Anda di halaman 1dari 16

II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Ransum

Ransum adalah jumlah total bahan makanan yang diberikan pada ternak

selama 24 jam. Sedangkan yang dimaksud dengan bahan pakan adalah komponen

ransum yang dapat memberikan manfaat bagi ternak yang mengkonsumsinya.

Ransum merupakan factor yang sangat penting di dalam suatu usaha peternakan,

karena ransum berpengaruh langsung terhadap produksi ternak. Perubahan ransum

baik secara kualitas maupun kuantitas maupun perubahan pada komponennya akan

dapat menyebabkan penurunan produksi yang cukup serius. Sehingga untuk

mengembalikan produksi seperti semula sebelum perubahan ransum cukup sulit

dicapai dan akan memakan waktu cukup lama (Tawaf , 2010).

Dalam pemilihan bahan pakan, erdapat eberapa pengetahuan penting yang

harus diketahui sebelumnya, yakni sebagai berikut :

a. Bahan pakan harus mudah di peroleh dan sedapat mungkin tedapat di daera

sekitar sehingga tidak enimbulkan masalah ongkos transportasi dan

kesulitan mencari.

b. Bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dan dala

jumlah yang mencukupi keperluan.

c. Bahan pakan harus mempunyai harga yang layak dan sedapat mungkin

mempunyai fluktuasi harga yang tidak besar.

d. Bahan pakan harus di usahakan jagan bersaing dengan kebutuhan manusia

yangsangat utama. Seandaianya harus menggunakan bahan pakan yang


demikian, usahakan agar bahan pakan tersebut hanya terdiri dari satu

macam saja.

e. Bahan pakan harus dapat diganti oleh bahan pakan lain yang kandungan zat-

zat makananya hamper sama.

f. Bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak

menampakan perbedan warna, bau, atau rasa dari keadaan

normalnya (Santosa, 2009)

Berdasarkan kelazimannya, bahan pakan dibagi menjadi 2 yaitu

(1) Bahan Pakan Konvensional

Bahan pakan konvensional merupakan bahan yang umum digunakan dalam

pembuatan formulasi ransum yang dapat berasal dari tanaman ataupun hewan, ikan,

dan hasil sampingan industri pertanian. Beberapa bahan pakan konvensional yang

sering digunakan dalam formulasi ransum unggas seperti jagung, dedak, bungkil

kedelai, tepung ikan, atau menggunakan pakan buatan pabrik untuk ayam ras

(Resnawati, 2012).

(2) Bahan Pakan Inkonvensional

Bahan non konvensional merupakan bahan pakan yang tidak lazim

digunakan dan direkomendasikan dapat dimanfaatkan untuk formulasi ransum

karena memiliki kandungan nutrisi yang baik untuk pertumbuhan dan produksi

ternak. Bahan pakan non konvensional yang dapat dijadikan ransum unggas yaitu

tepung bekicot, bungkil biji karet, tepung cacing tanah, dan bungkil biji kapuk

(Resnawati, 2012).
2.2 Bahan Pakan Sumber Protein

Pakan sumber protein adalah pakan yang mengandung lebih dari 20%

protein kasar (Achmadi, 2012). Sumber protein bisa didapatkan dari hijauan,

limbah industri, biji-bijian dan hewan. Sumber protein yang berasal dari hijauan

yaitu dari tanaman leguminosa, sedangkan biji-bijian yaitu biji yang sudah

diekstraksi minyaknya seperti bungkil kedelai. Sumber protein yang berasal dari

hewan yaitu tepung ikan, tepung darah dan tepung bulu (Haryanto, 2012).

2.2.1 Bungil Kedelai

Bungkil kedelai merupakan limbah dari produksi
 bahan makanan sumber

protein asal tumbuhan, bungkil ini mempunyai kandungan protein yang berbeda

sesuai kualitas kacang kedelai. Kisaran kandungan protein bungkil kedelai

mencapai 44-51%. Hal ini selain oleh kualitas kacang kedelai juga macam proses

pengambilan minyaknya. Pada dasarnya bungkil kedelai dikenal minyak kedelai

sebagai sebagai sumber protein dan energi. Sekitar 50% protein untuk pakan unggas

berasal dari bungkil kedelai dan pemakaiannya untuk pakan ayam pedaging

berkisar antara 15-30%, sedangkan untuk pakan ayam petelur 10-25% (Wina,

1999). Kandungan protein bungkil kedelai mencapai 43-48%. Bungkil kedelai juga

mengandung zat antinutrisi seperti tripsin inhibitor yang dapat mengganggu

pertumbuhan unggas, namun zat antinutrisi tersebut akan rusak oleh pemanasan

sehingga aman untuk digunakan sebagai pakan unggas. Bungkil kedelai dibuat

melalui beberapa tahapan seperti pengambilan lemak, pemanasan, dan

penggilingan (Boniran, 1999). Bungkil kedelai yang baik mengandung air tidak

lebih dari 12%.

Bahan pakan sumber protein memiliki tingkat kelarutan yang berbeda-

beda. Semakin tinggi kelarutan protein dari suatu bahan, maka protein tersebut
semakin tidak tahan terhadap degradasi di dalam rumen. Berdasarkan tingkat

ketahanan protein di dalam rumen, bungkil kedelai termasuk kelompok sumber

protein dengan tingkat ketahanan rendah (<40%), bersama-sama dengan kasein,

bungkil kacang dan biji matahari (Khalil, 1999) dalam (Ali 2006 ). Oleh sebab itu

bungkil kedelai memiliki nilai biologis yang kurang memberikan arti bagi ternak

ruminansia, disebabkan sebagian besar protein kasar bungkil kedelai terfermentasi

dalam rumen dan kurang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Untuk memperkecil

degradasi protein bungkil kedelai dari perombakan mikroba di dalam rumen, maka

bungkil kedelai sebelum diberikan pada ternak perlu mendapat perlindungan.

Perlindungan dimaksudkan untuk mengurangi perombakan protein oleh degradasi

mikroba rumen tanpa mengurangi ketersediaan amonia untuk sintesis protein

mikroba dan tanpa mengurangi kemampuan hidrolisis oleh enzim-enzim di dalam

abomasum dan usus. Perlindungan protein dari degradasi rumen dapat dilakukan

dengan cara pemanasan, pemberian formalin, tanin dan kapsulasi. Bungkil kedelai

ini mensuplai hampir 25% kebutuhan protein pada unggas (McNoughton dkk.,

1981).

2.2.2 Tepung Ikan

Tepung ikan adalah suatu produk padat kering yang dihasilkan dengan jalan

mengeluarkan sebagian besar cairan dan sebagian atau seluruh lemak yang

terkandung didalam tubuh ikan. Untuk membuat tepung ikan sebenarnya dapat

digunakan semua jenis ikan, tetapi karena faktor harga maka, ikan pelagis dan

demersal yang banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung ikan

(Afrianto dan Evi, 1985).

Tepung ikan (fish meal) adalah salah satu produk pengawetan ikan dalam

bentuk kering, dimana ikan yang masih utuh digiling menjadi tepung. Bahan baku
tepung ikan umumnya adalah ikan-ikan yang kurang ekonomis, hasil sampingan

penangkapan dari penangkapan selektif, glut ikan (ikan yang melimpah) pada

musim penangkapan dan sisa-sisa pabrik pengolahan ikan seperti pabrik

pengalengan dan dan minyak ikan (Kurnia dan Purwani, 2008).

Selain sebagai sumber protein, tepung ikan juga dapat digunakan sebagai

sumber kalsium. Tepung ikan yang baik mempunyai kandungan protein kasar 58-

68%, air 5,5-8,5%, serta garam 0,5-3,0%. Kandungan protein atau asam amino

tepung ikan dipengaruhi oleh bahan ikan yang digunakan serta pembuatannya.

Pemanasan yang berlebihan menghasilkan tepung ikan yang berwarna coklat dan

kadar protein atau asam aminonya cenderung menurun atau menjadi rusak

(Sitompul, 2004).

2.2.3 Corn Gluten Meal (CGM)

Corn Gluten Meal adalah hasil samping dari proses jagung yang dibuat pati

jagung dan sirup. Corn Gluten Meal kira-kira terdapat 10 % nitrogen, jadi Corn

Gluten Meal bagus digunakan sebagai pupuk alami (Caroline, 2005). Pengertian

lain juga berasal dari Agus (2008) bahwa Corn Gluten Meal adalah produk

sampingan dri pabrik tepung jagung dan sirup jagung. Mengandung protein dalam

jumlah tinggi dan dipakai sebagai suplemen protein untuk ternak. Kandungan

TDNnya sedikit lebih besar dari jagung dan proteinnya terdegradasi dengan lambat

dalam rumen.

Jenis corn gluten meal (CGM) dengan kandungan protein 41% banyak

tersedia di pasaran. Akan tetapi, kandungan serat kasarnya lebih tinggi dari 5% dan

TDNnya lebih rendah dari 78% dibandingkan dengan CGM yang mengandung 60%

protein. Tepung ini sebaiknya tidak dicampur dengan biji-bijian lebih dari 15% atau
jangan diberikan lebih besar dari 2,25 kg per ekor per hari karena rasanya kurang

enak (Agus, 2008).

2.3 Bahan Pakan Sumber Energi

2.3.1 Dedak Padi

Dedak padi merupakan hasil ikutan penggilingan padi yang berasal dari

lapisanluar beras pecah kulit dalam proses penyosohan beras. Proses pengolahan

gabah menjadi beras akan menghasilkan dedak padi kira-kira sebanyak 10%

pecahan-pecahan beras atau menir sebanyak 17%, tepung beras 3%, sekam 20%

dan berasnya sendiri 50%. Persentase tersebut sangat bervariasi tergantung pada

varietas dan umur padi, derajat penggilingan serta penyosohannya (Grist, 1972).

Dedak padi mengandung energi metabolis sebesar 2980 kkal/kg, protein kasar

12.9%, lemak 13%, serat kasar 11,4%, Ca 0,07%, P tersedia 0,22%, Mg 0,95% serta

kadar air 9 (National Research Council (1994) dalam Dewan Standarisasi Nasional,

2001).

Dedak padi merupakan limbah dalam proses pengolahan gabah menjadi

beras yang mengandung “bagian luar” beras yang tidak terbawa, tetapi tercampur

pula dengan bagian penutup beras itu. Hal inilah yang mempengaruhi tinggi atau

rendahnya kandungan serat kasar dedak (Rasyaf, 1990). Kandungan lemak yang

tinggi yaitu 6 - 10% menyebabkan dedak padi mudah mengalami ketengikan

oksidatif. Dedak padi mentah yang dibiarkan pada suhu kamar selama 10 -12

minggu dapat dipastikan 75-80% lemaknya berupa asam lemak bebas, yang sangat

mudah tengik (Amrullah, 2002). Dedak padi yang berkualitas baik mempunyai ciri

fisik seperti baunya khas, tidak tengik, teksturnya halus, lebih padat dan mudah
digenggam karena mengandung kadar sekam yang rendah, dedak yang seperti ini

mempunyai nilai nutrisi yang tinggi (Rasyaf, 2002)

2.3.2 Jagung

Tanaman jagung merupakan komoditas pangan terpenting kedua setelah

padi. Tanaman jagung sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan ternak.

Jagung mengandung senyawa karbohidrat, lemak, protein, mineral, air, dan

vitamin. Fungsi zat gizi yang terkandung di dalamnya dapat memberi energi,

membentuk jaringan, pengatur fungsi, dan reaksi biokimia di dalam tubuh. Semua

bagian tanaman jagung dapat dimanfaatkan. Batang dan daun jagung yang masih

muda sangat bermanfaat untuk pakan ternak dan pupuk hijau. Klobot (kulit jagung)

dan tongkol jagung dapat digunakan sebagai pakan ternak, serta dapat digunakan

sebagai bahan bakar. Rambut jagung dapat digunakan sebagai obat kencing manis

dan obat darah tinggi (Retno, 2008).

2.3.3 Minyak Kelapa

Bungkil kelapa merupakan hasil ikutan proses pemisahan minyak kelapa

yang mempunyai kadungan energi metabolis sekitar 1640 kkal/kg dan serat kasar

yang cukup tinggi pula yaitu berkisar antara 20-26 % (Bidura, 2007)

2.4 Bahan Pakan Sumber Mineral

2.4.1 Tepung Tulang

Tepung tulang merupakan salah satu bahan baku pembuatan pakan ternak

yang terbuat dari tulang hewan. Tulang yang akan dijadikan tepung haruslah tulang

yang berasal dari hewan ternak dewasa dan biasanya berasal dari tulang hewan

berkaki empat seperti tulang sapi, kerbau, babi, domba, kambing, dan kuda. Tepung

tulang dijadikan sebagai salah satu bahan dasar pembuatan pakan karena
mengandung mineral makro yakni kalsium dan posfor serta mineral mikro lainnya.

Tepung tulang selain dijadikan sebagai sumber mineral juga mengandung asam

amino dan protein. Kalsium dan posfor sangat diperlukan oleh hewan karena

memiliki peranan dalam pembentukan tulang dan kegiatan metabolisme tubuh.

Fungsi mineral bagi hewan ternak antara lain : (1) menjaga keseimbangan asam

basa dalam cairan tubuh, (2) sebagai khelat, (3) sebagai zat pembentuk kerangka

tubuh, (4) sebagai bagian aktif dalam struktur protein, (5) sebagai bagian dari asam

amino, (6) sebagai bagian penting dalam tekanan osmotik sel, (7) pendukung

aktivitas enzim dan (8) membantu mekanisme transportasi dalam tubuh (Murtidjo,

2001).

Tepung tulang yang baik memiliki ciri-ciri tidak berbau, kadar air maksimal

5 %, berwarna keputih-putihan, tingkat kehalusan 80 saringan, bebas bakteri serta

penyakit, dan kadar tepungnya mencapai 94 %. Kandungan kalsium yang terdapat

pada tepung tulang dipasaran umumnya adalah 19 % – 26 % dan posfor 8 % – 12

% (Rasidi, 1999).

2.4.2 Tepung Kerang

Bahan tepung kerang merupakan bahan pakan yang mirip peranannya

dengan tepung tulang. Tepung kerang kerap kali diberikan kepada ayam hias, ayam

pelung, dan juga campuran ransum untuk ayam ayam aduan. Tepung kerang

digunakan pula sebagai pemecah mekanik makanan ayam di dalam tembolok.

Tetapi peranan kedua bahan pakan ini semakin merosot dengan banyak beredarnya

vitamin-mineral buatan pabrik yang relatif murah pergram ransumnya (Rasyaf,

2001).

Bahan baku pakan berupa tepung kerang diperoleh dengan cara menggiling

kerang dari berbagai ukuran besar dan kecil. Tepung kerang ini digunakan sebagai
unsur pencampuran di dalam ransum karena kandung Ca dan P nya cukup tinggi.

Tepung kerang ini seperti halnya tepung tulang juga sangat potensial dalam proses

pertumbuhan dan berproduksi. Pemakaian ideal dalam ransum 1% - 2 %

(Sudarmono, 1996).

Tepung kerang diperoleh dari kulit kerang yang dihaluskan menjadi tepung.

Jenis tepung ini merupakan sumber kalsium dan fosfor. Penggunaannya sering

digunakan bersamaan dengan tepung tulang. Kadar kalsium tepung kerang

mencapai 38% jadi lebih besar dari kandungan kalsium tepung tulang. Karena itu,

penggunaan tepung kerang untuk itik petelur jumlahnya tidaklah terlalu banyak

(Suharno, 2001). Tepung kerang memiliki kandungan protein 2-3%, dan kalsium

30-40%. Sebaiknya diberikan kepada anak itik dan itik dara sebanyak 1%, serta itik

dewasa sebanyak 3% dari total ransum yang diberikan (Martawijaya, dkk, 1996).

2.5 Sumber Vitamin

Vitamin adalah senyawa organik, biasanya tidak disintesis oleh jaringan

ubuh dan diperlukan dalam jumlah sedikit. Vitamin ini digunakan sebagai koenzim

atau regulator metabolisme. Vitamin digolongkan menjadi dua yaitu vitamin yang

larut dalam lemak dan vtamin larut dalam air. VitaminA, D, E, K adalah vitamin

yang larut dalam air adalah tiamin, ibofialin, asam nukletat, folasin, biotin dan asam

pentotenat. Sedangkan vitamin C tidak dapat disintesis oleh tubuh jadi sagat

diperlukan dalam ransum (Novikah, 2010).

Bahan pakan yang termasuk dalam sumber protein adalah semua makanan

yang mengandung cukup banyak vitamin. Bahan pakan yang mengandung sumber

vitamin adalah jagung kuning, jagun kuning memiliki kualitas yang cukup baik

dibandingkan jagung putih karena jagung kuning mengndung karoen, provitamin


A yang tinggi (Murtidjo, 1991). Rasyaf (1994) menambahkan bahwa vitamin

dibutuhkan tubuh dalam jumlah yang kecil tetapi merupakan regulator

metabolisme.

2.6 Feed Suplement

Feed supplement merupakan bahan pakan tambahan yang berupa zat-zat

nutrisi, terutama zat nutrisi mikro seperti vitamin, mineral atau asam amino.

Penambahan feed supplement dalam ransum berfungsi untuk melengkapi atau

meningkatkan ketersedian zat nutrisi mikro yang seringkali kandungannya dalam

ransum kurang atau tidak sesuai standar. Terlebih lagi pada ransum hasil self

mixing yang biasanya mengalami keterbatasan untuk membuat formulasi yang

memperhitungkan sampai komponen nutrisi mikronya (Hartadi dkk, 1991).

2.7 Feed Additive

Additive adalah suatu bahan atau kombinasi bahan yang ditambahkan

dalam kuantitas yang kecil, kedalam campuran makanan dasar untuk memenuhi

kebutuhan khusus, contoh additive yaitu bahan premix, additive bahan makanan

(Hartadi dkk, 1991).

2.6.1 Premix

Premix merupakan campuran beberapa mineral dalam suatu bahan

pembawa (carrier) yang digunakan sebagai bahan pakan untuk memenuhi

kebutuhan mineral ternak. Premix adalah campuran bahan pakan yang

diencerkan (carrier), yang dalam pemakaiannya harus dicampurkan kedalam bahan

pakan ternak. Premix juga merupakan kombinasi beberapa mikro-

ingredient dengan bahan penyerta sehingga merupakan kombinasi yang siap


dicampurkan dalam pakan ternak. Komposisi premix berbeda-beda sesuai dengan

kebutuhan relatif pada tiap jenis ternak. Premix disusun dengan

mempertimbangkan faktor kebutuhan ternak dan faktor reaksi antar mineral saat

dimetabolisme dalam tubuh ternak.

Premix mengandung mineral dan pemberian sejumlah mineral bersifat

esensial untuk kesehatan, pertumbuhan, dan produksi ternak yang optimal (Phillips,

2008). Pemberian kurang dari jumlah mineral yang optimum dapat menyebabkan

meningkatnya insiden penyakit dan masalah reproduksi, produksi yang rendah, dan

laju pertumbuhan yang menurun pada sapi dara. Defisiensi mineral utama yang

kecil mampu mempengaruhi fungsi kekebalan sapi dan kemampuan naturalnya

untuk melawan infeksi, seperti pada penyakit mastitis dan penyakit lainnya.

Penurunan kekebalan dijumpai sebelum penurunan produksi atau beberapa

kelainan akibat defisiensi, seperti perubahan warna bulu dan lesi kulit.

Secara umum ada tiga jenis premix berdasarkan komposisinya. Ketiga

premix tersebut adalah sebagai berikut:

a. Premix Vitamin-Mineral yaitu feed suplement yang mengandung berbagai

jenis vitamin dan mineral. Cara pemberiannya tergantung pada pabrik yang

membuat.

b. Premix Vitamin-Antibiotika yaitu feed suplement yang mengandung

berbagai jenis vitamin dan antibiotik. Cara pemberiannya tergantung pada

pabrik yang membuat.

c. Premix Vitamin-Mineral-Antibiotik yaitu feed supplement yang

mengandung berbagai jenis vitamin, mineral dan antibiotik. Cara

pemberiannya tergantung pada pabrik yang membuat.


2.2 Evaluasi Mutu Bahan Pakan

Berkaitan dengan produksi pakan maka 2 masalah kritis yang pada

umumnya kita hadapi adalah jeleknya mutu bahan pakan, dan adanya pemalsuan

atau pencampuran bahan pakan yang tidak dikehendaki.

(1) Evaluasi Secara Fisik/Visual

Dilakukan jika tidak/belum mempunyai fasilitas yang memadai, dan

dilakukan dengan panca indera. Sampel bahan pakan dapat diperiksa atas beberapa

spesifikasi berkaitan dengan: a) warna; b) bau; c) tekstur; d) kadar air; e)

keseragaman; f) suhu; g) keberadaan kotoran, jamur, serangga; logam, pasir dll; h)

adanya akibat kontaminasi oleh serangga, burung, tikus dll.

(2) Evaluasi Secara Mikroskopis

Dilakukan jika tersedia fasilitas yang lebih baik (tersedia mikroskop).

Bahan yang diuji digiling dengan ukuran 10, 20, 40, 60 dan 80 mesh) dan diperiksa

dibawah mikroskop. Dikaji adanya penyimpangan yang berkaitan dengan ukuran,

warna, dan penampilan dari bahan yang diuji

(3) Analisis Kimiawi

Dilakukan uji kimiawi terhadap komposisi kimia bahan pakan. Uji kimiawi

ini cukup mahal, namun sebenarnya sangat penting. Pada umumnya dilakukan

terhadap kadar air, kadar abu, protein kasar, lemak, serat kasar dan bahan ekstrak

tanpa nitrogen.

(4) Analisis Biologis

Untuk mengetahui kecernaan pakan dan Untuk mengetahui palatabilitas.

Evaluasi Biologis dari Makanan Ternak cukup sering, uji biologis digunakan dalam

analisis dari mikronutrient pada makanan.

Ada dua jenis dasar dari uji biologis, yaitu:


(1) Uji mikrobiologis, dan

(2) Penggunaan binatang yang kekurangan – nutrient.

Uji biologis cenderung sulit dan memakan waktu. Sejumlah besar sampel

diperlukan untuk menghasilkan hasil statistik yang dapat dipercaya dan cukup

sering data yang didapatkan dari uji ini adalah sangat bervariasi. Uji menggunakan

binatang yang kekurangan nutrient adalah terutama tidak praktis karena (1)

binatang harus mempunyai jenis kelamin yang sama dan diperkirakan usia dan

beratnya sama dan (2) waktu yang dibutuhkan untuk memasukan kondisi yang

kurang baik pada binatang – binatang ini.

Pengujian biologis sangat penting terutama untuk milihat nilai Konversi

Pakan (Feed Conversion Ratio). Nilai ini sebenarnya tidak merupakan angka

mutlak, karena tidak hanya ditentukan oleh kualitas, tetapi juga dipengaruhi oleh

faktor-faktor lain, seperti jenis, ukuran ikan, kepadatan, kualitas air dll. Semakin

kecil nilai konversi pakan, semakin baik kualitas pakan, karena akan semakin

ekonomis. Untk mengetahui nilai konversi pakan perlu dilakukan dilakukan

pengujian lapangan pada berbagai tipe percobaan. (Suprijatna, 2005).


DAFTAR PUSTAKA

Tawaf, Rochadi. 2010. Ransum Dan Bahan Pakan Ternak Sapi.

http://duniasapi.com/id/pendukung-perah/952-ransum-dan-bahan-pakan-

ternak-sapi.html/ (Diakses pada tanggal 30 Maret 2018 pukul 20.05 WIB).

Santosa, Undang. 2009. Mengelola Peternakan Sapi Secara Professional. Penebar

Swadaya. Jakarta.

Grist, D.H., 1972. Rice. 4th Ed. Lowe and Brydine Ltd. London.

National Research Council. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th Revised

Edition. National Academy Press. Washington D.C.

Dewan Standarisasi Nasional (DSN), 2001. Dedak Padi/ Bahan Baku Pakan.

Rasyaf, M., 2002. Beternak Unggas Komersil. Kanisius, Jakarta.

Rasyaf, M., 1990. Pengelolaan Penetasan. Kanisius. Yogyakarta.

Amrullah, K. I., 2002. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi. Bogor.

Rasyaf, M. 2001. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan Ke-XX. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Retno. 2008. Manfaat Tanaman Jagung. http://muthie-muthie.blogspot.

com/2012/05/manfaat-tanaman-jagung.html. Diakses 31 Oktober 2012

Caroline, C. 2005. Corn Gluten Meal A Natural Lawn Care Herbicide. Journal of

Pesticide Reform/Winter Vol. 25, No. 4.

Agus, A. 2008. Bahan Pakan Ternak Ruminansia. Ardana Media. Yogyakarta.

Bidura, I. G. N. G. 2007. Aplikasi Produk Bioteknologi Pakan Ternak. Buku Ajar.

UPT Penerbit Universitas Udayana. Denpasar.

Murtidjo, B. A. 2005. Mengelola Ayam Buras Cetakan ke-12. Kanisius,

Yogyakarta.
Rasidi. 1999. 302 Formulasi Pakan Lokal Alternatif untuk Unggas. Cetakan ke-2.

Penebar Swadaya. Jakarta.

Evi, Liviawaty. 2005. Pakan Ikan. Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI). Jl.

Cempaka 9, Deresan. Yogyakarta.

Phillips. 2008. Principles of Cattle Production. CABI Publishing, New York.

Sudarmono, A.S. 2003. Pedoman Pemeliharaan Ayam Ras Petelur. Kanisius.

Yogyakarta.

Sitompul, Saulina. 2004. Analisis Asam Amino dalam Tepung Ikan dan Bungkil

Kedelai. Buletin Teknik Pertanian. Vol 9, Nomer 9.

Kurnia, P dan Purwani, E. 2008. Pemanfaatan Ikan Kembung Sebagai Bahan Baku

Tepung Ikan Ditinjau Dari Kadar Abu, Air, Protein, Lemak dan

Kalsium. Jurnal kesehatan ISSN 1949-7621.

Martawijaya, A., I. Kartasujana. K. Kadir, dan S. A Prawira. 1996. Atlas Kayu

Indonesia. Departemen Kehutanan. Bogor.

Ali AJ. 2006. Karakteristik sifat fisik bungkil kedelai, bungkil kelapa dan bungkil

kelapa sawit [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

McNaughton, S.J dan Wolf, Larry. L. 1992. Ekologi Umum. Edisi -2. Yogyakarta.

Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Suprijatna. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Resnawati H. 2012. Inovasi teknologi pemanfaatan bahan pakan lokal mendukung

pengembangan industri ayam kampung. Pengembangan Inovasi Pertanian.

5:79-95.

Achmadi U.F. 2012. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Depok:

Rajawali Pers.
Haryanto, B. 2012. Perkembangan penelitian nutrisi ruminansia. Wartazoa Vol 22

No (4): 169-177. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Novikah. 2010. Vitamin C. www.digilib.unimus.com (Diakses pada tanggal 3 April

2018 pukul 16.32 WIB).

Hartadi, H., S. Reksodiprodjo dan A.D. Tillman. 1991. Tabel Komposisi Bahan

Makanan Ternak Untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai