudian bunyi tersebut diimitasikan

melalui nyanyian mulut (manggondang babai) dalam bentuk suku kata. Pola suku

kata pada penyajian ende baba/ gondang baba oleh masing-masing guru/ pengajar

sulim biasanya berbeda-beda tergantung kebiasaan masing-masing. Contoh bentuk

manggondang babai atau pengimitasian melalui nyanyian mulut dalam bentuk suku

99
kata yang dimaksud tersebut dapat dilihat dari salah satu contoh gondang baba dari

penggalan nada gondang siburuk berikut ini “hudagidigidigidigidugudugudugudug

hudagidigidigidigidugudugudugudug”. Suku kata tersebut menggambarkan

penggalan melodi yang diajarkan tersebut. Kemudian setelah simurid telah

mampu menirukan bunyi yang dinyanyikan oleh sang guru atau disebut dengan

istilah manggondang babai, maka sang guru pun akan melakukan langkah kedua

yakni dengan cara memainkan langsung sulim tersebut sesuai dengan melodi lagu

yang diimitasikan melalui nyanyian mulut. Ketika sang guru mempraktekkan cara

memainkan suatu motif, kemudian simurid pun menirukan. Demikianlah seterusnya

hingga frase, bentuk dan keseluruhan melodi lagu dimainkan secara utuh.

Namun, selain belajar dengan cara marguru tidak tertutup kemungkinan

seseorang mampu belajar dengan cara yang lain, misalnya dengan menonton

berbagai pertunjukan yang menampilkan permainan sulim, mendengarkan musik

yang menyuguhkan repertoar permainan sulim dan lain sebagainya yang

selanjutnya akan dipelajari sendiri oleh pelajar tersebut. Namun untuk ini biasanya

seseorang haruslah sudah memiliki dasar-dasar keterampilan memainkan sulim.

3.5.2 Marsiajar sandiri (otodidak)

Selain belajar dari seorang guru, teknik bermain sulim juga dapat dipelajari

sendiri secara otodidak yaitu belajar hanya dari pengalaman tanpa adanya

bimbingan dari seorang parsulim (pemain sulim). Pengalaman-pengalaman yang

dimaksud menyangkut berbagai aktivitas seseorang tersebut untuk mencari dan

menggali sendiri ilmu yang ingin diperoleh melalui berbagai cara. Dalam proses

belajar secara otodidak, pengetahuan memainkan sulim dapat diperoleh dengan

berbagai cara seperti menonton berbagai pertunjukan musik yang menampilkan

100
permainan sulim, meningkatkan intensitas mendengarkan musik ataupun lagu-lagu

yang menyuguhkan repertoar permainan sulim dan jenis aktivitas lainnya yang

berkaitan dengan permainan sulim. Dalam hal ini, apabila seseorang ingin belajar

secara otodidak maka orang tersebut akan menirukan apa yang dilihat dan didengar

dengan pendekatan caranya sendiri. Dalam istilah masyarakat Batak Toba, metode

belajar secara otodidak inilah dinamakan dengan istilah marsiajar sandiri.

Pada umumnya, pengetahuan yang diperoleh dari proses marsiajar sandiri

biasanya akan memiliki lebih banyak warna permainan dibandingkan belajar dari

seorang guru atau marguru, karena dengan marsiajar sandiri ilmu yang diperoleh

bersumber dari beberapa pemain sulim dengan teknik yang berbeda-beda sesuai

dari apa yang dilihat dan didengar dari dalam pengalaman sehari-hari. Dilihat dari

kedua metode di atas, apabila dibuat sebuah analisa tentang perbandingan teknik

permainan sulim oleh orang yang mendapat pengetahuan dengan cara marguru

dengan orang yang mendapat pengetahuan dengan cara marsiajar sandiri, dapat

diambil kesimpulan bahwa orang yang marguru akan cenderung mengikuti teknik

dan cara bermain yang diberikan oleh gurunya, atau dengan kata lain teknik

permainan yang dia mainkan hanya merupakan imitasi atau perniruan dari

seseorang, sementara orang yang memiliki pengetahuan dengan cara marsiajar

sandiri akan cenderung memiliki lebih banyak jenis karakter permainan, sebab

setiap gaya ataupun teknik yang dimainkan berasal dari beberapa pemain dengan

gaya atau karakter permainan yang berbeda-beda.

Walaupun secara umum metode belajar sulim melalui proses marguru dan

marsiajar sandiri, terkadang ada juga seseorang yang belajar dengan

mengkombinasikan kedua metode tersebut, yakni pada awalnya belajar kepada

seorang guru dan selanjutnya memperdalam teknik permainannya dengan caranya

101
sendiri sehingga dia memiliki ciri khas tersendiri selain dari pada yang diperoleh

dari sang guru tersebut.

102
BAB IV

KONTINUITAS, PERUBAHAN FUNGSI

DAN PENGGUNAAN SULIM

Pada Bab ini, penulis akan mengkaji kontinuitas dan perubahan yang terjadi

dalam aspek fungsi dan penggunaaan sulim.

Berbicara tentang kontinuitas, selain dari pada penggunaan bahan baku dan

ciri khas bunyi sulim, penulis lebih menitikberatkan penjelasan kontinuitas pada

aspek fungsi musikalnya. Sedangkan tentang perubahan yang terjadi, selain

menyangkut perubahan fisik instrumen penulis lebih menitikberatkan penjelasan

pada masa penggunaannya dalam berbagai konteks mulai dari konteks solo

instrumen, ensambel, pengiring lagu, kolaborasi instrumen, dan konteks insidental

sesuai dengan periode waktu penggunaannya.

4.1 Fungsi Musikal Sulim Sebagai Fenomena Kontinuitas

Di antara kesepuluh fungsi musik yang ditawarkan oleh Alan P. Merriam,

dalam hal ini penulis hanya menitikberatkan fungsi musikal sulim pada fungsi

komunikasi, hiburan, perlambangan, pengungkapan emosional, reaksi jasmani,

penghayatan estetis dan fungsi ritual dan lima diantara keenam fungsi tersebut yaitu

fungsi komunikasi, hiburan, perlambangan, pengungkapan emosional, reaksi

jasmani dan penghayatan estetis merupakan wujud dari adanya kontinuitas yang

masih tetap dipertahankan dan diterima di tengah-tengah masyarakat Batak Toba

sampai sekarang, sementara satu fungsi yang lain yakni fungsi ritual sudah

mengalami perubahan dan bahkan telah diabaikan.

103
4.1.1 Fungsi komunikasi

Merriam mengatakan bahwa musik walaupun tanpa syair sebenarnya telah

dianggap mengkomunikasikan sesuatu.21 Sejalan dengan pendapat tersebut, fungsi

sulim sebagai media komunikasi dapat dilihat ketika alat musik ini dimainkan

bersama dengan istrumen lainnya pada saat upacara adat atau pun perayaan pesta

adat seperti Gondang Naposo 22 dan lain sebagainya. Dalam hal ini, fungsi sulim

sebagai media komunikasi dapat dibedakan menjadi dua yakni komunikasi secara

vertikal dan komunikasi secara horizontal. Komunikasi secara vertikal yakni

komunikasi antara manusia dengan pencipta, sedangkan komunikasi secara

horizontal yakni komunikasi antara manusia dengan sesama.

Sebagai bentuk komunikasi yang bersifat vertikal dapat kita lihat ketika

sulim memainkan repertoar gondang tertentu seperti repertoar Gondang Somba-

somba yang memiliki makna penghormatan dan penyembahan kepada sang

Pencipta, dimana sang Pencipta dalam repertoar ini menyampaikan sebuah pesan

kepada semua yang hadir pada acara tersebut. Sedangkan bentuk komunikasi yang

bersifat horizontal dapat dilihat pada saat sulim memainkan repertoar yang lain

seperti repertoar Gondang Embas-embas yang mencerminkan komunikasi antara

sipargonsi (pemain musik) dengan sipanortor (orang yang menari), dimana

sipargonsi meminta kepada semua orang yang manortor agar marembas23 ketika

manortor.

21
Lihat Panggabean, 1996:86.
22
Gondang Naposo adalah pesta muda-mudi pada masyarakat Batak Toba yang
merupakan sarana untuk membina hubungan antara generasi muda
23
Marembas adalah sejenis bentuk tarian Batak Toba dengan cara menghentakkan kaki ke
depan dan ke belakang sambil mengayunkan tangan.

104
4.1.2 Fungsi hiburan

Pada umumnya setiap orang pasti membutuhkan hiburan dalam berbagai

aspek kehidupannya. Hiburan biasanya dipakai sebagai media untuk memberikan

rasa senang/ bahagia bagi orang yang membutuhkannya. Pada hakekatnya hiburan

tidak semata-mata dibutuhkan oleh orang yang dilingkupi rasa duka atau memiliki

beban berat dalam hidupnya, tetapi hiburan juga dapat dinikmati oleh orang tertentu

yang memang senang terhadap sesuatu sehingga dia tertarik untuk menyaksikan

atau mendengarkan hiburan tersebut.

Hiburan biasanya disajikan dalam berbagai bentuk penyajian baik pada

saat bersifat formal, semi formal maupun non-formal. Hiburan yang bersifat formal

biasanya identik dengan seni pertunjukan yang ditampilkan dalam berbagai acara-

acara yang bersifat akademis, kenegaraan, keaagamaan, konser akbar dan lain

sebagainya. Hiburan yang bersifat semi formal biasanya ditampilkan ketika konteks

acaranya bersifat lebih santai, biasanya dapat kita lihat pada seni pertunjukan kecil

seperti mini konser, konser dadakan dan lain sebagainya. Hiburan yang bersifat

non-formal merupakan hiburan yang dipertunjukkan untuk kepentingan pribadi

maupun golongan tertentu yang disajikan tanpa adanya aturan konsep acara yang

ditentukan dengan tujuan hanya untuk kesenangan semata atau pengisi waktu

luang.

Berkaitan dengan ketiga konteks hiburan tersebut, sulim yang berfungsi

sebagai media hiburan juga merupakan instrumen yang sudah sering dipakai dalam

seni pertunjukan baik bersifat formal, semi formal, maupun non-formal. Sebagai

wujud dari fungsi sulim sebagai media hiburan dalam konteks formal dapat kita

lihat ketika sulim menjadi instrumen pengiring maupun instrumen pokok pada saat

acara seni pertunjukan yang bertemakan konser/ festival maupun non-konser.

105
Pertunjukan formal yang bersifat konser misalnya ketika sulim ditampilkan

pada acara Konser Akbar, Konser Paduan Suara, Festival Paduan Suara, Festival

Kolaborasi Etnik Modern dan sebagainya. Pertunjukan formal yang bersifat non

konser misalnya ketika sulim disajikan sebagai instrumen pengiring lagu solo atau

paduan suara untuk mengisi hiburan dalam acara akadamis seperti Wisuda, Dies

Natalis/ulang tahun, Pengukuhan Guru Besar atau seseorang dan sebagainya.

Fungsi sulim sebagai media hiburan pada pertunjukan semi formal dapat

dilihat ketika sulim ditampilkan dalam setiap acara pertunjukan musik dadakan di

acara-acara kampus, pertunjukan mini konser paduan suara sekuler atau non

gerejawi dan sebagainya, dan fungsi sulim sebagai media hiburan pada pertunjukan

non-formal dapat kita lihat ketika sulim juga ditampilkan secara tunggal atau

dikolaborasikan dengan berbagai instrumen lain pada saat pertunjukan mengamen

di pinggir jalan, pertunjukan musik di Mall, atau di tempat- tempat-tempat tertentu

yang ideal dijadikan sebagai objek yang bersifat non formal dan bisa disaksikan

oleh masyarakat umum atau khalayak ramai.

Selain dari berbagai pernyataan di atas, sulim juga dapat dijadikan sebagai

media untuk menghibur diri sendiri atau orang lain yang meminta untuk dihibur.

Marsius Sitohang selaku seorang yang dikenal sebagai maestro sulim pernah

berkata bahwa sudah banyak orang Batak Toba maupun Non-Batak Toba yang

pernah meminta dirinya untuk memainkan sulim secara solo dengan membawakan

repertoar tertentu dengan alasan untuk kesenangan pribadi. Sebab menurut orang

selaku penikmat tersebut, Marsius tidak hanya mahir dalam memainkan sulim tetapi

dia juga memiliki karisma yang seakan mampu menghipnotis sipendengar melalui

alunan syahdu sulim yang dimainkannya.

106
4.1.3 Fungsi perlambangan

Alan P. Merriam juga mengatakan bahwa musik juga dapat berfunsi sebagai

perlambangan atau simbol dari tingkah laku manusia.24 Berbicara mengenai tingkah

laku, oleh orang lain diluar etnis Batak pada umumnya memandang bahwa

masyarakat Batak Toba dikenal dengan sifatnya yang keras, tegas, prinsipil yang

seakan-akan kasar dan cepat dalam berbicara. Jika ditinjau dari segi musiknya, hal

itu bisa diterima karena bukti tersebut dapat dilihat dari musik dan repertoar yang

disajikan pada setiap acara adat masyarakat Batak Toba, biasanya kebanyakan

repertoar gondang selalu dibawakan dengan nuansa intonasi yang tegas, nada dan

lirik yang sangat rapat, dengan tempo dan durasi waktu yang berbeda-beda. Hal ini

membuktikan bahwa musik juga dapat menunjukkan identitas dari masyarakat

pendukungnya. Dengan kata lain, tipikal musik atau repertoar yang mereka sajikan

sesungguhnya melambangkan gambaran umum mengenai tingkah laku dari

masyarakat Batak Toba itu sendiri.

Sama halnya jika kita mendengarkan alunan musik di luar Batak Toba seperti

musik tradisi Karo misalnya. Musik tradisi Karo dikenal dengan ciri khas musiknya

yang selalu memunculkan nuansa rengget25 dengan tempo yang lebih lambat dari

musik Batak Toba, orang yang pernah mendengarkan akan langsung berkata bahwa

itulah musik tradisi Karo, sebab masyarakat Karo secara umum dikenal dengan

tipikal orang yang bersifat lembut dan berbicara dengan nada halus dan memakai

rengget ketika bernyanyi. Artinya, bahwa musik tradisi Karo juga melambangkan

tingkah laku dan kebiasaan masyarakat Karo itu sendiri.

24
Alan P. Merriam, 1964, hal.119-222.
25
Rengget adalah semacam ornamentasi musikal sebagai ciri khas musik tradisi Karo.

107
Jika dihubungkan antara fungsi musik sebagai perlambangan/simbol dengan

sulim sebagai instrumen, maka dapat diartikan bahwa sulim juga memiliki fungsi

musikal sebagai media untuk mengungkapkan makna perlambangan/simbol itu

sendiri, sebab sulim juga merupakan salah satu instrumen pokok masyarakat Batak

Toba yang mampu berperan membawakan melodi lagu atau repertoar secara utuh.

Pada saat sulim dimainkan untuk membawakan beberapa lagu atau repertoar, maka

masyarakat yang mendengarnya baik suku Batak Toba maupun di luar suku Batak

Toba akan mengatakan bahwa itulah ciri khas musik Batak Toba.

Selain memiliki kebiasaan sperti yang telah dijelaskan di atas, masyarakat

Batak Toba juga dikenal memiliki kebiasaan mangandung26 pada saat menangisi

orang yang meninggal. Salah satu kebiasaan ini juga dapat kita lihat ketika sulim

juga mampu memainkan teknik andung yang diimitasikan dari alunan suara

seseorang yang sedang meratap. Oleh karena itu dapat dibuktikan bahwa berbagai

bentuk kebiasaan atau tingkah laku dari masyarakat Batak Toba dapat

dilambangkan melalui alunan sulim.

4.1.4 Fungsi pengungkapan emosional

Pada hakekatnya, manusia adalah makhluk yang memiliki perasaan atau

emsosional sebagai wujud dari rasa suka maupun duka. Oleh setiap orang perasaan

tersebut juga diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda. Pada umumnya

seseorang yang dilingkupi kesedihan akan menunjukkannya dengan tangisan,

sebaliknya seseorang yang sedang merasakan kebahagiaan dan sukacita akan

menunjukkannya dengan cara tertawa. Namun, ada kalanya seseorang

mengungkapkan perasaannya dengan caranya sendiri. Musik juga merupakan

26
Mangandung artinya menangis yang ditunjukkan melalui nyanyian ratapan.

108
media yang dapat digunakan untuk mengungkapkan perasaan. Sebagai contoh, ada

orang mengungkapkan perasaannya dengan bernyanyi, ada orang mengungkapkan

perasaannya lewat penulisan lirik lagu, dan ada pula orang yang mengungkapkan

perasaannya dengan memainkan alat musik. Pengungkapan emosional dengan

ketiga cara tersebut diekspresikan sesuai dengan kondisi dan suasana hati orang

tersebut.

Sulim sebagai instrumen yang juga dapat dimainkan secara tunggal/solo

dapat berfungsi sebagai media untuk mengungkapkan perasaan. Ketika seseorang

merasakan kesedihan maupun sukacita, perasaan itu dapat ekspresikan melalui

alunan melodi sulim. Dahulu sebelum Marsius Sitohang diangkat sebagai Dosen

luar biasa di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara dan sebelum

dia terkenal sebagai salah seorang maestro sulim, beliau adalah seorang kepala

rumah tangga yang bermata pencaharian sebagai penarik becak dayung. Pada saat

menunggu penumpang beliau seringkali memainkan instrumen sulim dengan duduk

di atas becak dayungnya. Ketika ditanya mengapa beliau melakukan hal tersebut,

beliau menjawab dengan intonasi/dialek Bataknya yang kental, “yaaahhh itu karena

senang sekali memainkan sulim…jadi kalo saya bermain sulim bisa menambah

semangat dalam bekerja”, tandasnya.

Dari pernyataan beliau tersebut dapat diartikan bahwa musik juga ternyata

mampu menjadi bagian dari sisi kehidupan manusia. Terlihat jelas bahwa sulim

juga dapat memberikan dampak bagi hidup orang yang sudah sangat gemar dalam

memainkannya. Bagi seorang Marsius, peran sebuah sulim sangat besar sekali

dalam berbagai aktivitas kehidupannya. Ketika beliau mengatakan bahwa dengan

memainkan sulim semangat beliau semakin bertambah, itu artinya perasaan senang

109
atau suka cita yang beliau dambakan untuk menambah semangat beliau dalam

bekerja diwujudkannya melalui alunan sulim.

Sehubungan dengan hal itu, dapat dilihat bahwa fungsi sulim sebagai media

pengungkapan emosional dapat dilihat dari sudut pandang dan situasi yang

berbeda-beda. Sebagai contoh, ketika sulim ditampilkan bersama instrumen Batak

Toba yang lain pada sebuah acara adat Pesta Gondang Naposo 27 , fungsi

pengungkapan emosional dapat dilihat ketika manortor (menari). Alunan sulim

pada saat mengiringi tortor28 dapat memberikan pengaruh bagi sipanortor (orang

yang manortor) itu sendiri. Jika alunan sulim tersebut lincah dan dinamis akan

menambah semangat panortor (penari) bahkan kadang-kadang sampai meloncat

kegirangan. Itu artinya alunan melodi sulim itu pun ternyata mampu menggugah

emosi sipanortor sehingga sampai meloncat kegirangan.

4.1.5 Fungsi penghayatan estetis

Pada dasarnya, seseorang dapat menikmati musik karena secara psikologis

dia mampu untuk menghayati musik itu sendiri. Seseorang juga mampu memainkan

musik dengan baik apabila dia mampu menghayati permainannya dengan baik.

Seorang pemain sulim atau pemain instrumen musik apapun tidak akan maksimal

menggunakan intrumen yang dimainkannya jika dia tidak mampu menghayati

permainan musik tersebut dengan baik walaupun secara teknis orang tersebut mahir

memainkannya.

Guntur Sitohang yang merupakan salah seorang sesepuh pargonsi Batak

Toba di Harian Boho Samosir pernah berkata, “jika kita ingin mahir dalam bermain

27
Gondang Naposo adalah pesta muda-mudi dengan iringan gondang. Biasanya
dilaksanakan setelah panen selesai.
28
Tortor merupakan istilah tarian yang diiringi musik tradisional Batak Toba.

110
musik maka kita harus menjadikan musik itu sebagai bagian dari kehidupan kita”29

yang artinya kita harus menganggap musik itu sebagai sosok yang kita sayangi

setiap saat sama seperti bagaimana kita menyanyangi orang tua, keluarga, bahkan

diri kita sendiri. Dengan demikian apabila kita telah menganggap musik itu menjadi

bagian dari kehidupan kita, maka kita harus merawat, menjaga dan memperlakukan

instrumen yang kita mainkan tersebut dengan baik. Sama halnya jika kita ingin

mahir dalam bermain sulim, selain berlatih dengan tekun dan gigih maka kita juga

harus merawat dan menjaga serta memainkan sulim itu sebaik kita memperlakukan

orang yang kita sayangi. Bahkan pada saat dimainkan sekalipun, kita harus

menjiwai dan menghayati permainan kita seakan kita sedang memperlakukan orang

yang kita sayangi.

Selain daripada itu, sulim sebagai instrumen yang juga dapat berfungsi

sebagai media untuk penghayatan estetis dapat kita lihat dari peristiwa lain seperti

gerakan tortor yang dilakukan pada saat manortor yang diiringi sulim bersama

instrumen lainnya pada acara-acara adat Batak Toba. Pada umumnya tidak semua

orang Batak Toba dapat manortor karena memperoleh pembelajaran manortor,

tetapi kenyataannya jika kita melihat di lapangan terjadi sebuah keselarasan antara

gerakan tangan, kaki, dan badan pada saat manortor dengan irama musik yang

dimainkan oleh pargonsi (pemain musik). Hal ini menunjukkan bahwa keselarasan

itu muncul akibat adanya penghayatan estetis dari sipanortor ketika mendengarkan

alunan musik yang dimainkan.

29
Wawancara sambil lalu di Medan, Desember 2011.

111
4.1.6 Fungsi reaksi jasmani

Fungsi musikal sulim sebagai reaksi jasmani sejalan dengan fungsinya

sebagai pengungkapan emosional dan fungsinya sebagai penghayatan estetis. Sebab

reaksi jasmani muncul ketika adanya penghayatan yang menghasilkan emosional,

dan emosional itupun kemudian diungkapkan melalui reaksi jasmani. Sebagai

wujud dari fungsi reaksi jasmani dapat kita lihat dengan kembali mengambil contoh

manortor pada saat pesta adat pernikahan masyarakat Batak Toba. Ketika parsulim

(sipemain sulim) memainkan sulimnya dengan baik ditambah dengan pembawaan

repertoar yang baik pula, maka sipanortor akan manortor kegirangan sembari

mengeluarkan seruan-seruan seperti “eeee….mmada….” yang secara harafiah

diartikan “yaaa inilah” yang seolah-olah kata tersebut menegaskan “ya inilah

kegembiraan kita”.

Sebaliknya ketika lagu atau repertoar yang dimainkan oleh pargonsi

(pemusik) kurang enak kedengarannya bagi panortor ditambah kemungkinan

kurang mahirnya siparsulim atau pemain instrumen yang lain dalam bermain, maka

akan spontan juga para pargonsi (pemusik) akan mendapat teriakan atau sorakan

negatif dari para panortor. Juniro Sitanggang yang juga sebagai salah seorang

pemain sulim dari Samosir pernah berkata bahwa group musik mereka pernah

mendapat teguran atau sorakan yang kurang mengenakkan dari panortor pada saat

acara adat pernikahan Batak Toba di Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.

Ketika musik baru saja mengalun tiba-tiba beberapa panortor spontan berteriak “ ai

denggan jo bahen hamu boohhhh….” yang artinya bahwa mereka berharap supaya

pargonsi tersebut memainkan musiknya dengan lebih baik lagi agar enak

112
kedengaraanya bagi mereka yang manortor.30 Dari pernyataan tersebut dapat kita

artikan bahwa enak tidaknya sajian sebuah musik akan memperoleh reaksi jasmani

positif ataupun negaif dari orang yang mendengarkannya.

4.2 Konteks Penggunaan sulim dalam Berbagai Periode sebagai Fenomena

Perubahan

4.2.1 Konteks solo instrumen

Seperti telah diuraikan pada bab-I skripsi ini, jelas dikatakan bahwa sulim

awalnya hanya merupakan sejenis instrument tunggal. Namun tidak diketahui

secara pasti kapan sejarah awal penggunaan sulim tersebut digunakan sebagai

instrumen tunggal. Menurut adat Batak Toba, dahulu instrumen tunggal adalah

instrumen yang dimainkan secara tunggal dan tidak boleh dimainkan ke dalam

ensambel, baik gondang hasapi maupun gondang sabangunan, sebab pada

dasarnya sudah ditetapkan komposisi instrumen pada kedua ensambel tersebut.

Dalam hal ini, penggunaannya hanya dikaitkan ke dalam kedua ensambel tersebut

karena berdasarkan sejarah, dahulu hanya ada dua ensambel dalam musik adat

masyarakat Batak Toba yakni ensambel gondang hasapi dan gondang sabangunan.

Pada saat itu, sulim biasanya hanya digunakan pada waktu senggang untuk

mengisi kekosongan atau menghibur diri pribadi saja. Sulim juga tidak pernah

dimainkan dalam upacara-upacara adat yang bersifat ritual layaknya instrumen-

instrumen yang ada pada ensambel gondang hasapi maupun gondang sabangunan.

Namun jika diartikan secara lebih luas dan terkait perkembangan berbagai

ensambel Batak Toba pada masa kini, instrumen tunggal pada dasarnya bukan

hanya instrumen yang tidak boleh dimainkan bersama dengan ensambel gondang

30
Wawancara sambil lalu di Taman Budaya Sumatera Utara Medan, Juni 2012.

113
hasapi maupun gondang sabangunan saja, melainkan berbagai ensambel atau

format musik yang lain.

Dari keseluruhan intrumen tunggal yang ada pada masyarakat Batak Toba,

sulim adalah instrumen yang masih tetap eksis dan paling sering digunakan hingga

pada saat ini. Patut diduga, hal ini disebabkan karena sulim merupakan instrumen

tiup yang lebih kompleks dengan frekuensi nada serta jangkauan nada yang lebih

luas dibandingkan instrumen tunggal Batak Toba lainnya, sehingga berbagai jenis

lagu atau repertoar dapat dengan mudah dimainkan pada instrument ini.

Sementara instrumen tunggal yang lain (lihat bab-II) sudah sangat jarang

digunakan dalam kehidupan sehari-hari bahkan ada orang yang mengatakan bahwa

beberapa di antaranya sudah hampir punah keberadaannya seperti saga-saga,

jenggong, tanggetang dan mengmung. Sebab pada umumnya, keempat instrumen

ini sudah sangat jarang kelihatan atau digunakan dalam kehidupan sehari-hari,

bahkan hanya satu dua orang saja yang masih melestarikan instrumen ini.

Berkaitan dengan penggunaannya dalam kontek tunggal (solo), Guntur

Sitohang mengatakan bahwa ternyata dari zaman dahulu hingga pada zaman

sekarang, sulim juga sering memainkan peran mangandung 31 yang seyogianya

awalnya dimainkan oleh sordam. Jauh sebelum sulim dimasukkan ke dalam bentuk

ensambel atau berbagai instrumen yang lain, dahulu sulim sudah memainkan alunan

andung (ratapan). Namun ketika itu, sulim hanya mampu memainkan alunan

andung yang sifatnya untuk hiburan pribadi semata tanpa pernah ditampilkan ke

dalam bentuk seni pertunjukan. Namun zaman sekarang ini identitas sulim sebagai

31
Dalam konteks ini, mangandung diartikan kepada teknik yang mengimitasikan sebuah
isak tangis atau nyanyian ratapan masyarakat Batak Toba ke dalam bentuk permainan sulim.

114
pelantun alunan andung semakin dikenal seiring semakin langkanya instrumen

musik sordam.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa sordam juga merupakan salah

satu instrumen tunggal yang dahulu dimainkan dengan ciri khas mangandung.

Namun seiring semakin langkanya sordam pada masyarakat Batak Toba, peran

tersebut mampu digantikan oleh sulim. Mangandung identik dengan nuansa

kesedihan. Teknik mangandung yang biasa dimainkan pada sulim sangat mirip

dengan yang awalnya dimainkan oleh sordam, bahkan menurut pengamatan penulis

nuansa mangandung yang dimainkan oleh sulim lebih terasa dibandingkan ketika

dimainkan oleh instrumen sordam. Dalam konteks penyajiannya, zaman sekarang

ini teknik mangandun tidak hanya disuguhkan pada saat bermain solo tetapi juga

sering ditampilkan pada saat memainkan berbagai lagu atau repertoar yang

memiliki tema kesedihan bersama instrumen lainnya dalam konteks ensambel

gondang hasapi.

4.2.2 Konteks ensambel

Berbicara mengenai ensambel, dalam pembahasan ini penulis memfokuskan

penjelasan penggunaan sulim ke dalam ensambel yang berkembang pada

masyarakat Batak Toba dari masa dahulu hingga masa kini. Ensambel yang

dimaksud adalah gondang hasapi dan ensambel brass band atau yang dikenal

dengan musik tiup. Masuknya peran penggunaan sulim ke dalam berbagai ensambel

tersebut dibedakan ke dalam era zaman yang berbeda. Sejarah penggunaan sulim

yang mulai diintegrasikan dengan gondang hasapi diawali dari masuknya era

opera Batak pada tahun 1920-an hingga 1970-an, sedangkan peran atau

penggunaan sulim yang dipadukan dengan ensambel brass band ditandai dari

115
fenomena musik tiup yang berkembang pada tahun 1980-an. Dalam hal ini, baik

dalam gondang hasapi maupun brass band atau musik tiup, sulim berperan sebagai

pembawa melodi bersama-sama dengan isntrumen melodis lainnya.

4.2.2.1 Konteks gondang hasapi

Secara historis, kehadiran sulim dalam gondang hasapi tidak diketahui

secara pasti. Penggabungan sulim dengan gondang hasapi maupun dengan

ensambel yang lain mulai dikenal sejak munculnya bentuk seni pertunjukan pada

masyarakat Batak Toba yang dikenal dengan opera Batak.

Opera Batak adalah pertunjukan opera bergaya Batak, istilah ini bukanlah

istilah baku dalam entitas kebudayaan Batak. Di kalangan Batak tidak jarang

sebutan itu dianggap sebagai bagian dari tradisi kebatakan karena para pelopor

opera Batak pada awal kemunculannya pada tahun 1920-an adalah orang-orang

Batak, seperti Tilhang Gultom. Umumnya, ceritanya menghadirkan pesan moral

bagi siapa saja yang menyaksikan.

Puncak kejayaan Opera Batak pada tahun 1960-an, ketika penampilannya

sudah bertaraf nasional atas undangan presiden Republik Indonesia Soekarno di

Istana Merdeka. Opera Batak bisa saja menjadi suatu entitas baru dalam

kebudayaan Batak setelah Batak harus berubah dari tradisi klasiknya dengan

berbagai bentuk upacara (teater awal) dan tradisi pertunjukan seperti teater boneka

sigale-gale dan hoda-hoda (semacam Jaran Kepang di Jawa), dan lain-lain. Perlu

dipahami bahwa opera Batak bukanlah kebudayaan tradisi asli. Kehadirannya

merupakan suatu situasi transisi dalam masyarakat dan kebudayaan Batak.

Awalnya opera Batak berasal dari tanah kurang subur, tepatnya di

Sitamiang, Onan Runggu (Samosir) sebagai kelompok penggembala kerbau. Salah

116
satunya ialah Tilhang Gultom (+ 1896–1970), anak kelima dari Raja Sarumbosi

Gultom. Tiga orang parhasapi (pemain) merupakan cikal bakal sebutan Tilhang

Parhasapi pada tahun 1925 .

Pada awalnya pertunjukan dilakukan di rumah-rumah sebelum undangan

dari luar daerah. Pemainnya berjumlah 12 (dua belas) orang yang sebagiannya

adalah anggota keluarga Gari Gultom abang ayahnya Tilhang Gultom. Pada

tahun1927 Tilhang Gultom kemudian pindah ke Tigadolok (Simalungun) dan

mempunyai pemain sebanyak 50 (lima puluh) orang . Kurun waktu antara tahun

1914-1938, muncul gerakan identitas dan nasionalisme Batak yang dikenal dengan

nama Dos Ni Roha, dan ini menjadi sponsor utama grup Tilhang. Sehingga pada

tahun 1934 pertunjukan keliling dimulai sampai ke Penang dan semenanjung

Melayu (Daniel Perret, 2010:338-350) .

Sebagai grup Tilhang Opera Batak mulai dikenal pada 1928-1930.

Perubahan nama grup masih dilakukan Tilhang sampai tahun 1937, antara lain

32
Tilhang Batak Hindia Toneel, Ria TOR, dan Tilhang Toneel Gezelschaap. Pada

masa kolonial Jepang di Indonesia, grup Tilhang bernama Sandiwara Asia Timur

Raya dengan jumlah anggota sebanyak 40 (empat puluh) orang. Selanjutnya,

setelah kemerdekaan nama grup ini berubah menjadi Panca Ragam Tilhang dan

Serindo (Seni Ragam Indonesia).

Demikianlah sejarah singkat awal tumbuh dan berkembangnya opera Batak

sebagai teater tradisi (teater rakyat) yang telah memiliki ketenaran pada zamannya.

Melakukan pertunjukan dari kampung ke kampung, terutama ke daerah-daerah

yang baru selesai panen, karena ticket (oleh masyarakat lebih dikenal dengan

sebutan karcis) untuk menonton opera Batak dulunya bisa dilakukan dengan

32
E.K. Siahaan, 1981 hal. 10.

117
menukarkan hasil panen, dan hiburan rakyat ini sangat dinikmati masyarakat pada

masa itu.

Secara dramaturgi, opera Batak merupakan suatu pertunjukan variatif yang

menampilkan ceritera yang berisikan pesan moral, cerita rakyat dan merupakan

suatu seni pertunjukan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal

masyarakat. Sebagai contoh, cerita “Si Jonaha Penipu Ulung”. Ceritera ini

mengisahkan seorang lelaki bernama Jonaha yang suka menipu, sehingga dia

menjadi komoditas perdagangan manusia, karena suka berhutang dan berjudi,

sehingga ketika tidak mampu membayar hutang, dia diperjual belikan. Naskah ini

ditampilkan dalam 4 (empat) bahasa yaitu Karo, Simalungun, Toba, dan Bahasa

Indonesia), dan latar tempatnya dari Tanah Karo, Simalungun dan Tapanuli. Cerita

ini berisi pesan moral; tidak boleh menipu sesama manusia, terutama melakukan

hal yang merugikan orang lain.

Para pemain opera Batak juga terdiri dari berbagai agama, suku dan daerah

asal. Sehingga dengan keberagaman itu, masing-masing bisa bebas

mengekspresikan dirinya sesuai dengan latar belakang etnisnya masing-masing.

Untuk elemen seni, selain menampilkan seni teater, opera Batak juga

memadukan hal lain yang bernuansakan keberagaman, seperti seni musik yang

menyajikan paduan instrumen dan vokal (ensambel musik tradisional Batak Toba,

Melayu, Jawa dan lagu-lagu) dan seni tari . Dalam tarian juga ada dikenal namanya

33
Tortor Lima Puak (Lima Suku Batak) dan menampilkan tarian Melayu .

Walaupun pertunjukan tersebut menampilkan musik dan lagu dari berbagai

suku/etnis khususnya suku yang ada di Sumatera Utara, namun instrumen yang

33
Dikutip dari google : Kesenian yang tertinggal

118
dimainkan tetaplah berbagai instrumen dari ensambel musik Batak Toba khususnya

ensambel gondang hasapi yang dikembangkan dengan masuknya instrumen sulim.

Pada pertunjukan opera Batak, musik merupakan salah satu unsur yang

sangat penting dalam penggarapan sebuah cerita. Kehadiran musik dalam opera

Batak berfugsi untuk membangun suasana dalam setiap adegan, baik sebagai

pengiring tarian maupun pengiring nyanyian. Selain itu, keseluruhan instrumen

musik kadangkala dimainkan sebagai musik instrumentalia yang bertujuan untuk

mendemonstrasikan alat-alat musik tersebut dalam suatu pertunjukan. Oleh karena

itu, hampir semua instrumen yang ada pada masyarakat Batak Toba selalu

ditampilkan dalam setiap pertunjukan opera Batak, bahkan kadang-kadang juga

menyertakan instrumen di luar etnis Batak Toba seperti biola, gitar dan

34
sebagainya.

Dalam konteks pertunjukannya, penggunaan instrumen musik tradisional

selalu disesuaikan dengan karakter maupun adegan yang disajikan, misalnya :

gondang sabangunan biasanya digunakan untuk mengiringi tarian, gondang hasapi

digunakan sebagai pengiring tarian dan kadangkala digunakan juga untuk

mengiringi nyanyian-nyanyian. Selain dalam ensambel, sulim bersama instrumen

tunggal lainnya seperti sordam, tulila, dan saga-saga juga sering dimainkan secara

tunggal untuk menggambarkan suasana cerita yang hening atau pun sedih.

Setelah awalnya sulim hanya dipakai sebagai instrumen tunggal, dengan

kehadiran opera Batak, sulim berkembang menjadi instrumen penting dalam

memainkan perannya sebagai instrumen melodis. Tidak hanya mampu memainkan

lagu-lagu Batak Toba tetapi juga acapkali digunakan sebagai pembawa melodi

34
Dikutip dari skripsi Martogi Sitohang yang berjudul “Sulim Batak Toba : Suatu Kajian
dalam konteks Gondang Hasapi” halaman 51

119
utama dalam memainkan berbagai lagu dari etnis atau sub-etnis di luar Batak Toba.

Kemudian diantara berbagai instrumen yang dimainkan dalam gondang hasapi,

sulim merupakan instrumen yang tidak hanya berperan sebagai instrumen melodis

tetapi juga mampu menghasilkan improvisasi nada-nada tanpa menghilangkan inti

dari melodi lagu.

Dilihat dari segi fungsinya, sulim dalam pertunjukan opera Batak

merupakan sebuah instrumen yang paling komplit dibandingkan yang lain, sebab

sulim mampu memaksimalkan perannya sebagai instrumen melodis dalam kajian

yang lebih luas, baik dari segi konteks penggunaannya dalam bentuk solo dan

ensambel maupun segi pengembangan nada-nada atau alur melodi musik yang

dimainkan.

4.2.2.2 Konteks ensambel musik tiup

Sejarah munculnya ensambel brass band di tanah Batak sesungguhnya

dimulai dari masuknya pengaruh agama Kristen. Sebelum kekristenan muncul di

tanah Batak, musik yang digunakan di dalam acara adat tradisi, ataupun acara ritual

lainnya adalah gondang sabangunan dan gondang hasapi yang digunakan

memanggil arwah nenek moyang dan dalam konteks acara adat lainnya.

Masuknya agama Kristen ke tanah Batak membawa pengaruh yang

mengakibatkan adanya perubahan mendasar dalam kehidupan tradisi margondang

(menyajikan gondang) oleh masyarakat Batak Toba. Beberapa aturan yang diterbitkan

oleh badan zending, membatasi bahkan melarang kegiatan pertunjukan gondang dalam

beberapa konteks upacara adat Batak Toba yang memeluk agama Kristen, dan gereja

sebagai perpanjangan tangan badan misi ini membuat aturan kebijakan yang

dilegalisasi melalui hukum yang harus dipatuhi masyarakat Batak Toba pemeluk

120
agama Kristen (Purba, 2000:32-35). Kebijakan-kebijakan yang diambil gereja sebagai

sikap menolak keberadaan tradisi musik gondang ini, memiliki alasan bahwa praktek

pertunjukan gondang adalah elemen budaya yang terkait dengan upacara ritual dalam

kepercayaan lama (sebelum Kristen), hal ini merupakan bagian dari upaya kristenisasi

misi Rheinische Mission-Gessellschaft (RMG) dari Jerman pada tahun 1860-an di

seluruh kawasan tanah Batak. Masyarakat ini yang sudah memeluk agama ‘baru”

mereka, tidak mau menerima resiko dikeluarkan (di-ban, istilah yang digunakan dalam

Tata Gereja) dari keanggotaan komunitas gereja, hanya karena terlibat dalam praktek

margondang.

Pembatasan dan bahkan pelarangan yang dilakukan pihak gereja membawa

konsekuensi kepada sebuah perubahan kegiatan pertunjukan musikal masyarakat.

Missionaris yang membawa paham agama Kristen dalam kesempatan ini mulai

memperkenalkan musik Barat, diawali dengan satu alat tiup terompet dan selanjutnya

menjadi sebuah ensembel musik tiup (brass music) yang dipergunakan untuk kegiatan

ibadah di gereja sebagai pengiring dalam ibadah. Berbagai alat musik tiup tersebut

terbuat dari logam yang terdiri dari terompet, saxofon, trombon, tuba dan 1 (satu) set

drum.

Hal ini menunjukkan terjadinya infiltrasi (memasukkan sebagian unsur

budaya asing ke dalam budaya sendiri) dari Budaya Barat ke Budaya Batak, hal ini

dapat kita lihat dari adanya perubahan yang membentuk orang Batak dalam ajaran

kepercayaan lama beralih menjadi penganut ajaran agama Kristen Protestan dengan

segala akibat yang ditimbulkan. Pendekatan sistematis budaya Barat ini dilakukan

dalam dua hal pokok, yakni membawa ajaran agama ini di satu pihak, dan

terbangunnya sistem tata tertib sosial kemasyarakatan menurut metoda Barat,

menyentuh ke seluruh sendi kehidupan, salah satunya adalah tradisi musikal

gondang. Para missionaris dalam penginjilannya membawa tradisi Barat yaitu

121
tradisi yang dipergunakan dalam mengimplementasikan misi kekristenan sebagai

sarana pendukung di dalam penyampaian pelayanan pengabaran Injil di tanah

35
Batak. Sejak itu, masyarakat ini mulai mengalami hal baru dan asing sebagai

tatanan hidup baru perihal kehidupan sosial masyarakat dan keagamaan. Terjadinya

proses transmisi dua budaya yang berbeda pada pokoknya adalah dimana satu

kebudayaan menerima nilai-nilai kebudayaan lain, nilai baru masuk bercampur

dalam kebudayaan lama. Dua kebudayaan yang berbeda bertemu dan memberi

pengaruh satu sama lain.

Dengan kondisi tersebut, musik tiup yang dikenal sebagai musik yang

sebelumnya dekat dengan gedung gereja saja, bergeser keluar (transpalanted) dari

lingkungan gereja menuju ranah kehidupan adat religi dan ritual masyarakat Batak

Toba dan mengikis peranan dan aktivitas gondang Batak sebagai kearifan lokal,

yang sengaja ditinggalkan akibat perubahan sosial oleh tekanan budaya asing dan

diterima masyarakat Batak Toba sebagai tindakan kemapanan dalam merespon

kebudayaan baru. Hal ini mendapat tempat akibat adanya pemahaman bahwa

gondang yang dulunya dianggap sakral dan memiliki aspek mistis sebagai bagian

dari kegiatan kebudayaan, dapat digantikan oleh peranan musik tiup sebagai

36
komoditas baru untuk menyelenggarakan posisi fungsi dan kegunaan gondang.

Selain mengalami perubahan penggunaannya dari musik gereja kepada

musik adat masyarakat Batak Toba, musik tiup yang awalnya dikenal sebagai

35
Lihat J.R. Hutauruk, 2010 hal. 26.
36
Sebagian masyarakat memiliki budaya lokal yang kuat dan dilatari oleh agama suku atau
agama tribal menaruh lex non scripta bahwa semua yang milik sendiri adalah yang paling mulia dan
semua yang di luar lingkungannya dianggap buruk. Lihat selanjutnya, penekanan oleh kolonial
Belanda terhadap upacara-upacara ritual parugamo Batak Toba menunjukkan legimitasi dari misi
kekristenan oleh badan zending dan pelarangan yang terjadi secara periodik dan setengah hati oleh
gereja, karena bagian-bagian tertentu dari upacara adatnya dianggap bertentangan dengan
kepercayaan Kristen (Van Den End, 1989:308)

122
ensambel musik yang terdiri atas istrumen logam, lambat laun mengalami

perkembangan dengan mengkolaborasikan berbagai alat musik tiup logam tersebut

dengan berbagai alat musik tradisional Batak Toba. Di antara musik tradisional

Batak Toba, instrumen yang paling sering dikolaborasikan dengan ensambel

tersebut adalah sulim, hasapi, garantung dan taganing. Namun di antara keempat

instrumen tersebut, yang paling instens digunakan dan masih tetap bertahan hingga

saat ini adalah sulim.

Pada tahun 1980-an, masa kejayaan Opera Batak mulai meredup dan

hampir tidak kedengaran lagi. Meski Opera Batak semakin redup namun tidak

demikian halnya dengan eksistensi sulim sebagai salah satu instrumen

pendukungnya. Setelah habisnya masa kejayaan Opera Batak di akhir tahun 1970-

an, eksistensi sulim masih terus berlanjut hingga kepada lahirnya fenomena musik

tiup yang sangat dikenal pada era tahun 1980-an.

Menurut Marsius Sitohang, tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama

sekali yang mempopulerkan instrumen sulim ke dalam ensambel musik tiup. Beliau

mengatakan bahwa awal tahun 1980-an sudah ada group musik yang memadukan

ensambel musik tiup logam dengan alat musik tradisional Batak Toba. Namun

awalnya keberadaan group tersebut masih kurang diterima di tengah-tengah

masyarakat Batak Toba. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa masyarakat

Batak Toba yang telah menganut kepercayaan Kekristenan kembali lagi kepada

kepercayaan tradisional yang menggunakan alat musik tradisi yang identik dengan

kemagisan. Hingga pada tahun 1987, dibentuklah sebuah group musik Batak yang

bernama Horas Musik, dimana Marsius Sitohang juga turut menjadi salah satu

personil yang mempopulerkan sulim pada masa itu.

123
Beliau juga menambahkan bahwa dengan kehadiran Horas Musik sebagai

group musik baru yang berperan sebagai pengiring acara-acara adat masyarakat

Batak Toba ternyata memberikan dampak yang cukup besar bagi eksistensi group

musik Batak Toba pada masa itu. Dengan hadirnya konsep baru yang ditawarkan

oleh Horas Musik, penggabungan alat musik tradisional dengan ensambel musik

tiup mulai diterima. Menurut beliau, hal ini disebabkan oleh penyajian musik yang

mereka tampilkan memiliki keunikan tersendiri dibandingkan group musik Batak

Toba yang lain. Keunikan tersebut terlihat ketika mereka menyuguhkan musik yang

memadukan musik modern dengan musik tradisional dengan membawakan

berbagai lagu populer pada masa itu dan ditambah dengan masuknya lagu-lagu

gereja yang juga mampu dibawakan oleh alat musik tradisional yang akhirnya

menghilangkan paradigma bahwa alat musik tradisi hanya mampu membawakan

37
lagu-lagu Batak Toba saja.

Sulim sebagai salah satu instrumen tradisional menjadi sebuah sosok yang

paling disorot pada masa itu. Sebab di antara alat musik tradisional yang lain, sulim

merupakan instrumen utama yang berfungsi membawakan melodi dari setiap lagu

atau repertoar yang disajikan. Di samping ada berbagai instrumen lain yang juga

mampu sebagai instrumen melodis, sulim seakan menjadi instrumen yang paling

menonjol di antara berbagai instrumen melodis lainnya. Karena sulim biasa

ditampilkan dengan improvisasi nada yang unik dan berbeda serta menjadi daya

tarik tersendiri bagi pendengarnya. Tentunya kemahiran serta profesionalitas

37
Tidak dapat dipungkiri bahwa populariitas Marsius Sitohang yang mendunia pada saat
itu juga berpengaruh terhadap pola pikir sebagaian masyarakat Batak Toba yang kemudian secara
perlahan dapat menerima keberadaan sulim ini dalam konteks adat, agama, maupun hiburan. Pada
masa ini, Marsius juga dikenal sebagai Si Raja Seruling Batak.

124
sipemain juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sulim menjadi

perhatian bagi barang siapa yang menyaksikan penampilan musik tersebut.

Banyak orang bahkan berbagai musisi tradisional Batak Toba menganggap

bahwa Marsius Sitohang merupakan salah satu pencetus masuknya sulim ke dalam

ensambel musik tiup logam yang kemudian menjadikan Horas Musik menjadi

barometer group musik Batak Toba pada masa itu. Sehingga dengan kehadiran

group Horas Musik tersebut, seiring perkembangan zaman banyaklah bermunculan

berbagai group musik Batak Toba yang lain dengan sajian yang sama dengan porsi

yang berbeda-beda.

Perkembangan musik tiup dari era 1980-an hingga pada masa kini sudah

menunjukkan berbagai fenomena perubahan baik dari segi komposisi musik

maupun formasi alat musik yang disajikan. Jika kita membandingkan dengan musik

tiup yang disuguhkan pada masa kini, sudah merupakan hal yang wajar apabila

hanya menampilkan tiga instrumen saja dalam satu ensembel seperti sulim,

keyboard (kibot), taganing, dan sulim yang bahkan sesungguhnya tidak ada satupun

diantara beberapa instrumen tiup logam tersebut ditampilkan yang harusnya

menjadi ciri khas dari musik tiup itu sendiri. Oleh karena itu, seiring perkembangan

zaman pandangan masyarakat Batak Toba terhadap eksistensi musisi Batak Toba

juga berubah, yakni walau hanya biasa menggunakan ketiga instrumen seperti

keyboard, taganing, dan sulim tanpa didukung adanya beberapa alat musik tiup

logam para musisi tersebut kadang-kadang juga masih dianggap sebagai pemusik

38
tiup.

38
Sebagaimana sudah disebutkan pada bab-I, nama lain dari formasi sulim, kibot, taganing
ini disebut Sulkibta (Sulim, Kibot, Taganing).

125
4.2.3 Konteks pengiring lagu

Konteks pengiring lagu yang penulis maksudkan di sini adalah terkait

dengan peran sulim yang digunakan sebagai musik pengiring dalam berbagai lagu

sekuler maupun rohani, atau baik dalam konteks gerejawi maupun non-gerejawi.

Dalam konteks gerejawi akan berkaitan erat dengan perkembangan musik gerejawi,

sedangkan konteks non-gerejawi berkaitan erat dengan peran sulim dalam

mengiringi lagu-lagu sekuler baik yang dibawakan oleh penyanyi solo, grup vokal,

atau pun paduan suara di berbagai acara baik yang sifatnya formal atau pun non-

formal.

Dewasa ini sudah tidak asing lagi jika kita melihat berbagai musik tradisi

Batak Toba seperti taganing, hasapi dan khususnya sulim sering digunakan sebagai

media pengiring di berbagai acara dan pertunjukan, baik formal maupun non-

formal seperti di gereja-gereja, gedung-gedung pertunjukan, gedung-gedung

penyelengaraan acara-acara akademis, dan lain sebagainya. Di gereja kita akan

melihat bahwa alat musik tradisi Batak Toba khususnya sulim sudah digunakan

baik ketika mengiringi ibadah maupun ketika mengiringi berbagai lagu yang

dinyanyikan oleh paduan suara gerejawi pada acara ibadah tertentu. Kemudian di

berbagai gedung pertunjukan seringkali kita melihat sulim digunakan untuk

mengiringi acara konser musikal baik vokal solo, grup vokal, maupun paduan

suara.

Jika kita tinjau kembali, sesungguhnya era penggunaan sulim sebagai media

pengiring lagu sudah berlangsung sejak masa kejayaan opera Batak di era 1920-an

hingga 1970-an. Namun, saat itu sulim bersama dengan instrumen tradisional Batak

Toba yang lain digunakan hanya untuk mengiringi vokal dari penyanyi opera Batak

saja tanpa adanya perkembangan yang signifikan di bidang vokal yang lain. Hal ini

126
mungkin terjadi karena masih kentalnya budaya opera Batak di tengah-tengah

masyarakat pendukungnya, dan minimnya wawasan bermusik masyarakat Batak

Toba untuk membuat inovasi baru pada masa itu, sehingga mengakibatkan

instrumen pengiringnya hanya digunakan untuk kepentingan itu semata.

Seiring berkembangnya zaman, dari era opera Batak hingga zaman

sekarang ini eksistensi sulim sebagai media pengiring berbagai genre lagu terus

berkembang sesuai dengan kebutuhannya. Jikalau kita bandingkan mulai dari era

1970-an hingga masa sekarang ini, dapat melihat adanya fleksibilitas penggunaan

sulim dalam konteks pengiring lagu. Selain ketika digunakan sebagai media untuk

mengiringi lagu opera Batak, sulim juga kerap digunakan untuk mengiringi

berbagai genre lagu yang lain seperti lagu pop daerah (baik etnis Batak Toba

maupun etnis Batak yang lain) dan berbagai lagu sekuler lainnya yang biasa

dibawakan oleh seorang vokal solo, group vokal, bahkan paduan suara.

Keberlangsungan penggunaan sulim dalam mengiringi berbagai genre lagu

tersebut juga memberikan dampak tersendiri bagi eksistensi instrumen Batak Toba

yang lain seperti hasapi dan taganing. Dalam keberadannya, ketiga instrumen

tersebut (sukim, hasaoi, taganing) sangat kerap disandingkan bersama ketika

mengiringi berbagai lagu khususnya lagu yang bernuansa daerah Batak Toba.

Meskipun demikian, peran sulim tidak malah lazim dikatakan sejajar dengan kedua

instrument yakni hasapi, dan taganing. Sebab dalam kenyataanya, banyak orang

beranggapan bahwa lagu daerah Batak Toba itu akan terasa kental nuansa bataknya

ketika adanya paduan (gabungan) antara unsur alunan melodi sulim dengan petikan

hasapi serta tabuhan taganing di dalamnya. Meskipun hanya menyertakan sulim

bersama taganing ataupun paduan antara sulim dengan hasapi, masyarakat masih

menganggap bahwa lagu tersebut masih kerap dinikmati oleh sipendengar

127
khususnya masyarakat Batak Toba. Bahkan terkadang meskipun hanya diiringi

instrumen sulim saja. Namun sebaliknya jika lagu tersebut hanya diiringi hasapi

atau taganing sekalipun tanpa kehadiran sulim, masyarakat menilai bahwa seakan

39
ada hal yang kurang terasa dinikmati di dalam lagu tersebut . Oleh karena itu,

dapat disimpulkan bahwa eksistensi sulim memiliki peranan penting bagi

keberlangsungan musik Batak Toba khususnya dalam konteks pengiring berbagai

genre lagu Batak Toba.

4.2.4 Konteks kolaborasi instrumen

Konteks kolaborasi insturmen yang penulis maksudkan di sini adalah bahwa

sulim juga telah digunakan bersama instrumen yang lain di luar instrumen

tradisional Batak Toba baik itu instrumen Barat maupun instrumen tradisional

Batak atau etnis yang lain.

Hendrik Parangin-angin selaku seorang musisi yang dikenal multi talenta

dalam memainkan berbagai instrumen Barat dan tradisional, baik Batak Karo

maupun etnis Batak yang lain mengatakan bahwa konsep kolaborasi musikal seperti

penulis maksudkan di atas sudah berlangsung sejak awal 1990-an. Saat itu sebuah

group yang bernama Incidental Music mulai dirintis oleh beliau sendiri yang

berperan sebagai pimpinan group. Bahkan masyarakat mengganggap bahwa

Incidental Music yang merupakan sebuah group yang bergenre World Music adalah

sebuah group yang mempelopori hadirnya konsep kolaborasi multi instrumen

tersebut di kota Medan. Sebab menurut pengakuan berbagai kalangan masyarakat,

39
Asumsi ini dikutip dari berbagai golongan masyarakat Batak Toba khususnya jemaat-
jemaat gereja yang sudah kerap mendengarkan lagu yang dibawakan oleh paduan suara atau vokal
group yang biasa ditampilkan dengan menghadirkan musik tradisional Batak Toba.

128
sebelum hadirnya suguhan musik yang ditampilkan oleh Incidental Music, belum

pernah ada sebelumnya terdengar kolaborasi dengan konsep demikian.

Namun seiring berkembangnya popularitas Incidental Music yang mulai

memperoleh legitimasi (pengakuan) serta mendapat tempat di hati masyarakat

pendukungnya, kemudian di awal tahun 2000-an mulailah banyak dibentuk

berbagai group lain dengan gaya atau genre yang hampir sama dengan Incidental

40
Music seperti Cindai, Sumateran Ethnic, Metronom dan lain-lain.

Jika berbicara tentang struktur melodi yang dimaikan oleh sulim ketika

dipadukan bersama dengan instrumen yang lain, penulis memandang bahwa

struktur melodi yang dimainkan selalu didasarkan pada konsep dan komposisi lagu

yang disajikan. Jikalau tema komposisi tersebut bernuansa repertoar musik Batak

Toba, maka gaya permainan atau alur melodi yang dimainkan persis sama dengan

ketika memainkan instrumen tersebut dalam sebuah ensambe uning-uningan Batak

Toba. Artinya, teknik yang dimainkan tidak jauh berbeda dari yang biasa

ditampilkan pada saat memainkan lagu atau repertoar bersama instrumen-instrumen

Batak Toba yang lain. Yang menjadi keunikannya adalah hanya terletak pada

adanya berbagai instrumen Barat dan tradisional lain yang berperan untuk

memperindah serta memperkaya konsep musikal yang dimainkan.

Namun ketika tema komposisi lagu tersebut bernuansa musik Barat atau pun

di luar tema musik Batak Toba, konsep penggunaan sulim sedikit berbeda atau

keluar dari yang biasanya. Jika biasanya sulim digunakan untuk memainkan alur

melodi yang bernuansa Batak Toba sebagai ciri khasnya, dalam konteks ini

fungsinya sedikit bergeser sebagai instrumen yang mampu memainkan peran

ganda. Peran ganda sulim yang dimaksud adalah terkadang dimainkan berdasarkan

40
Lihat, Jefri Hutagalung, 2011 hal. 2.

129
gaya permainan sulim sebagaimana biasanya, tetapi juga terkadang dimainkan

dengan menggunakan teknik-teknik yang kerap ada dalam gaya permainan flute

yang sedikit banyak memiliki karakteristik permainan yang berbeda dari sulim.

41
Gaya musikal teknik permainan seperti staccato, slur, arpeggio dan lain

sebagainya kerap digunakan untuk menambah serta memperkaya pola permainan

yang ada pada sulim itu sendiri. Oleh karena itu penulis menilai bahwa hadirnya

sulim sebagai unsur pembawa melodi dengan kekayaan karakter dalam memainkan

setiap komposisinya menjadi keunikan tersendiri bagi para pendengar khususnya

kalangan masyarakat yang mampu beradaptasi dengan budaya Barat atau budaya

lain di luar budaya Batak Toba.

41
Staccato ialah cara membunyikan nada-nada; terpisah, satu persatu dengan tajam; slur
ialah busur, legato (bersambung); arpeggio ialah permainan nada-nada dengan cepat secara
berurutan seperti petikan pada alat arpa (Latifah Kodijat, 1983 hal. 5, 67, 70.)

130
BAB V

TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MELODI SULIM

5.1 Trankripsi

Sebelum melakukan kerja analisis, langkah pertama yang dikerjakan ialah

mengubah bunyi musik ke dalam lambang visual melalui sebuah proses kerja yang

disebut transkripsi. Nettl mengatakan bahwa transkripsi adalah proses menotasikan

bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual, atau kegiatan memvisualisasikan

42
bunyi musik ke dalam bentuk notasi dengan cara menuliskannya ke atas kertas.

Walaupun kegiatan mentranskripsi musik tradisional dalam bentuk notasi

visual sejak lama telah dianggap sebagai tugas yang esensial, berat dan sukar bagi

para etnomusikolog/musikolog/musisi seniman, namun untuk melihat dan

memahami bunyi musik sebagai produksi dari tata tingkah laku masyarakat

pemiliknya dalam bentuk visual, maka tidak ada cara lain kecuali melakukan

transkripsi terhadap bunyi musik yang akan dideskripsikan itu.

Pada umumnya dalam budaya oral, notasi yang digunakan ialah notasi

konvensional Barat, hal ini menjadi alternatif pilihan yang paling besar

kemungkinannya digunakan, terutama jika dalam budaya musikal yang diteliti tidak

43
tersedia sistem penulisan notasi musik.

Dari pengamatan yang dilakukan oleh beberapa ahli, memang terdapat

kelemahan yang serius terhadap hasil transkripsi yang menggunakan notasi musik

(Barat) yang konvensional. Hal ini disebabkan:

42
Nettl, op. cit., 98.
43
Supanggah, op. cit., 13.

131
a. Pertama, notasi ini terlalu subyektif, yaitu telinga manusia tidak mampu

menerima atau menangkap apa saja yang disajikan (dalam musik yang akan

ditranskripsi), sekalipun rekaman itu diulang berkali-kali, dan juga ketajaman

persepsi individual dari si pentranskripsi yang berbeda-beda.

b. Kedua, notasi musik Barat bukan didesain untuk musik tradisi lisan (lihat

Seeger, 1958).

c. Ketiga, sejauh ini belum ada satu notasi visual pun yang dirancang, termasuk

notasi Barat dengan tanda-tanda khusus untuk nada-nada non-konvensional dan

lain-lain, yang dapat mewakili, seperti kualitas suara yang asli, cara-cara yang

44
penting dalam memproduksi bunyi vokal atau intrumental, dan sebagainya.

Untuk itu keterbatasan notasi musik Barat haruslah disadari apabila kita

hendak melakukan suatu transkripsi yang detail, sebagaimana di kemukakan oleh

Singer. “The limitations of our Western musical notation must be taken into

45
consideration, particularly when attempting a detailed transcription”.

44
Masalah di atas kemudian dapat dipecahkan dengan diciptakannya oscilograph,
sonagraph, dan melograph. Melograph model C yang dibuat oleh Charles Seeger dapat
menganalisis suara secara sangat detail serta dapat menghasilkan gambar dari rekaman nada-nada,
amplitudo, dan spektrum bunyi pada saat bersamaan ke dalam bentuk sebuah film grafik. Akan
tetapi sekalipun peralatan ini mempunyai sifat obejektif, namun terdapat kelemahan-kelemahan dari
informasi yang diberikannya, dan terdapat pula sejumlah materi yang tidak dapat dianalisis dengan
menggunakan alat ini. Di satu sisi alat ini memberikan informasi lebih banyak dari yang diperlukan
(sehingga sulit untuk dipelajari), artinya alat ini mampu menangkap lebih banyak dibanding daya
tangkap telinga manusia, padahal sebuah transkripsi haruslah berdasar kepada apa yang dapat
diterima oleh indera pendengaran manusia, dengan kata lain tujuan dari pentranskripsian adalah
untuk mencatat hal-hal yang esensial, serta menghindari hal-hal yang dipandang tidak esensial.
Untuk itulah kemudian penggunaan notasi (Barat) dalam pentranskripsian suatu musik tetap dipakai
sesuai kepentingan dan kegunaannya. Ibid., 14-15. Lihat juga Barbara Crader, “Ethnomusicology,”
dalam Stanley Sadie, The New Grove Dictionary of Music and Musicians (London, New York:
Macmillan Publisher Limited, 1980), 117.
45
Roberta L. Singer, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in
Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 113.

132
Namun demikian Nettl (1975) mengatakan bahwa untuk menemukan ciri-

ciri yang mendasari musik yang diteliti, notasi konvensional Barat dapat digunakan,

tetapi dengan membubuhkan tanda-tanda khusus yang berguna untuk memberikan

46
kejelasan pada musik yang ditranskripsikan itu. Hal ini sejalan dengan apa yang

dikemukakan oleh Pandora Hopkins, bahwa kita menggunakan notasi karena

adanya keinginan untuk menunjukkan bahwa notasi itu adalah sebagai fenomena

yang telah memiliki arti bagi pemakainya, dan dengan notasi dapat memberikan

47
materi yang bernilai untuk perbandingan. Lagipula, “Transcription, therefore,

are needed to visualize what we near, to enable us to study musics comparatively


48
and in detail, and to help us communicate to others what we think we heard”.

Demikianlah Phylis M. May berpendapat bahwa transkripsi diperlukan untuk

memvisualisasikan apa yang didegar yang memungkinkan untuk membantu

mempelajari musik secara komparatif dan detail, serta membantu untuk

mengkomunikasikannya kepada pihak lain tentang apa yang dipikirkan dari apa

yang didengar itu. Meskipun sesungguhnya mentranskripsikan bunyi musik ke

dalam bentuk visualisasi tidak akan pernah bisa sama persis sebagaimana ketika

49
musik itu disajikan.

Dalam melakukan pentranskripsian, ada dua jenis fenomena musikal yang

biasanya menjadi persoalan bagi sang transkriptor:

46
Bruno Nettl, The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine Issues and Concepts
(Chicago: University Press, 1983), 16.
47
Pandora Hopkins, “The Purpose of Transcription”, dalan Journal for the Society of
Ethnomusicology (Ann Arbor Michigan, 1966), 316.
48
Phylis M. May, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in
Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 109.
49
Transkripsi pada umumnya pasti dipengaruhi oleh interpretasi si transkriptor terhadap
karakter-karakter musik itu. Oleh sebab itu tidak akan dapat dihindari atau akan ada muncul
perbedaan-perbedaan akan sebuah segmen musikal dari dua orang atau lebih dalam
mentranskripsikan suatu musik. Lihat juga Nettl, Theory and Method, op.cit., 99.

133
1) Fenomena yang tidak dapat digambarkan oleh simbol-simbol sistem notasi

konvensional (Barat), dan

2) Fenomena yang terlalu rumit (Inggris: detailed) untuk bisa dinotasikan.

Persoalan pertama dapat dipecahkan dengan menggunakan simbol-simbol

tambahan, sedangkan persoalan kedua pada umumnya tidak ada pemecahan-

nya. Hal ini dapat dimengerti bila mengingat kerumitan bunyi musikal,

seperti terjadinya pergeseran-pergeseran tinggi rendahnya nada yang sangat

halus pada saat sebuah nada dinyanyikan atau perbedaan yang begitu kecil

dalam nilai (ritmis) di antara nada yang nilainya kurang lebih sama, dan lain

50
sebagainya.

Sebagaimana dikemukakan oleh Seeger (1958), dalam melakukan

transkripsi terdapat dua jenis notasi musik berdasarkan tujuan dan penggunaannya.

Kedua notasi itu ialah, notasi preskriptif dan notasi deskriptif, dan karena itu

pentranskripsian pun dibedakan atas transkripsi preskriptif (Inggris: prescriptive)

dan transkripsi deskriptif (Inggris: descriptive).

Transkripsi preskriptif ialah pencatatan bunyi musikal ke dalam lambang

notasi dengan hanya menuliskan nada-nada pokoknya saja. Notasi seperti ini

umumnya dipakai hanyalah sebagai petunjuk bagi para pemusik atau sebagai alat

pembantu untuk si penyaji supaya ia dapat mengingat (apa yang telah dipelajarinya

secara lisan).

50
Masalah serupa pernah juga dihadapi para ahli linguistik (ilmu bahasa), yang kemudian
telah dipecahkan dengan cara membedakan antara fonetik dan fonemik. Fonetik adalah penelaahan
bunyi-bunyi ucapan suatu bahasa sebagaimana adanya; fonemik adalah penelaahan perbedaan-
perbedaan antara bunyi-bunyi ucapan yang dapat membentuk perbedaan arti dalam suatu bahasa
tertentu. Kedua pendekatan ini (barangkali) dapat juga diterapkan dalam pentranskripsian musik.
Notasi fonemik ialah pemakaian sistem notasi yang terdapat pada budaya pemilik musik tersebut
(jika ada), sedangkan notasi fonetik ialah pencatatan bunyi musikal dengan menggunakan sistem
notasi konvensional (Barat). Ibid., 104-105.

134
Sedangkan transkripsi deskriptif ialah menuliskan bunyi musikal ke dalam

lambang notasi (konvensional Barat) secara detail menurut apa yang dapat

ditangkap oleh indera pendengaran si transkriptor dengan maksud untuk

menyampaikan ciri-ciri dan detail-detail komposisi musik yang belum diketahui

51
oleh pembaca.

Sistem notasi konvensional Barat (notasi balok) tersebut digunakan dengan

pertimbangan bahwa:

a. pada budaya tradisi musikal yang diteliti tidak ditemukan sistem

penulisan musik,

b. para etnomusikolog/musikolog pada umumnya selalu menggunakan

notasi balok dalam mentranskripsikan musik non-Barat, terutama pada

budaya dimana musik itu berada tidak terdapat sistem penulisan musik,

c. notasi ini sudah dikenal secara umum terutama dikalangan akademisi,

d. sangat membantu dalam melihat struktur musik melalui tinggi-

rendahnya nada pada setiap lintasan melodi (melodic line), atau dalam

membedakan durasi sebuah not dengan durasi not lainnya, serta tanda-

tanda musik lainnya yang secara umum lebih mudah dipahami oleh

pembaca, dan tentu saja hal ini akan lebih memudahkan dalam

melakukan kerja analisis.

5.2 Analisis

Dalam Webster’s Third New International Dictionary of the American

Language disebutkan bahwa analisis adalah pemisahan suatu kesatuan ke dalam

51
Ibid., 99.

135
unsur-unsur fundamental atau bagian-bagian komponen. 52 Tujuannya ialah untuk

menguji sifat-sifat dan konotasi-konotasi dari sebuah konsep, ide, atau pun wujud.

Dengan demikian, hasil akhir dari sebuah analisis adalah pemisahan atas sifat-sifat

sebuah objek, baik dilihat secara keseluruhan maupun secara terpisah. Selanjutnya,

dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat menambah pengetahuan, menerangkan,

mengujicoba, dan merancang bagian-bagiannya secara umum, mengikuti logika

keilmuan dan harus memiliki alasan-alasan tertentu yang jelas.53

Membincangkan analisis musikal sama halnya dengan membincangkan

setiap unsur-unsur bermakna yang tertuang di dalam sebuah musik. Dilakukannya

analisis terhadap masing-masing unsur musikal itu ialah karena ada tujuan untuk

menjelaskan unsur bermakna tersebut. Namun sebagaimana dikatakan oleh Nicolas

Cook, bahwa hingga saat ini belum ada metode analisis oral maupun formal

tunggal yang sudah baku dan berlaku secara umum yang dapat dipakai untuk

menganalisis musik secara menyeluruh.

There is not any one fixed way of starting an analysis. It depends of the

music, as wel as on the analyst and the reason the analysis is being done. But there

is a presequisite to any sensible analysis, an this is familiarity with the music.54

Selanjutnya dapat dikatakan bahwa analisis adalah suatu pekerjaan lanjutan

setelah selesai melakukan transkripsi komposisi musik. Melalui proses analisis

tersebut akan diperoleh gambaran tentang gaya atau prinsip-prinsip dasar struktur

musikal yang tersembunyi dibalik komposisi musik itu.

52
Philip B. Gove, Webster’s Third New International Dictionary of the American
Language (New York: The World Publishing Company, 1966), 77.
53
Marcia Herndorn, “Analisis Struktur Musik Dalam Etnomusikologi.” seperti naskah
terjemahan M. Takari, Perikuten Tarigan (Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara, 1994), 4.
54
Nicolas Cook, A Guide to Musical Analysis (London & Melbourne: J.M. Dent & Sons
Ltd, 1987), 237.

136
Berkenaan dengan gaya atau prinsip dasar struktur musikal, Willy Apel

mengatakan bahwa gaya adalah unsur atau elemen penting yang sangat

berhubungan dengan struktur suatu komposisi. Unsur atau elemen dimaksud ialah

bentuk (Inggris: form), melodi (Inggris: melody), maupun ritme atau irama (

Inggris: rhythm).55

Di pihak lain, Titon dan Slobin mengatakan bahwa gaya adalah sesuatu

yang terdapat dan terorganisasi di dalam musik itu sendiri, seperti elemen nada,

elemen waktu, elemen suara, dan intensitas bunyi. Elemen nada itu sendiri terdiri

dari; tangga nada (Inggris: modus), melodi, dan sistem laras; elemen waktu terdiri

dari; birama (Inggris: metrum), dan irama (Inggris: rhythm); elemen suara terdiri

dari kualitas suara, kualitas bunyi instrumen; dan elemen intensitas bunyi yaitu

keras lembutnya bunyi suatu musik (dinamika).56

Selanjutnya, oleh Nettl dikatakan bahwa suatu komposisi musik di dalam

suatu tradisi musikal akan pula memiliki kumpulan karakter atau gaya yang sama

dengan karakter-karakter pada komposisi lainnya di dalam ruang lingkup tradisi

kebudayaan dimana musik itu berada.57

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya adalah elemen-elemen

musikal yang dijadikan sebagai dasar atau perangkat untuk membangun musik

hingga menghasilkan sebuah komposisi musik.

Dalam melakukan analisis, selain metode-metode di atas dapat juga

dikombinasikan dengan metode weighted scale (“bobot tangga nada”) dari William

55
Willy Apel, op. cit., 811.
56
Titon dan Slobin, op. cit., 5.
57
Nettl, Theory and Method. op. cit. 169.

137
P. Malm serta langkah-langkah description of musical compositions yang

ditawarkan oleh Bruno Nettl.

Malm mengatakan bahwa gaya musikal berkaitan dengan dua hal yang

tidak terpisahkan, yaitu melodi dan ritme atau ruang dan waktu. Unsur melodi

berkaitan dengan ruang, dimana setiap nada dalam garis melodi bergerak sesuai

dengan tinggi rendahnya nada. Sementara ketinggian dan kerendahan nada

mempunyai durasi secara panjang dan pendek yang dalam hal ini merupakan unsur

dari ritme. Dengan perkataan lain, ritme berkaitan dengan waktu, dimana setiap

nada dalam melodi memiliki durasi yang berbeda-beda, dan dengan perbedaan

durasi itulah tercipta gerak melodi yang harmonis.

Unsur-unsur yang berkaitan dengan melodi terdiri dari:

(1) tangga nada (Inggris: modus),

(2) nada dasar (Inggris: pitch centre),

(3) wilayah nada (Inggris: range),

(4) jumlah nada-nada,

(5) jumlah interval,

(6) pola-pola kadensa,

(7) formula-formula melodik,

(8) kontur,

(9) durasi,

(10) ritme,

(11) frase dan kalimat, serta

(12) periode atau siklus.

138
Yang berkaitan dengan dimensi waktu yaitu:

(1) tempo,

(2) pulsa,

(3) ketukan,

(4) pola dan motif, serta

(5) birama.58

Dipihak lain Bruno Nettl mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan komposisi

musikal harus memperhatikan unsur-unsur berikut:

(1) perbendaharaan nada,

(2) tangga nada (Inggris: modus),

(3) tonalitas,

(4) interval,

(5) kantur melodi,

(6) ritme,

(7) tempo, dan

(8) bentuk.59

Tabel-2
Unsur-unsur gaya dalam sebuah komposisi musik
(menurut beberapa ahli)

Willi Apel Titon & Slobin William P.Malm Bruno Netll


bentuk* - formula melodi* bentuk*
- tangga nada (modus)* tangga nada (mo- tangga nada (modus)*
dus)*
melodi* melodi* - -
- nada (sistem laras)* jlh nada-nada* perbendaharaan
nada*

58
Malm, op. cit., 7.
59
Netll, Theory and Method. op. cit., 145-149.

139
ritme irama (ritme)** ritme** ritme**
(irama)**
- birama** metrum** -
- vokal* - -
- bunyi instrumen* - -
- dinamika* - -
- - nada dasar* tonalitas*
- - jumlah interval* interval*
- - wilayah nada* -
- - pola-pola kadensa* -
- - kontur* kontur*
- - durasi** -
- - frase dan kalimat* -
- - periode atau siklus* -
- - tempo** tempo*
- - pulsa** -
- - ketukan (maat)** -
- - pola dan motif** -

Keterangan: * = berhubungan dengan unsur waktu


** = berhubungan dengan unsur melodi.

5.3 Pemilihan Sampel Lagu

Dalam kajian analisis transkripsi ini, penulis hanya memilih sebuah sampel

lagu untuk dianalisis berdasarkan metode weighted scale (“bobot tangga nada”)

dari William P. Malm. Namun dari seluruh unsur yang dikemukakan oleh Malm,

penulis hanya mengambil beberapa unsur pokok saja yaitu:

1) tangga nada

2) modus

3) wilayah nada

4) interval

5) pola kadensa

6) formula melodi (bentuk)

7) identifikasi tema (thematic material)

8) kontur melodi

140
Ada 4 jenis komposisi melodi sulim yang penulis transkripisikan sebagai

bentuk dari permainan melodi sulim terkait dengan konteks penggunaannya.

Keempat jenis tersebut penulis cantumkan dengan alasan bukan berdasarkan masa

atau periode penggunaanya, namun lebih ditujukan berdasarkan bahwa keempat

komposisi tersebut mewakili keempat konteks penggunannya mulai dari ketika

digunakan dalam konteks solo, konteks ensambel (dalam hal ini penulis hanya

memilih contoh uning-uningan opera Batak), konteks pengiring lagu (dalam hal ini

penulis hanya mengambil contoh dalam mengiringi Paduan Suara), dan konteks

kollaborasi dengan instrumen yang lain. Namun di antara keempat komposisi

tersebut, penulis hanya mengambil sebuah sampel untuk dianalisis yakni ketika

sulim dimainkan dalam mengiringi lagu Paduan Suara.

Ada berbagai faktor yang menjadi pertimbangan penulis untuk memilih

komposisi melodi tersebut untuk dianalisis, yakni karena :

1) Menurut hemat penulis, pola permainan sulim ketika dimainkan dalam konteks

solo, ensambel, maupun kollaborasi musik sedikit banyak memiliki persamaan

yakni memainkan peran dalam membawakan melodi berdasarkan lagu atau

repertoar yang dimainkan. Sedangkan ketika dalam mengiringi lagu oleh

paduan suara, sulim sedikit keluar dari perannya sebagai pembawa melodi

utama dan terkesan memainkan motif melodi yang baru.

2) Alur melodi sulim yang dimainkan pada lagu tersebut sedikit lebih bervariasi

dan jangkauan nada yang lebih luas dibandingkan dengan ketika dimainkan

pada lagu yang lain sehingga tidak menimbulkan kesan monoton.

3) Pola permainan sulim didalam mengiringi paduan suara kelihatan lebih tertata

dengan rapi dibandingkan dengan ketika dimainkan pada lagu yang lain, walau

kemungkinan hal itu juga bisa saja disebabkan oleh kemampuan sipemain

141
sulim itu sendiri ataupun hal yang lain. Namun, dalam hal ini di antara keempat

komposisi tersebut (yang ditranskripsi oleh penulis) penulis melihat bahwa

komposisi ini lebih memiliki keunikan dibandingkan dengan komposisi sulim

yang lain. Keunikannya menurut hemat penulis adalah komposisi sulim dalam

mengiringi paduan suara masih menjadi hal yang baru untuk dianalisis,

sementara komposisi yang lain sudah menjadi hal yang biasa untuk dikaji.

5.4 Kajian Analisis

Dalam kajian analisis, penulis membagi proses kerja menjadi dua bagian :

a. Pertama, penulis melakukan kajian analisis gaya musikal sama seperti yakni

sama seperti yang dipaparkan sebelumya oleh Malm. Dalam hal ini penulis

hanya mengambil sebuah sampel dari keempat komposisi yang telah penulis

transkripsikan.

b. Kedua, penulis kemudian melakukan kajian analisis ciri musikal. Analisis

ciri musikal yang penulis maksudkan lebih mengarah kepada hal yang

bersifat deskriptif, yakni penjelasan secara umum tentang ciri-ciri musikal

dari gaya permainan sulim pada masing-masing komposisi. Dalam hal ini

penulis akan mendeskripsikan ketiga komposisi (yang ditranskripsikan oleh

penulis) selain dari komposisi yang telah dianalisis sebelumnya (analisis

gaya musikal).

142
5.4.1 Analisis gaya musikal

143
5.4.1.1 Analisis tangga nada

Sebagaimana dikemukakan oleh Nettl bahwa cara-cara untuk

mendeskripsikan tangga nada adalah dengan menuliskan semua nada yang dipakai

dalam membangun sebuah komposisi musik tanpa melihat fungsi masing-masing

nada tersebut dalam lagu.

Selanjutnya, tangga nada tersebut digolongkan menurut beberapa

klasifikasi, menurut jumlah nada yang dipakai. Tangga nada ditonic (dua nada),

tritonic (tiga nada), tetratonic (empat), pentatonic (lima nada), hexatonic (enam

nada), heptatonic (tujuh nada). Dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya dianggap

satu nada saja.60

Maka jika dilihat dari nada-nada yang dimainkan dalam komposisi di atas,

lagu tersebut tersusun atas nada-nada :

60
Nettl, Theory and Method. op. cit., 145.

144
Sesuai dengan penjelasan di atas, dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya

dianggap satu nada saja. Maka, lagu tersebut tersusun atas 7 (tujuh) buah nada.

Dengan demikian tangga nada melodi sulim yang dimainkan pada komposisi

tersebut dinamakan heptatonic (tujuah nada).

5.4.1.2 Analisis modus

Sampai saat ini istilah modus belum mempunyai satu pengertian yang baku.

Dalam tulisan ini istilah modus dipakai untuk menunjukkan cara penggunaan nada-

nada dalam suatu komposisi. Misalnya, kalau kita membuat daftar nada-nada yang

dipakai dalam sebuah lagu, maka daftar itu adalah tangga nada lagu tersebut. Kalau

kita ingin mendeskripsikan modus lagu itu, paling tidak kita akan menyebut nada

mana yang berfungsi sebagai nada dasar (tonal center); nada-nada yang terpenting ;

nada-nada yang hanya dipakai sebagai nada awal atau pendamping nada lain, dan

lain sebagainya. Baik tangga nada maupun modus disampaikan lewat notasi.

Tangga nada ditulis pada paranada dengan harga-harga yang menandai

fungsi-fungsi nada dan membedakan nada yang sering dipakai dalam komposisinya

daripada nada yang jarang dipakai. Nada dasar ditulis sebagai not utuh; nada

penting lainnya sebagai not setengah, nada biasa sebagai not seperempat, nada

145
hiasan atau nada yang jarang muncul sebagai not seperdelapan atau seperenam-

belas, dan seterusnya semakin kecil menurut jumlah pemakaiannya. 61

Berikut ini merupakan modus dari komposisi di atas :

5.4.1.3 Analisis wilayah nada (ambitus)

Wilayah nada (ambitus) diperoleh dengan memperhatikan rentang jarak

(range) antara nada terendah dengan nada tertinggi dalam satu komposisi lagu.

Diukur dengan menggunakan satuan cent, laras atau interval.

Berdasarkan teori Ellis62 dikatakan bahwa 1 laras adalah setara dengan 200

cent atau ½ laras sama dengan 100 cent. Maka berdasarkan perhitungan di atas,

wilayah nada (ambitus) dari komposisi di atas adalah sebagai berikut :

Nada paling rendah Nada paling tinggi cent laras

G G’ 1200 6

Nada paling rendah dan tinggi cent laras

1200 6

61
Ibid., 146.
62
Berdasarkan teori A. J. Ellis bahwa dalam satu oktaf tangga nada yang terdiri dari 6
[enam] laras setara dengan 1200 cent atau 1 laras sama dengan 200 cent, atau ½ laras setara dengan
100 cent. Ibid., 115-116.

146
5.4.1.4 Analisis interval

Interval ialah jarak antara satu nada ke nada berikutnya, naik maupun turun

berdasarkan jumlah laras yang mengantarai kedua nada tersebut. Berdasarkan

hukum musik, nama-nama interval telah ditentukan menurut jumlah nada yang

dipakai, sedangkan jenisnya ditentukan berdasarkan jarak kedua nada tersebut

dalam laras, seperti pada tabel berikut.

Tabel-3
Rumus Interval

Simbol interval Jlh Jlh Nama dan jenis interval Contoh


nada laras nada
1P 1 0 prime perfect (murni) C-C
2M 2 1 sekunda mayor (besar) C–D
3M 3 2 Terts mayor (besar) C–E
4P 4 2,5 kwart perfect (sempurna) C–F
5P 5 3,5 kwint perfect (murni) C–G
6M 6 4,5 sekta mayor (besar) C–A
7M 7 5,5 septime mayor (besar) C-B
8P 8 6,5 oktaf Perfect (murni) C – c’
9M 9 7,5 none mayor C – d’
10M 10 8,5 decime mayor C – e’

 Catatan, interval besar (mayor, M) dikurang setengah laras menjadi interval kecil
(minor, m); interval murni (perfect, P) dan kecil (minor, m) dikurang setengah laras
menjadi interval kurang (diminish, dim); Sebaliknya, interval besar (mayor, M) dan
murni (perfect, P) ditambah setengah laras menjadi interval lebih (augumentasi,
Ag), sedangkan interval murni (perfect) tidak bisa menjadi interval besar ataupun
kecil.

Rumus interval

dim + ½ laras = m m + ½ laras = M M + ½ laras = Ag


m – ½ laras = dim M – ½ laras = m Ag – ½ laras = M
P – ½ laras = dim P + ½ laras = Ag

Dengan demikian, berdasarkan hukum interval di atas maka interval untuk

komposisi melodi sulim di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

147
Tabel-4
Frekuensi Pemakaian Interval
Lagu Tole Endehon

Simbol interval Nama dan jenis interval Jumlah interval

1P Prime perfect (murni) 64

2m Sekunda minor (kecil) 19

2M Sekunda Mayor (besar) 126

3m Ters minor (kecil) 43

3M Ters Mayor (besar) 63

4P Kwart perfect (sempurna) 30

5P Kwint perfect (murni) 12

5.4.1.5 Analisis pola kadensa

Sebagaimana kalimat bahasa yang diberi tanda baca berupa koma dan titik,

maka demikian juga halnya dengan musik, juga diberi tanda baca melalui kadens-

kadens yang terdapat di dalamnya. Sebuah kadens adalah satu kerangka atau

formula yang terdiri dari elemen-elemen harmonis, ritmis, dan melodis yang meng-

hasilkan efek kelengkapan yang bersifat sementara (kadens tak sempurna, kadens

gantung) dan yang permanen (kadens lengkap, sempurna).

Kadens yang berakhir pada nada tonal disebut kadens sempurna (lengkap),

sedangkan yang berakhir pada nada lain (seperti nada dominan atau sub-dominan)

disebut kadens gantung (tak sempurna). Analoginya dengan kalimat, kadens

sempurna itu merupakan titik; kadens gantung merupakan tanda tanya atau titik-

koma. Sebuah frase yang berakhir pada kadens gantung (tak sempurna) disebut

148
frase anteseden dan biasanya kadens seperti ini akan segera pula diikuti oleh sebuah

frase konsequen yang berakhir dengan sebuah kadens sempurna (lengkap).63

Contoh kadens gantung dapat dilihat pada akhir bar yang ke-12 menuju bar yang

ke-13 :

Contoh kadens sempurna dapat dilihat pada akhir bar yang ke-12 menuju bar yang

ke-14 :

Dengan demikian, contoh frase anteseden dapat dilihat mulai dari bar yang ke-11

hingga bar yang ke-13 :

Maka frase konsequen dapat terlihat mulai dari bar yang ke-11 kemudian melompat

menuju bar yang ke-14 :

63
Hugh M. Miller, Introduction to Music: A Guide to Good Listening (Caloocun City,
Philippines: Philippines Graphic Art Inc., 1971), seperti naskah terjemahan Triyono Bramantyo,
“Apresisasi Seni” (Yogyakarta: Institut Seni Indonesia, t.t.), 165-166. Lihat juga Lein Flein,
“Structure and Style” Expanded Edition, The Study and Analysis of Musical Form (New Jersey:
Summy-Birchard Music, 1979), 37.

149
5.4.1.6 Analisis formula melodi (bentuk)

Terdapat beberapa istilah yang lazim digunakan untuk mengidentifikasi

garapan formula melodi sebuah komposisi musik.

a. Repetitif dapat digunakan untuk menggambarkan bentuk nyanyian yang

memakai formula melodi yang relatif pendek dan selalu diulang-ulang.

b. Iteratif yaitu nyanyian dengan formula melodi yang kecil dengan

kecenderungan pengulangan-pengulangan dalam keseluruhan nyanyian.

c. Apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan pada frase pertama setelah terjadi

penyimpangan-penyimpangan melodi, bentuk ini disebut reverting.

d. Jika salah satu dari bentuk tersebut diulang dengan formalitas yang sama tetapi

dengan teks nyanyian yang cenderung baru, disebut strofic.

e. kalau bentuknya selalu berubah dengan menggunakan materi teks yang selalu

baru, ini disebut progressive.64

Bentuk dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan diantara bagian-bagian

dari sebuah komposisi yang merupakan struktur dari keseluruhan sebuah

komposisi, termasuk hubungan diantara unsur-unsur melodis dan ritmis. Hubungan-

hubungan antara bagian-bagiannya tersebut biasanya digambarkan dengan kode

huruf, yaitu A, B, C, dan seterusnya. Selanjutnya dua bagian yang bermiripan tetapi

tidak persis sama digambarkan dengan tambahan angka di atas baris; misalnya, A,

64
Malm., op. cit., 17.

150
A1 dan A2 adalah dua bagian yang dianggap sebagai variasi dari bahan musikal

yang sama.

Dalam mendeskripsikan bentuk sebuah komposisi, terlebih dahulu kita

harus membaginya ke dalam bagian-bagian. Patokan yang bisa dipakai dalam

pembagian tersebut adalah: 1) pengulangan—bagian komposisi yang diulangi bisa

dianggap sebagai satu unit; 2) frasa-frasa dan istirahat—istirahat atau pengurangan

intensitas suara (decressendo) mungkin menunjukkan batas akhir sebuah unit;

pengulangan dengan perubahan—umpamanya, transposisi lagu atau pengulangan

pola ritmis dengan nada-nada lain; 4) satuan teks dalam musik vokal, seperti kata

atau baris (dalam sajak atau pantun).

Dengan mengacu pada patokan pembagian di atas dan setelah dihubungkan

dengan perjalanan melodi yang menjadi sampel dalam tulisan ini maka penulis

menyimpulkan bahwa perjalanan melodi di atas terdiri dari 5 bentuk yang terrinci

sebagai berikut :

a. Bentuk pertama terbagi atas intro dan interlude. Oleh karena alur meodi antara

intro dan interlude percis sama, maka bentuk ini diberi lambang huruf yang

sama yakni bentuk A.

b. Bentuk kedua terbagi atas bridge I (melodi jembatan I) dan bridge II (melodi

jembatan II). Oleh karena alur melodi kedua bridge tersebut memiliki kemiripan

walaupun tidak percis sama, maka bentuk ini dibagi menjadi dua yakni

dibedakan atas bentuk B (bridge I) dan B2 (bridge II).

c. Bentuk yang ketiga terdiri atas bagian ending (penutupan) yakni dinamakan

bentuk C.

151
Contoh bentuk A dapat dilihat pada bagian intro pada bar yang ke-10

hingga bar yang ke-14, dan bagian interlude yakni pada bar yang ke-47 hingga bar

yang ke-45 yakni sebagai berikut :

Contoh bentuk B (bridge I) dapat dilihat mulai dari bar yang ke16, bar 22,

bar 24, bar 30, bar 38, hingga bar 40 yakni sebagai berikut :

152
Contoh bentuk B2 (bridge II) dapat dilihat mulai dari bar yang ke-57, bar

63, bar 65, bar 71, bar 79, bar 81, bar 83, bar 87, bar 89, bsr 91, bar 93, bar 95, bar

99 yakni sebagai berikut :

Contoh bagian bentuk C dapat dilihat pada bagian penutupan (ending)

seperti berikut :

5.4.1.7 Identifikasi tema (thematic material)

Yang dimasksud dengan identifikasi tema (thematic material) di sini ialah

unsur-unsur musik yang dijadikan dasar dari suatu komposisi. Dasar komposisi

153
tersebut disebut motif yaitu the smallest melodic germ, made of a few tones and

rhythms, kesatuan melodi terkecil yang terdiri dari beberapa nada atau ritme,65 atau

unsur lagu yang terdiri dari sejumlah nada yang dipersatukan dengan suatu gagasan

atau ide. 66 Motif biasanya selalu diulang-ulang dan dikembangkan dalam suatu

komposisi.

Untuk menganalisis motif melodi sulim pada komposisi di atas, penulis

mengelompokkannya menjadi motif [a,b,c,d,e,f,g]. Pertimbangan yang paling

utama dalam pengelompokan motif ini adalah berdasarkan susunan nada-nadanya.

Motif yang selalu diulang-ulang diberi identitas dengan menambah angka

dibelakang identitas motifnya—misalnya, motif [a1, a2, dst] adalah ulangan dari

motif [a] dengan atau tanpa penambahan (augmentation) atau pun pengurangan

(diminution) satu atau pun beberapa nada dari motif dasarnya, atau motif [b1, b2,

dst] adalah ulangan dari motif [b]. Sedangkan untuk motif yang hanya satu kali saja

muncul, dijadikan sebagai motif baru.

Motif [a] memiliki dua kali pengulangan yakni [a1,a2] terdapat pada bar

yang ke-16, bar 57, dan bar 65. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut :

Motif [b] memiliki dua kali pengulangan yakni [b1,b2] terdapat pada bar

yang ke-24, 40, dan bar 81. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut :

Motif [c] memiliki tiga kali pengulangan yakni [c1,c2,c3] terdapat pada bar

yang ke-22, 30, 63, dan bar 71. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut :

65
George Thadeus Jones, Music Theory (New York: Barnes and Noble Book, 1979), 102.
66
Karl-Edmund Prier SJ, op. cit., 3 dan 26-27

154
Motif [d] memiliki memiliki satu kali pengulangan yakni [d1] terdapat pada

bar yang ke-79 dan bar 91. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut :

Motif [e] memiliki tiga kali pengulangan yakni [e1,e2,e3] terdapat pada bar

yang ke-89, 93, 95, dan bar 99. Bentuk motif tersebut yakni sebagai berikut :

Motif [f] hanya sekali terdapat pada bar yang ke-38. Bentuk motif tersebut

yakni sebagai berikut :

Motif [g] juga hanya sekali yakni terdapat pada bar yang ke-83. Bentuk

motif tersebut yakni sebagai berikut :

5.4.1.8 Analisis kontur melodi

Kontur adalah garis melodi yang terdapat pada sebuah komposisi musik

yang dapat diidentifikasi berdasarkan pergerakan melodinya dan diperlihatkan

155
melalui grafik garis. Pada komposisi musik yang relatif panjang, identifikasi kantur

didasarkan pada bentuk melodi musiknya.

a. Bila gerak melodinya naik disebut ascending;

b. bila menurun disebut descending;

c. bila melengkung bergelombang disebut pendulous;

d. bila berjenjang disebut terraced;

e. dan apabila gerakan-gerakan intervalnya sangat terbatas disebut static.

Dengan mengacu pada identifikasi kantur di atas, dan dengan melihat grafik

melodi sulim pada lagu Tole Endehon tersebut jelas terlihat bahwa kontur melodi

dari komposisi tersebut adalah pendulous (melengkung bergelombang).

5.4.2 Analisis ciri musikal

Seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya bahwa komposisi melodi

sulim yang dianalisis berdasarkan ciri musikalnya hanya bersifat deskriptif tentang

gambaran umum pola atau struktur melodi yang dimainkan oleh sulim pada

masing-masing komposisi. Komposisi yang dianalisis adalah ketiga komposisi

melodi sulim (yang ditranskripsikan oleh penulis) selain dari komposisi yang telah

dianalisis (analisis gaya musikal) sebelumnya.

156
5.4.2.1 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks tunggal

Ciri-ciri musikal dari pola permainan sulim ketika dimainkan dalam konteks

tunggal adalah sebagai berikut :

Biasanya ketika dimainkan dalam konteks tunggal dalam membawakan

sebuah lagu ataupun repertoar, pola permainan sulim dari sipemain sedikit

mengabaikan tempo dan birama (metrum) sehingga terkesan kedengaran seperti

free meter. Jika kita analogikan dengan melodi sulim pada lagu siboru mauas male

di atas, penulis sebenarnya mantranskripsikannya berdasarkan penafsiran pola

pembagian ketukan dalam satu birama, sehigga dengan demikian lagu tersebut

dapat ditranksripsi ke dalam sebuah garis paranada. Namun karena tidak adanya

aturan penulisan tertentu dalam penyajian musik yang bersifat free meter, maka

penulis hanya membubuhkan tanda atau kode tertentu baik berupa lambang atau

tanda baca agar sipembaca mengerti apa yang penulis sampaikan. Meskipun

demikian, tidak semua alur melodi yang dimainkan dalam lagu tersebut bersifat

free meter, bagian ini hanya terdapat di beberapa birama tertentu saja. Tanda free

157
meter penulis lambangkan dengan tanda fermata [ ]. Contoh ini dapat kita

lihat pada penggalan melodi yang terdapat pada bar yang ke-6, bar 10, dan bar

yang ke-12.

Seorang pemain sulim tunggal biasanya memainkan motif melodi dengan

nuansa oktaf yang berbeda-beda dalam setiap penyajiannya walaupun nada yang

dimainkan adalah nada yang sama. Sehingga dalam pentranskripsian ini, penulis

sedikit mengabaikannya sebab hal tersebut tidak mengubah makna lagu dan juga

sipemain tidak sengaja untuk menbuat konsep demikian, akan tetapi dia

memainkankannya berdasarkan perasaan atau kenyamanan dalam hal meniup.

Dengan mendengar hasil rekaman yang penulis transkripsikan dan

membandingkannya dengan penyajian melodi di atas, maka hal itu akan terlihat

jelas pada bar yang pertama.

158
5.4.2.2 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks ensambel (uning-uningan

opera Batak)

159
Yang menjadi ciri musikal dari melodi sulim ketika dimainkan bersama ensambel

khususnya pada saat mengiring lagu opera Batak di atas adalah :

a. Penyajian melodi sudah sedikit terpola namun seakan terkesan monoton karena

tidak dibangun dengan berbagai motif melodi yang baru.

b. Melodi awal (intro) dari lagu yang dimainkan selalu dimainkan berulang-ulang

(tidak ada perbedaan antara melodi intro dengan interlude, yang

membedakannya hanya terdapat pada improvisasi teknik permainan). Melodi

intro dimainkan mulai dari bar 1 hingga bar 8, sedangkan melodi interlude

dimainkan mulai dari bar 25 sampai dengan bar 32.

c. Motif isian melodi sulim dalam mengiringi lagu opera Batak di atas biasanya

bersifat statis dalam konteks metode pengisian, artinya ketika melodi intro sulim

selesai dimainkan maka secara otomatis sulim bersama melodi vokal serta

ensambel yang lain memainkan melodi yang sama, namun sulim sedikit keluar

dari melodi pokok dengan memainkan improvisasi nada tanpa harus

menyimpang dari melodi lagu. Hal ini dapat terlihat jelas pada bar 9 hingga bar

24 dan juga terdapat pada bar 29 sampai dengan bar 47.

d. Namun metode pengisian melodi sulim dalam mengiringi lagu opera Batak di

atas biasanya juga ditandai dengan adanya jembatan melodi (bridge) untuk

menjembatani frase melodi vokal yang satu ke frase melodi vokal yang

berikutnya. Jika kita melihat komposisi di atas, akan terlihat jelas pada bar yang

ke-13, bar 24, dan bar 48.

160
5.4.2.3 Ciri musikal melodi sulim dalam konteks kolaborasi

161
Ciri-ciri musikal dari melodi sulim ketika dimainkan dalm konteks

kollaborasi bersama instrumen Barat maupun instrmen tradisional yang lain

khususnya pada komposisi di atas lebih dijelaskan kepada bentuk pola permainan

162
serta teknik yang dimainkan. Jika kita memperhatikan alur melodi sulim dalam

membawakan lagu kijom/endeng-endeng di atas, jelas terlihat bahwa sulim hanya

muncul pada saat memainkan melodi awal (intro) lagu dan melodi tengah

(niterlude). Namun sejalan dengan pola permainan sulim pada kedua bagian

tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam hal teknik

memainkan meskipun ada beberapa bagian melodi yang sama. Pada bagian intro

lagu, melodi sulim dimainkan dengan mengadopsi teknik slur (salah satu teknik

memainkan flute) yakni dengan memainkan nada hanya dengan tiupan nafas tanpa

adanya tekanan lidah. Hal ini terlihat jelas pada bar 2 akhir hingga bar yang ke-8.

Sedangkan pada bagian interlude lagu, melodi sulim yang dimainkan juga

mengadopsi teknik staccato (juga merupakan salah satu memainkan flute) yakni

memainkan nada atau melodi dengan tiupan nafas yang kuat dibantu dengan

tekanan atau aksen yang kuat oleh lidah dalam setiap biji nada yang dimainkan.

Pola serta teknik permainan ini jelas terlihat pada bagian interlude yakni pada bar

57 akhir sampai dengan bar yang ke-64.

Namun selain itu, ada beberapa frase melodi tertentu dimana sulim

memainkan melodi yang sama (unisono) dengan instrumen yang lain seperti biola.

163
Hal ini dapat kita lihat pada bentuk melodi intro lagu di bar 9 hingga bar yang ke-

12.

164
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Dari uraian-uraian tentang permasalahan dan pembahasan yang telah

dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini penulis membuat

kesimpulan bahwa sulim merupakan sejenis instrumen tradisional Batak Toba yang

paling eksis di antara sekian banyak instrumen tradisional Batak Toba yang lain dan

mampu bertahan di berbagai era penggunaannya. Ada beberpa instrumen

tradisional Batak Toba lainnya yang masih tetap eksis dan juga mampu bertahan

dan ada juga beberapa di antaranya perlahan mengalami kepunahan. Namun di

antara sekian banyaknya instrumen tradisional Batak Toba yang masih eksis

tersebut, tidak seluruhnya mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat

Batak Toba, sehingga terjadi berbagai pergeseran fungsi dan pengunaan isntrumen

tersebut yang mengakibatkan adanya fenomena baru dalam setiap era atau masa

penggunaanya dalam periode waktu yang berbeda-beda.

Kontinuitas dan perubahan fungsi dan penggunaan sulim ini dapat

terwujud karena sulim mampu beradaptasi terhadap perkembangan zaman yang

bersinergi dengan pola pikir, tingkat kebutuhan dan rasa musikal masyarakat Batak

Toba itu sendiri. Berbagai fenomena perubahan yang terjadi dalam konteks

penggunaan tidak menunjukkan adanya pergeseran fungsi musikal yang selalu

dipertahankan. Oleh karena itu, apabila sulim selalu konsisten dapat beradaptasi dan

di terima di tengah-tengah masyarakat Batak Toba, maka kemungkinan kontinuitas

165
ini akan terus berlangsung selalu dan tetap bertahan di masa-masa yang akan

datang.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis kemukakan di atas maka

sebaiknya diajukan beberapa saran seperti berikut ini :

1. Jikalau ada di antara para pembaca yang tertarik terhadap kajian tulisan ini,

penulis menyarankan agar kiranya berkenan untuk membahas lebih lanjut

bahasan ini. Sebab setiap masa/periode waktu penggunaan sebuah

isntrumen khususnya dalam konteks kebudayaan pasti akan memunculkan

fenomena baru dalam setiap aspek kehidupan musikal masyarakat itu

sendiri.

2. Selaku masyarakat yang memiliki identitas kebudayaan, sebaiknya mari kita

bersama-sama untuk melestarikan setiap unsur kebudayaan secara khusus

musik tradisional yang kita miliki bersama sebagai wujud dari penghargaan

terhadap tradisi turun-temurun yang diajarkan oleh para pendahulu kita

kepada kita. Jikalau pada masyarakat Batak Toba memiliki instrumen sulim

yang selalu mampu eksis dalam setiap perkembangan zaman tentunya

instrumen yang lain tidak hanya yang ada pada masyarakat Batak Toba

tetapi juga yang ada pada masyarakat etnis lain pasti juga akan bereksistensi

secara kontinu (berkesinambungan) apabila tradisi ini tetap dipertahankan.

166

Anda mungkin juga menyukai