Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SOLUTIO PLASENTA

Disusun dalam rangka memenuhi Program Internship Dokter Indonesia


di RSUD Blambangan

Diajukan oleh:
dr. Handoyo Sasongko

Peserta Internship Mei 2017


BAB I
PENDAHULUAN

Rentang usia reproduksi sehat adalah usia 20-35 tahun. Usia kurang dari 20
tahun atau lebih dari 35 tahun meningkatkan risiko terjadinya komplikasi dalam
kehamilan, salah satunya solusio plasenta.

Solusio plasenta adalah terlepasnya placenta yang letaknya normal pada korpus
uteri yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin dilahirkan. Di
berbagai literatur disebutkan bahwa risiko mengalami solusio plasenta meningkat
dengan bertambahnya usia.

Insidens solusio plasenta bervariasi di seluruh dunia. Penelitian di Norwegia


menunjukkan insidensi 6,6 per 1000 kelahiran. Frekuensi solusio plasenta di Amerika
Serikat dan di seluruh dunia mendekati 1 %. Saat ini kematian maternal akibat solusio
plasenta mendekati 6 %.

Solusio plasenta merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum yang


memberikan kontribusi terhadap kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Pada
tahun 1988 kematian maternal di Indonesia diperkirakan 450 per 100.000 kelahiran
hidup. Angka tersebut tertinggi di ASEAN (5-142 per 100.000) dan 50-100 kali lebih
tinggi dari angka kematian maternal di negara maju. Terdapat faktor-faktor lain yang
ikut memegang peranan penting yaitu kekurangan gizi, anemia, paritas tinggi, dan usia
lanjut pada ibu hamil. Di negara sedang berkembang penyebab kematian yang
disebabkan oleh komplikasi kehamilan, persalinan, nifas atau penanganannya (direct
obstetric death) adalah perdarahan, infeksi, preeklamsi/eklamsi. Selain itu kematian
maternal juga dipengaruhi faktor-faktor reproduksi, pelayanan kesehatan, dan
sosioekonomi. Salah satu faktor reproduksi ialah usia ibu hamil dan paritas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta
dari implantasi normalnya (corpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan
sebelum janin lahir . Cunningham dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta
sebagai separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya korpus uteri
sebelum janin lahir. Jika separasi ini terjadi di bawah kehamilan 20 minggu maka
mungkin akan didiagnosis sebagai abortus imminens. Sedangkan Abdul Bari
Saifuddin dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta adalah terlepasnya
plasenta dari tempat implantasi normalnya sebelum janin lahir, dan definisi ini
hanya berlaku apabila terjadi pada kehamilan di atas 22 minggu atau berat janin di
atas 500 gram.
B. KLASIFIKASI
 Berdasarkan gejala klinik yang ditimbulkan:

1. Kelas 0

Asimptomatik. Diagnosis ditegakkan secara retrospektif dengan


menemukan hematoma atau daerah yang mengalami pendesakan pada
plasenta. Ruptur sinus marginal juga dimasukkan dalam kategori ini.

2. Kelas 1

Gejala klinis ringan dan terdapat pada hampir 48 % kasus. Gejala


meliputi: tidak ada perdarahan pervaginam sampai perdarahan
pervaginam ringan; uterus sedikit tegang; tekanan darah dan denyut
jantung maternal normal; tidak ada koagulopati; dan tidak ditemukan
tanda-tanda fetal distress.

3. Kelas 2

Gejala klinik sedang dan terdapat ± 27 % kasus. Perdarahan


pervaginam bisa ada atau tidak ada; ketegangan uterus sedang sampai
berat dengan kemungkinan kontraksi tetanik; takikardi maternal dengan
perubahan ortostatik tekanan darah dan denyut jantung; terdapat fetal
distress, dan hipofibrinogenemi (150-250 mg/dl).

4. Kelas 3

Gejala berat dan terdapat pada hampir 24% kasus, perdarahan


pervaginam dari tidak ada sampai berat; uterus tetanik dan sangat nyeri;
syok maternal; hipofibrinogenemia (<150 mg/dl); koagulopati (DIC) serta
kematian janin.
 Berdasarkan ada atau tidaknya perdarahan pervaginam:

1. Solusio plasenta jelas (revealed)

Terjadinya perdarahan pervaginam, gejala klinis sesuai dengan


jumlah kehilangan darah, tidak terdapat ketegangan uterus, atau
hanya ringan.

2. Solusio plasenta tersembunyi (concealed)

Tidak terdapat perdarahan pervaginam, uterus tegang dan


hipertonus, sering terjadi fetal distress berat. Tipe ini sering disebut
retroplasental.

3. Solusio plasenta campuran (mixed)

Terjadi perdarahan pervaginam dan retroplasental

 Berdasarkan jumlah perdarahan yang terjadi

1. Solutio plasenta ringan (<100 ml): gejala minimal atau asimptomatik

2. Solutio plasenta sedang (100-500 ml): tonus uterus ↑, fetal distress

3. Solutio plasenta berat (>500 ml): uterus tetanik, fetal death, DIC

C. ETIOLOGI - FAKTOR RISIKO


1. FAKTOR KARDIO-RENO-VASKULAR
Arteriosklerosis sistemik (misal akibat merokok), glomerulonefritis
kronik, hipertensi kronis, sindrom preeclampsia dan eclampsia . Pada
penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada separuh
kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi tersebut
mempunyai penyakit hipertensi kronis, sisanya hipertensi gestational. Dapat
terlihat solusio plasenta cenderung berhubungan dengan adanya hipertensi
pada ibu
2. FAKTOR TRAUMA
Trauma yang dapat terjadi antara lain :
- Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli.
- Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang
banyak/bebas, versi luar atau tindakan pertolongan persalinan.
- Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.

Dari penelitian yang dilakukan Slava di Amerika Serikat diketahui bahwa


trauma yang terjadi pada ibu (kecelakaan, pukulan, jatuh, dan lain-lain)
merupakan penyebab 1,5-9,4% dari seluruh kasus solusio plasenta. Di RSCM
dilaporkan 1,2% kasus solusio plasenta disertai trauma.

3. FAKTOR ENDOMETRIUM
Penurunan kualitas endometrium dapat meningkatkan risiko terjadinya
solutio plasenta. Penurunan kualitas endometrium dapat disebabkan
multiparitas, usia (degeneratif), leiomyoma, merokok, dll.

4. LAIN-LAIN
Anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava inferior
dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan, dll.

D. PATOGENESIS
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis
dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah
miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi
penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus.
Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan sedikit mendesak
jaringan plasenta dan peredaran darah utero-plasenter belum terganggu, serta gejala
dan tandanya pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang
pada pemeriksaan plasenta didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan
bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Biasanya perdarahan akan berlangsung
terus-menerus/tidak terkontrol karena otot uterus yang meregang oleh kehamilan tidak
mampu berkontraksi untuk membantu dalam menghentikan perdarahan yang terjadi.
Akibatnya hematom subkhorionik akan menjadi bertambah besar, kemudian akan
medesak plasenta sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta akan terlepas dari
implantasinya di dinding uterus. Sebagian darah akan masuk ke bawah selaput
ketuban, dapat juga keluar melalui vagina, darah juga dapat menembus masuk ke
dalam kantong amnion, atau mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium.
Apabila ekstravasasinya berlangsung hebat akan terjadi suatu kondisi uterus yang
biasanya disebut dengan istilah uterus couvelaire, dimana pada kondisi ini dapat
dilihat secara makroskopis seluruh permukaan uterus terdapat bercak-bercak berwarna
biru atau ungu. Uterus pada kondisi seperti ini (uterus couvelaire) akan terasa sangat
tegang, nyeri dan juga akan mengganggu kontraktilitas (kemampuan berkontraksi)
uterus yang sangat diperlukan pada saat setelah bayi dilahirkan sebagai akibatnya akan
terjadi perdarahan post partum yang hebat..
Akibat kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan
tromboplastin yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat
pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar
persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada
keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang tidak hanya
di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya.

E. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari kasus-kasus solusio plasenta diterangkan atas
pengelompokannya menurut gejala klinis:

1. Solusio plasenta ringan


Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana terdapat
pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi
perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut
terasa agak sakit, atau terasa agak tegang yang sifatnya terus menerus. Walaupun
demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba. Uterus yang agak tegang ini harus
selalu diawasi, karena dapat saja menjadi semakin tegang karena perdarahan yang
berlangsung. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio plasenta
ringan ini adalah perdarahan pervaginam yang berwarna kehitam-hitaman.
2. Solusio plasenta sedang
Dalam hal ini plasenta telah terlepas lebih dari satu per empat bagian, tetapi belum
dua per tiga luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan seperti
solusio plasenta ringan, tetapi dapat juga secara mendadak dengan gejala sakit perut
terus menerus, yang tidak lama kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam.
Walaupun perdarahan pervaginam dapat sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya
mungkin telah mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah jatuh ke dalam syok, demikian
pula janinnya yang jika masih hidup mungkin telah berada dalam keadaan gawat.
Dinding uterus teraba tegang terus-menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian
janin sukar untuk diraba. Apabila janin masih hidup, bunyi jantung sukar didengar.
Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi, walaupun hal
tersebut lebih sering terjadi pada solusio plasenta berat.

3. Solusio plasenta berat


Plasenta telah terlepas lebih dari dua per tiga permukaannnya. Terjadi
sangat tiba-tiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok dan janinnya telah
meninggal. Uterusnya sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri. Perdarahan
pervaginam tampak tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, terkadang perdarahan
pervaginam mungkin saja belum sempat terjadi. Pada keadaan-keadaan di atas besar
kemungkinan telah terjadi kelainan pada pembekuan darah dan kelainan/gangguan
fungsi ginjal.

F. KOMPLIKASI

 Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu:


1. Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak
dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan
telah diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan postpartum karena
kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III
persalinan dan adanya kelainan pada pembekuan darah. Pada solusio plasenta berat
keadaan syok sering tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terlihat.
Titik akhir dari hipotensi yang persisten adalah asfiksia, karena itu pengobatan
segera ialah pemulihan defisit volume intravaskuler secepat mungkin. Angka
kesakitan dan kematian ibu tertinggi terjadi pada solusio plasenta berat. Meskipun
kematian dapat terjadi akibat nekrosis hipofifis dan gagal ginjal, tapi mayoritas
kematian disebabkan syok perdarahan dan penimbunan cairan yang berlebihan.
Tekanan darah tidak merupakan petunjuk banyaknya perdarahan, karena
vasospasme akibat perdarahan akan meninggikan tekanan darah. Pemberian terapi
cairan bertujuan mengembalikan stabilitas hemodinamik dan mengkoreksi
keadaan koagulopathi. Untuk tujuan ini pemberian darah segar adalah pilihan yang
ideal, karena pemberian darah segar selain dapat memberikan sel darah merah juga
dilengkapi oleh platelet dan faktor pembekuan.

2. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio
plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena perdarahan
yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang mendadak, yang
umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. Perfusi ginjal akan
terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan
terjadi akibat nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal mendadak. Oleh karena
itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang harus
secara rutin dilakukan pada solusio plasenta berat. Pencegahan gagal ginjal
meliputi penggantian darah yang hilang secukupnya, pemberantasan infeksi, atasi
hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan
pembekuan darah
.
3. Kelainan pembekuan darah
Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh
hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardojo di
RSCM dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus
solusio plasenta yang ditelitinya.
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450
mg%, berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma kurang dari
100 mg% maka akan terjadi gangguan pembekuan darah.
Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui dua fase :
a. Fase I
Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi
pembekuan darah, disebut disseminated intravasculer clotting. Akibatnya ialah
peredaran darah kapiler (mikrosirkulasi) terganggu. Jadi pada fase I, turunnya
kadar fibrinogen disebabkan karena pemakaian zat tersebut, maka fase I disebut
juga coagulopathi consumptive. Diduga bahwa hematom subkhorionik
mengeluarkan tromboplastin yang menyebabkan pembekuan intravaskuler
tersebut. Akibat gangguan mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan
jaringan pada alat-alat yang penting karena hipoksia dan kerusakan ginjal yang
dapat menyebabkan oliguria/anuria.

b. Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha tubuh untuk
membuka kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan
dengan fibrinolisis. Fibrinolisis yang berlebihan malah berakibat lebih
menurunkan lagi kadar fibrinogen sehingga terjadi perdarahan patologis .
Kecurigaan akan adanya kelainan pembekuan darah harus dibuktikan dengan
pemeriksaan laboratorium, namun di klinik pengamatan pembekuan darah
merupakan cara pemeriksaan yang terbaik karena pemeriksaan laboratorium
lainnya memerlukan waktu terlalu lama, sehingga hasilnya tidak mencerminkan
keadaan penderita saat itu.

4. Apoplexi uteroplacenta (uterus couvelaire)


Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan
di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum. Perdarahan
ini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi
biru atau ungu yang biasa disebut Uterus couvelaire. Tapi apakah uterus ini harus
diangkat atau tidak, tergantung pada kesanggupannya dalam membantu
menghentikan perdarahan
 Komplikasi yang dapat terjadi pada janin:
1. Fetal distress
2. IUGR (Intra Uterine Growth Restriction)
3. Hipoksia dan anemia
4. IUFD (Intra Uterine Fetal Death)

G. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis solutio plasenta, perlu dipastikan umur
kehamilan ibu. Solutio plasenta hanya dapat ditegakkan pada usia kehamilan >20
minggu, karena pada usia <20 minggu umbilical cord plasenta menyatu dengan ....
sehingga menjadi abortus.
H. TERAPI
I. PROGNOSIS
Pintu atas panggul dianggap sempit apabila diameter anterioposterior
terpendeknya (konjugata vera) kurang dari 10 cm atau apabila diameter transversal
terbesarnya kurang dari 12 cm. Diameter anteroposterior pintu atas panggul sering
diperkirakan dengan mengukur konjugata diagonal secara manual yang biasanya
lebih panjang 1,5 cm. Dengan demikian, penyempitan pintu atas panggul biasanya
didefinisikan sebagai konjugata diagonal yang kurang dari 11,5 cm.3 Mengert
(1948) dan Kaltreider (1952) membuktikan bahwa kesulitan persalinan meningkat
pada diameter anteroposterior kurang dari 10 cm atau diameter transversal kurang
dari 12 cm. Distokia akan lebih berat pada kesempitan kedua diameter
dibandingkan sempit hanya pada salah satu diameter.

Diameter biparietal janin berukuran 9,5-9,8 cm, sehingga sangat sulit bagi
janin bila melewati pintu atas panggul dengan diameter anteroposterior kurang dari
10 cm. Wanita dengan tubuh kecil kemungkinan memiliki ukuran panggul yang
kecil, namun juga memiliki kemungkinan janin kecil. Dari penelitian Thoms pada
362 nullipara diperoleh rata-rata berat badan anak lebih rendah (280 gram) pada
wanita dengan panggul sempit dibandingkan wanita dengan panggul sedang atau
luas.

Pada panggul sempit ada kemungkinan kepala tertahan oleh pintu atas
panggul, sehingga gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi uterus secara langsung
menekan bagian selaput ketuban yang menutupi serviks. Akibatnya ketuban dapat
pecah pada pembukaan kecil dan terdapat resiko prolapsus funikuli. Setelah
selaput ketuban pecah, tidak terdapat tekanan kepala terhadap serviks dan segmen
bawah rahim sehingga kontraksi menjadi inefektif dan pembukaan berjalan lambat
atau tidak sama sekali. Jadi, pembukaan yang berlangsung lambat dapat menjadi
prognosa buruk pada wanita dengan pintu atas panggul sempit.

Pada nulipara normal aterm, bagian terbawah janin biasanya sudah masuk
dalam rongga panggul sebelum persalinan. Adanya penyempitan pintu atas
panggul menyebabkan kepala janin megapung bebas di atas pintu panggul
sehingga dapat menyebabkan presentasi janin berubah. Pada wanita dengan
panggul sempit terdapat presentasi wajah dan bahu tiga kali lebih sering dan
prolaps tali pusat empat sampai enam kali lebih sering dibandingkan wanita
dengan panggul normal atau luas.

J. PENYEMPITAN PINTU TENGAH PANGGUL


Dengan sacrum melengkung sempurna, dinding-dinding panggul tidak
berkonvergensi, foramen ischiadicum cukup luas, dan spina ischiadica tidak
menonjol ke dalam, dapat diharapkan bahwa panggul tengah tidak akan
menyebabkan rintangan bagi lewatnya kepala janin. Penyempitan pintu tengah
panggul lebih sering dibandingkan pintu atas panggul.Hal ini menyebabkan
terhentunya kepala janin pada bidang transversal sehingga perlu tindakan forceps
tengah atau seksio sesarea.

Penyempitan pintu tengah panggul belum dapat didefinisikan secara pasti


seperti penyempitan pada pintu atas panggul. Kemungkinan penyempitan pintu
tengah panggul apabila diameter interspinarum ditambah diameter sagitalis
posterior panggul tangah adalah 13,5 cm atau kurang. Ukuran terpenting yang
hanya dapat ditetapkan secara pasti dengan pelvimetri roentgenologik ialah
distansia interspinarum. Apabila ukuran ini kurang dari 9,5 cm, perlu diwaspadai
kemungkinan kesukaran persalinan apalagi bila diikuti dengan ukuran diameter
sagitalis posterior pendek.

K. PENYEMPITAN PINTU BAWAH PANGGUL


Pintu bawah panggul bukan suatu bidang datar melainkan dua segitiga
dengan diameter intertuberosum sebagai dasar keduanya. Penyempitan pintu
bawah panggul terjadi bila diameter distantia intertuberosum berjarak 8 cm atau
kurang. Penyempitan pintu bawah panggul biasanya disertai oleh penyempitan
pintu tengah panggul.

Disproporsi kepala janin dengan pintu bawah panggul tidak terlalu besar
dalam menimbulkan distosia berat. Hal ini berperan penting dalam menimbulkan
robekan perineum. Hal ini disebabkan arkus pubis yang sempit, kurang dari 900
sehingga oksiput tidak dapat keluar tepat di bawah simfisis pubis, melainkan
menuju ramus iskiopubik sehingga perineum teregang dan mudah terjadi robekan.

L. TATALAKSANA
1. PERSALINAN PERCOBAAN
Lakukan pemeriksaan Osborn test untuk memperkirakan berhasilnya
kemungkinan persalinan percobaan, yaitu dengan mendorong kepala janin ke
arah PAP dengan tangan kiri. Apabila kepala mudah masuk tanpa halangan,
maka hasil test Osborn adalah negatif (-). Apabila kepala tidak bisa masuk dan
teraba tonjolan diatas simfisis, maka tonjolan diukur dengan 2 jari telunjuk
dan jari tengah tangan kanan. Apabila lebar tonjolan lebih dari dua jari, maka
hasil test osborn adalah positif (+). Apabila lebar tonjolan kurang dari dua jari,
maka hasil tes osborn adalah ragu-ragu (±). Dengan pertambahan usia
kehamilan, ukuran kepala diharapkan bisa menyesuaikan dengan ukuran
panggul (moulase).
Cara lain apabila kepala tidak bisa masuk dan teraba tonjolan di atas
simfisis, maka jari tengah diletakkan tepat di atas simfisis. Apabila telunjuk
lebih rendah dari jari tengah, maka hasil test Osborn adalah negatif (-).
Apabila jari telunjuk dan jari tengah sejajar, maka hasil test Osborn adalah
ragu-ragu (±). Apabila jari telunjuk lebih tinggi dari jari tengah, maka hasil
test osborn adalah positif (+).
Persalinan percobaan hanya dilakukan pada letak belakang kepala, tidak
bisa pada letak sungsang, letak dahi, letak muka, atau kelainan letak lainnya.
Ketentuan lainnya adalah umur kehamilan tidak boleh lebih dari 42 mingu
karena kepala janin bertambah besar sehingga sukar terjadi moulage dan ada
kemungkinan disfungsi plasenta janin yang akan menjadi penyulit persalinan
percobaan.
Pada janin yang besar kesulitan dalam melahirkan bahu tidak akan selalu
dapat diduga sebelumnya. Apabila dalam proses kelahiran kepala bayi sudah
keluar sedangkan dalam melahirkan bahu sulit, sebaiknya dilakukan
episiotomy mediolateral yang cukup luas, kemudian hidung dan mulut janin
dibersihkan, kepala ditarik curam kebawah dengan hati-hati dan tentunya
dengan kekuatan terukur. Bila hal tersebut tidak berhasil, dapat dilakukan
pemutaran badan bayi di dalam rongga panggul, sehingga menjadi bahu depan
dimana sebelumnya merupakan bahu belakang dan lahir dibawah simfisis.
Bila cara tersebut masih juga belum berhasil, penolong memasukkan
tangannya kedalam vagina, dan berusaha melahirkan janin dengan
menggerakkan dimuka dadanya. Untuk melahirkan lengan kiri, penolong
menggunakan tangan kanannya, dan sebaliknya. Kemudian bahu depan
diputar ke diameter miring dari panggul untuk melahirkan bahu depan.

2. SECTIO CAESAREAN
Sectio caesarean dilakukan secara elektif pada ibu hamil aterm dengan
kesempitan panggul berat, atau disproporsi kepala panggul yang nyata. Juga
dapat dilakukan pada kesempitan panggul ringan apabila ada komplikasi
seperti primigravida tua dan kelainan letak janin yang tak dapat diperbaiki.
Sectio caesarean sekunder (sesudah persalinan percobaan) dilakukan
apabila persalinan tetap macet dan perlu untuk segera diterminasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Gant FN, Leveno KJ, dkk. Obstetri Williams. Edisi 21. Jakarta:
EGC, 2005.
2. Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Bandung. Obstetri Fisiologi. Bandung: Elemen, 1983.
3. Israr YA, Irwan M, Lestari, dkk. Arrest of Decent- Cephalopelvc Disproportion
(CPD). 2008.
http://72.14.235.132/search?q=cache:RqVXzDPzkgIJ:yayanakhyar.wordpress.com/20
08/09/05/arrest-of-decent-cephalopelvic-disproportion-cpd/+Cephalo-pelvic+disprop
ortion&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id

4. Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran


Bandung. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar, 1982.

Anda mungkin juga menyukai