Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan dini merupakan keadaan yang sering kita jumpai di masyarakat

Indonesia. keadaan ini perlu mendapatkan perhatian khusus sebab dapat

menimbulkan masalah yang kompleks. Berbagai faktor yang melatar belakangi

pernikahan dini yaitu faktor tingkat pengetahuan, sosial, ekonomi dan budaya.

Dampak yang dapat ditimbulkan akibat pernikahan dini lebih banyak dialami oleh

perempuan dibandingkan laki-laki, diantaranya yaitu komplikasi pada saat

kehamilan, hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, kekerasan

dalam rumah tangga, dan kemiskinan (ICRW, 2013).

Idealnya seseorang sudah siap untuk menikah dengan usia pernikahan bagi

perempuan adalah minimal 20 tahun. Secara psikologis, sudah stabil dalam

menyikapi banyak hal, dan ini berpengaruh dalam perkawinan. Perempuan yang

masih berumur kurang dari 20 tahun cenderung belum siap disebabkan mereka

lebih memikirkan bagaimana mendapatkan pendidikan yang baik dan bersenang-

senang. Laki-laki minimal berusia 25 tahun, karena laki-laki pada usia tersebut

memiliki kondisi psikis dan fisik yang kuat, sehingga mampu menopang kehidupan

keluarga untuk melindungi baik secara psikis emosional, ekonomi dan sosial

(BKKBN, 2012).

Organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2012 menunjukkan bahwa

sebanyak 16 juta kelahiran terjadi pada ibu yang berusia 15-19 tahun atau 11% dari

seluruh kelahiran di dunia yang mayoritas (95%) terjadi di negara sedang

berkembang. Di Amerika Latin dan Karibia, 29% wanita muda menikah saat
mereka berusia 18 tahun. Prevalensi tertinggi kasus pernikahan usia dini tercatat di

Nigeria (79%), Kongo (74%), Afganistan (54%), dan Bangladesh (51%) (WHO,

2012).

Prevalensi pernikahan dini bervariasi di setiap negara. International Center

for Research on Women (ICRW) menyebutkan 51 juta anak perempuan telah

menikah pada usia 15-19 tahun (ICRW, 2013). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

memprediksikan lebih dari 140 juta anak perempuan akan menikah dalam satu

dekade menjelang tahun 2020. Hal Ini setara dengan 14 juta pengantin anak setiap

tahun atau hampir 39.000 perempuan menikah setiap hari (Singh, 2013).

Studi yang dilakukan oleh The Council on Foreign Relations (CFR),

fenomena pernikahan dini ditemukan di berbagai belahan dunia diantaranya di Asia

Selatan (46,8%), Sub Sahara Afrika (37,3%), Amerika Latin (29%), Asia Timur

dan Pasifik (17,6%) dan Timur Tengah dan Afrika Utara. Fenomena menikah dini

pada umumnya banyak terjadi di negara-negara berkembang. Sedangkan di negara-

negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada dan Austria, hanya sedikit

kasus yang ditemukan (Vogelstein, 2013).

Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan dini cukup tinggi di

dunia (ranking 37) dan tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja. Hasil data

Riskesdas 2013, menunjukkan sebesar 41,9% usia kawin pertama berada pada

kelompok umur 15-19 tahun dan pada kelompok umur 10-14 tahun sebesar 4,8%

sudah menikah. Selain itu berdasarkan Data SDKI tahun 2012, persentase 2

perempuan yang menikah di bawah usia 20 tahun sebesar 13% dengan median usia

pernikahan 20,1 tahun dan median usia kawin pertama di pedesaan lebih rendah

yaitu 19,7 tahun (Kemenkes, 2013).


Provinsi dengan persentse pernikahan dini di perdesaan dan perkotaan dengan

usia (<15 tahun) tertinggi di Indonesia adalah Kalimantan Selatan (15,48%), Jawa

Barat (15,45%), Jawa Timur (14,92%), Banten (13,42%), dan diikuti propinsi

Jambi, Jawa Tengah, Sulawesi Barat, serta Kalimantan tengan masing-masing

memiliki persentase < 12%. Sementara itu provinsi dengan persentase pernikahan

dini (16-18 tahun) Kalimantan selatan diperingkat ke 3 dengan presentase

(35,93%), urutan pertama Jawa Timur (36,86%), diikuti peringkat ke 2 Jawa Barat

(36,73%), selanjutnya Jambi (35,69%), dan Kalimantan Tengah (35,97%) (BPS,

2013).

Kepala Bidang Adpin Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional

(BKKBN) wilayah Kalimantan Selatan mengatakan Kalsel sendiri merupakan

peringkat pertama untuk pernikahan dini. Angka pernikahan dini di Kalsel dengan

usia antara 10 sampai 14 tahun sebanyak 5,7% dan usia antara 15 sampai 19 tahun

sekitar 46%. (Eppang, 2017).

Laporan Kajian Perkawinan Usia Anak di Indonesia menurut Survei Ekonomi

Nasional (Susenas) 2008-2012 dan Sensus Penduduk (SP) 2010, presentasi

perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 15 tahun di

Kalimantan selatan rata- rata 3,8 %, sedangkan menikah sebelum usia 16 tahun

9,1%, serta menikah sebelum usa 18 tahun 32,7%. Kabupaten tapin berada di

peringkat pertama dengan persentase perkawinan remaja perempuan 33 %,

peringkat ke dua Tanah Bumbu 29%, diikuti Tanah Laut, Balangan, dan Kota Baru

dengan masing-masing perkawinan remaja perempuan 28% (BPS, 2013).

Presentasi perkawinan remaja perempuan di Kecamatan Tapin Selatan

sebanyak 26%. Tapin selatan merupakan kecamatan yang terletak di Kabupaten


Tapin. Tapin Selatan memiliki 11 desa diantaranya: Cempaka, Harapan masa,

Hatiwin, Lawahan, Rumintin, Sawang, Suato Tatakan, Tambarangan, Tandui,

Tatakan, dan Timbaan.

Merujuk pada data tersebut, Kepala BKKBN mengampanyekan Program

Generasi Berencana (GenRe) di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan dengan

meresmikan Tugu Generasi Berencana sebagai bentuk komitmen pemerintah

daerah dan masyarakat mendukung program BKKBN. Khususnya para remaja di

daerah Tapin, diminta untuk berkomitmen tidak menikah pada usia muda dengan

minimal usia 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki sebagaimana

dikampanyekan Program GenRe. Program GenRe merupakan bagian dari

upaya BKKBN dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk

menghadapi demografi pada tahun 2025.

Remaja Putri yang telah menikah pada usia dini masih belum siap dalam

menerima kehamilan sehingga dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi

diantaranya, perdarahan, infeksi, dan proses persalinan yang dapat memakan waktu

cukup lama dan tidak mudah. Pada usia kurang dari 20 tahun ternyata mengalami

kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan 2-5 kali lebih tinggi

dibandingkan kematian maternal pada usia wanita 20-29 tahun, (Romauli dan

Vindari, 2012).

Pada persoalan pernikahan dini, pengetahuan seseorang remaja mempunyai

peran penting yaitu jangan sampai terjebak dalam situasi disorientasi pada individu

yang di sebabkan perubahan yang berbagai macam dalam waktu singkat dan jangan

terjebak untuk mengulang kebiasaan yang sudah pernah sukses dilakukan pada

tahun-tahun dahulu dalam hal menikah dini, tetapi sebenarnya hal tersebut tidaklah
cocok dan tidak relevan dilakukan pada masa/keadaan saat ini, dalam hal tersebut

menikah anak pada usia dibawah 20 tahun (BKKBN, 2012).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin membuktikan Perbandingan tingkat

pengetahuan remaja di Kecamatan Tapin Selatan tentang pernikahan dini sebelum

dan sesudah penyuluhan di MTs Tatakan Tapin Selatan Tahun 2017.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan remaja Kecamatan Tapin Selatan

tentang dampak pernikahan dini sebelum penyuluhan di MTs Tatakan Tapin

Selatan Tahun 2017?

2. Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan remaja Kecamatan Tapin Selatan

tentang dampak pernikahan dini sesudah penyuluhan di MTs Tatakan Tapin

Selatan Tahun 2017?

3. Apakah ada perbedaan pengetahuan remaja Kecamatan Tapin Selatan tentang

dampak pernikahan dini sebelum dan sesudah penyuluhan di MTs Tatakan

Tapin Selatan Tahun 2017?

C. Tujuan

Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan pengetahuan remaja Kecamatan Tapin Selatan

tentang dampak pernikahan dini di MTs Tatakan Tapin Selatan Tahun 2017

Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:


1. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan remaja di Kecamatan

Tapin Selatan tentang dampak pernikahan dini sebelum penyuluhan di MTs

Tatakan Tapin Selatan Tahun 2017.

2. Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan remaja di Kecamatan

Tapin Selatan tentang dampak pernikahan dini sesudah penyuluhan di MTs

Tatakan Tapin Selatan Tahun 2017.

3. Untuk mengetahui perbandingan pengetahuan remaja di Kecamatan Tapin

Selatan tentang dampak pernikahan dini sebelum dan sesudah penyuluhan di

MTs Tatakan Tapin Selatan Tahun 2017.

D. Manfaat

Manfaat Teoritis

Dijadikan sebagai dasar penelitian lebih lanjut untuk merancang intervensi

yang lebih efektif sebagai data untuk mendukung program Badan Koordinasi

Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Manfaat Praktis

1. Bagi dinas kesehatan dan puskesmas, sebagai bahan masukan dalam upaya

penyuluhan dimasa yang akan datang.

2. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

dan wawasan peneliti mengenai tingkat pengetahuan remaja tentang

pernikahan dini sebagai bahan atau sumber data bagi peneliti.


Daftar Pustaka

BKKBN, 2012. Kajian Pernikahan Dini Pada Beberapa Provinsi di Indonesia: Dampak

Overpopulation, Akar Masalah dan Peran Kelembagaan di Daerah.

BPS, 2013. Data dan Informasi kemiskinan Kabupaten/Kota tahun 2013. Jakarta: Badan

Pusat Statistik.

Eppang, L, 2017. Pernikahan Dini di Kalsel Tertinggi di Indonesia. [Online]. Available:

http://www.netralnews.com/news/kesehatan/read/70746/pernikahan.dini.di.kalsel.

tertinggi.di.indonesia. Diakses: 9 Agustus 2017.

ICRW, 2013. Child Marriage Factsheets. [Online]. Available:

http://www.icrw.org/publications/child-marriage-factsheets. Diakses: 31 July

2017.

Kemenkes, 2013. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementerian RI.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian RI tahun 2013. Diakses: 31 Juli 2014, dari

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20201

3.pdf

SDKI, 2012. Data Pernikahan Dini di Indonesia Dan AKI. http://chnrl.org/pelatihan-

demografi/SDKI-2012.pdf. Diakses 31 Juli 2017.


Singh, A. (2013). UN breakthrough on child marriage welcomed by Plan [Online].

Available: http://www.trust.org. Diakses 31 Juli 2017.

Vogelstein, R. (2013) Ending Child Marriage: How Elevating the Status of Girls Advances

U.S. Foreign Policy Objectives.

Anda mungkin juga menyukai