Solutio Plasenta
Solutio Plasenta
SOLUTIO PLASENTA
Diajukan oleh:
dr. Handoyo Sasongko
Rentang usia reproduksi sehat adalah usia 20-35 tahun. Usia kurang dari 20
tahun atau lebih dari 35 tahun meningkatkan risiko terjadinya komplikasi dalam
kehamilan, salah satunya solusio plasenta.
Solusio plasenta adalah terlepasnya placenta yang letaknya normal pada korpus
uteri yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin dilahirkan. Di
berbagai literatur disebutkan bahwa risiko mengalami solusio plasenta meningkat
dengan bertambahnya usia.
A. DEFINISI
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta
dari implantasi normalnya (corpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan
sebelum janin lahir . Cunningham dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta
sebagai separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya korpus uteri
sebelum janin lahir. Jika separasi ini terjadi di bawah kehamilan 20 minggu maka
mungkin akan didiagnosis sebagai abortus imminens. Sedangkan Abdul Bari
Saifuddin dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta adalah terlepasnya
plasenta dari tempat implantasi normalnya sebelum janin lahir, dan definisi ini
hanya berlaku apabila terjadi pada kehamilan di atas 22 minggu atau berat janin di
atas 500 gram.
B. KLASIFIKASI
Berdasarkan gejala klinik yang ditimbulkan:
1. Kelas 0
2. Kelas 1
3. Kelas 2
4. Kelas 3
3. Solutio plasenta berat (>500 ml): uterus tetanik, fetal death, DIC
3. FAKTOR ENDOMETRIUM
Penurunan kualitas endometrium dapat meningkatkan risiko terjadinya
solutio plasenta. Penurunan kualitas endometrium dapat disebabkan
multiparitas, usia (degeneratif), leiomyoma, merokok, dll.
4. LAIN-LAIN
Anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava inferior
dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan, dll.
D. PATOGENESIS
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis
dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah
miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi
penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus.
Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan sedikit mendesak
jaringan plasenta dan peredaran darah utero-plasenter belum terganggu, serta gejala
dan tandanya pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang
pada pemeriksaan plasenta didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan
bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Biasanya perdarahan akan berlangsung
terus-menerus/tidak terkontrol karena otot uterus yang meregang oleh kehamilan tidak
mampu berkontraksi untuk membantu dalam menghentikan perdarahan yang terjadi.
Akibatnya hematom subkhorionik akan menjadi bertambah besar, kemudian akan
medesak plasenta sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta akan terlepas dari
implantasinya di dinding uterus. Sebagian darah akan masuk ke bawah selaput
ketuban, dapat juga keluar melalui vagina, darah juga dapat menembus masuk ke
dalam kantong amnion, atau mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium.
Apabila ekstravasasinya berlangsung hebat akan terjadi suatu kondisi uterus yang
biasanya disebut dengan istilah uterus couvelaire, dimana pada kondisi ini dapat
dilihat secara makroskopis seluruh permukaan uterus terdapat bercak-bercak berwarna
biru atau ungu. Uterus pada kondisi seperti ini (uterus couvelaire) akan terasa sangat
tegang, nyeri dan juga akan mengganggu kontraktilitas (kemampuan berkontraksi)
uterus yang sangat diperlukan pada saat setelah bayi dilahirkan sebagai akibatnya akan
terjadi perdarahan post partum yang hebat..
Akibat kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan
tromboplastin yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat
pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar
persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada
keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang tidak hanya
di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya.
E. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari kasus-kasus solusio plasenta diterangkan atas
pengelompokannya menurut gejala klinis:
F. KOMPLIKASI
2. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio
plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena perdarahan
yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang mendadak, yang
umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. Perfusi ginjal akan
terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan
terjadi akibat nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal mendadak. Oleh karena
itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang harus
secara rutin dilakukan pada solusio plasenta berat. Pencegahan gagal ginjal
meliputi penggantian darah yang hilang secukupnya, pemberantasan infeksi, atasi
hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan
pembekuan darah
.
3. Kelainan pembekuan darah
Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh
hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardojo di
RSCM dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus
solusio plasenta yang ditelitinya.
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450
mg%, berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma kurang dari
100 mg% maka akan terjadi gangguan pembekuan darah.
Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui dua fase :
a. Fase I
Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi
pembekuan darah, disebut disseminated intravasculer clotting. Akibatnya ialah
peredaran darah kapiler (mikrosirkulasi) terganggu. Jadi pada fase I, turunnya
kadar fibrinogen disebabkan karena pemakaian zat tersebut, maka fase I disebut
juga coagulopathi consumptive. Diduga bahwa hematom subkhorionik
mengeluarkan tromboplastin yang menyebabkan pembekuan intravaskuler
tersebut. Akibat gangguan mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan
jaringan pada alat-alat yang penting karena hipoksia dan kerusakan ginjal yang
dapat menyebabkan oliguria/anuria.
b. Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha tubuh untuk
membuka kembali peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan
dengan fibrinolisis. Fibrinolisis yang berlebihan malah berakibat lebih
menurunkan lagi kadar fibrinogen sehingga terjadi perdarahan patologis .
Kecurigaan akan adanya kelainan pembekuan darah harus dibuktikan dengan
pemeriksaan laboratorium, namun di klinik pengamatan pembekuan darah
merupakan cara pemeriksaan yang terbaik karena pemeriksaan laboratorium
lainnya memerlukan waktu terlalu lama, sehingga hasilnya tidak mencerminkan
keadaan penderita saat itu.
G. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis solutio plasenta, perlu dipastikan umur
kehamilan ibu. Solutio plasenta hanya dapat ditegakkan pada usia kehamilan >20
minggu, karena pada usia <20 minggu umbilical cord plasenta menyatu dengan ....
sehingga menjadi abortus.
H. TERAPI
I. PROGNOSIS
Pintu atas panggul dianggap sempit apabila diameter anterioposterior
terpendeknya (konjugata vera) kurang dari 10 cm atau apabila diameter transversal
terbesarnya kurang dari 12 cm. Diameter anteroposterior pintu atas panggul sering
diperkirakan dengan mengukur konjugata diagonal secara manual yang biasanya
lebih panjang 1,5 cm. Dengan demikian, penyempitan pintu atas panggul biasanya
didefinisikan sebagai konjugata diagonal yang kurang dari 11,5 cm.3 Mengert
(1948) dan Kaltreider (1952) membuktikan bahwa kesulitan persalinan meningkat
pada diameter anteroposterior kurang dari 10 cm atau diameter transversal kurang
dari 12 cm. Distokia akan lebih berat pada kesempitan kedua diameter
dibandingkan sempit hanya pada salah satu diameter.
Diameter biparietal janin berukuran 9,5-9,8 cm, sehingga sangat sulit bagi
janin bila melewati pintu atas panggul dengan diameter anteroposterior kurang dari
10 cm. Wanita dengan tubuh kecil kemungkinan memiliki ukuran panggul yang
kecil, namun juga memiliki kemungkinan janin kecil. Dari penelitian Thoms pada
362 nullipara diperoleh rata-rata berat badan anak lebih rendah (280 gram) pada
wanita dengan panggul sempit dibandingkan wanita dengan panggul sedang atau
luas.
Pada panggul sempit ada kemungkinan kepala tertahan oleh pintu atas
panggul, sehingga gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi uterus secara langsung
menekan bagian selaput ketuban yang menutupi serviks. Akibatnya ketuban dapat
pecah pada pembukaan kecil dan terdapat resiko prolapsus funikuli. Setelah
selaput ketuban pecah, tidak terdapat tekanan kepala terhadap serviks dan segmen
bawah rahim sehingga kontraksi menjadi inefektif dan pembukaan berjalan lambat
atau tidak sama sekali. Jadi, pembukaan yang berlangsung lambat dapat menjadi
prognosa buruk pada wanita dengan pintu atas panggul sempit.
Pada nulipara normal aterm, bagian terbawah janin biasanya sudah masuk
dalam rongga panggul sebelum persalinan. Adanya penyempitan pintu atas
panggul menyebabkan kepala janin megapung bebas di atas pintu panggul
sehingga dapat menyebabkan presentasi janin berubah. Pada wanita dengan
panggul sempit terdapat presentasi wajah dan bahu tiga kali lebih sering dan
prolaps tali pusat empat sampai enam kali lebih sering dibandingkan wanita
dengan panggul normal atau luas.
Disproporsi kepala janin dengan pintu bawah panggul tidak terlalu besar
dalam menimbulkan distosia berat. Hal ini berperan penting dalam menimbulkan
robekan perineum. Hal ini disebabkan arkus pubis yang sempit, kurang dari 900
sehingga oksiput tidak dapat keluar tepat di bawah simfisis pubis, melainkan
menuju ramus iskiopubik sehingga perineum teregang dan mudah terjadi robekan.
L. TATALAKSANA
1. PERSALINAN PERCOBAAN
Lakukan pemeriksaan Osborn test untuk memperkirakan berhasilnya
kemungkinan persalinan percobaan, yaitu dengan mendorong kepala janin ke
arah PAP dengan tangan kiri. Apabila kepala mudah masuk tanpa halangan,
maka hasil test Osborn adalah negatif (-). Apabila kepala tidak bisa masuk dan
teraba tonjolan diatas simfisis, maka tonjolan diukur dengan 2 jari telunjuk
dan jari tengah tangan kanan. Apabila lebar tonjolan lebih dari dua jari, maka
hasil test osborn adalah positif (+). Apabila lebar tonjolan kurang dari dua jari,
maka hasil tes osborn adalah ragu-ragu (±). Dengan pertambahan usia
kehamilan, ukuran kepala diharapkan bisa menyesuaikan dengan ukuran
panggul (moulase).
Cara lain apabila kepala tidak bisa masuk dan teraba tonjolan di atas
simfisis, maka jari tengah diletakkan tepat di atas simfisis. Apabila telunjuk
lebih rendah dari jari tengah, maka hasil test Osborn adalah negatif (-).
Apabila jari telunjuk dan jari tengah sejajar, maka hasil test Osborn adalah
ragu-ragu (±). Apabila jari telunjuk lebih tinggi dari jari tengah, maka hasil
test osborn adalah positif (+).
Persalinan percobaan hanya dilakukan pada letak belakang kepala, tidak
bisa pada letak sungsang, letak dahi, letak muka, atau kelainan letak lainnya.
Ketentuan lainnya adalah umur kehamilan tidak boleh lebih dari 42 mingu
karena kepala janin bertambah besar sehingga sukar terjadi moulage dan ada
kemungkinan disfungsi plasenta janin yang akan menjadi penyulit persalinan
percobaan.
Pada janin yang besar kesulitan dalam melahirkan bahu tidak akan selalu
dapat diduga sebelumnya. Apabila dalam proses kelahiran kepala bayi sudah
keluar sedangkan dalam melahirkan bahu sulit, sebaiknya dilakukan
episiotomy mediolateral yang cukup luas, kemudian hidung dan mulut janin
dibersihkan, kepala ditarik curam kebawah dengan hati-hati dan tentunya
dengan kekuatan terukur. Bila hal tersebut tidak berhasil, dapat dilakukan
pemutaran badan bayi di dalam rongga panggul, sehingga menjadi bahu depan
dimana sebelumnya merupakan bahu belakang dan lahir dibawah simfisis.
Bila cara tersebut masih juga belum berhasil, penolong memasukkan
tangannya kedalam vagina, dan berusaha melahirkan janin dengan
menggerakkan dimuka dadanya. Untuk melahirkan lengan kiri, penolong
menggunakan tangan kanannya, dan sebaliknya. Kemudian bahu depan
diputar ke diameter miring dari panggul untuk melahirkan bahu depan.
2. SECTIO CAESAREAN
Sectio caesarean dilakukan secara elektif pada ibu hamil aterm dengan
kesempitan panggul berat, atau disproporsi kepala panggul yang nyata. Juga
dapat dilakukan pada kesempitan panggul ringan apabila ada komplikasi
seperti primigravida tua dan kelainan letak janin yang tak dapat diperbaiki.
Sectio caesarean sekunder (sesudah persalinan percobaan) dilakukan
apabila persalinan tetap macet dan perlu untuk segera diterminasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Gant FN, Leveno KJ, dkk. Obstetri Williams. Edisi 21. Jakarta:
EGC, 2005.
2. Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Bandung. Obstetri Fisiologi. Bandung: Elemen, 1983.
3. Israr YA, Irwan M, Lestari, dkk. Arrest of Decent- Cephalopelvc Disproportion
(CPD). 2008.
http://72.14.235.132/search?q=cache:RqVXzDPzkgIJ:yayanakhyar.wordpress.com/20
08/09/05/arrest-of-decent-cephalopelvic-disproportion-cpd/+Cephalo-pelvic+disprop
ortion&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id