Anda di halaman 1dari 20

KODIFIKASI AL-QUR’AN

Chamim Thohari

A. Penghimpunan dan Penulisan Mushaf

1. Makna Penghimpunan Al-Qur’an

Penghimpunan Al-Qur’an mempunyai dua pengertian, kedua-duanya disebut dalam


nash. Dalam surat al-Qiyamah: 17, Allah swt berfirman; Sesungguhnya atas tanggungan
kamilah penghimpunannya (di dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
Kata penghimpunannya (jam’ahu) bermakna “ penghafalannya ”. orang-orang yang hafal
al-Qur’an disebut Jumma’ul-Qur’an atau Huffadzul-Qur’an. Maknanya yang lain dari
kata penghimpunannya (jam’ahu) ialah “ penulisannya”. Yakni penulisan seluruh al-
Qur’an yang memisahkan masing-masing ayat dan surat, atau hanya mengatur susunan
ayat-ayat al-Qur’an saja dan susunan tiap surat di dalam suatu shahifah tersendiri, atau
mengatur susunan semua ayat dan surat di dalam beberapa shahifah yang kemudian
disatukan sehingga menjadi suatu koleksi yang merangkum semua surat yang sebelumnya
telah disusun satu demi satu.

Mengenai penghimpunan al-Qur’an dalam arti “penghafalannya” dan


penyemayamannya dengan mantap di dalam hati, telah dikaruniakan Allah swt kepada
Rasul-Nya lebih dahulu sebelum kepada orang lain. Beliau dikenal sebagai Sayyidul-
Huffadz dan sebagai Awwalul-Jumma’, manusia pertama penghafal al-Qur’an, tak ada
tolok bandingnya. Hal itu memudahkan para sahabat pilihan yang hidup sezaman dengan
beliau sebagai penghafal al-Qur’an, dan jumlah mereka pasti tidak sedikit. Al-Qurthubi
mengatakan: “ Tujuh puluh orang diantara mereka itu gugur di dalam perang Bi’ir
Ma’unah, sedangkan pada masa hidup Rasul saw sebanyak itu pula yang telah gugur”.1

2. Penulisan Al-Qur’an

1
Al-Itqan, h. 122.
1
Al-Qur’an Al-Karim turun dalam masa sekitar 22 tahun atau tepatnya, menurut
sementara ulama, dua puluh tahun, dua bulan, dan dua puluh dua hari. Ada beberapa faktor
yang mendukung pembuktian otentisitas al-Qur’an:

1. Masyarakat Arab yang hidup pada masa turunnya al-Qur’an, adalah masyarakat yang
tidak mengenal baca tulis. Karena itu satu-satunya andalan mereka adalah hafalan.
Dalam hal hafalan, orang Arab – bahkan sampai kini – dikenal sangat kuat.

2. Masyarakat Arab sangat gandrung lagi membanggakan kesusasteraan. Mereka bahkan


melakukan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu tertentu.
Sementara itu al-Qur’an mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan bahasanya dan
sangat mengagumkan bukan saja bagi orang-orang mukmin, tetapi juga bagi orang-
orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrik seringkali
secara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca
oleh kaum muslim. Kaum muslimin, disamping mengagumi keindahan bahasa al-
Qur’an, juga mengagumi kandungannya, serta meyakini bahwa ayat-ayat al-Qur’an
adalah petunjuk kebahagiaan dunia da akhirat.

3. Ayat-ayat al-Qur’an turun berdialog dengan mereka, mengomantari keadaan dan


peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan
mereka. Disamping itu, ayat-ayat al-Qur’an turun sedikit demi sedikit. Hal itu lebih
mempermudah pencernaan maknanya dan proses penghafalannya.

4. Dalam al-Qur’an, demikian pula hadis-hadis Nabi saw, ditemukan petunjuk-petunjuk


yang mendorong para sahabat untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalam
menyampaikan berita, lebih-lebih kalau berita itu merupakan firman Allah swt atau
sabda Nabi saw.

Faktor-faktor diatas menjadi penunjang terpelihara dan dihafalkannya ayat-ayat Al-


Qur’an. Itulah sebabnya banyak riwayat sejarah yang menginformasikan terdapat ratusan
sahabat Nabi saw yang menghafalkan Al-Qur’an. Bahkan dalam peperangan Yamamah,
yang terjadi beberapa saat setelah wafatnya Rasulullah saw, telah gugur tidak kurang dari
tujuh puluh orang penghafal Al-Qur’an.2
2
Abdul ‘Adzim Al-Zarqaniy, Manahil Al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an. (Kairo: Dar Al-Halabiy,1980). jilid I, h.250.
2
Walaupun Nabi saw dan para sahabat menghafal al-Qur’an, namun guna menjamin
terpeliharanya al-Qur’an beliau tidak hanya mengandalkan hafalan semata, namun juga
tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun, Nabi saw
memanggil para sahabat-sahabat yang pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang
baru saja diterimanya, sambil menyampaikan urutan ayat dan suratnya. Ayat-ayat tersebut
mereka tulis dalam pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Sebagian
sahabat ada juga yang menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi, namun karena
keterbatasan alat tulis dan kemampuan, maka tidak banyak di samping kemungkinan besar
tidak mencakup seluruh ayat al-Qur’an. Kepingan naskah tulisan yang diperintahkan oleh
Rasulullah saw itu baru dihimpun dalam bentuk kitab pada masa pemerintahan khalifah
Abu Bakar r.a.3

Hal ini menimbulkan keyakinan bagi penulis bahwa dalam masalah kodifikasi al-
Qur’an ini, yang primer adalah kemampuan hafalan para sahabat Nabi, hal ini diperkuat
oleh kenyataan tradisi masyarakat Arab yang lebih mengutamakan hafalan pada masa itu,
sementara tradisi menulis masih sangat rendah. Maka dari itu tulisan yang diperintahkan
Nabi untuk ditulisnya ayat-ayat al-Qur’an, hanya sebagai cara untuk menjaga ayat-ayat al-
Qur’an yang hilang dari hafalan para sahabat yang meninggal dunia.

a. Penulisan al-Qur’an Pada Masa Rasulullah saw

Rasulullah saw mempunyai beberapa orang pencatat wahyu. Diantaranya empat


orang sahabat yang kemudian menjadi khalifah rasyidun (Abu Bakar, Umar, Usman
dan Ali), Mu’awiyah, Za’id bin Tsabit, Khalid bin Walid, Ubay bin Ka’ab dan Tsabit
bin Qais. Beliau menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang turun, sehingga al-
Qur’an yang terhimpun di dalam dada menjadi kenyataan tertulis.4

Al-Hakim di dalam al-Mustadrak mengutip sebuah hadis dengan isnad menurut


Bukhari dan Muslim serta berasal dari Za’id bin Tsabit yang mengatakan:”Di kediaman
Rasulullah saw kami dahulu menyusun ayat-ayat al-Qur’an yang tercatat pada riqa’”. 5

3
Ibid, h.252.
4
Subhi As-Shalih, Mabahis fi ‘Ulumil-Qur’an. (Beirut: Libanon, 1985). h. 86.
5
Al-Itqan I h.99 dan Al-Burhan I h.237.
3
Kata riqa’ adalah jamak dari kata ruq’ah yang berarti lembaran kulit, lembaran daun
atau kain. Kata riqa’ pada hadis tersebut memberi gambaran kepada kita betapa
sederhananya alat-alat tulis yang digunakan untuk mencatat wahyu ketika Rasulullah
saw masih hidup. Para sahabat Nabi saw mencatat ayat-ayat di permukaan batu, di atas
pelepah kurma, pada tulang-tulang unta dan kambing yang telah kering, di atas pelana
kuda dan di lembaran-lembaran kulit.

Yang dimaksud menyusun ayat-ayat al-Qur’an dari riqa’ dalam hadis Za’id di atas
adalah menyusun surat-surat dan ayat-ayat menurut petunjuk yang diberikan Rasul saw.
Adapun mengenai ayat-ayat pada masing-masing surat dan pencantuman Basmalah
pada permulaan tiap ayat serta penyusunannya, tidak diragukan lagi sesuai dengan
petunjuk Rasul saw mengenai hal itu tidak ada perbedaan pendapat. Demikianlah
menurut Zarkasyi di dalam al-Burhan6, berdasarkan hadis Bukhari dari Ibnu Zubair
yang mengatakan; Telah kukatakan kepada Usman bahwa ayat “Orang-orang yang
meninggal dunia diantara kalian dan ia meninggalkan isteri-isterinya (dalam al-
Baqarah:234) telah di-naskh oleh ayat lain. Kenapa engkau tetap membiarkannya
termaktub dalam mushaf padahal engkau mengetahui ayat tersebut mansukh? Usman
ketika itu menjawab: Hai anak saudaraku, aku tidak mengubah sesuatu dari
tempatnya”.7 Jelaslah bahwa Usman bin Affan tidak berani merubah satu ayat pun dari
tempatnya, kendati ia tahu benar bahwa ayat itu mansukh.8

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa penghimpunan ayat-ayat semasa hidup


Rasulullah saw telah dipertimbangkan penulisannya supaya mencakup “tujuh huruf “
yang menjadi landasan turunnya al-Qur’an.9

Sesungguhnya setiap ayat yang dicatat disimpan dirumah Rasulullah saw,


sedangkan para pencatat membawa salinannya untuk mereka sendiri. Sehingga
terjadilah saling kontrol antara naskah yang berada ditangan para pencatat wahyu itu

6
Al-Burhan, h. 256.
7
Shahih Bukhari jilid 6, h.29 dan al-Itqan jilid 1 h.105.
8
Subhi, Op.Cit. h.88.
9
Tentang masalah turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf ini bukan menjadi pembahasan pada makalah ini.
4
dan shuhuf (lembaran-lembaran al-Qur’an) yang berada dirumah Rasulullah saw.
Disamping itu ada kontrol lain dari para penghafal al-Qur’an di kalangan sahabat Nabi
saw, baik yang buta huruf maupun yang tidak. Keadaan itulah yang menjamin al-
Qur’an tetap terjaga dan terpelihara keasliannya, sebagaimana yang ditegaskan Allah
swt;

      

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan


Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya (al-Hijr; 9).

b. Penulisan al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar r.a.

Al-Qur’an seluruhnya selesai ditulis pada masa Rasulullah saw masih hidup, hanya
saja ayat-ayat dan surat-suratnya masih terpisah. Ketika itu al-Qur’an masih tercecer
pada berbagai lembaran kulit dan daun, tulang-tulang onta dan kambing yang kering,
atau pada pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan pengumpulannya
menjadi sebuah naskah. Juga naskah yang tertulis pada lembaran-lembaran kulit yang
terdapat di dalam rumah Rasulullah saw yang saat itu masih dalam keadaan terpisah-
pisah. Kemudian dikumpulkan oleh seorang sahabat, lalu diikatnya dengan tali agar
tidak ada yang hilang.10

Abu Bakar memerintahkan kodifikasi al-Qur’an seusai perang Yamamah, tahun


ke-12 H, yaitu perang antara kaum muslimin dan kaum murtad (pengikut Musailamah
al-Kadzab yang mengaku dirinya sebagai nabi baru) dimana 70 penghafal al-Qur’an
dikalangan sahabat Nabi gugur. Melihat kenyataan itu Umar bin Khattab merasa sangat
khawatir, lalu mengusulkan supaya diambil langkah untuk usaha kodifikasi al-Qur’an.
Walaupun pada mulanya Abu Bakar11 ragu menerima usul tersebut, dengan alasan

10
Al-Burhan I, h. 238 dan Al-Itqan I,h.101.
11
Kalau masalah ini kita tinjau dari sudut pandang ilmu ushul fiqih, mengapa Abu Bakar sampai bersedia menerima
usulan Umar, maka penjabarannya adalah sebagai berikut: menjaga al-Qur’an adalah jinsun, sementara nau’nya
adalah tahfidz (menghafal), kitabah (menulis), jam’un (pengumpulan), thaba’ah (mencetak), dan raqim (merekam).
Raqim atau record diqiyaskan dengan tahfidz, thaba’ah diqiyaskan dengan kitabah, sementara al-jam’u tidaklah
masuk ke dalam nau’ melainkan masuk ke dalam jinsun, yaitu menjaga al-Qur’an. Tahfidz dan kitabah adalah
manshushah (ada nashnya), sementara al-jam’u, thaba’ah, dan raqim adalah ghairu manshushah (tidak ada
nashnya). Thaba’ah dan raqim diqiyaskan berdasarkan kemaslahatan mu’tabarah, sedangkan al-jam’u diqiyaskan
5
bahwa pengumpulan tersebut tidak dilakukan oleh Rasul saw. Namun pada akhirnya
Umar pun dapat meyakinkannya. Sehingga keduanya sepakat untuk membentuk suatu
tim yang diketuai oleh Za’id bin Tsabit dalam rangka melaksanakan tugas suci dan
besar itu.

Zaid pun pada mulanya merasa sangat berat untuk menerima tugas tersebut, tetapi
akhirnya ia dapat diyakinkan, apalagi beliau termasuk salah seorang yang yang
ditugaskan oleh Rasul saw pada masa hidup beliau untuk menuliskan wahyu al-Qur’an.
Akhirnya dengan dibantu oleh beberapa orang sahabat Nabi saw, Za’id pun memulai
tugasnya. Abu Bakar memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk membawa
naskah tulisan ayat al-Qur’an yang mereka miliki ke masjid Nabawi untuk kemudian
diteliti oleh Za’id dan timnya.12

Bukhari meriwayatkan sebuah hadis di dalam shahihnya, bahwa Za’id bin Tsabit
menceritakan kesaksiannya sendiri bahwa hatinya merasa berat ketika Abu Bakar atas
usulan Umar memerintahkannya untuk melakukan pekerjaan mulia itu, yaitu kodifikasi
al-Qur’an. Bahkan seandainya ia diperintahkan untuk memindahkan sebuah gunung,
maka perintah itu tidaklah lebih berat daripada perintah kodifikasi al-Qur’an. Za’id
berkata:” Kemudian aku mulai bekerja menelusuri ayat-ayat dan kuhimpun dari
catatan-catatan pada pelepah kurma, batu-batu, dan di dalam dada para penghafal al-
Qur’an. Akhir surat Taubah13 kutemukan pada Abu Khuzaimah al-Anshari, tidak ada
pada orang lain”.14

Maksud dari pernyataan Za’id bahwa ia tidak menemukan akhir surat Taubah
kecuali pada Abu Khuzaimah adalah ia tidak mendapatkan akhir surat tersebut dalam
bentuk tertulis kecuali pada Abu Khuzaimah. Karena banyak sekali para sahabat yang

dengan kemaslahatan mula’imah atau mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak berhubungan dengan nau’, tetapi
berhubungan dengan jinsun.
12
Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1994, h. 25.
13
Ayat tersebut adalah surat Taubah ayat 128 yang berbunyi;

             

14
Subhi, Op.Cit.h.95.
6
hafal ayat tersebut. Bahkan Za’id sendiri adalah salah seorang penghafal al-Qur’an.
Pernyataan itu menunjukkan sikap kehati-hatian Za’id dan menunjukkan bahwa al-
Qur’an yang dihafal di dada para sahabat diperkuat kebenarannya oleh naskah-naskah
tertulis.

Untuk dapat diterima, setiap ayat yang diserahkan kepada panitia khusus yang
telah dibentuk di masjid Madinah tersebut, harus diperkuat oleh dua orang saksi. Abu
Bakar berkata kepada Za’id:” Duduklah kalian di pintu masjid Madinah, setiap orang
yang datang kepada kalian membawa dua orang saksi mengenai sesuatu dari
kitabullah maka hendaklah kalian tulis”.15

Perintah kodifikasi al-Qur’an oleh Abu Bakar r.a. selesai dilaksanakan dalam
waktu satu tahun. Za’id menerima perintah beberapa saat setelah berakhirnya perang
Yamamah dan rampung beberapa waktu menjelang wafatnya Abu Bakar. Al-Qur’an
hasil kodifikasi Za’id berada ditangan Abu Bakar Sampai beliau wafat. Kemudian
dipindahkan ketangan Umar sampai khalifah kedua itu juga wafat. Setelah itu mushaf
disimpan Hafshah binti Umar r.a.

Mushaf Abu Bakar, seluruh isinya dan kebenaran kemutawatirannya didukung


bulat oleh seluruh umat Islam. Banyak ulama berpendapat bahwa cara penulisannya
menggunakan “ tujuh huruf ” sebagaimana yang berlaku pada masa turunnya al-
Qur’an. Dilihat dari segi itu, maka mushaf Abu Bakar serupa dengan ayat-ayat pertama
yang dihimpun pada masa Rasulullah saw masih hidup.

c. Penulisan al-Qur’an Pada Masa Usman r.a.

Bukhari dalam shahihnya mengetengahkan sebuah hadis dengan isnad-nya Ibnu


Syihab, bahwa Anas bin Malik memberitahukan kepadanya (Ibnu Syihab): Ketika
pasukan Syam bersama pasukan Iraq berperang membela dakwah agama Islam di
Armenia dam Azerbaidzan, Hudzaifah bin Yaman datang kepada khalifah Usman. Ia
mengutarakan kekhawatirannya tentang perbedaan bacaan al-Qur’an di kalangan
muslimin. Kepada Usman, Hudzaifah berkata;” Ya Amirul mukminin, persatukanlah
segera umat ini sebelum mereka berselisih mengenai kitabullah sebagaimana yang
15
Al-Itqan, h.100.
7
terjadi di kalangann Yahudi dan Nasrani.” Khalifah Usman kemudian mengirim
sepucuk surat kepada Hafshah, berisi permintaan agar Hafshah mengirimkan mushaf
yang disimpannya untuk disalin menjadi beberapa naskah. Setelah itu mushaf akan
dikembalikan lagi. Hafshah lalu menirimkan mushaf tersebut kepada Usman.
Kemudian Usman memerintahkan Za’id bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash
dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam supaya bekerja bersama-sama menyalin
mushaf menjadi beberapa naskah. Kepada tiga orang Quraisy di antara mereka itu
Usman berpesan:“ Kalau terjadi perbedaan antara kalian dan Za’id bin Tsabit
mengenai sesuatu tentang al-Qur’an, maka tulislah menurut dialek Quraisy, karena al-
Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka.” Lalu mereka bekerja melaksanakan tugas
itu hingga berhasil menyalin mushaf menjadi beberapa naskah. Setelah itu mushaf asli
dikembalikan kepada Hafshah, sedangkan beberapa naskah salinannya dikirim ke
berbagai kawasan Islam. Bersamaan dengan itu Usman memerintahkan supaya semua
catatan tentang ayat-ayat al-Qur’an, atau mushaf-mushaf lain yang bertebaran
dikalangan kaum muslimin, segera dibakar.16

Riwayat hadis shahih tersebut memberikan kepada kita tentang adanya lima
masalah penting;

Pertama, perbedaan cara membaca al-Qur’an itulah yang sesungguhnya menjadi


pendorong bagi Usman untuk emerintahkan penyalinan mushaf Hafshah menjadi
beberapa naskah.

Kedua, komisi yang bertugas menyalin mushaf terdiri dari empat orang. Jika kita
sisihkan Za’id bin Tsabit karena ia sebagai orang dari kaum Anshar di madinah,
dapatlah kita ketahui bahwa ketiga orang yang lainnya berasal dari Quraisy Mekkah.
Keempat orang itu semuanya adalah para sahabat Nabi yang terkemuka dan terpercaya.

Ketiga, komisi empat orang itu menggunakan mushaf Hafshah sebahai dasar
salinan, yang pada hakekatnya komisi tersebut bersandar pada mushaf asli hasil
kodifikasi atas perintah Khalifah Abu Bakar.

16
Shahih Bukhari, Kitab Fadha’ilul-Qur’an bab II dan III, Al-Itqan I, h.102.
8
Keempat, al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dialek Quraisy, dialek yang
diutamakan bagi penulisan nash al-Qur’an bila timbul perbedaan antara tiga orang
Quraisy (dalam komisi tersebut) dan Za’id bin Tsabit.

Kelima, khalifah Usman mengirimkan salinan mushaf hasil kerja komisi empat
orang ke daearh-daerah. Selain itu, untuk meniadakan perbedaan dan pertengkaran
mengenai cara membaca al-Qur’an, ia perintahkan kaum muslimin supaya membakar
naskah-naskah mushaf yang lain dan semua catatan al-Qur’an yang dilakukan oleh
masing-masing orang dengan caranya sendiri-sendiri untuk keperluan pribadi.

Perintah pembakaran mushaf-mushaf selain mushaf Usman menimbulkan protes di


kalangan dua orang sahabat Nabi terkemuka, yaitu Abdullah bin Mas’ud dan Ubay bin
Ka’ab. Penulis berasumsi bahwa penolakan tersebut di dasarkan pada dua faktor: (1)
mushaf yang dimiliki oleh keduaa sahabat Nabu ini tidak berbeda dari segi ayat dengan
mushaf Usman, tetapi mushaf mereka berdua terdapat penjelasan-penjelasan atau
keterangan-keterangan semacam tafsir dari ayat-ayat al-Qur’an yang mereka tulis. Hal
ini berbeda dengan mushaf Usman yang murni berisi ayat-ayat al-Qur’an saja. (2)
mereka adalah dua sahabat ternama dari Nabi saw, mereka adalah salah satu dari empat
orang sahabat Nabi yang namanya disebut oleh Nabi saw dalam hadis sebagai salah
seorang yang perlu ditimba ilmu pengetahuannya mengenai al-Qur’an.17 Sementara
dalam proses kodifikasi al-Quran masa Usman, mereka tidak dilibatkan, tentu saja hal
itu menyebabkan kodifikasi mushaf Usman tidak aspiratif, sehingga menimbulkan
protes beberapa sahabat.

d. Mushaf Usman dalam Taraf Penyempurnaan

Salinan mushaf Usman tidak ber-syakl dan tidak bertitik. Cara penulisan yang
demikian itu membuka kemungkinan terjadinya berbagai macam bacaan di berbagai
kota dan daerah yang mempunyai kekhususannya sendiri-sendiri sesuai dengan tabiat
dan adat kebiasaan masing-masing. Akhirnya mulai dipikirkan penciptaan tanda- tanda
tertentu yang dapat membantu bacaan dengan baik dan benar.

17
Dalam hadis tersebut Rasulullah saw bersabda:” Belajarlah al-Qur’an dari empat orang, Abdullah (ibnu
Mas’ud), Salim Maula Abu Hudzaifah, Muadz bin Jabal dan Ubay bin Ka’ab”.(lihat Shahih Bukhari VI, h.187).
9
Abul Aswad Ad-Duali dikenal karena dialah orang yang pertama kali meletakkan
kaidah tata bahasa Arab atas perintah Ali bin Abi Thalib. Banyak orang berpendapat
bahwa penemuan akan cara penulisan al-Qur’an dengan huruf-huruf bertitik merupakan
kelanjutan dari kegiatan Abul-Aswad Ad-Duali. Terlalu banyak memang cerita yang
menunjukkan betapa besar gairah Abul Aswad kepada bahasa al-Qur’an. Konon ia
pernah mendengar orang membaca firman Allah surat al-Taubah ayat 3:” Innallaha
barii’un minal musyrikina wa rasuluhu.” Bahwa Allah dan Rasul-Nya memutuskan
hubungan dengan kaum musyrikin. Orang yang lain lagi mambaca:” Annallaha
barii’un minal musyrikina wa rasulihi.” Bahwa Allah memutuskan hubungan dari
kaum musyrikin dan dari Rasul-Nya. Karena mendengar bacaan itulah akhirnya hati
Abul Aswad tergugah untuk melakukan pekerjaan ini, yakni memberi tanda bacaan
pada al-Qur’an agar kesalahan membaca tidak terulang lagi dikalangan kaum muslimin.
Ia memulai pekerjaan tersebut pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Namun
Subhi As-Shalih berasumsi bahwa pekerjaan itu pastinya dilakukan oleh beberapa
orang dan kesempurnaannya tidak dapat dicapai selama satu generasi, malainkan
beberapa generasi. Abul Aswad Ad-Duali hanya merupakan sebuah mata rantai pertama
dalam proses perbaikan cara penulisan al-Qur’an.18

Dalam perkembangan berikutnya semakun besar perhatian orang kepada usaha


memudahkan penulisan al-Qur’an. Upaya ke arah itu mengambil berbagai macam
bentuk. Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi dikenal sebagai orang pertama menyusun
titik-titik kemudian di bentuk menjadi gambar untuk membuat tanda baca hamzah,
tasydid, raum dan isymam. Ketika Abu Hatim As-Sajastani menulis buku tentang tanda
baca titik dan syakl untuk al-Qur’an, cara penulisan mushaf sudah mendekati
kesempurnaan, sehingga pada akhir abad ketiga Hijriyah penulisan mushaf telah
mencapi puncak keindahannya.

Setelah banyak orang menandai mushafnya dengan berbagai tanda untuk


memisahkan ayat yang sati dari ayat yang lain, lalu mereka semakin berani
mencantumkan nama-nama surat pada tiap awal surat, sehingga sulit dicegah upaya
orang untuk memperindah dan memperelok bentuk susunan mushaf. Mereka lalu sibuk

18
Subhi Op.Cit. h.117-119.
10
menghias mushaf, membagi ayat-ayat menjadi beberapa bagian (juz) dan kelompok
(hizb). Untuk membenarkan langkah tersebut mereka mencari-cari dalil dari berbagai
riwayat masa lalu. Zarkasyi mengatakan:” Mengenai pengelompokan dan pembagian
ayat-ayat al-Qur’an sebelum itu memang sudah dilakukan orang dan sudah dikenal,
yaitu dibagi menjadi tiga puluh bagian (juz).” Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, Ibnu
Majah, masing-masing mengetengahkan sebuah riwayat berasal dari Aus bin
Hudzaifah, bahwa Rasulullah saw semasa hidupnya pernah bertanya kepada para
sahabat:” Bagaimanakah cara kalian mengelompokkan ayat-ayat al-Qur’an?” Mereka
menjawab:” Tiga, lima, tujuh, sembilan, sebelas, tiga belas dan kelompok mufashal
dari Qaaf hingga tamat.”19

Pada masa berikutnya terjadi peristiwa yang menggembirakan, disamping artinya


yang memang sangat besar, yaitu di Kairo muncul al-qur’an dalam bentuk yang mungil,
indah dan halus. Mushaf tersebut dicetak dan diterbitkan tahun 1342 H/1923 M
dibawah pengawasan syaikhul-Azhar, dan diakui serta disahkan oleh sebuah panitia
khusus yang dibentuk untuk itu oleh Raja Fuad I. mushaf itu ditulis dan disusun sesuai
dengan riwayat Hafsah mengenai qira’at ‘Ashim. Seluruh dunia Islam menyambut dan
menerima baik mushaf tersebut, sehingga tiap tahun dicetak berjuta-juta eksemplar
banyaknya, dan merupakan mushaf satu-satunya yang beredar dikalangan umat Islam,
atau hampir merupakan satu-satunya yang beredar. Karena semua ulama di berbagai
pelosok dunia dengan bulat mengakui kecermatan yang sempurna, baik dekorasi
maupun tulisannya.

Pada masa sekarang ini kita telah dengan mudah mendapatkan mushaf-mushaf al-
Qur’an yang tercetak dengan berbagai hiasan yang indah. Bahkan tidak hanya itu, kita
telah menjumpai kodifikasi al-Qur’an secara lebih canggih lagi, yakni dengan program
digital dan record, dan program yang memanfaatkan teknologi tersebut lebih
memudahkan kita dalam mencari ayat-ayat al-Qur’an yang kita butuhkan dan dapat
dibawa kemanapun umat Islam berada, serta dapat dibaca, dipelajari dan ditelaah tanpa
harus repot membawa mushaf yang tebal itu kemana-mana.

e. Penamaan Al-Qur’an
19
Al-Burhan I, h.250.
11
Allah swt memilih beberapa nama bagi wahyu-Nya, yang berbeda sekali bahasa
yang biasa digunakan masyarakat Arab untuk penamaan sesuatu. Nama-nama itu
mengandung makna yang berbias dan memiliki akar kata. Di antaranya beberapa nama
itu yang paling terkenal ialah al-Kitab dan al-Qur’an.

Para ulama berbeda pendapat mengenai lafadz al-Qur’an. Sebagian berpendapat


bahwa penulisan lafadz tersebut dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Qur’an). Pendapat
lain mengatakan penulisannya tanpa dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Quran).
Termasuk para ulama yang berpendapat demikian adalah:

1. As-Syafi’i mengatakan, lafadz al-Qur’an yang terkenal itu bukan musytaq (bukan
pecahan dari akar kata apapun) dan bukan pula berhamzah (tanpa tambahan huruf
hamzah di tengahnya). Menurutnya lafadz tersebut bukan berasal dari akar kata qa-
ra-a (membaca), sebab kalau akar kata qa-ra-a, maka tentu setiap sesuatu yang
dibaca dapat dinamai al-Qur’an. Lafadz tersebut memang nama khusus bagi al-
Qur’an, sama halnya dengan Taurat dan Injil.20

2. Al-Farra berpendapat, lafadz al-Qur’an adalah pecahan dari kata qarain, yang berarti
kaitan, karena ayat-ayat al-Qur’an satu sama lain saling berkait. Karena itu jelaslah
bahwa huruf nun pada akhir lafadz al-Qur’an adalah huruf asli, bukan huruf
tambahan.21

3. Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan, lafadz al-Qur’an adalah pecahan dari
kata qarn, artinya gabungan atau kaitan, karena surat-surat dan ayat-ayat saling
bergabung dan saling berkaitan.22

4. Az-Zajjaj berpendapat, lafadz al-Qur’an ditulis dengan huruf hamzah ditengahnya


berdasarkan pola kata fu’lan. Lafadz tersebut pecahan dari akar kata qar’un yang
artinya jam’un yang dalam bahasa indonesia maknanya “kumpul”. Alasannya al-
Qur’an mengumpulkan atau menghimpun intisari kitab-kitab suci terdahulu.23

20
Tarikh Bagdad karangan al-Khathib, jilid II, h.62.
21
Al-Itqan, Jilid I, h.87.
22
Al-Burhan, jilid I, h.278.
12
5. Al-Lihyani berpendapat, lafadz al-Qur’an ditulis dengan huruf hamzah ditengahnya
berdasarkan pola kata ghufran dan merupakan pecahan dari kata qa-ra-a yang
bermakna talaa (membaca). Lafadz al-Qur’an digunakan untuk manamai sesuatu
yang dibaca, yakni objek, dalam bentuk mashdar.24

Pendapat terakhir ini lebih kuat dan lebih tepat karena dalam bahasa Arab lafadz
al-Qur’an adalah bentuk mashdar yang maknanya sinonim dengan qira’ah, yakni
bacaan. Sebagai contoh firman Allah swt:

      




“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di


dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami
Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu” (Al-
Qiyamah:17-18).

Apapun nama al-Qur’an, yang jelas dan pasti barasal dari kalam
ilahi yang diturunkan kepada Nabi saw dan tertulis berdasarkan
sumber-sumber mutawatir yang bersifat pasti kebenarannya, dan
yang dibaca umat Islam dalam rangka ibadah. Penamaan al-Qur’an
yang demikian itu telah disepakati oleh para ulama ahli kalam, ahli
fiqih, dan ahli bahasaArab.25

B. Pandangan Para Orientalis Terhadap Mushaf Usmani

Secara umum, sasaran kajian orientalis terhadap kemunculan mushaf Usmani tertuju pada
tiga fase kesejarahan. Pertama, koleksi dan susunan teks dari lisan sampai tulisan. Kedua,

23
Al-Burhan, jilid I, h.278.
24
Al-Burhan, jilid I, h.87.

25
Subhi, Op.Cit, h. 10.
13
perbedaan tata cara baca dan beberapa kodeks sahabat. Ketiga, proses pemantapan teks dan
cara baca menjadi kanonik.

a. Koleksi Dan Susunan Teks

Menurut para orientalis, pada saat Nabi saw wafat al-Qur’an sama sekali belum
terkodifikasi. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya teks-teks al-Qur’an yang masih
berceceran di tangan para sahabat, baik berupa catatan-catatan pribadi maupun berupa
hafalan yang mereka miliki. Selain hal tersebut, adanya kepedulian para sahabat terhadap
pentingnya pengumpulan dan penyusunan al-Qur’an yang baru terjadi setelah terjadinya
peristiwa peperangan Yamamah pada 12 hijriah yang banyak menewaskan para Huffadz
juga menjadi salah satu fakta sejarah yang memperkuat asumsi mereka.26

Dalam mengomentari pendapat para sarjana muslim yang mengaitkan motif


pengumpulan al-Qur’an dengan peristiwa Yamamah, dengan pendekatan sejarah mereka
berusaha membuktikan dan memberikan fakta bahwa pengaitan dua hal tersebut sulit
diterima dan dipertahankan. Banyaknya versi riwayat yang menginformasikan jumlah
huffadz yang gugur dalam peperangan ini, menurut mereka hal ini megindikasikan bahwa
dalam periwayatan tersebut terdapat sesuatu yang musykil. Dan untuk memecahkan
permasalahan ini diperlukan adanya suatu pendekatan sejarah untuk melacak kevaliditan
berita tersebut. Para orientalis setelah melakukan pengkajian dan penelitan terhadap
sumber-sumber sejarah yang terkait dengan peristiwa Yamamah ini, ternyata hanya
ditemukan sejumlah kecil dari nama-nama yang gugur dalam peperangan Yamamah, yang
mungkin banyak menghafal bagian al-Qur’an.

L. Caetani, dalam hal ini mengatakan bahwa jumlah yang tewas pada waktu
peperangan Yamamah ini hampir seluruhnya orang-orang yang baru masuk Islam.
Sementara Schawally menyebutkan bahwa dari pemeriksaannya terhadap daftar nama-
nama penghafal al-Qur’an yang gugur, ia hanya menemukan dua orang yang bisa dikatakan
memiliki pengetahuan al-Qur’an yang meyakinkan, yaitu Abdullah bin Hafs bin Ghanim
dan Salim bin Ma’qil.27

26
John Burton. The Collection of the Qur’an.(Cambridge: The University Press, 1986). h.45.
14
Selain adanya keganjilan di atas, yang ditemukan oleh para orientalis terhadap
anggapan yang diyakini oleh para sarjana muslim selama ini, adanya kenyataan bahwa
otoritas mushaf koleksi abu bakar yang tidak diakui secara ofisial. Hal tersebut berdasarkan
pada periwayatan yang menyebutkan bahwa dimasa khalifah Abu Bakar beliau pernah
memerintahkan Zaid untuk mengumpulkan al-Qur’an. Karakter mushaf yang dikumpulkan
Zaid pada esensinya merupakan mushaf yang resmi karena dilakukan atas perintah dan
otoritas khalifah Abu Bakar. Suatu kumpulan “resmi” al-Qur’an semacam itu tentunya bisa
diduga memiliki otoritas dan pengaruh luas, sebagaimana dinisbatkan kepadanya. Tetapi,
bukti semacam itu tidak ditemukan dalam kenyataan sejarah. Kumpulan-kumpulan atau
mushaf-mushaf al-Qur’an lainya, seperti mushaf ibn mas’ud, ubay bin kaab atau abu musa
al-Asyari, justru terlihat lebih otoritatif dan memiliki pengaruh luas diberbagai wilayah
kekhalifahan Islam ketika itu, ketimbang mushaf yang dikumpulkan zaid. Masih dalam alur
yang sama, pertikaian yang disebabkan oleh perbedaan bacaan dalam mushaf-mushaf
otoritatif dan berpengaruh pada masa Usman barangkali tidak akan timbul jika pada waktu
itu telah ada satu mushaf resmi di tangan khalifah yang bisa dijadikan rujukan.28

Dengan demikian karakter resmi mushaf al-Qur’an yang dikumpulkan zaid pada
masa pemerintahan Abu Bakar terlihat sangat meragukan. Bahkan perjalanan historis
selanjutnya mushaf tersebut, dari tangan Umar berpindah ke Hafshah sebagai warisan lebih
menunjukkan karakter personalnya.

Oleh sebab itu, dengan adanya berbagai versi mushaf yang terdapat ditengah-tengah
kaum muslimin pada waktu itu menimbulkan suatu kenyataan yang tak terbantahkan yaitu
masalah adanya perbedaan bacaan yang terdapat dalam keempat mushaf tersebut.

Dari hal-hal yang tersebut di atas, mereka meyakini bahwa al-Qur’an pada dasarnya
mengalami nasib yang sama dengan kitab-kitab suci sebelumnya yakni ia tidak terbebas
dari adanya penambahan atau bahkan pengurangan dari para generasi awal Islam sesuai
dengan selera mereka masing-masing yang tergambar dari banyaknya versi al-Qur’an yang
ada pada mereka yang mana antara satu sama lain banyak terdapat perbedaan. Perbedaan

27
Ibid, h.23-25.
28
Ibid, h.26.
15
teks dan susunan inilah yang mengindikasikan bahwa al-Qur’an sejak wafatnya Nabi saw
telah mengalami reduksi dan pabrikasi yang nilai-nilai otentisitasnya tidak bisa
dipertanggungjawabkan.29

b. Perbedaan Qiraat

Perbedaan antar mushaf pribadi yang ditemukan dalam kesejarahan teks al-Qur’an
mengindikasikan bahwa teks al-Qur’an semenjak masa-masa awal sudah mendapat
“campur tangan” pemilik mushaf pibadi. Dengan kata lain, terlepas dari motif-motif yang
ada, peran generasi Islam awal cukup kentara dalam menyusun redaksi final al-Qur’an
disertai dengan adanya penambahan-penambahan sesuai dengan selera dan kebutuhan
mereka masing-masing.

Mushaf Usmani seperti yang kita ketahui, dalam segi tulisan naskah kodifikasinya
masih” telanjang”. Ia belum dilengkapi dengan tanda-tanda akhir surat dan begitu juga
tanda-tanda khusus untuk setiap huruf yang bisa membedakan bunyinya dengan huruf-
huruf yang lain. Di samping itu, berbeda dengan mushaf-mushaf yang lain, jenis tulisan
mushaf Usmani tidak memiliki suatu informasi yang pasti terkait dengan masalah gaya
penulisan tersebut. Jika potongan-potongan mushaf yang lain menggunakan jenis tulisan
khufi – berdasarkan pada informasi sejarah, yang mengatakan bahwa keseluruhan fragmen
manuskrip tersebut diprediksikan baru ditulis setelah abad ke 3 hijriah – maka ia (mushaf
Usmani) menurut Jeffery informasinya tidak teridentifikasi sama sekali.

Dengan demikian, dengan adanya berbagai macam kemusykilan yang terjadi dalam
sejarah kompilasi ini khususnya dalam kasus perbedaan qira’at ini, mendorong para
peneliti barat untuk mempertanyakan riwayat-riwayat yang menginformasikan koleksi-
koleksi pribadi para sahabat pra Mushaf Usmani.

Paling tidak dalam mengomentari dan menanggapi semua kemusykilan yang terjadi
dalam hal ini, ada dua nama yang menonjol yaitu, John Burton dan John Wansbrough.
John Burton menegaskan bahwa seluruh riwayat yang menceritakan kodeks para sahabat
dan kodeks yang beredar di beberapa kota metropolitan muslim saat itu, sebenarnya telah
29
Ibid, h.38.
16
dipalsukan oleh para fuqaha dan filolog muslim kemudian. Hal ini menurut Burton,
dimaksudkan untuk dijadikan sebagai setting kisah kodifikasi mushaf Usman yang pada
gilirannya dijadikan penutup kenyataan bahwa Muhammad sendiri telah mengumpulkan
dan mengecek edisi final al-Qur’an.30

Di sisi lain, Wansbrough mencurigai peran aktif generasi muslim awal dalam
penyusunan redaksi final al-Qur’an. Menurutnya, generasi awal Islam tidak hanya
memformulasikan wahyu yang diajarkan Muhammad, akan tetapi memberikan tambahan di
sana- sini untuk mengantisipasi masuknya tradisi yahudi di dalmnya. Peran aktif generasi
awal muslim ini terlihat jelas dalam berbagai versi bacaan al-Qur’an yang berbeda-beda.
Selain itu ia juga menambahkan, berdasarkan teori Joseph Schacht yang mengatakan
bahwa hukum Islam tidak dideduksi dari al-Qur’an, bahwa redaksi final al-Qur’an baru di
susun pada permulaan abad ketiga hijrah. Hal ini ditopang data histories bahwa
terminology baku seperti rujukan kepada mushaf Usmani sebagai mushaf al-imam baru
dimulai pada abad ketiga hijriah.31

c. Proses Pemantapan Teks Dan Qiraat Menjadi Kanonik

Para orientalis dengan metode pendekatan penelitian ala mereka, di samping


mengkritik dua hal yang terkait dengan mushaf Usmani di atas, tetapi lebih jauh mereka
mengkritik proses pemantapan teks dan qiraat menuju suatu teks al-Qur’an yang utuh yang
dipegangi dan dianggap sakral oleh kaum muslim atau dalam istilah lain menuju suatu teks
kanonik yang nantinya akan dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan di dunai dan
di akhirat.

Wansbrough dan para orientalis lain setelah mereka mengkaji mushaf Usmani dengan
pendekatan dan metodologi yang mereka gunakan, sebagai tindak lanjut dan konsekuensi
dari dua kesimpulan mereka di atas, mereka meyakini bahwa kanonisasi dan stabilisasi teks
al-Qur’an berjalan bersamaan dengan formasi komunitas muslim. Menurut mereka teks al-
Qur’an yang final tidak akan dibutuhkan sebelum kekuasaan politik terkontrol secara
30
John Wansbrough. Qur’anic Studies: Sources and method of Scritural Interpretation. (Oxford: The University
Press. 1979). h. 56.
31
Ibid. h.61.
17
sepenuhnya. Sehingga pada penghujung abad kedua, terjadi semacam upaya pengumpulan
“tradisi oral” dan liturgis yang pada gilirannya pada abad ketiga hijriah muncul mushaf
baku al-Qur’an.32

Berdasarkan pemaparan Wansbrogh di atas, pada dasarnya ia ingin menyampaikan


bahwa al-Qur’an (mushaf Usmani) pada dasarnya merupakan suatu kodeks yang sarat
dengan kepentingan politik khalifah Usman, yang mana dalam proses penghimpunannya
setelah membuang bagian-bagian yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka dari
mushaf-mushaf yang berkembang sebelumnya, mushaf-mushaf tersebut dihancurkan.
Setelah penghancuran mushaf-mushaf tersebut, ditetapkanlah Mushaf Usmani menjadi
mushaf tunggal (mushaf tertutup) yang akan dijadikan pegangan dikalangan umat Islam.

C. Kekeliruan Para Orientalis Terhadap Al-Quran (Mushaf Usmani)

al-Qur’an sebagai kalamullah yang ditransmisikan secara lisan, dalam arti ucapan dan
sebutan. Kesalahan dalam memahami pada aspek inilah sehingga melahirkan suatu anggapan
yang menyamakan al-Qur’an dengan bibel dikalangan orientalis. Oleh sebab itu, konsekuensi
logis dari frame work berfikir seperti ini akan menimbulkan suatu konklusi yang menganggap
bahwa al-Qur’an adalah suatu teks yang profan yang sama dengan teks-teks lain yang bisa
direvisi dan diotak-atik sesuai dengan kehendak reader.

Menurut Syamsuddin Arif, ada beberapa kekeliruan yang menyebabkan konklusi dari
para orientalis dalam memamahami dan memandang al-Qur’an (mushaf Usmani) berbeda
dengan konklusi yang dihasilkan oleh para sarjana muslim. Kekeliruan tersebut adalah;
Pertama, pada prinsipnya al-Qur’an bukanlah tulisan (rasm atau writing) tetapi ia adalah
bacaan (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan atau sebutan. al-Qur’an dalam artian bacaan
ini dimaknakan dalam setiap transimisinya baik itu dalam proses pewahyuannya maupun
pengajaran atau penyampaiannya.33

Dari itu seluruh kekeliruan dan kengawuran para orientalis bersumber dari sini. Orang-
orang seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya berangkat dari sebuah asumsi keliru
32
Ibid. h.62
33
Syamsuddin Arif. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. (Jakarta: Gema Insani Press, 2008). h. 22.
18
yang menganggap al-Qur’an sebagai “dokumen tertulis” atau teks, bukan sebagai “hafalan
yang dibaca” atau recitio. Dengan asumsi keliru ini, mereka mau menerapkan metodologi
filologi yang lazim digunakanan dalam memamahi bible untuk memahami al-Qur’an.
Akibatnya mereka menganggap bahwa al-Qur’an adalah produk sejarah, hasil interaksi orang
arab abad ke-7 dan 8 M dengan masyarakat sekeliling mereka.34

Kedua, kekeliruan mereka dalam memahami fakta sejarah jam’u (pengumpulan dan
penghimpunan) al-Qur’an seperti yang telah dipaparkan diatas. Lebih lanjut mereka
menganggap bahwa sejarah kodifikasi tersebut hanyalaah kisah fiktif dan mengatakan bahwa
proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke 9 M. 35

Ketiga, para orientalis salah paham tentang rasm dan qira’at. Sebagaimana diketahui,
tulisan arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam al-
Qur’an ditulis “gundul”, tanpa tanda baca sedikit pun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan
kemudian. Meskipun demikian rasm Usmani sama sekali tidak menimbulkan masalah,
mengingat kaum muslimin pada saat itu belajar al-Qur’an langsung dari para sahabat, dengan
cara menghafal dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau
tulisan.36

Dari pemahaman mereka yang keliru terhadap permasalahan ini, sehingga mereka (para
orientalis) menyimpulkan bahwa teks gundul inilah sumber variant readings – sebagaimana
terjadi dalam kasus bible- yang pada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa al-Qur’an pada
dasarnya sama dengan bible. Maka dari itu untuk membuktikan otentisitasnya, kita juga harus
menggunakan metodologi yang sama seperti metodologi yang diterapkan pada bible.

D. Beberapa Kesimpulan

Apabila dibandingkan dengan mushaf yang disusun oleh tim yang dibentuk oleh Abu
Bakar, sebenarnya pada mushaf yang dihasilkan oleh tim yang dibentuk Usman terdapat

34
Ibid. h.23.
35
Ibid. h.24.
36
Ibid. h.25.
19
beberapa perbedaan baik dari segi proses pembentukannya maupun dari segi keotentikan
dialeknya. Beberapa hal tersebut diantaranya:

1. Proses pembentukan mushaf Abu Bakar tampak mutawatir dan disepakati oleh seluruh
sahabat Nabi saw, karena mushaf tersebut dikumpulkan dari mereka dan melibatkan
banyak penghafal al-Qur’an. Sementara mushaf Usman hanya dibuat oleh empat orang
saja. Selain itu, perintah Usman untuk membakar mushaf-mushaf (selain dari mushaf yang
ia susun) juga disertai dengan penentangan beberapa sahabat Nabi yang memiliki mushaf
sendiri, di antaranya adalah Abdullah bin Mas’ud, meskipun pada akhirnya beliau setuju
dengan kebijakan Usman tersebut.

2. Mushaf yang disusun Abu Bakar adalah mushaf yang masih berbentuk “ tujuh huruf “,
sehingga umat Islam bebas menyesuaikan bacaannya dengan dialeknya masing-masing.
Sementara mushaf Usman hanya menggunakan dialek Quraisy.

3. Mushaf Usman mengalami penyempurnaan pada masa setelah Usman, terutama pada masa
Abul Aswad Ad-Duali.kemudian pada masa berikutnya kodifikasi al-Qur’an mengalami
perkembangan dan kemajuan pesat, hingga al-Qur’an mengalami kesempurnaan baik
bentuk tulisan maupun sistem pengkodifikasiannya.

4. kesalahan Orientalis dalam mengkaji al-Qur’an adalah mereka beranggapan bahwa al-
Qur’an adalah tulisan, bukan bacaan atau hafalan. Kesalahan ini mengakibatkan kajian
yang mereka lakukan atas teks-teks al-Qur’an dengan metode yang mereka gunakan
mengalami kesalahan ilmiah secara fatal dalam memahami al-Qur’an.

20

Anda mungkin juga menyukai