Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatin yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Cincin waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat dalam rongga
mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatin (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil
pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring/ gerlach’s tonsil).1
Tonsillitis disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke
dalam tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil palatin berfungsi sebagai filter/penyaring
menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut dengan sel-sel darah putih. Hal ini akan
memicu sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan
datang. Tetapi bila tonsil palatin sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus
tersebut maka akan timbul tonsillitis. Dalam beberapa kasus ditemukan 3 macam tonsillitis,
yaitu tonsilitis akut, tonsilitis membranosa, dan tonsilitis kronis.2,3
Tonsillitis akut dapat terjadi pada usia berapapun tetapi paling sering pada anak usia
di bawah 9 tahun. Pada bayi di bawah usia 3 tahun dengan tonsillitis akut, 15 % dari kasus
yang ditemukan disebabkan oleh bakteri streptokokus, selebihnya virus. Pada anak-anak
diatas 9 tahun, 50% dari kasus disebabkan streptococcus pyogenes. Tonsilitis dapat terjadi
pada laki-laki dan perempuan dengan jumlah insiden yang sama rata.4,5
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh 657
data penderita Tonsilitis Kronis dan didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%).
Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203 penderita
Tonsilitis Kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis kelamin
wanita. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT pada 7 provinsi di Indonesia pada
tahun 1994-1996, prevalensi kejadian tonsilitis kronik adalah yang tertinggi setelah
nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebanyak 3,8%.6
Penatalaksanaan tonsilitis sendiri adalah dengan antibiotik ataupun dengan
tonsilektomi. Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
palatina.4

BAB II

1
STATUS PASIEN

I. Identifikasi
Nama : M. Daffa Dinho
TTL/Umur : Palembang, 02 Juli 2011 / 6 tahun 8 bulan
Status : Belum menikah
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Belum bekerja
Alamat : Jl. Suka Bangun 11 LR. Kedu No. 2462 A Kel. Sukarami

II. Anamnesis
Keluhan Utama : Sulit menelan sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat Perjalanan Penyakit :
± 3 tahun yang lalu, pasien mengalami sakit ditenggorokan dan kesulitan saat
menelan. Keadaan ini terjadi hilang timbul dan diikuti dengan batuk (+) pilek (+) demam
(+). Pasien lalu berobat ke dokter Sp.A dan diberikan obat namun lupa nama obat
tersebut. Pasien juga mengeluh perasaan tidak enak ditenggorokan, rasa mengganjal, dan
bau mulut serta kemerahan pada amandelnya yang muncul ± 5-6 kali dalam setahun.
Gejala tersebut muncul apabila pasien banyak beraktifitas, mengalami kelelahan fisik, dan
banyak meminum es.
± 1 minggu yang lalu, pasien mengaku kesulitan menelan lebih mengganggu, demam
(+), batuk (+), pilek (+). Pasien tidak mendengkur saat tidur, dan tidur cukup. Pasien
berobat ke poli THT RSMH Palembang dan dianjurkan untuk operasi.
Riwayat Penyakit Sebelumnya:
 Alergi tidak ada
 Asma tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga:
 Alergi tidak ada
 Asma tidak ada
Riwayat Kebiasaan :
Pasien sering mengkonsumsi gorengan dan minum es.

III.Pemeriksaan Fisik

2
a. Status Generalikus
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 98 kali/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 24 kali/menit
Suhu : 36,6o C
BB : 18,5 kg
TB : 109 cm
Status Gizi : Normoweight
Pemeriksaan Khusus
Kepala : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Leher : Pembesaran KGB (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris kanan dan kiri
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, krepitasi (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Lemas
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<3”, deformitas(-)

b. Status Lokalis
Telinga
I. Telinga Luar Kanan Kiri
Regio Retroaurikula
Tidak ada Tidak ada
-Abses
Tidak ada Tidak ada
-Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
-Pembengkakan
Tidak ada Tidak ada

3
-Fistula
-Jaringan granulasi
Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Regio Preaurikula
Tidak ada Tidak ada
-Abses Tidak ada Tidak ada
-Sikatrik
-Pembengkakan Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
-Fistula
Tidak ada Tidak ada
-Jaringan granulasi

Regio Zigomatikus
-Kista Brankial Klep
-Fistula
-Lobulus Aksesorius
Aurikula
Tidak ada
-Mikrotia Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-Efusi perikondrium Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-Keloid Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-Nyeri tarik aurikula
-Nyeri tekan tragus
Lapang
Tidak ada
Tidak ada Lapang
Meatus Akustikus Eksternus
Tidak ada
Tidak ada
-Lapang/sempit Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-Oedema Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-Hiperemis Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-Pembengkakan Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-Erosi Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-Krusta Tidak ada
Ada
Tidak ada
-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus) Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
-Perdarahan Ada
Tidak ada
Tidak ada
-Bekuan darah
Tidak ada
-Cerumen plug Tidak ada
-Epithelial plug
-Jaringan granulasi

4
-Debris
-Banda asing
-Sagging
-Exostosis

II.Membran Timpani
-Warna (putih/suram/hiperemis/hematoma) Putih Putih
-Bentuk (oval/bulat) Bulat Bulat
-Pembuluh darah Tidak tampak Tidak tampak
-Refleks cahaya (+) arah jam 5 (+) arah jam 7
-Retraksi Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
-Bulging
Tidak ada Tidak ada
-Bulla Tidak ada Tidak ada
Tidak ada
-Ruptur Tidak ada
-Perforasi (sentral/perifer/marginal/attic)
Tidak ada
(kecil/besar/ subtotal/ total) Tidak ada
Tidak ada
-Pulsasi Tidak ada
Tidak ada
-Sekret (serous/seromukus/ mukopus/ pus) Tidak ada
Tidak ada
-Kolesteatoma Tidak ada
Tidak ada
-Polip Tidak ada
-Jaringan granulasi

Gambar Membran Timpani

III. Tes Khusus Kanan Kiri


1.Tes Garpu Tala Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Rinne
Tes Weber
Tes Scwabach

5
2.Tes Audiometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan

3.Tes Fungsi Tuba Kanan Kiri


-Tes Valsava Tidak dilakukan Tidak dilakukan
-Tes Toynbee Tidak dilakukan Tidak dilakukan

4.Tes Kalori Kanan Kiri


-Tes Kobrak Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Hidung
I.Tes Fungsi Hidung Kanan Kiri
-Tes aliran udara Normal Normal
-Tes penciuman
Teh Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kopi
Tembakau

II.Hidung Luar Kanan Kiri


-Dorsum nasi Normal Normal
-Akar hidung Normal Normal
-Puncak Hidung Norrnal Normal
-Sisi hidung Normal Normal
-Ala nasi Normal Normal
-Deformitas Tidak ada Tidak ada
-Hematoma Tidak ada Tidak ada
-Pembengkakan Tidak ada Tidak ada
-Krepitasi Tidak ada Tidak ada
-Hiperemis Tidak ada Tidak ada
-Erosi kulit Tidak ada Tidak ada
-Vulnus Tidak ada Tidak ada
-Ulkus Tidak ada Tidak ada
-Tumor Tidak ada Tidak ada
-Duktus nasolakrimalis (tersumbat/tidak tersumbat) Tidak tersumbat Tidak tersumbat

III.Hidung Dalam Kanan Kiri


1. Rinoskopi Anterior
a.Vestibulum nasi

6
-Sikatrik Tidak ada Tidak ada
-Stenosis Tidak ada Tidak ada
-Atresia Tidak ada Tidak ada
-Furunkel Tidak ada Tidak ada
-Krusta Tidak ada Tidak ada
-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus) Tidak ada Tidak ada
b.Kolumela
-Utuh/tidak utuh Utuh
-Sikatrik Tidak ada
-Ulkus Tidak ada
c. Kavum nasi
-Luasnya (lapang/cukup/sempit) Lapang Lapang
-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus) Tidak ada Tidak ada
-Krusta Tidak ada Tidak ada
-Bekuan darah Tidak ada Tidak ada
-Perdarahan Tidak ada Tidak ada
-Benda asing Tidak ada Tidak ada
-Rinolit Tidak ada Tidak ada
-Polip Tidak ada Tidak ada
-Tumor Tidak ada Tidak ada
d. Konka Inferior
-Mukosa (erutofi/ hipertrofi/atrofi) Eutrofi Eutrofi
(basah/kering) Basah Basah
(licin/tak licin) Licin Licin
-Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide) Merah muda Merah muda
-Tumor Tidak ada Tidak ada

e. Konka media
-Mukosa (erutofi/ hipertrofi/atrofi) Eutrofi Eutrofi
(basah/kering) Basah Basah
(licin/tak licin) Licin Licin
-Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide) Merah muda Merah muda
-Tumor Tidak ada Tidak ada

f.Konka superior

7
-Mukosa (erutofi/ hipertrofi/atrofi)
(basah/kering)
(licin/tak licin) Tidak dapat Tidak dapat dinilai
-Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide) dinilai
-Tumor

g. Meatus Medius
-Lapang/ sempit Lapang Lapang
-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus) Tidak ada Tidak ada
-Polip Tidak ada Tidak ada
-Tumor Tidak ada Tidak ada

h. Meatus inferior
-Lapang/ sempit Lapang Lapang
-Sekret (serous/seromukus/mukopus/pus) Tidak ada Tidak ada
-Polip Tidak ada Tidak ada
-Tumor Tidak ada Tidak ada

i. Septum Nasi
-Mukosa (eutrofi/ hipertrofi/atrofi) Eutrofi Eutrofi
(basah/kering) Basah Basah
(licin/tak licin) Licin Licin
-Warna (merah muda/hiperemis/pucat/livide) Merah muda Merah muda
-Tumor Tidak ada Tidak ada
-Deviasi (ringan/sedang/berat) Tidak ada Tidak ada kelainan
(kanan/kiri) kelainan
(superior/inferior)
(anterior/posterior)
(bentuk C/bentuk S)
-Krista Tidak ada Tidak ada
-Spina Tidak ada Tidak ada
-Abses Tidak ada Tidak ada
-Hematoma Tidak ada Tidak ada
-Perforasi Tidak ada Tidak ada

8
-Erosi septum anterior Tidak ada Tidak ada

Gambar Dinding Lateral Hidung Dalam

Gambar Hidung Dalam Potongan Frontal

2.Rinoskopi Posterior Kanan Kiri


-Postnasal drip
-Mukosa (licin/tak licin)
(merah muda/hiperemis)
-Adenoid
-Tumor Tidak dilakukan Tidak dilakukan
-Koana (sempit/lapang)
-Fossa Russenmullery (tumor/tidak)
-Torus tobarius (licin/tak licin)
-Muara tuba (tertutup/terbuka)
(sekret/tidak)

Gambar Hidung Bagian Posterior

9
IV.Pemeriksaan Sinus Paranasal Kanan Kiri
-Nyeri tekan/ketok
-infraorbitalis Tidak ada Tidak ada
-frontalis Tidak ada Tidak ada
-kantus medialis Tidak ada Tidak ada
-Pembengkakan Tidak ada Tidak ada
-Transiluminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
-regio infraorbitalis
-regio palatum durum

Tenggorok
I.Rongga Mulut Kanan Kiri
-Lidah (hiperemis/udem/ulkus/fissura) Normal Normal
(mikroglosia/makroglosia) Normal Normal
(leukoplakia/gumma) Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
(papilloma/kista/ulkus)
Normal Normal
-Gusi (hiperemis/udem/ulkus)
Normal Normal
-Bukal (hiperemis/udem)
Tidak ada Tidak ada
(vesikel/ulkus/mukokel)
Utuh Utuh
-Palatum durum (utuh/terbelah/fistel)
Normal Normal
(hiperemis/ulkus)
Tidak ada Tidak ada
(pembengkakan/abses/tumor)
Normal Normal
(rata/tonus palatinus)
Normal Normal
-Kelenjar ludah (pembengkakan/litiasis)
Tidak ada Tidak ada
(striktur/ranula)

10
-Gigi geligi (mikrodontia/makrodontia) Normal Normal
(anodontia/supernumeri) Tidak ada Tidak ada
(kalkulus/karies) Tidak ada Tidak ada
II.Faring Kanan Kiri
-Palatum molle (hiperemis/udem/asimetris/ulkus) Normal Normal
Ditengah Ditengah
-Uvula (udem/asimetris/bifida/elongating)
Hiperemis Hiperemis
-Pilar anterior (hiperemis/udem/perlengketan) Tidak ada Tidak ada
Sulit dinilai Sulit dinilai
(pembengkakan/ulkus)
-Pilar posterior (hiperemis/udem/perlengketan) Hiperemis Hiperemis
(pembengkakan/ulkus) granuler granuler
-Dinding belakang faring (hiperemis/udem) Tidak ada Tidak ada
(granuler/ulkus) T4 T4
(secret/membran) Permukaan Permukaan tidak
-Tonsil Palatina (derajat pembesaran) tidak rata rata
(permukaan rata/tidak) Kenyal Kenyal
Tidak lekat Tidak lekat
(konsistensi kenyal/tidak) Kripta melebar Kripta melebar
(lekat/tidak) Tidak ada Tidak ada
(kripta lebar/tidak) Hiperemis Hiperemis
(dentritus/membran) Tidak ada Tidak ada
(hiperemis/udem)
(ulkus/tumor)

Gambar rongga mulut dan faring

11
Rumus gigi-geligi

III.Laring Kanan Kiri

12
1.Laringoskopi tidak langsung (indirect) Tidak Tidak
- Dasar lidah (tumor/kista) dilakukan dilakukan
- Tonsila lingualis (eutropi/hipertropi)
- Valekula (benda asing/tumor)
- Fosa piriformis (benda asing/tumor)
- Epiglotis
(hiperemis/udem/ulkus/membran)
- Aritenoid
(hiperemis/udem/ulkus/membran)
- Pita suara (hiperemis/udem/menebal)
(nodus/polip/tumor)
(gerak simetris/asimetris)
- Pita suara palsu (hiperemis/udem)
- Rima glottis (lapang/sempit)
- Trakea
2.Laringoskopi langsung (direct) Tidak Tidak
dilakukan dilakukan

Gambar laring (laringoskopi tidak langsung)

IV. Pemeriksaan Penunjang


- Pemeriksaan Laboratorium (CT, BT, Darah rutin)
- Pemeriksaan Mikrobiologi
- Pemeriksaan Histopatologi

13
V. Diagnosa Kerja
Tonsilitis kronis eksaserbasi akut

VI. Tatalaksana
I. Non Medikamentosa
 Istirahat
 Minum Cukup
 Diet tanpa bahan pewarna, pengawet, pemanis, penyedap berlebihan
 Menjaga oral hygiene
II. Medikamentosa
 Paracetamol sirup 3x1,5 cth
 Cefixime sirup 2x50 mg
III. Operatif
 Pro tonsilektomi

VII. Prognosis
Quo Ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo Ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI TONSIL

14
Gambar 1. Anatomi Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel
respiratori dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya 5. Terdapat empat
macam tonsil yaitu, tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual (tonsil pangkal
lidah), dan tonsil tuba esutachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil) yang
semuanya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer 6. Pada bagian nasofaring
terdapat tonsila faringealis, sedangkan pada bagian orofaring terdapat tonsila lingualis dan
tonsila palatina.
Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan terhadap infeksi. Tonsil dan adenoid
merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer. Adenoid akan mengalami regresi pada
usia pubertas. Bagian anterior tonsil dibatasi oleh pilar anterior yang dibentuk otot
palatoglossus, posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian medial oleh
ruang orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, bagian superior
oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual. Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh
jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh
epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang dikenal dengan kripta. Kripta
pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta tonsil merupakan lapisan membrane
tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik
dari pernafasan maupun pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan
mengakibatkan kripta ikut tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta
yang semakin longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris
dan antigen tertahan di dalam kripta tonsil7.

15
Gambar 2. Cincin Waldeyer

3.1.1 Tonsila Palatina


Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglossus) dan pilar
posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, dimana
masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil
tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai
fosa supratonsilar6.

16
Gambar 3. Tonsil Palatina

3.1.2 Tonsila Lingualis


Tonsila lingualis adalah kumpulan folikel limfe pada dasar jalur orofaring, pada akar
lidah. Bagian dasar dari orofaring dibentuk oleh segitiga posterior lidah (yang hampir
vertikal) dan celah antara lidah serta permukaan anterior epiglotis. Membran mukosa yang
meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk irreguler, yang disebabkan oleh adanya jaringan
limfoid dibawahnya, disebut tonsila lingualis6.

Gambar 4. Tonsil Lingualis


3.1.3 Tonsila Adenoid
Tonsila pharyngealis terletak di bagian atas nasofaring. Bagian atas nasofaring dibentuk
oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris os. occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid
yang disebut tonsila faringealis, terdapat di dalam submukosa daerah ini (Snell, 2006).
Tonsila pharyngealis disebut juga adenoid tonsil6.

17
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna melalui cabang-
cabangnya, yaitu :
1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri
palatina asenden.
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatine desenden.
3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal.
4. Arteri faringeal asenden.
Sumber perdarahan daerah kutub bawah tonsil:
 Anterior : Arteri lingualis dorsal.
 Posterior : Arteri palatina asenden.
 Diantara keduanya : Arteri tonsilaris.
Sumber perdarahan daerah kutub atas tonsil:
 Arteri faringeal asenden
 Arteri palatina desenden.
Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar otot konstriktor superior dan
memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan
cabang-cabangnya melalui otot konstriktor faring posterior menuju tonsil. Arteri faringeal
asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar otot konstriktor faring
superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil,
plika anterior dan plika posterior. Arteri palatine desenden atau a. palatina posterior memberi
perdarahan tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina
asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari
faring. Aliran getah bening dari daerah tonsil mengalir menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah otot sternokleidomastoideus.
Aliran ini selanjutnya ke kelenjar toraks dan berakhir menuju duktus torasikus. Tonsil hanya
mempunyai pembuluh getah bening eferan dan tidak memiliki pembuluh getah bening aferen.
Persarafan tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion
sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus9.

3.2 IMUNOLOGI
Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris di kedua
sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila palatina lebih
padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan

18
di permukaan medial terdapat kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang
berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang
masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen
makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen
menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama akan mengenal
dan mengeliminasi antigen.2
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang mengandung sel
limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B
danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat
sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan
antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit
sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B,
limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan
efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik.2,3
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada kedua
sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah terjadinya
infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke
tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi
antibodi untuk membantu melawan infeksi. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,
masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil
tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai
fossa supratonsilar. Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat,
folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan
limfoid). Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya
membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10
tahun.2,3

3.3 EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan penyebab
tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997 cakupan temuan
penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan sasaran temuan pada

19
penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82% ; sebagai salah satu penyebab adalah
rendahnya pengetahuan masyarakat. Di Amerika Serikat absensi sekolah sekitar 66% diduga
disebabkan ISPA. Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering
menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.2
Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di Amerika Serikat
mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.3 Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT
pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8%
tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008–Mei 2009
sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada periode yang
sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah kunjungan baru.4
Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Serawak di Malaysia diperoleh 657
data penderita Tonsilitis Kronis dan didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%)
(Sing, 2007). Sebaliknya penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203
penderita Tonsilitis Kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis
kelamin wanita.2
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anak-anak
muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies Streptococcus
biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih sering terjadi pada
anak-anak muda.6,7 Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis
merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25
tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis
yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45 tahun
keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis
Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % . Sedangkan Kisve pada
penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %)
pada kelompok usia 5-14 tahun.2
Suku terbanyak pada penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan penelitian yang dilakukan
di poliklinik rawat jalan di rumah sakit Serawak Malaysia adalah suku Bidayuh 38%, Malay
25%, Iban 20%, dan Chinese 14%.3

3.4 ETIOLOGI

20
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara aerogen
yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus
masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan6.
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang
mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila resolusi
tidak sempurna.11
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri aerobik
dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman yang
paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Streptokokus grup A
adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen infeksius
yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus
influenzae, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.11,14
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok didapatkan
bakteri gram positif sebagai penyebab tersering tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus
alfa kemudian diikuti Staphylococcus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A,
Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter, Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella dan E. coli.2
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan
pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab
penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks (pada remaja).
Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan coxackievirus A, yang menyebabkan
timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi
mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan
obstruksi jalan napas yang akut.11
Infeksi jamur seperti Candida sp terjadi khususnya di kalangan bayi atau pada anak-
anak dengan immunocompromised.11

3.5 PATOFISIOLOGI
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di
tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang
infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh
misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun. 2 Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid

21
superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga
kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submadibularis.12

3.6 FAKTOR RESIKO


Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik maupun
lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis Kronis. Pada
penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara
relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor
genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis. 14
Beberapa faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:14
1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat

3.7 GEJALA KLINIK


Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri tenggorokan
yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas. Gejala-
gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.14
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada yang mengganjal di tenggorokan,
tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau.14 Pada tonsillitis kronik juga sering
disertai halitosis dan pembesaran nodul servikal.7 Pada umumnya terdapat dua gambaran
tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa (a)
hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar di atasnya tertutup oleh
eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap kecil, bisanya mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam dalam “tonsil bed” dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya
tampak eksudat yang purulent.11,15

22
Gambar 5. Tonsillitis kronik
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi.3,17,18
Brodsky Grading System :
 T0 = Tonsil sudah diangkat (Post-Tonsilektomi)
 T1 = Tonsil masih dalam fossa tonsilaris (<25%)
 T2 = Tonsil sudah melewati arkus posterior namun belum
melewati linea paramediana (25-50%)
 T3 = Tonsil sudah melewati linea paramediana hingga
mencapai linea mediana (pertengahan uvula) (50-75%)
 T4 = Tonsil melewati linea mediana (uvula) (>75%)

Gambar 6. Rasio Perbandingan Tonsil Dengan Orofaring

23
Gambar 7. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C) Grade-
IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)

3.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis Kronis:
- Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman
patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi
organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi
antibiotika yang inadekuat (Hammouda et al, 2009). Gold standard pemeriksaan tonsil
adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40
penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa
kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang
akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid.
Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus
aureus.19
- Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480
spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan
ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus.
Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas
menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.19
3.9 DIAGNOSIS

24
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis
secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara menyeluruh untuk
menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat membingungkan
diagnosis.
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis berulang berupa
nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal ditenggorok, ada rasa
kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna
dan saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala
konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat
ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.14,15,16
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil
yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik.15
Pada biakan tonsil dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan beberapa organisme
yang virulensinya relative rendah dan pada kenyataannya jarang menunjukkan streptokokus
beta hemolitikus.11,15

3.10 DIAGNOSIS BANDING


a. Tonsilitis Akut
1. Tonsilitis Viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri
tenggorok. Penyebab paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus influenzae
merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxscgakie, maka
pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil
yang sangat nyeri dirasakan pasien. Terapi: istirahat, minum cukup, analgetika, dan
antivirus diberikan jika gejala berat5.
2. Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A streptokokus β hemolitikus,
pneumokokus, streptokokus viridan, dan streptokokus pyogenes. Infiltrasi bakteri pada
lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit,
bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil
dan tampak sebagai bercak kuning5.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila
bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis
lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembrane) yang menutupi tonsil11.

25
Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri
tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesi,
rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri
di telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf n.glosofaringeus (n.IX). pada
pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk
folikel, lakuna atau tertutup oleh membran semu. Kelenjar submandibula membengkak
dan nyeri tekan. Terapi dengan antibiotika spektrum lebar penisilin, eritromisin.
Antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan.
b. Tonsilitis Membranosa
Ada beberapa macam penyakit yang termasuk dalam tonsillitis membranosa
beberapa diantaranya yaitu Tonsilitis difteri, Tonsilitis septic, serta Angina Plaut Vincent,
penyakit kelainan darah seperti leukemia akut, anemia pernisiosa, neutropenia maligna
serta infeksi mononucleosis, proses spesifik luas dan tuberculosis, infeksi jamur
moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, serta infeksi virus morbili, pertusis, dan
skarlatina5.
1. Tonsilitis difteri
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Coryne bacterium diohteriae, kuman yang
termasuk gram positif dan hidung di saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring dan
laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan
ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0.03
satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang
dipakai pada tes Schick. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari
10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini14..
Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu: umum, local, dan gejala akibat
eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta
keluhan nyeri menelan. Gejala local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane
semu (pseudomembran) yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan
mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak
sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck). Gejala akibat
eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan

26
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.14

Gambar 8. Tonsilitis Difteri


2. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulseromembranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema. Gejala pada
penyakit ini berupa demam sampai 30ºC, nyeri kepala, badan lemah, rasa nyeri dimulut,
hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. Pada pemeriksaan tampak mukosa dan faring
hiperemis, membran putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus
alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibular membesar.14

Gambar 9. Angina Plaut Vincent


3. Tonsilitis Septik
Penyebab dari tonsilitis septik ialah Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam
susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh karena Indonesia susu sapi dimasak dulu
sebelum di pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang ditemukan5.
4. Penyakit Kelainan Darah
Tidak jarang tanda pertama leukimia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Kadang-kadang
terdapat perdarahan di selaput lendir mulut dan faring serta pembesaran kelenjar
submandibula.

3.11 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan operatif.

27
Prinsip tata laksana tonsilitis adalah, menjaga hidrasi dan asupan kalori yang adekuat,
kontrol nyeri dan demam, baik dengan kompres maupun obat-obatan, obat kumur untuk
menjaga higenitas mulut, antibiotik spektrum luas.
1. Medikamentosa
Tabel 1. Pilihan terapi tonsilitis dan faringitis secara empirik

Dewasa Anak
Penisilin V 500 mg per oral selama Penisilin V 25-50 mg/kg/hari per
10 hari oral selama 10 hari Terapi
Benzathine penisilin G 1.2 juta U IM Benzathine penisilin G 25.000 U/kg ini ditujukan
sekali suntikan IM pada hygiene
Amoksisilin 2x500-875 mg atau Amoksisilin 50 mg/kg/hari dibagi
mulut dengan
3x250-500 mg per oraal salama 10 dalam 2/3 dosis per oral selama 10
cara
hari hari
Cefdinir 1x600 mg atau 2x300 mg Cefdinir 14 mg/kg 1 kali, per oral berkumur

per oral selama 10 hari selama 10 hari atau obat isap,


Cefuroxime axetil 1250 mg per oral Cefuroxime axetil 10 mg/kg peroral pemberian
selama 4 hari selama 4-10 hari antibiotic,
Bila alergi Penisilin
Azitromycin 1x500 mg, PO, selama Azitromycin 1x12 mg, PO, selama 5 pembersihan

5 hari hari kripta tonsil


Clarithromycin 2x500 mg, PO, Clarithromycin 2x250 mg, PO, dengan alat
selama 10 hari selama 10 hari irigasi gigi
Erythromycin 4x500 mg, PO, Erithromycin 4x20 mg/kg, PO, 12,14
atau oral.
selama 10 hari selama 10 hari
Clindamycin 20 mg/kg/hari dalam 3 Clindamycin 20 mg/kg/hari dalam 3 Pemberian

dosis selama 10 hari dosis selama 10 hari antibiotika


Levofloxacin 1x500 mg, PO, selama sesuai kultur.
7 hari Pemberian
antibiotika yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah
metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin
dengan asam klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis).2
2. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil (tonsilektomi).
Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.
Dengan tindakan tonsilektomi.1 Pada penelitian Khasanov et al mengenai prevalensi
dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis didapatkan data bahwa sebanyak 84 ibu-
ibu usia reproduktif yang dengan diagnosa Tonsilitis Kronis, sebanyak 36 dari penderita
mendapatkan penatalaksanaan tonsilektomi.2

28
Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan kuisioner terhadap
15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646 diantaranya memiliki gejala Tonsilitis,
dari jumlah itu sebanyak 1.782 (38,4%) penderita mendapat penanganan dari dokter umum
dan 98 (2,1%) penderita dirujuk ke rumah sakit.2
- Indikasi Tonsilektomi
Cochrane review (2004) melaporkan bahwa efektivitas tonsilektomi belum
dievaluasi secara formal. Tonsilektomi dilakukan secara luas untuk pengobatan Tonsilitis
akut atau kronik, tetapi tidak ada bukti ilmiah randomized controlled trials untuk
panduan klinisi dalam memformulasikan indikasi bedah untuk anak dan dewasa. Tidak
ditemukan studi Randomized Controlled Trial (RCT) yang mengkaji efektivitas
tonsilektomi pada dewasa. Pada anak ditemukan 5 studi RCT (Mawson 1967; McKee
1963; Roydhouse 1970; Paradise 1984; Paradise 1992), tetapi yang diikutkan dalam
review hanya 2 studi (Paradise 1984; Paradise 1992) sedang 3 studi lain tidak memenuhi
kriteria. Studi pertama oleh Paradise (1984), dilakukan pada anak yang dengan infeksi
tenggorok berat. Dari studi ini tidak dapat dibuat kesimpulan yang tegas tentang
tonsilektomi karena adanya keterbatasan metodologi yaitu adanya perbedaan kelompok
operasi dengan kelompok kontrol. Dalam hal riwayat episode infeksi sebelum mengikuti
studi (kelompok operasi meliputi anak dengan penyakit yang lebih berat) dan status
sosial ekonomi (kelompok nonoperasi memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi)
serta kelompok tonsilektomi dan tonsilo-adenoidektomi dilaporkan sebagai satu
kelompok operasi. Disamping itu, studi ini meliputi hanya anak dengan infeksi
tenggorok berat, pada pemantauan, banyak kelompok kontrol yang memiliki episode
infeksi sedikit dan biasanya ringan. Studi kedua oleh Paradise (1992) meliputi anak
dengan infeksi sedang tidak dapat dievaluasi karena saat review dilakukan tidak ada data
yang lebih detil dari desain dan bagaimana penelitian ini dilakukan (hasil penelitian baru
dalam bentuk abstrak).14 Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran
napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun,
indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada
keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia
tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi.
Indikasi absolut: a) Hiperplasia tonsil yang menyebabkan gangguan tidur (sleep
apneu) yang terkait dengan cor pulmonal. b) curiga keganasan (hipertropi tonsil yang
unilateral). c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam (yang memerlukan
tonsilektomi Quincy). d) perdarahan tonsil yang persisten dan rekuren.

29
Indikasi Relatif: a) Tonsillitis akut yang berulang (Terjadi 3 episode atau lebih
infeksi tonsil per tahun). b) abses peritonsilar. c). tonsillitis kronik dengan sakit
tenggorkan yang persisten, halitosis, atau adenitis cervical. d). sulit menelan. e).
tonsillolithiasis. f). gangguan pada orofacial atau gigi (mengakibatkan saluran bagian
atas sempit). g). Carrier streptococcus tidak berespon terhadap terapi). h). otitis media
recuren atau kronik.2,3,14
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-head and
Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah: 14
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat terapi yang
adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofacial
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas,
sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulmonale.
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengam pengobatan
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus beta
hemolitikus
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
h. Otitis media efusa/otitis media supuratif
- Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan perdarahan, risiko
anestesi yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi akut yang berat. 2,17
- Persiapan Pasien Tonsilektomi
Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus disadari bahwa
mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan yang pertama kali bagi pasien.
Riwayat penyakit yang komplit dan pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan
perhatian khusus terhadap adanya gangguan yang bersifat diturunkan terutama
kecenderungan terjadinya pendarahan. Disamping itu riwayat saudara pasien yang
mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum sebaiknya diketahui untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna. Pemeriksaan Lab seperti
waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, jumlah trombosit, pemeriksaan hitung
darah komplit dan urinalisa sebaiknya dilakukan. Selain itu pemeriksaan antistreptolisin

30
titer O (ASO) dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi serta sebagai salah satu
indikasi tonsilektomi. Antisteptolisin meningkat pada minggu pertama dan mencapai
puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah infeksi. Pemeriksaan dikatakan
positif bila konsentrasi ASO dalam serum darah lebih dari 200 IU/ml. Selain itu
pemeriksaan ragiologi dada dan elektrokardiogram sebaiknya dilakukan sebelum
pembedahan.13,20,21
- Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1
Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan. Di Indonesia
teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan
diseksi.2,22
 Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil
dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran
mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau gunting sampai
mencapai pole bawah dilanjutkan dengan menggunakan senar untuk
menggangkat tonsil.
 Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila
tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.
 Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan
pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya perdarahan namun dapat
menyebabkan terjadinya luka bakar.
 Laser tonsilektomi: Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi. Laser
KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih disukai.tehnik yag
dilakukan sama dengan yang dilakukan pada tehik diseksi.
- Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat.
Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor
operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang
berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada
operator yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi
trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit.
Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang robek
umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak
berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih besar, dihentikan dengan

31
pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka
pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar
posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.22
Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi pada cara
guillotine lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat umumnya berupa kerusakan
jaringan di sekitarnya seperti kerusakan jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit,
gigi patah atau dislokasi sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka
mulut.22
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu
immediate, intermediate dan late complication. 22
Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa
perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau
disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama
pasca bedah. Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius
dan refleks batuk belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas
menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak cermat atau
terlepasnya ikatan.21 Perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan meletakkan
ice collar dan mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingin. 22
Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme diate complication)
dapat berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru
dan otalgia Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca
bedah. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering
adalah infeksi serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang
terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum
luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan.
Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya berasal dari pembuluh darah
permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan primer.22
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem.
Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral
pembuluh darah yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi
melalui bakteremia dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau
mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari
fosa tonsil, tetapi kadang-kadang merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran
infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi,
karena secara anatomik fosa tonsil berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan

32
kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru jarang terjadi dan ini biasanya akibat
aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil. 22
Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum
mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain
adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala,
tetapi bila cukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil. 22
Komplikasi tonsilektomi dapat berupa : 3,17
 Immediate and Delayed Hemorrhage
 Postoperative Airway Compromise :Jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh
terlepasnya bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan adenotonsillar, post operasi
edema oropharingeal, atau hematom retropharyngeal.
 Dehidrasi
 Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan napas
yang obstruksi karena hipertropi adenotonsillar yang lama, mengakibatkan
penurunan mendadak tekanan intratoracal, peningkatan volume darah paru, dan
peningkatan tekanan hidrostatik yang dapat terjadi segera atau beberapa jam
setelah pembebasan jalan napas.
 Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan parut
 Eustachian Tube Dysfunction
 Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan darah

3.12 KOMPLIKASI
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa
rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi
secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis,
uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.13
Beberapa literatur menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara lain2,24
a) Abses peritonsil.
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya.
Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang
mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan
berulang. Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan
trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.

33
Gambar 11. Abses peritonsil

b) Abses parafaring.
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus
mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol
kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.
c) Abses intratonsilar.
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti
dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan
disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu
dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan
tonsilektomi.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil).
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-
sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang
memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan
kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa
dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa
dengan mudah dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak
rata pada perabaan.
e) Kista tonsilar.
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran
kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan
mudah didrainasi.

34
f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.
Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat
pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman
Streptokokus beta hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak
pada tonsil dan faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi
patogenesa terjadinya penyakit Glomerulonefritis.

3.13 PROGNOSIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan
suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih
nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus
dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah
mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi
indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi
yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi
sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.2

35
BAB IV
ANALISIS KASUS

DM ± 3 tahun yang lalu, pasien mengalami sakit ditenggorokan dan kesulitan saat
menelan. Keadaan ini terjadi hilang timbul dan diikuti dengan batuk (+) pilek (+) demam (+).
Pasien lalu berobat ke dokter Sp.A dan diberikan obat namun lupa nama obat tersebut. Pasien
juga mengeluh perasaan tidak enak ditenggorokan, rasa mengganjal, dan bau mulut serta
kemerahan pada amandelnya yang muncul ± 5-6 kali dalam setahun. Gejala tersebut muncul
apabila pasien banyak beraktifitas, mengalami kelelahan fisik, dan banyak meminum es.
± 1 minggu yang lalu, pasien mengaku kesulitan menelan lebih mengganggu, demam
(+), batuk (+), pilek (+). Pasien tidak mendengkur saat tidur, dan tidur cukup. Pasien berobat
ke poli THT RSMH Palembang dan dianjurkan untuk operasi. .
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Sedangkan pada pemeriksaan status lokalis yaitu pemeriksaan rongga mulut dan faring
didapatkan palatum molle normal, uvula ditengah, pilar anterior hiperemis, pilar posterior
normal, dinding belakang faring sulit dinilai, lateral band normal, dan didapatlam pembesaran
pada tonsil palatina dengan derajat pembesaran T4-T4, konsistensi kenyal, kripta lebar, tidak
ditemukan detritus, dan tidak hiperemis.

36
Rasa mengganjal di tenggorokan dan sulit menelan yang dinyatakan os dapat
disebabkan adanya gangguan pada fungsi menelan. Fungsi menelan dibagi menjadi 3 fase,
antara lain: fase oral, fase faringeal dan fase esophageal. Fase oral diatur secara sengaja
(voluntary) sedangkan fase faringeal dan esophageal dilakukan secara tidak sengaja
(involuntary). Pasien juga mengalami demam.
Saat dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan hipertrofi tonsil sehingga fungsi menelan
menjadi terganggu, yaitu pada fase oral saat bolus sudah siap untuk diantarkan ke faring.
Karena besarnya ukuran tonsil os, pengantaran bolus menjadi terhambat dan karena telah
terjadi peradangan yang lama, tersentuhnya bolus ke tonsil menyebabkan nyeri. Maka os
mengalami keluhan seperti mengganjal di tenggerokan dan nyeri saat menelan.
Penegakkan diagnosis dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada
anamnesis os merasa ada yang mengganjal di tenggerokan, sulit menelan. Ketiga keluhan ini
mengarahkan adanya gangguan pada jalur aerodigestif. Sehingga untuk pemeriksaan fisik,
cavitas oral, faring pars oralis, dan esophagus harus dievaluasi. Pemeriksaan fisik yang dapat
dilakukan dokter umum adalah inspeksi cavitasoral dan pemeriksaan laringoskopi indirek.
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik, didapatkan pada cavitas oral, terdapat tonsil yang
abnormal. Tonsil palatine os mengalami hipertrofi T4-T4 dan kripta melebar. Hal ini
membuktikan jika os sudah sering mengalami tonsillitis karena kripta yang telah melebar.
Selain itu keluhan yang dialami os sudah berlangsung lebih dari satu bulan dan pada
pemeriksaan ditemukan tanda-tanda infeksi akut, menandakan tonsillitis yang dialami os
adalah kronik eksaserbasi akut. Arcus pharynx sulit dinilai dan laringoskopi indirek sulit
dilakukan.
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan, os dinyatakan mengalami
hipertrofi tonsil. Hipertrofi tonsil palatina yang terjadi kemungkinan diakibatkan oleh infeksi

37
kuman yang berulang pada tonsil, sehingga menyebabkan penyembuhan tonsil yang diikuti
dengan terbentuknya jaringan parut, tonsil mengerut, dan akhirnya membuat penampakan
kripta melebar.
Tatalaksana yang dapat diberikan untuk menangani fase akut saat ini adalah antibiotik
dan paracetamol, serta rujuk spesialis THT untuk pertimbangan rencana tindakan operasi
tonsilektomi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arsyad Soepardi, Efiaty; Nurbaiti Iskandar, Jenny Bashiruddin, Ratna Dwi Restutu, 2007.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidunga Tenggorokan Kepala & Leher; Edisi keenam.
Balai Penerbit FKUI Jakarta
2. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik Medan
Tahun 2009. 2011.pdf
3. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In:
Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.
4. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran
Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum
Dan Setelah Tonsilektomi. Pdf.
5. Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011 .[cited, 2012 Jan 18).
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/
6. Empowering Otolaryngologist. Tonsillitis. In: American Academy of Otolaryngology-
Head & Neck Surgery. Pdf.
7. Soepardi, E.A. et al. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; hal 223-4.
8. Snow, James B. dan John Jacob Ballenger. 2003. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head
and Neck Surgery 16th Edition. Chicago : Williams & Wilkins.

38
9. Paulsen F dan J. Waschke.2012. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Kepala, Leher dan
Neuroanatomi. Edisi Ke-23. Jakarta: EGC.
10. Mandavia, Rishi. Tonsillitis. [online] .[cited, 2012 Jan 20). Available from: URL:
http://www.entfastbleep.com
11. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: ECG,
1997. p263-340 (3)
12. Gross CW, Harrison SE. Tonsils and Adenoid. In: Pediatrics In Review. [online].2000.
[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL: http://www.pediatricsinrewiew.com
13. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
14. Ellen Kvestad, Kari Jorunn Kværner, Espen Røysamb, et all. Heritability of Reccurent
Tonsillitis. [online].2005.[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL: http://www.
Archotolaryngelheadnecksurg.com
15. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
16. Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2.
Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.
17. Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In: Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. p158-165
18. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck
Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
19. Uğraş, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With
Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5, No. 2.
[online].2008.[cited, 2012 Jan 23]. Available from: URL: http://www. Bioline
International .com
20. Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy. In: The
Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58
21. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and
Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. Pdf.
22. Hatmansjah. Tonsilektomi. In: Cermin Dunia Kedokteran vol 89. [online].1993.[cited,
2012 Jan 25]. Available from: URL: http://www. cerminduniakedokteran .com
23. Harrison SE, Osborne E, Lee S. Home Care After Tonsillectomy and Adenoidectomy. In:
Missisipi Ear, Nose, & Throat Surgical Associates 601. pdf.
24. Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In: Current
Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007.

39

Anda mungkin juga menyukai