Anda di halaman 1dari 8

Landasan-Landasan Filosofis

Filsafat berasal dari bahasa Yunani Philosophia, dan terdiri dari


kata Philos yang berarti kesukaan atau kecintaan terhadap sesuatu, dan
kata Sophia yang berarti kebijaksanaan. Secara harafiah, filsafat diartikan sebagai
suatu kecintaan terhadap kebijaksanaan (kecenderungan untuk menyenangi
kebijaksanaan), hikmah atau pengetahuan yang mendalam. Sedangkan dalam
bahasa Arab, ilmu ( ilm ) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui. Jadi
ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari
kata scire.Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda
dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme -
positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti
matematika dan metafisik. Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan
terlepas dari filsafat. Tugas filsafat ilmu adalah menunjukkan bagaimana
“pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”.

Filsafat selalu melandasi diri pada tiga landasan pemikiran, yaitu; landasan
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ketiga landasan pemikiran filsafat
dimaksud, tidak bersifat partikular (terlepas pisah), namun saling terkait secara
utuh, dalam rangka memberikan landasan-landasan yang kokoh bagi pemikiran,
maupun pengembangan pemikiran itu sendiri dalam bentuk ilmu, pengetahuan,
teknologi, maupun dalam bentuk lakon kehidupan yang aktual.

1. Landasan Ontologis. Istilah ontologi diambil dari bahasa Yunani On ontos


artinya ada atau keberadaan dan logi artinya pikiran atau ilmu. Jadi,
Ontologi artinya ilmu tentang ada atau keberadaan itu sendiri. Maksudnya,
sebuah pemikiran filsafat, selalu diandaikan berasal dari kenyataan tertentu
yang bersifat ada atau yang sejauh bisa diadakan oleh kegiatan manusia.
Tegasnya, bila sebuah pemikiran tidak memiliki keberadaan (landasan
ontologi) atau tidak mungkin pula untuk diadakan maka pikiran itu hanya
berupa hayalan, dorongan perasaan subyektif atau kesesatan berpikir yang
dapat ditolak atau disangkal kebenarannya. Hakikat ada atau realitas ada
itu, bagi filsafat, selalu bersifat utuh (eksistensial). Misalnya, bila secara
ilmu hukum, kita berpikir tentang kebenaran atau keadilan maka dapat
ditunjukkan bahwa kebenaran atau keadilan itu ada atau bisa diadakan
dalam hidup manusia sehingga bisa dibuktikan atau ditolak (disangkal)
kebenarannya. Konsekuensinya, bila berpikir tentang Tuhan atau jiwa
maka sekurang-kurangnya, harus dapat dibuktikan atau ditunjukkan bahwa
Tuhan atau jiwa itu ada, bila tidak maka pikiran itu hanya berupa sebuah
ide kosong atau khayalan yang muda ditolak kebenarannya. Realitas
ontologis itulah yang menjadi dasar pemikiran hukum, teologi, atau
psikologi sehingga pemikiran hukum, teoloigi atau psikhologi tersebut
bisa dibuktikan dan dukung (di-affirmasi) atau difalsifikasikan (ditolak),
atau disingkirkan (di-negasi). Realitas ada yang menjadi obyek pemikiran
dan pembuktian sebuah pemikiran filsafat selalu dipahami sebagai sebuah
kenyataan yang utuh, sempurna dan dinamis, baik dari sisi materi dan
rohani, atas-bawah, hitam-putih, dan sebagainya. Ontologi, terbagi atas
dua, yaitu; ontologi umum yang disebut metafisika, dan ontologi khusus,
seperti, Kosmologi, Theodice, dan sebagainya.

2. Landasan Epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani


Episteme = pikiran atau pengetahuan dan logi atau logos = pengetahuan
atau ilmu. Jadi, Epistemologi artinya pengetahuan tentang pengetahuan,
atau filsafat pengetahuan. Maksudnya, bagi filsafat, setiap realitas apa pun,
baik yang berupa realitas fisik, pikiran, ide, teks, pandangan hidup,
budaya, ideologi, ajaran, keyakinan keagamaan, dan sebaginya
sebagaimana pada landasan ontologis di atas, selalu memiliki struktur
kenyataan yang mengandung ide, peta pemikiran (peta kognitif), struktur
tata nilai dan pemahaman. Kenyataan itu, karenanya, harus digali, dikaji,
diuji, dan diramu secara mendalam, sebagai sebuah sistim pemikiran atau
sistem pengetahuan yang khas.
Epistemologi, karena itu, lebih dipahami sebagai aspek kritis dari filsafat yang
berupaya mempertanyakan, merumuskan, menganalisis, menguji, dan
menyempurnakan segala yang ada menjadi sistim pemikiran atau sistim
pengetahuan tertentu. Epistemologi, dalam hal ini, berbicara tentang hakikat,
sumber, jangkauan, kebenaran, cara membangun pemikiran yang sehat dan lurus,
serta metode atau cara kerja di dalam memperoleh pengatahuan itu sendiri.
Melalui epistemologi dapat diuji dan ditunjukkan bahwa tidak semua pemikiran
itu menjadi kebenaran-kebenaran pengetahuan, dan tidak semua pengetahuan itu
dapat menjadi kebenaran ilmu. Alasanya, setiap pemikiran, pengetahuan, atau
ilmu, termasuk teknologi selalu memiliki dasar-dasar pertanggungjawaban
epistemologis, baik menyangkut kejelasan sumber, jangkauan, metode, maupun
pengandaian-pengandaiannya. Nampaknya, salah satu sisi penting dari
epistemologi adalah logika yang membicarakan tentang cara mengerjakan pikiran
yang benar (pikiran sehat).

3. Landasan Aksiologi. Sebagaimana istilah Ontologi dan Epistemologi yang


berasal dari bahasa Yunani, demikian pula Aksiologi yang berasal dari
kata axios artinya pantas atau bernilai. Maksudnya, setiap pemikiran
filsafat dengan segala turunannya, baik dalam bentuk pengetahuan atau
ilmu, harus berlandas pada nilai-nilai kepantasan dan kewajaran.
Alasannya, pikiran itu adalah pikiran manusia (bukan pikiran malaikat
atau binatang) yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai
subyek dan obyek pikiran itu sendiri. Bahkan, pikiran itu adalah pikiran
seorang anak manusia yang selalu bernilai bagi dirinya.
Tegasnya, segala pemikiran filsafat harus dapat diandaikan sebagai bagian dari
fenomena eksistensi manusia yang utuh, pantas, dan bernilai. Suatu pemikiran
yang pantas dan bernilai, selalu berurusan dengan upaya yang sungguh untuk
membebaskan manusia, mengangkat derajat manusia dan menempatkannya
sebagai subyek. Justru itu, setiap pemikiran filsafat, termasuk ilmu dan
pengetahuan, harus dikembalikan pada manusia dan nilai-nilai kemanusiaan
sebagai; dasar, sumber, norma, dan pangkalannya yang tetap. Pengetahuan atau
ilmu, dalam hal ini, selalu bertautan dengan nilai, sehingga tidak ada ilmu yang
bebas nilai dalam dirinya.
Pikiran, pengetahuan, atau ilmu selalu memiliki pertautan bathiniah dengan nilai-
nilai kemanusiaan yang diembannya. Bahkan, nilai kemausiaan itu menjadi basis
dan landasarn normantif bagi pengembangan ilmu. Filsafat dengan landasan
berpikir aksiologisnya ini hendak menegaskan bahwa tidak ada pikiran,
pengetahuan, atau ilmu yang bebas nilai. Pikiran, pengetahuan, atau ilmu, pada
dasarnya telah bersifat taut nilai, baik dari sisi asalnya (sumbernya), prosesnya,
maupun hasil (penggunaan atau penerapannya).

Landasan aksiologi, karenanya, memberikan dasar yang kokoh bagi etika


keilmuan, baik dalam rangka tugas pengembangan ilmu itu sendiri maupun
penerapannya dalam menangani masalah-masalah kemanusiaan, kemasyarakatan,
dan lingkungan hidup. Baik ilmu-ilmu murni maupun ilmu terapan, tidak
memiliki sebuah alasan yang memadai, dari daram dirinya sendiri, untuk
mangatakan diri sebagai ilmu yang bebas nilai, sebab selalu ada saja
tanggungjawab (nilai) yang diemban, baik dalam rangka proses keilmuan maupun
penerapan hasil keilmuan itu sendiri.

Singkatnya, dipadangkan dari isinya, studi filsafat bertujuan memberikan dasar-


dasar pengetahuan, serta pandangan yang sistematis sehingga seluruh
pengetahuan kita merupakan kesatuan yang utuh. Hidup kita dipimpin oleh
pengetahuan kita, sebab mengetahui kebenaran yang terdasar berarti pengetahuan
dasar hidup kita sendiri yang diselami. Studi filsafat, memberikan dasar bagi ilmu
pengetahuan lainnya mengenai manusia seperti; ilmu mendidik, sosiologi, hukum,
ilmu jiwa, dan sebagainya.

Filsafat ilmu secara umum dapat difahami dari dua sisi, yaitu sebagai
disiplin ilmu dan sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan. Sebagai
sebuah disiplin ilmu, filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat yang
membicarakan obyek khusus, yaitu ilmu pengetahuan yang memiliki sifat dan
kharakteristik tertentu hampir sama dengan filsafat pada umumnya.
Sementara itu, filsafat ilmu sebagai landasan filosofis bagi proses
keilmuan, ia merupakan kerangka dasar dari proses keilmuan itu sendiri.

Hakikat filsafat ilmu

Filsafat dan ilmu pada dasarnya adalah dua kata yang saling terkait, baik
secara substansial maupun historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan
filsafat. Filsafat sebagai induk dari segala ilmu membangun kerangka berfikir
dengan meletakkan tiga dasar utama, yaitu ontologi, epistimologi dan axiologi.
Maka Filsafat Ilmu menurut Jujun Suriasumantri merupakan bagian dari
epistimologi (filsafat ilmu pengetahuan yang secara spesifik mengkaji hakekat
ilmu (pengetahuan ilmiah) Dalam pokok bahasan ini akan diuraikan pengertian
filsafat ilmu, obyek kajian serta latar belakang lahirnya yang menjadi cakupannya.

Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada
pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab
oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan
pengetahuan, dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam
ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam makalah ini
adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan
bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita
mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk
diri sendiri, ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu
sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau
suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan
atau ilmu perilaku.
B. Objek Kajian Filsafat Ilmu

Objek kajian adalah sasaran yang menjadi fokus bahasan dalam sebuah
kajian. Filsafat Ilmu terbagi menjadi dua bagian, yaitu objek material dan objek
formal:

1. Objek Material Ilmu

Objek Material adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau
pembentukan pengetahuan itu. Dalam filsafat ilmu, objek material adalah ilmu
pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis
dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara umum.

Objek ini merupakan hal yang diselidiki (sasaran penyelidikan),


dipandang, disorot atau dipermasalahkan oleh suatu disiplin ilmu. Objek ini
mencakup hal-hal yang bersifat konkret (seperti makhluk hidup, benda mati)
maupun abstrak (seperti nilai-nilai, keyakinan). ada dalam kenyataan, ada dalam
pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan, selain itu, objek material ini bersifat
Jelas, tidak banyak mengalami ketimpangan. Dengan kata lain, objek material ini
merupakan suatu kajian penelaahan atau pembentukan pengetahuan itu, yaitu
segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, baik bersifat konkret maupun
abstrak (tidak tampak). Menurut Drs. H. A. Dardiri bahwa objek material adalah
segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan
maupun ada dalam kemungkinan. Segala sesuatu yang ada itu di bagi dua, yaitu :

a) Ada yang bersifat umum (ontologi), yakni ilmu yang menyelidiki tentang
hal yang ada pada umumnya.
b) Ada yang bersifat khusus yang terbagi dua yaitu ada secara mutlak
(theodicae) dan tidak mutlak yang terdiri dari manusia (antropologi metafisik) dan
alam (kosmologi).
Contoh : Objek materialnya adalah manusia dan manusia ini di tinjau dari sudut
pandangan yang berbeda-beda sehingga ada beberapa ilmu yang mempelajari
manusia di antaranya psikologi, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya.
2. Objek Formal

Sedangkan Objek Formal adalah sudut pandang yang ditujukan pada


bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana
objek material itu disorot. Seperti fisika, kedokteran, agama, sastra, seni, sejarah,
dan sebagainya. Sudut pembahasan inilah yang dikenal sebagai objek formal.
Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya
filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem ilmu
pengetahuan, seperti: apa hakikat ilmu, apa fungsi ilmu pengetahuan, dan
bagaimana memperoleh kebenaran ilmiah.

Problem inilah yang di bicarakan dalam landasan pengembangan ilmu


pengetahuan yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis. Dengan kata
lain, objek formal merupakan sudut pandang atau cara memandang terhadap objek
material (termasuk prinsip-prinsip yang digunakan). Sehingga tidak hanya
memberi keutuhan suatu ilmu, namun juga membedakannya dari bidang-bidang
lain. Objek formal ini bersifat menyeluruh (umum) sehingga dapat mencapai
hakikat dari objek materialnya. Obyek material suatu ilmu dapat saja sama,
indentik. Tetapi obyek formal ilmu tidak sama. Sebab subyek formal ialah sudut
pandang, tujuan penyelidikan. Sebagai contohnya dapat dilihat pada tabel berikut
ini Dengan demikian pada dasarnya, untuk mengenal esensi suatu ilmu, bukanlah
pada obyek materialnya, melainkan pada obyek formalnya.
Mufit Fathul, 2008, Filsafat Ilmu Islam, Kudus, STAIN.

Mustansyir Rizal & Misnal Munir, 2003, Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.

Surajiyo, 2009, Ilmu Filsafat (Suatu pengantar). Jakarta : Bumi Aksara.

Susanto, 2011, Filsafat Ilmu (Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,


Epistemologis, dan Aksiologis).Jakarta : Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai