Pentingnya Wajib Belajar 12 Tahun
Pentingnya Wajib Belajar 12 Tahun
Saya dan mungkin seluruh pembaca setuju dengan hadirnya program rintisan wajib
belajar 12 tahun atau yang dikenal dengan program pendidikan umum universal (PMU).
Sekalipun itu masih rintisan, harapannya dapat menjadi jembatan dalam mewujudkan Indonesia
Cerdas, di mana seluruh warga negaranya minimal berpendidikan sampai tingkat SMA/sederajat
secara merata dan bermutu.
Oleh karena itu, pendidikan jangan sampai sekedar menjadi salah satu menu politik
dalam kampanye yang selalu abai dalam realitasnya. Kesempatan mengenyam pendidikan harus
benar-benar terwujud bagi seluruh anak negeri ini, tanpa terkecuali mereka yang berada di
daerah 3T (tertinggal, terpencil, terluar). Mereka semua harus bisa menatap masa depannya
dengan bekal pendidikan yang cukup agar kelak memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai
bangsa yang bermartabat dan berdaya saing.
Dengan pendidikan akan banyak memberikan manfaat dalam kehidupan, bukan saja
keuntungan mareriil, tetapi lebih dari itu menjadi sumbangan besar dalam membangun sekaligus
meningkatkan kapabilitas seseorang. Dengan demikian, tidak salah jika kontribusi pendidikan
untuk menyiapkan generasi tidak cukup dipahami hanya dari sekedar sumbangannya terhadap
peningkatan pengetahuan dan keterampilan teknis seperti diasumsikan oleh teori human
capital. Melainkan juga dapat dilihat dalam cakupan yang lebih luas lagi, yakni sumbangannnya
dalam membangun human capability.
Harapan yang implementasinya tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi
banyak tantangan terbentang cukup kompleks bahkan kadang akut, diantaranya pertama dari sisi
kebijakan (political will) pusat dan daerah yang kadang belum sinergis dengan menjadikan
pendidikan pendidikan sebagai skala prioritas sehingga tidak sedikit daerah yang belum
memenuhi amanat konstitusi yakni menganggarkan 20% dari APBD-nya untuk bidang
pendidikan di luar penggajian. Ditambah lagi jika tidak ditunjang dengan kemampuan birokrat
pendidikan dalam memberikan terobosan peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan di
daerahnya.
Seandainya daerah yang kepala daerahnya tinggi kemampuan politiknya pada
pendidikan, bukan tidak mungkin pendidikan pun akan berkembang. Contohnya, Kabupaten
Jembarang di Provinsi Bali, daerah yang tidak dikategorikan kaya, tetapi tingkat pendidikan
masyarakatnya sangat tinggi, bahkan program wajar diknas 9 tahun pun telah tuntas sebelum
lahir Undang-Undang Sisdiknas (UU No. 20/2003).
Kedua, kemampuan manajerial birokrat pendidikan. Anggaran yang cukup tidak
menjamin program terlaksana dengan tuntas. Contoh Kabupaten Kutai Kartanegara dan
Bengkalis sebagai daerah yang terkenal kaya raya, tetapi perkembangan indeks pembangunan
manusianya tidak lebih baik dari Jembrana. Atau daerah lainnya yang dianggap efektif dan
inovatif program pengembangan pendidikannya.
Ketiga kultur masyarakat yang kadang lebih senang memilih mempekerjakan anak-anak
usia sekolahnya dibandingkan dengan menyekolahkannya atau memililh menikahkan di usia
dini. Keempat, faktor geografis yakni daerah terpencil dan belum terjangkau oleh sarana
pendidikan ditambah dengan transportasi yang belum memadai.
Sederet tantangan itu harus bisa ditaklukan dan jangan dianggap sebaga hambatan.
Semoga dengan dukungan seluruh pemangku kepentingan pendidikan di negeri ini yang diiringi
kesiapan pada ranah kebijakan, anggaran, pelaksanaan, moitoring ataupun kemauan masyarakat
itu sendiri, Insya Allah program wajib belajar 12 tahun secara gratis dapat dilaksanakan dengan
tuntas, merata dan bermutu.