Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan


pembedahan dan berbagai prosedur laonnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh obat yang digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai
anestetik dan secara garis besar dibagi menjadi anestesi umum dan anestesi
regional yang dibagi menjadi blok sentral (blok neuroaksial), meliputi blok spinal,
epidural, dan kaudal serta blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal,
infiltrasi lokal, blok lapangan, dan analgesia regional intravena.
Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan
obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-
L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan karena
tekninya yang sederhana, Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa karena
penderita sadar, tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi, tidak ada polusi
kamar operasi oleh gas anestesi dan perawatan post operasi lebih ringan.
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk memahami anestesi
spinal, penggunaan anestesi spinal teknik anestesi spinal dan obat-obatan yang
digunakan untuk anestesi spinal serta interpretasinya pada kasus.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

II.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. D
Umur : 62 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Tinggi / Berat badan : 155 cm / 103 kg
No. Rekam Medis : 017641-2012
Alamat : Krajan 5/1 Banyubiru Kab. Semarang
MRS : 28 Maret 2018
Operasi : 31 Maret 2018

II.2 Pemeriksaan
II.2.1 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri perut
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh nyeri di perut dan kembung sejak 1 minggu SMRS, keluar
darah dari jalan lahir terus-menerus setiap harinya, pasien sampai mengganti
+ 2 pembalut/hari. Pasien mengatakan darah yang keluar sempat berhenti 3
hari SMRS lalu keluar kembali. Keluhan dirasakan sejak 6 bulan yang lalu
dan terdapat benjolan di perut, nyeri (-), demam (-), mual (-), muntah (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa disangkal, hipertensi (-), diabetes melitus (-),
penyakit jantung (-), alergi (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Penyakit serupa dan sistemik pada keluarga disangkal
Riwayat Operasi
Riwayat operasi disangkal

2
Riwayat Obstetri
P3A1
I = tahun 1972, lahir dibantu bidan, aterm, spontan, laki-laki, BB 3200
gram
II = abortus, pasien tidak ingat waktunya
III = tahun 1974, lahir dibantu bidan, aterm, spontan, laku-laki, BB 3000
gram
IV = tahun 1976, lahir dibantu bidan, aterm, spontan, perempuan, BB
3300 gram
Riwayat Haid
Menarche = 13 tahun
Lama haid = 5 hari
Siklus haid = 28 hari
Riwayat Pengobatan
Saat ini tidak mengkonsumsi pengobatan untuk penyakit tertentu.
Pola Hidup
Merokok disangkal, minuman alkohol disangkal, narkotika disangkal.
II.2.2 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
BB/TB : 103 kg/155 cm
Tanda Vital : Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 85 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36.5 0C
Status Generalis
 Kepala: bentuk normocephal, rambut hitam, distribusi rambut: merata
 Kulit: warna sawo matang, lesi (-)
 Mata: konjunctiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-, refleks cahaya +/+
 Telinga: bentuk normal, sekret (-)
 Hidung: sekret (-), deviasi septum (-)

3
 Mulut dan gigi: gigi goyang (-), protesa (-), maloklusi (-), malposisi (-),
karies (-), karang gigi (-), mallampati II
 Tenggorokan: faring hiperemis (-)
 Leher: pembesaran KGB (-),
Pemeriksaan thorak
 Jantung: bunyi S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
 Paru: bentuk simetris, gerak simetris, ronki-/- dan wheezing -/-
Pemeriksaan abdomen
 Abdomen : Distensi (-), bising usus (-)
Pemeriksaan ekstremitas
 Superior kanan : edema(-), sianosis(-)
 Superior kiri : edema(-), sianosis(-)
 Inferior kanan : edema(-), sianosis(-)
 Inferior kiri : edema(-), sianosis(-)

II.2.3 Pemeriksaan Penunjang


Hematologi
Hb : 11.8 gr/dl
Ht : 37.1 %
Eritrosit : 4.42 juta/ul
Leukosit : 9800 /ul
Trombosit : 395000 /ul
PTT : 9.6 detik
APTT : 22.8 detik
INR : 0.92 detik

Kimia klinik
Gula Darah Sewaktu : 77 mg/dl
SGOT : 26 U/L
SGPT : 33 U/L
Ureum : 31.2 mg/dl
Kreatinin : 0.52 mg/dl

4
HDL Direct : 28 mg/dl
LDL-Cholesterol : 127.6 mg/dl
Total Protein : 6.62 g/dl
Albumin : 3.61 g/dl
Globulin : 3.01 g/dl
Cholesterol : 167 mg/dl
Trigliserida : 57 mg/dl

Serologi
HbsAg : Non Reaktif
II.2.4 Diagnosis Kerja
 Mioma Uteri + Obesitas
II.2.5 Penggolongan Status Fisik Pasien Menurut ASA
ASA III
II.2.6 Rencana Tindakan Bedah
Laparotomi eksplorasi
II.2.7 Rencana Anestesi
Regional anastesi dengan Sub Arachnoid Block (SAB)
Persiapan:
o Lanjutkan puasa (pasien terakhir makan dan minum tanggal 30 Maret
2018 pukul 00.00)
o IVFD RL loading 1000cc/1 jam

II.3 Laporan Anestesi


Tanggal operasi : 31 Maret 2018

Mulai anestesi : 12.10 Ahli Anestesi : dr. Ferra, Sp. An

Selesai : 13.10 Penata Anestesi : Anik, Agus

Lama anestesi : 60 menit Ahli bedah : dr. Hary Purwoko,


Sp.OG

Diagnosa preoperasi : Mioma Uteri

Diagnosa postoperasi : Mioma Uteri

5
Tindakan : Laparotomi Eksplorasi

Preoperative

TD : 119/60 mmHg

N : 80 x/menit

RR : 24x/menit

T : 36,5˚C

BB : ± 103 kg

ASA : III

Hb : 11.8 g/dL

Ht : 37.1 %

Teknik anestesi

Regional anastesi dengan maintenance O2 2 lpm dengan nasal canul.


Menggunakan handscoen steril, betadine, alkohol untuk desinfeksi daerah yang
ingin disuntik serta spiuit dan jarum suntik untuk mengisi obat anastesi, kassa dan
tape plaster.

Pemberian obat anestesi

Premedikasi:

Ondansentron 4 mg, Ketorolac 30 mg, Ranitidin 50 mg

Induksi:

Buccain 3,5 cc, Fentanyl 25 mcg

Maintenance:

O2 2 L/m

Efedrin 2 cc

Sulfas Atropine 0,25 mg

Cairan masuk: RL 500 mL, HES 6% 500 mL

6
Monitoring saat operasi

Jam Tindakan Tekanan Nadi (x/menit)


(waktu) Darah
(mmHg)
12:00 - Pasien masuk ke 119/60 80
dalam kamar operasi
kemudian dipindahkan
ke meja operasi
- Pemasangan
monitoring nadi,
saturasi oksigen,
Tekanan Darah, Nasal
Canul
- Infus RL terpasang di
tangan kanan 500cc.
12:10 - Pemberian 143/93 70
Premedikasi
Ondansentron 4 mg
Ketorolac 30 mg
Ranitidin 50 mg
- Pemberian Induksi
anestesi
Buccain 3,5 cc
Fentanyl 25 mcg
- Maintenance
Pemberian O2 2 liter
dengan nasal canul dan
cairan RL 500 cc

12:13 - Pemberian Efedrin 2 76/33 57


cc
- Pemberian Sulfas

7
Atropine 0,25 mg
- Dilakukan tindakan
asepsis dan antisepsis
pada lapangan operasi
12:20 - Penggantian cairan RL 116/62 60
yang belum habis
menjadi HES 6% 500
cc

12:25 - Operasi dimulai 144/74 68

12:40 - Monitoring KU, TTV 111/65 81

12:55 - Cairan HES 6% habis 123/82 79


kemudian dilanjutkan
cairan RL sebelumnya

13:10 Operasi selesai 128/68 81

13:15 - Anestesi selesai 130/72 82


- Tekanan Darah,
Saturasi Oksigen, Nasal
Canul Oksigen
dilepaskan

II.3.5 Post Operasi


Di Ruang Pemulihan
Pasien masuk ke ruang pemulihan pada pukul 13.25 WIB. Pada pasien tingkat
kesadarannya Compos Mentis. Pasien tidak mengeluh pusing, sesak, mual dan
muntah. Dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan Tekanan Darah
148/67 mmHg, Nadi 85 x/menit, Respirasi 22 x/menit dan Saturasi O2 98%.

8
Instruksi post anestesi
Pengelolaan nyeri : Tramadol 100 mg dalam Futrolit 15
gtt/menit, Ketorolac 3x30 mg IV
Pengelolaan mual/muntah : Ondansetron 4 mg IV
Cairan : Futrolit
Boleh makan/minum jika : Sadar penuh
Perhatian Khusus : Mobilisasi bila motorik pulih

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 ANESTESI
III.1.1 Definisi Anestesi
Anestesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur laonnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh obat yang digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai
anestetik dan secara garis besar dibagi menjadi dua kelompok yaitu : anestesi
umum dan anestesi regional.
1. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang bersifat
sementara akibat pemberian obat-obatan serta menghilangkan rasa sakit
seluruh tubuh secara sentral.
2. Anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas
nyeri sebagian tubuh tanpa kehilangan kesadaran.

III.1.2 Anestesi Regional


III.1.2.1 Definisi
Anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri
sebagian tubuh tanpa kehilangan kesadaran.
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian
tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.

III.1.2.2 Pembagian anestesi regional/analgesia regional


1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok
lapangan, dan analgesia regional intravena.

10
III.1.2.3 Keuntungan Anestesia Regional
1. Alat minim, teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih murah.
2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung
penuh) karena penderita sadar.
3. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.

III.1.2.4 Kerugian Anestesia Regional


1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.
2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.
3. Sulit diterapkan pada anak-anak.
4. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.
5. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.

III.1.2.5 Persiapan Anestesi Regional


Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena untuk
mengantisipasi terjadinya reaksi toksik sistemik yg bisa berakibat fatal, perlu
persiapan resusitasi. Misal: obat anestesi spinal/epidural masuk ke pembuluh
darah yang akan menyebabkan kolaps kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga
untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa dilanjutkan
dengan anestesi umum.

III.1.3 Blok Neuroaksial/Blok Sentral


Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
Blok neuroaksial akan menyebabkan blok simpatis, analgesia sensoris dan blok
motoris (tergantung dari dosis, konsentrasi, dan volume obat anestesi lokal). Pada
makalah ini akan dijabarkan tentang anestesi blok spinal.

11
III.1.3.1 Anatomi dan Fisiologi
Neuraksial Kolumna Vertebralis
Kolumna vertebralis terdiri atas 33 vertebrae (7 tulang servikal,12 tulang thorakal,
5 tulang lumbal, serta 5 tulang sakrum dan 4 koksigeal yang menyatu). Kolumna
vertebralis memiliki 4 kurva,yaitu berbentuk cembung ke anterior di servikal dan
lumbal serta berbentuk cekung ke anteruor pada bagian thorakal dan sakral.
Terdapat juga ligamentum yang bersama-sama membungkus dan
mempertahankan kestabilan kolumna vertebralis yaitu ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum dan dua buah
ligamentum longitudinal (anterior dan posterior).
Kanalis spinalis berbatasan dengan korpus vertebrae di sisi anterior, sisi
lateral dengan pedikel dan sisi posterior dengan lamina. Masing-masing korpus
vertebrae memiliki suatu penonjolan di tengah yang disebut processus spinosus
dan tumbuh di antara lamina, dan dua processus transversus yang tumbuh di
lateral pada sambungan lamina dan pedikel. Processus ini menjadi tempat
melekatnya ligamen-ligamen dan muskulus. Setiap korpus vertebrae juga
mempunyai empat processus artikularis yaitu dua buah tonjolan ke atas dan dua
lagi tonjolan ke bawah yang berfungsi sebagai sendi sinovial antar vertebrae.
Antara tulang-tulang vertebrae dihubungkan oleh jaringan fibrokartilagenosa yang
disebut diskus intervertebralis. Terdapat suatu foramina di antara dua tulang
vertebrae yang berdampingan dan disebut foramen intervertebralis yang
merupakan tempat keluarnya akar saraf yang berasal dari kolumna spinalis

Medula Spinalis
Kanalis spinalis berisi medula spinalis (spinal cord) yang diliputi oleh meningen,
jaringan lemak, dan pleksus venosus. Meningeal disusun oleh tiga lapisan, yaitu
piamater, araknoidmater, dan duramater. Ketiganya berdekatan dan merupakan
kelanjutan dari lapusan yang sama di kranial. Piamater melekat dan melapisi
medula spinalis, sedangkan arakhnoid mater yang melekat pada duramater
biasanya lebih tebal dan lebih padat. Cairan serebrospinalis berada di antara
piamater dan arakhnoid, di dalam ruang subaraknoid.

12
Medula spinalis normalnya memanjang dari foramen magnum sampai
setinggi level L1 pada orang dewasa. Pada anak-anak medulla spinalis berakhir
pada L3, tetapi akan bertambah naik ke kranial seiring pertambahan usia. Serat
saraf anterior dan posterior setiap level spinal berhubungan satu dengan yang
lainnya dan keluar melalui foramina intervertebralis dari C1 sampai S5. Di level
servikal, serat saraf muncul dari ruas vertebrae di atasnya,tetapi mulai T1 serat
saraf ini keluar dari ruas vertebrae diatasnya. Sehingga terdapat 8 serat saraf dari 7
ruas vertebrae 10 servikal. Serat saraf spinal yang paling bawah berbentuk cauda
equine (ekor kuda). Oleh karena itu lumbal punksi dianjurkan untuk dilakukan di
kaudal L1 pada orang dewasa dan kaudal L3 pada anak-anak untuk menghindari
trauma medula spinalis akibat jarum spinal. Sakus duralis, ruang subaraknoid dan
ruang subdural biasanya memanjang sampai S2 pada orang dewasa dan sering S3
pada anak-anak.
Medulla spinalis dan serat saraf spinal mendapat suplai darah dari sebuah
arteri spinalis anterior yang berasal dari arteri vertebralis di dasar tengkorak dan
menyuplai duapertiga anterior batang otak ; dan sepasang arteri spinalis posterior
yang berjalan secara longitudinal bersama medulla spinalis, berasal dari postero-
inferior arteri serebral, arteri ini menyuplai sepertiga bagian posterior batang otak.

Gambar 1. Kolumna Vertebralis

13
Gambar 2. Korpus Vertebralis

III.1.3.2 Definisi Anestesi Spinal


Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik
lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga
sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus
kutis subkutis Lig. Supraspinosum Lig. Interspinosum Lig. Flavum ruang epidural
durameter ruang subarachnoid.

Gambar 3. Anestesi Spinal

Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan


serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus

14
venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3.
Oleh karena itu, anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di daerah
antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5

III.1.3.3 Indikasi
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan
dengan anestesi umum ringan

III.1.3.4 Kontra indikasi absolut


1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

III.1.3.5 Kontra indikasi relatif


1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik

15
III.1.3.6 Persiapan analgesia spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk
sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu
diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, Hematokrit, PT (Prothrombine Time), PTT (Partial
Thromboplastine Time)

III.1.3.7 Peralatan analgesia spinal


1. Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock)
atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)

Gambar 4. Jarum Spinal

16
III.1.3.8 Anastetik lokal untuk analgesia spinal
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada 37º C adalah 1.003-1.008. Anastetik
lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anastetik lokal
dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan
berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering
digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik lokal
dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi.

Anestetik lokal yang paling sering digunakan:


1. Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis
20-100mg (2-5ml)
2. Lidokaine (xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,
dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)

III.1.3.9 Teknik analgesia spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang
belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus
spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

17
Gambar 5. Posisi Duduk dan Lateral Decubitus

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,


misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya berisiko
trauma terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 10 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke
bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat
dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi
sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau yakin
ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar

18
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu
dapat dimasukan kateter.

Gambar 6. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah


hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa ± 6cm.

III.1.3.10 Penyebaran anastetik lokal tergantung


1. Faktor utama:
a. Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
b. Posisi pasien
c. Dosis dan volume anestetik lokal
2. Faktor tambahan
a. Ketinggian suntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intra abdominal

19
III.1.3.11 Lama kerja anestetik lokal tergantung
1. Jenis anestetia lokal
2. Besarnya dosis
3. Ada tidaknya vasokonstriktor
4. Besarnya penyebaran anestetik lokal

III.1.3.12 Komplikasi tindakan anestesi spinal :


1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum
tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total

III.1.3.13 Komplikasi pasca tindakan


1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis

20
III.2 MIOMA UTERI
II.2.1 Definisi Mioma Uteri
Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari lapisan otot uterus dan
jaringan ikat yang menumpangnya, sehingga dalam kepustakaan juga dikenal
istilah fibromioma, leiomioma, ataupun fibroid. Dengan gambaran umum adanya
tumor jinak dengan struktur utama otot polos rahim.

II.2.2 Epidemiologi
1. Terjadi pada 20%-25% perempuan usia produktif, tetapi oleh faktor yang
tidak diketahui secara pasti
2. Insidennya 3-9 kali lebih banyak pada ras kulit berwarna dibanding ras
kulit putih
3. Selama 5 dekade terakhir, ditemukan 50% kasus mioma uteri pada ras
kulit berwarna
4. Sangat jarang ditemukan pada usia sebelum pubertas, sangat dipengaruhi
hormon reproduksi dan bermanifestasi selama usia produktif
5. Umumnya terjadi di beberapa tempat
6. Pertumbuhan mikroskopik menjadi masalah utama dalam penanganan
mioma karena hanya tumor soliter dan tampak secara makroskpik yang
memungkinkan untuk ditangani secara enukleasi
7. Ukuran rata-rata tumor: 15 cm, tetapi cukup banyak yang melaporkan
kasus mioma uteri dengan berat mencapai 45 kg.

II.2.3 Patogenesis
Etiologi pasti belum diketahui. Stimulasi estrogen diduga sangat berperan untuk
terjadinya mioma uteri, didukung oleh adanya mioma uteri yang banyak
ditemukan pada usia reproduksi dan kejadiannya rendah pada usia menopause.
Ichimura mengatakan bahwa hormon ovarium dipercaya menstimulasi
pertumbuhan mioma karena adanya peningkatan instiden setelah menaupose.
Pada kehamilan pertumbuhan akan semakin membesar, tetapi menurun setelah
menopause.

21
Perempuan nulipara memiliki resiko yang tinggi untuk terjadinya mioma
uteri, sedangkan perempuan multipara memiliki resiko relatif menurun untuk
terjadinya mioma uteri. Pukka dan kawan kawan melaporkan bahwa jaringan
mioma uteri lebih banyak mengandung reseptor estrogen jika dibandingkan
dengan miometrium normal. Pertumbuhan mioma uteri bervariasai pada setiap
individu, bahkan diantara nodul mioma pada uterus yang sama. Perbedaan ini
dikaitkan dengan jumlah reseptor estrogen dan reseptor progetseron. Meyer dan
de snoo mengemukakan patogenesis mioma uteri dengan teori cell nest atau
genitoblas. Pendapat ini lebih lanjut diperkuat oleh hasil penelitian Lipschutz
yang mengatakan bahwa terjadinya mioma uteri bergantung pada sel-sel otot
imatu yang terdapat pada cell nest yang selanjutnya dapat dirangsang terus
menerus oleh estrogen.

II.2.4 Gejala klinis


Gejala klinik hanya terjadi pada 35-50% penderita mioma. Hampir sebagian
penderita tidak mengetahui terdapat kelainan di dalam uterusnya, terutama pada
penderita dengan obesitas. Keluhan penderita sangat tergantung dari lokasi atau
jenis mioma. Walau sering asimtomatik, gejala yang mungkin ditimbulkan sangat
bervariasi seperti:
1. Metroragia : perdarahan diantara dua siklus menstruasi
2. Nyeri
 Mioma tidak menyebabkan nyeri dalam pada uterus kecuali bila terjadi
gangguan vaskuler
 Nyeri lebih banyak terkait dengan proses degenerasi akibat oklusi
pembuluh darah, infeksi, torsi tungkai mioma atau kontraksi uterus
sebagai upaya mengeluarkan mioma subserosa dari kavum uteri
 Gejala abdomen akut dapat terjadi bila torsi berlanjut dengan terjadinya
infark atau degenerasi merah yang mengiritasi selaput peritoneum (seperti
peritonitis)
 Mioma yang besar dapat menekan rektum sehingga menimbulkan sensasi
untuk mengedan

22
 Nyeri pinggang dapat terjadi pada penderita mioma yang menekan
persyarafan yang berjalan diatas permukaan tulang pelvis
3. Efek penekanan
 Mioma intramural sering dikaitkan dengan penekanan terhadap organ
sekitar
 Parasitik mioma dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna
perlekatannya dengan omentum menyebabkan strangulasi usus
 Mioma serviksa dapat menyebabkan sekret serosanguinea vaginal,
perdarahan, dispareunia, infertilitas
 Jika ukuran tumor lebih besar lagi akan terjadi penekanan ureter, kandung
kemih dan rektum
 Semua efek ini dapat dikenali melalui pemeriksaan IVP, kontras saluran
cerna, rontgen, dan MRI
 Abortus spontan dapat disebabkan oleh efek penekanan langsung mioma
terhadap kavum uteri
4. Menoraghia : perdarahan berlebih yang tidak biasa pada menstruasi normal
5. Infertilitas
Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars
interstisialis tuba, sedangkan mioma uteri submukosum juga memudahkan
terjadinya abortus oleh karena distorsi rongga uterus. Penegakkan diagnosis
infertilitas yang dicurigai penyebabnya adalah mioma uteri maka penyebab
lain harus disingkirkan
6. Perdarahan hebat, yang disebabkan mioma merupakan indikasi utama
histerektomi di amerika serikat
 Perdarahan abnormal uteur; menjadi manifestasi utama mioma yang
terjadi pada 30% penderita. Bila terjadi secara kronis maka dapat terjadi
anemia defisiensi besi dan bila berlangsung lama dan dalam jumlah yang
besar maka sulit untuk dikoreksi dengan suplementasi zat besi.
 Perdarahan pada mioma submukosa sering diakibatkan oleh hambatan
pasokan daran endometrium, tekanan dan bendungan pembuluh darah
diarea tumor (terutama vena) atau ulserasi endometrium diatas tumor

23
 Tumor bertangkai sering menyebabkan trmbosis vena dan nekrosis
endometrium akibat tarikan dan infeksi (vagina dan kavum uteri dan
nekrosis endometrium akibat tarikan dan infeksi (vagina dan kavum uteri
terhubung oleh tangkai yang keluar dari ostium serviks)
 Dismenore dapat disebabkan oleh efek tekanan, kompresi, termasuk
hipoksia lokal miometrium.

Karena gejala asimtomatik, maka pada banyak kasus dilaporkan


mengabaikan gejala yang ditimbulkan dari organ sekitarnya (tuba, ovarium, usus)
dan mengabaikan pemeriksaan lanjutan dari spesimen hasil enukleasi atau
histerektomi sehingga miosarkoma menjadi tidak dikenali. Mioma tumbuh cepat
saat penderita hamil atau terpapar estrogen dan mengecil atau menghilang setelah
menopose.

II.2.5 Patologi anatomik


Menurut letaknya, mioma dapat dibagi atas :
1. Mioma submukosa, berada dibawah endometrium dan menonjol ke dalam
rongga uterus (kavum uteri). Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas
permukaan endometrium menyebabkan perdarahan ireguler.
2. Mioma intramural / interstisiel, mioma terdapat di dinding uterus antara
serabut miometrium
3. Mioma subserosa, apabila tumbuh dibawah lapisan serosa uterus dan dapat
bertumbuh ke arah luar dan juga bertangkai, mioma subserosa dapat
menjadi parasit omentum atau usus untuk vaskularisasi tambahan bagi
pertumbuhannya. Mioma subserosa dapat tumbuh di antara kedua lapisan
ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.
4. Mioma intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke
ligamentum atau omentum kemudian membebaskan diri dari uterus
sehingga disebut wondering parasitis fibroid. Jarang sekali ditemukan satu
macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada servik dapat menonjol

24
ke dalam satu saluran servik sehingga ostium uteri eksternum berbentuk
bulan sabit.

Gambar 7. Jenis-jenis mioma uterus

Mioma submukosum dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian


dilahirkan melalui saluran serviks (myom geburt). Mioma subserosum dapat
tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma uteri
intraligamenter.
Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan
karena gangguan sirkulasi darahnya. Misalnya terjadi mioma yang dilahirkan
hingga perdarahan berupa metroragia atau menoragia disertai leukore dan
gangguan-gangguan yang disebabkan oleh infeksi dari uterus sendiri.
Menurut perkiraan frekuensi mioma uteri dalam kehamilan dan persalinan
berkisar 1%; banyak mioma kecil yang tidak dikenal. Dalam banyak kasus
kombinasi mioma dengan kehamilan tidak mempunyai arti apa-apa. Di pihak
kalin, kombinasi itu dapat menyebabkan komplikasi obstetrik yang besar artinya.
Hal ini tergantung pada besar dan lokasinya.

25
Walaupun mioma tidak punya kapsul yang sesungguhnya, tetapi
jaringannya dengan sangat mudah dibebaskan dari mimetrium sekitarnya sehingga
mudah di kupas (enukleasi).
Mioma berwarna lebih pucat, relatif bulat, kenyal, berdinding licin dan
apabila dibelah bagian dalamnya akan menonjol keluar sehingga mengesankan
bahwa permukaan luarnya adalah kapsul.

II.2.6 Degenerasi
Bila terjadi perubahan pasokan darah selama pertumbuhannya, maka mioma dapat
mengalami perubahan sekunder atau degeneratif sebagai berikut:
a. Degenerasi jinak
b. Atrofi : ditandai dengan pengecilan tumor yang umumnya terjadi setelah
persalinan atau menopause
c. Hialin : terjadi pada mioma yang telah matang atau tua dimana bagian
yang semula aktif tumbuh kemudian terhenti akibat kehilangan pasokan
nutrisi dan berubah warnanya menjadi kekuningan, melunak dan melebur
menjadi cairan gelatin sebagai tanda terjadinya degenerasi hialin
d. Kistik : setelah mengalami hialinisasi, hal tersebut berlanjut dengan
cairnya gelatin sehingga mioma konsistensinya menjadi kistik. Adanya
kompresi atau tekanan fisik pada bagian tersebut dapat menyebabkan
keluarnya cairan kista ke kavum uteri, kavum peritoneum atau
retroperitoneum
e. Kalsifikasi : disebut juga degenerasi kalkareus yang umumnya mengenai
mioma subserosa yang sangat rentan terhadap defisit sirkulasi yang dapat
menyebabkan pengendapan kalsium karbonat dan fosfat dalam tumor
f. Septik : defisit sirkulasi dapat menyebabkan mioma mengalami nekrosis
dibagian tengah tumor yang berlanjut dengan infeksi yang ditandai dengan
nyeri, kaku dinding perut dan demam akut
g. Kaneus: disebut juga degenerasi merah yang diakibatkan oleh trombosis
yang diikuti dengan terjadinya bendungan vena dan perdarahan sehingga
menyebabkan perubahan warna mioma. Degenerasi jenis ini seringkali
terjadi bersamaan dengan kehamilan karena kecepatan pasokan nutrisi bagi

26
hipertrofi miometrium lebih diprioritaskan sehingga mioma mengalami
defisit pasokan dan terjadi degenerasi septik dan infark terhadap
kehamilannya sendiri dapat terjadi partus prematurus atau koagulasi
diseminata intavaskuler
h. Mikromatosa : disebut juga degenerasi lemak yang terjadi setelah proses
degenerasi hialin dan kistik. Degenerasi ini sangat jarang dan umumnya
asimtomatik
i. Degenerasi ganas
j. Transformasi ke arah keganasan (menjadi miosarkoma) terjadi pada
0,1% - 0,5% penderita mioma uteri.

II.2.7 Pengaruh mioma pada kehamilan dan persalinan


Terdapatnya mioma uteri mungkin mengakibatkan hal-hal sebagai berikut
1. Mengurangi kemungkinan menjadi hamil, terutama pada mioma uteri
submukosum
2. Kemungkinan abortus bertambah
3. Kelainan letak janin dalam rahim, terutama pada mioma yan besar dan
letak subserosum
4. Menghalangi lahirnya bayi, terutama pada mioma yang letaknya diserviks
5. Inersia uteri dan atonia uteri, terutama pada mioma yang letaknya di dalam
dinding rahim atau apabila terdapat banyak mioma
6. Mempersulit terlepasnya plasenta, terutama pada mioma yang
submukosum dan intramural.

II.2.8 Pengaruh kehamilan dan persalinan pada mioma uteri


Sebaliknya, kehamilan dan persalinan dapat mempengaruhi mioma uteri menjadi
1. Tumor tumbuh lebih cepat dalam kehamilan akibat hipertrofi dan edema,
terutama dalam bulan-bulan pertama, mungkin karena pengaruh hormonal.
Setelah 4 bulan tumor tidak lagi bertambah besar
2. Tumor menjadi lebih lunak dalam kehamilan, dapat berubah bentuk, dan
mudah terjadi gangguan sirkulasi didalamnya sehingga terjadi perdarahan
dan nekrosis, terutama di tengah-tengah tumor. Tumor tampak merah

27
(degenerasi merah) atau tampak seperti daging (degenerasi karnosa).
Perubahan ini menyebabkan nyeri di perut yang disertai gejala-gejala
rangsangan peritoneum dan gejala-gejala peradangan, walaupun dalam hal
ini peradangan bersifat suci hama (steril). Lebih sering lagi komplikai ini
terjadi dalam masa nifas karena sirkulasi dalam tumor mengurang akibat
perubahan-perubahan sirkulasi yang dialami oleh perempuan setelah bayi
lahir
3. Mioma uteri subserosum yang bertangkai dapat mengalami putaran
tamgkai akibat desakan uterus yang makin lama makin membesar. Tprsi
menyebabkan gangguan sirkulasi dan nekrosis yang menimbulkan
gambaran klinik nyeri perut mendadak (acute abdomen).

II.2.9 Diagnosis
a. Anamnesis
Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis mioma lainnya,
faktor resiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan status lokalis dengan palpasi abdomen. Mioma uteri dapat
diduga dengan pemeriksaan luar sebagai tumor yang keras, bentuk yang
tidak teratur, gerakan bebas, tidak sakit.
c. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Akibat yang terjadi pada mioma uteri adalah anemia akibat
perdarahan uterus yang berlebihan dan kekurangan zat besi.
Pemeriksaaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah darah lengkap
(DL) terutama untuk mencari kadar Hb. Pemeriksaaan lab lain
disesuaikan dengan keluhan pasien.
b. Imaging
1) Pemeriksaaan dengan USG akan didapat massa padat dan homogen
pada uterus. Mioma uteri berukuran besar terlihat sebagai massa
pada abdomen bawah dan pelvis dan kadang terlihat tumor dengan
kalsifikasi.

28
2) Histerosalfingografi digunakan untuk mendeteksi mioma uteri
yang tumbuh ke arah kavum uteri pada pasien infertil.
3) MRI lebih akurat untuk menentukan lokasi, ukuran, jumlah mioma
uteri, namun biaya pemeriksaan lebih mahal.
Diagnosis banding yang perlu kita pikirkan tumor abdomen di bagian
bawah atau panggul ialah mioma subserosum dan kehamilan; mioma
submukosum yang dilahirkan harus dibedakan dengan inversio uteri;
mioma intramural harus dibedakan dengan suatu adenomiosis,
khoriokarsinoma, karsinoma korporis uteri atau suatu sarkoma uteri.
USG abdominal dan transvaginal dapat membantu dan menegakkan
dugaan klinis.

II.2.10. Diagnosis banding


1. Adenomiosis
2. Neoplasma ovarium
3. Kehamilan.

II.2.11 Penanganan
Terapi harus memperhatikan usia, paritas, kehamilan, konservasi fungsi
reproduksi, keadaan umum dan gejala yang ditimbulkan. Bila kondisi pasien
sangat buruk, lakukan upaya perbaikan yang diperlukan termasuk nutrisi,
suplementasi zat esensial ataupun tranfusi. Pada keadaan darurat akibat infeksi atu
gejala abdominal akut, siapkan tindakan bedah gawat darurat untuk
menyelamatkan penerita. Pilihan prosedur bedah terkait dengan mioma uteri
adalah miomektomi atau histerektomi.
Pada umumnya tidak dilakukan operasi untuk mengangkat mioma dalam
kehamilan. Demikian pula tidak dilakukan abortus provokatus. Jika terjadi
degenerasi merah pada mioma dengan gejala-gejala seperti disebut diatas, biasaya
sikap konservatif dengan istirahat-baring dan pengawasan ketat memberi hasil
yang cukup memuaskan.
Antibiotika tidak banyak berguna karena proses peradangannya bersifat
sucihama. Tetapi bila dianggap perlu, dapat dilakukan laparotomi percobaan dan

29
tindakan selanjutnya disesuaikan dengan apa yang ditemukan sewaktu perut
dibuka.
Apabila mioma menghalangi jalannya janin, harus dilakukan seksio sesarea.
Dalam masa nifas mioma dibiarkan kecuali apabila timbul gejala-gejala akut yang
membahayakan. Pengangkatan dilakukan secepat-cepatnya setelah 4 bulan akan
tetapi pada saat itu mioma kadang-kadang sudah demikian mengecil sehingga
tidak memerlukan pembedahan. Catatan: operasi untuk mengangkat mioma dalam
kehamilan dapat menyebabkan banyak perdarahan.

III.3 TERAPI CAIRAN


III.3.1 Kompartemen Cairan Tubuh
Tubuh orang dewasa terdiri dari: zat padat 40 % berat badan dan zat cair
60% berat badan; zat cair terdiri dari: cairan intraselular 40 % berat badan dan
cairan ekstraselular 20 % berat badan; sedangkan cairan ekstraselular terdiri dari :
cairan intravaskular 5 % berat badan dan cairan interstisial 15 % berat badan.

Gambar 8. Distribusi Cairan Tubuh

Terdapat pula cairan limfe dan cairan transselular yang termasuk cairan
ekstraselular. Cairan transselular sekitar 1-3 % berat badan, meliputi sinovial,
pleura, intraokuler dan lain-lain. Cairan intraselular dan ekstraselular dipisahkan
oleh membran semipermeabel.

30
1. Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada
orang dewasa, sekitar dua pertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di
intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat
badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat
badannya merupakan cairan intraselular.3

2. Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif
cairan ekstraselular berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Pada
bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan
ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular menurun
sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15
liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.

Gambar 9. Susunan Kimia Cairan Ekstraselular dan Intraselular

31
Cairan ekstraselular dibagi menjadi:
a. Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial,
sekitar 11- 12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam
volume interstitial. Relatif terhadap ukuran tubuh, volume ISF
adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang
dewasa.

b. Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah
(contohnya volume plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa
sekitar 5-6 liter, dimana 3 liter merupakan plasma, dan sisanya
terdiri dari sel darah merah, sel darah putih, serta platelet.

c. Cairan Transselular
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu
seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular
dan sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume
cairan transelular adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah
banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transselular.

Gambar 10. Anatomi cairan tubuh

32
Volume kompartemen cairan sangat dipengaruhi oleh Natrium dan protein
plasma. Natrium paling banyak terdapat di cairan ekstraselular, di cairan
intravaskular (plasma) dan interstisial kadarnya sekitar 140 mEq/L.
Pergerakan cairan antar kompartemen terjadi secara osmosis melalui
membran semipermeabel, yang terjadi apabila kadar total cairan di kedua sisi
membran berbeda. Air akan berdifusi melalui membran untuk menyamakan
osmolalitas. Pergerakan air ini dilawan oleh tekanan osmotik koloid. Tekanan
osmotik koloid atau tekanan onkotik sangat dipengaruhi oleh albumin. Apabila
kadar albumin rendah, maka tekanan onkotik rendah sehingga tekanan hidrostatik
dominan mengakibatkan ekstravasasi dan terjadi edema.
Cairan ekstraselular adalah tempat distribusi Na+, sedangkan cairan
intravaskular adalah tempat distribusi protein plasma dan koloid; juga tempat
distribusi K+, PO4– . Elektrolit terpenting di dalam cairan intraselular: K+ dan
PO4- dan di cairan ekstraselular: Na+ dan Cl–.
Osmolaritas adalah konsentrasi osmolar suatu larutan bila dinyatakan
sebagai osmol per liter larutan (osm/L). Osmolalitas adalah konsentrasi osmolar
suatu larutan bila dinyatakan sebagai osmol per kilogram air (osm/kg). Tonisitas
merupakan osmolalitas relatif suatu larutan. Osmolaritas total setiap kompartemen
adalah 280 –300 mOsm/L. Larutan dikatakan isotonik, jika tonisitasnya sama
dengan tonisitas serum darah yaitu 275 – 295 mOsm/kg.
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran
semipermeabel dari larutan dengan kadar rendah menuju larutan dengan kadar
tinggi sampai kadarnya sama. Seluruh membran sel dan kapiler permeabel
terhadap air, sehingga tekanan osmotik cairan tubuh di seluruh kompartemen
sama. Membran semipermeabel dapat dilalui air (pelarut), tetapi tidak dapat
dilalui zat terlarut.
Difusi adalah peristiwa bergeraknya molekul melalui pori-pori. Larutan
akan bergerak dari yang berkonsentrasi tinggi menuju konsentrasi rendah.Tekanan
hidrostatik di dalam pembuluh darah akan mendorong air secara difusi masuk
melalui pori-pori. Difusi tergantung kepada tekanan hidrostatik dan perbedaan
konsentrasi.

33
Perpindahan air dan zat terlarut di bagian tubuh menggunakan mekanisme
transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan energi;
mekanisme transpor aktif membutuhkan energi berkaitan dengan Na-K Pump
yang membutuhkan energi ATP.
Pompa Natrium-Kalium adalah pompa yang memompa ion natrium keluar
melalui membran sel dan pada saat yang bersamaan memompa ion kalium ke
dalam sel. Bekerja untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.

Gambar 11. Pompa Natrium-Kalium

III.3.2 Kebutuhan air dan elektrolit perhari:


 Dewasa:
• Air 30 – 35 ml/kg
Setiap kenaikan suhu 10 C diberi tambahan 10-15 %
• K+ 1 mEq/kg ( 60 mEq/hari atau 4,5 g )
• Na+ 1-2 mEq/kg ( 100 mEq/hari atau 5,9 g )
 Bayi dan Anak:
• Air 0-10 kg: 4 ml/kg/jam ( 100 ml/g )
10-20 kg: 40 ml + 2 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg
(1000 ml + 50 ml/kg di atas 10 kg)
> 20 kg : 60 ml + 1 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg
(1500 ml + 20 ml/kg di atas 20 kg)
• K+ 2 mEq/kg (2-3 mEq/kg)
• Na+ 2 mEq/kg (3-4 mEq/kg)2

34
Tabel 1. Perubahan cairan tubuh total sesuai usia

Tabel 2. Rata-rata harian asupan dan kehilangan cairan pada orang dewasa

III.3.3 Macam terapi cairan


Terapi cairan adalah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam
batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid
(plasma ekspander) secara intravena
a. Terapi cairan resusitasi
Terapu cairan resusitasi ditujukan utuk menggantikan kehilangan akut
cairan tubuh atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk
memperbaiki perfusi jaringan. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan
dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer Laktat (RL), atau
Ringer Asetat (RA) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit
b. Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan
nutrisi. Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgbb/hari
dan elektrolit terutama Na+ : 1-2 mmol/kgbb/hari dan K+ : 1
mmol/kgbb/hari

35
III.3.4 Jenis-Jenis Cairan
1. Cairan kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF).
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan
koloid) sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi
defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang
intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling
banyak digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan
susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang
terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati
menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan
adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan
asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan
menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid
akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan
koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di
ruang interstitiel.
Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam
jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga
timbul edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi
jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter
NaCl 0,9Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat
menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
2. Cairan koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma
substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat
zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik
yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh
3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering
digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok

36
hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia
berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar). Berdasarkan
pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
a. Koloid alami:
Fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%).
b. Koloid sintetis:
Dextran, Hydroxylethyl Starch (Heta starch), Gelatin

III.3.5 Terapi Cairan Pembedahan


a. Terapi cairan preoperatif
Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anastesi (puasa,
lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada
masa prabedah sebelum induksi. Kehilangan cairan di ruang ECF cukup
diganti dengan cairan hipotonis seperti Garam Fisiologis, Ringer Laktat
dan Dectrose. Penderita dewasa yang dipuasakan karena akan menjalani
pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2
ml/kgbb/jam lama puasa.
b. Terapi cairan intraoperatif
Pada pembedahan akan menyebabkan cairan tubuh pindah ke ruang ketiga,
ke ruang peritoneum, keluar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar
kecilnya pembedahan yaitu:
 6-8 ml/kg untuk bedah besar
 4-6 ml/kg untuk bedah sedang
 2-4 ml/kg untuk bedah kecil berupa cairan isotonis
Sedangkan pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu terlalu
traumatis misalnya bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup diberikan cairan
rumatan selama oembedahan
c. Terapi Cairan postoperatif
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari

37
III.3.5 Penilaian Pasca Operasi
Pulih dari anestesi umum atau regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau
unit perawatan pasca anestesi. Idealnya dapat bangun dari anasthesia secara
bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering dijumpai hal-hal yang
tidak menyenangkan akibat stress pasca operasi atau pasca anasthesia yang berupa
gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah,
menggigil dan kadang-kadang perdarahan. Selama di unit perawatan pasca
anestesi pasien mulai dinilai tingkat pulih – sadarnya untuk kriteria pemindahan
keruang oerawatan biasa.

Tabel. 3 Penilaian Aldrete Score


Kesadaran 2. Sadar, orientasi baik
1. Dapat dibangunkan
0. Tidak dapat dibangunkan
Warna Kulit 2. Merah muda, tanpa oksigen saturasi >92%
1. Pucat/kehitaman, perlu oksigen agar saturasi 90%
0. Sianosis
Aktifitas 2. 4 ekstremitas bergerak
1. 2 ekstremitas bergerak
0. tidak ada pergerakan ekstremitas
Respirasi 2. Dapat nafas dalam, batuk
1. Nafas dangkal, sesak nafas
0. Apnoe atau obstruksi
Kardiovaskuler 2. Tekanan darah berubah ≤ 20%
1. Berubah 20% – 30%
0. Berubah ≥ 50%

Interpretasi :
- 9 - 10 pindah dari unit perawatan pasca anestesi
- 7 - 8 pindah ke ruangan
- 5 – 6 pindah ke ICU

38
III.4 Obesitas
III.4.1 Definisi dan Klasifikasi Obesitas
Secara fisiologis obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak yang tidak
normal atau berlebihan dijaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan.
Obesitas merupakan suatu kelainan komplek pengaturan nafsu makan dan
metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik.
Sangat sulit untuk mengukur lemak tubuh secara langsung sehingga sebagai
penggantinya dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT)
untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa.. Disamping
IMT, menurut rekomendasi WHO lingkar pinggang (LP) juga harus dihitung
untuk menilai adanya obesitas sentral dan komorbid obesitas terutama pada IMT
25- 34,9 kg/m2. BMI = [berat badan (kg)] / [tinggi (dalam meter)]2
Katagori IMT (kg/m2)
Berat badan kurang < 18,5
Kisaran normal 18,5 – 24,9
Berat badan lebih >25
Pra obes 25.0 – 29.9
Obesitas tingkat I 30.0 – 34.9
Obesitas tingkat II 35.0 – 39.9
Obesitas tingkat III  40.0
Tabel 4. klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT (1997)

Beberapa modifikasi (WHO) :


 BMI 35.0 atau lebih dengan adanya satu atau lebih kormobiditas
dimasukkan kedalam kelas III BMI.
 Untuk orang Asia, ukuran overweight adalah antara 23 dan 29.9, obesitas
adalah BMI > 30. Literatur ilmu bedah membagi kelas III obesitas menjadi
beberapa kategori :
o BMI > 40.0 dimasukan kedalam kategori obesitas berat (severe)
o BMI 40.0 – 49.9 dimasukkan kedalam kategori obesitas morbid
o BMI > 50.0 dimasukkan kedalam kategori super obesitas.

39
III.4.2 Penyebab Obesitas
Obesitas merupakan kelainan kronik dengan penyebab multifaktor,
meliputi: faktor sosial, budaya, fisiologi, psikologis, metabolik, endokrin,
genetik,komponen tingkah laku, dan akhirnya menghasilkan penumpukan massa
jaringan lemak secara berlebihan. Pada individu dengan obesitas, Resting Energy
Expenditure (REE) meningkat, namun hal ini berlawanan dengan peningkaan
konsumsi kalori yang dramatis.

III.4.3 Padangan Anastesi Mengenai Obesitas


American Society of Anesthesiology (ASA) memberikan informasi tentang
hal-hal yang menjadi pertimbangan sebelum menghadapi operasi. Contoh
komplikasi dari obesitas: diabetes tipe dua, obstructive sleep apnea, hipertensi
atau penyakit kardiovaskular yang dapat memberikan implikasi signifikan pada
pasien yang akan menghadapi operasi dan tindakan anestesi.
Hambatan jalan napas akibat obstructive sleep apnea dapat menurunkan
aliran udara masuk saat inspirasi bahkan terjadi reduksi pada inhalasi O2 ketika
seseorang diberikan sedasi anestesi. Pada obesitas terjadi perubahan anatomi yang
membuat manajemen jalan napas akan berbeda dengan mereka tanpa keadaan
obesitas. Tindakan intubasi akan lebih sulit dan dibutuhkan peralatan dan teknik
khusus. Maka sebelum pasien masuk ruang operasi, ASA merekomendasikan
dilakukannya preoperative assesment yang meliputi anamnesis tentang riwayat
pasien, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang yang bermakna pada
pasien. Sehingga saat pelaksanaan operasi, dokter anestesi dapat meminimalisir
resiko yang mungkin terjadi dan menurunkan tingkat terjadi komplikasi.

III.4.4 Perubahan Fisiologi yang Terjadi Pada Pasien Obesitas


III.4.4.1 Sistem Kardiovaskular
Obesitas berhubungan dengan bertambahnya volume darah dan cardiac
output sebesar 20 - 30 ml untuk setiap kilogram lemak yang berlebih. Peningkatan
cardiac output ini disebabkan oleh dilatasi ventrikel dan bertambahnya volume
sekuncup. Dilatasi ventrikel mengakibatkan bertambahnya stress pada dinding
ventrikel kiri yang menyebabkan hipertrofi ventrikel. Hipertrofi dari ventrikel kiri

40
ini akan menurunkan compliance dan fungsi diastolik ventrikel kiri. Pada keadaan
ini akan terjadi gangguan pengisian ventrikel, elevasi dari LVEDP (left
ventricular end diastolic pressure) dan edem paru. Kapasitas dilatasi untuk
ventrikel juga memiliki batasan, sehingga jika penebalan dinding ventrikel kiri
tidak dapat mengiringi dilatasi maka fungsi sistolik akan terganggu dan terjadilah
kardiomiopati obesitas.

Manifestasi gangguan sistem kardiovaskular :


1. Hipertensi.
Hipertensi ringan – sedang terlihat pada 50 – 60 % pasien obesitas dan
hipertensi berat pada 5 – 10 % pasien. Terdapat peningkatan tekanan
sistolik sebesar 3 – 4 mmHg dan diastolik 2 mmHg tiap kenaikan berat
badan 10 kg. Adanya cairan pada ekstraseluler akan berakibat terjadinya
hipervolemia dan peningkatan cardiac output. Meskipun mekanisme pasti
terjadinya hipertensi pada pasien obesitas masih belum diketahui, diduga
ada pengaruh faktor genetik, hormonal, renal dan hemodinamik.
2. Iskemia jantung
Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya penyakit iskemia jantung,
terutama pada mereka dengan pusat distribusi lemak pada bagian sentral.
Faktor lain seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia dan
rendahnya HDL (High Density Lipoprotein) menambah beratnya resiko.
40% pasien obesitas dengan angina tidak memperlihatkan adanya penyakit
jantung koroner, namun angina merupakan gejala langsung dari obesitas.
3. Volume darah
Total volume darah pada pasien obesitas bertambah akan tetapi bila
dibandingkan dengan pasien non-obese, pertambahannya lebih rendah
karena dominasi darah tersebut terdistibusi ke organ-organ penuh lemak.
4. Aritmia jantung
Ada berbagai macam faktor presipitasi yang menyebabkan aritmia pada
pasien obesitas, diantaranya: hipoksia, hiperkapnia, ketidakseimbangan
elektrolit akibat terapi dengan diuretik, penyakit jantung koroner,

41
bertambahnya konsentrasi katekolamin dalam sirkulasi, obstructive sleep
apnea, hipertrofi miokard dan penumpukan lemak dalam sistem konduksi.
5. Fungsi jantung.
Pada pasien obesitas, terjadi disfungsi dari jantung yang dipercaya
merupakan kelanjutan dari penumpukan lemak dalam sistem konduksi.
Dalam suatu studi pada otopsi, ditemukan adanya penumpukan lemak pada
epikardium yang tidak disertai penumpukan lemak pada miokardium,
keadaan ini mempengaruhi ventrikel kanan jantung yang pada akhirnya
menyebabkan abnormalitas konduksi dan aritmia. Ada hubungan sejajar
antara bertambahnya berat jantung dengan kenaikan berat badan.
6. Kardiomiopati.
Obesitas berhubungan dengan kejadian bertambahnya volume darah dan
cardiac output akibat kenaikan bobot lemak 20 – 30 ml per kg. Dilatasi
ventrikel dan bertambahnya volume sekuncup menyebabkan peningkatan
cardiac output. Dilatasi ventrikel terjadi akibat bertambahnya stress pada
dinding ventrikel kiri yang menyebabkan hipertrofi. Adanya hipertrofi
eksentrik dari ventrikel kiri akan menurunkan compliance dan fungsi
diastolik ventrikel kiri. Pada keadaan ini akan terjadi gangguan pengisian
ventrikel, elevasi dari LVEDP dan udem paru. Kapasitas dilatasi untuk
ventrikel memiliki batasan, sehingga jika terjadi penebalan dinding
ventrikel kiri maka terjadi kegagalan ventrikel untuk diastolik atau sistolik
yang juga berpengaruh pada ritme jantung.

III.4.4.2 Sistem Respirasi


Kenaikan berat badan sebanding dengan meningkatnya kesulitan bernapas.
Pada kasus berat, penurunan kemampuan bernapas dapat mencapai 30%.
Kombinasi dari tekanan intraabdomen, reduksi dari compliance, dan
meningkatnya kebutuhan metabolik dengan gerakan otot dada, menghasilkan
gerak inefisien dari otot dada tersebut, sehingga pada orang tersebut terjadi usaha
bernapas lebih berat. Walaupun terdapat akumulasi jaringan lemak di dalam dan
sekitar dinding dada yang berakibat tertahannya gerak dinding dada (restriksi),
namun beberapa penelitian mengemukakan bahwa hal ini disebabkan oleh

42
peningkatan volume darah paru. Tertahannya gerak dinding dada juga
berhubungan dengan penurunan FRC, terhimpitnya saluran napas, dan kegagalan
pertukaran gas. Perubahan compliance dan resistensi thorax terlihat dengan
adanya napas cepat dan dangkal, frekuensi yang meningkat dan berkurangnya
kapasitas paru. Selain itu, ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida pada
penderita obesitas juga meningkat sebagai hasil dari aktivitas metabolik karena
jumlah lemak yang berlebih dan bertambahnya simpanan pada jaringan.
Gangguan pernapasan yang paling sering ditemui pada obesitas adalah
Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut:
a) Episode apnea atau hipopnea
Episode apnea atau hipopnea yang sering terjadi saat tidur dan
membangunkan pasien secara mendadak. Episode ini digambarkan sebagai
obstruktif apnea selama 10 detik atau lebih yang menyebabkan penutupan
total dari saluran napas dan adanya usaha keras untuk tetap bernapas.
Hipopnea diartikan sebagai reduksi dari 50% aliran udara yang adekuat
yang berujung pada penurunan 4% saturasi oksigen arterial. Frekuensi
episode apnea atau hipopnea tercatat lebih dari 5 kali per jam atau lebih
dari 30 kali tiap malam. Hal yang penting adalah sekuele dari keadaan ini
yaitu hipoksia, hiperkapnia, hipertensi sistemik / pulmonal, dan aritmia.
b) Mengorok.
Semakin hebat obstruksi, makan suara yang terdengar akan semakin jelas.
Mengorok pada pasien OSA juga diikuti periode sunyi (silence) saat tidak
ada aliran udara yang masuk dan setelahnya akan terjadi gasping atau
choking yang membangunkan pasien dari tidurnya, bernapas beberapa kali,
dan kemudian tidur kembali (siklus ini berulang sepanjang waktu tidur).
c) Gejala pada siang hari seperti sering mengantuk, konsentrasi dan memori
terganggu. Terkadang mengeluh sakit kepala pada pagi hari akibat retensi
karbondioksida (CO2) pada malam harinya dan vasodilatasi serebral.
d) Perubahan fisiologi.
Apnea berulang dapat menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia,
vasokonstriksi pulmonal dan sistemik. Hipoksemia berulang dapat
berujung pada polisitemia yang meningkatkan risiko penyakit jantung

43
iskemia dan penyakit serebrovaskular. Sedangkan vasokonstriksi pulmonal
menyebabkan kegagalan ventrikel kanan (right ventricle failure).

III.4.4.3 Sistem Gastrointestinal


Kombinasi dari tekanan intraabdomen yang tinggi, tingginya volume dan
rendahnya pH dalam gaster, lambatnya pengosongan gaster dan tingginya faktor
resiko hiatus hernia dan gastro-esofageal refluks dipercayai menempatkan pasien
obesitas pada resiko terjadinya aspirasi asam lambung diikuti pneumonitis
aspirasi. Keadaan pada penderita obesitas yang menjadi perhatian sehubungan
dengan sistem gastrointestinal, diantaranya :
a. Diabetes mellitus.
Setiap penderita obesitas yang akan menjalani operasi, harus diperiksa
gula darah, baik gula darah sewaktu atau dapat juga dilakukan tes toleransi
glukosa. Respon katabolik selama operasi mungkin mengindikasikan
pemberian insulin pascaoperasi untuk mengontrol konsentrasi glukosa
dalam darah. Kegagalan dalam menjaga konsentrasi ini akan berakibat
tingginya resiko infeksi pada luka operasi dan infark miokard pada periode
iskemia miokard.
b. Penyakit tromboembolik.
Resiko trombosis vena dalam pada penderita obesitas dapat disebabkan
karena imobilisasi yang lama. Polisitemia, peningkatan tekanan
intraabdomen dengan peningkatan stasis vena terutama pada ekstremitas
bawah, gagal jantung dan berkurangnya aktivitas fibrinolitik yang
menyebabkan tingginya konsentrasi fibrinogen juga menjadi predisposisi
terjadinya keadaan ini.

III.4.4 Manajemen Anestesi Pada Pasien Obesitas


III.4.4.1 Pra-operasi
Evaluasi preoperatif memiliki peran penting bagi pasien obesitas yang akan
menjalani operasi. Anamnesis dan pemeriksaan fisik difokuskan pada sistem
kardiovaskular dan respirasi serta evaluasi jalan napas. Pada beberapa kasus,
pemeriksaan preoperatif diagnostik termasuk pemeriksaan darah rutin, foto rotgen

44
dada, pemeriksaan stress jantung, ekokardiografi transthorax dan analisis gas
darah penting untuk mengevaluasi status kesehatan pasien obesitas secara
menyeluruh. Anamnesis mengenai riwayat anestesi dan operasi sebelumnya
dengan perhatian spesifik kepada induksi dan intubasi juga menjadi bagian
penting karena dapat membantu mengidentifikasi permasalahan jalan napas pada
pasien obesitas.
1. Evaluasi Jalan Napas
Pasien obesitas memiliki potensi yang tinggi untuk mengalami kesulitan
dalam proses ventilasi sungkup, laringoskopi dan intubasi. Penilaian secara
detail mengenai jalan napas harus dilakukan untuk mengetahui gambaran
anatomis pasien seperti: lemak wajah dan pipi, leher pendek, lidah lebar,
ukuran tonsil yang besar, jaringan lunak faring dan palatum yang berlebih,
keterbatasan membuka mulut, keterbatasan pergerakan leher dan/atau
mandibula, payudara yang besar, peningkatan lingkar leher pada level
kartilage tiroid, dan skor mallampati tiga atau lebih. Beberapa gambaran
anatomis tersebut dapat menghambat pergerakan laringoskop dan
meningkatkan kesulitan direct laryngiscopy (DL).
Secara keseluruhan, nilai BMI tidak terlalu banyak mempengaruhi
kesulitan laringoskopi. Beberapa studi mengkorelasikan kesulitan tersebut
dengan peningkatan umur, jenis kelamin laki-laki, kelainan sendi
temporomandibular, skor mallampati tiga atau empat, obstructive sleep
apnue (OSA), dan gigi rahang atas yang abnormal. Lingkar leher
merupakan merupakan predisposisi terbesar kesulitan intubasi pada pasien
obesitas. Lingkar leher yang lebar berhubungan dengan jenis kelamin laki-
laki, skor mallampati ≥ 3, laringoskop grade III, dan kejadian OSA.
Pada beberapa pasien, intubasi endotrakeal saat terbangun (awake
intubation) menggunakan laringoskopi fiberoptik bisa menjadi metode
paling tepat untuk melapangkan jalan napas.

2. Sistem Kardiopulmoner
Evaluasi perioperatif meliputi hipertensi sistemik, hipertensi pulmoner,
tanda gagal jantung ventrikel kanan atau kiri, penyakit jantung iskemik

45
serta riwayat anestesi pasien sebelumnya. Tanda-tanda gagal jantung
seperti meningkatnya tekanan vena jugular, suara jantung yang abnormal,
pulmonary crackles, hepatomegali, dan edema perifer akan sulit terdeteksi
akibat kelebihan lemak tubuh. Pasien dapat mengalami kesulitan jalan
napas, dan dapat meningkatkan komplikasi perioperatif pulmonal. Riwayat
hipertensi atau lingkar leher > 40 cm berhubungan dengan peningkatan
probabilitas OSA.

3. Masalah Metabolik
Tingginya prevalensi resisten insulin dan diabetes pada pasien obesitas
mengharuskan pengecekan gula darah saat evaluasi preoperatif. Evaluasi
preoperatif pada obesitas meliputi penilaian terapi untuk kontrol gula
darah terakhir, serta dosis dan waktu pemberian terapi preoperatif untuk
pasien-pasien tertentu. Elektrolit harus diperiksa sebelum operasi,
khususnya pada pasien dengan compliance rendah terhadap pengobatan
atau pasien dengan penyakit akut. Pemeriksaan peningkatan liver enzim
(tersering peningkatan alanin aminotransferase) dapat terjadi pada pasien
obesitas, akan tetapi tidak ada korelasi yang jelas antara abnormalitas tes
fungsi hati dengan kapasitas hati untuk metabolisme obat.

4. Masalah Hematologik
Masalah obesitas khususnya obesitas morbid dikeahui sebagai factor
resiko kejadian perioperatif tromboemboli. Beberapa faktor resiko deep
vein thrombosis (DVT) yang signifikan yaitu penyakit vena stasis, BMI
≥60, obesitas sentral, serta OHS dan/atau OSA. Jika terdapat hal tersebut,
profilaksis perioperatif untuk filter vena cava inferior harus
dipertimbangkan. Pada pasien obesitas sebaiknya dilakukan evaluasi
terhadap penempatan kateter intravena perifer. Apabila terjadi kesulitaan
pada akses intravena, bisa dipertimbangkan untuk pemasangan kateter
intravena sentral sebelum proses induksi. Jika pasien didapatkan memiliki
resiko intraoperatif dan postoperative yang sangat tinggi, sebaiknya
dipertimbangkan penempatan filter vena cava inferior sebelum operasi.

46
5. Diagnostik Tes Preoperatif
Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), dapat menunjukkan hipertrofi
ventrikel kanan, hipertrofi ventrikel kiri, kelainan ritmik jantung, atau
infark/iskemia miokard. Akan tetapi EKG tidak selalu reliabel pada pasien
obesitas karena keadaan morfologi seperti kelainan letak jantung karena
elevasi diafragma, peningkatan kerja jantung yang berhubungan dengan
hipertrofi jantung, peningkatan jarak antara jantung dan elektroda
disebabkan oleh kelebihan lemak tubuh pada dinding dada, dan
kemungkinan peningkatan lemak epikardial dan berhubungan dengan
penyakit paru kronis yang dapat merubah irama jantung. Pemeriksaan
rotgen dada dapat menunjukkan tanda gagal jantung, peningkatan
vaskularisasi, kongesti pulmonal, hipertensi pulmonal, hiperinflasi paru,
atau penyakit paru lainnya.

III.4.4.2 Intraoperatif
1. Posisi Pasien
Kebanyakan meja operasi dirancang hanya untuk pasien dengan berat
badan mencapai 120 – 140 kg. Berat badan melebihi kapasitas tersebut,
membutuhkan meja operasi dengan rancangan khusus atau menggunakan
dua meja operasi ukuran biasa yang disusun bersebelahan. Pasien
dilakukan anestesi setelah ia nyaman berada di meja operasi tersebut.
Kompresi vena cava inferior harus dihindari dengan cara memposisikan
pasien secara lateral ke kiri dari meja operasi atau meletakan sanggahan
dibawah pasien. Terkadang pasien juga dapat diposisikan secara lateral
decubitus untuk mengurangi jumlah tekanan pada dada.

2. Manajemen Jalan Napas


Setelah evaluasi jalan napas, beberapa kesimpulan yang dapat diambil
yaitu: (1) intubasi endotrakeal mungkin akan dapat dikerjakan melalui
laringoskopi secara langsung, sehingga jalan napas bisa diamankan setelah
induksi general anestesi; atau (2) intubasi endotrakeal akan sulit dikerjakan
dengan laringoskopi secara langsung, sehingga awake intubation akan

47
lebih diperlukan. Keberhasilan intubasi bergantung pada penjajaran oral,
faring dan laring yang disebut dengan sniffing position. Keadaan ini dapat
dipertahankan dengan ramping position.
Pada proses induksi general anestesi sebelum dilakukan intubasi,
sangat penting untuk melakukan preoksigenasi atau denitrogenasi pada
pasien obesitas. Preoksigenasi yang cukup sangat penting pada pasien
obesitas karena terjadi penurunan FRC dan peningkatan konsumsi oksigen.
Ketika pasien kehilangan kesadaran, otot-otot faring dan lidah relaksasi
dan menyebabkan oklusi jalan napas. Jalan napas oral atau nasal penting
untuk mempertahankan kondisi jalan napas tetap terbuka dan untuk
memfasilitasi ventilasi sungkup. Pada pasien obesitas dengan kelebihan
jaringan lunak pada wajah, teknik ventilasi sungkup dua-tangan sangat
efektif.
Ventilasi sungkup merupakan manajemen jalan napas yang penting
karena tetap mempertahankan oksigenasi pasien apabila terjadi kegagalan
intubasi. Pada pasien dimana jalan napas terlihat sulit, awake intubation
merupakan pilihan yang tepat dengan syarat pasien harus kooperatif. Jalan
napas diberikan anestesi topikal, pasien diberikan premedikasi yang cukup
dan endotracheal tube (ETT) ditempatkan dengan menggunakan awake
direct laringoscopy atau yang lebih umum dipakai adalah bronkoskopi
fiberoptik. Ketika ETT telah ditempatkan dengan tepat, pasien diberikan
general anestesi.
Apabila terjadi kesulitan jalan napas yang tidak terduga baik dari
segi ventilasi maupun intubasi, laryngeal mask airway (LMA) merupakan
pilihan yang tepat bagi ventilasi pasien. Akan tetapi, LMA sering dihindari
pada pasien obesitas karena beresiko tinggi terjadi aspirasi pulmonal yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan intrabdomen, refluk
gastroesofagus dan hiatal hernia. Pasien obesitas akan mengalami
hipoventilasi dan alveoli bekerja capat selama ventilasi spontan dibawah
general anestesi. Oleh karena itu, untuk mengontrol ventilasi pada jalan
napas yang aman, ETT merupakan pilihan yang tepat bagi pasien obesitas.

48
3. Pilihan Anestesi
a. Anastesi regional
Pada operasi thorakal dan abdominal, biasanya dipilih anestesi
epidural dengan kombinasi anestesi umum. Hal ini lebih bermanfaat
dibandingkan hanya digunakan anestesi umum, termasuk mengurangi
penggunaan opioid dan obat anestesi inhalasi, komplikasi pulmonal
pascaoperasi, peningkatan efek obat analgesik pascaoperasi. Secara
teknik, anestesi regional pada pasien obesitas menantang karena
sulitnya menentukan batasan pasti tulang, kulit dan lemak.
Blok saraf perifer lebih mudah dan aman dilakukan dengan
bantuan stimulator saraf dan jarum insulasi. Anestesi spinal dan
epidural lebih mudah dilakukan pada posisi berdiri dan menggunakan
jarum yang panjang. Dengan bantuan ultrasound dapat diidentifikasi
ruang epidural dan menuntun jarum Tuohy dalam posisi yang benar.
Anestesi lokal yang dibutuhkan pada saat melakukan anestesi
spinal atau epidural diturunkan hingga 80% mengingat terdapatnya
infiltrasi lemak dan meningkatnya volume darah yang disebabkan
tekanan intraabdomen menyempitkan ruang epidural. Hal ini perlu
diwaspadai karena dapat menyebabkan blokade yang lebih tinggi atau
menyebarnya anestesi lokal tersebut.
Blokade diatas thorakal V akan menyebabkan gangguan
respirasi dan blokade otonom pada sistem kardiovaskular.

b. Analgesia sistemik
Penggunaan analgesia opioid tidak dianjurkan pada pasien obesitas
terutama dengan rute intramuskular. Jika diberlakukan rute intravena,
maka dapat diberlakukan Patient-Controlled Analgesia System
(PCAs). Dengan cara ini, efektivitas analgesia bisa tercapai. Harus
diamati juga saturasi O2 dan pulse oximetry. Analgesia pasca epidural
anastesi dengan opioid atau anestesi lokal memberikan analgesi yang
efektif dan aman pada pasien obesitas. Intravena epidural lebih disukai
karena rendahnya efek mengantuk, mual, depresi napas, bahkan

49
mempercepat motilitas usus dan cepat kembalinya fungsi pernapasan
ke titik normal sehingga mengurangi waktu rawat di rumah sakit.
Namun, penggunaan opioid intravena tidak dianjurkan karena adanya
efek lambat dari analgesia tersebut terhadap fungsi pernapasan,
dengan kata lain depresi pernapasan baru muncul setelah beberapa
waktu. Oral analgesik seperti Non-Steroid Anti Inflammation Drugs
(NSAID) atau paracetamol dapat diberikan sebagai tambahan.

III.4.4.2 Managemen Postoperatif


Sebelum memindahkan pasien dari ruang operasi ke ruang pemulihan,
pasien obesitas sebaiknya harus sadar penuh, duduk pada posisi semi tegak lurus
(30˚ atau lebih), menerima suplemen oksigen dan monitoring pulse oksimetri.
Kontak verbal harus dipertahankan selama transportasi untuk mendapatkan usaha
napas yang adekuat.
Ekstubasi dilakukan ketika pasien bangun dan sadar penuh dan telah pulih
dari efek depresan dari anestesi. Managemen nyeri merupakan bagian terpenting
dari terapi postoperative pada pasien obesitas. Tujuan dari managemen nyeri
untuk menyediakan analgesia yang cukup dan untuk menjamin mobilisasi dini dan
fungsi respirasi yang cukup. Mobilisasi pada pasien obesitas sering mengalami
kendala, tetapi merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah komplikasi.
Ulkus akibat tekanan, emboli pulmonal, DVT dan pneumonia merupakan
beberapa komplikasi yang dapat dicegah dengan mobilisasi dini.
Blok saraf perifer dan sentral dengan continuous infusion dari anestesi lokal
dengan atau tanpa dosis ringan dari opioid merupakan metode efektif untuk
analgesia postoperatif pada pasien obesitas. Suplemen nonsteroidal anti-
inflammatory drugs (NSAIDs), α2-reseptor agonis, N-methyl-d-aspartate
(NMDA) reseptor, sodium channel blockers, atau analgesik nonopioid lainnya
sangat direkomendasikan karena tidak memiliki efek depresi respirasi
postoperatif. Ketorolac (golongan NSAIDs) mengurangi nyeri pada periode
postoperatif. Akan tetapi ketorolac tidak tepat digunakan pada pasien operasi
bariatrik karena memiliki resiko tinggi terhadap pendarahan gastrointestinal
dimana ketorolac memiliki efek samping rasa tidak nyaman pada saluran

50
pencernaan dan meningkatkan pendarahan pada lokasi operasi. Ketamin
meningkatkan efek analgesik dari morfin dengan menghambat aktivasi opioid
NMDA reseptor. Ketamin dosis rendah dapat mengurangi nyeri postoperatif dan
meningkatkan kesadaran serta saturasi oksigen.

51
BAB IV

PEMBAHASAN

Anestesi spinal memberikan blokade sensorik dan motorik simetris, cepat


serta mendalam pada pasien yang melahirkan secara sectio caesaria maupun
operasi pada organ reproduski. Efek yang paling sering dan serius dari
penggunaan anestesi spinal pada persalinan sesar adalah hipotensi, dengan
insidensi kasus yang dilaporkan lebih dari 80 %.
1. Pre operatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan
persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya
kecelakaan anestesi. Kunjungan ini bertujuan untuk mempersiapkan mental,
fisik pasien secara optimal, merencanakan dan memilih teknik dan obat-
obatan yang sesuai serta menentukan klasifikasi yang sesuai menurut ASA.
Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah
identitas dan salah operasi. Evaluasi pre operasi meliputi history taking
(AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Evaluasi
tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan
ASA.
Pada kasus ini Ny. D, 62 tahun dengan diagnosa P3A1 dengan mioma
uteri dan obesitas akan dilakukan tindakan laparotomi eksplorasi.
Berdasarkan anamnesis yang dilakukan saat pre-operasi pasien
mengeluhkan keluarnya darah terus-menerus dari jalan lahir sejak 1 minggu
SMRS. Pasien mengganti pembalut ukuran 30cm sebanyak 2 kali sehari,
darah yang keluar cukup banyak namun tidak sampai memenuhi seluruh
permukaan pembalut dan tidak bergumpal. Keluhan telah berlangsung
selama 6 bulan, sudah berobat namun tidak ada perbaikan. Hal ini
menunjukkan telah terjadi kehilangan darah pada pasien dalam jumlah yang
tidak normal dan telah berlangsung secara kronis, hal ini perlu diperhatikan
kemungkinan akan adanya suatu kendala saat dilakukan anastesi, karena
darah yang hilang tersebut bisa menurunkan kadar Hb yang dibutuhkan

52
untuk mentransfer oksigen dan mengurangi volume darah yang ada di
tubuh. Selain itu pasien berusia 62 tahun, usia dapat menjadi faktor
predisposisi adanya suatu kendala saat dilakukannya anastesi. Karena pada
pada usia tersebut telah terjadi perubahan fisiologi normal dari berbagai
sistem organ. Pasien juga mengatakan sering merasa sesak saat berjalan jauh
maupun saat menaiki tangga satu lantai, ini dapat disebabkan karena adanya
perubahan kapasitas paru total pada pasien terkait usia, serta pengaruh dari
obesitas pada pasien. Pada riwayat penyakit dahulu pasien menyangkal
pernah mengalami sakit jantung ataupun hipertensi. Meskipun demikian
pada usia tua terlebih dengan obesitas perlu dipikirkan adanya faktor risiko
terjadinya iskemia jantung, oleh karena itu perlu dikonfirmasi dengan
pemeriksaan laboratorium dan EKG preoperasi. Dalam suatu studi pada
otopsi, ditemukan adanya penumpukan lemak pada epikardium yang tidak
disertai penumpukan lemak pada miokardium, tampaknya keadaan ini
mempengaruhi ventrikel kanan jantung yang pada akhirnya menyebabkan
abnormalitas konduksi dan aritmia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital yang meliputi tekanan
darah, nadi, frekuensi napas dan suhu dalam batas normal, menandakan
kondisi hemodinamik pasien masih dalam batas normal. Tidak didapatkan
adanya kelainan pada pemeriksaan thorax, abdomen, maupun ekstremitas.
Pemeriksaan jalan nafas dilakukan dengan tindakan membuka mulut, lidah
berukuran normal, leher pendek, tidak ada gangguan fleksi ekstensi leher,
deviasi trachea tidak ada, hal ini menandakan tidak adanya masalah bila
terjadi kesulitan dalam operasi untuk dilakukannya anastesi.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan pada pemeriksaan hematologi
Hb pasien 11,8% gr/dl, sedikit menurun dari nilai normal Hb untuk wanita
dewasa yakni 12 g/dl. Oleh karena itu dianjurkan pada pasien untuk sedia
darah sebanyak 1 kolf PRC. Pemeriksaan lainnya meliputi PTT, APTT,
profil lipid masih dalam batas normal.
Pasien diklasifikasikan pada ASA III yakni pasien dengan penyakit
sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal, hal ini dikarenakan pada
kunjungan pre operatif pasien mengatakan sering merasa sesak bila berjalan

53
jauh dan menaiki tangga 1 lantai, dan pada individu dengan obesitas
diasumsikan kemungkinan sudah adanya perubahan fisiologi pada berbagai
sistem organ meliputi, sistem kardiovaskular, sistem respirasi, sistem
gastrointestinal yang tidak selalu dapat diketahui pada pemeriksaan.

Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam.

Terapi cairan
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,
kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya
intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya
pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang
terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat
diperkirakan dari tabel dibawah:
Kebutuhan cairan selama operasi:
Jenis Operasi Kebutuhan Cairan Selama Operasi
Ringan 4 cc/kgBB/jam
Sedang 6 cc/kgBB/jam
Berat 8 cc/kgBB/jam

Penggantian Cairan Selama Puasa


 50 % selama jam I operasi
 25 % selama jam II operasi
 25 % selama jam III operasi

54
Pada pasien dilakukan operasi besar sehingga kebutuhan cairan selama operasi
sebesar 8 cc x 103 x 1,25 (1 jam 15 menit) = 1030 ml
Saat operasi di mulai, telah terpasang IV line RL 500 cc, lalu 20 menit berjalan
cairan infus tersisa 200 ml kemudian diganti HES 6% dan habis dalam waktu 35
menit, dan dilanjutkan dengan sisa cairan RL 200 ml kembali. Jadi total cairan
yang masuk selama operasi sebanyak 1000ml

Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:
• Meredakan kecemasan dan ketakutan
• Memperlancar induksi anesthesia
• Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
• Meminimalkan jumlah obat anestetik
• Mengurangi mual muntah pasca bedah
• Menciptakan amnesia
• Mengurangi isi cairan lambung
• Mengurangi reflek yang membahayakan

Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa injeksi Ondansetron 4mg/ml.
Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat
menekan mual dan muntah. Ketorolac 30 mg yaitu obat anti inflamasi non-steroid,
dan ranitidin yaitu obat anti histamin reseptor H2 (H2-antagonis) untuk
mengurangi asam lambung selama operasi.

2. Durante operasi
Pada kasus ini saat induksi digunakan fentanyl 25 mcg dan bucain 30 mg.
Fentanyl termasuk obat golongan narkotika, digunakan sebagai penghilang rasa
nyeri. Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB)
meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia
pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah
dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 µg
menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek

55
apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek samping. Buccain (berisi
bupivacain hydrochloride dan monohydrat) yaitu obat anastesi lokal jenis amida
yang memiliki masa kerja panjang dan mula kerja yang pendek, obat ini dikatakan
sesuai untuk operasi perut yang berlangsung sekitar 45-60 menit.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan
tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan
darah sebesar 20-30% atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi merupakan
salah satu efek dari pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja syaraf
simpatis. Bila keadaan ini terjadi maka cairan intravena dicepatkan, bolus
ephedrin 5-15mg secara intravena, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini terjadi
hipotensi pada menit ke 13 operasi, dari tekanan darah awal pre induksi 119/60
mmHg menjadi 76/33 mmHg. Pasien diberikan bolus efedhrin 20 mg dan cairan
diganti menjadi HES 6%, tekanan darah dipantau tiap 5 menit, dan tidak lama
tekanan darah kembali pada range semula.

3. Post operasi
Pasien masuk ke ruang pemulihan pada pukul 13.25 WIB. Pada pasien tingkat
kesadarannya Compos Mentis. Pasien tidak mengeluh pusing, sesak, mual dan
muntah. Dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital ditemukan Tekanan Darah
148/67 mmHg, Nadi85 x/menit, Respirasi 22 x/menit dan Saturasi O298%.
Instruksi post anestesi
Pengelolaan nyeri : Tramadol 100 mg dalam Futrolit 15
gtt/menit,
Ketorolac 3x30 mg IV
Pengelolaan mual/muntah : Ondansetron 4 mg IV
Cairan : Futrolit
Boleh makan/minum jika : Sadar penuh
Perhatian Khusus : Mobilisasi bila motorik pulih

Tramadol merupakan salah sayu analgesik yang banyak beredar dan


dipergunakan untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri derajat sedang hingga
berat. Tramadol merupakan obat analgesik yang bekerja secara sentral pada

56
penghambat pengambilan kembali noradrenergic dan serotonin neurotransittor,
bersifat agonis opioid. Dalam perkembangannya tramadol menjadi drug of choice
dibandingkan analgetik lain, serta lebih aman digunakan.

Futrolit dipilih karena futrolit mampu mengatasi kebutuhan karbohidrat,


cairan dan elektrolit pada fase sebelum, selama, dan sesudah operasi.

57
BAB V
KESIMPULAN

Anestesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan


pembedahan dan berbagai prosedur laonnya yang menimbulkan rasa sakit pada
tubuh obat yang digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai
anestetik dan secara garis besar dibagi menjadi anestesi umum dan anestesi
regional yang dibagi menjadi blok sentral (blok neuroaksial),meliputi blok spinal,
epidural, dan kaudal serta blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal,
infiltrasi lokal, blok lapangan, dan analgesia regional intravena.
Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal
intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan
obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-
L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
Terdapat beberapa perubahan fisiologis pada pasien obesitas yang perlu
mendapatkan perhatian sebelum dilakukannya anastesi, meliputi: kelainan dalam
kardiovaskular yang berupa, hipertensi, iskemia jantung, volume darah yang
bertambah, aritmia jantung, dan kelainan fungsi jantung akibat dari penumpukan
lemak dalam sistem konduksi, kardiomiopati, dan sebagainya. Kelainan dalam
sistem respirasi dapat terjadi OSA (obstructive sleep apneu), restriksi dinding
dada akibat adanya akumulasi jaringan lemak dalam dan sekitar dinding dada,
serta adapula kelainan pada sistem gastrointestinal meliputi tingginya tekanan
intra abdominal dan rendahnya pH dalam gaster serta lambatnya pengosongan
gaster.
Oleh karena itu pentingnya kunjungan pra anastesi yaitu untuk
mempersiapkan mental, fisik pasien secara optimal, merencanakan dan memilih
teknik dan obat-obatan yang sesuai serta menentukan klasifikasi yang sesuai
menurut ASA. Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian
salah identitas dan salah operasi.

58
DAFTAR PUSTAKA

Dardjat MT. (editor). Cairan Maintenance Dalam Pembedahan. Dalam : Kumpulan


Kuliah Anestesiologi. Jakarta : Aksara Medisiana.

Dobson, M. B. dkk. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta: EGC. 1994

Increase Anesthetic Risk For Patients With Obesity and Obstructive Sleep Apnea.
Available from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2007481/pdf/anesthprog00003-
0005.pdf

Latief, Said. Analgesia Regional. Dalam: Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi II. Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2009

Latief S, Kartini, Dachlan. (editor). Terapi Cairan Pada pembedahan. Dalam : Petunjuk
Praktis Anestesiologi. Edisi II. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI. 2002

Morgan, Edward dkk. Clinical Anesthesiology Fourth Edition. McGraw-Hill Companies.


2006

Obesity and Anesthesia, Yes There is a Connection. Available from :


www.health.am/ab/more/obesity-and-anesthesia-yesthere-is-a-connection

Sugiarto A,dkk.Buku Ajar Anestesiologi.Jakarta : Departemen Anestesiologi dan


Intensive Care Fakultas Kedokteran Indonesia/ RS Cipto Mangunkusumo.2012

Sugondo S. Obesitas. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed ke-3. Jakarta: Interna
Publishing. 2009.

Suntoro A. Terapi Cairan Perioperatif. Dalam : Anestesiologi. Muhiman. (editor).


Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 1989

Werth, M. Pokok-pokok Anestesi. Jakarta: EGC. 2010

Winkjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4 Cetakan ke-2. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2010

59
Winkjosastro H. Ilmu Kandungan. Edisi ke-3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2011

WHO. Obesity and Overweight Fact Sheets. January; 2015.

60

Anda mungkin juga menyukai