Anda di halaman 1dari 3

Di sebuah desa, tinggalah seorang wanita bersama dengan seorang anaknya yang masih sangat kecil.

Wanita ini hidup sendiri menjaga anaknya yang baru berusia beberapa bulan karena suaminya
terpaksa meninggalkan mereka. Suaminya adalah seorang tentara yang harus mengabdikan
hidupnya kepada negara sehingga harus tinggal di medan peperangan di mana anak dan istrinya
dengan sabar menunggu kabar dan kepulangannya.

Ibu : (duduk di teras rumah sambil menggendong anaknya) “(bernyanyi) Butet….. di


Pangungsiang do AmangMu ale Butet…. Da Margurilla da Mardarurat ale Butet Da Margurilla da
Mardarurat ale Butet…. Anakku, pasti rindu kali kau sama bapakmu. Walau tak pernah kau jumpa
bapakmu dari kau lahir, tapi tenanglah sudah mamak post-kan fotomu. Bapakmu nanti pasti bahagia
lihat kau sudah besar dan sehat sekarang.” (meletakkan anaknya di keranjang bayi, lalu melanjutkan
pekerjaan rumah melipat baju-baju jemuran) “(bernyanyi) Butet… Sotung Ngolngolan ro Hamuna ale
Butet… Paima Tona manang Surat ale Butet… Paima Tona manang Surat ale Butet…”

Sang Ibu melanjutkan pekerjaannya di depan rumah sambil sesekali memperhatikan anakknya di
keranjang dan tersenyum. Dari kejauhan sang Ibu melihat tukang pos sedang berjalan, berjalan
menuju rumah mereka. Sang Ibu tersenyum, bulu matanya basah. Ia selalu menantikan surat dari
suaminya. Namun kali ini berbeda, senyuman sang Ibu memudar ketika dilihatnya tukang pos tidak
membalas senyuman sang Ibu dengan sumringah seperti biasa.

Tukang pos : (melepaskan topinya dan menggenggamnya di dada) “Ibu…” (kemudian


mengeluarkan sepucuk surat dari tasnya)

Ibu : “Tidak mungkin… Tidak.” (jatuh terduduk)

Tukang pos : (menghampiri sang Ibu dan menggenggam pundaknya) “Saya… minta maaf bu.”
(memberikan sepucuk surat tersebut kepada sang Ibu)

Ibu : “Huhuhu…. Bagaimana? Huhu… suami saya… anak saya… Bagaimana ini?.. O Tuhan…
Huhuhu….” (menerima surat dan membenamkan wajahnya dengan tangan Bersama surat itu)

Tukang pos : “Saya mohon pamit, bu. Ibu yang tabah. Ibu sabar ya, demi si butet..” (berdiri sejenak
memperhatikan si Ibu, lalu memakai kembali topinya) “Saya pergi bu, selamat sore.” (pergi
meninggalkan halaman rumah)

Sang Ibu masih menangis terduduk di depan rumah menutupi wajahnya. Ia tidak sampai hati untuk
membuka suratnya. Lalu ia mendengar suara tangisan anaknya, ia menghampirinya dan
menggendongnya.

Ibu : (sambil menenangkan bayi) “(bernyanyi) I doge doge doge,I dogei doge doge… I doge
doge doge,I dogei doge doge…” (membuka surat dan membacanya sambil terisak, kemudian
meletakkan suratnya dan mendekap anaknya lebih erat) “Anakku hasian, sudah tinggal berdua kita.
Sudah tidak ada lagi bapakmu, dia sudah pulang ke rumah Tuhan. Sehat-sehat lah kau ya, nak. Biar
senang bapakmu dari atas sana. (mencium anaknya) “(bernyanyi) Butet,Haru Patibu ma Magodang
ale Butet… Asa Adong da Palang Merah ale Butet… Da Palang Merah ni Negara ale Butet… Butet….”
(Sang Ibu keluar dari halaman rumah/panggung)

Di rumah yang hanya ditinggali oleh sang Ibu dan anak, didapati mereka menjalani kehidupannya
dengan cukup baik. Sang Ibu dan anak sedang bercengkerama di ruangan tengah mereka sambil
mengajari sang anak.

Ibu : (bernyanyi) ”Ho do Borukku.. Tappuk ni Ate-ateKi… Ho do BorukKu.. Tappuk ni Pusu-


pusuKi… Burju-burju ma Ho Namar Sikkolah i.. Asa Dapot Ho na sinitta ni Roahami…” (sang anak
memijat-mijat bahu ibunya) “Molo Matua Soggot Au, Ho do Namanarion Au… Molo Matinggang Au
Inang, Ho do Namanogu-nogu Au…… Ai hodo BoruKu, Boru PanggoaranHi… Sai Sahatma da na
DirohaMi.. Ai hodo BoruKu, Boru PanggoaranHi… Sai Sahatma da na DirohaMi..”

Sang Ibu tengah sendirian di dalam rumah mengerjakan pekerjaan rumah, saat sang anak masuk
dengan langkah girang menghampiri ibunya.

Anak : “Mak…mamakkk!! Lihatlah ini mak!”

Ibu : “Iya nang…!! kenapa pulaknya kau senang kali? Jangan kau heboh kali rusak nanti
rumah kita.”

Anak : “Aku diterima mak jalur SNMPTN. Terus aku dapat beasiswa mak!” (menyerahkan
surat kepada sang Ibu)

Ibu : (membaca suratnya, lalu melihat kembali kepada anaknya dan tersenyum tanpa
mengatakan sepatah katapun)

Anak : “Kenapa mak? Sedihnya mamak? Aku juga kepikiran mak kalau aku pergi rantau
siapalah teman mamak nanti di sini.” (duduk di sebelah sang Ibu, agak sedikit murung)

Ibu : “Boru hasian, kau tau? Mamak senang kali dan bangga kali sekarang ini. Mamak urus
kau dari kecil, gak ada bapakmu, kau tetap jadi anak baik dan buat hati mamak senang terus. Terima
kasih ya, nang.”

Anak : “Iya, terima kasih juga mak. Mamak gak apa-apanya sendirian? Takut aku mamak
kesepian dan cuma babi-babi ternak kita aja kawan mamak bicara. Tenang ajalah mak, pulangnya aku
tiap tahun.” (memijat-mijat Ibunya)

Ibu : “Tenanglah kau boru. Justru kau jadi sekarang ini udah buat hati mamak senang kali.
Ini berarti apa yang sudah mamak doakan sama Tuhan dan lakukan untuk kau dari kau kecil, apa yang
bapakmu harapkan untukmu itu jadi kenyataan, nang. Kebahagiaan mamak itu boru mamak,
kekayaan mamak adalah boru mamak. (bernyanyi) “Anakkon Hi do Namoraon di Au…”
Anak : (bernyanyi) “Nang so tarhiuton au pe akka dongan ndada pola marsak au di si.
Marsedan, marberlian, marcincin nang margolang ndada pola marsak au di si.”

Ibu : (bernyanyi) “Huhoho pe massari, arian nang bodari lao pasikkolahon gellekki,
naikkon marsikkolah satimbo timbona sikkap ni na tollap gogoki. Marhoi hoi pe au inang da, tu dolok
tu toruan mangalului ngolu-ngolu na boi parbodarian, asal ma sehat gelenghi da, sai sahat tu tujuan
anakkon hi do namoraon di au.”

Anda mungkin juga menyukai