Anda di halaman 1dari 52

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan suatu wilayah perkotaan telah membawa sejumlah

persoalan penting seperti derasnya arus mobilisasi penduduk dari desa ke

kota maupun berkembangnya berbagai kawasan seperti kawasan hunian,

industri dan perdagangan. Ironisnya kondisi ini ternyata juga membawa

konsekuensi logis tersendiri, seperti adanya ancaman terhadap bahaya

kebakaran (Hia, 2007).

Menurut data National Fire Protection Association (NFPA),

jumlah kasus kebakaran yang terjadi di 50 negara bagian Amerika Serikat

pada tahun 2006 sebanyak 524.000 kasus, tahun 2007 sebanyak 530.500

kasus dan pada tahun 2008 jumlah kebakaran yang terjadi sebanyak

515.000 kasus. Di Indonesia berdasarkan data Dinas Pemadam Kebakaran

Provinsi DKI Jakarta, tingkat kejadian kebakaran yang terjadi di Jakarta

pada tahun 2005 sebanyak 742 kasus, tahun 2006 sebanyak 902 kasus dan

pada tahun 2007 sebanyak 855 kasus kebakaran (Ramli, 2010).

Kebakaran dapat menimbulkan luka bakar. Luka bakar banyak

disebabkan karena suhu tinggi gas, cairan, bahan padat air panas (scald)

,jilatan api ketubuh, kobaran api di tubuh, dan akibat terpapar atau kontak

dengan objek-objek panas lainnya (logam panas, dan lain-lain). Luka

bakar karena bahan kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali
2

yang biasa digunakan dalam bidang industri militer ataupu bahan

pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga

(Moenadjat, 2005).

Luka bakar sengatan listrik menyebabkan kerusakan yang

dibedakan karena arus, api, dan ledakan. Aliran listrik menjalar

disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah.

Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khusunya tunika intima,

sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Luka bakar radiasi

(Radiasi Injury) Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan

sumber radio aktif. Tipe injury ini sering disebabkan oleh penggunaan

radio aktif untuk keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran dan

industri. Akibat terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga dapat

menyebabkan luka bakar radiasi (Moenadjat, 2001).

Luka bakar dapat dklasifikasi menurut kedalamannya yaitu luka

bakar derajat I Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis superfisial

(Brunicardi et al., 2005). Luka bakar derajat II Kerusakan terjadi pada

seluruh lapisan epidermis dan sebagai lapisan dermis, luka bakar derajat

III (Full Thickness burn) Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dan

lapisan lebih dalam, luka bakar derajat IV (full thickness) yang telah

mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya kerusakan yang

luas (Moenadjat, 2001).


3

Tindakan perawatan luka merupakan salah satu tindakan yang

harus dilakukan pada klien luka bakar karena klien mengalami gangguan

integritas kulit yang memungkinkan terjadi masalah kesehatan yang lebih

serius. Tujuan utama dari perawatan luka tersebut adalah mengembalikan

integritas kulit dan mencegah terjadinya komplikasi infeksi. Perawatan

luka meliputi pembersihan luka, pemberian terapi antibakteri topikal,

pembalutan luka, penggantian balutan, debridemen, dan graft pada luka

(Smeltzer & Bare, 2000).

Cloramfenikol, Tetrasiklin HCL, Silver Sulvadiazine 1 %,

Basitracin, Bioplacenton, Mafenide acetate dan Gentamisin sulfat adalah

antibiotik 3 topikal yang sering dipakai (Moenadjat, 2003; Singer &

Dagum, 2008). Obat-obatan tersebut untuk kesembuhan optimal dan

mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan (Huttenlocher &

Horwitz, 2007). Penggunaan antibiotik topikal ini dapat menyebabkan

efek yang merugikan seperti peningkatan jumlah koloni pada luka,

menimbulkan nyeri dan sensitifitas terhadap sulfa (Moenadjat, 2003).

Kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.) merupakan salah satu

tanaman yang berpotensi sebagai penyembuh luka. Kulit pisang ambon

memiliki beberapa efek farmakologi, seperti sebagai obat diare, disentri,

diabetes, uremia, hipertensi, dan luka bakar. Selain itu, tanaman pisang

juga dapat digunakan untuk mengurangi reaksi inflamasi, nyeri, dan

mengatasi gigitan ular (Imam et al, 2011). Berdasarkan penelitian Supriadi


4

pada tahun 2012, ekstrak etanolik kulit pisang ambon dapat mempercepat

penyembuhan luka dengan kadar optimum sebesar 10%.

Kulit pisang mengandung flavonoid, tanin, saponin, dan steroid

(Akpuaka and Ezem, 2011). Flavonoid dipercaya sebagai salah satu

komponen penting 2 dalam proses penyembuhan luka. Flavonoid

menginhibisi pertumbuhan fibroblast sehingga memberikan keuntungan

pada perawatan luka (Khan, 2012). Tanin memiliki kemampuan sebagai

antimikroba serta dapat meningkatkan epitelialisasi. Flavonoid dan tanin

juga bertanggung jawab dalam proses remodelling (James and Friday,

2010). Steroid bersifat sebagai antiinflamasi (Akpuaka and Ezem, 2011).

Saponin dapat mempercepat proses penyembuhan luka akibat adanya

aktivitas antimikroba dan bersifat sebagai antioksidan. Saponin juga dapat

meningkatkan kandungan kolagen serta mempercepat proses epitelialisasi

(Khan, 2012).

Sehubungan dengan latar belakang di atas terlihat bahwa formulasi

ekstrak kulit pisang ambon dapat digunakan sebagai alternative

penyembuhan luka bakar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

formulasi ekstrak kulit pisang ambon sebagai alternative penyembuhan

luka bakar pada tikus putih

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dari penelitaian

ini adalah “apakah formulasi ekstrak kulit pisang ambon dapat sebagai

alternative penyembuhan luka bakar pada tikus putih?”


5

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui formulasi ekstrak kulit pisang ambon sebagai alternative

penyembuhan luka bakar pada tikus.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui ekstrak kulit pisang ambon sebagai penyembuhan luka

bakar pada tikus.

b. Mengetahui alternative penyembuhan luka bakar pada tikus.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Tenaga Kesehatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan di dunia kesehatan sebagai terapi

komplementer dalam perawatan luka bakar non-farmakologis yang

tidak menimbulkan efek samping.

2. Bagi Masyarakat

Masyarakat akan mendapatkan informasi tentang manfaat penggunaan

bahan-bahan herbal dalam proses perawatan luka bakar.

3. Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini bisa menjadi referensi bagi peneliti lain untuk

mengembangkan penelitian-penelitian selanjutnya tentang luka,

khususnya luka bakar dengan memanfaatkan bahan-bahan herbal yang

lain.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Luka Bakar

1. Definisi Luka

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagaian jaringan tubuh.

Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul,

perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan

hewan. Bentuk luka bermacammacam tergantung penyebabnya,

misalnya luka sayat atau vulnus scissum disebabkan oleh benda tajam,

sedangkan luka tusuk atau vulnus punctum akibat benda runcing. Luka

robek, laserasi atau vulnus laceratum merupakan luka yang tepinya

tidak rata disebabkan oleh benda yang permukaanya tidak rata. Luka

lecet pada permukaan kulit akibat gesekan disebut ekskoriasi. Panas

dan zat kimia juga dapat menyebabkan luka bakar (Sjamsuhidayat &

De Jong, 2004).

2. Jenis Luka

Berdasarkan lama waktu penyembuhannya, luka dibagi

menjadi 2 jenis, yaitu:

a. Luka Akut

Luka akut adalah luka trauma yang biasanya segera

mendapat penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila


7

tidak terjadi komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru,

mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang

diperkirakan. Contohnya adalah luka sayat, luka bakar, luka tusuk.

b. Luka Kronik

Luka akut adalah luka yang berlangsung lama atau sering

timbul kembali (rekuren) atau terjadi gangguan pada proses

penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah multi faktor

dari penderita. Pada luka kronik luka gagal sembuh pada waktu

yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya

tendensi untuk timbul kembali. Contohnya adalah ulkus tungkai,

ulkus vena, ulkus arteri (iskemi), penyakit vaskular perifer ulkus

dekubitus, neuropati perifer ulkus dekubitus (Bryant, 2007).

3. Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka dapat dibagi ke dalam tiga fase , yaitu :

a. Fase inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai

kira-kira hari kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka kan

menyebabkan peradangan, dan tubuh berusaha menghentikannya

dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus

(retraksi) dan reaksi homeostasis. Tanda dan gejala klinis reaksi

radang menjelas, berupa warna kemerahan karena kapiler melebar

(rubor), rasa hangat (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan

(rumor) (Syamsuhidayat & De Joong, 2004).


8

b. Fase poliferasi

Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-

kira akhir minggu ketiga. Pada fase ini, serat kolagen dibentuk dan

dihancurkan kembali untuk menyesuaikan dengan tegangan pada

luka yang cenderung mengerut. Pada akhir fase ini, kekuatan

regangan luka mencapai 25% jaringan normal (Syamsuhidayat &

De Joong, 2004).

c. Fase remodelling

Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan

berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha

menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena

proses penyembuhan. Selama proses ini berlangsung, dihasilkan

jaringan parut yang pucat, tipis, dan lentur, serta mudah digerakkan

dari dasar. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu

menahan regangan kira-kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini

tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan (Syamsuhidayat

& De Joong, 2004).

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka

a. Usia

Sirkulasi darah dan pengiriman oksigen pada luka,

pembekuan, respon inflamasi,dan fagositosis mudah rusak pada

orang terlalu muda dan orang tua, sehingga risiko infeksi lebih

besar. Kecepatan pertuumbuhan sel dan epitelisasi pada luka


9

terbuka lebih lambat pada usia lanjut sehingga penyembuhan luka

juga terjadi lebih lambat (DeLauna & Ladner, 2002).

b. Nutrisi

Diet yang seimbang antara jumlah protein, karbohidrat,

lemak, mineral dan vitamin yang adekuat diperlukan untuk

meningkatkan daya tahan tubuh terhadap patogen dan menurunkan

risiko infeksi. Pembedahan, infeksi luka yang parah, luka bakar

dan trauma, dan kondisi defisit nutrisi meningkatkan kebutuhan

akan nutrisi. Kurang nutrisi dapat meningkatkan resiko infeksi dan

mengganggu proses penyembuhan luka. Sedangkan obesitas dapat

menyebabkan penurunan suplay pembuluh darah, yang merusak

pengiriman nutrisi dan elemen-elemen yang lainnya yang

diperlukan pada proses penyembuhan. Selain itu pada obesitas

penyatuan jaringan lemak lebih sulit, komplikasi seperti dehisens

dan episerasi yang diikuti infeksi bisa terjadi (DeLaune & Ladner,

2002).

c. Oksigenasi

Penurunan oksigen arteri pada mengganggu sintesa kolagen

dan pembentukan epitel, memperlambat penyembuhan luka.

Mengurangi kadar hemoglobin (anemia), menurunkan pengiriman

oksigen ke jaringan dan mempengaruhi perbaikan jaringan

(Delaune & Ladner, 2002).


10

d. Infeksi

Bakteri merupakan sumber paling umum yang

menyebabkan terjadinya infeksi. Infeksi menghematkan

penyembuhan dengan memperpanjang fase inflamasi, dan

memproduksi zat kimia serta enzim yang dapat merusak jaringan

(Delaune & Ladner, 2002). Resiko infeksi lebih besar jika luka

mengandung jaringan nekrotik, terdapat benda asing dan suplai

darah serta pertahanan jaringan berkurang (Perry & Potter, 2005).

e. Merokok

Merokok dapat menyebabkan penurunan kadar hemoglobin

dan kerusakan oksigenasi jaringan. Sehingga merokok menjadi

penyulit dalam proses penyembuhan luka (DeLaune & Ladner,

2002).

f. Diabetes Melitus

Menyempitnya pembuluh darah (perubahan mikrovaskuler)

dapat merusak perkusi jaringan dan pengiriman oksiken ke

jaringan. Peningkatan kadar glukosa darah dapat merusak fungsi

luekosit dan fagosit. Lingkungan yang tinggi akan kandungan

glukosa adalah media 25 yang bagus untuk perkembangan bakteri

dan jamur (DeLaune & Ladner, 2002).


11

g. Sirkulasi

Aliran darah yang tidak adekuat dapat mempengaruhi

penyembuhan luka hal ini biasa disebabkan karena arteriosklerosis

atau abnormalitas pada vena (DeLaune & Ladner, 2002).

h. Faktor Mekanik

Pergerakan dini pada daerah yang luka dapat menghambat

penyembuhan (DeLaune & Ladner, 2002).

i. Steroid

Steroid dapat menurunkan mekanisme peradangan normal

tubuh terhadap cedera dan menghambat sintesa kolagen. Obat obat

antiinflamasi dapat menekan sintesa protein, kontraksi luka,

epitelisasi dan inflamasi (DeLaune & Ladner, 2002).

j. Antibiotik

Penggunaan antibiotik jangka panjang dengan disertai

perkembangan bakteri yang resisten, dapat menigkatkan resiko

infeksi (Delaune & Ladner, 2002).

B. Luka Bakar

1. Definisi Luka Bakar

Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang

disebabkan kontak dengan sumber panas seperti kobaran api di tubuh

(flame), jilatan api ketubuh (flash), terkena air panas (scald), tersentuh
12

benda panas (kontak panas), akibat sengatan listrik, akibat bahan-

bahan kimia, serta sengatan matahari (sunburn) (Moenajat, 2001).

2. Patofisiologi Luka Bakar

Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas

langsung atau radiasi elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan

temperatur sampai 440C tanpa kerusakan bermakna, kecepatan

kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap drajat kenaikan

temperatur. Saraf dan pembuluh darah merupakan struktur yang

kurang tahan dengan konduksi panas. Kerusakan pembuluh darah ini

mengakibatkan cairan intravaskuler keluar dari lumen pembuluh darah,

dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi 12 protein plasma dan

elektrolit. Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan permeabilitas

yang hampir menyelutruh, penimbunan jaringan masif di intersitial

menyebabakan kondisi hipovolemik. Volume cairan iuntravaskuler

mengalami defisit, timbul ketidak mampuan menyelenggarakan proses

transportasi ke jaringan, kondisi ini dikenal dengan syok (Moenajat,

2001).

Luka bakar juga dapat menyebabkan kematian yang disebabkan

oleh kegagalan organ multi sistem. Awal mula terjadi kegagalan organ

multi sistem yaitu terjadinya kerusakan kulit yang mengakibatkan

peningkatan pembuluh darah kapiler, peningkatan ekstrafasasi cairan

(H2O, elektrolit dan protein), sehingga mengakibatkan tekanan

onkotik dan tekanan cairan intraseluler menurun, apabila hal ini terjadi
13

terus menerus dapat mengakibatkan hipopolemik dan hemokonsentrasi

yang mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi jaringan. Apabila

sudah terjadi gangguan perkusi jaringan maka akan mengakibatkan

gangguan sirkulasi makro yang menyuplai sirkulasi orang organ organ

penting seperti : otak, kardiovaskuler, hepar, traktus gastrointestinal

dan neurologi yang dapat mengakibatkan kegagalan organ multi

sistem. Proses kegagalan organ multi sistem ini terangkum dalam

bagan berikut :
14

Gambar III.1 Bagan Patofisiologi Luka Bakar (Brunicardi et


al.,2005).
15

3. Etiologi Luka Bakar

Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal, diantaranya yaitu:

a. Luka Bakar Suhu Tinggi(Thermal Burn): Gas, Cairan, Bahan Padat

Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air

panas (scald) ,jilatan api ketubuh (flash), kobaran api di tubuh

(flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan objek-objek panas

lainnya(logam panas, dan lain-lain) (Moenadjat, 2005).

b. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn)

Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau

alkali yang biasa digunakan dalam bidang industri militer ataupu

bahan pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah

tangga (Moenadjat, 2005).

c. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn)

Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena

arus, api, dan ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian

tubuh yang memiliki resistensi paling rendah. Kerusakan terutama

pada pembuluh darah, khusunya tunika intima, sehingga

menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Sering kali kerusakan

berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus

maupun grown (Moenadjat, 2001).

d. Luka bakar radiasi (Radiasi Injury)

Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan

sumber radio aktif. Tipe injury ini sering disebabkan oleh


16

penggunaan radio aktif untuk keperluan terapeutik dalam dunia

kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari yang

terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi

(Moenadjat, 2001).

4. Klasifikasi Luka Bakar

Klasifikasi luka bakar menurut kedalaman yaitu:

a. Luka bakar derajat I

Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis superfisial, kulit

kering hiperemik, berupa eritema, tidak dijumpai pula nyeri karena

ujung –ujung syaraf sensorik teriritasi, penyembuhannya terjadi

secara spontan dalam waktu 5 -10 hari (Brunicardi et al., 2005).

b. Luka bakar derajat II

Kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermis dan

sebagai lapisan dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses

eksudasi. Dijumpai pula, pembentukan scar, dan nyeri karena

ujung –ujung syaraf sensorik teriritasi. Dasar luka berwarna merah

atau pucat. Sering terletak lebih tinggi diatas kulit normal

(Moenadjat, 2001).

1. Derajat II Dangkal (Superficial)

a) Kerusakan mengenai bagian superficial dari dermis.

b) Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,

kelenjar sebasea masih utuh.


17

c) Bula mungkin tidak terbentuk beberapa jam setelah

cedera, dan luka bakar pada mulanya tampak seperti luka

bakar derajat I dan 17 mungkin terdiagnosa sebagai derajat

II superficial setelah 12-24 jam  Ketika bula dihilangkan,

luka tampak berwarna merah muda dan basah.

d) Jarang menyebabkan hypertrophic scar.

e) Jika infeksi dicegah maka penyembuhan akan terjadi

secara spontan kurang dari 3 minggu (Brunicardi et al.,

2005).

2. Derajat II dalam (Deep)

a) Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis

b) Organ-organ kulit seperti folikel-folikel rambut, kelenjar

keringat,kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.

c) Penyembuhan terjadi lebih lama tergantung biji epitel yang

tersisa.

d) Juga dijumpai bula, akan tetapi permukaan luka biasanya

tanpak berwarna merah muda dan putih segera setelah

terjadi cedera karena variasi suplay darah dermis (daerah

yang berwarna putih mengindikasikan aliran darah yang

sedikit atau tidak ada sama sekali, daerah yg berwarna

merah muda mengindikasikan masih ada beberapa aliran

darah ) (Moenadjat, 2001)


18

e) Jika infeksi dicegah, luka bakar akan sembuh dalam 3 -9

minggu (Brunicardi et al., 2005).

c. Luka bakar derajat III (Full Thickness burn)

Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dermis dan lapisan

lebih dalam, tidak dijumpai bula, apendises kulit rusak, kulit yang

terbakar berwarna putih dan pucat. Karena kering, letak nya lebih

rendah dibandingkan kulit sekitar. Terjadi koagulasi protein pada

epidermis yang dikenal sebagai scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan

hilang sensasi, oleh karena ujung –ujung syaraf sensorik

mengalami kerusakan atau kematian. Penyembuhanterjadi lama

karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari dasar luka

(Moenadjat, 2001).

d. Luka bakar derajat IV

Luka full thickness yang telah mencapai lapisan otot,

tendon dan ltulang dengan adanya kerusakan yang luas. Kerusakan

meliputi seluruh dermis, organ-organ kulit seperti folikel rambut,

kelenjar sebasea dan kelenjar keringat mengalami kerusakan, tidak

dijumpai bula, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat,

terletak lebih rendah dibandingkan kulit sekitar, terjadi koagulasi

protein pada epidemis dan dermis yang dikenal scar, tidak

dijumpai rasa nyeri dan hilang sensori karena ujung-ujung syaraf

sensorik mengalami kerusakan dan kematian. penyembuhannya


19

terjadi lebih lama karena ada proses epitelisasi spontan dan rasa

luka (Moenadjat, 2001).

Gambar II.2 Lokasi Luka Bakar dalam Anatomi Kulit

C. Kulit

1. Anatomi Kulit

Kulit merupakan pembungkus yang elastisk yang melindungi

tubuh dari pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang

terberat dan terluas ukurannya, yaitu 15% dari berat tubuh dan luasnya

1,50 – 1,75 m2 . Rata- rata tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (6 mm)

terdapat di telapak tangan dan kaki dan paling tipis (0,5 mm) terdapat

di penis (Djuanda dkk, 2011).


20

Menurut Djuanda dkk (2011) kulit terbagi atas tiga lapisan

pokok, yaitu epidermis, dermis atau korium, dan jaringan subkutan

atau subkutis.

a. Epidermis

Epidermis terbagi atas empat lapisan yaitu :

1. Lapisan Basal atau Stratum Germinativum

2. Lapisan Malpighi atau Stratum Spinosum

3. Lapisan Granular atau Sratum Granulosum

4. Lapisan Tanduk atau Stratum Korneum

Pada telapak tangan dan kaki terdapat lapisan tambahan di

atas lapisan granular yaitu Stratum Lusidium atau lapisan-lapisan

jernih.

Stratum Lusidium, selnya pipih, bedanya dengan stratum

granulosum ialah sel-selnya sudah banyak yang kehilangan inti dan

butir-butir sel telah menjadi jernih sekali dan tembus sinar. Dalam

lapisan terlihat seperti suatu pita yang bening, batas- batas sel

sudah tidak begitu terlihat, disebut stratum lusidium.

Lapisan basal atau germinativum, disebut stratum basal

karena sel-selnya terletak di bagian basal. Stratum germinativum

menggantikan sel-sel yang di atasnya dan merupakan sel-sel induk.

Bentuknya silindris (tabung) dengan inti yang lonjong. Di

dalamnya terdapat butir-butir yang halus disebut butir melanin


21

warna. Sel tersebut disusun seperti pagar (palisade) di bagian

bawah sel tersebut terdapat suatu membran yang disebut membran

basalis. Sel-sel basalis dengan membran basalis merupakan batas

terbawah dari epidermis dengan dermis. Ternyata batas ini tidak

datar tetapi bergelombang. Pada waktu kerium menonjol pada

epidermis tonjolan ini disebut papila kori (papila kulit), dan

epidermis menonjol ke arah korium. Tonjolan ini disebut Rete

Ridges atau Rete Pegg (prosessus interpapilaris).

Lapisan Malpighi atau lapisan spinosum/akantosum,

lapisan ini merupakan lapisan yang paling tebal dan dapat

mencapai 0,2 mm terdiri dari 5-8 lapisan. Sel–selnya disebut

spinosum karena jika kita lihat di bawah mikroskop sel–selnya

terdiri dari sel yang bentuknya poligonal (banyak sudut) dan

mempunyai tanduk (spina). Disebut akantosum karena sel–selnya

berduri. Ternyata spina atau tanduk tersebut adalah hubungan

antara sel yang lain disebut Interceluler Bridges atau jembatan

interseluler.

Lapisan granular atau stratum granulosum, stratum ini

terdiri dari sel–sel pipih seperti kumparan. Sel–sel tersebut terdapat

hanya 2-3 lapis yang sejajar dengan permukaan kulit. Dalam

sitoplasma terdapat butir–butir yang disebut keratohiolin yang

merupakan fase dalam pembentukan keratin oleh karena

banyaknya butir–butir stratum granulosum. Stratum korneum,


22

selnya sudah mati, tidak mempunyai inti sel (inti selnya sudah

mati) dan mengandung zat keratin.

Epidermis juga mengandung kelenjar ekrin, kelenjar

apokrin, kelenjar sebaseus, rambut dan kuku. Kelenjar keringat ada

dua jenis, ekrin dan apokrin. Fungsinya mengatur suhu tubuh,

menyebabkan panas dilepaskan dengan cara penguapan. Kelenjar

ekrin terdapat di semua daerah di kulit, tetapi tidak terdapat pada

selaput lendir. Seluruhnya berjumlah antara 2 sampai 5 juta, yang

terbanyak di telapak tangan. Sekretnya cairan jernih, kira–kira 99%

mengandung klorida, asam laktat, nitrogen, dan zat lain. Kelenjar

apokrin adalah kelenjar keringat besar yang bermuara ke folikel

rambut. Tardapat di ketiak, daerah anogenital, puting susu, dan

areola. Kelenjar sebaseus terdapat di seluruh tubuh, kecuali di

tapak tangan, tapak kaki, dan punggung kaki. Terdapat banyak

kulit kepala, muka, kening, dan dagu. Sekretnya berupa sebum dan

mengandung asam lemak, kolesterol, dan zat lain.

Rambut terdapat diseluruh tubuh, rambut tumbuh dari

folikel rambut di dalamnya epidermis. Folikel rambut dibatasi oleh

epidermis sebelah atas, dasrnya terdapat papil tempat rambut

tumbuh. Akar berada di dalam folikel pada ujung paling dalam dan

bagian sebelah luar disebut batang rambut. Pada folikel rambut

terdapat otot polos kecil sebagai penegak rambut. Rambut terdiri

dari rambut panjang di kepala, pubis dan jenggot, rambut pendek


23

dilubang hidung, liang telinga dan alis, rambut bulu lanugo

diseluruh tubuh, dan rambut seksual di pubis dan aksila (ketiak).

Kuku merupakan lempeng yang terbuat dari sel tanduk

yang menutuoi permukan dorsal ujung jari tangan dan kaki.

Lempeng kuku terdiri dari 3 bagian yaitu pinggir bebas, badan, dan

akar yang melekat pada kulit dan dikelilingi oleh lipatan kulit

lateral dan proksimal. Fungsi kuku menjadi penting waktu

mengutip benda–benda kecil.

b. Dermis

Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan

epidermis dilapisi oleh membran basalis dan di sebelah bawah

berbatasan dengan subkutis tetapi batas ini tidak jelas hanya kita

ambil sebagai patokan ialah mulainya terdapat sel lemak. Dermis

terdiri dari dua lapisan yaitu bagian atas, pars papilaris (stratum

papilar) dan bagian bawah, retikularis (stratum retikularis). Batas

antara pars papilaris dan pars retikularis adalah bagian bawahnya

sampai ke subkutis . baik pars papilaris maupun pars retikularis

terdiri dari jaringan ikat longgar yang tersusun dari serabut–serabut

yaitu serabut kolagen, serabut elastis dan serabut retikulus. Serabut

ini saling beranyaman dan masing–masing mempunyai tugas yang

berbeda. Serabut kolagen, untuk memberikan kekuatan kepada

kulit, dan retikulus, terdapat terutama di sekitar kelenjar dan folikel

rambut dan memberikan kekuatn pada alai tersebut.


24

c. Subkutis

Subkutis terdiri dari kumpulan–kumpulan sel–sel lemak

dan di antara gerombolan ini berjalan serabut–serabut jaringan ikat

dermis. Sel–sel lemak ini bentuknya bulat dengan intinya terdesak

ke pinggir, sehingga membentuk seperti cincin. Lapisan lemak ini

disebut penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama pada tiap–tiap

tempat dan juga pembagian antar laki–laki dan perempuan tidak

sama (berlainan). Guna penikulus adiposus adalah sebagai shock

braker atau pegas bila tekanan trauma mekanis yang menimpa pada

kulit, isolator panas atau untuk mempertahankan suhu, penimbunan

kalori, dan tambahan untuk kecantikan tubuh. Di bawah subkurtis

terdapat selaput otot kemudian baru terdapat otot.

2. Fisiologi Kulit

Kulit merupakan organ paling luas permukaannya yang

membungkus seluruh bagian luar tubuh sehingga kulit sebagai

pelindung tubuh terhadap bahaya bahan kimia, cahaya matahari

mengandung sinar ultraviolet dan melindungi terhadap

mikroorganisme serta menjaga keseimbangan tubuh terhadap

lingkungan. Kulit merupakan indikator bagi seseorang untuk

memperoleh kesan umum dengan melihat perubahan yang terjadi pada

kulit. Misalnya menjadi pucat, kekuning–kuningan, kemerah–merahan

atau suhu kulit meningkat, memperlihatkan adanya kelainan yang


25

terjadi pada tubuh gangguan kulit karena penyakit tertentu (Djuanda

dkk, 2011).

Gangguan psikis juga dapat menyebabkan kelainan atau perubahan

pada kulit. Misalnya karena stress, ketakutan atau dalam keadaaan

marah, akan terjadi perubahan pada kulit wajah. Perubahan struktur

kulit dapat menentukan apakah seseorang telah lanjut usia atau masih

muda. Wanita atau pria juga dapat membedakan penampilan kulit.

Warna kulit juga dapat menentukan ras atau suku bangsa misalnya

kulit hitam suku bangsa negro, kulit kuning bangsa mongol, kulit putih

dari eropa dan lain-lain (Djuanda dkk, 2011).

Perasaan pada kulit adalah perasaan reseptornya yang berada pada

kulit. Pada organ sensorik kulit terdapat 4 perasaan yaitu rasa

raba/tekan, dingin, panas, dan sakit. Kulit mengandung berbagai jenis

ujung sensorik termasuk ujung saraf telanjang atau tidak bermielin.

Pelebaran ujung saraf sensorik terminal dan ujung yang berselubung

ditemukan pada jaringan ikat fibrosa dalam. Saraf sensorik berakhir

sekitar folikel rambut, tetapi tidak ada ujung yang melebaratau

berselubung untuk persarafan kulit (Djuanda dkk, 2011).

Penyebaran kulit pada berbagai bagian tubuh berbeda-beda dan

dapat dilihat dari keempat jenis perasaan yang dapat ditimbulkan dari

daerah-daerah tersebut. Pada pemeriksaan histologi, kulit hanya

mengandung saraf telanjang yang berfungsi sebagai mekanoreseptor

yang memberikan respon terhadap rangsangan raba. Ujung saraf


26

sekitar folikel rambut menerima rasa raba dan gerakan rambut

menimbulkan perasaan (raba taktil). Walaupun reseptor sensorik kulit

kurang menunjukkan ciri khas, tetapi secara fisiologis fungsinya

spesifik. Satu jenis rangsangan dilayani oleh ujung saraf tertentu dan

hanya satu jenis perasaan kulit yang disadari (Djuanda dkk, 2011).

a. Pisang Ambon

1. Definisi Pisang Ambon

Pisang adalah nama umum yang di berikan pada tumbuhan terna

raksasa berdaun besar memanjang dari suku Musacea. Pisang ambon

menurut ahli sejarah berasal dari daerah Asia Tenggara termasuk juga

Indonesia (Roedyarto, 1997).

Pisang dapat ditanam didatarn rendah hangat bersuhu 21-32 derajat

celcius dan beriklim lembab. Topografi yang di hendaki tanaman

pisang berupa lahan datar dengan kemiringan 8 derajat. Lahan itu

terletak didaerah tropis antara 16 derajat LU – 12 derajat LS. Apabila

suhu udara kurang dari 13 derajat celcius atau lebih dari 38 derajat

celcius maka pisang akan berhenti tumbuh dan akhirnya mati (Suyanti

dan Supriyadi, 2008).

Kulit pisang ambon adalah bagian luar untuk melindungi bagian

dalam buah, kulit pisang ambon bisa juga digunakan untuk melihat

tingkat kematangan buah. Jika kulit pisang ambon masih muda akan

berwarna hijau dan jika kulit pisang ambon sudah tua akan berwarna
27

kuning. Kulit pisang ambon memiliki kandungan vitamin C, B,

kalsium, protein, dan juga lemak yang cukup.

2. Toksonomi Pisang Ambon

Menurut Satuhu dan Supriyadi (2008) aksonomi buah pisang ambon

adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Zingiberales

Famili : musaceae

Genus : musa

Spesies : Musa paradisiacal

3. Morfologi Tanaman Pisang

Seperti tanaman yang lainnya, tanaman pisang mempunyai bagian-

bagian tanaman seperti akar, batang, daun, bunga, buah dan biji.

Gambar II.3 Pohon Pisang Ambon


28

1. Akar

Akar pohon pisang merupakan akar serabut yang

berpangkal dari umbi batang yang sebagian letaknya berada di

bawah tanah. Dengan diameter sekitar 0,5-1 cm, berbentuk silinder

menyebabkan terlihat besar dan tampak seperti cacing. Rata-rata

panjangnya adalah 4-5 meter untuk yang menjalar kesamping dan

hanya 75-150 cm untuk yang tumbuh ke dalam tanah. Akar ini

keluar dari batang dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 3-4

akar. Secara umum struktur anatomi akar tersusun atas jaringan

epidermis, sistem jaringan dasar berupa korteks, endodermis, dan

empelur; serta sistem berkas pembuluh yang terdiri dari xylem dan

floem yang tersusun berselang-seling ( Tjahjadi, 1991).

2. Batang

Batang pisang merupakan batang semu yang terbentuk dari

pelepah daun yang membesar di pangkalnya dan mengumpul

membentuk struktur berselangseling yang terlihat kompak

sehingga tampak sebagai batang ( pseudo stem). Batang pisang

yang sebenarnya terdapat didalam tanah dan kadang-kadang

muncul di permukaan tanah sebagai umbi yang tumbuh akar dan

tunas. Secara umum batang tersusun atas epidermis yang

berkutikula dan kadang terdapat stomata. Sistem berkas pembuluh

yang terdiri atas xylem dan floem dan tersusun tersebar.


29

3. Daun

Secara fisiologi daun pisang menurut (Subartento et al.,

2006) berwarna hijau tua untuk daun yang dewasa dan hijau muda

untuk daun yang masih muda kecuali untuk beberapa spesies,

terdapat bercak merah pada lembaran daunnya atau pada ibu

tulangnya. Daun pisang yang dewasa berbentuk lonjong dan

bertulang menyirip sedangkan daun mudanya 10 menggulung.

Pelekatan daun pada batang membentuk roset batang. Helai

daunnya lebih panjang dari tangkai daunnya. Daun pisang

memiliki pelepah daun yang yang membesar dan mengumpul

berselang seling membentuk suatu struktur seperti batang yang

disebut psudo stem. Dibawah permukaan daun memiliki lapisan

kutikula untuk mencengah terjadinya penguapan berlebih

sedangkan permukaan bawahnya dilapisi oleh suatu lapisan lilin

tebal yang berfungsi menahan air agar tidak membasahi daun.

Secara anatomi daun tumbuhan tersusun atas epidermis yang

berkutikula dan terdapat stomata atau trikoma. Sistem jaringan

dasar pada daun monokotil dan dikotil dapat dibedakan . Pada

tumbuhan dikotil sistem jaringan dasar (mesofil daun) dapat

dibedakan atas jaringan pagar dan bunga karang.

4. Bunga dan Buah

Bunga terdiri dari kumpulan dua baris bunga pertama dan

disusul bunga jantan. Braktea membuka secara sekuen sekitar satu


30

per hari. Tangkai bunga terus memanjang sampai 1,5 m. Buah

kemungkinan berkembang dari ovari interior dan eksokarp disusan

pada lapisan epidermis dan 11 aerenkim, dengan daging menjadi

mesokarp. Endokarp terdiri atas lapisan hampir rongga ovarian.

Masing-masing node memiliki dua baris pada bunga yang

membentuk tandan pada buah dan secara umum disebut sisir

dengan buah individual yang disebut finger. Pisang Cavendish

mempunyai 16 sisir pertandan dengan 30 finger persisir dan berat

tandan buah ± 70 kg. Buah matang pada daerah tropik sekitar 85-

110 hari setelah muncul inflorescence (antesis) dan perkembangan

buah pada daerah subtropik dingin atau dibawah kondisi mendung

sekitar 210 hari ( Nakasone, 1998).

4. Varietas Buah Pisang Ambon

a. Ciri-ciri Pisang Ambon Kuning

Gambar II.4 Pisang Ambon Kuning (Winarno dan Aman,1981)

a) Ukuran buah lebih besar dibanding jenis pisang ambon

lainnya.
31

b) Kulit buah yang sudah matang berwarna kuning putih

kemerahan.

c) Daging buah pulen, berasa manis dan beraroma harum.

d) Dalam satu tandan umumya terdapat 7- 9 sisir dengan rata-rata

persisir 10-12 buah pisang.

e) Buah cocok disantap sebagai buah segar.

b. Ciri-ciri Pisang Ambon Lumut

Gambar II.5 Pisang Ambon Lumut

a) Ukuran buah lebih kecil dibandingkan pisang ambon kuning.

b) Kulit buah berwarna hijau walaupun sudah matang, tetapi pada

kondisi sangat matang berwarna hijau kekuningan dengan

bercak cokelat kehitaman dan kulit lebih tebal daripada pisang

ambon kuning.

c) Daging buah memiliki warna hampir sama dengan ambon

kuning, hanya sedikit lebih putih.

d) Daging buah agak keras, berasa lebih manis dan beraroma lebih

harum.
32

e) Dalam satu tandan terdapat 7-12 sisir pisang dengan rata-rata

persisir 10-12 buah pisang.

f) Buah cocok disantap sebagai buah segar.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pisang ambon lumut

dikarenakan mudah untuk didapatkan.

5. Kandungan Gizi Kulit Pisang

Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Kulit Pisang (Suprapti, 2005)

Kandungan Gizi Jumlah Kadar


Air 68,9%
Karbohidrat 18,5%
Lemak 2,11 %
Protein 0,32%
Kalsium 715 mg
Fosfor 117 mg
Besi 1,6 mg
Vitamin B 0,12 mg
Vitamin D 17,5 mg

b. Tinjauan Tentang Hewan Coba

Tikus merupakan hewan yang umum digunakan pada penelitian.

Sifat-sifat dari tikus (Rattus norvegicus) telah diketahuai secara sempurna,

selain itu tikus mudah dipelihara, dan meruapan hewan yang relative sehat

dan cocok untuk berbagai penelitian (Hubrecht dan Kirkwood, 2010).

Tikus merupakan hewan mamalia, oleh karena itu dampak terhadapa

suatau perlakuan mungkin tidak jauh berbeda disbanding dengan mamalia

lainnya. Tikus merupakan hewan laboratorium yang banyak digunakan


33

dalam penelitian dan percobaan antara lain untuk mempelajari pengaruh

obat-obatan, toksisitas, metabolisme, embriologi maupun dalam

mempelajari tingkah laku (Pribadi, 2008).

Tikus galur wista memiliki ciri-ciri kepala lebar, telinga panjang,

berbulu putih, memiliki ekor yang panjangnnya tidak melebihi panjang

tubuhnya, mata berwarna merah, moncong tumpul, telinga dan mata kecil.

Pemalu, gugup jika ada sesuatu yang baru merupakan sifat dari tikus galur

wistar. Pemakan segala namun lebih menyukai daging dan kacang, bias

memanjat dan ahli berenang (Ratnaningtyas, 2010). Toksonomi tikus

wistar adalah :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Class : Mamalia

Subclass : Thena

Infraclass : Eutheria

Ordo : Rodensia

Subordo : Myomorpha

Famili : Muridae

Subfamili : Murinae
34

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan.

Tikus dapat tinggal sendirian, asal dapat melihat dan mendengar tikus lain.

Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah

ditangani di laboratorium.
35

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Getah Kulit Pisang Ambon

Saponin Flavonoid Tanin

Indikasi Growth Inhibisi Reaksi


Faktor Pertumbuhan Pertumbuhan
Fibroblast Jaringan Parut

FGF dan EGF


Memperpendek Mempercepat
TGFβ
Waktu Penutupan Luka
Peradangan
(Inflamasi)

Mempercepat
Penyembuhan
Luka

Gambar III. 1 Kerangka Konsep


36

Keterangan :

: Yang tidak diteliti

: Yang diteliti

B. Penjelasan Kerangka Konsep

Tanaman pisang ambon (Musa paradisiaca L.) dapat dengan mudah

ditemukan di Indonesia. Pisang merupakan buah yang banyak disenangi

oleh masyarakat dari berbagai kalangan. Hal ini dikarenakan selain

harganya yang terjangkau, pisang memiliki rasa yang enak dan memiliki

kandungan gizi yang diperlukan oleh tubuh. Selain kandungan gizinya

yang tinggi, bagian daun, akar, bunga, dan getah memiliki manfaat untuk

pengobatan (Onyenekwe, 2013). Masyarakat Banjar menggunakan daun

pisang yang belum mekar (masih kuncup) untuk mengobati luka teriris

(Melayu Online, 2007). Penggunaan kulit pisang untuk mempercepat

proses penyembuhan luka masih belum banyak didokumentasikan. Kulit

pisang masih dianggap sebagai limbah, padahal kulit pisang memiliki

salah satu khasiat dalam pengobatan luka (Supriadi, 2012).

Kulit pisang mengandung flavonoid, saponin, steroid, glikosida

dan tanin (Akpuaka & Ezem, 2011). Flavonoid dan tanin bertanggung

jawab dalam proses wound contraction (James and Friday, 2010).

Flavonoid memiliki peranan penting dalam proses penyembuhan luka,

yaitu menginhibisi pertumbuhan fibroblast. Flavonoid dapat

memperpendek waktu peradangan (inflamasi) yang dapat menghambat


37

proses penyembuhan luka. Tanin dapat bereaksi dengan protein yang

terdapat dalam luka sehingga membantu pembentukan jaringan baru untuk

menutup luka.

C. Hipotesis

H0 : Formulasi Ekstrak Kulit pisang ambon tidak dapat sebagai altenatif

penyembuhan luka bakar pada tikus.

H1 : Formulasi Ekstrak Kulit pisang ambon dapat sebagai altenatif

penyembuhan luka bakar pada tikus.


38

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Metode penelitian eksperimen memiliki bermacam-macam jenis

desain. Metode eksperimen dalam penelitian ini menggunakan jenis desain

penelitian dengan metode posttest-only control group design. Dalam

desain ini, Sugiyono menyatakan “bahwa terdapat dua kelompok yang

masing-masing dipilih secara random. Kelompok pertama diberi perlakuan

(X) dan kelompok lain tidak. Kelompok yang diberi perlakuan disebut

kelompok eksperimen dan kelompok yang tidak diberi perlakuan disebut

kelompok kontrol” (Sugiyono, 2012).

K P

K1 P1
S R
K2 P2

K3 P3

K4 P4

Skema IV.1 Rancangan Penelitian


39

Keterangan :

S : Sampel

R : Randomisasi

K : Kelompok perlakuan ( terdiri dari : kelompok control untuk P,

kelompok 1 untuk P1, kelompok 2 untuk P2, kelompok 3 untuk P3

dan kelompok 4 untuk P4

P : Luka tanpa pemberian esktrak kulit pisang ambon

P1 : Perlakuan 1 dengan luka diberikan ektrak kulit pisang ambon

25%

P2 : Perlakuan 2 dengan luka diberikan ektrak kulit pisang ambon

50%

P3 : Perlakuan 3 dengan luka diberikan ektrak kulit pisang ambon

75%

P4 : Perlakuan 4 dengan luka diberikan ektrak kulit pisang ambon

100%

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penyusunan proposal dilakukan di Fakultas Kedokteran

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Pemeliharan dan perlakuan pada

hewan coba dilaksanakan di Laboratorium Hewan Coba Fakultas


40

Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Pemeliharaan dan perlakuan

ini dilakukan selama bulan Agustus sampai November 2017.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini dalah tikus putih galur wistar jantan

yang didapatkan dari Laboratorium Hewan Coba Universitas

Airlangga Surabaya.

a. Kriteria Inklusi

1) Tikus berjenis kelamin jantan

2) Umur 8-12 minggu

3) Tikus dengan berat 250 gram

4) Kondisi sehat (aktif dan tidak cacat)

b. Kriteria Ekslusi

1) Bobot tikus mengalami penurunan

2) Tikus tidak mau makan selama penelitian

2. Sampel

Besar Sampel

Estimasi jumlah pengulangan atau besar sampel pada penelitian ini

dihitung dengan rumus Kuntoro (2010) sebagai berikut :

(t-1) (r-1) ≥ 20

Keterangan rumus:

t = Banyak perlakuan

r = Banyak ulangan
41

jumlah perlakuan adalah lima sehingga di dapatkan :

(t-1) (r-1) ≥ 20

(5-1) (r-1) ≥ 20

(4) (r-1) ≥ 20

r ≥ 24/4

r≥6

berdasarkan perhitungan tersebut, maka besar sampel minimal

yang di perlukan adalah 6 ekor tikus galur wistar untuk setiap

kelompok perlakuan, sehingga besar sampel total dalam penelitian ini

membutuhkan 25 ekor tikus galur wistar. Sampel di ambil dari tikus

yang secara genetik memiliki sifat yang sama, untuk menyeragamkan

faktor berat badan, maka dilakukan penimbangan sebelum dan

sesudah perlakuan.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas (sebab)

a. Getah kulit pisang ambon

2. Variabel terikat (akibat)

a. Penyembuhan luka bakar


42

E. Definisi Operasional

Tabel IV.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Skala Ukur

1. Formulasi Zat yang dihasilkan dari Corong Nominal

Ekstrak Kulit ekstraksi kulit pisang Buchner

Pisang ambon.

Ambon

2. Konsentrasi Konsentrasi yang Gelas Ukur Nominal

Kulit Pisang dihasilkan dari takaran

Ambon dan menghasilkan

konsentrasi 25%, 50%,

75% dan 100%.

3. Penyembuhan Penyembuhan luka Pengukuran Ordinal

Luka adalah waktu yang dilakukan

dibutuhkan luka hingga dengan

mencapni penutupan melihat

secara sempurna sampai kondisi luka

tidak dijumpai adanya setiap hari.

bekas keropeng.
43

F. Alat dan Bahan Penelitian

Hewan coba menggunakan tikus putih galur wistar (Rattus

novergicus) yang berjenis kelamin jantan, berusia 2-3 bulan serta memiliki

rata-rata berat 250 gram.

1. Alat

a. Kandang tikus sebanyak empat ekor (40 cm x 30 cm x 12 cm) serta

kawat penutup yang tidak tajam

b. Tempat makan dan minum

c. Koran sebagai alas

d. Plat besi berdiameter 1,5 cm

e. Hot Plate Magnetic stirrer

f. Pisau cukur

g. Kapas

h. Timbangan

i. Kamera

j. Pinset

k. Gunting

l. Mistar

m. Gelas beaker

n. Kertas label

o. Alat tulis
44

2. Bahan

a. Getah pelepah pisang ambon 25%, 50%, 75%, 100%

b. Aquades

c. Pellet

d. Alkohol 70%

e. Khloroform

G. Pembuatan Ekstrak Kulit Pisang

1. Penyiapan Ekstrak Kulit Pisang

Kulit pisang ambon dibersihkan dan di blender hingga halus

kemudian dimaserasi. Sebanyak 100 gram kulit pisang ambon yang

telah di haluskan dimaserasi dengan 300 ml air selama 1x24 jam.

Esktrak yang diperoleh disaring dengan corong Buchner menggunakan

vakum dan filtrate yang diperoleh diuapkan dengan rotary vacuum

evaporator hingga di dapatkan ekstrak kental. Agar diperoleh ekstrak

kulit pisang dalam jumlah banyak proses ekstraksi dilakukan sebanyak

enam kali.

2. Uji Fitokimia

Uji fitokimia dilakukan menggunakan metode sangi. Esktrak kulit

pisang ambon diidentifikasi komponen fitokimianya dengan metode

pereaksi warna yang bertujuan untuk mengetahui senyawa metabolit

sekunder yang terdapat dalam sampel. Uji fotokimia yang dilakukan

meliputi uji terponoid dan steroid, uji flavonoid, uji alkaloid, uji

tannin, uji saponin dan uji antosianin.


45

3. Pembuatan Ekstrak Kulit Pisang Ambon dengan Konsentrasi

25%, 50%, 75%, 100%

Bahan uji yang sudah diekstraksi ditempatkan di wadah. Setelah

itu, dalam membuat tiap-tiap konsentrasi disiapkan gelas ukur dan

gelas kimia. Untuk konsentrasi 100% diambil bahan uji murni

sebanyak 100 mL, untuk konsentrasi 75% diambil dari bahan uji murni

sebanyak 75 mL dalam 25 mL aquades, untuk konsentrasi 50%

diambil dari bahan uji murni sebanyak 50 mL dalam 50 mL aquades,

dan untuk konsentrasi 25% diambil dari bahan uji murni sebanyak 25

mL dalam 75 mL aquades.

H. Cara Kerja

1. Persiapan Hewan Coba

Sebelum penelitian dimulai masing-masing hewan coba ditimbang

untuk mengetahui berat badan. Kemudian diadaptasi dalam lingkungan

laboratorium selama 7 hari atau 1 minggu untuk menyesuaikan diri

termasuk dalam pemberian makan dan minum. Masing-masing tikus

ditimbang untuk mengetahui berat badan tikus.

2. Pembuatan Luka pada Tikus Derajat II dan Perlakuan

Hewan coba dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan yang masing-

masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus. Sebelum pembuatan luka,

hewan uji dianestesi dengan menggunakan khloroform terlebih dahulu


46

agar hewan uji tidak banyak bergerak kemudian ditimbang untuk

mengukur berat badan hewan uji. Setelah itu, dicukur rambutnya di

daerah yang akan dibuat luka yakni di punggung sampai tidak ada

rambutnya kemudian dibersihkan dengan alkohol 70%. Pembuatan

luka dilakukan dalam keadaan steril. Tikus diamati setiap hari untuk

melihat perkembangan selama penelitian. Jarak antara punggung yang

diberi luka dengan kepala sepanjang 4 cm. Alat pembuat luka yang

terbuat dari plat berukuran diameter 1,5 cm dicelupkan ke air panas

1000 C selama 5 menit, kemudian ditempelkan pada kulit tikus yang

telah dianastesi selama 10 detik. Masing-masing tikus diberikan luka

bakar dengan diameter 1,5 cm (Ahliadi, 2014).

Perlakuan Kelompok P tidak dilakukan perlakuan sebagai

kelompok kontrol, kelompok P1 diberi ekstrak kulit pisang ambon

dengan konsentrasi 25%, kelompok P2 diberi ekstrak kulit pisang

ambon dengan konsentrasi 50%, kelompok P3 diberi ekstrak kulit

pisang ambon dengan konsentrasi 75%, dan kelompok P4 diberi

ekstrak kulit pisang ambon dengan konsentrasi 100%, Pemberian

perlakuan ekstrak kulit pisang ambon tersebut diberikan dengan cara

meneteskan ekstrak kulit pisang ambon secara merata sebanyak 3 tetes

(± 0,3 mL) pada daerah luka 2 kali sehari.


47

3. Pengamatan Penyembuhan Luka

Pemeriksaan luka dilakukan setiap hari. Waktu yang dibutuhkan

sampai tidak dijumpai adanya bekas keropeng pada luka dinyatakan

sebagai penyembuhan luka.

I. Pengumpulan dan Pengolahan Data

Table IV.2 Pengumpulan dan Pengolahan Data

Jumlah Hasil Eksperimen


Perlakuan
Waktu Penyembuhan Luka

I II II IV V VI

Kontrol

Perlakuan 1

Perlakuan 2

Perlakuan 3

Perlakuan 4

Perlakuan 5

J. Analisis Data

Metode analisi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Kruskal-Wallis yaitu merupaka metode alternative nonparametrik untuk

data respon ordinal atau ranked data.


48

DAFTAR PUSTAKA

Ahliadi SS. 2014. Pengaruh salep ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia

Tenore Steenis) terhadap re-epitelisasi epidermis pada luka bakar tikus

Wistar. Skripsi - Studi Pendahuluan. Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan : UIN – Jakarta

Akpuaka, M.U. and Ezem, S. N., 2011, Preliminary Phytochemical Screening of

Some Nigerian Dermatological Plants, Journal of Basic Physical

Research, 2 (1), 3-4.

James, O. and Friday, E.T., 2010. Phytochemical Composition, Bioactivity,

and Wound Healing Potential of Euphorbia Heterophylla

(Euphorbiaceae) Leaf Extract. International Journal on Pharmaceutical

and Biomedical Research, 1 (1), 57.

Khan, S.A., 2012, Wound Healing Potential of Leathery Murdah, Terminalia

coriacea (Roxb.) Wight and Arn, PhytopharmacologyInforesights

Publishing, 3 (1), 158-168.

Brunicardi F C, Anderson D, Dunn DL. 2005. Schwartz’s Principles of surgery. 8

edition. New York: McGraw-Hill Medical Publishing.

Bryant, Ruth. (2007). Acute & Chronic Wounds; Current Manangement Concept

Philadelphia : Mosby Elsevier.


49

Delaune and Ladner. 2002. Fundamental of nursing standarts & practice second

edition. USA: Delmar.

Djuanda, dkk. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. p. 3-4, 7-8.

Hia F, 2007. Standarisasi Status Kelembagaan IPK. Buletin Media 113 Pemadam

Kebakaran. Edisi 13, Tahun V.

Hubrecht, R., Kirkwood, J. 2010. The UFAW Handbook on The Care and

Management of Laboratory and Other Research Animals 8 th Edition.

Wiley-Blackwell. UK. Pp. 312-313.

Huttenlocher, A. & Horwitz, A. R. (2007). Wound Healing with Electric

Potential. N Engl J Med., 356, 303-304.

Imam, MZ, Akter S, Mazumder EH, Rana S. 2011. Antioxidant activities

of different parts of Musa sapientum L. ssp. sylvestris fruit. Journal of

Applied Pharmaceutical Science 01 (10); 2011: 68-72.

Moenadjat, Yefta (2001). Luka Bakar Pengetahuan Klinis Praktis. Jakarta: FK UI

Moenadjat. (2003). Luka Bakar Pengetahuan Klinis Praktis (2 nd ed.) p:1-82

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Moenadjat Y. 2005. Resusitasi: dasar-dasar manajemen luka bakar fase akut.

Jakarta: Komite Medik Asosiasi Luka Bakar Indonesia. hlm .5-20, 54-

60.
50

Pribadi, G.A. (2008). Penggunaan Mencit dan Tikus Sebagai Hewan Model

Penelitian Nikotin. Skripsi. Bogor: Fakultas Peternakan Institut

Pertanian Bogor.

Potter dan Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC.

Ramli, Soehatman. (2010). Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan Kerja

OHSAS 18001. Jakarta : Dian Rakyat

Ratnaningtyas, N., 2010. Pengaruh Pemberian Ekstrak Kulit Buah Delima Merah

Terhadap Jumlah Eritrosit dan Kadar HB pada Tikus Putih yang

Dipapar Gelombang Elektromagnetik Ponsel. Surakarta: FK UNS.

Roedyarto, 1997. Budidaya Pisang Ambon. Cetakan 1. Surabaya : PT Trubus

Agrisarana.

Satuhu, S, & A. Supriyadi. 2008. Budidaya Pisang. Pengolahan dan Prospek

Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta.

Singer, A. J. & Dagum, A. B. (2008). Current Management of Acute Cutaneous

Wound. N Engl J Med., 359, 1037-1046.

Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, 2004.Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta :

EGC.

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2000). Brunner and Suddart’s Texbook of Medical

Surgical Nursing(9 th ed.).Philadelpia: Lippincott.

Subartento et.al. 2006. Kimia Makanan. Institut Teknologi Bandung. Bandung.


51

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Bandung:

Alfabeta.

Suprapti, lies.2005. Aneka Olahan Pisang. Yogyakarta : Kanisius.

Suyanti, Ahmas Supriyadi. 2008. Pisang Budi Daya Pengolahan dan Prospek

Pasar. Depok: Penebar Swadaya.

Tjahjadi.1991. Taksonomi Tumbuhan Spermathophyta. Gajah Mada University

Prees.Yogyakarta.

Winarno, F.G dan W.M. Aman, 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya,

Jakarta.
52

Anda mungkin juga menyukai