Anda di halaman 1dari 18

A.

Pengertian Pragmatisme

Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan
dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.2 Aliran
ini bersedia menerima segala sesutau, asal saja hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-
pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan
asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme
adalah “manfaat bagi hidup praktis”.
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini biasanya dalam
pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah
rancangan itu kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme
yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu
ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau
peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti
berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.
Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari
gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu,
(1) menolak segala intelektualisme, dan (2) absolutisme, serta (3) meremehkan logika formal.
B.Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme
Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey.
1.William James (1842-1910 M)
William James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah orang
yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya, keluarganya memang dibekali
dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam
kehidupan serta mengembangkannya. Ayah James rajin mempelajari manusia dan agama. Pokoknya,
kehidupan James penuh dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif untyuk menjawab
berbagai masalah yang berkenaan dengan kehidupan.3
Karya-karyanya antara lain, Tha Principles of Psychology (1890), Thee Will to Believe (1897), The
Varietes of Religious Experience (1902) dan Pragmatism (1907). Di dalam bukunya The Meaning of
Truth, Arti Kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku
umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab
pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam pengembangan itu
senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh
pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran-
kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman
khusus yang setiap kali dapat diubah oleh poengalaman berikutnya.
Nilai pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya
tergantung keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu
benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup serta kemungkinan-kemungkinan
hidup.
Di dalam bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman
keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan
perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran dengan cara yang
berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih
tinggi tetapi hanya sebuah kemungkinan saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu
secara mutlak. Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang lebih tinggi
merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu memberikan kepercayaan
penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damain keamanan dan kasih kepada
sesama dan lain-lain.4
James membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang mempraktekkannya
dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang Amerika sekarang. Dengan kata lain, orang yang
paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang adalah William James dan John
Dewey. Apa yang paling merusak dari filsafat mereka itu? Satu saja yang kita sebut: Pandangan
bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini
berakibat subyektivisme, individualisme, dan dua ini saja sudah cukup untuk mengguncangkan
kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri.5
2.John Dewey (1859-1952 M)
Sekalipun Dewey bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang
menampakkan persamaan dengan gagasan James. Dewey adalah seorang yang pragmatis.
Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau
mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi.
Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan
pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis
yang kurang praktis, tidak ada faedahnya.
Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Pengalaman adalah salah
satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada pengalaman
dan mengolahnya secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-
norma dan nilai-nilai.
Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-
konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-
macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu dengan cara utama
menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi dala penemuan-penemuan yang berdasarkan
pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat
dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan
instrumentalisme. Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata
dalam waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari
kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita.
Pandangan ini dianut oleh William James.6
C.Kritik-kritik terhadap Pragmatisme
Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran :
1.Kritik dari segi landasan ideologi Pragmatisme
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan
(sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan pragmatisme, yang
merupakan perkembangan lebih lanjut dari empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis,
Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi
pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua
pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu
tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua
kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam
semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu
peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah
Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al
Khaliq ini.
Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat dicapai suatu
kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari
kehidupan.
2.Kritik dari segi metode pemikiran
Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiyah, yang
dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains
dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Ini adalah suatu kekeliruan.
3.Kritik terhadap Pragmatisme itu sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang
dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi.
Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya.
Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran
sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar yang
dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan
praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu
sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung
implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia .
Kedua, pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah
aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan
manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi
instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat
menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas
intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, pragmatisme
telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif .
Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan
subjek penilai ide –baik individu, kelompok, dan masyarakat– dan perubahan konteks waktu dan
tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan –menurut
Pragmatisme itu sendiri– setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu
dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, pragmatisme berarti telah
menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
Sejarah Lahirnya Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya
berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat
mengetahui apa yang manusia alami. Pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah Charles
Sandre Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859-1952).
Keiga filosof tersebut berbeda, baik dalam metodologi maupun dalam kesimpulannya.
Pragmatisme Pierce dilandasi oleh fisika dan matematika, filsafat Dewey dilandasi oleh
sains-sains sosial dan biologi, sedangkan pragmatisme James adalah personal, psikilogis, dan
bahkan mungkin religius.
Istilah pragmatisme berasal dari perkataan “pragma” artinya praktik atau aku
berbuat. Maksudnya bahwa makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa
yang dapat dilakukan.
Istilah lainnya yang dapat diberikan pada filsafat pragmatisme adalah instrumentalisme
dan eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme, karena alirannya ini menganggap bahwa
potensi intelegensi manusia sebagai kekuatan utama manusia harus dianggap sebagai alat
(instrumen) untuk menghadapi semua tantangan dan masalah dalam pendidikan. Intelegensi
bukanlah tujuan, melainkan alat untuk hidup, unuk kesejahteraan, untuk mengembangkan
kepribadian manusia. Selain itu instrumentalisme menganggap bahwa dalam hidup ini tidak
dikenal tujuan akhir, melainkan hanya tujuan antara dan sementara yang merupakan alat
untuk mencapai tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tujuan akhir.
Kalau suatu kegiatan telah mencapai tujuan, maka tujuan tersebut dapat dijadikan alat untuk
mencapai tujuan berikutnya.
Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen dan
berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya. Eksperimentalisme
menyadari dan mempraktekkan bahwa asas eksperimen (percobaan ilmiah) merupakan alat
utama untuk menguji kebenaran suatu teori. Percobaan-percobaan tersebut akan
membuktikan apakah suatu ide, teori, pandangan, benar atau tidak. Denganpercobaan itulah
subyek memiliki pengalaman nyata untuk mengerti suatu teori, suatu ilmu pengetahuan.

B. Konsep Dasar Filsafat Pragmatisme


Konsep dasar filsafat pragmatisme di antaranya :
1. Realitas
Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama
terhadap realitas. Perubahan merupakan esensi realitas, dan manusia harus siap mengubah
cara-cara yang akan dikerjakannya. Menurut Dewey, manusia secara langsung mencari dan
menghadapi suatu realita disini dan sekarang sebagai lingkungan hidup.
Hakekat realita adalah perubahan yang terjadi secara terus-menerus dalam kehidupan di jagat
raya ini. Teori ini didasari pandangan yang disebut “panta rei”, artinya mengalir secara terus-
menerus. Bagi pragmatisme tidak dikenal istilah metafisika, karena mereka tidak pernah
memikirkan hakikat dibalik realitas yang dialami dan diamati oleh pancaindera manusia.
Pengalaman manusia tentang penderittaan, kesedihan, kegembiraan, keindahan, kekacauan,
kebodohan, kegagalan hidup dan sebagainya merupakan realita yang dihadapi manusia
sampai ia mati. Pengalaman merupakan suatu perjuangan, karena hidup sebenarnya adalah
perubahan-perubahan itu sendiri.
Menurut Noor Syam (1984), pengalaman itu dinamis, temporal, spasial, dan pluralistis.
a. Pengalaman itu dinamis
Hidup itu selalu dinamis, menuntut penyesuaian secara terus-menerus dalam semua aspek
kehidupan. Realita tersebut menuntut tindakan-tindakan dinamis yang bersifat alternattif-
alternatif.
b. Pengalaman ittu temporal
Seperti alam, kebudayaan pun mengalami perkembangan, mengalami perubahan dari waktu
ke waktu. Pemgalaman berawal, berlangsung dalam waktu, dan berakhir pula dalam waktu.
c. Pengalaman itu spasial
Pengalaman terjadi ditempat tertentu lingkungan kehidupan manusia.
d. Pengalaman itu pluralistis
Pengalaman itu terjadi seluas adanya antar hubungan dan antar aksi manusia dimana individu
itu terlibat. Subyek yang mengalami pengalaman menangkap dengan seluruh kepribadiannya,
dengan rasa, karsa, kikir, dan pancainderanya. Sehingga pengalaman itu bersifat pluralistik.
Tema pokok filsafat pragmaisme adalah :
a. Esensi realitas adalah perubahan.
b. Hakikat sosial dan biologis manusia yang esensial.
c. Relativitas nilai.
d. Penggunaan intelegensi secara kritis.
Watak pragmatisme adalah humanistis dan menyetujui suatu dalil “manusia adalah
ukuran segala-galanya” (man is the measure of all things). Tujuan dan alat pendidikan harus
fleksibel dan terbuka untuk perbaikan secara terus-menerus. Tujuan dan cara untuk mencapai
tujuan pendidikan harus rasional dan ilmiah.
2. Pengetahuan
Pragmatisme yakin bahwa akal manusia aktif dan selalu ingin meneliti. Pengetahuan
sebagai transaksi antara manusia dengan lingkungannya, dan kebenaran merupakan bagian
dari pengetahuan. Inti dari pengalaman adalah berupa masalah-masalah yang dihadapi oleh
individu atau sekelompok individu. Pengalaman pada dasarnya selalu berubah, maka unuk
memecahkan masalah tersebut adalah dengan pengetahuan-pengetahuan atau hipotesis-
hipotesis. Pragmatisme mengajarkan bahwa tujuan semua berpikir adalah kemajuan hidup.
Nilai pengetahuan manusia harus dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis.
Teori kebenaran merupakan alat yang kita pergunakan untuk memecahkan masalah
dalam pengalaman kita. Oleh karena itu, pengetahuan harus dinilai menurut dalam pengertian
mengenai keberhasilannya menjalankan fungsinya.
Menurut John Dewey,yang dikemukakan oleh Waini rasyidin (1992 : 144), dalam
menerapkan konsep pragmatisme secara eksperimental dalm memecahkan masalah
hendaknya melalui lima tahapan yaitu :

a. Indeterminate situasion
b. Diagnosis
c. Hypotesis
d. Hypotesis testing
e. Evaluasion
Pengalaman manusia berbentuk aktifitas untuk memperolah pengetahuan. Menurut
Dewey, tugas filsafat adalah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam
kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran
metafisik yang tidak ada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman, dan meneliti
serta mengolah pengalaman secara kritikal.

3. Nilai
Pragmatisme mngemukakan pandangan tentang nilai, bahwa nilai itu relatif.
Pragmatisme menyarankan untuk menguji kualitas nilai dengan cara yang sama seperti kita
menguji kebenaran pengetahuan. Kita harus mempertimbangkan perbuatan manusia dengan
tidak tidak memihak, dansecara ilmiah memiliki nilai-nilai yang tampaknya memungkinkan
untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia.nilai-nilai itu tidak akan
dipaksakan dan akan disetujui setelah diadakan diskusi secara terbuka.nilai lahir dari
keinginan, dorongan, dan perasaan serta kebiasaan manusia, sesuai dengan watak sebagai
kesatuan antara faktor biologis dan sosial dalam diri dan kepribadiannya. Nilai merupakan
suatu realitas dalam kehidupan, yang dapat dimengerti sebagai suatu wujud dalam perilaku
manusia, sebagai suatu pengetahuan dan sebagai suatu ide.

C. Implikasi Filsafat Pendidikan Pragmatisme


a. Konsep pendidikan
Filsafat Pragmatisme telah memberikan suatu sumbangan yang sangat besar terhadap
teori pendidikan. John dewey merupakan okoh pragmatisme yang membahas pendidikan dan
secara sistematis menyusun teori pendidikan yang didasarkan atas filsafat pragmatisme.
Menurut Dewey, terdapat dua teori pendidikan yang saling bertentangan. Kedua teori
tersebut adalah paham konservatif dan “unfolding theory” (teori pemerkahan). Menurut teori
konservatif, pendidikan adalah suatu pembentukan terhadap pribadi anak tanpa
memperhatikan potensi yang ada pada anak. Jelasnya pendidikan merupakan proses
pembentukan jiwa dari luar, dimana siswa tinggal menerima pelajaran saja, materinya sudah
ditentukan pendidik.
Sedangakan “unfolding theory” berpandangan bahwa anak akan berkembang dengan
sendirinya, karena kekuatan laten yang dimilikinya. Menurut pragmatisme, pendidikan
bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar, tetapi merupakan suatu proses
reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu dapat dikatakan baik
anak maupun dewasa selalu belajar dari pengalaman.
Selanjutnya John Dewey mengemukakan perlunya atau pentingnya pendidikan
berdasarkan atas tiga pokok pemikiran, yaitu ;
1). Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup,
2). Pendidikan sebagai pertumbuhan, dan
3). Pendidikan sebagai fungsi sosial.
1). Pendidikan merupakan kebutuhan hidup
Karena adanya anggapan baahwa pendidikan selain sebagai alat, juga berfungsi
sebagai pembaharuan hidup, “a renewal of life”. Hidup itu selalu berubah, selalu menuju
pada pembaharuan.hidup merupakan keseluruhan tingkatan pengalaman individu dengan
kelompok.
Untuk kelangsungan hidup diperlikan usaha untuk mendidik anggota masyarakat,
mereka akan berusaha memenuhi kebutuhan sebagai minat pribadi (personal interest). Bahwa
pembaharuan hidup tidak otomatis, melainkan banyak tergantung pada teknologi, seni, ilmu
pengetahuan, dan perwujudan moral kemanusiaan. Untuk itulah semuanya membutuhkan
pendidikan.
2). Pendidikan sebagai pertumbuhan
Menurut Dewey, pertumbuhan merupakan perubahan yang
berlangsung terus untuk mencapai suatu hasil selanjutnya.
Pertumbuhan itu terjadi karena kebelummatangan. Disitu anak
memiliki kapasitas pertumbuhan potensi, yaitu kapasitas yang dapat tumbuh menjadi sesuatu
yang berlainan, karena pengaruh yang datang dari luar. Ciri dari kebelummatangan adalah
adanya ketergantungan dan plastisitas anak. Kalau diterapkan pada pendidikan, bahwa
kekuatan untuk tumbuh tergantung pada kebutuhan atau ketergantungan terhadap orang lain
dan plastisitas yang dimiliki anak.
Yang dimaksud plastisitas adalah kemampuan belajar dari pengalaman, yang merupakan
pembentukan kebiasaan. Kebiasaan yang mengambil “habituation” , yaitu keseimbangan dan
kebutuhan yang ada pada aktivitas dengan lingkungan dan kapasitas yang aktif untuk
mengadakan penyesuaian kembali.
3). Pendidikan sebagai fungsi sosial
Menurut Dewey, kelangsungan hidup terjadi karena self renewal. Kelangsungan ini terjadi
karena pertumbuhan , karena pendidikan yang diberikan pada anak-anak dan pemuda di
masyarakat. Dalam hal ini, lingkungan merupakan syarat bagi pertumbuhan, dan fungsi
pendidikan merupakan “a process of leading and bringing up”, pendidikan merupakan suatu
cara yang ditempuh masyarakat dalam membimbing`anak yang masih belum matang menurut
bentuk susunan sosial sendiri.
Sekolah merupakan alat transisi, merupakan suatu lingkungan khusus yang memiliki tiga
fungsi, yaitu :
Yang pertama, menyederhanakan dan menerbitkan faktor-faktor bawaan yang dibutuhkan
untuk berkembang.
Kedua, memurnikan dan mengidealkan kebiasaan masyarakat yang ada
Ketiga, menciptakan lingkungan yang lebih luas, dan lebih baik daripada yang diciptakan
anak tersebut dan menjadi milik mereka untuk dikembangkan.

b. Tujuan Pendidikan
Objektivitas tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat dimana anak hidup,
diman pendidikan berlangsung, karena pendidikan berlangsunnng dalam kehidupan. Menurut
pragmatisme, tujuan pendidikan tidak dapat ditetapkan pada semua masyarakat, kecuali
apabila terdapat hubungan timbal balik antara masing-masing individu antara masyarakat
tersebut.
Jadi, tujuan pendidikan harus dihasilkan dari situasi kehidupan di sekeliling anak dan
pendidik. Tujuan pendidikan menurut pragmatisme , bersifat temporer, karena tujuan itu
merupakan alat untuk bertindak.
Beberapa karakteristik tujuan pendidikan yang harus diperhatikan :
- Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan
intrinsik anak didik.
- Tujuan pendidikan harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan
aktivitas pengajaran.
- Tujuan pendidikan adlah spesifik dan langsung. Pendidikan harus tetap terjaga untuk tidak
mengatakan yang berkaitan dangan tujuan umum dan tuuan akhir.
Tujuan pendidikan adalah kehidupan yang baik, yang dapat dimiliki oleh individu maupun
masyarakat. Kehidupan yang baik merupakan pertumbuhan yang maksimu, yang dapat
diukur oleh yang memiliki intelegensi yang baik. Perbuatan yang cerdas merupakan jaminan
terbaik untuk melangsungkan pertumbuhan.
c. Proses Pendidikan
Menurut filsafat pragmatisme, pelajaran harus didasarkan atas fakta-fakta yang sudah
diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya. Bahan pelajaran terdiri atas seperangkat
tindakan untuk memberi isi kepada kehidupan sosial yang ada pada waktu itu. Dewey tidak
setuju pad bahan pelajaran yang telah disampaikan terlebih dahulu. Karena realitas dihasilkan
dari interaksi manusia dengan lingkungannya, maka anak harus mempelajari dunia seperi
dunia mempengaruhinya, dimana ia hidup. Sekolah tidak dipisahkan dari kehidupan, seperti
dikemukakan Bode : sekolah merupakan cara khusus untuk mengatur lingkungan,
direncanakan, dan diorganisasikan.dengan sekolah kita dapat menolong anak yang dalam
menciptakan kehidupan yang baik. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri bukan persiapan
untuk suatu kehidupan.
Pragmatisme meyakini bahwa pikiran anak itu aktif dan kreatif, tidak secara pasif saja
menerima apa yang diberikan gurunya. Pengetahuan dihasilkan dengan transaksi antara
manusia dengan lingkungannya, dan kebenaran adalah termasuk pengetahuan. Dalam situasi
belajar, guru menyusun situasi-situasi belajar mengenai masalah utama yang dihadapi. Dalam
menentukan kurikulum, setiap pelajaran tidak boleh terpisa, haruus merupakan satu kesatuan.
Caranya adalah mengambil suatu masalah menjadi pusat segala kegiatan.
Metode yang sebaiknya digunakan dalam pendidikan adalh metede disiplin bukan dengan
kekuasaan. Dengan cara demikian tidak mungkin anak akan mempunyai perhatian yang
spontan atau minat langsung terhadap bahan pelajaran.
Disiplin merupakan kemauan dan minat yang keluar dari dalam diri anak sendiri. Anak akan
belajar apabila ia memiliki minat dan antisipasi terhadap suatu masalah untuk dipelajari.
Anak tidak akan memiliki dorongan untuk belajar matematika seandainya tidak meraskan
suatu masalah dimana ia tidak mengetahuinya. Disiplin muncul dari dalam diri anak, namun
dituntut suatu aktivitas dari anak yang lainnnya. Dalm usaha belajar tersebut dibutuhkan
suatu kerjasama dengan yang lainnya.anak dalam kelas harus merupakan kelompok yang
merasakan bersama terhadap suatu masalah dan bersama-sama memecahkan masalah
tersebut.
Pengertian Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis sendiri
tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu. Sekalipun demikian,
ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-
sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral (Ahmad Syadali:1997:127).
Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan sedikit gambaran tentang eksistensialisme ini,
berikut akan dipaparkan pengertiannya.
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang
berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar
dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya
sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut
dasein (dan artinya di sana, sein artinya berada) (Ahmad Tafsir:1992:191).
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya
dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-
benar seperti arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema
sentral (Fuad Hasan:1974:80). Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di
dalam dunia; ia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi
dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di
antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai
subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut
obyek (Ahmad, Tafsir:1992:192).
Filsafat ini memfokuskan padsa pengalaman-pengalaman individu. Eksistensi adalah
cara manusia ada di dunia ini. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya benda-
benda materi tang lain. Cara beradanya manusia adalah hidup bersama dengan manusia
lainnya, ada kerjasama dan komunikasi serta dengan penuh kesadaran, sedangkan benda-
benda meteri lainnya keberadaannya berdasarkan ketidak sadaran akan dirinya sendiri dan
tidak dapat berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Benda-benda materi, alam fisik,
dunia yang berada diluar manusia tidak akan bermakna dantidak memiliki tujuan apa-apa jika
terpisah dari manusia. Jadi dunia bermakna karena manusia (TIM Pengajar
UNIMED:2011:31).
Dalam pandangan materialisme, baik yang kolot maupun yang modern, manusia itu
pada akhirnya adalah benda seperti hal halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak
mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti halnya kayu dan batu. Akan tetapi,
materialisme mengatakan bahwa pada akhirnya; jadi pada prinsipnya, pada dasarnya,
manusia hanyalah sesuatu yang material, dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut
bentuknya memang manusia lebih unggul daripada sapi, ataupun batu, tetapi pada
eksistensinya manusia adalah sama saja dengan sapi, pohon ataupun batu. Nah disinilah
terjadi pertentangan antara kaum materialisme dan eksistensialisme (Ahmad
Syadali:1997:127).

Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme


Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger
(1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya berasal dari
metoda fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938). Munculnya
eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan Nietzche. Kiergaard Filsafat Jerman
(1813-1855) filsafatnya untuk menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang
individu)”. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan
individualitasnya). Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku)
bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi
dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya adalah untuk
menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul”. Jawabannya manusia
bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan
berani
Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat yang
menamakan dirinya eksistensialisme, yang para tokohnya antara lain Kierkegaard (1813 –
1915), Nietzsche (1811 – 1900) dan Jean Paul Sartre. Inti ajaran ini adalah respek terhadap
individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi mendahului esensi. Kita lahir dan eksis lalu
menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk
dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap
orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan seyogyanya
menekankan refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri.
Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator
untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan membiarkan berbagai bentuk
pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka
kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh,
bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu, kurikulum menjadi
fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti kaya dengan
materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam bentuk
karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa
‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup, cinta dan kematian. Eksistensialisme biasa
dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban
manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham
Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan
filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan
cara wujud manusia sebagai tema sentral (Fuad Hassan:1974:7-8).
Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat
yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi
yang dimiliki dan dihadapinya.Filsafat eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang
mengguncangkan dunia walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan akar-akarnya ternyata tidak
dapat bertahan dari berbagai kritik (Ahmad, Tafsir:1992:190). Filsafat selalu lahir dari suatu
krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok
pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji (Hasan Amin:1966:11). Dengan
demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga filsafat
eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah
ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu :
1. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti
halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama
dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya,
pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan
kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul
ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.

2. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran;
menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh
manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.

3. Situasi dan Kondisi Dunia


Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa
Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak
menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan
manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu
yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang
mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama
di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan
(Ahmad, Tafsir:1992:194).

Beberapa pemikiran Filsafat Eksistensialisme


Ada beberapa pemikiran yang sangat menonjol dikalangan eksistensialisme. Antara
lain:
1. Realitas
Menurut eksistensialitas, ada dua jenis filsafat tradisional yaitu filsafat spekulatif dan
skeptis. Filsafat spekulatif menjelaskan tentang hal-hal yang fundamental tentang
pengalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih dalam yang secara inheren telah ada
dalam diri individu. Filsafat skeptik berpandangan bahwa semua pengalaman manusia adalah
palsu, tidak ada satupun yang dapat kita kenal dari realitas. Mereka berpendapat bahwa
konsep metafisika adalah bersifat sementara.
Paham ekistensialisme bukan hanya satu, melainkan terdiri dari berbagai pandangan
yang berbeda-beda. Namun, pandangan-pandangan tersebut memiliki beberapa persamaan,
sehingga pandangan-pandangan mereka dapat digolongkan filsafat eksistensialisme.
Persamaan-persamaan tersebut antara lain :
 Motif pokok dari filsafat eksistensialisme ialah cara manusia berada, hanya manusialah yang
pereksistensi.
 Bereksistensi harus diartikan secara dinamis, bereksistensi berarti menciptakan dirinya
secara aktif, berbuat, menjadi dan memecahkan.
 Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang eksistensial
(Harun Hadiwijono:1980:14).

2. Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomologi,suatu
pandangan yang mengambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa
sebagaimana banda-benda tersebut menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia.
Pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada
interpretasi manusia terhadap realitas. Pengetahuan yang diberikan disekolah bukanlah
sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan dapat dijadikan alat
perkembangan dan alat pemenuhan diri (Usiono:2006:137).
3. Nilai
pemahaman eksistensi terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam bertindak.
Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita, melainkan suatu potensi untuk suatu tindakan.
Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun untuk menentukan pilhan yang terbaik
itu yang paling sulit. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang kan menerima
akibat dari perbuatannya

4. Pendidikan
Secara relatif, eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia pendidikan, tidak
menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya, penganut eksistensialisme
kebingungan dengan apa yang akan mereka temukan melalui pembangunan pendidikan.
Mereka menilai bahwa tidak ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk
memikat orang lain. Mereka juga menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan memunculkan
bahaya yang nyata, sejak penyiapan murid sebagai konsumen atau menjadikan mereka
penggerak mesin pada teknologi industri dan birokrasi modern. Malahan sebaliknya
pendidikan tidak membantu membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para
eksistensialis mengatakan sebagian besar sekolah melemahkan dan mengganggu atribut-
atribut esensi kemanusiaan.
Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan praktik pendidikan
bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan sosio-ekonomi yang membuat
persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran tertentu. Sekolah menentukan peran untuk
kesuksesan ekonomi seperti memperoleh pekerjaan dengan gaji yang tinggi dan menaiki
tangga menuju ke kalangan ekonomi kelas atas; sekolah juga menentukan tujuan untuk
menjadi warga negara yang baik, juga menentukan apa yang menjadi kesuksesan sosial di
masyarakat. Siswa diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan berperan dengan baik
pula.[1]
Eksistensialitas sebagai filsafat sangat menekankan individualitas, dalam
hubungannya dengan pendidikan sangatt erat sekali, kerena keduanya bersinggungan satu
masalah dengan masalah yang lainnya, yaitu manusia, hidup, hubungan antara manusia,
hakikat kepribadian, dan kebebasan (usiono:2006:139). Pendidikan, proses pembelajaran
harus berlangsung sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik, tidak ada pemaksaan
penguasaan pengetahuanm sikap dan keterampilan, melainkan ditaawarkan. Tuntutlah peserta
didik agar dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Guru hendaknya
memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk memilih dan memberi mereka
pengalaman-pengalaman yang akan membantu menemukan makna dari kehidupan mereka
(TIM Pengajar UNIMED:2011:32).

5. Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu
mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki
kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam
menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan berlaku secara umum.
Kurikulum pada sekolah menurut eksistensialis haruslah terbuka terhadap perubahan
karena ada dinamika dalam konsep kebenaran, penerapan, dan perubahan-perubahannya.
Melalui perspektif tersebut, siswa harus memilih mata pelajaran yang terbaik. Tetapi, hal ini
tidak berarti bahwa mata pelajaran dan pendekatan kurikuler pada filsafat tradisional tidak
diberi tempat.[2]

6. Peranan guru
Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam
mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu,
para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih dan memberi mereka
pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan
mereka. Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga
siswa mampu berfikir relatif dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak
mengarahkan dan tidak memberikan interuksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang
luasa agar betul-betul menghasilkan diskusi yang memuaskan tentang mata pelajaran. Diskusi
adalah salah satu metode utama dalam pandangan eksistensialisme (usiono:2006:141).
ALIRAN PRAGMATISME

Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari bahasa Yunani. Maka
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang
membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat scara praktis.
Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat membawa
kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi
kehidupan.

Tokohnya, William James (1842-1910) lahir New York, yang memperkenalkan ide-idenya tentang
pragmatisme kepada dunia. Ia ahli dibidang seni, psikologi, anatomi, fisiologi, dan filsafat. (Drs.
SMORO ACHMADI, 2003:)

Pemikiran filsafatnya liar, karena dalam sepanjang hidupnya mengalami konflik antara pandangan
ilmu pengetahuan dengan pandangan agama. Ia beranggapan, bahwa masalah kebenaran, tentang
asal / tujuan dan hakikat bagi orang Amerika terlalu teoritis. Yang ia inginkan adalah hasil-hasil yang
konkret. Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari ide atau konsep haruslah diselidiki
konsekuensi-konsekuensi praktisnya.

Kaitannya dengan agama, apabila ide-ide agama dapat memperkaya kehidupan, maka ide-ide
tersebut benar.

B. ALIRAN PENDIDIKAN PROGRESIVISME

PENGERTIAN PROGRESIVISME :
Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di
sekolah berpusat pada anak didik (child-centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan
yang masih berpusat pada guru (teacher-centered) atau bahan pelajaran (subject-centered).

BEBERAPA FAKTOR PENDORONG LAHIRNYA PROGRESIVISME :


1. Semangat radikalisme dan reformasi yang dimulai di sekolah yang dipimpin oleh Francis W.
Parker.
2. Masuknya aliran Froebelianisme, yang menekankan perwujudan diri melalui kegiatan sendiri, dan
penggunaan metode Montessori yang menekankan pada pendidikan diri sendiri.
3. Perluasan studi tentang perkembangan anak secara ilmiah (psikologi perkembangan). (REDJA
MUDYAHARDJO, 2002:)

Tokoh Francis W. Parker (1837-1902) dilahirkan di New Hampshire. Ayahnya meninggal pada waktu
berusia enam tahun. Dua tahun kemudian ia magang di pertanian sambil mengikuti sekolah dasar.
Ketika berusia 13 tahun ia meninggalkan pertanian dan mengikuti pendidikan secara penuh.

Pada usia 16 tahun ia mengajar di sebuah sekolah desa, dan pada usia 20 tahun ia diangkat menjadi
kepala sekolah di Carrolton, Illinois, tempat ia berhenti karena pecah perang sipil dan menjadi
tentara selama beberapa tahun. Setelah perang selesai, ia kembali mengajar di berbagai tempat
hingga 1872.

Ia pergi ke Jerman untuk belajar filsafat dan pendidikan serta mengadakan observasi dari dekat
terhadap sekolah yang didirikan oleh Pestalozzi dan Froebel. Setelah pulang ke Amerika, ia mulai lagi
mengajar dan menjadi inspektur sekolah di Quincy, Massachusstes, 1875. Disini ia memperkenalkan
gagasan-gagasan dan praktek-praktek pendidikannya, yang kemudian dikenal sebagai dasar dari
pendidikan progresif.

Kemudian menjadi Kepala Sekolah Guru Cook Country di Chicago. Sebelum akhir abad 18, ia
diangkat menjadi Kepala Institut Chicago yang didirikan yang didirikan terutama untuk melakukan
eksperimen pendidikan. Institut ini kemudian menjadi bagian Universitas Chicago, tetapi sebelum ia
meyelesaikan tugasnya, ia meninggal dunia 1902.

DASAR FILOSOFIS ALIRAN PROGRESIVISME :


1. Realisme Spiritualistik
Gerakan Pendidikan Progresif bersumber dari prinsip-prinsip spiritualistik dan kreatif dari Froebel
dan Montessori serta ilmu baru tentang perkembangan anak.
2. Humanisme Baru
Paham ini menekankan pada penghargaan terhadap martabat dan harkat manusia sebagai individu.
Dwengan demikian orientasinya individualistik.

TEORI PENDIDIKAN PROGRESIVISME :


a. Tujuan Pendidikan
Ia menyatakan bahwa tujuan keseluruhan pendidikan adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja,
bekerja secara sistematis, mencintai kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai
tujuan tersebut, pendidikan harusnya merupakan pengembangan sepenuhnya bakat dan minat
setiap anak.

b. Kurikulum
Kurikulum pendidikan progresf adalah kurikulum yang berisi pengalaman-pengalaman atau kegiatan-
kegiatan belajar yang diminati oleh setiap siswa (experience curriculum). Contoh kurikulum
pendidikan progresif dari Lewster Dix adalah berisi tentang :
- Studi tentang dirinya sendiri
- Studi tentang lingkungan sosial dan alam
- Studi tentang seni

c. Metode Pendidikan
Ada beberapa metode yang diperguanakan dalam pendidikan progresif :
1. Metode Belajar Aktif
Metode ini lebih berupa penyediaan lingkungan dan fasiltas yang memungkinkan berlangsungnya
proses belajar secara bebas pada setiap anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
2. Metode Memonitor Kegiatan Belajar
Mengikuti proses kegiatan-kegiatan anak belajar sendiri, sambil memberikan bantuan-bantuan
tertentu apabila diperlukan yang sifatnya memperlancar proses berlangsungnya kegiatan-kegiatan
belajar tersebut. Bantuan-bantuan yang diberikan sebagai campur tangan dari luar diusahakan
sesedikit mungkin.
3. Metode Penelitian Ilmiah
Progresif merintis digunakannya motode penelitian ilmiah yang tertuju pada penyusunan konsep,
sedangkan metode pemecahan masalah lebih tertuju pada pemecahan masalah-masalah kritis.
4. Pemerintahan Belajar
Progresif memperkenalkan pemerintahan pelajar dalam kehidupan sekolah (student government)
dalam rangka demokratisasi dalam kehidupan sekolah, sehingga pelajar diberikan kesempatan untuk
turut serta dalam penyelenggaraan kehidupan di sekolah.
5. Kerjasama Sekolah dengan Keluarga
Pendidikan Progresif mengupayakan adanya kerjasama antara sekolah dengan keluarga dalam
rangka menciptakan kesempatan seluas-luasnya untuk dapat ter-ekspresi-kan secara alamiah semua
minat dan kegiatan yang diperlukan anak. Upaya ini mendorong didirikannya sebuah organisasi guru
dan orangtua murid, yang dipelopori F.W. Parker di Chicago. Organisasi ini berfungsi sebagai forum
komunikasi dan kerjasama dalam upaya pembaharuan pendidikan di sekolah.
6. Sekolah sebagai Laboratorium Pembaharuan Pendidikan
Pendidikan progresif menganjurkan peranan baru sekolah, tidak lagi hanya tempat anak belajar,
tetapi berperanan pula sebagai laboratorium pengembangan gagasan baru pendidikan. Hal ini baru
dilaksanakan oleh J. Dewey.
(REDJA MUDYAHARDJO, 2002:)

d. Pelajar
1. Pendidikan berpusat pada anak
Pendidkan progresivisme menganut prinsip pendidikan berpusat pada anak. Anak merupakan pusat
dari keseluruhan kegiatan-kegiatan pendidikan. Manurut Parker, mengajar yang bermutu berarti
aktivitas siswa, pengembangan keproibadian siswa, studi ilmiah tentang pendidikan, dan latihan
guru sebagai seniman pendidikan.
2. Tiap anak adalah unik
Pendidikan progresivisme sangat memuliakan harkat dan artabat anak dalam pendidikan. Anak
bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini, anak adalah anak yang sangta berbeda dengan orang
dewas. Setiap anak (menurut Parker), mempunyai individualitas sendiri, anak mempunyai alur
pemikiran sendiri, mempunyai keinginan sendiri, mempunyai harapan dan kecemasan sendiri, yang
berbeda dengan orang dewasa. Dengan demikian anakn harus diperlakukan berbeda dengan orang
dewasa.

e. Pengajar
1. Guru dalam melakukan tugasnya dalam praktek pendidikan berpusat pada anak mempunyai
peranan sebagai :
a. Fasilitator,
b. Motivator,
c. Konselor
2. Guru perlu mempunyai pemahaman yang baiktentang karakterisatik siswa, dan teknik-teknik
memimpin perkembangan siswa, serta kecintaan kepada anak, agar dapat melaksanakan peranan-
peranan dengan baik.
PERKEMBANGAN PROGRESIVISME
Atas bantuan Ny. Emmons Blaine akhirnya terbentuklah Sekolah Pendidikan (School of Education) di
lingkungan Universitas Chicago, dibawah pimpinan Parker pada tahun 1901. Untuk menghormati
jasa-jasanya, didirikan Sekolah Dasar Progresif di Chicago, dengan nama Sekolah Francis W. Parker,
dengan kepala sekolah Flora Cook, salah seorang pembantu dekatnya, pada tahun 1901, atas
bantuan Ny. Baline juga. Selain itu, banyak pula bersiri sekolah progresif lain.
Semenjak tahun 1930, sekolah-sekolah progresif sudah tersebar ke seluruh Amerika Serikat.
Sekolah-sekolah tesebut hampir semuanya swasta, dan hampir semuanya berorientasi pada anak,
tetapi tidak ada yang betul-betul merupakan sekolah Instrumental. Baru pada tahun 1896 John
Dewey mendirikan Laboratory School.
Progresivisme mendapat kritik dari berbagai pihak antara lain :
1. John Dewey mengatakan :
- Progresivisme terlampau menekankan pada pendidikan individu, sebagaimana dikemukakan pula
oleh Dr. Bode dan Counts.
- Kelas sekolah progresif artifisial / dibuat-buat dan tidak wajar.
- Progresivisme bergantung pada minat sewaktu dan spontan.
- Siswa merencanakan sesuatu sendiri dan mereka tidak bertanggung jawab terhadap hasil dari
tugas-tugas yang dikerjakan.
2. George S. Counts dkk menghendaki agar sekolah berperanan mengambil bagian dalam
membangun masyarakat Amerika.
3. Kalangan Gereja Katolik di Amerika Serikat, membentuk gerakan pendidikan yang disebut aliran
”Perennialisme” yang dipelopori Robert M. Hutchin, kemudian ada pula kalangan yang menghendaki
pendidikan kembali pada kebudayaan lama yang menjadi inti peradaban manusia, mereka
membentuk aliran ”Essensialime” yang dipelopori William C. Bagley.
4. Kaum Eksistensialisme menghendaki agar sekolah menjadi sebuah forum yang melibatkan dialog
antara siswa dan guru, yang dipelopori A.S. Neil.
(REDJA MUDYAHARDJO, 2002:)

Anda mungkin juga menyukai