Oleh:
RINI ARYANI
NIM: K. 4403046
PENDAHULUAN
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teorotis, hasil dari penelitian dapat bermanfaat sebagai berikut:
a. Untuk memberikan tambahan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam
rangka mengembangkan ilmu sejarah khususnya yang berkaitan dengan
topik “ FASISME DI ITALIA 1922-1944”
b. Dalam penelitian ilmiah digharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penulisan ini bermanfaat sebagai berikut :
a. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana keguruan dan ilmu
pendidikan Universita Sebelas Maret Surakarta
b. Dapat melengkapi koleksi penelitian diperpustakaan khususnya mengenai
“FASISME DI ITALIA 1922-1944”
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Sistem Pemerintahan
Dictator berasal dari bahasa latin dictare, yang menyatakan sebagai perintah,
seorang pemegang kekuasaan mutlak dalam menjalankan pemerintahan negara
(Ensiklopedia Indonesia, 1989: 822). Menurut Frans L. Neuman dalam Jurnal Ilmu
Politik (1993: 39) diktator adalah pemerintahan oleh seseorang atau kelompok orang
yang menyombongkan diri dan memonopoli kekuasaan dalam negara dan melaksanakan
kekuasaan tersebut tanpa dibatasi. Pengertian diktator juga dikemukakan oleh Jules
Archer (1985: 19), diktator adalah seseorang penguasa yang mencari dan mendapatkan
kekuasaan mutlak tanpa memperhatikan keinginan-keinginan nyata dari rakyatnya.
Menurut Miriam Budiardjo (1989: 98) pengertian dari diktator itu sendiri ada
dua macam: 1) diktator proletar, dimana antara masyarakat kapitalis dan masyarakat
komunis terdapat suatu masa petalihan dalam suatu transformasi secara revolusioner dan
masyarakat kapitalis menjadi masyarakat komunis, 2) diktator militer, yaitu suatu atau
segolongan perwira yang menentang tanpa member pertanggungjawaban kepada rakyat,
sehingga caranya naik ke pemerintahan dengan mengadakan kudeta. Kadang-kadang
suatu diktator militer perlu sementara waktu untuk memulihkan keadaan kacau balau
yang tidak dapat dikuasai lagi oleh kekuatan sipil yang kurang mampu atau tidak
mendapat dukungan yang memadai.
Carl J. Frederick dan Z. Bigriewle Brezinksky dalam Jurnal Ilmu Politik (1993:
40), menyebutkan cirri-ciri negara diktator adalah sebagai berikut: 1) suatu ideologi yang
menyeluruh yang terdiri dari ajaran-ajaran (doktrin) badan resmi yang meliputi seluruh
aspek vital dan pada kehidupan manusia dalam masyarakat yang harus dilakukan dan
ditaati oleh setiap anggota masyarakat. Idiologi ini ditunjukkan untuk membentuk
manusia baru paripurna yang berlainan dengan manusia yang sekarang ada dalam
masyarakat, 2) satu partai massa yang dipimpin oleh seorang manusia diktator dengan
anggota terdiri dari prosentase yang relative kecil dari jumlah penduduknya, yang terdiri
dari laki-laki dan wanita dimana mengabdikan dirinya secara menyeluruh terhadap
idiologi dan bersedia setia cara agar supaya diterima oleh umum atau partai tersebut
diorganisir lebih tinggi atau sepenuhnya beserta birokrasi pemerintah, 3) suatu sistem
teror baik psikis maupun phisik yang dilaksanakan melalui partai dan pengawasan polisi
rahasia maupun khusus yang ditujukan terhadap musuh-musuh rezim yang demonstrative
dan juga terhadap golongan penduduk yang tidak menyetujuinya. Teror itu baik yang
dilakukan oleh polisi rahasia maupun oleh partai yang ditunjukan untuk menindas
masyarakat secara sistematis dengan menggunakan ilmu modern.
Menurut Sukarna (1981-86), prinsip-prinsip kediktatoran adalah : 1) pemusatan
kekuatan yaitu kekuasaan legislative, eksekutif, yudikatif berada dalam satu badan, 2)
pemerintah tidak kostitusonal, 3) pemilihan umum yang tidak bebas, 4) tidak ada
perlindungan hak azasi manusia, 5) menolak kekebebasan pers, 6) peradilan yang tidak
bebas dan memihak, 7) tidak ada pengawasan terhadap administrasi negara, 8) jaminan
kebebasan terhadap individu dibatasi, 9) undang- undang dasar tidak lagi demokratis.
Selanjutnya juga dikemukakan mengenai ciri-ciri konstitusi negara dengan
sistem kediktatoran adalah : 1) konstitusi dibuat oleh pengikut-pengikut diktator
berdasarkan perintah, 2) konstitusi dibuat untuk kepentingan diktator, 3) konstitusi tidak
melindungi hak asasi manusia, 4) konstitusi tidak mengakui kebebasan rakyat, 5)
konstitusi menghapuskan atau tidak mengatur dan membatasi pemilu yang bebas, 6)
konstitusi menolak kebebasan pers, 7) konstitusi membatasi kebabasan peradilan, 8)
konstitusi mengatur pemusatan kekuasaan legislative, eksekutif, yudikatif dalam satu
tangan, 9) konstitusi memperluas dan tidak membatasi fungsi eksekutif, 10) perubahan
konstitusi berdasarkan petunjuk atau tujuan diktator, 11) konstitusi dalam negara dengan
sistem kediktatoran dibuat berdasarkan kekuasaan absolute (Sukarna, 1981: 86)
Abu Daud Busroh (1987: 67) menyebutkan ciri-ciri negara diktator adalah
sebagai berikut : 1) adanya peradilan khusus untuk mengadili orang yang melawan rezim
yang berkuasa, 2) tidak ada kebebasan berserikat dan berkumpul, 3) tidak ada pemilihan
umum. Dalam sistem kediktatoran kegiatan warga negara adalah terikat oleh penguasa
atas negara. Sehingga kebebasan yang melekat pada dirinya adalah memuja sang
penguasa (Soehino, 1980: 35). Sebagaimana diungkapkan oleh Jules Archer (1985: 21)
bahwa sistem kediktatotan dibedakan menjadi dua tipe yaitu : 1) tipe diktator militer,
yaitu mendapatkan kekuasaannya melalui kekuatan militer, 2) tipe diktator politik, yaitu
mendapatkan kekuasaannya melalui pemilihan umum.
Dari pengertian tentang diktator diatas dapat dijelaskan bahwa suatu
pemerintahan dengan sistem diktator dalam menjalankan kekuasaannya akan selalu
berpedoman pada prinsip-prinsip kediktatoran.
B. Kerangka Berfikir
Kerangka berfikir adalah suatu alur berfikir yang digunakan oleh peneliti dengan
digambarkan secara menyeluruh dan sistematis. Dalam penelitian ini kerangkan
pemikiranyya adalah:
Italia Pemerintahan
Victor Emanuel III
Perang Dunia I
Pemerintahan Fasis
Diktator
Perang Dunia II
Keterangan:
Pada tahun 1941 meletus Perang Dunia I, yang dilatarbelakangi terbunuhnya
putra mahkota Franz Ferdinand dari Austria oleh mahasiswa Serbia. Austria menuntut
agar Serbia menyerahkan pembunuh Franz Ferdinand kepada Austria, tetapi Serbia tidak
dapat memenuhinya, kemudian Austria menyerang Serbia. Pada Perang Dunia I Italia
pada awal mulanya hanya menjadi Negara yang netral selama bertahun-rahun dan
kemudian bergabung dengan sekutu, kemudian pada tahun 1915 ketika Italia dijanjikan
propinsi Flime, triste dan Frento di bagian timur laut dan daerah-daerah lainnya
sepanjang pantai yang sekarang bernama Yugoslavia. Setelah mengalami kekalahan,
bangsa Italia mendapatkan kemenangan yang menentukan di Victoria Veneto pada tahun
1918 yang lalu mengakibatkan kekalahan Austria- Hongaria.
Berakhirnya Perang Dunia I, melalui konferensi perdamaian Paris
menghadiahkan kepada Italia Trento dan profinsinya, Tirol bagian selatan, Triste dan
propinsinya sejauh Alpen Julian, Flame, Zara, Istria dan beberapa pulau lepas pantai
Yugoslavia. Akan tetapi, situasi di Italia menjadi kacau dan terjadilah pergolakan politik.
Pemerintahan Italia yang pada waktu itu dipegang oleh raja Victoria Emmanuel III,
dimana masa pemerintahannya Italia menjadi Negara yang lemah dan kurang tegas,
karena itu rakyat menginginkan suatu perubahan agar Italia menjadi pemerintahan yang
kuat.
Berakhirnya Perang Dunia I telah menyebabkan Fasisme berkembang di Italia.
Berkembangnya Fasisme di Italia salah satu faktornya adalah munculnya rasa
nasionalisme. Italia yang selama perang bergabung dengan aliansi, dimana aliansi
tersebut mengalami kemenangan pada tahun 1915, namun Italia merasa tertipu akan hasil
kemenangan tersebut. Italia kehilangan setengah juta penduduk laki-laki dengan hamper
setengah juta lainnya mengalami luka-luka. Sebagai imbalan, konferensi perdamaian
Versailles memnberi Italia daerah jajahan yang belum sesuai dengan harapan bangsa
Italia dan para politikus kehilangan rasa tentram.
Pada dasarnya kemiskinan Italia akibat Perang Dunia I adalah factor terpenting
dalam perkembangan kekuasaan Fasisme. Secara umum fasisme memanfaatkan kondisi
kekacauan dan ketidakstabilan dalam sebuah Negara untuk menunjukkan diri kepada
rakyat sebagai idiologi penyelamat.
Factor lain munculnya fasisisme adalah adanya ketakutan akan komunis. Tahun-
tahun sesudah 1918 semakin mengindikasikan bahwa demokrasi di Italia mungkin
diakhiri oleh komunisme dari pada oleh fasisme. Peristiwa luas biasa yang terjadi adalah
Revolusi Rusia, sedang tatanan social baru yang telah didirikan di sana adalah Bolsheviks
Lenin adalah komunisme. Dalam keadaan yang demikian, tampak bahwa pemberontahan
komunis sangat mungkin menyebar kearah barat. Di Italia pada tahun 1920, komunis
telah menduduki pabrik-pabrik di Turin dan Milan.
Mussolini mengambil keuntungan-keuntungan dari tekanan-tekanan social dan
keinginan dikalangan rakyat Italia akan perubahan. Setelah perang, Mussolini
memobilisasi para mantan tentara, pengangguran dan mahasiswa, dengan slogan-slogan
yang meneriakkan kembalinya masa-masa kejayaan Romawi kuno. Mussolini
mengorganisir para pendukungnya yang di kenal sebagai “kemeja hitam”, dalam sebuah
format semi militer, dan memiliki metode-metode yang dibangun dengan kekerasan.
Mereka mulai melakukan penyerangan-penyerangan di jalan-jalan terhadap kelompok-
kelompok yang mereka anggap sebagai saingan mereka. Dengan berbagai unjuk salam,
lagu, seragam dan pawai resmi yang bergaya Romawi, mereka membangkitkan emosi
kaum tidak terpelajar dan punya hak suara. Pada maret 1919, fasisme muncul menjadi
gerakan politik dan Mussolini membentuk kelompok untuk bertempur melawan
pemerintahan dan Mussolini membentuk kelompok untuk bertempur melawan
pemerintahan yang di kenal sebagai baju hitam. Kaum fasis menolak parlemen dan
mengedepankan kekerasan fisik. Anarki pecah dimana-mana dan pemerintah liberal tidak
berdaya menghadapinya. Mussolini bersama kelompoknya melakukan longmarcg ke
Roma, melihat rombongan tersebut pemerintah raja Victoria Emmanuel III menjadi
ketakutan. Pada Oktober 1922, raja memintanya membentuk pemerintahan baru, dan
jadilah Italia dikelola oleh pemerintahan fasis.
Mussolini memerintah bangsa Italia dengan cara dictator fasisme. Faham
fasisme dalam prakteknya mengutamakan kepentingan Negara. Seluruhnya untuk
Negara, Negara diatas segala-galanya. Menurut Mussolini Negara adalah absolute, bias
bertindak apa saja asal berdasarkan dan beralasan untuk kepentingan Negara. Dengan
demikian Italia menjelang Perang Dunia II merupakan Negara totaliter. Kepemimpinan
yang dictator ini berlaku juga pada kebijakan dalam dan luar negeri Italia.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1. Tempat Penelitian
Berdasarkan penelitian yang akan diajukan, peneliti akan menjaring data yang
ada di perpustakaan, hal ini dilakukan dengan tekhnik pengumpulan data yang akan
digunakan adalah studi pustaka.
Adapun perpustakaan yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini
meliputi:
a) Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta,
b) Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta,
c) Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta,
d) Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta,
e) Perpustakaan Pusat Universitas Gajah Mada Yogyakarta,
f) Perpustakaan Pusat Universitas Yogyakarta,
g) Perpustakaan Pusat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,
h) Perpustakaan Nasional Jakarta,
i) Perpustakaan Pusat Universitas Lampung
2. Waktu Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengambil waktu untuk mengadakan penelitian
sejak tanggal 1 Maret 2009 sampai dengan 10 Desember 2009.
16
B. Metode Penelitian
C. Sumber Data
Sumber data yang merupakan sumber sejarah adalah segala sesuatu yang dipakai
sebagai bahan penulisan peristiwa sejarah, yang merupakan suatu hasil penyelidikan
untuk mendapatkan benda-benda atau data-data apa saja yang ditinggalkan manusia pada
masa lampau. Menurut Helius Syamsudin (1994 : 29) sumber sejarah adalah semua saksi
mata, segala sesuatu langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang
sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu. Jadi sumber sejarah merupakan
bahan-bahan mentah (raw material) sejarah yang mencangkup segala macam evidensi
atau bukti yang telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktifitas
manusia pada masa lalu.
Menurut Sigi Gazalba (1981: 105), sumber data sejarah dapat diklasifikasikan
menjadi : 1) sumber tertulis, yaitu sumber yang berupa tulisan, 2) sumber lisan, yaitu
sumber yang berupa verita yang berkembang dalam masyarakat, 3) sumber benda atau
visual, yaitu semua warisan masa lalu yang berbentuk dan berupa.
Dalam penelitian ini digunakan sumber data sejarah berupa sumber tertulis.
Sumber tertulis menurut Hadari Nawawi (1991: 80) dapat terbagi menjadi dua, yaitu
sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder. Sumber tertulis sekunder adalah
tulisan yang merupakan kesaksian dari seseorang yang dengan mata kepalanya sendiri
atau dengan panca inderanya yang lain atau dengan alat mekanik menyaksikan peristiwa
yang diceritakan (sumber autentik atau sumber langsung), sedangkan sumber tertulis
sekunder adalah sumber yang ditulis seseorang yang tidak terlihat atau mengalami
peristiwa sejarah itu sendiri.
Dalam penelitian ini digunakan adalah sumber tertulis sekunder. Hal ini
disebabkan karena sulitnya mencari sumber primer yang relevan dengan permasa;ahan
yang diteliti. Namun, sumber tertulis sekunder yang dipakai dalam penelitian ini adalah
berupa buku-buku seperti Fasisme Yang Mengguncang Dunia dan Sejarah dan Budaya,
makalah, yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.
D. Tekhnik Pengumpulan Data
Analisis data merupakan proses penyederhanaan data yang mudah dibaca dan
diinterpretasikan, sehingga dapat disajikan dan dipahami oleh orang lain dengan jelas.
Sesuai dengan metode dalam penelitian ini, yaitu menggunakan penelitian historis, maka
analisis penelitian datanya juga menggunakan tekhnik analisis data. Helius Syamsudin
(1996: 59) menyebutkan bahwa “ tekhnik analisis historis adalah analisis data sejarah
dengan menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang
digunakan untuk mengadakan penelitian sejarah”. Kaitanyya dengan analisis data,
Nugroho Notosusanto (1997: 40) mengatakan bahwa analisis data historis adalah analisis
sejarah dengan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang
dibutuhkan.
Bahan utama yang digunakan sejarawan dalam menganalisis data sejarah yang
telah dikumpulkan dan relevan dengan masalah yang diteliti adalah fakta. Fakta
merupakan bahan utama yang dijadikan sejarawan untuk menyusun historiografi dan
fakta itu sendiri merupakan hasil pemikiran dari para sejarawan, sehingga fakta yang
terkumpul mengandung unsure subyektifitas. Suatu kenyataan bahwa sulit sekali
menemukan fakta-fakta yang benar-benar mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.
Sebuah fakta yang dikonstruksikan sejarawan akan menghasilkan konstruk, setiap
konstruk mengandung unsur-unsur dari penyusunan konstruk tersebut, maka untuk
mengkaji dan menganalisis diperoleh konsep-konsep dari teori-teori yang berfungsi
sebagai criteria penyesuaian dan pengklasifikasian (Sartono kartodirdjo, 1982)
F. Prosedur Penelitian
Kritik sumber adalah kegiatan untuk menyelidiki data sejarah, apakah data
tersebut otentik dan sahih atau tidak. Dalam penelitian ini dilakukan kritik sumber secara
ekstern dan intern;
a) kritik ekstern yaitu: meneliti apakah data itu autentik, yaitu kenyataan identitasnya,
bukan tiruan, turunan atau palsu, kesemuanya dilakukan dengan meneliti bahan yang
dipakai, jenis dan tulisan, gaya bahasa, misalnya penulis melihat kebenaran dengan
melihat penerbit, tahun penerbitan buku yang dipakai sebagai sumber. Kritik ekstern
dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melihat tanggal, bulan, tahun serta siapa
yang mengarang atau penulis sumber tersebut, dengan mengidentifikasi latar
belakang dari pengarang.
b) kritik intern, yaitu: meneliti isinya apakah isinya pernyataan, fakta-fakta dan ceritanya
dapat dipercaya. Untuk itu perlu diidentifikasikan penulisnya, beserta sifat dan
waktunya, daya ingatan, jauh dekatnya dengan peristiwa dalam waktu, dengan kata
lain perlu dicek apakah pernyataanya dapat diandalkan, misalnya penulis melihat
biografi pengarang dan membandingkan buku satu dengan buku yang lainnya. Kritik
intern dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan sumber yang satu
dengan sumber yang lain, sehingga didapatkan fakta sejarah yang benar- benar
relevan dengan tema penelitian, misalnya dengan membandingkan buku “Menyikap
Tabir Fasisme “ dan “Fasisme”
3. Interpretasi
Interpretasi adalah kegiatan menafsirkan data atau sumber yang telah diteliti
keaslianya, setelah melalui kritik sumber yang akan didapatkan informasi tersebut dapat
disusun fakta-fakta sejarah yang dapat dibuktikan kebenarannya. Susunan fakta-fakta
sejarah yang diperoleh harus dirangkai dan dihubungkan satu dengan yang lain sehingga
menjadi satu kesatuan yang selaras dan masuk akal. Peristiwa yang satu harus
dimasukkan kedalam konteks peristiwa yang lain yang melingkupinya. Proses penafsiran
menjadi suatu proses kisah sejarah yang integral, menyangkut proses seleksi sejarah.
Untuk proses seperti itu harus menggunakan fakta-fakta yang relevan dan menyingkirkan
fakta-fakta yang tidak relevan.
Interpretasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menafsirkan dan menetapkan
makna serta hubungan dari fakta- fakta yang ada. Fakta-fakta yang telah diseleksi
tersebut dihubungkan satu sama lain sehingga muncul fakta yang relevan yang akan
menjadi satu kesatuan kisah sejarah.
4. Historiografi
Historiografi merupakan kegiatan menyusun fakta sejarah menjadi suatu kisah
yang disajikan dalam bentuk cerita sejarah. Untuk menyusun cerita sejarah tersebut
dibutuhkan ketrampilan dalam menyusun kalimat yang selaras dan benar, sesuai dengan
prinsip-prinsip ilmiah. Langkah terakhir ini merupakan suatu lagkah penulisan jejak-jejak
sejarah yang telah dikumpulkan dan dianalisis menjadi suatu cerita sejarah yang disajikan
dalam bentuk tulisan.
Usaha yang dilakukan untuk menarik kesimpulan yang kemusdian ditulis dalam
bentuk karya tulis selalu berdasarkan pada semua fakta yang diperoleh dalam kegiatan
penelitian, dilengkapi dengan imajinasi penulis yang rasial dan selaras. Pada tahap ini
dilakukan untuk menyusun fakta sejarah menjadi sebuah kisah yang disajikan dalam
bentuk tulisan tentang “Fasisme Italia 1922-1944”
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Fasisme Italia adalah hasil yang segera muncul dari pengkhianatan kaum
reformis di saat kebangkitan kaum proletar Italia. Pada waktu Perang Dunia Pertama
berakhir, terdapat tren naik dalam gerakan revolusioner Italia, dan pada bulan September
1920 gerakan tersebut berhasil melaksanakan penyitaan pabrik-pabrik dan industri-
industri oleh para pekerja. Kediktaturan proletariat merupakan sebuah kenyataan pada
saat itu. Namun, kekurangan kaum proletariat pada saat itu adalah ketidakmampuan
untuk mengorganisirnya dan mengambil darinya semua kesimpulan yang diperlukan.
Setelah usahanya yang berani dan heroik, kaum proletar ditinggalkan begitu saja untuk
menghadapi kekosongan. Terganggunya gerakan revolusioner ini dalam kenyataanya
menjadi faktor yang terpenting di dalam perkembangan fasisme. Di bulan September
1920, perkembangan revolusioner menjadi terhenti, dan bulan November 1920 menjadi
saksi dari sebuah demonstrasi penting yang pertama dari kaum fasis Italia yaitu dengan
merebut bologna (www.wikipedia.com).
Rezim Fasis setelah tahun 1925 menguat dengan karakter pemerintahan yang
dictator, sehingga kelas penguasa mengekspresikan kepentingan-kepentingan. Fasisme
mengembalikan pada kaum borjuis ketidaksadaran kelas dan organisasi kelas dan pada
bulan November 1925 banyak oposisi pers yang akhirnya hancur dan berada dibawah
kendali fasis dengan sebagian tertentu saja dari organ-organ komunis dan sosialis
(Antonio Gramsci, 2000: 97-98)
3. Ciri-Ciri Fasisme
Pada waktu Ethiopia diserbu oleh Italia tahun 1935, penguasa negeri itu adalah
kaisar Haile Selassi I, yang menggantikan Empress zauditu pada tahun 1930. Bagi Italia
Ethiopia akan dijadikan sumber bahan mentah yang akan memperkaya Italia, sumber
bahan pangan bagi Italia dan sumber manusia untuk tenaga Fascis.
Pada 3 Oktober 1935, Mussolini memerintahkan invasi terhadap Ethiopia untuk
memperluas kekuasaan Italia di Afrika Timur. Selama tujuh bulan terjadi serangkaian
operasi militer di daerah tersebut. Tentara Italia menggunakan senjata kimia dan kekuatan
udara untuk mengalahkan orang-orang Ethiopia yang tidak memiliki pertahanan.
Akhirnya Mussolini mengumumkan kemenangan Italia dalam sorak sorai 400.000
pendukungnya di Roma pada 9 Mei. Mussolini berseru bahwa Italia akan menaklukkan
dunia.
Sementara Lembaga bangsa-bangsa sedang sibuk mencari penyelesaian tentang
masalah Ethiopia (oktober 1935), tentara Italia dengan perlengkapan modern menyerbu
Ethiopia dari jurusab utara, timur dan selatan. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa ”
gerakan strategis tersebut diperlukan untuk melindungi Eritrea dan Somali Italia dari
agresi- agresi. Lembaga bangsa bangsa memutuskan Italia sebagai agresor dan dikenakan
sangsi- sangsi finansian dan ekonomi. Tetapi Italia tidak mengubah sikapnya. Sesudah
Ethiopia diduduki (1936) kaisar Haile Selessi melarikan diri ke London dan mengajukan
protes kepada Lembaga Bangsa-bangsa mengenai agresi Italia ke negeri nya. (Nyoman
Armada, 1992: 96-97)
Liga bangsa-bangsa sebenarnya telah berusaha untuk menghentikan
penyerangan Italia atas Ethiopia, tetapi gagal. Mussolini berhasil mencapai maksudnya
dengan menumpahkan darah seribu lima ratus tentara Italia. Namun sang diktator
sebenarnya belum puas, Mussolini menginginkan korban yang lebih banyak lagi dengan
mengatakan bahwa kekaisaran akan bangga dengan lebih banyak genangan darah rakyat
Italia (Jules Archer, 2007 : 83).
Kemenangan yang diperolah atas Ethiopia telah membuat Benito Mussolini dan
rakyat Italia mabuk kemenangan. Mussolini lupa bahwa ia harus membersihkan unsur
pemerintahannya dari korupsi. Mussolini sama sekali tidak menyangka betapa banyaknya
kenyataan buruk yang terjadi. Penyelewengan, suap, korupsi dan spekulasi dikalangan
partai dan penguasa terjadi dimana- mana. Media massa tidak berani membuat
pemberitaan tentang kesalahan yang dibuat Mussolini, sebab Benito memang tidak
segan- segan untuk membredel media massa, memnjarakannya bahkan menghulum mati
setiap orang yang berusaha memberitakan kesalahannya. (Syamdani, 2009: 61)
Dalam kondisi pemerintahan yang penuh kebobrokan itu, Mussolini tetap yakin
dengan kekuatan yang dimilikinya. Malah Mussolini berencana mengadakan konfederasi
laut Tengah dan sasaran pertamannya adalah Spanyol. Di Spanyol perang saudara sedang
belangsung antara pemerintahan Republik dan Jenderal Fransisco Franco. Mussolini
mengirimkan banyak tantaranya untuk membentu Jenderal pemberontak tersebut guna
membentuk pemerintahan model Fasis. Kurang lebih 70 ribu tentara dengan sejumlah
senjata besar, pesawat terbang dan perlengkapan perang lainnya dikerahkan sehingga
persediaan di Italia sendiri hampir habis. (Syamdani, 2009: 62)
Mussolini ingin menguasai seluruh Laut Tengah sebagai laut Italia (Mare
Nastrum: laut kita). Menurut Mussolini, historis laut tengah ini merupakan laut Italia,
sebagaimana halnya zaman Romawi Kuno (Italia La Prima) dan zaman abad
pertengahan ( zaman memuncaknya kota- kota Genua dan Venesia sebagai kota dagang).
Karena itu Italia harus merebut kembali Laut Tengah. Usaha kearah ini ialah:
a. memperkuat angkatan lautnya untuk mengimbangi angkatan laut Inggris di
Laut Tengah
b. menuntut pulau Malta dan Adriatik
c. mengadakan perjanjian dengan Alabania (Perjanjian Tirana tahun 1926)
untuk mengekang Albania dan menguasai Laut Adriatik
d. ikut dalam pemerintahan kota Tanger sebagai kota Internasional (bersama-
sama Inggris, Perancis, Spanyol) pada tahun 1928
e. membantu Nasionalis (Franco) dalam perang saudara Spanyol (1936- 1939)
untuk mendapatkan pengaruh di Laut Tengah bagian barat
f. berusaha melalui Libya (jajahan Italia) mendapatkan pengaruh diantara
negara-negara Arab, agar dapat menguasai Laut Tengah bagian timur.
(Soebantardjo, 1952: 185)
Perjanjian ini diadakan karena baik Italia maupun Jerman pada prinsipnya
mempunyai tujuan- tujuan yang sama dalam usahanya membangun negaranya masing-
masing. Selain itu Fasisme Italia dan Nazi Jerman memiliki persamaan pandangan dalam
beberapa hal, misalnya saja dalam usaha menghadapi negara-negara besar di Eropa dan
masalah Komunisme. Selain itu sikap Italia dan Jerman terhadap perjuangan Franco
adalah sama. Dimana mereka sama-sama menyokong Franco berada dipihak yang
menang dan dengan demikian berarti memperkuat sekutu Fasisme. (Makmun Salim,
1971: 8-9)
Sesampainya di Italia, Mussolini senantiasa memikirkan cara untuk menyaingi
popularitas Hitler. Namun demikian, Mussolini mulai mengajarkan tentaranya berbaris
tegap dan mulai mengutuki kaum Yahudi Italia seperti yang dilakukan Hitler. Pada 1938
berkat pengaruh Hitler, pemerintahan fasisme Italia menyetujui undang-undang antisemit
yang mendiskriminasikan orang-orang Yahudi dalam semua sektor, sektor dalam
masyarakat luas ataupun pribadi, dan menyiapkan cara untuk mendeportasi ribuan orang
Yahudi Italia ke kamp-kamp konsentrasi di Jerman selama Perang Dunia II. Hampir
7.000 orang Yahudi Italia dideportasi dan sejumlah 5.910 akan dibunuh.
Raja Victor Emmanuel memprotes kebijakan rasialis yang direkayasa oleh
Mussolini menurut ide-ide Hitler. Apalagi raja Victor Emmanuel cenderung membenci
orang-orang Jerman. Sayangnya, raja tidak dapat berbuat banyak ketika Mussolini
mengancam akan menggulingkannya dari singgasana. Namun demikian, tanda-tanda
kehancuran popularitas Mussolini sejak saat itu sudah mulai tampak, baik di dalam
maupun luar negeri.
Pada 1938, Jerman menduduki Austria dan dunia tetap membiarkannya.
Sampai sejauh itu, Hitler berusaha memaksa Italia untuk mendukungnya dalam setiap
perang melawan Sekutu Barat. Namun, Mussolini tetap bergerak dengan hati-hati dan
mengharap rekan dari Jerman itu tidak bertindak gegabah. Lagipula Italia tidak sedang
berada dalam kedudukan yang baik untuk berperang total. Maka, ketika perang itu terus
berkecamuk setelah Hitler menghantam Cekoslovakia, Mussolini segera
menyelenggarakan konferensi damai dengan Munich. PM Inggris, Chamberlain dan PM
Perancis, Daladier di Munich berunding dengan Hitler yang ditengahi oleh Mussolini.
Bertindak sebagai penengah Mussolini berhasil mendapat dukungan dan
jaminan dari Inggris serta Perancis untuk menghentikan Hitler. Namun pada 1939, Hitler
merobek-robek perjanjian itu kemudian mengambil alih Cekoslovakia. Negara
Cekoslovakia merasa dikiorbankan ketika akhirnya diduduki Jerman tanpa pembelaan
yang berarti dari Inggris dan Perancis.
Mussolini sadar bahwa perang tidak mungkin lagi dielakkan, namun Mussolini
berkata kepada Hitler bahwa Italia akan tetap berdiri walau Hitler terus memaksanya
untuk terlibat. Sampai saat itu Mussolini tetap menunda untuk memasuki kancah perang
hingga tampak bahwa Jerman akan mengalahkan semua negara Eropa Barat tanpa
bantuannya. (Thomas Wendoris, 2009 : 45).
Mussolini juga sadar bahwa Italia tidak sesiap Jerman untuk memulai perang
baru. Apa lagi waktu itu Italia baru saja kembali dari dua arena perang besarnya, yaitu
Spanyol dan Ethiophia. Dua perang itu telah benar-benar telah banyak menguras tenaga
dan biaya Italia. Kelelahan dan suku cadang peralatan tempur yang terbatas merupakan
salah satu alasan ketidaksiapan Italia. Tentara Italia kehabisan amunisi, peralatan, bahkan
seragam. Meski di pangkalan terdapat ribuan pesawat tempur berjajar, namun hanya
beberapa unit saja yang bisa beroperasi. (Syamdani, 2009: 65)
Melihat perkembangan rencana perang yang dikobar-kobarkan oleh Jerman,
pada 7 April 1939, Mussolini meniru taktik Hitler untuk menduduki Albania. Tentara
Albania yang pernah dilatih oleh tentara Italia dengan segera berhasil dikuasai sehingga
pada 12 April parlemen Albania menyatakan diri bersatu dengan Italia.
Pada Mei 1939, selagi Jerman mempersiapkan diri untuk menyerang negara-
negara di Eropa secara besar-besaran, Mussolini dan Hitler setuju untuk membangun
sebuah persekutuan militer ”Pact Of Steel”. Persekutuan militer Italia dan Jerman ini
diikuti dengan pakta non agresi antara Jerman dan Uni Soviet secara mengejutkan pada
Agustus 1939. Seminggu kemudian Jerman menyerbu Polandia pada 1 September
sehingga Inggris dan Perancis terpaksa mendeklarasikan perang terhadap Jerman dua hari
kemudian. Perang Dunia II dimulai.
Mengenai persiapan dan perencanaan Italia pada dasarnya hampir bersamaan
dengan Jerman, sebab Mussolini dan Hitler dalam usahanya menggerakan pasukan dan
membina massa, memiliki kesamaan. Persiapan persenjataan, persiapan manpower,
terutama diharapkan dari negara-negara yang baru ditaklukan. Sedang mengenai rencana
Italia, terutama ditujukan kearah Balkan Afrika. (Makmun Salim, 1971: 16)
Di awal penyerbuannya, armada udara Jerman, Lutwaffe melancarkan
pengeboman terhadap pangkalan-pangkalan udara Polandia. Hasil serangan itu sukses
karena hampir seluruh pesawat terbang Polandia hancur sehingga superioritas udaranya
langsung dikuasai Jerman.
Sementara dari darat, divisi Panzer dan tank Guderian dengan cepat menggilas
semua pertahanan darat Polandia, termasuk menggilas divisi kavaleri berkudanya. Dalam
tempo 17 hari Polandia, khususnya bagian barat, berhasil dikuasai Jerman. Sedangkan
Polandia timur berhasil dikuasai Rusia yang dengan licik menyusul menyerbu.
Tanpa bantuan Mussolini, Hitler ternyata memang sanggup menyapu Polandia
kemudian menaklukkan Perancis dan negara-negara lemah lainnya. Akhirnya, takut tidak
diikutsertakan dalam gejolak itu Mussolini cepat-cepat mengumumkan perang melawan
pihak sekutu, bergabung dengan Jerman pada 10 Juni 1940. Mussolini segera
memerintahkan Jenderal Badoglio untuk ikut berperang, namun tidak lama kemudian
terbukti bahwa keputusan itu malah mencelakakannya (Jules Archer, 2007 : 85).
Pada 1 Juli 1940, Hitler menyatakan akan menduduki Gibraltar dan Terusan
Suez. Memang Terusan Suez adalah titik paling sensitif dari urat nadi lalu lintas di antara
dua samudera dunia. Daerah ini segara menjadi medan pertempuran hebat. Satu titik lain
di Laut Tengan yang juga sangat penting bagi kerajaan Inggris, yaitu Benteng Gibraltar
dan Terusan Suez.
Pada 13 September 1940, Italia menyerang Mesir dengan maksud akan
mengarahkan serangan ke Terusan Suez, sementara Jerman mendarat di Inggris. Peluang
menyerbu Mesir memang terbuka lebar mengingat kawasan Libya yang sudah lam
menjadi jajahan Italia berbatasan langsung dengan Mesir. Waktu itu Mesir merupakan
jajahan Inggris. Oleh karena itu, Mussolini yakin bahwa serbuannya akan mengejutkan
sekaligus menyenangkan Hitler yang sering meremehkannya. Namun, ambisi Mussolini
itu banyak ditentang oleh para jenderalnya. Mussolini tidak peduli, mirip Hitler saat
bernafsu menyerbu Polandia. Mussolini tetap memaksa panglimanya Marsekal Graziani
melancarkan serangan walau sebenarnya kondisi dan persenjataan pasukan Italia pada
waktu itu belum siap sepenuhnya. Hasilnya, di Mesir Inggris balik menyerang Italia
hingga 38.000 tentara Italia ditawan, 73 tank, dan 237 senjata artileri dirampas pada 6
Desember 1940. Peristiwa tersebut merupakan kekalahan kedua di pihak Italia, setelah
kekalahan di Yunani pada 14 November 1940.
Mussolini menyingkirkan akal sehatnya untuk memenuhi ambisinya. Mussolini
senantiasa berpikir sudah merasa terkenal dan populer ketika nama Hitler belum dikenal
di Jerman. Namun saat itu tiba-tiba saja Hitler mencuat dan mengalahkan popularitasnya.
Kehebatan Hitler dan pamer kekuatan Jerman di hadapan Mussolini benar-benar
menghantui, seakan-akan pengalaman 40 tahun sebagai politikus di Italia yang amat
dibanggakan Mussolini tidak berarti sama sekali bagi Hitler.
Sukses Hitler pada 1940 ketika menaklukkan Perancis hanya dalam beberapa
minggu lebih jauh telah menggerogoti kepercayaan diri Mussolini. Lebih terasa pahit lagi
karena ternyata Mussolini tidak mempunyai bagian dalam menikmati kemenangan
Jerman atas Perancis. Lalu ketika Hitler meneruskan operasi militernya ke Rumania
untuk menguasai sumber minyak Plutsi, Mussolini benar-benar kehilangan akal, karena
sebenarnya sumber minyak plutsi di Rumania pernah menjadi incarannnya. Dua kali ini
lagi-lagi Jerman mendahuluinya.
Demi mengembalikan gengsi sebagi politikus lebih senior daripada Hitler,
tanpa berpikir panjang lagi Mussolni memutuskan untuk menyerang Yunani ketika
sedang menggempur Mesir. Mussolini tidak mempedulikan lagi pertimbangan staf
angkatan perang Italia yang menentang petualangan di Yunani. Marsekal Badoglio
menentangnya dengan memberi pertimbangan bahwa serangan ke Yunani paling tidak
membutuhkan 20 divisi tentara Italia. Sementara yang ada di pangkalan militer Albania
hanya 9 divisi (P.K. Ojong, 2005 : 153).
Dengan pertimbangan itu saja sebenarnya kecil kemungkinan Italia untuk
menguasai Yunani, akan tetapi pertimbangan militer itu justru dikesampingkan oleh
Mussolini. Akibatnya, Inggris bukan saja menghalau tentara Italia dari Yunani, tetapi
juga membebaskan negara-negara jajahan Italia. Pasukan Italia benar-benar hancur dan
kalang kabut. Untunglah pasukan Italia berhasil diselamatkan oleh pasukan Hitler pada
1941.
Ambisi Mussolini memang tinggi, namun Italia tidak memliki sumber daya
yang cukup. Peperangan demi peperangan yang dilakukan benar-benar menguras tenaga
dan kemampuan bangsa Italia. Dari Dokumen Nurernberg yang terkumpul dalam proses
pengadilan Nurernberg sesudah perang diketahui bahwa Italia dan Jerman bertentangan
dengan pernyataan yang bersifat persahabatan, sebenarnya Hitler sangat memandang
rendah Mussolini. Hitler menyatakan bahwa di antara Stalin, Hitler dan Mussolini, maka
Mussolinilah yang paling lemah. Terbukti bahwa Mussolini tidak sanggup
menghancurkan kekuasaan raja Victor Emmanuel dan kekuasaan Gereja Katolik.
Kesalahan Mussolini memang besar sekali karena menjerumuskan rakyatnya ke
dalam kancah Perang Dunia II. Padahal Raja dan Rakyat Italia sebenarnya tidak
menyukai peperangan ini. Mussolini tidak mengenal rakyatnya, selalu mengira bahwa
pelaut, serdadu dan pilot-pilotnya segera menjadi singa buas yang beringas begitu
berpidato sambil memukul-mukul dadanya yang dibusungkan. Namun sayang, pidato
yang bombastis tidaklah dapat mengubah bangsa Italia secara ekstrem.
Sementara itu di pihak lain, Amerika Serikat memasuki kancah peperangan
setelah pasukan udara Jepang membombardir habis pangkalan angkatan laut Amerika di
Pearl Harbour, Hawaii pada 7 Desember 1941. Pada 11 Desember 1941, Italia dan
Jerman mengumumkan perang atas Amerika. Pada awal November 1942, ofensif Jerman
di Afrika Utara dihentikan oleh para serdadu sekutu yang dipimpin Jenderal Bernard Law
Montgomery yang berhasil memukul mundur Korps Afrika milik Jerman. Sampai pada
13 Mei 1943, tercatat 275.000 serdadu Jerman dan Italia menyerah. Perang di Afrika
Utarapun berakhir, yang juga menandai berakhirnya kekaisaran Italia di Afrika (P.K.
Ojong, 2005 : 215).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fasisme mulai berkuasa di Italia sejak Oktober 1922 setelah Perang Dunia I.
Walaupun Italia berperang dipihak yang menang namun Italia justru banyak menderita.
Kemerosotan ekonomi sesudah perang mengakibatkan inflasi, keresahan social dan
pengangguran dimana-mana. Keadaan ini diperparah dengan ketidakmampuan
pemerintahan dalam menanggulangi keadaan. Hal ini membuat rakyat semakin
menderita. Fasisme adalah sebuah gerakan politik penindasan yang pertama kali
berkembang di Italia setelah tahun 1919 sebagai reaksi atas perubahan social politik
akibat Perang Dunia I. istilah Fasisme pertama kali digunakan di Italia oleh Benito
Mussolini, gambar-gambar tangkai yang diikatkan pada sebuah kapak menjadi lamnbang
partai fasis pertama. Fasisme Italia berkembang dengan cepat karena mendapat dukungan
hamper dari semua lapisan masyarakat yang merasa depresi dengan keadaan yang ada,
antara lain: golongan kaum industrialis yang merupakan penyokong dana dari gerakan-
gerakan fasis, tuan-tuan tanah, kelas menengah bawah, golongan militer dan kumpulan-
kumpulan massa yang terdiri dari kaum pengangguran. Dalam usahanya mengambil
tampuk kekuasaan, Mussolini melakukan berbagai propaganda untuk menarik simpati
dari rakyat antara lain: Negara fasis hanya memperbolehkan ideologinya yang diajarkan,
menyembunyikan kebenaran sejarah dari masyarakat, seorang pemimpin namanya selalu
ditonjolkan. Ciri- ciri fasisme adalah ketidakpercayaan pada kemampuan nalar,
pengingkaran derajat kemanusiaan, kode perilaku yang didasarkan pada kekerasan dan
kebohongan, pemerintahan oleh kelompok elit, totaliterisme, rasialisme dan
imperialisme, menentang hukum dan ketertiban internasional.
Pada tahun 1914 Mussolini menerbitkan surat kabar yang berbasis Fasis.
Fasisme Italia mulai berkuasa pada bulan Oktober 1922. System pemerintahan yang
diterapkan oleh Mussolini adalah diktatorisme dan system sensor yang ketat. Dalam
kebijakan politik dalam negeri Italia pada masa rezim fasisme sepenuhnya dipegang dan
dikendalikan oleh satu orang penguasa. Kebijakan ekonomi fasis memiliki ciri Negara
korporasi, Negara berkuasa untuk menata dan mengawasai system perekonomian. Dalam
70
system pendidikan menurut pandangan kaum Fasis, sekolah- sekolah adalah tempat untuk
megajarkan disiplin dan kepatuhan. Terutama untuk mempersiapkan anak- anak laki- laki
untuk dinas ketentaraan dan anak-anak perempuan untuk kegiatan rumah tangga yang ada
hubungannya dengan itu. Dalam pelaksanaan program yang sepenting itu, kaum pendidik
fasis merasa bahwa kaum perempuan tidak mempunyai tempat. Politik luar negeri Italia
ditujukan untuk memperluas daerah jajahan antara lain ke Afrika dan Laut Tengah yang
digunakan. Selain itu Italia mengadakan perjanjian kerjasama dengan Jerman yang lebih
dikenal dengan As (poros) Roma-Berlin dalam Perang Dunia II, serta mengadakan kerja
sama dengan Jepang dan Spanyol dalam usaha memperluas pengaruh fasisme.
Berakhirnya sistem pemerintahan fasisme di Italia disebabkan kekalahan Italia
pada Perang Dunia II dan kematian Benito Mussolini pada 27 April 1945. Kematian sang
diktator diikuti pula dengan hilangnya partai fasis di Italia. Pada pemilihan parlemen
yang pertama pada 1948, setelah menjadi negara republik, sebuah partai neofasis yang
didasari idealisme Mussolini hanya memenangi 2% suara. Dengan demikian, Italia tidak
mengakui lagi adanya fasisme. Kemudian, rakyat Italia menghancurkan apa saja yang
masih tertinggal dari sisa-sisa negara berbadan hukum itu. Italia memulai suatu tahapan
baru rehabilitasi ekonomi yang didasarkan pada sistem campuran liberalisme ekonomi
dan demokrasi politik. Akhirnya, rakyat Italia sadar bahwa ternyata fasisme yang
dibentuk oleh Mussolini hanya membuahkan penghapusan serikat-serikat kerja yang
bebas, penganiayaan dan pembunuhan para pemimpin yang pro rakyat, pembubaran
parlemen yang digantikan oleh kediktatoran satu partai yang tidak lagi tersentuh hukum.
Semua itu hanya merugikan rakyat Italia sendiri.
B. Implikasi
1. Teoritis
Dari hasil penelitian, maka dieproleh implikasi secara teoritis bahwa sistem
pemerintahan fasisme Italia yang berkuasa tahun 1922-1944 nmerupakan bentuk
pemerintahan yang pertama kali berkembang di Italia yang kemudian diikuti oleh negara-
negara Eropa lainnya.
Keberhasilan rezim Fasisme memperolah kekuasaan tidak terlepas dari peranan
Benito Mussolini sebagai pemimpin sekaligus pencipta dari Fasisme, dengan berhasil
memanfaatkan kondisi- kondisi Italia pasca Perang Dunia I dengan melakukan berbagai
propaganda-propaganda dalam mencari simpoati rakyat Italia yang sedang mengalami
berbagai masalah. Selain itu rezim Fasisme Italia didukung oleh golongan-golongan
masyarakat seperti golongan kaum industrialis, kelas menengah, militer dan kumpulan
massa.
Keberhasilan rezim Fasisme memperoleh kekuasaan tidak mengherankan,
karena dapat dilihat dari kondisi dalam negeri Italia setelah Perang Dunia I. walaupun
Italia berada pada pihak yang menang dalam Perang Dunia I, tetapi hasil yang didapatkan
dari Italia sendiri tidak memuaskan. Italia justru menghadapi pergolakan, dan
kemerosotan ekonomi sesudah perang yang mengakibatkan inflasi, keresahan sosial dan
pengangguran dimana-mana serta didukung oleh ketidakmampuan pemerintahan Raja
Victor Emmanuel III dalam mengatasi pemerintahan. Keadaan ini kemudian
dimabfaatkan oleh Benito Mussolini untuk menarik simpati masyarakat yang sedang
membutuhkan seorang pemimpin yang mampu mengatasi keadaan. Mussolini menarik
simpati masyarakat dengan mengangkat isu “ingin mengembalikan kejayaan Romawi
Kuno”. Rakyat yang merasa sudah frustasi akhirnya mendukung Benito Musolini dengan
mengambil kekuasaan Raja Victor Emmanuel III, walaupun akhirnya rakyat menyadari
kalau Benito Mussolini hanya membuat rakyat semakin menderita.
Apabila pada saat itu Italia tidak ikut dalam Perang Dunia I dan tetap menjadi
negara netral, mungkin Italia tidak akan mengalami pergolakan dalam pemerintahannya
dan rezim Fasisme tidak akan berkambang di Italia yang akan membawa kesengsaraan
bagi rakyat Italia pada kususnya dan dunia pada umumnya.
2. Praktis
Implikasi praktis dari hasil penelitian ini yaitu sebagai seorang pemimpin harus
mampu menjadi pemimpin yang baik bagi rakyatnya. Pemimpin yang baik yaitu
pemimpin yang mengutamakan kepentingan negara dan rakyat dari pada kepentingan
pribadi dan golongan.
Dalam dunia pendidikan, pembaca diharapkan dapat mengambil nilai-nilai yang
terdapat didalamnya tentang kepemimpinan Benito Mussolini. Benito dalam
melaksanakan tugasnya sebagai seorang pemimpin dengan cara diktator, dimana Benito
menganggap kepentingan negara diatas segala-segalanya sehingga melakukan berbagai
cara untuk melaksanakan kepentingannya tersebut. Tetapi Benito dengan menguasai
negara lain yang tidak berlangsung lama, hal ini membuktikan bahwa kediktatoran hanya
bisa terbentuk melalui teror yang terorganisir, begitu pula naiknya sang diktator menjadi
kekuasaan biasanya akan meminta pengorbanan, runtuhnya sang diktator juga akan
membutuhkan pengorbanan.
C. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud Busroh. 1987. Hukum Tata Negara, Perbandingan. Jakarta : Bina Aksara
Donnel. Guilermo, dkk. 1992. Transisi Manuju Demokrasi : Kasus Eropa Selatan,
penerjemah Hartono. Jakarta : LP3ES
Hadari Nawawi. 1993. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : UGM Press
Hart, Micheal H. 1978. Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah. Jakarta :
Mega Book Strore
Makmun Salim. 1971. Ikhtisar Sejarah Perang Dunia II. Jakarta : Departemen
Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI
Murrayli, Tania. 2005. Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Yogyakarta : Resist Book
________________. 1978. Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah. Jakarta : Mega Book
Store
Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta : Batara Karya Angkasa