i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Disamping menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi, hipertensi
juga menimbulkan stress dan masalah psikososial. Stres dan masalah
psikososial yang timbul akibat hipertensi diantaranya adalah stress pekerjaan,
masalah kepribadian, kesehatan mental, ketidakstabilan atau masalah dalam
rumah tangga, dukungan sosial/isolasi, dan kualitas tidur (Cuffee, et al., 2015).
Kretchy menyatakan dalam penelitiannya bahwa pasien hipertensi mengalami
gejala kecemasan (56%), stres (20%) dan depresi (4%) (Kretchy, et al., 2014).
Depresi juga dapat timbul karena penggunaan obat-obatan antihipertensi.
B. Tujuan Penulisan
C. Manfaat Penulisan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hipertensi
1. Definisi
3
2. Klasifikasi
Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casey DE Jr, Collins KJ, Dennison Himmelfarb C, DePalma SM, Gidding S, Jamerson
KA, Jones DW, MacLaughlin EJ, Muntner P, Ovbiagele B, Smith SC Jr, Spencer CC, Stafford RS, Taler SJ, Thomas RJ,
Williams KA Sr, Williamson JD, Wright JT Jr. 2017 ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA
guideline for the prevention, detection, evaluation, and management of high blood pressure in adults: a report of the America n
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines [published online ahead of print
November 13, 2017]. Hypertension. doi: 10.1161/HYP.0000000000000065.
© 2017 American Heart Association
4
harus diturunkan segera dalam hitungan menit sampai jam (AHA/ASA,
2017) (Chobanian, et al., 2003)
Kategori tekanan darah dalam pedoman baru dari ACC (American College
of Cardiology) :
Normal : Kurang dari 120/80 mm Hg;
Peningkatan : Sistolik antara 120-129 dan diastolik kurang dari 80;
Stadium 1 : Sistolik antara 130-139 atau diastolik antara 80-89;
Stadium 2 : Sistolik minimal 140 atau diastolik minimal 90 mmHg;
Krisis hipertensi : Sistolik lebih dari 180 dan / atau diastolik lebih dari
120, dengan pasien memerlukan perubahan segera dalam pengobatan jika
tidak ada indikasi masalah lainnya, atau rawat inap segera jika ada tanda-
tanda kerusakan organ (ACC, 2017)
Menurut The Seventh of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC 7) (Chobanian, et al., 2003) diklasifikasisn sebagai berikut:
Klasifikasi Sistolik Diastol
Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-90
Hipertensi derajat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi derajat 2 ≥160 atau ≥100
5
Grade 2 hypertension 160-179 and/or 100-109
Grade 3 hypertension ≥180 and/or ≥110
Isolated systolic hypertension ≥140 and <90
2013 ESH/ESC Guidelines for themanagement of arterial hypertension TheTask Force for the
management ofarterial hypertension of the European Society ofHypertension (ESH) and of the
European Society of Cardiology (ESC)
3. Patofisiologi
6
penyebabnya tidak diketahui, biasanya berhubungan dengan faktor
keturunan dan lingkungan (Fauci, et al., 2008), Literatur lain
mengatakan, hipertensi essensial merupakan 90-95% dari seluruh
kasus hipertensi (Cruickshank, 2013)
b. Hipertensi sekunder
Merupakan hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui secara pasti,
seperti gangguan pembuluh darah dan penyakit ginjal. Penyebab
umum hipertensi sekunder meliputi 5-10% penyakit parenkim ginjal,
sekitar 1-2% adalah penyakit kelaian hormonal (hiperaldosteronisme,
sindroma cushing) penyakit renovaskular, kehamilan, aldosteronisme
primer, dan apnea tidur obstruktif, obat-obatan antidepresan seperti
inhibitor monoamine oxidase, penghambat reuptake serotonin-
norepinephrine, dan antidepresan trisiklik dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah (Aronow, 2017)
7
Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu
angiotensinogen untuk melepaskan angiotensin I. Angiotensin I memiliki
sifat vasokonstriktor yang ringan, selanjutnya akan diaktifkan angiotensin
II oleh suatu enzim, yaitu enzim pengubah, yang terdapat di endotelium
pembuluh paru yang disebut Angiotensin Converting Enzyme (ACE).
Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat, dan memiliki efek-
efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi. Angiotensin II menetap dalam
darah hanya selama 1 atau 2 menit karena angiotensin II secara cepat akan
diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan yang secara bersama-
sama disebut angiotensinase Selama angiotensin II ada dalam darah, maka
angiotensin II mempunyai dua pengaruh utama yang dapat meningkatkan
tekanan arteri. Pengaruh yang pertama, yaitu vasokontriksi, timbul dengan
cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan sedikit lebih lemah
pada vena. Konstriksi pada arteriol akan meningkatkan tahanan perifer,
akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri. Konstriksi ringan pada vena-
vena juga akan meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung, sehingga
membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan tekanan (Guyton &
Hall, 2006)
Cara utama kedua dimana angiotensin meningkatkan tekanan arteri
adalah dengan bekerja pada ginjal untuk menurunkan eksresi garam dan air.
Ketika tekanan darah atau volume darah dalam arteriola eferen turun
(kadang-kadang sebagai akibat dari penurunan asupan garam), enzim renin
mengawali reaksi kimia yang mengubah protein plasma yang disebut
angiotensinogen menjadi peptida yang disebut angiotensin II. Angiotensin
II berfungsi sebagai hormon yang meningkatkan tekanan darah dan volume
darah dalam beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II menaikan
tekanan dengan cara menyempitkan arteriola, menurunkan aliran darah ke
banyak kapiler, termasuk kapiler ginjal. Angiotensin II merangsang tubula
proksimal nefron untuk menyerap kembali NaCl dan air. Hal tersebut akan
8
jumlah mengurangi garam dan air yang diekskresikan dalam urin dan
akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah. Pengaruh
lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu organ yang
terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon
aldosteron bekerja pada tubula distal nefron, yang membuat tubula tersebut
menyerap kembali lebih banyak ion natrium (Na+) dan air, serta
meningkatkan volume dan tekanan darah. Hal tersebut akan memperlambat
kenaikan voume cairan ekstraseluler yang kemudian meningkatkan tekanan
arteri selama berjam-jam dan berhari-hari. Efek jangka panjang ini bekerja
melalui mekanisme volume cairan ekstraseluler, bahkan lebih kuat daripada
mekanisme vasokonstriksi akut yang akhirnya mengembalikan tekanan
arteri ke nilai normal (Guyton & Hall, 2006).
Renin
Angiotensin l
Angiotensin ll
9 ↑ tekanan darah
4. Gejala klinis
5. Diagnosis
10
6. Penatalaksanaan
11
antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan JNC 7
yaitu: Diuretika terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone
Antagonist (Aldo Ant), Beta Blocker (BB), Calcium Channel Blocker atau
Calcium Antagonist (CCB), Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
(ACE-I) dan Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor Antagonist
atau Blocker (ARB) (Chobanian, et al., 2003)
12
terapi untuk sistolik < 150mmHg dan diastolik < 90mmHg. (Strong
Recommendation - Grade A).
Rekomendasi 2
Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada
tekanan darah diastolik ≥ 90mmHg dengan target < 90mmHg . ( Untuk usia
30-59 tahun , Rekomendasi kuat -Grade A; Untuk usia 18-29 tahun ,
(Expert Opinion - Grade E)
Rekomendasi 3
Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada
tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg dengan target terapi < 140mmHg .
(Expert Opinion - Grade E)
Rekomendasi 4
Pada pasien berusia ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis , mulai
pengobatan farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg atau
diastolik ≥ 90mmHg dengan target terapi sistolik < 140mmHg dan diastolik
< 90mmHg . (Expert Opinion - Grade E)
Rekomendasi 5
Pada pasien berusia ≥ 18 tahun dengan diabetes , mulai pengobatan
farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg atau diastolik BP ≥
90 mmHg dengan target terapi untuk sistolik gol BP < 140mmHg dan
diastolik gol BP < 90mmHg . (Expert Opinion - Grade E)
Rekomendasi 6
Pada populasi umum bukan kulit hitam, termasuk orang-orang dengan
diabetes , pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretik tipe
thiazide, CCB , ACE inhibitor (Moderate Recommendation -Grade B).
Rekomendasi ini berbeda dengan JNC 7 yang mana panel
merekomendasikan diuretik tipe thiazide sebagai terapi awal untuk
sebagian besar pasien .
Rekomendasi 7
13
Pada populasi umum kulit hitam , termasuk orang-orang dengan diabetes ,
pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretic tipe thiazide atau
CCB . ( Untuk penduduk kulit hitam umum : Moderate Recommendation -
Grade B)., untuk pasien hitam dengan diabetes : Weak Recommendation -
Grade C)
Rekomendasi 8
Pada penduduk usia ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis , pengobatan
awal atau tambahan antihipertensi harus mencakup ACE inhibitor atau
ARB untuk meningkatkan outcome ginjal . Moderate Recommendation -
Grade B)
Rekomendasi 9
Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu satu bulan
pengobatan, tingkatkan dosis obat awal atau menambahkan obat kedua dari
salah satu kelas dalam Rekomendasi 6 . Jika target tekanan darah tidak
dapat dicapai dengan dua obat , tambahkan dan titrasi obat ketiga dari
daftar yang tersedia. Jangan gunakan ACEI dan ARB bersama-sama pada
pasien yang sama . Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai hanya
dengan menggunakan obat-obatan dalam Rekomendasi 6 karena
kontraindikasi atau kebutuhan untuk menggunakan lebih dari 3 obat untuk
mencapai target tekanan darah, maka obat antihipertensi dari kelas lain
dapat digunakan , (Expert Opinion - Grade E).
14
menilai mereka (Stanghellini & Broome, 2014). Global urbanisasi, gaya hidup,
stres harian di tempat kerja, kurangnya aktivitas fisik dan dukungan sosial
menyebabkan meningkatnya kecemasan, ketidakpastian, dan akhirnya
mengalami stres mental dan emosional yang kronis, hal ini memberikan
informasi tentang perubahan neuroendokrin dan sistem kekebalan tubuh
sebagai jalur patogen utama yang menghubungkan stres psikologis dan
hipertensi (Ushakov, et al., 2016).
1. Epidemiologi
15
pasien dengan gangguan kejiwaan berat, seperti skizofrenia dan penyakit
bipolar (Sandstrom, et al., 2016). Gejala depresi dan kecemasan dikaitkan
dengan diagnosis hipertensi yang dinilai 5 tahun kemudian, semakin besar
gejala depresi dan kecemasan semakin besar kemungkinan orang tersebut
didiagnosis menderita hipertensi 5 tahun kemudian (Ginty, et al., 2013).
2. Stres kerja
16
sulit untuk dianalisis pada tingkat fisiologis dan psikososial (Rosenthal &
Alter, 2012). Beberapa studi tentang kemungkinan hubungan antara stres
kerja dan faktor resiko kardiovaskular, terutama hipertensi, berhubungan
dengan stres kerja yang terkait sendiri atau dalam hubungannya dengan
karakteristik individu, sementara yang lain berkonsentrasi pada perbedaan
individual dalam menanggapi daripada pada sifat stresor. Karena tuntutan
pekerjaan, ancaman, dan konflik - stresor yang paling sering - tidak dapat
diidentifikasi dengan pengukuran fisik atau biologi langsung, konsep
teoritis, dan model integratif telah dikembangkan untuk menggambarkan
karakteristik pekerjaan yang penuh tekanan (Rosenthal & Alter, 2012)
17
populasi umum (37,9% vs 12,4%, rasio odds, 2,61; interval kepercayaan
95%, 2,52-2,70) pada tahun 2005. Usia, jenis kelamin pria, diabetes, dan
hiperlipidemia merupakan faktor resiko hipertensi pada penderita
gangguan kecemasan (Wu, et al., 2014). Dampak stres terhadap
perkembangan hipertensi diyakini melibatkan respons sistem saraf
simpatik, di mana pelepasan katekolamin menyebabkan peningkatan
denyut jantung, curah jantung, dan tekanan darah (Spruill, 2010).
Mekanisme antara kecemasan dan hipertensi adalah kompleks.
Umumnya, kecemasan meningkatkan tekanan darah, resistensi vaskular
sistemik, aktivitas simpatik, aktivitas renin plasma, model homeostasis,
dan lipid darah (Ogedegbe, et al., 2008). 1) Kecemasan meningkatkan
tekanan darah dalam jangka pendek. Sebuah studi pemantauan tekanan
darah ambulatori baru-baru ini melaporkan bahwa gangguan kecemasan
dikaitkan dengan hipertensi nokturnal dan pagi pada pasien rawat jalan
hipertensi. 2) Kecemasan memiliki hubungan yang erat dengan sistem
angiotensin renin dan meningkatkan tingkat angiotensin II. Kecemasan
jangka panjang dapat menurunkan variabilitas vaskular, sehingga resistensi
vaskular persisten menyebabkan hipertensi. 3) Beberapa percobaan
menunjukkan bahwa pasien dengan kecemasan biasanya memiliki tanda-
tanda fisiologis aktivasi simpatik, dan kecemasan dapat dengan kuat
merangsang aliran saraf simpatis dan refleks vasovagal. (Bajko, et al.,
2012). Rozanski dkk berpendapat bahwa kecemasan dapat mengaktifkan
sistem saraf simpatik, meningkatkan curah jantung, menyempitkan
pembuluh darah, dan meningkatkan tekanan darah arteri (Rozanski, et al.,
1999). 4) Sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal adalah sistem respons stres
fisiologis utama di tubuh. Bila sumbu ini tidak berfungsi, meningkatkan
sekresi hormon steroid menyebabkan retensi air dan natrium, yang
menyebabkan tekanan darah tinggi. Selanjutnya, hubungan tidak langsung
antara Kecemasan dan meningkatnya resiko hipertensi juga bisa berasal
18
dari karakteristik subjek cemas, yang biasanya memiliki gaya hidup lebih
tidak sehat pada umumnya. Dengan kata lain, mereka biasanya memiliki
beberapa perilaku buruk, seperti meningkatnya konsumsi makan, merokok,
dan alkohol, dan kurang berolahraga, karena stres dan kecemasan, yang
berdampak pada kesehatan (Pan, et al., 2015).
19
Teori mengenai etiologi depresi telah melibatkan jalur amina
biogenik, dan menunjukkan bahwa penyakit ini terkait dengan defisiensi
monoamina (serotonin, dopamin dan norepinephrine) pada sistem saraf
pusat. Memang, semua obat antidepresan klinis meningkatkan efek
neurotransmitter monoamina. Pasien depresi dan hipertensi mengalami
peningkatan nada simpatik dan peningkatan sekresi hormon
adrenokortikotropik dan kortisol (Meng , et al., 2012). Dopamin dan
neurotransmitter terkait lainnya memiliki tindakan antihipertensi;
bromokriptin dan fenoldopam, yang merupakan agonis reseptor dopamin,
telah digunakan dalam pengelolaan tekanan darah tinggi. Kurangnya
dopamin di tempat-tempat utama di otak dapat meningkatkan tekanan
darah dan / atau memicu depresi. Selanjutnya, perubahan serebrovaskular
dan iskemik di otak yang dipromosikan oleh tekanan darah tinggi dapat
mempengaruhi individu dengan hipertensi terhadap depresi. Namun, saat
ini belum ada penelitian yang berkorelasi dengan adanya depresi dengan
pengendalian hipertensi (Rubio-Guerra, et al., 2013).
20
penyakit kardiovaskular, seperti berikut ini: perubahan fungsi trombosit
yang dijelaskan pada pasien dengan depresi (yang dapat terlibat dalam
patogenesis manifestasi akut), penyakit kardiovaskular dan peningkatan
faktor peradangan plasma (protein interleukin 6, anti-TNF-alfa dan C-
reaktif) (Giner, et al., 2014)
HPA axis alteration in patients with depression and cardiovascular comorbidity. ACTH,
adrenocorticotropic hormone; BP, blood pressure; CRH, corticotrophin-releasing
hormone; HPA axis, hypothalamic---pituitary---adrenal axis; HR, heart rate; MS,
metabolic syndrome
21
dalam etiologi depresi telah membantu kita memahami bagaimana obat
antihipertensi menyebabkan depresi. Penipisan amonia biogenik sekarang
diyakini mendasari sifat organik dari depresi, dan banyak obat yang
digunakan untuk mengobati hipertensi mengganggu sistem ini. Ada bukti
kuat bahwa reserpin dan alpha-methyldopa dapat menyebabkan atau
memperburuk depresi melalui tindakan mereka pada sistem saraf pusat.
Beta-blocker juga telah terlibat, namun data yang mendukung hubungan
antara obat-obatan dan depresi ini tidak begitu pasti. Guanethidine,
clonidine, hydralazine, dan prazosin tampaknya menimbulkan sedikit
resiko dalam menyebabkan depresi, walaupun kejadian langka telah
dilaporkan. Diuretik, penghambat saluran kalsium, dan penghambat enzim
pengubah angiotensin (ACE) tampaknya memiliki hubungan terendah
dengan depresi dan menjadi resikonya. Berbagai macam obat yang
sekarang tersedia untuk mengobati hipertensi menawarkan alternatif yang
beresiko rendah. Semua pasien yang menerima pengobatan untuk
mengobati hipertensi harus dicurigai sebagai peran dalam etiologinya
(Beers & Passman, 1990)
Dari semua kelas obat kardiovaskular yang diperiksa, termasuk beta
bloker, diuretik, nitrat, dan digoksin, hanya inhibitor enzim CCB dan
angiotensin-converting (ACE inhibitor) yang tampaknya memiliki efek
perumusan depresi (Roger & Pies, 2008). Depresi dapat disebabkan oleh
reserpin, metildopa. Propranolol secara tradisional dianggap menginduksi
depresi. Agen penghambat beta-adrenergik kadang-kadang dapat
menyebabkan mania atau kebingungan (Davies & Dubovsky, 2015).
22
BAB III
PENUTUP
Simpulan
23
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, H., Kurdi, M., Watfa, M. & Karam, R., 2017. Adherence to treatment and evaluation
of disease and therapy knowledge in Lebanese hypertensive patients. Patient
Preference and Adherence, pp. 949-1956.
ACC, 2017. New ACC/AHA High Blood Pressure Guidelines Lower Definition of Hyper
tension. America, s.n.
AHA/ASA, 2017. Highlights from the 2017 Guideline for the Prevention, Detection,
Evaluation and Management of High Blood Pressure in Adults. [Online]
Available at: https://healthmetrics.heart.org/wp-content/uploads/2017/11/Highlights-
from-the-2017-Guideline.pdf
AHA, 2017. Why High Blood Pressure is a "Silent Killer". [Online] Available at: http :// www.
heart.org /HEARTORG/ Conditions/HighBloodPressure/ Understand Symptoms
Risks / Why-High-Blod-oPressure-is-a-Silent Killer_ UCM_ 002053 _Article .jsp#.
WlInMq5l_IV
APA, 2013. Diagnostic And Statistical Manual of Mental Disorder. 7 ed. Washington DC,
London: American Psychiatric Association.
APA, 2018. BusinessDictionary.com website. [Online] Available at:http://www.businessdicti
onary. com /definition/ occupational-stress. html [Accessed 2018].
Aronow, W. S., 2017. Drug-induced causes of secondary hypertension. Annals of Translational
Medicine.
Bajko, Z., Szekeres, C. & Kovacs, K., 2012. Anxiety, depression and autonomic nervous
system dysfunction in hypertension. J Neurol Sci, pp. 112-116.
Beers, M. & Passman, L., 1990. Antihypertensive medications and depression.
Bell, K., Twiggs, J. & Olin, B. R., 2015. Hypertension:The Silent Killer:Updated JNC-8
Guideline Recommendations. s.l., Alabama Pharmacy Association.
Chobanian, A. V. et al., 2003. Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure. National Heart, Lung, and Blood, Institute;
National High Blood Pressure Education Program Coordinating, Committee (Dec
2003). "Seventh report of the Join. s.l., s.n.
Cruickshank, M. J., 2013. Essensial Hypertension. London: People's Medical Publishing
House.
Cuffee, Y. et al., 2015. Psychosocial Risk Factors for Hypertension: An Update of the. NIH
Public Access, Volume 10, p. 483.
24
Dasgupta, K. et al., 2014. Guidelines The 2014 Canadian Hypertension Education Program
Recommendations for Blood Pressure Measurement, Diagnosis, Assessment of Risk,
Prevention, and Treatment of Hypertension. Canadian Journal Of Cardiology,
Volume 30, pp. 485-501.
Davies, S. J. & Dubovsky, S. L., 2015. American Society of Hypertension Self-Assessment
Guide Treatment: special conditions Psychological aspects relating to the treatment of
hypertension. Journal of Hypertension, Volume 9, pp. 150-153.
Depkes, R., 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa. III ed. Jakarta: s.n.
ESH/ECS, 2013. 2013 ESH/ESC Guidelines for themanagement of arterial hypertension The
Task Force for the management of arterial hypertension of the European Society
ofHypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). Journal of
Hypertension, pp. 1281-1357.
Fauci, et al., 2008. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed. US: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Galderisi, S. et al., 2015. Toward a new definition of mental health. Word Psychiatry, pp. 231-
233.
Giner, J. et al., 2014. Spanish consensus on the physical health of patients with depressive
disorders. Elsevier Doyma, pp. 195-207.
Ginty, A. et al., 2013. Depression and anxiety are associated with a diagnosis of hypertension
5 years later in a cohort of late middle-aged men and women. Journal of Human
Hypertension, Volume 27, pp. 187-190.
Guyton, A. C. & Hall, J. E., 2006. Text Book of Medical Psysiology. 7 ed. Philadelpia,
Pennsylvania: Elsevier Saunders.
Heffner, C. L., 2001. Psychopathology. In: Psychology A Graphic Guide To Your Mind And
Behaviour. s.l.:s.n.
Kaplan, H. I., Sadock, B. J. & Grebb, J. A., 2000. Sinopsis Psikiatri. 7 ed. s.l.:s.n.
Khazan, I. Z., 2013. The Clinical Handbook of Biofeedback A Step-by-Step Guide for Training
and Practice with Mindfulness. 1 ed. Unites Kingdom: Wiley Blackwell.
Klabunde, R. E., 2012. Cardiovascular Psysiology Concepts. 2 ed. Philadelpia: Lippincott
Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business.
Kretchy, I., Owusu-Daaku, F. & Danquah, S., 2014. Mental health in hypertension: assessing
symptoms of anxiety, depression and stress on anti-hypertensive medication
adherence. Int J Ment Health Syst.
25
Lim, S. et al., 2012. A comparative risk assessment of burden of disease and injury attributable
to 67 risk factors and risk factor clusters in 21 regions, 1990–2010:. Lancet, pp. 2224-
2260.
Meng , L. et al., 2012. Depression increases the risk of hypertension incidence: A meta-analysis
of prospective cohort studies. Journal of Hypertension, pp. 842-851.
O'Brien, et al., 2007. ABC of Hypertension. X ed. London: BJM Books.
Ogedegbe, G., Pickering, T. & Clemow, L., 2008. The misdiagnosis of hypertension: the role
of patient anxiety. pp. 2459-2465.
Pan, Y. et al., 2015. Association between anxiety and hypertension: a systematic review and
meta-analysis of epidemiological studies. Neuropsychiatric Disease and Treatment,
Volume 11, pp. 1121-1130.
PERKI, 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular. s.l., s.n.
Quick, J. C. & Henderson, D. F., 2016. Occupational Stress: Preventing Suffering, Enchancing
Wellbeing. International Journal of Environmental Research and Public Health.
Riskesdas, 2013. Riset Kesehatan Dasar, s.l.: Kementerian Kesehatan RI.
Roger, D. & Pies, R., 2008. General Medical Drugs Associated with Depression. pp. 28-41.
Rosenthal, T. & Alter, A., 2012. Occupational stress and hypertension. Journal of the American
Society of Hypertension.
Rozanski, A., Blumenthal, J. & Kaplan, J., 1999. Impact of psychological factors on the
pathogenesis of cardiovascular disease and implications for therapy. pp. 2192-2217.
Rubio-Guerra, A. F. et al., 2013. Depression increases the risk for uncontrolled hypertension.
Clinical Cardiology, pp. 10-12.
Sandstrom, Y. K., Ljunggren, G., Wandell, P. & Wahlstrom, L., 2016. Psychiatric comorbidi
ties in patients with hypertension ^ a study of registered diagnoses 2009^2013 in the
total population in Stockholm County, Sweden. journal of hypertension, Volume 34,
pp. 414-420.
Schmidt, M. M. et al., 2013. Anger control and cardiovascular outcomes. International Journal
of Cardiology.
Spruill, T. M., 2010. Chronic Psychosocial Stress and Hypertension. pp. 10-16.
Stanghellini, G. & Broome, M. R., 2014. Psychopathology as the basic science of psychiatry.
The British Journal of Psychiatry, Volume 205, pp. 169-170.
Ushakov, A. V., Ivanchenko, V. S. & A, A., 2016. Psychological Stress in Pathogenesis of
Essential Hypertension. Current Hypertension Reviews, 12(3).
26
Valkanova, V. & Ebmeier, K., 2013. Vascular risk factors and depression in later life: a
systematic review and meta-analysis. Biol Psychiatry, Volume 73, pp. 406-413.
WHO, 2013. A Global Brief on Hypertension, s.l.: WHO Press.
WHO, 2014. Mental health: a state of well-being, s.l.: s.n.
Wu, E. L., Chien, C. I. & Lin, C. H., 2014. Increased risk of hypertension in patients with
anxiety disorders: A population-based study. Journal of Psychosomatic Research,
Volume 77, pp. 522-527.
27