Anda di halaman 1dari 29

REFERAT 1

ASPEK PSIKIATRI PADA HIPERTENSI

i
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ..................................... Error! Bookmark not defined.


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I ........................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ............................................................................................ 2
C. Manfaat Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II ....................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 3
A. Hipertensi ...................................................................................................... 3
1. Definisi ........................................................................................................... 3
2. Klasifikasi ....................................................................................................... 4
3. Patofisiologi.................................................................................................... 6
4. Gejala klinis .................................................................................................. 10
5. Diagnosis ...................................................................................................... 10
6. Penatalaksanaan ............................................................................................ 11
B. Aspek Psikiatri dan Psikopatologi Pada Hipertensi ............................... 14
1. Epidemiologi ................................................................................................ 15
2. Stres kerja ..................................................................................................... 16
3. Cemas pada hipertensi .................................................................................. 17
4. Depresi pada hipertensi ................................................................................ 19
5. Pengaruh obat antihipertensi terhadap depresi ............................................. 21
BAB III ................................................................................................................... 23
PENUTUP .............................................................................................................. 23
Simpulan ............................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipertensi adalah satu-satunya faktor terpenting yang mendorong


tingginya angka kematian terkait penyakit kardiovaskular dan pengeluaran
perawatan kesehatan . Perkiraan terakhir menunjukkan bahwa sekitar 30%
populasi A.S. memiliki hipertensi, yang diperkirakan akan meningkat sebesar
7,2% pada tahun 2030 (Cuffee, et al., 2015). Penyakit kardiovaskular
menyumbang sekitar 17 juta kematian per tahun. Dari jumlah tersebut,
komplikasi hipertensi mencapai 9,4 juta kematian di seluruh dunia setiap
tahunnya. Hipertensi bertanggung jawab atas setidaknya 45% kematian akibat
penyakit jantung, dan 51% kematian akibat stroke (WHO, 2013). Dalam
literature lain mengatakan tekanan darah tinggi diperkirakan menyebabkan 7,5
juta kematian di seluruh dunia, sekitar 12,8% dari total kematian, dan
menyumbang 57 juta (disability-adjusted life years) (DALYS), atau 3,7% dari
total DALYS (Abbas, et al., 2017)

Di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada


tahun 2013 menunjukkan bahwa penderita hipertensi yang berusia di atas 18
tahun mencapai 25,8 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Dari
angka tersebut, penderita hipertensi perempuan lebih banyak 6% dibanding
laki-laki. Sedangkan yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan hanya mencapai
sekitar 9,4%. Ini artinya masih banyak penderita hipertensi yang tidak
terjangkau dan terdiagnosa oleh tenaga kesehatan dan tidak menjalani
pengobatan sesuai anjuran tenaga kesehatan. Hal tersebut menyebabkan
hipertensi sebagai salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia
(Riskesdas, 2013)

1
Disamping menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi, hipertensi
juga menimbulkan stress dan masalah psikososial. Stres dan masalah
psikososial yang timbul akibat hipertensi diantaranya adalah stress pekerjaan,
masalah kepribadian, kesehatan mental, ketidakstabilan atau masalah dalam
rumah tangga, dukungan sosial/isolasi, dan kualitas tidur (Cuffee, et al., 2015).
Kretchy menyatakan dalam penelitiannya bahwa pasien hipertensi mengalami
gejala kecemasan (56%), stres (20%) dan depresi (4%) (Kretchy, et al., 2014).
Depresi juga dapat timbul karena penggunaan obat-obatan antihipertensi.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini untuk menambah pengetahuan tentang


psikopatologi dan aspek psikiatri pada hipertensi.

C. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan di bidang akademik adalah untuk mengetahui lebih


lanjut mengenai hipertensi dan psikopatologi yang dapat timbul sehingga
diharapkan dapat memberikan kewaspadaan bagi dokter dalam memberikan
pengobatan pada pasien hipertensi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipertensi

1. Definisi

Hipertensi merupakan suatu penyakit sistemik yang dapat


mempengaruhi kinerja berbagai organ. Hipertensi juga menjadi suatu faktor
resiko penting terhadap terjadinya penyakit seperti penyakit jantung
koroner, gagal jantung dan stroke (Fauci, et al., 2008). Apabila tidak
ditanggulangi secara tepat, akan terjadi banyak kerusakan organ tubuh.
Hipertensi disebut sebagai silent killer karena dapat menyebabkan
kerusakan berbagai organ tanpa gejala yang khas (AHA, 2017)

Menurut WHO hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah


sistolik sama dengan atau diatas 140 mmHg dan atau tekanan darah
diastolik sama dengan atau diatas 90 mmHg (WHO, 2013), hal yang sama
juga disebutkan dalam Joint National Committee on Detection, Evaluation
and Treatment of High Blood Pressure (JNC) bahwa hipertensi dinyatakan
dengan tekanan darah ≥140 mmHg (Bell, et al., 2015), namun pedoman
terbaru mengklasifikasikan hipertensi sebagai pembacaan tekanan darah
130/80 mmHg atau lebih tinggi. Pedoman yang diperbarui juga
memberikan rekomendasi pengobatan baru, yang mencakup perubahan
gaya hidup serta obat penurun tekanan darah (AHA/ASA, 2017)
Hampir semua konsensus/pedoman utama baik dari dalam
walaupun luar negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan
hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang
(PERKI, 2015).

3
2. Klasifikasi

Klasifikasi hipetensi menurut AHA/ASA 2017

Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casey DE Jr, Collins KJ, Dennison Himmelfarb C, DePalma SM, Gidding S, Jamerson
KA, Jones DW, MacLaughlin EJ, Muntner P, Ovbiagele B, Smith SC Jr, Spencer CC, Stafford RS, Taler SJ, Thomas RJ,
Williams KA Sr, Williamson JD, Wright JT Jr. 2017 ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA
guideline for the prevention, detection, evaluation, and management of high blood pressure in adults: a report of the America n
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines [published online ahead of print
November 13, 2017]. Hypertension. doi: 10.1161/HYP.0000000000000065.
© 2017 American Heart Association

Urgency Hypertension ( Hipertensi mendesak) kenaikan tekanan darah


mendadak ( sisitolik ≥180mmHg dan/ atau diastolik ≥120mmHg) tanpa
kerusakan organ target yang progresif atau minimal sehingga penurunan
tekanan darah bisa dilaksanankan dalam hitungan jam sampai hari.
Emergency hypertension ( Hipertensi darurat) kenaikan tekanan darah
mendadak (sistolik≥ 180mmHgdn / atau diastolik ≥120 mmHg) dengan
kerusakan organ target yang bersifat progresif sehingga tekanan darah

4
harus diturunkan segera dalam hitungan menit sampai jam (AHA/ASA,
2017) (Chobanian, et al., 2003)
Kategori tekanan darah dalam pedoman baru dari ACC (American College
of Cardiology) :
Normal : Kurang dari 120/80 mm Hg;
Peningkatan : Sistolik antara 120-129 dan diastolik kurang dari 80;
Stadium 1 : Sistolik antara 130-139 atau diastolik antara 80-89;
Stadium 2 : Sistolik minimal 140 atau diastolik minimal 90 mmHg;
Krisis hipertensi : Sistolik lebih dari 180 dan / atau diastolik lebih dari
120, dengan pasien memerlukan perubahan segera dalam pengobatan jika
tidak ada indikasi masalah lainnya, atau rawat inap segera jika ada tanda-
tanda kerusakan organ (ACC, 2017)
Menurut The Seventh of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC 7) (Chobanian, et al., 2003) diklasifikasisn sebagai berikut:
Klasifikasi Sistolik Diastol
Normal <120 dan <80
Prehipertensi 120-139 atau 80-90
Hipertensi derajat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi derajat 2 ≥160 atau ≥100

Kalsifikasi hipertensi menurut ESH dan ESC Guidelines berdasarkan level


tekanan darah (mmHg) (ESH/ECS, 2013):
Category systolic diastolic
Optimal <120 and <80
Normal 120-129 and/or 80-84
High normal 130-139 and/or 85-89
Grade 1 hypertension 140-159 and/or 90-94

5
Grade 2 hypertension 160-179 and/or 100-109
Grade 3 hypertension ≥180 and/or ≥110
Isolated systolic hypertension ≥140 and <90

2013 ESH/ESC Guidelines for themanagement of arterial hypertension TheTask Force for the
management ofarterial hypertension of the European Society ofHypertension (ESH) and of the
European Society of Cardiology (ESC)

Klasifikasi diatas juga disebutkan dalam Pedomana Tatalaksana Hipertensi


Pada penyakit Kardiovaskular yang disusun oleh Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia 2015 (PERKI, 2015)

3. Patofisiologi

Hipertensi disebut sebagai silent killer karena dapat menyebabkan


kerusakan berbagai organ tanpa gejala yang khas (AHA, 2017). Efek
mematikan hipertensi disebabkan terutama dengan tiga cara 1) Kelebihan
beban kerja pada jantung menyebabkan terjadinya gagal jantung dini dan
penyakit jantung koroner, yang sering menyebabkan kematian akibat
serangan jantung. 2) Tekanan tinggi sering merusak pembuluh darah utama
di otak, diikuti oleh kematian sebagian besar otak; ini adalah infark serebral.
Secara klinis disebut "stroke." Bergantung pada bagian otak mana yang
terlibat, stroke dapat menyebabkan kelumpuhan, demensia, kebutaan, atau
banyak kelainan otak serius lainnya. 3) Tekanan tinggi hampir selalu
menyebabkan luka pada ginjal, menghasilkan banyak area kerusakan ginjal
dan, akhirnya, gagal ginjal, uremia, dan kematian (Guyton & Hall, 2006).

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi dalam 2 golongan yaitu :


a. Hipertensi primer / essensial
Hipertensi esensial adalah kelainan yang mempengaruhi sekitar 20%
populasi orang dewasa (Khazan, 2013). Merupakan hipertensi yang

6
penyebabnya tidak diketahui, biasanya berhubungan dengan faktor
keturunan dan lingkungan (Fauci, et al., 2008), Literatur lain
mengatakan, hipertensi essensial merupakan 90-95% dari seluruh
kasus hipertensi (Cruickshank, 2013)
b. Hipertensi sekunder
Merupakan hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui secara pasti,
seperti gangguan pembuluh darah dan penyakit ginjal. Penyebab
umum hipertensi sekunder meliputi 5-10% penyakit parenkim ginjal,
sekitar 1-2% adalah penyakit kelaian hormonal (hiperaldosteronisme,
sindroma cushing) penyakit renovaskular, kehamilan, aldosteronisme
primer, dan apnea tidur obstruktif, obat-obatan antidepresan seperti
inhibitor monoamine oxidase, penghambat reuptake serotonin-
norepinephrine, dan antidepresan trisiklik dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah (Aronow, 2017)

Setidaknya ada 3 faktor yang terlibat dalam patofisiologi


hipertensi yaitu disregulasi sistem saraf otonom, peningkatan aktifitas
system renin angiotensin aldosterone dan baroreflek (Khazan, 2013).
Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Peranan renin-angiotensin sangat penting pada hipertensi renal atau
yang disebabkan karena gangguan pada ginjal. Apabila bila terjadi
gangguan aliran sirkulasi darah pada ginjal, maka ginjal akan banyak
mensekresikan sejumlah besar renin. Menurut (Guyton & Hall, 2006), renin
adalah enzim dengan protein kecil yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan
arteri turun sangat rendah. Menurut (Klabunde, 2012) pengeluaran renin
dapat disebabkan aktivasi saraf simpatis (pengaktifannya melalui β1-
adrenoceptor), penurunan tekanan arteri ginjal (disebabkan oleh penurunan
tekanan sistemik atau stenosis arteri ginjal), dan penurunan asupan garam
ke tubulus distal.

7
Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu
angiotensinogen untuk melepaskan angiotensin I. Angiotensin I memiliki
sifat vasokonstriktor yang ringan, selanjutnya akan diaktifkan angiotensin
II oleh suatu enzim, yaitu enzim pengubah, yang terdapat di endotelium
pembuluh paru yang disebut Angiotensin Converting Enzyme (ACE).
Angiotensin II adalah vasokonstriktor yang sangat kuat, dan memiliki efek-
efek lain yang juga mempengaruhi sirkulasi. Angiotensin II menetap dalam
darah hanya selama 1 atau 2 menit karena angiotensin II secara cepat akan
diinaktivasi oleh berbagai enzim darah dan jaringan yang secara bersama-
sama disebut angiotensinase Selama angiotensin II ada dalam darah, maka
angiotensin II mempunyai dua pengaruh utama yang dapat meningkatkan
tekanan arteri. Pengaruh yang pertama, yaitu vasokontriksi, timbul dengan
cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan sedikit lebih lemah
pada vena. Konstriksi pada arteriol akan meningkatkan tahanan perifer,
akibatnya akan meningkatkan tekanan arteri. Konstriksi ringan pada vena-
vena juga akan meningkatkan aliran balik darah vena ke jantung, sehingga
membantu pompa jantung untuk melawan kenaikan tekanan (Guyton &
Hall, 2006)
Cara utama kedua dimana angiotensin meningkatkan tekanan arteri
adalah dengan bekerja pada ginjal untuk menurunkan eksresi garam dan air.
Ketika tekanan darah atau volume darah dalam arteriola eferen turun
(kadang-kadang sebagai akibat dari penurunan asupan garam), enzim renin
mengawali reaksi kimia yang mengubah protein plasma yang disebut
angiotensinogen menjadi peptida yang disebut angiotensin II. Angiotensin
II berfungsi sebagai hormon yang meningkatkan tekanan darah dan volume
darah dalam beberapa cara. Sebagai contoh, angiotensin II menaikan
tekanan dengan cara menyempitkan arteriola, menurunkan aliran darah ke
banyak kapiler, termasuk kapiler ginjal. Angiotensin II merangsang tubula
proksimal nefron untuk menyerap kembali NaCl dan air. Hal tersebut akan

8
jumlah mengurangi garam dan air yang diekskresikan dalam urin dan
akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah. Pengaruh
lain angiotensin II adalah perangsangan kelenjar adrenal, yaitu organ yang
terletak diatas ginjal, yang membebaskan hormon aldosteron. Hormon
aldosteron bekerja pada tubula distal nefron, yang membuat tubula tersebut
menyerap kembali lebih banyak ion natrium (Na+) dan air, serta
meningkatkan volume dan tekanan darah. Hal tersebut akan memperlambat
kenaikan voume cairan ekstraseluler yang kemudian meningkatkan tekanan
arteri selama berjam-jam dan berhari-hari. Efek jangka panjang ini bekerja
melalui mekanisme volume cairan ekstraseluler, bahkan lebih kuat daripada
mekanisme vasokonstriksi akut yang akhirnya mengembalikan tekanan
arteri ke nilai normal (Guyton & Hall, 2006).

Renin

Angiotensin l

Angiotensin l Converting Enzyme (ACE)

Angiotensin ll

↑ sekresi hormone ADH rasa haus Stimulasi sekresi aldosterone


Dari korteks adrenal

Urine sedikit  pekat dan ↑ osmolaritas


↓ ekskresi NaCl (garam) dengan
Mereabsorpsinya di tubulus ginjal
Mengentalkan

↑ konsentrasi NaCl di pembuluh darah


Menarik cairan intraselular

Diencerkan dengan ↑ volume


↑Volume darah ekstraselular

↑ tekanan darah ↑ volume darah

9 ↑ tekanan darah
4. Gejala klinis

Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala


walaupun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan
dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Gejala yang dimaksud
adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan, dan
kelelahan yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi maupun pada
seseorang dengan tekanan darah yang normal (O'Brien, et al., 2007) (Fauci,
et al., 2008). Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa
timbul gejala berikut: sakit kepala, kelelahan, mual-muntah, sesak napas,
gelisah, pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan
pada otak, mata, jantung, dan ginjal, penurunan kesadaran dan bahkan koma
karena terjadi pembengkakan otak disebut ensefalopati hipertensif yang
memerlukan penanganan segera (Chobanian, et al., 2003)

5. Diagnosis

Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa


tahapan pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau
tatalaksana yang akan diambil. Algoritme diagnosis ini diadaptasi dari
Canadian Hypertension Education Program. The Canadian
Recommendation for The Management of Hypertension 2014 (Dasgupta, et
al., 2014)

10
6. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah target tekanan darah


<140/90 mmHg, untuk individu beresiko tinggi (diabetes, gagal ginjal
proteinuria) <130/80 mmHg, penurunan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskuler dan menghambat laju penyakit ginjal proteinuria.
Kombinasi gaya hidup dan diet DASH (The Dietary Approaches to Stop
Hypertension) berupa diet dari beberapa grup makanan, termasuk lebih
banyak buah, sayuran, dan makanan yang mengandung biji-bijian yang
kaya akan kalium dan kalsium dan pengurangan natrium menjadi pilihan
bagi pengobatan hipertensi disamping obat-obatan. Jenis-jenis obat

11
antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan JNC 7
yaitu: Diuretika terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone
Antagonist (Aldo Ant), Beta Blocker (BB), Calcium Channel Blocker atau
Calcium Antagonist (CCB), Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
(ACE-I) dan Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor Antagonist
atau Blocker (ARB) (Chobanian, et al., 2003)

2013 ESH/ESC Guidelines for themanagement of arterial hypertension.


Possible combinations of classes of antihypertensive drugs. Green continuous lines:
preferred combinations; green dashed line: useful combination (with some limitations);
black dashed lines: possible but less well tested combinations; red continuous line: not
recommended combination. Although verapamil and diltiazem are sometimes used with a
beta-blocker to improve ventricular rate control in permanent atrial fibrillation, only
dihydropyridine calcium antagonists should normally be combined with beta-blockers
(ESH/ECS, 2013)

Dalam JNC VIII (Bell, et al., 2015) terdapat beberapa rekomendasi


dalam penanganan hipertensi yaitu:
Rekomendasi 1
Pada pasien berusia ≥ 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada
tekanan darah sistolik ≥ 150mmHg atau diastolik ≥ 90mmHg dengan target

12
terapi untuk sistolik < 150mmHg dan diastolik < 90mmHg. (Strong
Recommendation - Grade A).
Rekomendasi 2
Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada
tekanan darah diastolik ≥ 90mmHg dengan target < 90mmHg . ( Untuk usia
30-59 tahun , Rekomendasi kuat -Grade A; Untuk usia 18-29 tahun ,
(Expert Opinion - Grade E)
Rekomendasi 3
Pada pasien berusia < 60 tahun , mulai pengobatan farmakologis pada
tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg dengan target terapi < 140mmHg .
(Expert Opinion - Grade E)
Rekomendasi 4
Pada pasien berusia ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis , mulai
pengobatan farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg atau
diastolik ≥ 90mmHg dengan target terapi sistolik < 140mmHg dan diastolik
< 90mmHg . (Expert Opinion - Grade E)
Rekomendasi 5
Pada pasien berusia ≥ 18 tahun dengan diabetes , mulai pengobatan
farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg atau diastolik BP ≥
90 mmHg dengan target terapi untuk sistolik gol BP < 140mmHg dan
diastolik gol BP < 90mmHg . (Expert Opinion - Grade E)
Rekomendasi 6
Pada populasi umum bukan kulit hitam, termasuk orang-orang dengan
diabetes , pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretik tipe
thiazide, CCB , ACE inhibitor (Moderate Recommendation -Grade B).
Rekomendasi ini berbeda dengan JNC 7 yang mana panel
merekomendasikan diuretik tipe thiazide sebagai terapi awal untuk
sebagian besar pasien .
Rekomendasi 7

13
Pada populasi umum kulit hitam , termasuk orang-orang dengan diabetes ,
pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretic tipe thiazide atau
CCB . ( Untuk penduduk kulit hitam umum : Moderate Recommendation -
Grade B)., untuk pasien hitam dengan diabetes : Weak Recommendation -
Grade C)
Rekomendasi 8
Pada penduduk usia ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis , pengobatan
awal atau tambahan antihipertensi harus mencakup ACE inhibitor atau
ARB untuk meningkatkan outcome ginjal . Moderate Recommendation -
Grade B)
Rekomendasi 9
Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu satu bulan
pengobatan, tingkatkan dosis obat awal atau menambahkan obat kedua dari
salah satu kelas dalam Rekomendasi 6 . Jika target tekanan darah tidak
dapat dicapai dengan dua obat , tambahkan dan titrasi obat ketiga dari
daftar yang tersedia. Jangan gunakan ACEI dan ARB bersama-sama pada
pasien yang sama . Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai hanya
dengan menggunakan obat-obatan dalam Rekomendasi 6 karena
kontraindikasi atau kebutuhan untuk menggunakan lebih dari 3 obat untuk
mencapai target tekanan darah, maka obat antihipertensi dari kelas lain
dapat digunakan , (Expert Opinion - Grade E).

B. Aspek Psikiatri dan Psikopatologi Pada Hipertensi

Psikopatologi adalah studi ilmiah tentang gangguan jiwa, termasuk


upaya untuk memahami penyebab genetik, biologi, psikologis, dan sosial
mereka (Heffner, 2001). Dalam pengertian lain Psikopatologi adalah disiplin
yang memberi psikiater pengetahuan dasar tentang fenomena abnormal yang
mempengaruhi pikiran manusia dan dengan metode yang valid dan andal untuk

14
menilai mereka (Stanghellini & Broome, 2014). Global urbanisasi, gaya hidup,
stres harian di tempat kerja, kurangnya aktivitas fisik dan dukungan sosial
menyebabkan meningkatnya kecemasan, ketidakpastian, dan akhirnya
mengalami stres mental dan emosional yang kronis, hal ini memberikan
informasi tentang perubahan neuroendokrin dan sistem kekebalan tubuh
sebagai jalur patogen utama yang menghubungkan stres psikologis dan
hipertensi (Ushakov, et al., 2016).

1. Epidemiologi

Hipertensi merupakan faktor resiko utama kematian terutama


karena prevalensinya yang tinggi dan resiko penyakit kardiovaskular yang
terkait (Lim, et al., 2012). Kretchy menyatakan dalam penelitiannya bahwa
pasien hipertensi mengalami gejala kecemasan (56%), stres (20%) dan
depresi (4%) (Kretchy, et al., 2014).
Sudah lama diketahui bahwa depresi merupakan faktor resiko
independen untuk peningkatan penyakit kardiovaskular dan kematian. Juga
diketahui bahwa tingkat depresi dua sampai tiga kali lebih tinggi pada
pasien dengan penyakit kardiovaskular daripada pada populasi umum.
Resiko stroke dan penyakit kardiovaskular juga meningkat pada penderita
depresi di kemudian hari (Valkanova & Ebmeier, 2013). Selain itu,
gangguan mental seperti kegelisahan atau depresi meningkatkan
pentingnya hipertensi untuk mortalitas kardiovaskular (Sandstrom, et al.,
2016).
Kecemasan dan depresi sering terjadi pada orang dengan hipertensi.
Peningkatan kesadaran akan resiko depresi dan kecemasan di kalangan
pasien hipertensi diperlukan untuk memerangi hipertensi, komplikasinya,
dan penderitaan psikiatri pada populasi. Pada saat yang sama, penting
untuk menyaring hipertensi di antara pasien dengan gangguan kejiwaan,
karena hipertensi mungkin kurang terdiagnosis dan terbengkalai pada

15
pasien dengan gangguan kejiwaan berat, seperti skizofrenia dan penyakit
bipolar (Sandstrom, et al., 2016). Gejala depresi dan kecemasan dikaitkan
dengan diagnosis hipertensi yang dinilai 5 tahun kemudian, semakin besar
gejala depresi dan kecemasan semakin besar kemungkinan orang tersebut
didiagnosis menderita hipertensi 5 tahun kemudian (Ginty, et al., 2013).

2. Stres kerja

Stress kerja adalah resiko kesehatan yang diketahui untuk berbagai


masalah psikologis, perilaku, dan gangguan kesehatan dan penyakit (Quick
& Henderson, 2016). Stres kerja, atau regangan kerja, akibat kurangnya
keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kontrol pekerjaan, dianggap
sebagai salah satu faktor yang sering terjadi dalam etiologi hipertensi di
masyarakat modern. Stres, dengan penyebab multifaktorialnya, rumit dan

16
sulit untuk dianalisis pada tingkat fisiologis dan psikososial (Rosenthal &
Alter, 2012). Beberapa studi tentang kemungkinan hubungan antara stres
kerja dan faktor resiko kardiovaskular, terutama hipertensi, berhubungan
dengan stres kerja yang terkait sendiri atau dalam hubungannya dengan
karakteristik individu, sementara yang lain berkonsentrasi pada perbedaan
individual dalam menanggapi daripada pada sifat stresor. Karena tuntutan
pekerjaan, ancaman, dan konflik - stresor yang paling sering - tidak dapat
diidentifikasi dengan pengukuran fisik atau biologi langsung, konsep
teoritis, dan model integratif telah dikembangkan untuk menggambarkan
karakteristik pekerjaan yang penuh tekanan (Rosenthal & Alter, 2012)

3. Cemas pada hipertensi


Yang termasuk dalam gangguan cemas adalah gangguan yang
memiliki karakteristik adanya rasa takut yang berlebih atau ansietas serta
gangguan perilaku. Takut merupakan respon emosional dari adanya suatu
ancaman baik yang sedang terjadi maupun segera terjadi, sedangkan
ansietas merupakan antisipasi terhadap ancaman di masa yang akan datang.
Sudah jelas bahwa kedua hal ini saling tumpang tindih, tetapi tetap berbeda
dimana rasa takut lebih dikaitkan dengan gairah autonomik untuk melawan
atau bertahan, gagasan mengenai bahaya, dan perilaku meloloskan diri,
sedangkan ansietas lebih dikaitkan dengan ketegangan otot dan
kewaspadaan sebagai upaya antisipasi terhadap bahaya di masa mendatang
(APA, 2013).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kecemasan dikaitkan


dengan hipertensi, individu dengan kecemasan memiliki resiko hipertensi
lebih tinggi daripada mereka yang tidak memiliki kecemasan, pasien
hipertensi memiliki resiko kecemasan yang lebih tinggi daripada mereka
yang tidak memiliki hipertensi (Pan, et al., 2015). Prevalensi hipertensi
pada pasien dengan gangguan kecemasan lebih tinggi daripada pada

17
populasi umum (37,9% vs 12,4%, rasio odds, 2,61; interval kepercayaan
95%, 2,52-2,70) pada tahun 2005. Usia, jenis kelamin pria, diabetes, dan
hiperlipidemia merupakan faktor resiko hipertensi pada penderita
gangguan kecemasan (Wu, et al., 2014). Dampak stres terhadap
perkembangan hipertensi diyakini melibatkan respons sistem saraf
simpatik, di mana pelepasan katekolamin menyebabkan peningkatan
denyut jantung, curah jantung, dan tekanan darah (Spruill, 2010).
Mekanisme antara kecemasan dan hipertensi adalah kompleks.
Umumnya, kecemasan meningkatkan tekanan darah, resistensi vaskular
sistemik, aktivitas simpatik, aktivitas renin plasma, model homeostasis,
dan lipid darah (Ogedegbe, et al., 2008). 1) Kecemasan meningkatkan
tekanan darah dalam jangka pendek. Sebuah studi pemantauan tekanan
darah ambulatori baru-baru ini melaporkan bahwa gangguan kecemasan
dikaitkan dengan hipertensi nokturnal dan pagi pada pasien rawat jalan
hipertensi. 2) Kecemasan memiliki hubungan yang erat dengan sistem
angiotensin renin dan meningkatkan tingkat angiotensin II. Kecemasan
jangka panjang dapat menurunkan variabilitas vaskular, sehingga resistensi
vaskular persisten menyebabkan hipertensi. 3) Beberapa percobaan
menunjukkan bahwa pasien dengan kecemasan biasanya memiliki tanda-
tanda fisiologis aktivasi simpatik, dan kecemasan dapat dengan kuat
merangsang aliran saraf simpatis dan refleks vasovagal. (Bajko, et al.,
2012). Rozanski dkk berpendapat bahwa kecemasan dapat mengaktifkan
sistem saraf simpatik, meningkatkan curah jantung, menyempitkan
pembuluh darah, dan meningkatkan tekanan darah arteri (Rozanski, et al.,
1999). 4) Sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal adalah sistem respons stres
fisiologis utama di tubuh. Bila sumbu ini tidak berfungsi, meningkatkan
sekresi hormon steroid menyebabkan retensi air dan natrium, yang
menyebabkan tekanan darah tinggi. Selanjutnya, hubungan tidak langsung
antara Kecemasan dan meningkatnya resiko hipertensi juga bisa berasal

18
dari karakteristik subjek cemas, yang biasanya memiliki gaya hidup lebih
tidak sehat pada umumnya. Dengan kata lain, mereka biasanya memiliki
beberapa perilaku buruk, seperti meningkatnya konsumsi makan, merokok,
dan alkohol, dan kurang berolahraga, karena stres dan kecemasan, yang
berdampak pada kesehatan (Pan, et al., 2015).

4. Depresi pada hipertensi

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang


berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya,
termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,
konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta
bunuh diri (Kaplan, et al., 2000). Gejala depresi harus ada sekurang-
kurangnya 2 minggu akan tetapi jika gejala berat dan berlangsung cepat,
periode lebih pendek masih dapat dibenarkan. Gejala utama pada depresi
adalah afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan (anhedonia),
kehilangan energi sehingga menjadi lebih mudah lelah dan menurunnya
aktifitas (anergia). Sedangkan gejala tambahan pada depresi adalah
konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri
berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan
tentang masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan
berkurang (Depkes, 1993)

Depresi sering terjadi pada pasien dengan hipertensi yang tidak


terkontrol dan dapat mengganggu kontrol tekanan darah (Rubio-Guerra, et
al., 2013). Gejala depresi dan kecemasan dikaitkan dengan diagnosis
hipertensi yang dinilai 5 tahun kemudian, semakin besar gejala depresi dan
kecemasan semakin besar kemungkinan orang tersebut didiagnosis
menderita hipertensi 5 tahun kemudian (Ginty, et al., 2013).

19
Teori mengenai etiologi depresi telah melibatkan jalur amina
biogenik, dan menunjukkan bahwa penyakit ini terkait dengan defisiensi
monoamina (serotonin, dopamin dan norepinephrine) pada sistem saraf
pusat. Memang, semua obat antidepresan klinis meningkatkan efek
neurotransmitter monoamina. Pasien depresi dan hipertensi mengalami
peningkatan nada simpatik dan peningkatan sekresi hormon
adrenokortikotropik dan kortisol (Meng , et al., 2012). Dopamin dan
neurotransmitter terkait lainnya memiliki tindakan antihipertensi;
bromokriptin dan fenoldopam, yang merupakan agonis reseptor dopamin,
telah digunakan dalam pengelolaan tekanan darah tinggi. Kurangnya
dopamin di tempat-tempat utama di otak dapat meningkatkan tekanan
darah dan / atau memicu depresi. Selanjutnya, perubahan serebrovaskular
dan iskemik di otak yang dipromosikan oleh tekanan darah tinggi dapat
mempengaruhi individu dengan hipertensi terhadap depresi. Namun, saat
ini belum ada penelitian yang berkorelasi dengan adanya depresi dengan
pengendalian hipertensi (Rubio-Guerra, et al., 2013).

Kemungkinan alasan terjadinya komorbiditas depresi dan penyakit


kardiovaskular terbagi menjadi tiga jenis mekanisme: biologis, psikososial
dan gaya hidup. Dalam mekanisme biologis, perubahan sumbu
hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) tampaknya memainkan peran kunci.
Pada periode stres dan depresi, hiperaktif dari sumbu HPA terjadi,
merangsang sistem saraf simpatik dan meningkatkan kadar katekolamin
yang beredar (adrenalin dan noradrenalin) dan kortisol serum. Semua ini
menimbulkan ketidakseimbangan antara aktivitas simpatik dan
parasimpatis, yang diterjemahkan dalam sistem kardiovaskular dengan
peningkatan detak jantung, tekanan darah, iritasi otot jantung dan
perubahan metabolik. Selain perubahan sumbu HPA, ada mekanisme
biologis lain yang mungkin terkait dengan hubungan antara depresi dan

20
penyakit kardiovaskular, seperti berikut ini: perubahan fungsi trombosit
yang dijelaskan pada pasien dengan depresi (yang dapat terlibat dalam
patogenesis manifestasi akut), penyakit kardiovaskular dan peningkatan
faktor peradangan plasma (protein interleukin 6, anti-TNF-alfa dan C-
reaktif) (Giner, et al., 2014)

HPA axis alteration in patients with depression and cardiovascular comorbidity. ACTH,
adrenocorticotropic hormone; BP, blood pressure; CRH, corticotrophin-releasing
hormone; HPA axis, hypothalamic---pituitary---adrenal axis; HR, heart rate; MS,
metabolic syndrome

Kecemasan dan depresi pada hipertensi menyebabkan


ketidakpatuhan dalam pengobatan hipertensi sehingga komplikasi dari
hipertensi terutama stroke dan penyakit jantung meningkat, hal ini
menimbulkan penurunan kualitas hidup pada penderita hipertensi itu
sendiri (Kretchy, et al., 2014)

5. Pengaruh obat antihipertensi terhadap depresi

Hubungan antara obat antihipertensi dan depresi telah dikenali


selama lebih dari 40 tahun. Pemahaman tentang peran neurotransmitter

21
dalam etiologi depresi telah membantu kita memahami bagaimana obat
antihipertensi menyebabkan depresi. Penipisan amonia biogenik sekarang
diyakini mendasari sifat organik dari depresi, dan banyak obat yang
digunakan untuk mengobati hipertensi mengganggu sistem ini. Ada bukti
kuat bahwa reserpin dan alpha-methyldopa dapat menyebabkan atau
memperburuk depresi melalui tindakan mereka pada sistem saraf pusat.
Beta-blocker juga telah terlibat, namun data yang mendukung hubungan
antara obat-obatan dan depresi ini tidak begitu pasti. Guanethidine,
clonidine, hydralazine, dan prazosin tampaknya menimbulkan sedikit
resiko dalam menyebabkan depresi, walaupun kejadian langka telah
dilaporkan. Diuretik, penghambat saluran kalsium, dan penghambat enzim
pengubah angiotensin (ACE) tampaknya memiliki hubungan terendah
dengan depresi dan menjadi resikonya. Berbagai macam obat yang
sekarang tersedia untuk mengobati hipertensi menawarkan alternatif yang
beresiko rendah. Semua pasien yang menerima pengobatan untuk
mengobati hipertensi harus dicurigai sebagai peran dalam etiologinya
(Beers & Passman, 1990)
Dari semua kelas obat kardiovaskular yang diperiksa, termasuk beta
bloker, diuretik, nitrat, dan digoksin, hanya inhibitor enzim CCB dan
angiotensin-converting (ACE inhibitor) yang tampaknya memiliki efek
perumusan depresi (Roger & Pies, 2008). Depresi dapat disebabkan oleh
reserpin, metildopa. Propranolol secara tradisional dianggap menginduksi
depresi. Agen penghambat beta-adrenergik kadang-kadang dapat
menyebabkan mania atau kebingungan (Davies & Dubovsky, 2015).

22
BAB III

PENUTUP

Simpulan

Hipertensi adalah faktor penting yang mendorong tingginya angka


kematian terkait kardiovaskular. Data dari WHO menyebutkan dunia sekitar 17
juta kematian diakibatkan karena penyakit kardiovaskular dan dari jumlah
tersebut 9,4 juta kematian akibat dari komplikasi hipertensi berupa stroke dan
penyakit jantung. Di Indonesia angka kejadian penderita hipertensi terus
meningkat, Riskesdas 2013 menyebutkan penderita hipertensi mencapai 25,8%
dari seluruh penduduk Indonesia dan hanya 9,4 % yang terdiagnosis oleh tenaga
kesehatan.
Selain menimbulkan komplikasi stroke dan penyakit jantung, hipertensi
juga memunculkan psikopatologi dan gangguan terkait psikiatri. Data klinis
menunjukkan adanya gejala psikiatri berupa stress, stress pekerjaan, cemas dan
depresi terkait hipertensi. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpatuhan dalam
pengobatan sehingga dapat mempengaruhi peningkatan komplikasi dan
penurunan kualitas hidup pasien. Oleh karena itu perlunya mengenali gejala-
gejala dan tanda-tanda terhadap komplikasi dari hipertensi dan efek samping
dari penggunaan obat anti hipertensi khususnya yang dapat menimbulkan
ganguan psikiatri.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, H., Kurdi, M., Watfa, M. & Karam, R., 2017. Adherence to treatment and evaluation
of disease and therapy knowledge in Lebanese hypertensive patients. Patient
Preference and Adherence, pp. 949-1956.
ACC, 2017. New ACC/AHA High Blood Pressure Guidelines Lower Definition of Hyper
tension. America, s.n.
AHA/ASA, 2017. Highlights from the 2017 Guideline for the Prevention, Detection,
Evaluation and Management of High Blood Pressure in Adults. [Online]
Available at: https://healthmetrics.heart.org/wp-content/uploads/2017/11/Highlights-
from-the-2017-Guideline.pdf
AHA, 2017. Why High Blood Pressure is a "Silent Killer". [Online] Available at: http :// www.
heart.org /HEARTORG/ Conditions/HighBloodPressure/ Understand Symptoms
Risks / Why-High-Blod-oPressure-is-a-Silent Killer_ UCM_ 002053 _Article .jsp#.
WlInMq5l_IV
APA, 2013. Diagnostic And Statistical Manual of Mental Disorder. 7 ed. Washington DC,
London: American Psychiatric Association.
APA, 2018. BusinessDictionary.com website. [Online] Available at:http://www.businessdicti
onary. com /definition/ occupational-stress. html [Accessed 2018].
Aronow, W. S., 2017. Drug-induced causes of secondary hypertension. Annals of Translational
Medicine.
Bajko, Z., Szekeres, C. & Kovacs, K., 2012. Anxiety, depression and autonomic nervous
system dysfunction in hypertension. J Neurol Sci, pp. 112-116.
Beers, M. & Passman, L., 1990. Antihypertensive medications and depression.
Bell, K., Twiggs, J. & Olin, B. R., 2015. Hypertension:The Silent Killer:Updated JNC-8
Guideline Recommendations. s.l., Alabama Pharmacy Association.
Chobanian, A. V. et al., 2003. Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure. National Heart, Lung, and Blood, Institute;
National High Blood Pressure Education Program Coordinating, Committee (Dec
2003). "Seventh report of the Join. s.l., s.n.
Cruickshank, M. J., 2013. Essensial Hypertension. London: People's Medical Publishing
House.
Cuffee, Y. et al., 2015. Psychosocial Risk Factors for Hypertension: An Update of the. NIH
Public Access, Volume 10, p. 483.

24
Dasgupta, K. et al., 2014. Guidelines The 2014 Canadian Hypertension Education Program
Recommendations for Blood Pressure Measurement, Diagnosis, Assessment of Risk,
Prevention, and Treatment of Hypertension. Canadian Journal Of Cardiology,
Volume 30, pp. 485-501.
Davies, S. J. & Dubovsky, S. L., 2015. American Society of Hypertension Self-Assessment
Guide Treatment: special conditions Psychological aspects relating to the treatment of
hypertension. Journal of Hypertension, Volume 9, pp. 150-153.
Depkes, R., 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa. III ed. Jakarta: s.n.
ESH/ECS, 2013. 2013 ESH/ESC Guidelines for themanagement of arterial hypertension The
Task Force for the management of arterial hypertension of the European Society
ofHypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). Journal of
Hypertension, pp. 1281-1357.
Fauci, et al., 2008. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed. US: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Galderisi, S. et al., 2015. Toward a new definition of mental health. Word Psychiatry, pp. 231-
233.
Giner, J. et al., 2014. Spanish consensus on the physical health of patients with depressive
disorders. Elsevier Doyma, pp. 195-207.
Ginty, A. et al., 2013. Depression and anxiety are associated with a diagnosis of hypertension
5 years later in a cohort of late middle-aged men and women. Journal of Human
Hypertension, Volume 27, pp. 187-190.
Guyton, A. C. & Hall, J. E., 2006. Text Book of Medical Psysiology. 7 ed. Philadelpia,
Pennsylvania: Elsevier Saunders.
Heffner, C. L., 2001. Psychopathology. In: Psychology A Graphic Guide To Your Mind And
Behaviour. s.l.:s.n.
Kaplan, H. I., Sadock, B. J. & Grebb, J. A., 2000. Sinopsis Psikiatri. 7 ed. s.l.:s.n.
Khazan, I. Z., 2013. The Clinical Handbook of Biofeedback A Step-by-Step Guide for Training
and Practice with Mindfulness. 1 ed. Unites Kingdom: Wiley Blackwell.
Klabunde, R. E., 2012. Cardiovascular Psysiology Concepts. 2 ed. Philadelpia: Lippincott
Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business.
Kretchy, I., Owusu-Daaku, F. & Danquah, S., 2014. Mental health in hypertension: assessing
symptoms of anxiety, depression and stress on anti-hypertensive medication
adherence. Int J Ment Health Syst.

25
Lim, S. et al., 2012. A comparative risk assessment of burden of disease and injury attributable
to 67 risk factors and risk factor clusters in 21 regions, 1990–2010:. Lancet, pp. 2224-
2260.
Meng , L. et al., 2012. Depression increases the risk of hypertension incidence: A meta-analysis
of prospective cohort studies. Journal of Hypertension, pp. 842-851.
O'Brien, et al., 2007. ABC of Hypertension. X ed. London: BJM Books.
Ogedegbe, G., Pickering, T. & Clemow, L., 2008. The misdiagnosis of hypertension: the role
of patient anxiety. pp. 2459-2465.
Pan, Y. et al., 2015. Association between anxiety and hypertension: a systematic review and
meta-analysis of epidemiological studies. Neuropsychiatric Disease and Treatment,
Volume 11, pp. 1121-1130.
PERKI, 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular. s.l., s.n.
Quick, J. C. & Henderson, D. F., 2016. Occupational Stress: Preventing Suffering, Enchancing
Wellbeing. International Journal of Environmental Research and Public Health.
Riskesdas, 2013. Riset Kesehatan Dasar, s.l.: Kementerian Kesehatan RI.
Roger, D. & Pies, R., 2008. General Medical Drugs Associated with Depression. pp. 28-41.
Rosenthal, T. & Alter, A., 2012. Occupational stress and hypertension. Journal of the American
Society of Hypertension.
Rozanski, A., Blumenthal, J. & Kaplan, J., 1999. Impact of psychological factors on the
pathogenesis of cardiovascular disease and implications for therapy. pp. 2192-2217.
Rubio-Guerra, A. F. et al., 2013. Depression increases the risk for uncontrolled hypertension.
Clinical Cardiology, pp. 10-12.
Sandstrom, Y. K., Ljunggren, G., Wandell, P. & Wahlstrom, L., 2016. Psychiatric comorbidi
ties in patients with hypertension ^ a study of registered diagnoses 2009^2013 in the
total population in Stockholm County, Sweden. journal of hypertension, Volume 34,
pp. 414-420.
Schmidt, M. M. et al., 2013. Anger control and cardiovascular outcomes. International Journal
of Cardiology.
Spruill, T. M., 2010. Chronic Psychosocial Stress and Hypertension. pp. 10-16.
Stanghellini, G. & Broome, M. R., 2014. Psychopathology as the basic science of psychiatry.
The British Journal of Psychiatry, Volume 205, pp. 169-170.
Ushakov, A. V., Ivanchenko, V. S. & A, A., 2016. Psychological Stress in Pathogenesis of
Essential Hypertension. Current Hypertension Reviews, 12(3).

26
Valkanova, V. & Ebmeier, K., 2013. Vascular risk factors and depression in later life: a
systematic review and meta-analysis. Biol Psychiatry, Volume 73, pp. 406-413.
WHO, 2013. A Global Brief on Hypertension, s.l.: WHO Press.
WHO, 2014. Mental health: a state of well-being, s.l.: s.n.
Wu, E. L., Chien, C. I. & Lin, C. H., 2014. Increased risk of hypertension in patients with
anxiety disorders: A population-based study. Journal of Psychosomatic Research,
Volume 77, pp. 522-527.

27

Anda mungkin juga menyukai