Hep C PDF
Hep C PDF
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1.5 Hepatitis C
Hepatitis C adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus hepatitis C
(HCV). Terdiri dari hepatitis C akut dan kronik, dari tingkat keparahan yang
ringan yang berlangsung beberapa minggu menjadi kronik dan menyebabkan
komplikasi yang serius (WHO, 2014).
Infeksi akut HCV adalah terdeteksinya anti-HCV dan HCV RNA yang
kurang dari 6 bulan pasca paparan HCV. Sebagian besar penderita akan
menyebabkan infeksi kronik, yaitu bila anti-HCV dan HCV RNA terdeteksi
didalam darah selama ≥ 6 bulan. Hepatitis C kronik dapat menyebabkan sirosis
hati dan kanker hati primer (hepatocellular carcinoma) (CDC, 2014).
Prevalensi hepatitis C di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2007 didapatkan anti-HCV positif sebesar 1,7% dari 12.715
laki-laki dan 2,4% dari 14.821 perempuan (Mihardja, 2012; PPHI, 2014).
Sebelum ditemukannya HCV, dunia medis mengenal 2 jenis virus
penyebab hepatitis, yaitu : virus hepatitis A (HAV) dan virus hepatitis B (HBV).
Ditemukan peradangan hati yang tidak disebabkan oleh kedua virus tersebut dan
tidak dikenal pada saat itu sehingga dinamakan hepatitis Non-A Non-B (NANB).
Hepatitis NANB tersebut, pada dekade tahun 1970-an dikenal sebagai kasus
hepatitis yang sebagian besar atau lebih dari 90% kejadian hepatitis paska
transfusi, yang sekarang disebut virus hepatitis C (HCV). Sejak ditemukannya
HCV pada tahun 1989, virus ini telah menjadi salah satu penyebab utama
penyakit hati kronik di seluruh dunia. (Gani, 2009; Arief, 2011)
Hanya 20-30% penderita hepatitis C akut yang sembuh setelah fase akut.
Sebagian besar (80%) akan menetap menjadi hepatitis C kronik, yang ditandai
dengan gejala klinis minimal atau ringan dan tidak spesifik seperti rasa lelah,
lemah, mual, nafsu makan turun, dan mialgia. (Arief, 2011; PPHI 2014).
HCV adalah virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Memiliki partikel
untuk menyelimuti untaian tunggal RNA yang panjangnya 9600 basa nukleotida.
Genom HCV terdiri dari protein struktural (C, E1 dan E2) dan protein non-
struktural (NS1, NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5A, dan NS5B) yang terletak di
dalam poliprotein 5’NTR dan 3’NTR. Protein non-struktural dan RNA virus
hepatitis C telah terbukti ditemukan pada hati pasien yang terinfeksi HCV sehinga
membuktikan bahwa hati adalah tempat replikasi virus HCV (Bartensclager dan
Lohmann, 2000; PPHI, 2014)
Pemeriksaan genotip dan subtipe HCV penting dilakukan untuk
epidemiologi, menentukan jenis dan durasi terapi, respons terapi, termasuk
memperkirakan risiko terjadinya resistensi terapi antiviral.
Ada 7 genotip virus hepatitis C dari nomor 1 sampai 7 dengan 67 subtipe,
akan tetapi belum ada kesepakatan secara internasional sehingga tetap
menggunakan pembagian 6 genotipe dan 50 subtipe.
Genotip 1a dan 1b paling sering dijumpai, meliputi hampir 60% infeksi
HCV, predominan di wilayah Eropa (genotip 1b), Amerika Utara (genotip 1a di
Amerika Serikat) dan Jepang. Genotip 2 ditemukan di gugusan wilayah
Mediterania, lebih jarang dijumpai dan umumnya berhubungan dengan faktor
risiko infeksi HCV dari transfusi darah. Genotip 3 banyak dijumpai di wilayah
Asia Tenggara. Genotip 3a mempunyai prevalensi yang tinggi di Eropa,
khususnya pada populasi orang yang menyuntikkan narkoba. Kelompok ini (saat
ini) mengalami peningkatan insidensi dan penyebarluasan infeksi dengan HCV
genotip 4. Genotip 4 banyak dijumpai di Timur Tengah, Mesir, Afrika Utara dan
Afrika Tengah.
Genotip 5 dan 6 jarang ditemukan di Eropa. Genotip 5 hanya dijumpai di
wilayah Afrika Selatan sedangkan genotip 6 tersebar merata di seluruh wilayah
Asia. Genotip 7 yang tidak diketahui, teridentifikasi pada pasien-pasien dari
Kanada dan Belgia, yang kemungkinan terjangkit dari wilayah Afrika Tengah.
(Sievert, et. al., 2011; EASL, 2014; PPHI, 2014).
1.6 Patogenesis
Proses patogenesis HCV dapat dilihat pada gambar 2.1
HCV yang masuk kedalam darah akan mencari hepatosit (HCV hanya bisa
berkembang biak di dalam sel hati) dan kemungkinan sel limfosit B. Virus masuk
kedalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor permukaan sel yang spesifik.
Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun protein permukaan sel
CD81 adalah suatu HCV binding protein yang memainkan peranan khusus yang
dikenal sebagai protein E2 menempel pada reseptor site dibagian luar hepatosit.
Protein inti virus ini menembus dinding sel dimana selaput lemak bergabung
dengan dinding sel dan selanjutnya akan melingkupi dan menelan virus serta
membawanya kedalam hepatosit. Di dalam hepatosit, selaput virus (nukleokapsid)
melarut dalam sitoplasma dan keluarlah RNA virus (virus uncoating) yang
selanjutnya mengambil alih peran bagian dari ribosom hepatosit dalam membuat
bahan-bahan untuk proses reproduksi.
Virus menyebabkan sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya
sendiri, lalu menutup fungsi normal hepatosit atau menginfeksi hepatosit yang
lain. Virus kemudian membajak mekanisme sintesis protein hepatosit dalam
memproduksi protein yang dibutuhkannya untuk berfungsi dan berkembang biak.
RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk produksi masal
poliprotein (proses translasi). Poliprotein dipecah menjadi unit-unit protein.
Protein ini ada 2 jenis, yaitu protein struktural dan regulatori. Protein regulatori
memulai sintesis kopi virus RNA asli. RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam
jumlah besar (miliaran) untuk menghasilkan virus baru.
Proses ini berlangsung terus dan dapat membuat terjadinya mutasi genetik
yang menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtipe virus hepatitis C.
Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju
pembuluh darah menembus membran sel. Dalam sehari replikasi HCV sangat
banyak. Seorang penderita dapat menghasilkan hingga 10 triliun virion per hari
(bahkan dalam fase infeksi kronik sekalipun) (Sulaiman, 2007).
Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi
seperti TNF-α, TGF-β1, akan menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya
dan menyebabkan aktivasi sel-sel stelata diruang disse hati. Sel-sel yang khas ini
sebelumnya dalam keadaan tenang (quiscent) kemudian berproliferasi dan
menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks
kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan sitokin-
sitokin pro-inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus menerus karena reaksi
inflamasi yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin
banyak dan sel-sel hati yang ada semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan
kerusakan hati lanjut dan sirosis hati (Gani, 2009).
(fatty liver), hepatitis alkoholik (peradangan pada hati) dan sirosis (jaringan parut
permanen hati). (ACG, 2014).
Pembuatan tato dan body piercing (tindik) juga dapat menjadi metode
transmisi HCV meskipun dengan angka kejadian yang lebih rendah, terutama di
kalangan pemuda, namun belum ditemukan cukup bukti dan ada temuan yang
bertentangan dalam literatur. Hal ini diakibatkan oleh penggunaan instrumen yang
tidak steril. Di Amerika Serikat, pemakaian tato dan tindik yang tidak steril sering
terjadi di penjara dan situasi informal lainnya. Studi menunjukkan tidak ada bukti
definitif untuk peningkatan risiko infeksi HCV bila tato dan tindikan dikerjakan
pada fasilitas tato/tindik komersial yang berlisensi profesional. (Tohme, 2012;
CDC, 2014; WHO, 2014).
Faktor-faktor lainnya juga berpengaruh seperti transplantasi organ dari
donor terinfeksi / pengidap HCV kronik, asupan alkohol, koinfeksi dengan virus
hepatitis B (HBV) atau virus Human Immunodeficiency Virus (HIV), jenis
kelamin laki-laki, dan usia tua saat terjadinya infeksi (Gani, 2009).
Jika seseorang pernah diuji positif terinfeksi HCV, direkomendasikan
untuk tidak pernah menyumbangkan darah, organ, atau air mani (hubungan
seksual) karena dapat menularkan kepada penerima atau pasangan seksual.
Seseorang juga bisa terinfeksi HCV melalui berbagi barang-barang perawatan
pribadi yang mungkin berkontak dengan darah, seperti pisau cukur atau sikat gigi,
tapi penularan ini kurang umum (CDC, 2014).
Hepatitis C tidak dapat ditularkan melalui ASI, makanan atau air atau
melalui kontak biasa seperti memeluk, mencium dan berbagi makanan atau
minuman dengan orang yang terinfeksi. (WHO, 2014).
demam, kelelahan, nafsu makan menurun, mual, muntah, sakit perut (biasanya
pada perut kanan atas), urin gelap, kotoran berwarna abu-abu, nyeri sendi dan
jaundice (WHO, 2014).
2.5 Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting dalam menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan anti-HCV
merupakan pilihan utama alat diagnostik untuk mendeteksi infeksi hepatitis C.
Apabila pemeriksaan awal terdeteksi anti-HCV positif harus dilanjutkan
dengan pemeriksaan HCV RNA. Diagnosis hepatitis C kronik harus dibuktikan
dengan keberadaan anti-HCV dan HCV RNA positif > 6 bulan dan atau disertai
dengan gejala penyakit hati kronik.
Infeksi HCV akut dapat dicurigai jika tanda-tanda klinis dan gejala yang
kompatibel dengan hepatitis C akut (alanine aminotransferase [ALT] >10x diatas
normal, adanya jaundice) tanpa adanya riwayat penyakit hati kronik atau
penyebab lain dari hepatitis akut, dan/atau jika dalam sumber sekarang
kemungkinan penularan dapat diidentifikasi. Dalam semua kasus, HCV RNA
dapat terdeteksi selama fase akut meskipun kebanyakan jarang terjadi (EASL,
2014).
peningkatan ringan serum ALT, (biasanya <dari 100 IU/L) dan pada sepertiga
kasus pemeriksaan tes faal hati bisa normal. (Ghany, 2009; Brook, 2010; PPHI,
2014).
Tabel 2.1. Interpretasi Hasil Anti-HCV dan HCV RNA
Anti-HCV HCV RNA Interpretasi
Positif Positif Infeksi HCV akut atau kronik bergantung pada
gejala klinis
Positif Negatif Resolusi HCV, Status infeksi tidak dapat ditentukan
(mungkin dalam status intermittent viremia)
Negatif Positif Infeksi HCV akut awal; HCV kronik pada pasien
dengan status imunosupresi; pemeriksaan HCV
RNA positif palsu
Negatif Negatif Tidak adanya infeksi HCV
Sumber : EASL, 2014
2.6 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengeliminasi atau eradikasi virus HCV
dan mencegah progresifitas penyakit menjadi sirosis maupun karsinoma
hepatoselular dan sebagai endpoint therapy adalah mencapai sustained virologic
response (SVR).
- Tatalaksana hepatitis C akut:
Dari saat identifikasi infeksi HCV akut, pasien harus dipantau tiap 4
minggu untuk serokonversi atau terbentuknya HCV RNA viremia. Pada 12
(Untuk jelas nya dapat dilihat pada gambar 2.2 dan gambar 2.3)
2.7 Komplikasi
Sekitar 75-85% penderita hepatitis C akut berkembang menjadi kronik.
Dari hepatitis C kronik 10-20% akan berlanjut menjadi sirosis hati dalam 15-20
tahun, dan setelah menjadi sirosis hati sebanyak 1-5% per tahun berkembang
menjadi karsinoma hati seluler (PPHI, 2014).
2.8 Pencegahan
2.8.1 Pencegahan primer
Tidak ada vaksin untuk hepatitis C, oleh karena itu pencegahan infeksi
HCV ditujukan pada mengurangi risiko terpaparnya dengan HCV. Daftar berikut
memberikan contoh terbatas intervensi pencegahan primer yang
direkomendasikan oleh WHO:
• kebersihan tangan: persiapan bedah, mencuci tangan dan penggunaan sarung
tangan
• penanganan yang aman dan pembuangan benda tajam dan limbah
• pembersihan yang aman dari peralatan
• pengujian darah yang disumbangkan
• edukasi kepada masyarakat
• meningkatkan akses terhadap darah yang aman, dan
• pelatihan tenaga kesehatan.