Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

“FRAKTUR PATELLA”

A. DEFINISI
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksteral
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang (Carpenito, 1999).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh ruda paksa (Mansjoer, 2000).
Sedangkan menurut anatominya, patella adalah tempurung lutut. Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa fraktur patella merupakan suatu
gangguan integritas tulang yang ditandai dengan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dikarenakan tekanan yang berlebihan yang terjadi pada
tempurung lutut.

B. ETIOLOGI
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), fraktur terjadi jika tulang dikenai
stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan
oleh pukulan langsung, gaya remuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan
kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan
berpengaruh mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi,
dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah.
Menurut Corwin (2009), penyebab fraktur tulang paling sering adalah
trauma, terutama pada anak-anak dan dewasa muda. Beberapa fraktur dapat
terjadi setelah trauma minimal atau tekanan ringan apabila tulang lemah (fraktur
patologis) fraktur patologis sering terjadi pada lansia yang mengalami
osteoporosis, atau individu yang mengalmai tumor tulang, infeksi, atau penyakit
lain. Fraktur stress atau fraktur keletihan dapat terjadi pada tulang normal akibat
stress tingkat rendah yang berkepanjangan atau berulang, biasanya menyertai
peningkatan yang cepat tingkat latihan atlet atau permulaan aktivitas fisik yang
baru (Corwin, 2009).
Patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di
sekitar tulang yang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap. Penyebab terjadinya fraktur adalah trauma, stres kronis dan
berulang maupun pelunakan tulang yang abnormal.
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti
kecelakan mobil, olah raga atau karena jatuh. Patah tulang terjadi jika tenaga
yang melawan tulang lebih besar daripada kekuatan tulang. Jenis dan beratnya
patah tulang dipengaruhi oleh:
- Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang.
- Usia penderita.
- Kelenturan tulang.
- Jenis tulang.

C. KLASIFIKASI
Klasifikasi patah tulang (fraktur) secara umum adalah:
a. Berdasarkan hubungan dengan dunia luar

1. Fraktur tertutup (closed)


Bila tidak ada hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut
juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi
2. Fraktur terbuka (open / compound)
Bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena
adanya perlukaan kulit. Fraktur jenis ini dibagi menjadi:
a) Grade 1 : robekan kulit dengan kerusakan kulit otot
b) Grade 2 : seperti grade 1, dengan memar kulit dan otot
c) Grade 3 : luka sebesar 6 – 8 cm dengan kerusakan pembuluh darah dan
saraf otot dan kulit
b. Berdasarkan luas dan garis
1. Fraktur komplit
Bila garis patah menyeberang dari satu sisi ke sisi lain dan mengenai seluruh
korteks
2. Fraktur inkomplit
Bila garis patah tidak menyeberang sehingga masih ada korteks yang utuh
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma

1. Fraktur spiral
Fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma
rotasi
2. Fraktur transversal
Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi atau langsung
3. Fraktur kompresi
Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke
arah permukaan lain
4. Fraktur oblik
Fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi
5. Fraktur avulsi
Fraktur yang diakibatkan trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada
tulang

d. Berdasarkan jumlah garis patah


1. Fraktur kominutif
Garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
2. Fraktur segmental
Garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan
3. Fraktur multipel
Garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
1. Fraktur undisplaced (tidak bergeser)
Garis patah lengkap tapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih
utuh
2. Fraktur displaced (bergeser)
Terjadi pergeseran fragmen tulang yang disebut juga dislokasi
f. Fraktur kelelahan : fraktur yang diakibatkan tekanan yang berulang-ulang
g. Fraktur patologis : fraktur yang disebabkan proses patologis tulang
D. PATOFISIOLOGI

Jatuh atau terkena pukulan benda keras

Hantaman atau tekanan yang keras pada patella

Fraktur patella Dilakukan tindakan operasi

Kerusakan
Diskontinuitas tulang Nyeri akut
integritas jaringan

Pembengkakan
Perubahan jaringan sekitar dan perubahan
warna lokal

Laserasi kulit Pergeseran fragmen tulang Nyeri akut

Kerusakan
integritas kulit Deformitas terputusnya
pembuluh darah

Gangguan fungsi
Risiko infeksi
Perdarahan

Hambatan mobilitas fisik

Perfusi jaringan
tidak efektif

Hambatan Kerusakan Nyeri akut Deficit perawatan diri


mobilitas fisik integritas
jaringan
E. MANIFESTASI KLINIK
Adanya fraktur dapat ditandai dengan adanya:
a. Pembengkakan.
b. Perubahan bentuk, dapat terjadi angulasi (terbentuk sudut), rotasi (terputar),
atau pemendekan.
c. Terdapat rasa nyeri yang sangat pada daerah fraktur.

Menurut Smeltzer dan Bare (2001), manifestasi klinis fraktur antara lain:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid
seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bias
diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya kerena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yang lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

F. TES DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Adanya deformitas, seperti bengkak, pemendekan, rotasi, angulasi, fragmen
tulang (pada fraktur terbuka)
b. Palpasi
Adanya nyeri tekan (tenderness), krepitasi. Palpasi pada daerah distal
terjadinya fraktur meliputi pulsasi arteri, warna kulit, capillary refill test
c. Gerakan
Adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan pada daerah yang dicurigai fraktur, harus mengikuti aturan role of
two yang terdiri dari:
 Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior dan lateral
 Memuat dua sendi antara fraktur, yaitu bagian proksimal dan distal
 Memuat dua ekstremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cedera
maupun tidak (untuk membandingkan dengan yang normal)
 Dilakukan 2 kali, yaitu sebelum dan sesudah tindakan
b. Pemeriksaan laboratorium
 Hb dan Ht mungkin rendah akibat perdarahan
 LED meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas
 Ca dan P dalam darah meningkat pada masa penyembuhan
c. Pemeriksaan arteriografi
Dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskular akibat fraktur
d. Foto Rontgen
Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
mengetahui tempat dan type fraktur. Biasanya diambil sebelum dan sesudah
dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan secara periodic

G. PENATALAKSANAAN
1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi  dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum
terlalu jauh meresap dilakukan:
o Pembersihan luka
o Exici
o Hecting situasi
o Antibiotik
2. Seluruh Fraktur
a) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.

b) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang)
adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis.
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk
mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun
prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi
fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan
kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk
menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan
analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia.
Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut.

Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan


mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan
dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh
dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas
untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah
fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.

Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan
untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang
sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat
dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.

Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan


pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk
pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang
yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga
sumsum tulang (Gbr. 64-3); alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang
kuat bagi fragmen tulang.
c) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun.
Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi,
atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips,
atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang
berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.

d) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan
pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu
segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan keti-
daknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan,
perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika).
Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri.
Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan
terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli
bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya
gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat
aktivitas dan beban berat badan.

H. PROSES PENYEMBUHAN TULANG


Proses penyembuhan tulang terdiri dari 5 tahap yang meliputi:
1. Fase inflamasi
Fase inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya
pembengkakan dan nyeri. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cidera dan
pembentukan hematoma di tempat terjadinya fraktur. Ujung fragmen tulang
mengalami devitalisasi karena terputusnya suplai darah. Tempat cidera
kemudian akan diinvasi oleh magrofag yang akan membersihkan daerah
tersebut. Terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri.
2. Fase proliferasi sel
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago
yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah
mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam
lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi
proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama
8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3. Fase pembentukan kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik,
bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga
kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast
mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang
tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat
pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur
berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4. Fase konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan
osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat
dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen
dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Fase remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan
pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletakkan
pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki
dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip
dengan normalnya.

I. KOMPLIKASI
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan
yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan
bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen
dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi,
hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.

1. Komplikasi Dalam Waktu Lama


a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan
supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

J. PENGKAJIAN
a. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama klien yang mengalami fraktur yaiu nyeri setelah
mengalami kecelakaan, jatuh, atau terbentur benda keras. Nyeri bisa akut atau
kronik, tergantung lamanya serangan.
b. Riwayat penyakit sekarang
Dapat berupa kronologi terjadinya fraktur sehingga bisa ditentukan kekuatan
hantaman atau benturan yang terjadi dan jenis fraktur yang dialami. Selain itu,
dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan dapat diketahui juga
kemungkinan adanya luka kecelakaan yang lain.
c. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s dapat
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Penyakit
DM juga dapat menghambat proses penyembuhan tulang
d. Pola-pola fungsi kesehatan
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
 Biasanya akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya
 Kebiasaan pengguanaan obat-obat golongan steroid dapat mengganggu
metabolisme kalsium
 Kebiasaan konsumsi alkohol dapat mengganggu keseimbangan klien
sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya trauma auat cedera
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien dengan fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-hari seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
3. Pola eliminasi
Klien dengan fraktur klavikula bisanya tidk mengalami gangguan pada
eliminasi uri maupun alvi
4. Pola tidur / istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.
5. Pola aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk
terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.
6. Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap
7. Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image)
8. Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur
9. Pola reproduksi dan seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien
10. Pola penanggulangan stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif
11. Pola tata nilai dan keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena
nyeri dan keterbatasan gerak klien

K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut
2. Kerusakan integritas jaringan
3. Kerusakan integritas kulit
4. Gangguan mobilitas fisik
5. Risiko infeksi
L. TUJUAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan 1: Nyeri Akut
Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional
Setelah dilakukan intervensi  Klien mampu menggunakan 1. Monitor TTV 1. Nyeri dapat meningkatkan TD,
keperawatan selama 3x24 teknik nonfarmakologi RR, dan nadi klien
jam nyeri klien berkurang untuk mengurangi nyeri 2. Observasi reaksi nonverbal 2. Membuktikan kesesuaian antara
 Klien melaporkan bahwa ketidaknyamanan data subjektif dan objektif yang
nyeri berkurang dengan didapat dari klien
menggunakan manajemen 3. Evaluasi keluhan nyeri (skala, 3. Menilai perkembangan masalah
nyeri petunjuk verbal dan non verval, klien
 TTV dalam batas normal perubahan tanda-tanda vital)
 Tidak mengalami gangguan 4. Pertahankan imobilisasi bagian 4. Mengurangi nyeri dan mencegah

tidur yang sakit dengan tirah baring, gips, malformasi


bebat dan atau traksi
5. Tinggikan posisi ekstremitas yang 5. Meningkatkan aliran balik vena,
terkena mengurangi edema/nyeri
6. Lakukan dan awasi latihan gerak 6. Mempertahankan kekuatan otot
pasif/aktif dan meningkatkan sirkulasi
vaskuler
7. Lakukan tindakan untuk 7. Meningkatkan sirkulasi umum,
meningkatkan kenyamanan menurunakan area tekanan lokal
(masase, perubahan posisi) dan kelelahan otot
8. Tingkatkan istirahat 8. Nyeri dapat berkurang saat klien
beristirahat
9. Ajarkan penggunaan teknik 9. Mengalihkan perhatian terhadap
manajemen nyeri (latihan napas nyeri, meningkatkan kontrol
dalam, imajinasi visual, aktivitas terhadap nyeri yang mungkin
dipersional) berlangsung lama
10. Lakukan kompres dingin selama 10. Menurunkan edema dan
fase akut (24-48 jam pertama) mengurangi rasa nyeri
sesuai keperluan
11. Kolaborasi pemberian analgetik 11. Menurunkan nyeri melalui
sesuai indikasi mekanisme penghambatan
rangsang nyeri baik secara sentral
maupun perifer
Diagnosa keperawatan 2: Kerusakan integritas jaringan
Tujian Kriteria hasil Intervensi Rasional
Setelah dilakukan intervensi  Perfusi jaringan membaik 1. Observasi warna kulit dan jaringan, 1. Mengetahui keadekuatan suplai
selama 3 x 24 jam  Tidak ada tanda-tanda temperatur, dan sensasi darah dan inervasi syaraf
kerusakan integritas infeksi 2. Tentukan faktor individu yang 2. Membantu dalam menentukan
jaringan berkurang /  Menunjukkan proses dapat meningkatkan insufisiensi intervensi yang tepat
membaik terjadinya penyembuhan sirkulasi dan yang dapat
tulang menghambat penyembuhan tulang
 Klien dan keluarga seperti merokok, konsumsi alkohol,
menunjukkan pemahaman obesitas, dan gaya hidup
tentang perawatan luka 3. Evaluasi nadi distal area fraktur
3. Mengetahui kondisi sirkulasi pada
area distal terjadinya fraktur
4. Rawat luka dengan menggunakan 4. Mencegah infeksi sekunder dan
teknik aseptic mempercepat penyembuhan
5. Meningkatkan partisipasi keluarga
5. Ajarkan pada keluarga tentang luka dalam perawatan klien
terbuka pada fraktur dan 6. Diit TKTP diperlukan untuk
perawatannya mempercepat proses
6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk penyembuhan tulang
pemberian diit TKTP
Diagnosa Keperawatan 3: Kerusakan integritas kulit
Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional
Setelah dilakukan intervensi  Perfusi jaringan membaik 1. Observasi warna kulit, temperatur, 1. Mengetahui keadekuatan suplai
keperawatan selama 3 x 24  Menunjukkan adanya proses dan sensasi darah dan inervasi syaraf
jam integritas kulit penyembuhan luka 2. Menghindari nyeri dan
membaik  Luka abrasi tidak meluas 2. Berikan posisi yang mengurangi meningkatkan kenyamanan klien
tekanan pada luka 3. Mencegah infeksi sekunder dan
mempercepat penyembuhan
3. Rawat luka dengan menggunakan 4. Menurunkan risiko
teknik aseptic kerusakan/abrasi kulit yang lebih
luas
4. Pertahankan tempat tidur yang 5. Meningkatkan sirkulasi perifer
nyaman dan aman (kering, bersih, dan meningkatkan kelemasan
alat tenun kencang) kulit dan otot terhadap tekanan
5. Masase kulit terutama daerah yang relatif konstan pada
penonjolan tulang dan area distal imobilisasi
bebat/gips 6. Menilai perkembangan masalah
klien

6. Observasi keadaan kulit, penekanan 7. Meningkatkan partisipasi keluarga


gips/bebat terhadap kulit, insersi dalam perawatan klien
pen/traksi 8. Diit TKTP diperlukan untuk
7. Ajarkan pada keluarga tentang luka mempercepat proses
terbuka pada fraktur dan penyembuhan tulang
perawatannya
8. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
pemberian diit TKTP
Diagnosa Keperawatan 4: hambatan mobilitas fisik
Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional
Dalam waktu 2 x 24 jam  Mobilitas fisik klien 1. Observasi mobilitas yang ada dan 1. Mengetahui tingkat kemampuan
klien mampu melaksanakan meningkat observasi terhadap peningkatan klien dalam menggerakkan
aktivitas fisik sesuai dengan  Klien mengerti tujuan dari kerusakan. Observasi secara teratur ekstremitas yang mengalami
kemampuannya peningkatan mobilitas fungsi motorik klien fraktur
 Klien memverbalisasikan 2. Lakukan dan awasi latihan gerak
perasaan dalam pasif/aktif 2. Mempertahankan kekuatan otot
meningkatkan kekuatan dan meningkatkan sirkulasi
3. Monitor tanda-tanda vital sebelum vaskuler
dan sesudah latihan 3. Mengetahui respon tubuh
terhadap latihan yang telah
dilakukan
4. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi
4. Peningkatan kemampuan dalam
untuk latihan fisik klien
mobilisasi ekstremitas dapat
ditingkatkan dengan latihan fisik
dari tim fisioterapis
Diagnosa Keperawatan 5: Risiko infeksi
Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional
Setelah dilakukan intervensi  Klien bebas dari tanda- 1. Observasi tanda-tanda vital dan 1. Mengevaluasi perkembangan
keperawatan selama 3 x 24 tanda terjadinya infeksi tanda-tanda peradangan lokal pada masalah klien
jam klien tidak mengalami  Klien dan keluarga luka
infeksi menunjukkan kemampuan 2. Lakukan perawatan luka sesuai 2. Mencegah infeksi sekunder dan
mengenali tanda-tanda protocol mempercepat penyembuhan luka
infeksi 3. Leukositosis biasanya terjadi pada
3. Analisa hasil pemeriksaan proses infeksi, anemia dan
laboratorium (Hitung darah peningkatan LED dapat terjadi
lengkap, LED, Kultur dan pada osteomielitis. Kultur untuk
sensitivitas luka/serum/tulang) mengidentifikasi organisme
penyebab infeksi
4. Meningkatkan partisipasi keluarga
4. Ajarkan klien dan keluarga tentang dalam perawatan klien dan dapat
tanda dan gejala infeksi segera melaporkan kepada tenaga
kesehatan jika ditemukan tanda-
tanda infeksi pada klien
5. Antibiotika spektrum luas atau
spesifik dapat digunakan secara
5. Kolaborasi pemberian antibiotika profilaksis, mencegah atau
dan toksoid tetanus sesuai indikasi mengatasi infeksi. Toksoid tetanus
untuk mencegah infeksi tetanus
M. REFERENSI
Brunner & Suddarth.2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 3. Jakarta:
EGC

Price & Wilson. 2005. Patofisiologi. Edisi 6. Vol 2. Jakarta : EGC

Suratun, dkk. 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem


Muskuloskeletal. Jakarta : EGC

Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan.


Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius
FKUI, Jakarta
Herdman, T. Keather. 2009. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions
& Classification 2009-2011. United Kingdom: Wiley-Blackwell
Doengoes, Marilyn E, et al. 2010. Nursing Diagnosis Manual: Planning,
Individualizing, and Documenting Client Care 3th Edition . Philadelphia: F. A.
Davis Company

Anda mungkin juga menyukai