Anda di halaman 1dari 2

INDONESIA TANPA UJIAN NASIONAL

Pelaksanaan UN saya nilai gagal tidak hanya karena maraknya kasus


pembocoran jawaban hingga praktek contek-mencontek yang dibiarkan otoritas
pengawas (permasalahan aspek implementasi dan penegakkan hukum), namun juga
standar kelulusan yang sulit dikejar oleh beberapa sekolah (aspek kurikulum).
Beberapa sekolah tidak mencukupi standar kualitas pengajarnya, keterbatasan fasilitas,
hingga faktor sosial dan geografis yang berbeda-beda.

UN hampir dihapuskan karena putusan MA Nomor 2596 K/PDT/2008.


Terdapat beberapa butir kritik UN karena tidak sesuai dengan UU Sisdiknas.1 Pertama,
UN yang hanya mengukur aspek kognitif tidak dapat dijadikan standar untuk mengukur
mutu pendidikan. Pasal 35 (1) mengharuskan kompetensi lulusan mencakup 3 aspek:
sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). Kedua,
penilaian yang dilakukan UN tidak memperhatikan keragaman potensi daerah dan
peserta didik, melanggar Pasal 36 (2) karena kurikulum harus dikembangkan dengan
prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta
didik. Ketiga, hak guru mengevaluasi hasil belajar peserta didiknya diambil-alih oleh
pemerintah dengan UN, sehingga melanggar Pasal 39 (2).

Keempat, UN hanya melakukan evaluasi terhadap peserta didik sedangkan


menurut Pasal 57 (2) mutu pendidikan seharusnya didasarkan pada evaluasi terhadap
peserta didik, lembaga, dan program pendidikan. Kelima, menurut Pasal 58 (1),
evaluasi hasil belajar dan penentuan kelulusan peserta didik dilakukan oleh
pendidik/guru dan satuan pendidikan/sekolah, bukan melalui pelaksanaan UN.
Keenam, kewenangan pemerintah dan pemda melakukan evaluasi menurut Pasal 59 (1)

1
Suke Silverius, “Kontroversi Ujian Nasional Sepanjang Masa”, dalam Jurnal Pendidikan &
Kebudayaan. Vol. 16, Maret 2010 (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian
Pendidikan Nasional), hlm. 194 – 195.

1
dapat dilakukan terhadap pengelola satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan, bukan
evaluasi terhadap hasil belajar peserta didik. Ketujuh, terampasnya kewenangan
pendidik/guru sesuai Pasal 61 (2) untuk memberikan ijazah kepada peserta didik
sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian jenjang pendidikan setelah
lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan terakreditasi.

Dibandingkan dengan beberapa negara maju, Indonesia perlu mengadopsi


sistem pendidikan nasionalnya. Tidak adanya Ujian Nasional di Amerika Serikat,
Kanada, Australia, Jerman, hingga Finlandia. Kreativitas guru dalam mengajar harus
diutamakan. Setiap sekolah bebas menentukan sistem dan metode penilaiannya.
Terdapat lembaga pejamin mutu pendidikan yang objek penilaiannya tidak hanya nilai
siswa, namun juga fasilitas sekolah, kompetensi guru, dan faktor lainnya.

UN harus dihapuskan. Pemerintah harus membenahi sektor infrastruktur dan


suprastruktur. Sektor infrastruktur dengan proyek pengadaan teknologi dan fasilitas
pendidikan (perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain) pendukung sekolah yang
kurang mampu dalam sektor finansial. Hal ini dapat dibantu oleh LKPP untuk
meminimalisir biaya dan rantai birokrasi, dan memanfaatkan dana alokasi desa. Pada
sektor suprastruktur yakni peningkatan kemampuan dan kompetensi para guru melalui
pelatihan-pelatihan, seminar, dan simposium yang diperbantukan oleh LIPI. Kemudian
rancang-ulang kurikulum baru yang tidak hanya menjuruskan fokus penjurusan IPA-
IPS-Bahasa sejak jenjang SMP, namun juga penambahan proporsi pembelajaran
praktik dibanding teori, sehingga dapat menguji aspek afektif dan psikomotorik. Saya
mendasarkan pada pandangan Foundationalism bahwa kurikulum sebagai dasar
pembentukan 3 pola: perilaku, sikap, dan berpikir.2

2
D. Scott (2006), sebagaimana dikutip oleh Bambang Indriyanto: “Pengembangan Kurikulum Sebagai
Intervensi Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan”, dalam Jurnal Pendidikan & Kebudayaan, vol. 18,
Desember 2012 (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan), hlm. 444.

Anda mungkin juga menyukai