Anda di halaman 1dari 31

CASE REPORT

AMPUTASI

Oleh:
DevitaWardani, S.Ked
RidhoPambudi, S.Ked
ZulfaLabibah, S.Ked

Perceptor:
dr. E. Marudut S., Sp.OT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RSUD DR H ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
BAB I
CASE REPORT

IDENTITAS PASIEN

Nama : Riduan Ibrahim


Umur : 53 tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Kec.Kalianda Kab.Lampung Selatan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
No. MR : 501224

I. ANAMNESIS

Diambil dari alloanamnesis pada tanggal 10 Mei 2017 pukul 13.00 WIB
1. Keluhan utama
Kaki hitam sejak 4 bulan yang lalu
2. Keluhan Tambahan
Sakit kaki, kaki tidak bisa digerakkan, kesemutan
3. Riwayat Penyakit
Os datang dengan keluhan kaki kanan menghitam sejak 4 bulan yang lalu. Pada
awalnya os mengalami luka pada jempol kaki sebelah kanan saat menggunting
kuku. Kemudian luka menjadi membengkak dan memerah sehingga membuat os
berobat ke puskesmas. Os mengaku di puskesmas jempol kanan os di perban
dan diberi obat teapi os tidak mengetahui jenis obat yang diberikan2 minggu
kemudian os kembali ke puskesmas karena luka tidak kunjung sembuh dan
bertambah sakit. Os mengaku pada kunjungan keduanya ke puskesmas, luka os
sudah menjadi hitam. Pihak puskesmas kemudian melakukan pengecekan kadar

1
gula darah sewaktu os dan dipatkan hasil gula darah lebih dari 200. Os mengaku
sebelumnya tidak memiliki riwayat kencing manis dan baru mengetahui saat di
puskesmas. Obat kencing manis yang diberikan oleh pihak puskesmas berupa
tablet yang diminum 1 kali sehari. Kemudian os dirujuk ke Rumah Sakit
Kalianda oleh pihak puskesmas.

Os mengaku jempol kakinya diamputasi saat di RS Kalianda 1 bulan kemudian


setelah os mengalami luka di kuku jempol kanan karena seluruh jempol kaki
kanan os sudah menghitam. Setengah bulan kemudian, jari telunjuk kaki os
menghitam dan diamputasi juga oleh pihak RS Kalianda. Setengah bulan
kemudian jari tengah kaki kanan os juga menghitam dan diamputasi. Tidak lama
setelah itu seluruh kaki hingga betis kanan os menghitam sehingga pihak RS
Kalianda merujuk os ke RS Abdoel Moeloek. Selama dalam perawatan pihak
RS Kalianda, os mengaku obat kencing manis yang dikosumsi berupa tablet
yang diminum 3 kali sehari.

Sejak 1 bulan yang lalu os dirawat di RS Abdoel Moeloek (RSAM) di ruang


murai. Os datamg dengan keluhan kaki kanan menghitam, nyeri, demam, dan
menggigil saat malam hari. Gula darah sewaktu saat os dirawat di murai adalah
224 mg/dL. Os mengaku saat di murai diberikan obat insulin suntik yang
diberikan 1 kali sehari pada malam hari dengan dosis 10. 5 hari kemudian gula
darah os selalu dibawah 100. Tetapi semenjak di rawat di RSAM os mengaku
nyeri dan panas pada betis kanan. 3 hari kemudian nyeri dan panas juga
dirasakan os hingga paha kanan. Kemudian pihak RSAM memutuskan untuk
melakukan amputasi pada tungkai kanan os sehingga setelah persyaratan operasi
dipenuhi dan gula darah sudah stabil os alih rawat ke ruang gelatik.

Keluhan lain os selama di gelatik adalah sakit pada kaki, kaki tidak bisa
digerakkan dan sering merasa kesemutan pada tungkai kanan. Nyeri dirasakan
hilang timbul.

Os bekerja sebagi petani di Kalianda. Riwayat makan os baik, os memiliki nafsu


makan yang baik dan sering mengkonsumsi kopi sebanyak 3 gelas sehari. Os
memiliki riwayat merokok sejak muda hingga sebelum sakit.

2
4. Riwayat Keluarga

DM (-), Hipertensi (-)

5. Riwayat Masa Lampau

a) Penyakit terdahulu : Tidak ada


b) Trauma terdahulu : Tidak ada
c) Operasi : Pedis dextra: amputasi palangeal digiti 1, 2, 3
d) Sistem saraf : Tidak ada
e) Sistem kardiovaskular : Tidak ada
f) Sistem gastrointestinal : Tidak ada
g) Sistem urinarius : Tidak ada
h) Sistem genital : Tidak ada
i) Sistem muskuloskeletal : Tidak ada

II. STATUS PRESENT

A. STATUS UMUM

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : composmentis
Keadaan gizi : baik
Kulit : sawo matang

B. PEMERIKSAAN FISIK

 Tanda vital

Tekanan Darah : 120/70 mmHg


Pernapasan : 18x/menit
Nadi : 76x/menit
Suhu : 36,50C

 Kepala dan Muka

Bentuk dan ukuran : Normal, simetris


Mata : Normal
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : iktreik -/-

3
Refleks Cahaya : normal
Pupil : normal
Telinga : normal
Hidung : normal
Tenggorokan : normal
Mulut : normal
Gigi : normal

 Leher

Kelenjar getah bening : tidak membesar


Kelenjar Gondok : tidak membesar
JVP : 5 – 2 cmH2O

 Dada (Thorax)

Inspeksi : Simetris, retraksi (-)


Palpasi : Gerakan dinding dada simetris, Fremitus (+)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
BJ I/II reguler, murmur (-)

 Perut (Abdomen)

Inspeksi : Datar
Palpasi : NT (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) 8x/menit

 Regio Lumbal (Flank Area)

Inspeksi : simetris
Palpasi : NT (-)
Perkusi : redup
Auskultasi : dalam batas normal

 Ekstremitas

Superior : normotonus, eutrofi, kekuatan otot 5/5, edema pitting


(+/+)

4
Inferior : dextra: merah dan nyeri pada femoralis, ulkus pada
pedis-cruris digiti pedis dextra 1, 2, 3 (-)
sinistra: edema piting (+)
o Genitalia
Tidak dilkukan pemeriksaan

 Perianal

Tidak dilakukan pemeriksaan

 Neuromuskular

Sensibilitas : superior +/+, inferior -/+


Refleks fisiologis : bisep +/+, trisep +/+, patella -/+, achillestidak
dilakukan/+
Refleks patologis : tidak dilakukan pemeriksaan

 Tulang Belakang

Tidak terdapat kelainan

C. STATUS LOKALIS

Look :
Deformitas : pedis dextra (+)
Edema : superior (+/+) inferior (+/+)
Luka : ulkus regio pedis-cruris dextra, ulkus regio femoralis
Pemendekan : tidak ada
Feel:
Nyeri tekan : + regio femoralis dextra, - regio pedis-cruris dextra
Nyeri sumbu : + regio femoralis dextra
Move:
Nyeri gerak aktif (+/-)
Nyeri gerak pasif (+/-)

5
III. LABORATORIUM RUTIN

A. Darah rutin (9/05/2017)


Hb : 9,9 g/dl
Albumin : 1,7 g/dl
Natrium : 123 mmol/l
Kalium : 4,0 mmol/l
Calsium : 7,9 mg/dl
Chlorida : 90 mmol/l

B. Urin rutin

Tidak dilakukan

C. Fases rutin

Tidak dilakukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. RADIOLOGI

Klinis: Foto Pedis lateral / oblique kanan


Kesan:
 Fraktur amputasi phalangeus digiti 1-3
 Dislokasi interphalangeal proksimal digiti 5
 Deformitas disertai lesi titik dan sklerositik os tarsalia ec osteomielitis
 Soft tissue swelling dan gas gangren

6
B. LABORATORIUM KHUSUS

Tidak dilakukan

V. PEMERIKSAAN ANJURAN

Laboratorium: GDS
Rontgen Femoralis dan Cruris Dextra AP dan Lateral
Kultur Ulkus Pedis dan Uji Sensitivitas Antibiotik

VI. RESUME

Os datang dengan keluhan kaki kanan menghitam sejak 4 bulan yang lalu. Os
mengaku pada awalnya mengalami luka pada kuku kaki kanan yang kemudian
menghitam. Os sebelumnya berobat ke puskesmas dan dirujuk ke RS Kalianda.
Jempol kaki kanan Os diamputasi di RS Kalianda. Jari telunjuk dan jari tengah
kaki kanan os juga diamputasi di RS Kalianda. Kemudian seluruh kaki os juga.
Os kemudian dirujuk ke RSAM. Os dirawat di ruang murai dengan GDS 224
mg/dl. Os mengeluh kaki kanan menghitam, nyeri pada kaki kanan, demam dan
menggigil. Os mendapat terapi insulin di murai dengan dosis 10 sehari sekali
pada malam hari. Setelah itu gula darah os stabil dibawah 100 mg/dl. Kemudian
Os dialih rawat ke gelatik untuk melakukan amputasi kaki kanan. Keluhan Os
saat di gelatik adalah nyeri pada kaki kanan hingga paha, panas pada paha,
kesemutan, dan kaki tidak bisa digerakkan.

Pemeriksaan Fisik:
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Pernapasan : 18x/menit
Nadi : 76x/menit
Suhu : 36,50C

Status Lokalis:
Look:
Deformitas : pedis dextra (+)

7
Edema : superior (+/+) inferior (+/+)
Luka : ulkus regio pedis-cruris dextra
Pemendekan : tidak ada
Feel:
Nyeri tekan : + regio femoralis dextra, - regio pedis-cruris dextra
Nyeri sumbu : + regio femoralis dextra
Move:
Nyeri gerak aktif (+/-)
Nyeri gerak pasif (+/-)

Laboratorium rutin – Darah Lengkap (9/05/2017)


Hb : 9,9 g/dl
Albumin : 1,7 g/dl
Natrium : 123 mmol/l
Kalium : 4,0 mmol/l
Calsium : 7,9 mg/dl
Chlorida : 90 mmol/l

VII.DIAGNOSIS BANDING

Ulkus Pedis e.c. Trauma Tajam

VIII. DIAGNOSIS KERJA

Ulkus Diabetikum Pedis Dextra

IX. PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN

Non farmakologi
Diet rendah kalori tinggi protein
Balut ulkus pedis dextra, ganti balutan setiap hari
Amputasi ekstremitas inferior dextra

8
Gambar 1. Sebelum Amputasi

Gambar 2. Tindakan Amputasi

Farmakologi
IVFD NaCl 0,9% XX gtt/mnt
IVFD Plasbumin 20% 50ml/hari
Ceftriaxon vial 1gr/12 jam
Levemir flex pen 0-0-10
Ketorolac ampul 10mg/12 jam

X. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad function : ad malam
Quo ad sanationam : ad malam

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Amputasi berasal dari kata “amputare” yang berarti “pancung”. Amputasi adalah
penghilangan satu atau lebih bagian tubuh dan bisa sebagai akibat dari malapetaka
atau bencana alam, belum pernah terjadi sebelumnya, seperti kecelakaan, gempa
dengan intensitas kuat, terorisme dan perang, atau dilakukan karena alasan medis
dengan motif untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup pasien.Tindakan ini
merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir apabila masalah
organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan
menggunakan teknik lain, atau apabila kondisi organ dapat membahayakan
keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain.

Amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh seperti sistem
integumen, sistem persarafan, sistem muskuloskeletal dan sistem cardiovaskuler.
Lebih lanjut amputasi dapat menimbulkan masalah psikologis bagi klien atau
keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas.

Amputasi ekstremitas bawah adalah prosedur pembedahan yang dihasilkan dari


sebuah kondisi medis yang serius seperti diabetes, trauma atau neoplasma, gangren,
deformitas kongenital. Dari semua penyebab tadi, penyakit vaskuler perifer
merupakan penyebab yang tertinggi amputasi ekstremitas bawah.

10
Gambar 1. Amputasi Ekstremitas Bawah

B. Etiologi

Penyebab amputasi adalah kelainan ekstremitas yang disebabkan oleh penyakit DM,
Gangren, cedera (trauma), dan tumor ganas. Tindakan amputasi dapat dilakukan
pada kondisi:
a. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.
b. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.
c. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.
d. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya.
e. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.
f. Deformitas organ.

C. Patofisiologi

Amputasi terjadi karena kelainan extremitas yang disebabkan penyakit pembuluh


darah, cedera dan tumor. Oleh karena penyebab tersebut, Amputasi harus dilakukan
karena dapat mengancam jiwa manusia. Adapun pengaruhnya meliputi :
a. Kecepatan metabolisme
Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan penekanan
pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah sehingga
menurunkan kecepatan metabolisme basal.

11
b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih besar dari
anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid plasma, hal ini
menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke luar keruang interstitial pada
bagian tubuh yang rendah sehingga menyebabkan oedema. Immobilitas
menyebabkan sumber stressor bagi klien sehingga menyebabkan kecemasan yang
akan memberikan rangsangan ke hypotalamus posterior untuk menghambat
pengeluaran ADH, sehingga terjadi peningkatan diuresis.

c. Sistem respirasi
1. Penurunan kapasitas paru
Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka kontraksi otot
intercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam rangka mencapai
inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa.
2. Perubahan perfusi setempat
Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi perbedaan
rasio ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara mendadak maka akan
terjadi peningkatan metabolisme (karena latihan atau infeksi) terjadi
hipoksia.
3. Mekanisme batuk tidak efektif
Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan
sehingga sekresi mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih kental dan
mengganggu gerakan siliaris normal.

d. Sistem Kardiovaskuler
1. Peningkatan denyut nadi
Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin dan
mekanisme pada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering dijumpai
pada pasien dengan immobilisasi.
2. Penurunan cardiac reserve
Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini
mengakibatkan waktu pengisian diastolik memendek dan penurunan isi
sekuncup.

12
3. Orthostatik Hipotensi
Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana
arteriol dan venula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi lebih
panjang dari pada vasokontriksi sehingga darah banyak berkumpul di
ekstremitas bawah, volume darah yang bersirkulasi menurun, jumlah darah
ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk memenuhi perfusi ke otak dan
tekanan darah menurun, akibatnya klien merasakan pusing pada saat bangun
tidur serta dapat juga merasakan pingsan.

e. Sistem Muskuloskeletal
1. Penurunan kekuatan otot
Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler memungkinkan
suplai O2 dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan, demikian pula dengan
pembuangan sisa metabolisme akan terganggu sehingga menjadikan
kelelahan otot.
2. Atropi otot
Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya
penurunan fungsi persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi dan
paralisis otot.
3. Kontraktur sendi
Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta adanya
keterbatasan gerak.
4. Osteoporosis
Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan persenyawaan
organik dan anorganik sehingga massa tulang menipis dan tulang menjadi
keropos.

f. Sistem Pencernaan
1. Anoreksia
Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi
sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi serta
penurunan kebutuhan kalori yang menyebabkan menurunnya nafsu makan.

13
2. Konstipasi
Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat peristaltik usus dan
spincter anus menjadi kontriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat dalam
colon, menjadikan faeces lebih keras dan orang sulit buang air besar.

g. Sistem perkemihan
Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing berada
dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya gravitasi dan
pelvis renal banyak menahan urine sehingga dapat menyebabkan:
a. Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah membentuk batu
ginjal.
b. Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang biaknya
kuman dan dapat menyebabkan ISK.
h. Sistem integumen
Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan bokong
akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah dan nutrisi ke
jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia, hyperemis dan akan normal
kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit dimasase untuk meningkatkan suplai
darah.

D. Jenis-jenis amputasi

Berdasarkan tujuannya amputasi dibagi atas


a. Amputasi sementara
Amputasi ini mungkin diperlukan jika penyembuhan primer tidak mungkin
terjadi. Alat gerak diamputasi sedistal mungkin, kemudian dibuat flap kulit yang
dijahit secara longgar diatas gumpalan kasa. Re-amputasi kemudian dilakukan
saat kondisi stump memungkinkan.

b. Defenitive end bearing amputation


Amputasi ini dilakukan jika kemudian akan diberikan beban berat badan pada
ujung stump. Pada keadaan ini parut amputasi tidak boleh terletak diujung stump
dan tulang harus padat tidak berongga. Untuk itu tulang harus dipotong melewati

14
sendi atau mendekati sendi. Contohnya adalah amputasi melewati sendi lutut dan
Syme’s amputation.

c. Defenitive non-end bearing amputation


Ini merupakan amputasi yang paling sering dilakukan. Seluruh amputasi anggota
gerak atas dan kebanyakan amputasi anggota gerak bawah termasuk dalam jenis
ini. Karena beban berat badan tidak akan ditumpukan pada ujung stump, maka
parut luka dapat terletak terminal.

Berdasarkan teknik yang dipakai secara garis besar amputasi dibagi atas :

1. Amputasi terbuka (open amputation)


Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan
pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Amputasi terbuka dilakukan pada
luka yang kotor, seperti luka perang atau infeksi berat antara lain gangrene, dibuat
sayatan dikulit secara sirkuler sedangkan otot dipotong sedikit proximal dari
sayatan kulit dan digergaji sedikit proximal dari otot.

Ujung stump tidak ditutup dengan flap kulit dan amputasi ini dilakukan sebagai
tindakan sementara yang akan diikuti dengan penjahitan sekunder, re-amputasi,
revisi, dan rekonstruksi plastik. Open amputation bertujuan untuk mencegah atau
menghilangkan infeksi sehingga penutupan stump dapat dilakukan tanpa resiko
terbukanya kembali jahitan. Indikasinya adalah bagi luka yang terinfeksi dan
kerusakan jaringan lunak luas atau kontaminasi tinggi.

Open amputation terbagi dua jenis, yaitu open amputation with inverted skin flaps
dan circular open amputation. Pada jenis yang pertama penutupan luka dilakukan
kemudian setelah 10-14 hari tanpa memerlukan pemendekan stump. Pada jenis
kedua penyembuhan luka sering lama dan dipengaruhi oleh tarikan kulit terus
menerus diujung stump yang cenderung menarik seluruh jaringan ke ujung stump.
Circular open amputation juga diikuti oleh pembentukan parut diujung stump
yang akan menyulitkan pemasangan prosthesis. Untuk menghindari penyembuhan
yang lama dan letak parut yang tidak baik, circuler open amputation sering diikuti
dengan re-amptation yang lebih proksimal.

15
2. Amputasi tertutup (closed amputation)

Gambar 3. Metode tertutup

Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana


dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih
5 sentimeter dibawah potongan otot dan tulang. Setelah dilakukan tindakan
pemotongan, maka kegiatan selanjutnya meliputi perawatan luka
operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga kekuatan otot/mencegah
kontraktur, mempertahankan intaks jaringan, dan persiapan untuk penggunaan
protese ( mungkin ) pada amputasi jenis ini, ujung stum ditutup dengan flap kulit.
Amputasi jenis ini memerlukan pemasangan drain yang biasanya dibiarkan
selama 48-72 jam setelah operaasi. Ujung stump akan memiliki bentuk yang lebih
baik dengan letak parut yang diatur tidak pada ujung stump sehingga
memudahkan pemakaian prostesis kemudian. Amputasi seperti ini dilakukan pada
keadaan yang tidak disertai infeksi berat dengan kerusakan jaringan lunak atau
kontaminasi yang minimal.

16
E. Indikasi Amputasi

Indikasi amputasi adalah 3D


a. dead (dying), penyakit pembuluh darah perifer bertanggung jawab terhadap
hampir 90% dari seluruh amputasi. Penyebab lainnya adalah trauma parah, luka
bakar, dan frost bite.
b. dangerous, penyakit yang tergolong berbahaya adalah tumor ganas, sepsis yang
potensial lethal dan crush injury. Pada crush injury pelepasan torniquet atau
penekanan lain akan berakibat pada kegagalan ginjal (crush syndrome).
c. damn nuisance, ada keadaan dimana mempertahankan anggota gerak dapat lebih
buruk daripada tidak mempunyai anggota gerak sama sekali. Hal ini mungkin
dapat disebabkan oleh nyeri, malformasi berat, sepsis berulang atau kehilangan
fungsi yang berat. Kombinasi antara deformitaas dan kehilangan sensasi
khususnya merupakan masalah yang berat dan pada alat gerak bawah cenderung
untuk menyebabkan ulserasi karena tekanan.

Adapun suatu penilaian apakah suatu ekstremitas dapat dipertahankan atau harus
diamputasi dapat dilakukan dengan penilaian Mangled Extremity Severity Score
(MESS) yang dapatdihitung dengan melakukan evaluasi terhadap ektremitas yang
terluka. Adapun evaluasi yang dilakukan ialah sebagai berikut:

17
Keterangan: poin kurang dari 7 menandakan bahwa ekstremitas dapat dipertahankan
dan skor 7 atau lebih mengindikasikan amputasi ekstremitas.

F. Lokasi

Kebanyakan amputasi pada anggota gerak bawah dilakukan pada lokasi dibawah dari
tempat paling distal dimana pulsasi arteri masih teraba. Kadangkala, khususnya pada
amputasi transtibial (below knee) level dapat dimodifikasi dengan pengukuran
transcutaneus oxygen pressure. Lokasi amputasi dilakukan oleh tuntutan desain
prothesis dan fungsi lokal. Stump yang terlalu pendek akan membuat prosthesis
cenderung tergelincir, stump yang terlalu panjang akan mendapatkan sirkulasi yang
tidak adekuat dan akan terasa nyeri atau mengalami ulserasi, disamping itu juga akan
menyulitkan pemasangan prosthesis. Namun dengan semakin meningkatnya
ketrampilan para ahli prosthesis, amputasi dapat dilakukan pada lokasi dimanapun.

18
Gambar 2. Lokasi penentuan amputasi

G. Prinsip Tehnik Amputasi

Torniquet selalu digunakan kecuali jika terdapat insufisiensi arterial. Flap kulit
dibuat sedemikian rupa sehingga panjang gabungan keseluruhan flap sama dengan
1,5 x lebar anggota gerak pada level amputasi. Sebagai suatu ketetapan, flap anterior
dan posterior dengan panjang yang sama dipakai untuk amputasi pada anggota gerak

19
atas dan amputasi transfemoral (above knee), uhntuk amputasi below knee flap
posterior dibuat lebih panjang.

Otot dipotong distal dari tempat pemotongan tulang, kelompok otot yang saling
berhadapan kemudian dijahit diatas ujung tulang dan juga keperiosteum (myoplasty)
sehingga memberikan kontrol otot yang lebih baik dan juga sirkulasi yang lebih baik.
Saraf dipotong proksimal dari tempat pemotongan tulang. Harus benar-benar
diperhatikan agar ujung saraf yang terpotong tidak mendapatkan tekanan karena
tumpuan berat badan.

Tulang dipotong pada tempat yang telah ditentukan. Pada amputasi transtibial bagian
depan tibia biasanya dibuat serong dan dikikir agar terbentuk tepi yang halus dan
membulat. Fibula dipotong 3 cm lebih pendek. Pembuluh darah utama diikat, dan
setiap sumber perdarahan diikat dengan baik. Pada closed amputation kulit dijahit
tanpa tegangan, drain dipasang dan kemudian stump dibalut erat. Jika terbentuk
hematoma, harus segera dievakuasi. Pembalutan berulang dengan pembalut elastis
dilakukan untuk membantu pengerutan stump dan menciptakan bentuk ujung yang
konikal. Otot-otot harus tetap dilatih, sendi tetap dijaga agar bergerak dan pasien
diajarkan untuk menggunakan prosthesisnya.

H. Tingkatan Amputasi

Amputasi dilakukan pada bagian terdistal yang masih berhasil sembuh. Prinsip
penentuan level amputasi adalah menyelamatkan alat gerak sepanjang mungkin dan
fungsi yang paling baik.

Penentuan level yang optimum untuk amputasi secara akurat sulit dilakukan hanya
berdasarkan pemeriksaan klinis (tidak adanya denyut nadi) dan viabilitas
(vaskularisasi) jaringan saja selama operasi. Saat ini, penilaian selain dilakukan
secara klinis dan pada saat operasi juga diperkuat dengan sejumlah metode-metode
uji pra operasi seperti; arteriografi pra amputasi, pengukuran tekanan darah segmental
dengan mempergunakan ultrasound Doppler dan teknik lainnya, penentuan aliran
darah ke kulit yang diukur oleh xenon radioactive clearance, dan pengukuran tekanan

20
oksigen secara transcutaneous. Seluruh hal tersebut bila dilakukan akan memberikan
hasil yang baik untuk menilai keberhasilan penyembuhan luka.

Level amputasi ditentukan 2 faktor:


1) Sirkulasi pada bagian yang diamputasi
2) Functional usefulness (seperti, kebutuhan pemakaian prosthesis).

Tingkatan amputasi juga ditentukan berdasarkan hal berikut.

1) Pada cedera, ditentukan oleh peredaran darah yang adekuat.


2) Pada tumor, ditentukan oleh daerah bebas tumor dan bebas resiko kekambuhan
lokal.
3) Pada penyakit pembuluh darah, ditentukan oleh vaskularisasi sisa ekstremitas
dan daya sembuh luka puntung

Ekstremitas Atas

21
Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau kiri. Hal ini
berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi, berpakaian
dan aktivitas yang lainnya yang melibatkan tangan.

Ekstremitas Bawah

Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian dari jari-jari
kaki yang menimbulkan seminimal mungkin kemampuannya. Adapun amputasi
yang sering terjadi pada ekstremitas ini dibagi menjadi dua letak amputasi yaitu:

a. Amputasi dibawah lutut (below knee amputation)


Amputasi bawah lutut secara statistic merupakan jenis amputasi yang paling
sering dilakukan pada alat gerak bawah. Luka amputasi pada level ini akan

22
sembuh dengan baik pada sebagian besar pasien dengan iskemia yang
memerlukan ablasi alat gerak.

Amputasi bawah lutut merupakan suatu prosedur rekonstruktif yang


memerlukan perhatian cermat terhadap detail tekniknya. Level ini dipilih
berdasarkan ketersediaan jaringan yang sehat termasuk pemahaman potensi
penyembuhan dari daerah yang iskemi. Sisi pemotongan adalah level
dimana terdapat cukup jaringan lunak untuk menghasilkan puntung yang
dapat sembuh dengan baik dan mempunyai toleransi yang baik terhadap
prostetik. Panjang puntung sebaiknya dipertahankan setinggi hingga
pertemuan 1/3 tengah dan bawah tibia-fibula.

Titik optimum untuk amputasi adalah 14 cm dari tibial plateau, fibula


dipotong 2 cm proksimal dari ini. Beri tanda insisi, dengan flap anterior
berakhir tepat distal dari garis pemotongan tulang pada tibia dan flap
posterior meluas ke bawah sampai tendon Achilles. Buat insisi sepanjang
garis yang telah diberi tanda. Di posterior potong tendon Achilles dan
perdalam insisi untuk memotong sisa otot dan tendon sampai tulang. Potong
otot ke dalam sampai melintasi bagian depan. Fibula dipotong miring
dengan gergaji Gigli, kemudian belah tibia 2 cm distal dari ini.

Bersihkan otot dari tulang dengan elevator periosteum. Potong bevel


anterior pertama kali dengan gergaji diagonal kemudian potong tegak lurus
tibia. Bentuk sudut pada ujung bawah tibia ke arah atas dan pisahkan massa
otot dari aspek posteriornya. Ikat rangkap semua pembuluh darah dan
potong setiap saraf yang tegang. Lepas tungkai bagian distal. Flap posterior
ditarik ke atas membungkus puntung tulang dan dijahit ke flap anterior.
Flap posterior mungkin perlu dikurangi dengan eksisi jaringan otot.
Tempatkan benang serap di antara otot di bagian posterior dan jaringan
subkutan di anterior dan meninggalkan suction drain di bawah otot. Satukan
pinggir kulit dengan jahitan putus benang non-serap 2/0. Pangkas sudut-
sudut flap posterior jika perlu agar bentuknya rapi. Tutup puntung dengan
katun dan balut ketat dengan crepe bandage.

23
b. Amputasi diatas lutut (above knee amputation)
Amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada pasien dengan
penyakit vaskuler perifer.Tempat terbaik untuk membagi femur adalah 8-10
cm (selebar satu tangan). Gunakan spidol kulit untuk merencanakan insisi,
yang harus membuat flap anterior maupun flap posterior memiliki panjang
sama atau yang anterior sedikit lebih panjang. Bagi kulit dan jaringan
subkutan sepanjang garis yang direncanakan. Hemostasis biasanya tidak
sukar pada anggota gerak yang iskemik namun bisa terjadi perdarahan hebat
pada anggota gerak yang septik. Ikat semua vena dengan menggunakan
jarum serap 2/0. Perdalam insisi anterior sampai tulang, sambil memotong
tendon quadriceps femoris. Vasa femoralis bersama-sama nervus poplitea
media dan lateral dijumpai pada posisi posteromedial. Ikat rangkap
pembuluh darah dengan benang serap.

Sebelum memotong saraf, beri tegangan pada saraf sehingga saraf tertarik
ke dalam puntung pada amputasi. Jika amputasi dilakukan pada tingkat
yang lebih tinggi, nervus sciaticus bisa dijumpai. Nervus sciaticus diikuti
oleh arteri yang harus didiseksi secara terpisah dan diikat sebelum saraf
dipotong. Setelah memotong semua otot di sekeliling femur, ikat pembuluh
yang tinggal dan hindari pemakaian diatermi. Periksa titik amputasi yang
tepat dari femur dan kerok periosteum dari tulang di daerah ini. Otot-otot
paha harus diretraksi ke arah proksimal untuk memberikan cukup ruang
dalam menggunakan gergaji. Ini bisa dilakukan dengan bantuan beberapa
pembalut abdomen atau retraktor khusus. Setelah memotong femur dan
melepas tungkai bawah, tempatkan handuk bersih di bawah puntung dan
istirahatkan puntung pada mangkok yang dibalik.

Gunakan kikir untuk menghaluskan pinggir femur, kemudian bawa otot-otot


depan dan belakang bersamaan menutup tulang dengan jahitan terputus
benang serap ukuran 1. Pasang suction drain Insisi kulit Titik pemotongan
tulang di bawah lapisan otot. Tempatkan jahitan lapis kedua yang lebih
superfisial dalam otot dan jaringan subkutan karena ini akan membantu
mendekatkan flap kulit. Jahit pinggir kulit dengan beberapa jahitan putus
dengan benang non serap 2/0. Hindari memetik pinggir kulit dengan forsep
24
bergigi. Tutup puntung dengan kasa dan kapas dan balut dengan crepe
bandage.

I. Jenis Amputasi

Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :

a. Amputasi selektif/terencana
Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat
penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan
sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir.

b. Amputasi akibat trauma


Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan.
Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta
memperbaiki kondisi umum klien.

c. Amputasi darurat
Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya
merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma
dengan patah tulang multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.
Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada
trauma dengan patah tulang multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.

J. Penatalaksanaan Amputasi

Amputasi dianggap selesai setelah dipasang prostesis yang baik dan berfungsi. Ada
dua cara perawatan post amputasi yaitu :

a. Rigid dressing
Yaitu dengan menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu dikamar
operasi. Pada waktu memasang harus direncanakan apakah penderita harus
immobilisasi atau tidak. Bila tidak diperlukan pemasangan segera dengan

25
memperhatikan jangan sampai menyebabkan konstriksi stump dan memasang
balutan pada ujung stump serta tempat-tempat tulang yang menonjol.
Keuntungan cara ini bisa mencegah oedema, mengurangi nyeri dan
mempercepat posisi berdiri. Setelah pemasangan rigid dressing bisa dilanjutkan
dengan mobilisasi segera, mobilisasi setelah 7 – 10 hari post operasi setelah luka
sembuh, setelah 2 – 3 minggu, setelah stump sembuh dan mature. Namun untuk
mobilisasi dengan rigid dressing ini dipertimbangkan juga faktor usia, kekuatan,
kecerdasan penderita, tersedianya perawat yang terampil, therapist dan
prosthetist serta kerelaan dan kemauan dokter bedah untuk melakukan supervisi
program perawatan. Rigid dressing dibuka pada hari ke 7 – 10 post operasi
untuk melihat luka operasi atau bila ditemukan cast yang kendor atau tanda-
tanda infeksi local atau sistemik.

b. Soft dressing
Yaitu bila ujung stump dirawat secara konvensional, maka digunakan pembalut
steril yang rapi dan semua tulang yang menonjol dipasang bantalan yang cukup.
Harus diperhatikan penggunaan elastik verban jangan sampai menyebabkan
konstriksi pada stump. Ujung stump dielevasi dengan meninggikan kaki tempat
tidur, melakukan elevasi dengan mengganjal bantal pada stump tidak baik sebab
akan menyebabkan fleksi kontraktur. Biasanya luka diganti balutan dan drain
dicabut setelah 48 jam. Ujung stump ditekan sedikit dengan soft dressing dan
pasien diizinkan secepat mungkin untuk berdiri setelah kondisinya mengizinkan.
Biasanya jahitan dibuka pada hari ke 10 – 14 post operasi. Pada amputasi diatas
lutut, penderita diperingatkan untuk tidak meletakkan bantal dibawah stump, hal
ini perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya kontraktur.

K. Perawatan Pasca Amputasi

a. Perawatan luka pada umumnya dan penggunaan balutan yang halus akan
mengontrol udem, mencegah trauma, menurunkan nyeri, dan membuat
mobilisasi lebih awal demikian juga rehabilitasinya
b. Rehabilitasi dengan pembuatan prostesis yang sesuai

26
L. Komplikasi

a. Komplikasi Dini
Disamping komplikasi operasi yang lazim (khususnya perdarahan sekunder
karena infeksi), terdapat 3 komplikasi khusus yaitu hematoma, terbukanya
kembali flap dan gangren gas.

Hemostasis yang baik sebelum penutupan luka serta pemakaian suction


drainage akan memperkecil frekuensi terjadinya hematoma. Hematoma dapat
memperlambat penyembuhan luka dan menjadi media yang baik bagi
pertumbuhan bakteri. Hematoma harus diaspirasi, dan kemudian dibalut
dengan erat.

Terbukanya kembali skin flap dapat disebabkan oleh iskemia, jahitan yang
terlalu tegang, atau (pada amputasi below knee) disebabkan oleh tibia yang
ditinggalkan terlalu panjang dan menekan flap. Clostridia dan spora penyebab
gangren gas yang berasal dari perineum dapat menginfeksi amputasi above
knee yang terletak tinggi (atau re-amputasi) khususnya jika dilakukan pada
jaringan yang sudah iskemik.

b. Komplikasi Lanjut
Komplikasi lanjut dapat terjadi pada kulit, otot, arteri, saraf, sendi, dan tulang.
Pada kulit komplikasi yang sering terjadi adalah eksim yang disertai
pembengkakan purulen yang nyeri di inguinal. Pada keadaan ini diindikasikan
untuk tidak memakai prothesis untuk sementara.

Ulserasi biasanya terjadi karena sirkulasi yang tidak baik, dan untuk itu
diperlukan amputasi pada level yang lebih tinggi. jika sirkulasi baik dan kulit
disekitar ulkus sehat, maka eksisi 2.5 cm tulang yang dilanjutkan dengan
penjahitan kembali sudah memadai. Jika terlalu banyak otot yang disisakan
diujung stump, efek bantalan yang tidak stabil akan menyebabkan pemakaian
prothesis terganggu. Pada keadaan ini jaringan lunak yang berlebihan harus
dibuang.

27
Sirkulasi yang tidak baik akan menyebabkan stump yang dingin dan kebiruan
yang mudah membentuk ulkus. Masalah seperti ini sering terjadi pada
amputasi below knee dan karenanya diperlukan amputasi ulang.

Saraf yang terpotong selalu membentuk gumpalan (neuroma) dan kadangkala


ini terasa nyeri. Dengan mengeksisi 3 cm saraf diatas neuroma kadangkala
akan menghilangkan keluhan. Cara lain adalah dengan mengelupas seluruh
epidural dan fasikulus saraf sepanjang 5 cm. Dan kemudian ditutup dengan
perekat jaringan sintesis atau ditanam kedalam otot atau tulang jauh dari titik
yang mendapat tekanan.

Phantom limb adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu


sensasi dimana kaki yang telah dipotong masih dirasakan keberadaannya.
Pasien harus diberitahukan tentang kenyataan sebenarnya dan pada akhirnya
sensasi tersebut akan berkurang dan menghilang. Phantom limb yang terasa
nyeri akan sulit ditan gani. Menekuk-nekuk ujung limb secara intermiten
dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan phantom limb dan nyeri karena
neuroma.

Sendi diatas level amputasi mungkin akan kaku atau mengalami deformitas.
Deformitas yang sering terjadi adalah fixed flexion atau fixed abduction pada
sendi panggul karena amputasi above knee (disebabkan otot adduktor dan
hamstring yang telah dipotong). Deformitas ini dapat dicegah dengan
melakukan latihan. Jika deformitas ini telah terlanjur terjadi, osteotomy
subtrochanteric mungkin diperlukan. Fixed flexion pada lutut juga dapat akan
menyebabkan kesulitan berjalan dan karenanya harus dicegah. Spur sering
terbentuk diujung tulang, tetapi biasanya tidak nyeri. Jika terdapat infeksi spur
mungkin akan berukuran besar dan nyeri sehingga mungkin diperlukan eksisi
ujung tulang bersamaan spur. Jika tulang akan menyebabkan sedikit
pembebanan maka akan terjadi osteoporosis yang dapat menimbulkaan fraktur.
Fraktur seperti ini paling baik ditangani dengan fiksasi interna.

28
BAB III
KESIMPULAN

Amputasi adalah hilangnya sebagian alat gerak yang menyebabkan ketidakmampuan


seseorang untuk melakukan aktivitas dalam derajat yang bervariasi, tergantung dari
bagian mana alat gerak yang hilang, usia, dan penanganan operasi (untuk kasus kehilangan alat
gerak yang disebabkan amputasi). Kegiatan amputasi merupakan tindakan yang
melibatkan beberapa sistem tubuh seperti system integumen, sistem persyarafan, sistem
muskuloskeletal dan sisten cardiovaskuler. Labih lanjut dapat menimbulkan masalah psikologis
bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas.

Keputusan untuk mengamputasi melewati suatu proses emosional yang sering


bersama dengan suatu kegagalan perilaku atau gangguan perilaku yang ada
hubungan dengan nilai pendekatan yang dianut adalah pendekatan yang positif dan
rekonstruktif yang tidak berlebihan. Guna mencapai fungsi yang maksimal, amputasi
kedepan memerlukan pemahaman yang jelas tentang operasi amputasi itu sendiri,
dalam penggunaan prostetik post operatif, rehabilitasi amputasi dan jenis
prostetiknya, untuk itu dibutuhkan suatu team yang dapat melakukan pendekatan,
termasuk menerima masukan dari perawat, ahli prostetik, kelompok pendorong para
amputama, yang dapat memberi dorongan dan pengertian sehingga para amputama
dapat hidup layak.

29
DAFTAR PUSTAKA

Apley A G, Solomon L. 1993. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures 7th ed.
Butterworth Heinmann; London.
Bentley G. 2014. European Surgical Orthopaedics and Traumatology. London:
Effort
Brunicardi FC. 2010. Schwartz’s Principles of Surgery, Ninth Edition. Access
Surgery
Sjamsuhidajat R, Jong W D. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. 2008: Jakarta; EGC.

30

Anda mungkin juga menyukai