Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penyakit Refluks Gastroesofageal (GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai


akibat refluks kandungan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang
timbul akibat keterlibatan esophagus, faring, laring dan saluran napas. Telah
diketahui bahwa refluks kandungan lambung ke esophagus dapat menimbulkan
berbagai gejala di esophagus maupun extra esophagus, dapat menyebabkan
komplikasi yang berat seperti striktur, barrett’s esophagus bahkan adenokarsinoma di
kardia dan esophagus. Banyak ahli yang menggunakan istilah esofagitis refluks, yang
merupakan keadaan terbanyak dari penykit refluks gastroesofageal (Aru W Sudoyo,
et all. 2010).

Keadaan ini umum ditemukan pada populasi di Negara-negara barat, namun


dilaporkan relative rendah insidennya di Negara-negara Asia-Afrika. Di Amerika
dilaporkan bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami gejala refluks ( heart burn
dan /regurgitasi) sekali dalam seminggu serta lebih dari 40% mengalami gejala
tersebut sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat mendekati
70% sementara di Negara-negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5 % di
China dan 2,7 % di korea).

Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun


Divisi Gastroenterology Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto
Mangunkusumo, Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua
pasien yang mengalami pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia (Syarifuddin,
1998).

Tingginya gejala refluks pada populasi Negara barat diduga disebabkan


karena factor diet dan meningkatnya obesitas.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
 Mengetahui dan memahami tentang Gastro Esofageal Refluks

1.2.2 Tujuan Khusus


a. Mengetahui definisi dari GERD
b. Mengetahui etiologi GERD
c. Memahami tanda dan manifestasi klinis GERD
d. Mengetahui cara menganamnesa GERD
e. Mengetahui bagaimana Patofisiologi GERD
f. Mengetahui apa saja komplikasi GERD
g. Memahami Prognosis dari GERD
h. Mengetahui bagaimana Pemeriksaan GERD
i. Mengetahui Penatalaksanaan dari GERD
1.3 Manfaat Penulisan
1.3.1 Bagi penulis

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari pembuatan karya tulis ilmiah ini
yaitu dapat menambah pengetahuan penulis tentang semua hal yang berkaitan
dengan Gastro Esofageal Refluks terutama yang berkaitan dengan anamnesa
dan penegakan diagnose dari penyakit tersebut.

1.3.2 Bagi pembaca


a. Dapat menambah pengetahuan tentang Gastro Esofageal Refluks
b. Dapat menambah pengetahuan tentang pemeliharaan kesehatan
kesehatan untuk menghindari penyakit gastro esophageal refluks baik
bagi penulis maupun pembaca
c. Dapat menambah pengetahuan tentang tekhnik pembuatan karya tulis
ilmiah
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi

Penyakit Refluks Gastroesofageal (GERD) adalah suatu keadaan patologis sebagai


akibat refluks kandungan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang
timbul akibat keterlibatan esophagus, faring, laring dan saluran napas (Aru W
Sudoyo, et all. 2010). GERD menimbulkan gejala yang khas berupa rasa terbakar,
nyeri dada, regurgitasi dan komplikasi, yang disebabkan oleh kegagalan dari
mekanisme antirefluks melindungi mukosa esofagus terhadap refluks asam lambung
dengan kadar yang abnormal dan paparan berulang.

Gambar 1 : anatomi lambung

2.2 Etiologi Dan Patogenesa

Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat


terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila :1) terjadi kontak dalam
waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esophagus, 2) terjadi
penurunan resistensi jaringan mukosa esophagus, walaupun waktu kontak antara
bahan refluksat dengan esophagus tidak cukup lama (Aru W Sudoyo, et all. 2010).
Kausa umum esofagitis refluks adalah keadaan-keadaan umum yang menyebabkan
terpajannya mukosa esophagus oleh asam secara terus menerus atau berulang-ulang.
Keadaan-keadaan tersebut mencakup berbagai gangguan yang meningkatkan laju
relaksasi transien spontan sfingter esofagus bawah atau mengganggu refleks yang
normalnya mengikuti relaksasi trasien LES dengan gelombang peristalsis sekunder
(Ganong, et all. 2011).

Esophagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high
pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi LES (lower esophageal sphincter/LES).
Dalam keadaan normal, LES yang berkontraksi secara tonik membentuk sawar yang
efektif terhadap refluks asam gaster dari gaster kedalam esophagus. Hal ini diperkuat
oleh gelombang peristaltic esophagus sekunder sebagai respon terhadap relaksasi
transien LES. Pada individu normal, pemisah atau sawar ini akan dipertahankan
kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan atau aliran
retrograde yang terjadi saat sendawa atau muntah. Efektivitas pemisah ini dapat
terganggu dimana aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi
bila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg), peningkatan frekuensi
relaksasi transien, ketiadaan peristalsis sekunder setelah relaksasi transien,
meningkatnya volume atau tekanan gaster atau meningkatnya produksi asam, yang
kesemuanya meningkatkan kemungkinan refluks isi gaster yang asam untuk
menimbulkan nyeri atau erosi. Refluks berulang dapat merusak mukosa, yang
menimbulkan peradangan sehingga muncul istilah “esofagitis refluks. Refluks
rekuren itu sendiri mempermudah terjadinya refluks berikutnya akibat pembentukan
jaringan parut setelah penyembuhan peradangan epitel yang membuat LES semakin
kurang kompeten sebagai sawar. Kerusakan mukosa berulang menyebabkan infiltrasi
granulosit dan eosinofil, hyperplasia sel basal, dan akhirnya pembentukan tukak
rapuh yang mudah berdarah serta eksudat di permukaan mukosa. Perubahan-
perubahan patologis ini mempermudah terbentuknya jaringan parut dan inkompetensi
sfingter sehingga dapat terjadi siklus peradangan berulang(Ganong, et all. 2011).
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme,
yaitu : 1) refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, 2) aliran
retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3)
meningkatnya tekanan intra abdomen. Dengan demikian, dapat diterangkan bahwa
pathogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara factor defensive
dari esophagus dan factor ofensif dari bahan refluksat(Aru W Sudoyo, et all. 2010).

Ada 4 faktor penting yang memegang peranan untuk terjadinya GERD dan esofagitis
refluks :

1. Rintangan anti-refluks (anti-Refluks Barrier)

Pemeran terbesar rintangan anti refluks adalah tonus LES (lower esophageal
sphincter). Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde
pada saat terjadinya peningkatan tekanan intra abdomen.

Hiatus hernia adalah herniasi organ abdomen, biasanya lambung melalui hiatus
esophagus diaphragma (Dorland. 2002) merupakan faktor penunjang untuk terjadinya
GERD karena kantong hernia mengganggu fungsi sfingter esophagus bagian distal
terutama waktu mengejan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang
dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES.
Dewasa ini LES terbukti memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya
GERD. Tonus LES (lower esophageal sphincter) <6 mmHg hampir selalu disertai
GERD yang cukup berarti. Namun, harus diingat bahwa refluks bisa saja terjadi pada
tekanan LES yang normal. Ini yang dinamakan inappropriate atau transient LES
Relaxation (TLESR) (Hadi Sujono. 2002) yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan
dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa di dahului proses menelan. Belum
diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui
ada hubungannya dengan pengosonga gaster lambat (delayed Gastric emptying) dan
dilatasi gaster.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi tonus LES (lower esophageal distal).

(Tabel 1 : Dikutip dari Gastroenterologi, Sujono Gadi : Hal. 114)


Menaikkan tekanan Menurunkan tekanan
Hormone Gastrin Secretin
Motilin Cholesistokinin
Substance P Glucagon
Somatostatin
Gastric inhibitory
polypeptide
Vasoactive intestinal
polypeptide
Progesterone
Unsur neural A-adrenegic agonist B-adrenergic agonist
B-adrenergic antagonist A-adrenergic antagonist
Klonergic agonist Obat anti kolinergik
Makanan Protein Lemak
Coklat
Etanol
Peppermint
Lain-lain Histamine Theophylline
Antacid Caffein
Metoclopramide merokok
Domperidone kehamilan
Cisapride prostaglandine E2 I2
meperidine, morphine
dopamine
Ca blocking agents
Diazepam
Barbiturates
2. Isi gaster dan pengosongannya

GERD lebih sering terjadi sewaktu selesai makan daripada keadaan puasa, oleh
karena isi gaster merupakan factor penentu terjadinya refluks. Lebih banyak isi gaster
lebih sering terjadinya refluks. Selanjutnya pengososngan gaster yang lamban akan
menambah kemungkinan terjadinya refluks (delayed gastric emptying ) (Hadi Sujono.
2002).

3. Ketahanan epithelial esophagus dan daya perusak bahan refluksat

Berbeda dengan gaster dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mucus yang
melindungi mukosa esophagus (Aru W Sudoyo, et all. 2010).

Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :

a. Membrane sel
b. Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke
jaringan esophagus.
c. Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrient, oksigen dan
bikarbonat, serta mengelurakan ion H+ dan CO2.
d. Sel-sel esophagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+
dan Cl- intracellular dengan Na+ dan bikarbonat extracellular.

Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus, sedangkan
alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. yang dimaksud
dengan factor offensive adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan gaster yang
menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu,
enzim pancreas.

Factor offensive dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya.
Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada pH < 2, atau adanya
pepsin atau garam empedu. Namun, dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya
rusak yang paling tinggi adalah asam.

Factor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan
di gaster yang meningkatkan terjadinya refluks fiiologis, antara lain : dilatasi gaster
atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.

4. Proses membersihkan esophagus ( esophageal clearing)

Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi,
peristaltic, eksresi liur dan bikarbonat.

Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan di alirkan kembali ke
gaster oleh kontraksi peristaltic esophagus yang dirangsang oleh proses menelan dan
pengaruh gaya gravitasi. Proses membersihkan esophagus dari asam ( esophageal
acid clearance) ini sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap. Mula-mula peristaltic
esophagus primer yang timbul pada waktu menelan dengan cepat mengosongkan isi
esophagus, kemudian air liur yang mengandung bikarbonat terbentuk sebanyak 0,5
ml/menit akan menetralkan asam yang masih tersisa. Mekanisme bersihan ini sangat
penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu
transit esophagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian
pasien GERD, ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga
kelainan yang timbul disebab kan karena peristaltic esophagus yang minimal. Refluks
malam hari (nocturnal refluks )lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan
esophagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esophagus tidak
aktif.

Refluks gastroesofagus biasanya terjadi setelah makan dan disebab kan


melemahnya tonus sfingter esophagus atau tekanan di dalam lambung yang lebih
tinggi dari esophagus. Dengan kedua mekanisme ini, isi lambung yang bersifat asam
bergerak masuk ke dalam esophagus.
Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esofagus karena
adanya kontraksi sfingter esofagus (sfingter esofagus bukanlah sfingter sejati, tetapi
suatu area yang tonus ototnya meningkat). Sfingter ini normalnya hanya terbuka jika
gelombang peristaltik menyalurkan bolus makanan ke bawah esofagus. Apabila hal
ini terjadi, otot polos sfingter melemas dan makanan masuk ke dalam lambung.
Sfingter esophagus seharusnya tetap dalam keadaan tertutup kecuali pada saat ini,
karena banyak organ yang berada dalam rongga abdomen, menyebabkan tekanan
abdomen lebih besar dari pada tekanan toraks. Dengan demikian, ada kecenderungan
isi lambung terdorong ke dalam esofagus. Akan tetapi, jika sfingter melemah atau
inkompeten, sfingter tidak dapat menutup lambung. Refluks akan terjadi dari daerah
bertekanan tinggi (lambung) ke daerah bertekanan rendah (esofagus). Pada beberapa
keadaan, meskipun tonus sfingter dala keadaan normal, refluks dapat terjadi jika
terdapat gradien tekanan yang sangat tinggi di sfingter. Sebagai contoh, jika isi
lambung berlebihan tekanan abdomen dapat meningkat secara bermakana.Kondisi ini
dapat disebabkan porsi makan yang besar, kehamilan atau obesitas. Tekanan
abdomen yang tinggi cenderung mendorong sfingter esofagus ke rongga toraks. Hal
ini memperbesar gradien tekanan antara esofagus dan rongga abdomen. Posisi
berbaring,terutama setelah makan juga dapat mengakibatkan refluks. Refluks isi
lambung mengiritasi esofagus karena tingginya kandungan asam dalam isi lambung.
Walaupun esofagus memiliki sel penghasil mukus, namun sel-sel tersebut tidak
sebanyak atau seaktif sel yang ada di lambung (Corwin, 2009: 600)
Berbeda dari bentuk-bertuk lain cedera akibat asam, infeksi oleh H.pylori
tampaknya tidak berperan dalam pembentukan refluks atau esofagitis.

2.3 Faktor Resiko


Faktor Resiko GERD adalah kondisi fisiologis/patologis tertentu seperti tukak
lambung, hiatal hernia, obesitas, kanker, asma, alergi terhadap makanan tertentu dan
luka pada dada (chest trauma). Pada pasien tukak lambung, terjadi peningkatan
jumlah asam lambung, maka semakin besar kemungkinan asam lambung untuk
mengiritasi mukosa esophagus dan LES
2.4 Manifestasi klinik

Keluhan GERD umumnya tidak khas, dan ditemukan berbagai macam kelainan pada
saluran makan bagian atas, kadang-kadang juga dapat pada orang normal yaitu sekitar
7%. Walaupun demikian ada 3 keluhan utama yang sering di ajukan para penderita
yaitu nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri
biasanya di deskripsikan sebagai rasa terbakar (heart burn), kadang-kadang
bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi
dan rasa pahit di lidah (Aru W Sudoyo, et all. 2010). Sebagai penyebab dari keluhan
tersebut diatas sebagai akibat gangguan motilitas di esophagus dan di gaster. Selain
daripada itu ialah akibat meningkatnya asam gaster. Gangguan motilitas di esophagus
yang sering terjadi karena tonus sfingter esophagus bagian distal menurun, sehingga
peristaltic ditempat tersebut menurun. Sedangkan gangguan motilitas di gaster
terutama berkurangnya peristaltic terutama di antrum dan di pylorus yang menurun
sehingga waktu pengosongan gaster menurun. Gejala-gejala lain pada
gastroesophageal reflux termasuk nyeri dada, luka tenggorokan, suara parau, ludah
berlebihan (water brash), rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus), dan
peradangan pada sinus (sinusitis). Dengan iritasi lama pada bagian bawah
kerongkongan dari refluks berulang, lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah
(menghasilkan sebuah kondisi yang disebut Barrett’s esophagus). Perubahan bisa terjadi
bahkan pada gejala-gejala yang tidak ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan
berkembang menjadi kanker pada beberapa orang(www.
Scribd.com/doc/57625415/GERD).

GERD juga dapat menimbulkan manifestasi gejala ekstraesofageal yang atipik


dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-gaster (non-cardia chest pain/NCCP),
suara serak, laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbul nya bronkiektasis atau
asma. Dilain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi factor predisposisi untuk
timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesofageal
high pressure zone akibat penggunaan obat-oabatn yang menurunkan tonus LES,
misalnya Teofilin. Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang
terjadi episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa.

Gambar 2 : nyeri yang ditimbulkan pada GERD

2.5 Diagnosa

2.5.1 anamnesa

Tujuan utama suatu anamnesis adalah untuk mengumpulkan semua informasi dasar
yang berkaitan dengan penyakit pasien dan adaptasi pasien terhadap
penyakitnya.Komunikasi adalah kunci untuk berhasilnya suatu wawancara.Prinsip
utama dalam anamnesis adalah membiarkan pasien mengutarakan riwayat
penyakitnya dalam kata-katanya sendiri (Swartz H Mark, 1995). Dalam karya tulis
ilmiah ini akan dipaparkan bentuk-bentuk anamnesa yang berkaitan dengan penyakit
Gastroesofageal Refluks (GERD. Informasi yang diperoleh pewawancara disusun
menjadi suatu pernyataan komprehensif mengenai kesehatan pasien. Format
penyusunan riwayat penyakit meliputi :

a. Sumber informasi
Sumber informasi biasanya pasien. Jika pasien memerlukan penerjemah,
sumbernya adalah pasien dan penerjemah. Jika anggota keluarga membantu
dalam dalam wawancara ini, namanya harus dicantumkan dalam satu kalimat.
Dalam kasus Gastroesofageal Refluks misalnya, sumber informasi bisa dari
pasien itu sendiri atau anggota keluarga.

b. Keluhan utama
Keluhan utama adalah pernyataan singkat pasien yang menjelaskan mengapa
ia mencari bantuan medis. Pewawancara bisa menanyakan “Apa problem
yang membawa anda datang ke rumah sakit?”.Jawaban dari pertanyaan ini
merupakan keluhan utama. Pada kasus Gastroesofageal Refluks keluhan
utama bisa berupa:
“nyeri/rasa tidak enak di ulu hati, rasa nyeri seperti rasa terbakar sejak
beberapa hari yang lalu”
“nyeri di ulu hati disertai kesulitan menelan makanan”
“nyeri ulu hati disertai rasa mual dan rasa pahit di lidah dan memburuk pada
malam hari dan saat berbaring”

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Riwayat penyakit sekarang menunjukkan perubahan dalam kesehatan akhir-
akhir ini yang membuat pasien mencari bantuan medis sekarang.Pewawancara
harus bisa mengarahkan pertanyaan pada narasumber terkait dengan keluhan
utama dan gejala spesifik yang ditimbulkan dari penyakit. Terkait dengan
Gastroesofageal Refluks berarti pasien mengalami masalah dengan
pencernaan dimana terjadi aliran balik bahan makanan dari gaster ke esofagus.
Beberapa gejala terkait tentang gejala utama penyakit gastroesofageal refluks
yaitu:

1. Nyeri kronis, bisa memancar sampai leher, rahang dan lengan


2. Penyakit pulmonari kronis atau desahan nokturnal, bronkitis, asma, suara
parau di pagi hari, dan batuk (akibat refluks konten gastrik ke dalam
tenggorokan dan aspirasi setelahnya)
3. Disfagia
Disfagia adalah sensasi gangguan pasase makanan dari mulut ke lambung.
Pasien mengeluh sulit menelan atau makanan terasa mengganjal di leher /
dada , atau makanan terasa tidak turun ke lambung. Disfagia yang timbul saat
makan makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang
berkembang dari Barrett’s esophagus. Harus dibedakan dengan odinofagia
(rasa sakit waktu menelan). Disfagia dapat disebabkan oleh gangguan pada
masing-masing fase menelan, yaitu pada fase orofaringeal dan fase
esofageal. Disfagia yang menyertai Gastroesofageal Refluks selalu bersifat
intermitten

1. Disfagia pada fase orofaringeal berupa keluhan adanya regurgitasi ke


hidung, terbentuk waktu berusaha menelan atau sulit untuk mulai
menelan. Bila disfagia terduga pada fase ini, biasanya dilakukan barium
meal, apabila normal dilakukan endoskopi atas + biopsi, namun apabila
normal dapat dilakukan fluoroskopi. Etiologi yang berkaitan dengan
disfagia fase orofaringeal antara lain : penyakit serebrovaskular, kelainan
muskular, tumor, divertikulum Zenker, gangguan motilitas/sfingter
esofagus atas.
2. Disfagia pada fase esofageal, pasien mampu menelan tapi terasa yang
ditelan masih mengganjal atau tidak mau turun serta sering disertai nyeri
retrosternal. Bila disfagia terduga pada fase ini biasanya dilakukan sama
dengan disfagia yang ditemukan pada fase orofaringeal. Awalnya
dilakukan barium meal. Perbedaannya adalah apabila hasilnya normal.
Jika pada fase orofaringeal hasilnya normal, dilakukan fluoroskopi
sedangkan pada fase esofageal bila normal dilakukan manometri. Etiologi
yang berkaitan dengan disfagia fase esofageal : inflamasi, striktur
esofagus, tumor, ring/web, penekanan dari luar esofagus, akalasia,
spasme, esofagus difus, scleroderma (www.Scribd.
Com/doc/44359177/Gastroesofageak-Refluks-GERD).
3. Odinofagia (rasa sakit saat menelan makanan) bisa timbul jika sudah
terjadi ulserasi esophagus yang berat.
4. Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan
pendarahan yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah
kemungkinan dimuntahkan atau keluar melalui saluran pencernaan,
menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna (melena) atau
darah merah terang, jika pendarahan cukup berat. Penyempitan ( stricture)
pada kerongkongan dari reflux membuat menelan makanan keras
meningkat lebih sulit.

d. Riwayat Medis Yang Lalu


Riwayat penyakit yang lalu adalah penilaian kesehatan pasien secara
keseluruhan sebelum penyakit sekarang ini. Riwayat ini mencakup :
1. Keadaan kesehatan umum
2. Penyakit yang lalu
3. Cedera
4. Perawatan di rumah sakit
5. Pembedahan
6. Alergi
7. Imunisasi
8. Penyalahgunaan zat
9. Diet
10. Pola tidur
11. Obat-obat yang sedang digunakan

Sebagai pengantar riwayat medis yang lalu pewawancara dapat menanyakan


,”Bagaimana keadaan kesehatan Anda di masa lalu?” Jika pasien tidak
memberikan jawaban yang spesifik tetapi hanya mengatakan, misalnya
“Sangat baik” atau “cukup baik” , pewawancara dapat menanyakan “Apa arti
sangat (atau cukup) baik bagi Anda?” Riwayat penyakit yang lalu seharusnya
mencakup pernyataan mengenai penyakit pada masa anak-anak dan dewasa.
Pada kasus Gastroesofageal Refluks Riwayat penyakit sebelumnya
ditanyakan apakah sebelumnya pasien pernah menderita penyakit paru yang
dapat menjadi predisposisi GERD ataupun trauma dada yang pernah dialami
pasien.

e. Riwayat Pekerjaan dan Lingkungan


Riwayat pekerjaan dan lingkungan mempertimbangkan pemaparan dengan
zat-zat atau lingkungan yang secara potensial dapat menimbulkan penyakit.
Lama bekerja dan aktifitas yang tepat harus ditanyakan. Pemakaian alat
pelindung dan praktek-praktek kebersihan dan juga pekerjaan di daerah yang
berdekatan harus ditanyakan.Perlu juga ditanyakan apakah pasien pernah
bermukim di daerah pertambangan, peternakan, pabrik, atau galangan kapal.
Pertanyaan-pertanyaan berikut ini mengenai pemaparan di tempat kerja dan di
lingkungan harus ditanyakan pada semua pasien:
“Jenis pekerjaan apa yang Anda lakukan?”
“Anda melakukan pekerjaan ini sudah berapa lama?”
“Ceritakanlah tentang pekerjaan Anda.”
“Apakah Anda terpapar dengan bahan berbahaya?”Apakah Anda pernah
memakai alat pelindung?”
“jenis pekerjaan apa yang Anda lakukan sebelum pekerjaan sekarang ini?”
“Dimana Anda tinggal?...Sudah berapa lama?”
“Apakah Anda pernah tinggal di dekat pabrik, galangan kapal, atau
fasilitas lain yang potensial berbahaya?”
“Apakah ada salah seorang anggota keluarga Anda yang pernah bekerja
dengan bahan-bahan berbahaya yang dapat dibawanya ke rumah?”
“Apa jenis hobi Anda? Hobi ini menyebabkan Anda terpapar dengan zat
apa?”
f. Informasi Biografis
Informasi biografis adalah pernyataan mengenai tanggal, tempat lahir, jenis
kelamin, ras, dan latar belakang etnis.

g. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga memberi informasi mengenai kesehatan seluruh keluarga,
hidup atau mati. Harus diberikan perhatian khusus terhadap kemungkinan
aspek genetic dan lingkungan dari penyakit yang mungkin berdampak
terhadap pasien. Umur dan kesehatan semua anggota keluarga dekat harus
dicatat.

h. Riwayat Psikososial
Riwayat psikososial memberikan informasi pendidikan, pengalaman hidup,
dan hubungan pribadi pasien. Pernyataan mengenai pengetahuan pasien
tentang gejala-gejala dan penyakitnya mengganggu waktu kerja pasien?Apa
pengertian pasien mengenai gejala-gejala penyakitnya? Apakah ia
memikirkan masa depan?Apakah ada hal tertentu yang membuat pasien
stress?

i. Tinjauan Sistem
Tinjauan system meringkas semua gejala dalam bentuk system-sistem tubuh
yang mungkin terlupakan dalam riwayat penyakit-penyakit sekarang atau
riwayat medis yang lalu. Pasien diberitahukan bahwa mereka akan ditanya
apakah pernah mempunyai gejala tertentu, dan mereka hanya menjawab ‘ya’
atau ‘tidak’. Jika jawabannya ‘ya’, sebaiknya diajukan pertanyaan langsung
selanjutnya. Pewawancara dapat menyatakan dalam riwayat penyakit tertulis
atau presentasi verbalnya bahwa “ Pasien mempunyai jawaban positif
terhadap tinjauan system”. Perhatikan semua hal spesifik yang terkaitdengan
penyakit pasien.
Menurut perjanjian kalau pemeriksaan system disebutkan atau dituliskan,
semua gejala yang dialami pasien dituliskan pada kesempatan pertama. Gejala
positif terkait adalah gejala-gejala yang mungkin mempunyai relevansi
dengan penyakit sekarang. Gejala negative terkait adalah gejala-gejala yang
tidak ada tetapi mungkin sering berkaitan dengan penyakit sekarang.
Jika informasi pada tinjauan system telah diuraikan sebelumnya di riwayat
penyakit sekarang, dibawah tinjauan system gejala itu tuliskanlah, “Lihat
riwayat penyakit sekarang.”

2.5.2 Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif
atau GCS dan respon verbal pasien.
b. Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:
- Tekanan darah: sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kajitekanan
nadi, dan kondisi patologi
- Pulse rate
- Respiratory rate
- Suhu
c. Inspeksi :
a) pasien tampak muntah
b) pasien tampak lemah
c) pasien tampak batuk-batuk
d) pasien tampak memegang daerah yang nyeri

d. Auskultasi :
a. Suara terdengar serak
b. Bising usus <12 detik per menit
c. Suara jantung S1/S2 reguler
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

Untuk menegakkan diagnosis dari GERD, disamping anamnesis dan pemeriksaan


fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis GERD, yaitu :

1. Radiologi / Esofagografi dengan barium


Pada pemeriksaan ini diberikan kontras media barium. Perlu di amati
secara fluoroskopi jalannya barium dalam esophagus, perlu di perhatikan
peristaltic terutama di bagian distal. Bila ditemukan refluks barium dari
gaster kembali ke esophagus maka dapat dinyatakan adanya GERD.
Secara radiologi dapat dilihat kelainan struktur di esophagus, antara lain :
akhlasia, striktura esophagus, Ca esophagus. Kelainan struktur dari
esophagus tersebut, dilanjutkan dengan pemeriksaan endoskopi dan
biopsy. Sebaliknya, bila ditemukan adanya dugaan kelainan motilitas
sebaiknya dilakukan manometri esophagus, selanjutnya baru dilakukan
pemeriksaan endoskopi.
Tetapi kelainan lain seperti esofagitis tidak dapat dilihat, terutama
esofagitis ringan. Namun, pada keadaan yang lebih berat, gambaran
radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau
pemyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive
untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini
mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada 1) stenosis esophagus
derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, 2) hiatus
hernia.
2. Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku
untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus
(esofagitis refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat
dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esophagus, serta dapat
menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala
GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan
ini disebut non-erosive refluks disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang
dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsy), dapat
menkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut
disebabkan oleh GERD. Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis
pada pemeriksaan endoskopi dari pasien GERD, antara lain klasifikasi Los
Angeles.

(Tabel 2 : Dikutip dari Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid I, Aru W.Sudoyo,
Hal.482)

Derajat kerusakan Gambaran endoskopi


A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan
diameter <5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter
>5mm tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi
seluruh lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial
(memgelilingi seluruh lumen esophagus)
Gambaran Endoskopi GERD

3. Tes provokatif
a. Tes perfusi asam dari Bernstein untuk evaluasi kepekaan mukosa
esophagus terhadap asam. Disini digunakan 0,1 N HCl yang diteteskan
dengan kecepatan 6-8 ml/menit ke dalam esophagus melalui kateter.
Bila ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami
penderita, sedangkan larutan NaCl tidak nyeri, maka tes ini disebut
positive. Tes Bernstein yang negative tidak memiliki arti diagnostic
dan tidak bisa menyingkirkan nyeri asal esophagus. Kepekaan tes
perfusi asam nyeri dada asal esogafus berkisar 80-90%.
b. Tes farmakologik ini menggunakan obat Edrophonium yang
disuntikkan IV dengan dosis 80Hgv/Kg BB untuk mementukan
adanya komponen nyeri motorik yang dapat dilihat dari rekaman gerak
peristaltic esophagus secara manometrik untuk memastikan nyeri dada
asal esophagus.

4. Pengukuran pH dan tekanan esophagus


Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esophagus. Pengukuran pH dari esophagus bagian bawah dapat
memastikan ada tidaknya GERD, pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas
LES dianggap diagnostic untuk GERD
Cara lain untuk memastikan hubungan nyeri dada dengan GERD adalah
menggunakan alat yang mencatat secara terus menerus selama 24 jam pH
intra-esofagus dan tekanan manometrik esophagus. Selama rekaman,
penderita dapat memberi tanda serangan dada yang dialaminya, sehingga
dapat dilihat hubungan antara serangan dan pH esophagus/gangguan
motorik esophagus.

5. Tes Gastro-Esofageal Scintigraphy


Tes ini menggunakan bahan radio-isotop yang tidak di absorbs biasanya
technetium untuk penilaian pengosongan esophagus dan sifatnya non
invasive.

6. Tes penghambat pompa proton (Proton Pump Inhibitor/ppi test)


Pada dasarnya test ini merupakan terapi empiric untuk menilai gejala dari
GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil
melihat respons yang terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak
tersedia modalitas diagnostic seperti endoskopi, pH metri, dll. Test ini
dianggap positive jika terdapat perbaikan dari 50-75% gejala yang terjadi.
Dewasa ini terapi empiric/PPI test merupakan salah satu langkah yang
dianjurkan dalam algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan
lini pertama untuk pasien-pasien yang tidak disertai dengan gejala alarm
(yang dimaksud gejala alarm adalah berat badan turun, anemia,
hematemesis/melena, disfagia, odinofagi, riwayat keluarga dengan kanker
esophagus/lambung) dan umur >40 th.
2.6 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya ada 3 macam pengobatan/penatalaksanaan penderita
dengan GERD, yaitu :
a. Konservatif
b. Terapi medikamentosa
c. Terapi pembedahan

Tujuan pengobatan dan pengelolaan tersebut adalah untuk


mengurangi/menghilangkan terjadinya refluks, menetralisir bahan refluks,
memperbaiki tonus LES (lower esophageal distal) dan mempercepat
pembersihan esophagus.

1. Pengelolaan konservatif
Pengelolaan konservatif ini lebih dititik beratkan memperbaiki perilaku
penderita, diantaranya :
a. Setelah makan jangan cepat berbaring
b. Hindari mengangkat barang berat
c. Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan seryta menghindari
pakaian yang ketat, terutama di daerah pinggangsehinga dapat
mengurangi tekanan intra abdomen.
d. Biasakan tidur dengan perut tidak terisi penuh
e. Meninggikan posisi kepala saat tidur serta menghindari makan
sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam
selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esofagus
f. Hindari makanan berlemak serta mengurangi jumlah makanan yang
dimakan karena dapat menimbulkan distensi lambung.
g. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alcohol karena kedua hal ini
akan menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi
sel-sel epitel
h. Kurangi atau hentikan minum kopi, coklat, makanan yang banyak
mengandung rempah-rempah, peppermint dan minuman bersoda
karena dapat menstimulasi sekresi asam
i. Menghindari menggunakan obat yang menurunkan tonus di LES.

2. Terapi medikamentosa
Untuk mengobati penderita dengan GERD perlu diperhatikan beberapa factor
patogenik, diantaranya :
a. Meningkatkan penghalang (barrier) anti-refluks
1) Mengatur diit (hindari makan berlemak, kopi, alcohol, coklat,
makanan yang banyak rempah)
2) Berhenti merokok
3) Obat prokinetik (betanichol, metoclopramid, domperidon, cisapride)
4) Antaside
5) Asam alginik
b. Meningkatkan pengosongan atau pembersihan esophagus
1) Meninggikan posisi kepala waktu tidur
2) Betanechol
3) Cisapride
c. Meningkatkan pengosongan gaster
1) Antaside
2) Histamin H2 antagonist
3) Omeprazol
d. Meningkatkan daya tahan mukosa
1) Carbenoxolon
2) Obat sitoprotektif

Berdasarkan beberapa factor pathogenesis, maka dapat dikelompokkan obat tersebut


diatas dalam :

a. Obat prokinetik
b. Obat anti sekretorik
c. Antasida
d. Obat sitoprotektif

Terdapat 2 alur pendekatan terapi medikamentosa yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obatan yang tergolong kurang
kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik,
bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam lebih kuat dengan masa
terapi lebih lama ( penghambat pompa proton/PPI) sedangkan dengan pendekatan
step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan
dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah
atauantagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.

Menurut Genval Statement (1999) serta consensus Asia Fasifik tentang


penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk
GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down. Pada
umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan diatas 80%
dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnay dapat diteruskan dengan terapi
pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan bila perlu yaitu pemberian obat-
obatan selama beberapa hari sampai 2 minggu jika ada kekambuhan sampai gejala
hilang.

1. Obat Prokinetik
Yang temasuk golongan ini ialah betanechol, metoclopramid, domperidon dan
cisapride. Obat prokinetik mempunyai sifat memperbaiki motilitas dan mempercepat
peristaltic saluran makanan disamping meninggikan tonus LES (lower esophageal
distal).
a. Betanechol : mempunyai sifat meningkatkan tonus LES dan kontraksi
gaster, tetapi pada stasis gaster, ternyata tidak mempercepat
pengososngan gaster, bahkan dapat menyebabkan kejang abdomen dan
meningkatkan frekwensi BAK karena mengurangi kapasitas kandung
kemih dan menambah peristalsis ureter. Tidak mempunyai efek anti
muntah. Selain itu akan merangsang sekresi asam dan kelenjar ludah.
b. Metoclopramid : merupakan senyawa golongan benzamid. Mekanisme
kerjanya yaitu potensiasi efek kolinergik, efek langsung pada otot polos
dan penghambatan dopamine (antagonis reseptor dopamine).
Secara farmakodinamik, obat ini memperkuat tonus sfingter esofagus
distal dan meningkat kan amplitude kontraksi esophagus. Di gaster,
memperbaiki koordinasi kontraksi antrum dan duodenum, sehingga
mempercepat pengosongan gaster. Berbeda dengan obat kolinomimetik
pada umumnya, ia tidak meningkatkan sekresi asam gaster maupun
pelepasan gastrin endogen. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat
tumbuh efek pada SSP berupa menhgantuk, pusing, agitasi, tremor dan
diskinesia. Dosis : 3 x 10 mg
c. Domperidon : adalah derivate benzilimidazol, dan merupakan antagonis
dopamine perifer yang merangsang motilitas saluran makan serta
mempunyai khsiat anti muntah. Obat ini berkhasiat untuk pengobatan
refluks gastroesofageal, sindroma dyspepsia, gastroparesis, anoreksia
nervosa. Pemberian domperidon akan meningkatkan tonus LES sehingga
akan mencegah terjadinya GERD. Disamping itu akan meningkatkan
koordinasi antro-duodenal yaitu dengan jalan meningkatkan kontraktilitas
serta manghambat relaksasi gaster sehingga pengososngan gaster lebih
dipercepat. Efek samping dari domperidon lebih rendah dari
metoclopramid karena tidak memperngaruhi reseptor saraf pusat. Dosis :
3 x 10-20 mg /hari
d. Cisapride : merupakan derivate benzidamid dan tergolong obat prokinetik
baru yang mempunyai khasiat memperbaiki gangguan motilitas seluruh
saluran makan
Gangguan motilitas pada saluran makan bagian atas, sering memberikan
keluhan berupa GERD, dyspepsia, gastroparesis, obat ini bermanfaat
untuk memperbaikinya. Hal ini disebabkan karena cisapride akan
meningkat tonus sfingter esophageal distal, peristaltic esophagus dan
pengososngan esophagus. Disamping akan meningkatkan peristaltik
antrum, memperbaiki koordinasi gastro-duodenum dan mempercepat
pengosongan gaster.

2. Obat anti sekretorik


Obat anti sekretorik mempunyai khasiat menurunkan sekresi asam gaster dan
umumnya dpat digolongkan antagonis reseptor H2. Yang termasuk dalam
golongan ini ialah : burinamid, metiamid, simetidin, ranitidine, roxatidine,
nazitidine dan famotidine.

3. Antasida
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala
GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis.
Obat ini ada yang berbentuk tablet kunyah atau berupa cairan suspense yang
dianjurkan dimakan atau diminum diantara waktu makan. Antasida berupa
suspense lebih efektif karena kapasitas buffering lebih baik daripada yang
berbentuk tablet kunyah.
Pengobatan GERD dengan antasida kurang memuaskan karena waktu
kerjanya yang singkat dan tidak dapat diandalkan untuk menetralisir sekresi
asam pada waktu tengah malam. Selanjutnya ada resiko sekresi asam yang
melambung kembali (rebound acid secretion), serta dapat menimbulkan efek
samping diare atau konstipasi. Dosis : 4 x 1 sendok makan.

4. Obat-obat sito-protektif
Dikenal 2 golongan obat sito-protektif, yaitu :
a. Golongan prostaglandin E yang mempunyai sifat selain sito-protektif
juga anti-sekretorik
b. Golongan sito-protektif lokal, yang mempunyai sifat selain sito-
protektif juga mampu membentuk rintangan mekanik, sehingga akan
melindungi mukosa dari asam dan pepsin
5. Antagonis Reseptor H2
Yang termasuk golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan
nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam
pengobatan penyakit refluks

2.7 Diagnosa Kerja

Berdasarkan gejala yang ada, seperti jika makan sedikit saja perut terasa penuh,
dadanya terasa panas, dan terasa asam di mulut. Batuk dan sesak sertamempunyai
riwayat astma. Pada penderita astma sekitar 40-70% mengalami gastroesophageal
refluks. Maka diagnosis kerjanya adalah GERD.

2.8 Differential Dignosa


a) Dispepsia
Dyspepsia adalah sekumpulan gejala yang berasal dari saluran pencernaan atas.
Bisa berhubungan dengan makan atau minum dan diantaranya berupa rasa terbakar
pada jantung dan nyeri (biasanya “asam”) pada perut atas/dada bawah,
“kembung”,anoreksia, muntah, bersendawa, cepat kenyang, perut keroncongan
(borborgygmi) hingga flatus. Gejala itu bisa akut, berulang, dan bisa juga menjadi
kronis. Disebut kronis jika gejala itu berlangsung lebih dari satu bulan terus-
menerus.
b) Esofagitis Korosif
Esofagitis korosif adalah peradangan di daerah esofagus yang disebabkan oleh
luka bakar karena tertelannya zat kimia yang bersifat korosif misalnya asam kuat,
basa kuat, dan zat organik. Esofagitis korosif mempunyai keluhan gejala sakit ketika
menelan, muntah, dan sakit di lambung.
c) Batu Empedu
Suatu episode ikterus obstruktif, gangguan tes fungsi hati atau pancreatitis akut atau
dilatasi duktus biliaris komunis pada ultrasonografi menunjukkan adanya batu
duktus biliaris komunis. Mempunyai gejala nyeri kolik yang berat pada perut bagian
abdomen bagian atas yang menjalar kesekitar batas iga kanan dengan atau tanpa
muntah.
d) Asma
Gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi.
Proses inflamasi ini menyebabkan peningkatan kepekaan (hipereaktiviti) saluran
napas terhadap berbagai rangsangan sehingga timbul gejala/gejala pernapasan akibat
penyempitan saluran napas difus dengan derajat bervariasi yang dapat membaik
secara spontan atau dengan pengobatan. Tanda dan gejalanya meliputi tidak bisa
menghirup cukup udara, rasa penuh di dada, dada terasa berat, rasa tercekik, napas
pendek dan berat.
e) Angina Pektoris
Angina pektoris merupakan suatu gejala klinik yang disebabkan oleh iskemia
miokard yang sementara. Ini adalah akibat dari tidak adanya keseimbangan antara
kebutuhan oksigen miokard dengan dan kemampuan pembuluh darah koroner
menyediakan oksigen secukupnya untuk kokntraksi miokard. Gejalanya adalah sakit
dada sentral atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan,
leher atau punggung. Angina pektoris di jadikan diagnosis banding karena GERD
dapat menimbulkan keluhan rasa nyeri di dada yang kadang – kadang disertai rasa
seperti kejang yang menjalar ke tengkuk, bahu atau lengan sehinga menyerupai
keluhan seperti angina pektoris. Keluhan ini timbul sebagai akibat rangsangan
kemoreseptor pada mukosa.Mungkin juga rasa nyeri di dada tersebut disebabkan oleh
dua mekanisme yaituadanya gangguan motor esophageal dan esophagus yang
hipersensitif (www.Midguidelines.com/gastroesophageal-reflux/differential-
diagnoseis).
2.9 Komplikasi
a. Ulserasi
b. Erosif esophagus
c. Esofagus barrett’s
yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik (Ganong, et
all. 2011). Pada sebahagian besar kasus merupakan lanjutan dari refluk
esofagitis, yang merupakan faktor risiko terhadap adenokarsinoma
esofagusdan adenoma gastro-esofageal junction.
d. Striktur esophagus/ Peradangan esophagus
Peradangan esophagus menyebabkan nyeri selama menelan dan perdarahan
yang biasanya ringan, tetapi bias juga berat. Penyempitan menyebabkan
kesulitan menelanmakanan padat bertambah buruk
e. Gagal tumbuh (failur to thrive)
f. Perdarahan saluran cerna akibat iritasi mukosa (selaput lendir)
Perdarahan dari refluks esofagitis umumnya ringan, namun kadang kala
timbul perdarahan masif, sehingga tidak jarang terjadi anemia defisiensi besi.
g. Aspirasi
h. Tukak kerongkongan
Tukak esophageal peptic adalah luka terbuka yang terasa nyeri pada
lapisankerongkongan. Nyeri ini biasanya dirasakan di belakang tulang dada
atau tepatdibawahnya

2.10 Pencegahan

Beberapa peralatan kemungkinan digunakan untuk meringankangastroesophageal


reflux. Mengangkat kepala pada tempat tidur kira-kira 6 inci mencegah asam
mengalir dari kerongkongan sebagaimana seseorang tidur. Makanandan obat-obatan
yang menjadi penyebab harus dihindari, sama seperti merokok.Pemberian obat
bethanechol atau metoclopramide juga biasa digunakan untuk membuat sphincter
bagian bawah lebih ketat. Makanan dan minuman yang secarakuat merangsang perut
untuk menghasilkan asam atau yang menghambat pengosongan perut harus dihindari
sebaiknya.

2.11 Prognosis

Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut
atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa (jarang menyebabkan kematian) .
Prognosis dari penyakit ini baik jika derajat kerusakan esofagus masih rendah dan
pengobatan yang diberikan benar pilihan dan pemakaiannya. Pada kasus-kasus
dengan esofagitis grade D dapat masuk tahap displasia sel sehingga menjadi Barret’s
Esofagus dan pada akhirnya Ca Esofagus.
BAB III
Kesimpulan dan Saran

3.1 Kesimpulan

GERD adalah gangguan berupa regurgitasi isi lambung yang menyebabkan heartburn
dan gejala lain. Terdapat dua kelompok GERD. Yang pertama adalah GERD erosif
(esofagitis erosif ), didefinisikan sebagai GERD dengan gejala refluks dan kerusakan
mukosa esofagus distal akibat refluks gastroesofageal. Pemeriksaan baku emas untuk
diagnosis GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna atas.Yang kedua adalah
penyakit refluks nonerosif (non-erosive reflux disease, NERD), yang juga disebut
endoscopic-negative GERD, didefinisikan sebagai GERD dengan gejala-gejala
refluks tipikal tanpa kerusakan mukosa esofagus saat pemeriksaan endoskopi saluran
cerna.

3.2 Saran

Untuk mencegah kemungkinan timbulnya gejala klinis pada pasien dengan


Gastroesofageal Refluks, maka hendaknya pasien lebih meninggikan posisi kepala
pada saat tidur, tidak makan terlalu kenyang sebelum tidur, tidak mengenakan
pakaian yang ketat, menghindari mengkonsumsi makanan dan minuman yang dapat
menurunkan tonus LES seperti makanan berlemak, kopi, teh, coklat, alcohol, dll.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, W, Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi V. 2010.
Interna Publishing : Jakarta
2. Konsensus nasional penatalaksanaan penyakit reflux
gastroesophangeal/GERD di
indonesia 2004
3. Zarling EJ. A review of reflux esophangitis around the world. WJG, 1998 ;
1996; 2-24
4. Stanhellini V.gastro-esophangeal reflux disease ; therapuetic strategies for the
new millenium. European Journal Of clinical research 1997
5. Triadafilopous MD. Endoscopic therapies for gastroesophangeal reflux
disease . current gastroenterology reports 2002
6. Zhang TC. Endoskopic studies of reflux esophangitis .JAMA south east asia
1996
7. Price, A, Sylvia, dkk. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6. 2006.EGC : Jakarta
8. Hadi, Sujono. Gastroenterologi.2002. Alumni : Bandung
9. Cody, R, Thane,D, dkk.Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorokan.1991.
EGC : Jakarta
10. Mc Phee, J, Stephen, dkk. Patofiologi Penyakit Pengantar Menuju Kedokteran
Klinis. 2011. EGC : Jakarta
11. Dorland. Kamus Kedokteran Edisi 29. 2002. EGC : Jakarta
12. Swartz, H, Mark. Buku Ajar Diagnostik Fisik. 1995. EGC : Jakarta
13. www. Scribd. Com/doc/44359177/Gastroesofageak-Refluks-GERD
14. www. Midguidelines.com/gastroesophageal-reflux/differential-diagnoseis
15. www. Scribd.com/doc/57625415/GERD
BAB I
PENDAHULUAN

Lipid adalah salah satu kelompok senyawa organik yang terdapat dalam
tumbuhan, hewan atau manusia dan yang sangat berguna bagi kehidupan manusia
ialah lipid. Untuk memberikan defenisi yang jelas tentang lipid sangat sukar, sebab
senyawa yang termasuk lipid tidak mempunyai rumus struktur yang serupa atau
mirip. Para ahli biokimia sepakat bahwa lemak dan senyawa organik yang
mempunyai sifat fisika seperti lemak, dimasukkan kedalam satu kelompok yang
disebut lipid. Di dalam darah kita ditemukan tiga jenis lipid yaitu kolestrol,
trigliserida dan fosfolipid. Oleh karena sifat lipid yang susah larut dalam lemak ,
maka perlu dibuat bentuk yang terlarut. Untuk itu butuh suatu zat pelarut yaitu suatu
protein yang dikenal dengan nama apolipoprotein yang sering diberi nama secara
alfabetis yaitu Apo A, Apo B, Apo C dan Apo E. Senyawa lipid dengan apoprotein
ini sering disebut sebagai lipoprotein. Setiap lipoprotein terdiri atas Kolestrol
(bebas/ester), Trigliserid, Fosfolipid dan Apoprotein. Lipoprotein berbentuk sferik
(bentuk bulat agak melonjong) dan mempunyai inti trigliserid dan kolestrol ester dan
dikelilingi oleh fosfolipid dan sedikit kolestrol bebas. Apoprotein ditemukan pada
permukaan lipoprotein (lihat gambar).

Setiap lipoprotein berbeda dalam ukuran, densitas, komposisi lemak, dan


komposisi lipoprotein. Dengan menggunakan ultrasentrifusi, pada manusia dibedakan
enam jenis lipoprotein, yaitu:
1. HDL (High Density Lipoprotein) : lipoprotein yang terlibat dalam metabolisme
VLDL, LDL dan IDL. HDL disintesis oleh usus dan hati.
2. LDL (Low Density Lipoprotein) : adalah stadium akhir dari katabolisme VLDL.
VLDL yang dikeluarkan oleh hati akan berubah menjadi LDL di dalam sirkulasi
darah. LDL banyak mengandung kolesterol dibandingkan bentuk VLDL.
3. IDL (Intermediate Density Lipoprotein) : bentuk peralihan dari VLDL ke LDL,
biasanya terbentuk singkat dalam pembuluh darah.
4. VLDL (Very Low Density Lipoprotein) : adalah lemak yang diangkut dari hati (dari
metabolisme hati).
5. Kilomikron : adalah lemak yang diangkut mukosa usus.
6. FFA (Free Fatty Acid) : adalah asam lemak bebas yang dijumpai dalam plasma darah
sebagai produk lipolisis dari pembuluh darah dan jaringan adipose/lemak.

Adapun sifat fisika yang dimaksud ialah:


1. Tidak larut dalam air, tetapi larut dalam satu atau lebih dari satu pelarut organik
misalnya ester, aseton, kloroform, benzena yang sering disebut “pelarut organik”.
2. Ada hubungan dengan asam lemak atau esternya.
3. Mempunyai kemungkinan digunakan oleh mahluk hidup. Jadi berdasarkan sifat
fisika tersebut, lipid dapat diperoleh dari hewan atau tumbuhan dengan cara ekstraksi
dengan menggunakan pelarut lemak tersebut. Jaringan bawah kulit di sekitar perut,
jaringan sekitar ginjal mengandung banyak lipid terutama lemak kira-kira sebesar
90%, dalam jaringan otak atau dalam telur terdapat lipid kira-kira sebesar 7,5 sampai
30% (Poedjiadi,2006).
Salah satu Minyak dan lemak berperan sangat penting dalam gizi kita terutama
karena merupakan sumber energi, cita rasa, serta sumber vitamin A, D, E, dan K.
Manusia dapat digolongkan mahluk omnivora, artinya makanannya terdiri dari bahan
hewani maupun nabati, karena itu dapat menerima minyak dan lemak dari berbagai
sumber maupun tanaman. Minyak merupakan jenis makanan yang paling padat
energi, yaitu mengandung 9 kkal per gram atau 37 kilojoule per gram. (Winarno,
1992).
Penggolongan Senyawa Lipid :
Senyawa yang termasuk lipid ini dapat dibagi dalam beberapa golongan. Ada
beberapa cara penggolongan yang dikenal. Bloor membagi lipid dalam tiga golongan
besar, yakni:
1. Lipid sederhana yaitu ester asam lemak dengan berbagai alkohol, contohnya: lemak
atau gliserida dan lilin (waxes).
2. Lipid gabungan/kompleks yaitu ester asam lemak yang mempunyai gugus tambahan,
contohnya: fosfolipid.
3. Derivate lipid yaitu senyawa yang dihasilkan oleh proses hidrolisis lipid, contohnya:
asam lemak, gliserol, dan sterol.
Disamping itu berdasarkan sifat kimia yang penting, lipid dapat dibagi dalam dua
golongan yang besar, yakni:
1. Lipid yang dapat disabunkan yaitu dapat dihidrolisis dengan basa, contohnya lemak.
2. Lipid yang tidak dapat disabunkan, contohnya steroid.
Dan beberapa golongan lipid berdasarkan kemiripan struktur kimianya, yaitu:
1. Asam lemak
2. Lemak
3. Lilin
4. Fosfolipid
5. Stingolipid
6. Terpen
7. Steroid
8. Lipid kompleks
(Poedjiadi,2006).
BAB II
PEMBAHASAN

Definisi

Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan


peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang
utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan trigliserida serta
penurunan kadar kolesterol HDL (Sunita, 2004). Dislipidemia adalah keadaan
terjadinya peningkatan kadar LDL kolesterol dalam darah atau trigliserida dalam
darah yang dapat disertai penurunan kadar HDL kolesterol (Andry Hartono, 2000).
Dislipidemia dalam proses terjadinya aterosklerosis semuanya memiliki peran yang
penting dan sangat berkaitan satu dengan yang lain, sehingga tidak mungkin dibahas
sendiri-sendiri.
Ketiganya dikenal sebagai trias lipid, yaitu:
a. Kolesterol total
Banyak penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara kadar kolesterol total
darah dengan resiko penyakit jantung koroner (PJK) sangat kuat, konsisten, dan tidak
bergantung pada faktor resiko lain. Penelitian genetik, eksperimental, epidemiologis,
dan klinis menunjukkan dengan jelas bahwa peningkatan kadar kolesterol total
mempunyai peran penting pada patogenesis penyakit jantung koroner (PJK).
b. Kolesterol HDL dan kolesterol LDL
Bukti epidemiologis dan klinis menunjang hubungan negatif antara kadar
kolesterol HDL dengan penyakit jantung koroner. Intervensi obat atau diet dapat
menaikan kadar kolesterol HDL dan dapat mengurangi penyakit jantung koroner
c. Trigliserida
Kadar trigliserida diantara 250-500 mg/dl dianggap berhubungan dengan penyakit
jantung koroner apabila disertai adanya penurunan kadar kolesterol HDL.

Kadar lemak darah dalam Kisaran Ideal


tubuh (mg/dl)
Kolesterol Total 120-200
LDL 60-160
HDL 35-65
Perbandingan LDL/HDL <3,5
Trigliserida <200

Sumber: Bahri anwar, 2004

A.2 Klasifikasi Dislipidemia


Klasifikasi dislipidemia berdasarkan patogenesis penyakit adalah sebagai berikut:
a) Dislipidemia Primer Yaitu kelainan penyakit genetik dan bawaan yang dapat
menyebabkan kelainan kadar lipid dalam darah.
b) Dislipidemia Sekunder Yaitu disebabkan oleh suatu keadaan seperti
hiperkolesterolemia yang diakibatkan oleh hipotiroidisme, nefrotik syndroma,
kehamilan, anoreksia nervosa, dan penyakit hati obstruktif. Hipertrigliserida
disebabkan oleh DM, konsumsi alkohol, gagal ginjal kronik, miokard infark, dan
kehamilan. Dan dislipidemia dapat disebabkan oleh gagal ginjal akut, penyakit hati,
dan akromegali.
A.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kadar lipid :
Dalam batasan ilmiah, dislipidemia terjadi adanya akumulasi kolestrol dan lipid pada
dinding pembuluh darah. Dislipidemia merupakan masalah yang cukup penting
karena termasuk faktor resiko utama penyakit jantung koroner. Penelitian mendukung
bahawa dislipidemia memiliki lebih dari asatu penyebab. Faktor genetic, pola makan,
gaya hidup, obesitas dan faktor lain.
a. Faktor genetik
Dislipidemia cenderung terjadi dalam keluarga, mendukung bahwa hal itu
mungkin memiliki suatu penyebab genetic. Dalam dunia medis dislipidemia yang
diturunkan familial dislipidemia (FD). FD ini merupakan penyakit genetic yang
diturunkan secara dominan autosomal (kromosom yang bukan untuk produksi) dalam
sel manusia. Penyebab penyakit ini adalah adanya mutasi yang terjadi pada reseptor
kolestrol LDL. Reseptor LDL merupakan reseptor sel perukaan yang berfungsi untuk
mempertahankan homeostasis kolestrol. Cara sederhana untuk menerangkan bahwa
penyebab dislipidemia dari faktor genetik yiatu sebesar 80% dari kolestrol di dalam
darah di produksi oleh tubuh sendiri ada sebagian orang yang memproduksi kolestrol
lebih banyak dibandingkan yang lain. Ini disebabkan karena factor keturunan. Pada
orang tersebut meskipun hanya mengkonsumsi makanan yang mengandung kolestrol
atau lemak jenuh tetapi tubuh tetap saja memproduksi kolestrerol lebih banyak.
b. Faktor pola makan
Terjadi penyumbatan dan penyempitan pembuluh arteri koroner tersebut
disebabkan oleh penumpukan zat-zat lemak ( kolesterol, trigliserida) di bawah
lapiasan terdalam (endothelium) dan dinding pembuluh nadi. Salah satu factor yang
paling berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya penimbunan zat lemak ini
adalah gaya hidup, khususnya pola makan. Penyakit jantung kerap diidentikan
dengan penyakit akibat “ hidup enak”, yaitu terlalu banyak mengkonsumsi makanan
mengandung lemak dan kolestrol. Hal ini semakin menjadi dengan kian
membudayanya konsumsi makanan siap saji junk food aktu dalam kurun waktu satu
decade ini. Junk food telah menjadi bagian dari gaya hidup sebagai masyarakat di
Indonesia , diberbagai tempat yang selalu penuh oleh pengunjung dengan berbagai
usia, dari kalangan annak-anak hingga dewasa. Padahal jun food banyak mengandung
sodium. Lemak jenuh dan kolestrol. Lemak jenuh berbahaya bagictubuh karena
merangsang hati untuk memproduksi banyak kolesterol yang juga berperan akan
muncul penyakit jantung. Karena kolestrol yang mengendap lama-lama akan
menghambat aliran darah dan oksigen sehingga mengganggu metabolisme otot
jantung. Cara terbaik untuk menjaga tubuh dari serangan jantung adalah mengubah
gaya hidup dengan menjalankan diet seimbang. Untuk menghindari penimbunan
lemak jenuh seperti lemak sapi, kambing, makananan bersantan dan gorengan kerena
dapat meningkatkan kadar kolestrol darah. Lemak jenuh tunggal mempunyai
pengaruh sedikit terhadap peningkatan kadar kolestrol darah, terdapat pada minyak
jaitun, minyak biji kapas, minyak wijen.
c. Faktor obesitas
Obesitas digunakan untuk memahami batasan sederhana dari kelebihan berat
badan yang dihasilkan dari makan terlalu banyak dan aktifitas terlalu sedikit. Obesitas
merupakan hasil interaksi kompleks antara factor-faktor genetic, pertilaku dan
lingkungan menyebabkan ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran energy.
Peningkatan berat badan 20% atau lebih diatas berat badan normal adalah titik
dimana kelebihan berat badan berkembang menjadi gangguan kesehatan. Tingkat
kelebihan berat badan yang rendah dapat berkaitan dengan resiko kesehatan, terutama
timbulnya gangguan kesehatan lain seperti diabetes, hipertensi dan penyakit jantung.
Orang dengan obesitas maka didalam tubuhnya cenderung akan banyak timbunan
lemak yang berlebih, dan timbulnya lemak yang ada dalam tubuh ini akan
menyebabkan penyempitan pada pembuluh darah. Penyempitan pembuluh darah ini
kemudian akan dapat meningkatkan kadar kolestrol total dan LDL kolestrol. Obesitas
telah berkembang sebagai faktor resiko diabetes. Hipertensi, penyakit kardiovaskuler
dan beberapa kanker pada pria dan wanita. Kondisi lain yang terjadi, termasuk
kesulitan bernafas waktu tidur, osteoarthritis, kemandulan, hipertensi intracranial
idiopati, penyakit statis vena pada anggota gerak bawah,getaran gastro-esofageal dan
gangguan perkemihan.
d. Faktor kebiasan merokok
Masyarakat awam sudah banyak mengetahui bahwa merokok bisa merusak
paru-paru karena asap yang dihisap langsung masuk ke paru-paru namun banyak
orang tidak tahu bahwa rokok ternyata juga bisa meningkatkan kolestrol dalam tubuh
manusia. Beberapa situs kesehatan disebutkan bahwa zat-zat kimia yang terkandung
dalam rokok, terutama nikotin dapat menurunkan kadar kolestrol baik (HDL) dan
meningkatkan kadar kolestrol buruk (LDL) dalam darah. Pada kebanyakan orang
yang merokok ditemukan bahwa kadar HDLnya rendah. Berarti kadar pembentukan
kolestrol baik yang bertugas membawa lemak dari jaringan ke hati menjadi
terganggu, sementara kebalikannya justru terjadi pada kadar LDL nya. Pada orang
merokok ditemukan kadar LDL nya tinggi , berarti lemak daru justru dibawa kembali
ke jaringan tubuh. Bahan dasar rokok mengandung zat-zat kimia yang berbahaya bagi
kesehatan. Dalam satu batang rokok terdapat kurang lebih 4.000 jenis bahan kimia,
40% diantaranya beracun. Bahan kimia yang berbahaya terutama nikotin, tar,
hidrokarbon, karbon monoksida, dan logam berat dalam asap rokok. Nikotin dalam
rokok dapat mempercepat proses penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah.
Penyumbatan dan penyempitan ini bisa terjadi pada pembuluh darah koroner, yang
bertugas membawa oksigen ke jantung. Selain mempurburuk profil lemak atau
kolestrol darah, rokok juga dapat meningkatkan tekanan darah dan nadi.
e. Kurang keteraturan berolahraga.
Aktifitas yang efektif dapat menurunkan kadar kolestrol yaitu berupa olahraga
teratur yang dilakukan minimal tiga kali seminggu masing-masing dengan lama
waktu antara kurang lebih 45 menit. Olahraga yang dianjurkan adalah olahraga yang
melibatkan otot-otot besar tubuh seperti paha, lengan atas serta pinggul,seperti senam,
aerobic, jalan kaki, berenang, jogging, atau bersepeda. Olahraga merupakan bagian
dari aktifitas fisik yang dilakukan untuk tujuan memperoleh manfaat kesehatan.
Aktifitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh tubuh dan sistem penunjangnya.
Selama aktifitas fisik, otot membutuhkan energi luar metabolisme untuk bergerak.
Banyaknya energy yang dibutuhkan tergantung seberapa banyak otot bergerak,
berapa lama dan berapa berat aktifitas yangdilakukan.
Manfaat olahraga yang teratur yaitu :
1)Meningkatkan kadar HDL kolestrol.
2)Memperbaiki fungsi paru dan pemberian O2 ke miokard.
3)Menurunkan berat badan sehingga lemak tubuh yang berlebihan berkurang
bersama-sama dengan menurunkan LDL kolestrol.
4)Membantu menurunkan tekanan darah.
5)Meningkatkan kesegaran jasmani.
f. Stress
Secara sederhana stress dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
individu terganggu keseimbangannya. Stress terjadi akibat adanya situasi eksternal
atau internal yang memunculkan gangguan dan menurunkan individu untuk berespon
adaptif. Stress merupakan sesuatu yang terpisahkan dari kehidupan manusia, bahkan
stress seperti merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri.
Dalam sebuah penelitian menunjukkan orang yang stress 1,5 x lebih besar
mendapatkan resiko PJK daripada orang yang tidak stress karena dengan adanya
stress terjadi peningkatan kolestrol darah dan tekanan darah dalam tubuh.

A.4 Faktor Risiko


Timbunan lemak di dalam lapisan pembuluh darah (plak kolesterol) membuat
saluran pembuluh darah sempit dan aliran darah menjadi kurang lancar. Plak
kolesterol pada dinding pembuluh darah bersifat rapuh dan mudah pecah,
meninggalkan “luka” pada dinding pembuluh darah yang dapat mengaktifkan
pembentukan bekuan darah. Pembuluh darah dikarenakan sudah mengalami
penyempitan dan pengerasan oleh plak kolesterol, maka bekuan darah ini mudah
menyumbat pembuluh darah secara total yang dikenal sebagai aterosklerosis (proses
pembekuan plak pada pembuluh darah). Penyempitan dan pengerasan ini apabila
cukup berat akan menyebabkan suplai darah ke otot jantung tidak memadai, maka
akan menimbulkan sakit atau nyeri dada yang disebut sebagai angina, bila berlanjut
akan menyebabkan matinya jaringan otot jantung yang disebut infrak miokard, dan
apabila meluas akan menimbulkan gagal jantung atau PJK (penyakit jantung
koroner). Jika aterosklerosis terjadi di dalam arteri yang menunju ke otak
(artericarotid) maka akan menyebabkan stroke. Gejala serangan tergantung dari
derajat serangan, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Gejala stroke ringan :
bicara tiba-tiba pelo, gejala yang lebih berat berupa kelumpuhan, anggota gerak
badan, wajah menjadi asimetris, jika terjadi perdarahan hebat akan menyebabkan
kematian. Dislipidemia juga berkaitan dengan penyakit kencing manis atau diabetes
mellitus (DM) dimana pada penderita DM kadar gula dalam darah akan melebihi
normal. Kadar gula darah apabila naik dan berlangsung lama maka akan memicu
terjadinya aterosklerosis pada arterikoroner dan akan meningkatkan kadar kolesterol
dan trigliserida. Bentuk LDL pada penderita DM lebih padat dengan ukuran yang
lebih kecil yang sering disebut Small Dense LDL, sehingga akan lebih mudah masuk
kedalam lapisan pembuluh darah yang lebih dalam, ini akan lebih berbahaya karena
lebih bersfat aterogenetik (lebih mudah menempel pada pembuluh darah dan lebih
mudah membentuk plak). Dampak lain yang ditimbulkan oleh dislipidemia adalah
disfungsi ereksi kemampuan mencapai atau mempertahankan penis yang memadai
untuk melakukan hubungan seksual yang memuaskan. Proses aterosklerosis dapat
terjadi pada pembuluh darah penis (arteri dosal penis) plak yang menyumbat
pembuluh darah penis akan menyebabkan penis tidak mendapat aliran darah sehingga
mengganggu terjadinya ereksi.
Penyakit Akibat Dislipidemia
a. Arterosklerosis
Adalah radang pada pembuluh darah manusia akibat akumulasi kolesterol di dalam
dinding pembuluh darah arteri, mengakibatkan penebalan arteriol dan pengerasan
pada pembuluh darah yang dapat menghambat aliran darah ke berbagai organ.
Aterosklerosis adalah proses umum yang melibatkan banyak pembuluh darah di
tubuh, termasuk di jantung, otak, dan ginjal.
b. Hipertensi
Adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik > 140mmHg
dan tekanan darah diastolik > 90mmHg. Sebuah tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHg adalah definisi yang diterima untuk hipertensi sistolik, sedangkan tekanan
lebih dari 90 mmHg sering didefinisikan sebagai hipertensi diastolik. Tingkat tekanan
darah harus konsisten, bukan sekadar rekaman sporadis. Untuk menentukan apakah
hipertensi hadir, yang terbaik adalah mengukur tekanan darah sendiri, yang diperoleh
di luar pemeriksaan rutin kedokter, yaitu dianjurkan 1 bulan sekali. Gejala : sakit
kepala, migrain, rasa berat di tengkuk, mata berkunang-kunang, lemah, muka pucat,
suhu tubuh sedikit rendah.
c. Klaudikasio intermitten
Adalah nyeri pada otot ekstremitas bawah yang timbul ketika berjalan disebabkan
oleh penyumbatan kolestrol di pembuluh darah kaki. Penyakit ini menyebabkan
penderita berhenti untuk berjalan.

Mekanise penyakit klaudikasio intermiten :


Plak aterom/lemak di pembuluh darah  asupan darah (mengandung oksigen dan
glukosa) ke jaringan otot di kaki berkurang  otot kekurangan oksigen untuk
metabolisme  kompensasi otot melakukan metabolisme anaerob (metabolisme
tanpa menggunakan oksigen)  metabolisme anaerob di otot menghasilkan asam
laktat  timbunan asam laktat pada jaringan otot  nyeri pada otot.
Beratnya hambatan aliran darah di arteri ektrimitas bawah dibedakan dalam stadium
menurut Fontaine (dikutip dari Viles-Gonzales JF, Fuster V, Badimon JJ,
Atherombosis. Awidespread disease with unpredictable & life threatening
consequence Europeheart journal 2004 25(14):1197-07.) :
 Stadium I : aliran darah ke jaringan masih cukup, walaupun terdapat penyempitan
arteri.
 Stadium II : aliran darah ke otot tidak memadai pada aktivitas tertentu. Timbulnya
klaudikasio intermiten. Gejala ini mengurangi penggunaan otot sehingga jarak
tempuh dalam berjalan tidak dapat melebihi jarak tertentu.
 Stadium III : aliran darah ke jaringan sudah tidak memadai saat istirahat.
 Stadium IV : menurunnya aliran darah mengakibatkan nekrosis (kematian jaringan).
d. Penyakit jantung koroner (PJK)
Adalah kondisi yang dimulai ketika zat kolesterol keras (plak) terakumulasi di dalam
arteri koroner. Plak dalam arteri koroner itu bisa pecah dan menyebabkan
pembentukan gumpalan kecil, yang dapat menghambat aliran darah ke otot jantung,
penyakit ini juga dikenal sebagai penyakit arteri koroner (PAK). Gejala: rasa nyeri di
dada (seperti tertekan, tertusuk), kelelahan, jantung berdebar-debar, sesak nafas,
pusing dan pingsan.
e. Penyakit stroke
Adalah penyakit serebro vaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan
kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran
darah dan oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini bisa
dikarenakan adanya sumbatan, penyempitan atau pecahnya pembuluh darah.
Berdasarkan proses patologi/perjalanan penyakit dan gejala klinisnya, stroke dibagi
menjadi stroke iskemik dan stroke hemorragik.
 Stroke Iskemik adalah kerusakan jaringan otak yang disebabkan kurangnya aliran
darah ke otak sehingga mengganggu kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak.
 Stroke Hemoragik adalah pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya
darah ke jaringan otak sehingga menekan struktur otak kemudian menyebabkan
gangguan persarafan di otak seperti nyeri kepala, hilang kesadaran dll.
Secara klinis perbedaan stroke iskemik dan hemoragik
GEJALA HEMORAGIK ISKEMIK
Onset / lama waktu Berlangsung mendadak Berlangsung pelan
terjadi (menit- jam) (jam-hari)
Nyeri kepala Hebat Ringan/tak ada
Muntah pada awal Sering Tak ada
Kaku kuduk Jarang/biasa ada Tak ada
Kejang Bisa ada Tak ada
Kesadaran Biasa hilang Dapat hilang
Gangguan bicara Sering Bisa ada/ tidak
Kelumpuhan Sering Bisa ada/tidak
Hipertensi Sering Bisa ada/tidak

A.6 Pencegahan Dislipidemia


1. Mengatur pola makan yaitu dengan cara Mengkonsumsi makanan yang seimbang
sesuai dengan kebutuhan, makanan seimbang adalah makanan yang terdiri dari :
 60% kalori berasal dari karbohidrat
 15% kalori berasal dari protein
 25% kalori berasal dari lemak
 Kalori dari lemak jenuh tidak boleh dari 10%
Kelebihan kalori dapat diakibatkan dari asupan yang berlebih atau (makanan banyak)
atau penggunaan energi yang sedikit (kurang aktifitas). Kelebihan terutama dari yang
berasal dari karbohidrat dapat menyebabkan peningkatan kadar trigliserida. Contoh
makanan yang mengandung karbohidrat tinggi yaitu daging, ikan, udang, putih telur.
Contoh protein yang mengandung protein nabati tinggi yaitu tahu, tempe, kacang-
kacangan.
2. Menurunkan asupan lemak jenuh Lemak jenuh terutama berasal dari minyak kelapa,
santan, dan semua minyak lain seperti minyak jagung, minyak kedelai, dan lain-lain
yang mendapatkan pemanasan tinggi atau dipanaskan berulang-ulang. Kelebihan
lemak jenuh akan mengakibatkan peningkatan kadar LDL kolestrol.
3. Menjaga agar asupan lemak jenuh tetap baik secara kuantitas maupun kualitas
Minyak tidak jenuh terutama didapatkan ikan laut serta minyak sayur dan minyak
zaitun yang tidak dipanaskan dengan pemanasan tinggi atau tidak dipanaskan secara
berulang-ulang. Asupan lemak tidak januh ini akan dapat meningkatkan kadar
kolestrol HDL, dan mencegah terbentuknya endapan pada pembuluh darah.
4. Menurunkan asupan kolestrol. Kolestrol terutama banyak ditemukan pada lemak
hewan, jeroan, kuningan telur, seafood (kecuali ikan).
5. Mengkonsumsi lebih banyak serat dalam menu makanan sehari Serat berfungsi untuk
mengikat lemak yang berasal dari makanan dalam proses pencernaan, sehingga
mencegah peningkat kadar LDL kolestrol.
6. Merubah cara masak Minyak goreng dari asam lemak tidak jenuh sebaiknya bukan
digunakan untuk menggoreng tetapi digunakan digunakan untuk minyak salad
sehingga mempunyai efek positif terhadap peningkatan HDL kolestrol maupun
pencegahan terjadinya endapan pada pembuluh darah.
A.7 Patofisiologi Dari Dislipidemia
Sebagian besar pasien hiperkolesterolemia sebelumnya mempunya iriwayat
familial (riwayat penyakit kolesterol di keluarga), namun penyebabnya masih belum
diketahui, Namun biasanya faktor risiko dislipidemia yang paling utama adalah
disebabkan kelebihan berat badan dan pola makan.

Orang dengan kelebihan berat badan (obesitas) dan pola makan tinggi lemak
(terutama lemak hewani)

Menyebabkan sintesis kolestrol di hati meningkat

konsentrasi LDL (yang kaya kolestrol) ikut meningkat

LDL akan berikatan dengan reseptor scavenger yaitu reseptor perantara
pengumpulan kolestrol di makrofag, kulit dan pembuluh darah

Menyebabkan menumpuknya kolesterol di sel makrofag, kulit dan pembuluh
darah

Memicu terjadinya penyakit aterosklerosis dan penyakit jantung koroner
Penatalaksanaan

Langkah awal penatalaksanaan dislipidemi dimulai dengan penilaian jumlah


faktor risiko koroner yang ditemukan pada pasien tersebut (risk assessment) untuk
menentukan sasaran kolesterol yang harus dicapai.

Penatalaksanaan dislipidemi terdiri atas : Penatalaksanaan non-farmakologik dan


Penatalaksanaan farmakologik menggunakan obat2 penurun lipid.

Penatalaksanaan non-farmakologik

Meliputi terapi nutrisi medis, aktivitas fisik serta beberapa upaya lain seperti
berhenti merokok, menurunkan berat badan bagi yang gemuk dan mengurangi asupan
alkohol. Penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas fisik dapat menurunkan
kadar trigliseridaa dan meningkatkan kadar HDL kolesterol serta sedikit menurunkan
kadar LDL kolesterol.

a. Terapi Nutrisi Medis

Selalu merupakan tahap awal penatalaksanaan dislipidemi, oleh karena itu


disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli gizi. Pada dasarnya adalah
pembatasan jumlah kalori dan jumlah lemak. Pasien dengan kadar kolesterol LDL
atau kolesterol total yang tinggi dianjurkan untuk mengurangi asupan lemak
jenuh dan meningkatkan asupan lemak tidak jenuh rantai tunggal dan ganda (
mono unsaturated fatty acid = MUFA dan poly unsaturated fatty acid = PUFA).
Pada pasien dengan kadar trigliserida yang tinggi perlu dikurangi asupan
karbohidrat, alkohol dan lemak.

 Terapi Nutrisi

Tujuan Diet

- Menurunkan berat badan bila kegemukan.

- Mengubah jenis dan asupan lemak makanan.

- Menurunkan asupan kolesterol makanan.


- Meningkatkan asupan karbohidrat kompleks dan menurunkan karbohidrat
sederhana.

Prinsip Diet : diet dislipidemia dan diet rendah kalori

Syarat Diet :

- Energi diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien menurut berat badan dan
aktivitas fisiknya.

- Lemak cukup 20 – 30% total kebutuhan energi, diutamakan lemak tak jenuh.

- Protein cukup yaitu 10 – 20% dari kebutuhan energi total. Sumber protein
hewani diutamakan ikan yang banyak menggunakan lemak omega 3. Sumber
protein nabati lebih dianjurkan.

- Karbohidrat sedang yaitu 50 – 60% dari kebutuhan total.

- Serat tinggi, terutama serat larut air yang banyak terdapat pada apel dan
kacang-kacangan.

- Vitamin dan mineral cukup.

- Bentuk makanan sesuai keadaan pasien

b. Aktivitas fisik

Pada prinsipnya pasien dianjurkan untuk meningkatkan aktivitas fisik sesuai


dengan kondisi dan kemampuannya. Semua jenis aktivitas fisik bermanfaat,
seperti jalan kaki, naik sepeda, berenang dll. Penting sekali diperhatikan agar
jenis olahraga disesuaikan dengan kemampuan dan kesenangan pasien, selain itu
agar dilakukan secara terus menerus. Pasien DM yang mempunyai BB berlebih
sebaiknya mendapat Terapi Nutrisi Medik dan meningkatkan aktivitas fisik. The
American Heart Association merekomendasikan untuk pasien DM dengan
Penyakit Kardiovaskular bahwa Terapi Nutrisi Medik maksimal dapat
menurunkan kadar LDL kolesterol sebesar 15 sampai 25 mg/dl. Jadi, bila kadar
LDL kolesterol mengalami peningkatan lebih dari 25 mg/dl diatas kadar sasaran
terapi, hendaklah diputuskan untuk menambahkan terapi farmakologik terutama
terhadap pasien2 dengan risiko tinggi (pasien DM dgn riwayat infark miokard
sebelumnya atau dengan kadar LDL kolesterol tinggi (diatas 130 mg/dl).

1. Penatalaksanaan farmakologik

Berbagai studi klinis menunjukkan bahwa terapi farmakologik dengan obat


penurun lipid memberi manfaat perbaikan profil lipid dan menurunkan komplikasi
Kardiovaskular pada pasien2 DM tipe 2.

Hasil dari beberapa studi klinis mendukung rekomendasi ADA, bahwa kadar
LDL kolesterol dibawah 100 mg/dl merupakan sasaran utama penatalaksanaan
dislipidemia diabetik. Disamping itu penurunan kadar trigliseridaa dengan
menggunakan gemfibrozil seperti yang ditunjukkan dalam VA-HIT secondary
prevention study, dapat pula menurunkan angka kejadian komplikasi kardiovaskular
berulang sebesar 24%.

a. Terapi Kombinasi
Banyak studi yang membuktikan bahwa terapi kombinasi antara statin dan
berbagai obat lain seperti bile acid resin, fibrat dan niacin memberikan manfaat
yang lebih baik dalam hal penurunan kadar LDL kolesterol, namun
pemakaiannya terkendala oleh meningkatnya kejadian efek samping dan interaksi
obat. Kombinasi ezetimibe dengan statin merupakan strategi baru dalam
memperbaiki profil lipid pada pasien DM tipe 2. Studi terbaru menunjukkan
bahwa kombinasi ezetimibe dengan simvastatin pada dosis 10/10, 10/20, 10/40
dan 10/80 mg menghasilkan penurunan kadar LDL kolesterol, total kolesterol,
trigliseridaa, non HDL cholesterol dan apolipoprotein (Apo) B yang lebih besar
dibandingkan simvastatin monoterapi serta ditoleransi dengan baik.

G. Kaitan Dislipidemia dengan Zat Gizi

Asupan tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori memberikan konstribusi


utama pada peningkatan kolesterol plasma. Terapi diet bertujuan untuk menurunkan
kelebihan tersebut dengan mempertahankan serta meningkatkan gizi yang baik.
Intervensi diet sebagai ” Pengobatan diet” dimaksudkan untuk mencapai pola makan
yang sehat.

1. Faktor diet yang menurunkan kadar lemak darah adalah :


a. Penurunan berat badan bila kegemukan.
b. Mengubah tipe dan jumlah lemak makanan.
c. Menurunkan asupan karbohidrat kompleks dan menurunkan asupan
karbohidrat sederhana.
2. Objektif penatalaksanaan dislipidemia adalah :
a. Menangani penyakit-penyakit primer yang menyebabkan dislipidemia.
b. Menurunkan kadar kolesterol darah sampai ke kadar yang diharapkan.
c. Menangani gangguan metabolik lain yang sering menyertai dislipidemia
(syndroma X).
d. Menangani komplikasi-komplikasi.
3. Anjuran gizi pada dislipidemia:
Hindari makan-makanan yang tinggi lemak seperti : daging kambing, daging
babi, jeroan, otak, sosis, kuing telur, susu kental manis, krim, dan lain sebagainya.
4. Jenis diet, Indikasi pemberian, dan Lama pemberian
Ada dua jenis diet dislipidemia, yaitu diet dislipidemia tahap I dan tahap II.
Diet dislipidemia tahap I mengandung kolesterol dan lemak jenuh lebih tinggi
daripada diet dislipidemia tahap II. Bagi yang kegemukan, lebih dahulu dilakukan
pengkajian terhadap riwayat berat badan dan sikap yang berhubungan dengan
makanan. Penilaian ini diperlukan untuk menentukan apakah harus dimulai
dengan diet tahap I atau langsung diberikan diet tahap II. Apabila diet pasien
ternyata sudah sesuai dengan diet tahap I, maka dapat langsung diberikan diet
tahap II, bila tidak diet dimulai pada tahap I.
Keberhasilan diet dinilai dengan mengukur kadar kolesterol darah setelah 4 –
6 minggu dan 3 bulan. Jika tujuan terapi diet tidak tercapai setelah 3 bulan
dengan diet tahap I perlu dinilai penerimaan dan kepatuhan terhadap diet ini. Jika
tujuan tidak tercapai meskipun patuh maka pasien harus pindah ke diet tahap II.
Berikut aspek diet yang perlu diperhatikan dalam menangani dislipidemia:
a. Gizi Seimbang
Diet terapeutik apapun harus memadai dalam keseimbangan zat-zat gizi/diet
seimbang sesuai dengan nilai kecukupan yang dianjurkan. Pada pelaksanaannya
harus terdiri dari bermacam-macam makanan dari semua kelompok makanan
dengan mengacu pada slogan "4 sehat 5 sempurna".
b. Lemak Total
Lemak total pada Diet Tahap I dan Diet Tahap II sebaiknya < 30% kalori
total. Pengurangan lemak total mempermudah pengurangan lemak jenuh dan
mungkin membantu penurunan berat badan pada pasien dengan obesitas. Asupan
lemak total saat ini di Amerika Serikat rata-rata adalah 36-37% dari seluruh
kalori, sedangkan di Indonesia rata-rata hanya 18% dari seluruh kalori. Pada
ekonomi golongan menengah dan atas di Indonesia asupan lemak kira-kira 35 %
dari total kalori. Oleh karena itu, asupan lemak harus dikurangi sekitar
seperlimanya untuk mencapai sasaran tersebut di atas.
Pengurangan asupan lemak total dapat dicapai dengan 2 cara. Cara
pertama, karbohidrat kompleks dapat menjadi substitusi isokalori lemak,
khususnya lemak jenuh. Penggantian ini akan membantu penurunan kadar kol-
LDL. Cara yang kedua, lemak yang tinggi asam lemak jenuh dapat dihilangkan
dari diet tanpa penggantian kalori pada perorangan dengan berat badan lebih.
c. Lemak Jenuh
Lemak jenuh terdiri dari 3 asam lemak utama yang dapat meningkatkan
kolesterol, yang mempunyai panjang rantai karbon 12 (asam laurat), 14 (asam
miristat) dan 16 (asam palmitat). Makanan yang kaya ketiga asam lemak jenuh
ini adalah target utama yang harus dikurangi. Efek dominan lemak jenuh adalah
meningkatkan kadar kol-LDL. Untuk Indonesia, termasuk di antaranya adalah
lemak mentega (terdapat pada mentega, susu, krim, es krim dan keju) dan lemak
sapi, babi, kambing dan unggas. Sisanya adalah dari produk nabati. Hidrogenasi
(penambahan atom hidrogen) adalah suatu proses mengubah minyak nabati
menjadi lemak yang lebih padat, mengubah asam lemak tak jenuh menjadi asam
lemak trans. Pasien dengan kadar kolesterol yang tinggi sebaiknya membatasi
asupan makanan yang tinggi asam lemak trans, misalnya shortening yang
dihidrogenasi, beberapa jenis margarin, dan makanan yang mengandung lemak
ini. Namun demikian, margarin lunak atau cair umumnya mempunyai kandungan
asam lemak trans yang lebih rendah dibanding jenis yang padat, bahkan margarin
mempunyai potensi yang lebih rendah untuk meningkatkan kolesterol dibanding
mentega. Margarin lunak masih menjadi pilihan yang lebih baik untuk olesan dan
memasak dibanding mentega. Konsumsi santan yang kental juga harus dihindari.

d. Lemak Tidak Jenuh Rantai Tunggal

Pada kedua tahap diet terapeutik, lemak tak jenuh rantai tunggal, terutama
asam oleat, dapat mencapai 15% kalori total. Asam oleat adalah asam lemak
utama yang terdapat pada kacang tanah, minyak zaitun, minyak canofa. Selama
bertahun-tahun, asam oleat dianggap netral terhadap kolesterol total, tidak
meningkatkan maupun menurunkan kadar kolesterol. Narnun demikian bukti
terbaru menunjukkan bahwa asam oleat dapat menyebabkan penurunan kadar
kol-LDL hampir sebesar asam linoleat yang tidak jenuh dan berantai ganda jika
salah satunya menggantikan lemak jenuh dalam diet.

e. Lemak Tidak Jenuh Rantai Ganda

Ada dua kelompok utama lemak tak jenuh rantai ganda, yang biasa disebut
asam lemak omega-6 dan omega-3. Asam lemak omega-6 utama adalah asam
linoleat. Substitusi lemak jenuh tinggi dengan makanan kaya asam linoleat
menghasilkan penurunan kadar kol-LDL. Beberapa minyak nabati kaya akan
asam linoleat, misalnya minyak kedelai, minyak jagung, minyak safflower dan
biji bunga matahari. Minyak ini, sebagaimana yang tinggi asam lemak tak jenuh
tunggal, mempunyai densitas kalori yang tinggi sehingga dapat menaikkan
asupan kalori dan menaikkan berat badan. lkan dan kerang adalah sumber utama
asam lemak omega-3. Asam lemak utama pada kelompok ini adalah asam
eikosapentaenoat (EPA) dan asam dokosaheksaenoat (DHA). Keduanya
mempunyai efek yang kecil terhadap kadar kol- LDL pada pasien dengan kadar
trigliserida normal. Beberapa data epidemiologis menunjukkan bahwa
konsumsi ikan jenis apa pun, yang mengandung asam lemak omega-3,
berhubungan dengan penurunan resiko PKV ; belum jelas apakah hubungan nyata
ini disebabkan oleh lemak ikan itu sendiri atau faktor lain. Karena mengandung
lemak jenuh yang rendah, ikan baik sebagai sumber protein dalam diet.

f. Kolesterol

Konsumsi kolesterol yang tinggi menyebabkan hiperkolesterolemia dan


aterosklerosis pada sejumlah besar hewan penelitian, termasuk primata bukan
manusia. Meskipun asupan tinggi kolesterol pada manusia tidak selalu
menyebabkan peningkatan secara nyata kadar kolesterol serum seperti pada
kelinci dan beberapa primata, studi epidemiologis menunjukkan bahwa
peningkatan asupan kolesterol meningkatkan rata-rata kadar kolesterol serum
pada suatu populasi. Namun demikian derajat peningkatan bervariasi dari orang
ke orang. Oleh karena itu, diet tinggi kolesterol berperan dalam kenaikan kadar
kol-LDL pada banyak pasien resiko tinggi sehingga meningkatkan resiko PKV.
Studi epidemiologis selanjutnya menunjukkan bahwa peningkatan asupan
kolesterol meningkatkan resiko PKV melebihi efek peningkatan kadar kolesterol
serum. Mekanisme efek yang terakhir ini belum diketahui.

g. Protein

Asupan protein pada Diet Tahap I dan Diet Tahap II rata-rata adalah 15% dari
kalori total. Pada beberapa hewan penelitian, protein nabati (contohnya protein
kedelai) menurunkan kadar kolesterol dibandingkan dengan protein hewan; efek
ini tidak ditemukan pada manusia dengan jumlah asupan protein yang biasa.

h. Karbohidrat

Karbohidrat sebaiknya merupakan penyumbang >55% dari jumlah kalori total


pada Diet Tahap I dan Diet Tahap II, dan sebaiknya berupa karbohidrat
kompleks.
i. Keseimbangan kalori

Obesitas yang merupakan akibat ketidakseimbangan asupan kalori tubuh


sehari-hari harus dicegah dalam penanganan dislipidemia. Keseimbangan
positif antara asupan kalori dan penggunaan energi sering rneningkatkan kadar
kolesterol pada fraksi VLDL dan LDL, meningkatkan trigliserida, menurunkan
kol-HDL dan meningkatkan tekanan darah. Penurunan berat badan akan
menurunkan kadar kolesterol total pada banyak orang, menurunkan kol-LDL dan
trigliserida, serta meningkatkan kadar kol-HDL.

j. Serat

Serat makanan adalah polimer karbohidrat yang tak dapat dicerna. Satu jenis
serat dapat larut dalam air; jenis ini menambah massa feces (tinja) dan membantu
menormalkan fungsi kolon. Serat makanan yang tidak larut misalnya bekatul
tidak menurunkan kadar kolesterol serum, meskipun memberikan manfaat yang
lain bagi kesehatan. Serat yang larut dalam air, misalnya pektin, beberapa jenis
gum, dan psyllium seed husks, mempunyai potensi menurunkan kolesterol.
Asupan serat dalam menu sehari-hari sebaiknya 20-30g/hari untuk orang dewasa.
Rekomendasi ini dibuat terutama untuk mencapai fungsi gastro-intestinal yang
normal dan mungkin memberikan manfaat yang lain bagi kesehatan. Sekitar 25%
(6 g) sebaiknya berupa serat yang dapat larut. Bahan makanan yang mengandung
banyak pektin adalah apel, kesemek dll. Perbanyak konsumsi sayuran dan
buah- buahan.

k. Alkohol

Alkohol dapat mempengaruhi metabolisme lipoprotein melalui beberapa cara.


Alkohol dapat meningkatkan konsentrasi trigliserida serum dan juga
meningkatkan kadar kol-HDL. Alkohol tidak mempengaruhi konsentrasi kol-
LDL pada sebagian besar orang. Belum jelas apakah peningkatan kol-HDL yang
diinduksi oleh alkohol mempunyai efek proteksi terhadap PKV. Karena
ketidakjelasan tentang manfaat alkohol terhadap kadar HDL dan karena efek
samping serius yang sudah diketahui, asupan alkohol tidak dapat
direkomendasikan untuk pencegahan PKV.

l. Garam

Tekanan darah berhubungan dengan asupan natrium. Banyak bukti ilmiah


yang menunjukkan bahwa pembatasan asupan garam dapur (natrium klorida)
akan menurunkan rata-rata tekanan darah dan mengurangi resiko PKV. Konsumsi
garam rata-rata di Amerika Serikat adalah 8-12 g/hari, di Indonesia diperkirakan
11-15 g/hari meskipun asupannya sangat bervariasi. Asupan ini jauh lebih besar
dibanding kebutuhan natrium bagi kesehatan, yaitu sebesar 500 mg/hari.

Interaksi Obat Dengan Zat Gizi

Tabel 1

Obat-obatan Penurun Kadar Lipid

Efek Terhadap
Golongan Obat dan Dosis Efek Samping
Lipid

Penghambat Lovastatin (20- ↓ LDL (18-55%) Miopati, enzim


HMG-CoA 80 mg), hati ↑
↑ HDL (5-15%)
reduktase pravastatin (20-
Deplesi Co-
40 mg), ↓ TG (7-30%)
Enzyme Q10
fluvastatin (20-
80 mg)
atorvastatin (10-
80 mg),
serivastatin (0,4-
0,8 mg)
Sekuestran asam Kolestiranmin ↓ LDL (15-30%) Gangguan saluran
empedu (4-16 g), cerna, sembelit,
↑ HDL (3-5%)
kolestipol (5-20 serapan obat lain
g), kolesevelam TG ↓ atau tetap. berkurang.
(2,6-3,8 g)
Deplesi vitamin
ADEK, B12,
Folat, dan Mineral
: Ca, Mg, P, Zn, Fe
; beta-karotin.

Asam nikotinat Immediate ↓ LDL (5-25%) Kemerahan,


(nicotinic acid, release NA hiperglisemi,
↑ HDL (15-35%)
NA) (kristal) : 1,5-3 hiperurisemia
g, extended ↓ TG (20-50%) (atau Gout), stress
relesae NA :1-2 saluran cerna atas,
g, sustainet hepatotoksisis
release NA : 1-2
g

Asam fibrat Gemfibrozil (600 ↓ LDL (5-20%) Dyspepsia, batu


mg), fenofibrat empedu, miopati.
↑ HDL (10-20%)
(200 mg),
klofibrat (1000 ↓ TG (20-50%)
mg)
DAFTAR PUSTAKA

Arisman, MB, M.Kes. 2011. Obesitas, Diabetes Militus, dan Dislipidemia :


Konsep, Teori, dan Penaganan Aplikatif. Jakarta : EGC.
Anwar,T.B.,2004, Dislipedemia sebagai factor resiko penyakit jantung
koroner .usu.ac./fk/gizi-bahri3
Brenner M. George, 2013, pharmacology fourth edition, Elsevier saunders.
AmericaHelms Richard,quann david, herfindal Eric,2006,textbook of therapeutics
drug and diseasemanagement ,eight edition, lippikcott Williams & wilkins
usaSukandar. Elin. Yulinah. Prof. Dr. Apt., dkk, 2008,
ISO Farmakoterapi, PT ISFI Penerbit, Jakarta, pp.109-114.Third Report of the
National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, 2001
Evaluation and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment
Panel III)

Anda mungkin juga menyukai