Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Medis

1. Bayi Baru Lahir

a. Pengertian

Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari usia kehamilan

37 minggu sampai 42 minggu dengan berat badan lahirnya 2500 gram

sampai dengan 4000 gram, lahir langsung menangis, dan tidak ada

kelainan kongenital (cacat bawaan) yang berat (Kosim, 2012).

Bayi baru lahir (neonatus) adalah bayi yang baru mengalami

proses kelahiran berusia 0-28 hari (Marmi dan Rahardjo, 2012).

Bayi baru lahir adalah suatu organisme yang sedang tumbuh,

baru mengalami proses kelahiran, dan harus menyesuaikan diri dari

kehidupan intrauterin ke kehidupan ekstrauterin (Abdoerrachman,

2007).

b. Ciri-Ciri Bayi Baru Lahir Normal

Ciri-ciri bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dengan

kehamilan aterm antara 37-42 minggu, bayi yang mempunyai berat

badan 2500-4000 gram, panjang badan 48-52 cm, lingkar dada 30-38

cm, lingkar kepala 33-35 cm, frekuensi jantung 120-160 kali/menit,

pernapasan ± 40-60 kali/menit, kulit kemerahan dan licin karena

7
8

jaringan sub kutan cukup, rambut lanugo tidak terlihat, rambut kepala

biasanya telah sempurna, kuku agak panjang dan lemas, mempunyai

nilai APGAR >7, bergerak aktif, bayi lahir langsung menangis kuat,

genitalia : perempuan labia mayora sudah menutup labia minora dan

laki-laki testis sudah turun, skrotum sudah ada, reflek (morro, rooting,

sucking, tonicneck, dan babynsky) baik, mekonium keluar dalam 24

jam pertama, dan mekonium berwarna hitam kecoklatan (Dewi, 2010).

c. Perawatan Bayi Baru Lahir Normal

Menurut Saifuddin (2009) penanganan segera pada bayi baru

lahir yang harus dilakukan, antara lain sebagai berikut :

1) Membersihkan jalan napas

Bayi normal akan menangis spontan segera setelah lahir.

Apabila bayi tidak langsung menangis, maka penolong harus

segera membersihkan jalan napas, yaitu dengan meluruskan jalan

napas dan membersihkannya menggunakan jari tangan yang

dibungkus dengan kassa steril.

2) Memotong dan merawat tali pusat

Tali pusat dipotong 5 cm dari dinding perut bayi dengan

gunting steril, kemudian diikat dengan pengikat steril. Apabila

masih terjadi perdarahan dapat dibuat ikatan baru kemudian dibalut

dengan kassa steril.


9

3) Melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

Segera setelah bayi lahir dan tali pusat diikat, kemudian bayi

diletakkan tengkurap di dada ibu dengan kulit bayi bersentuhan

langsung ke kulit ibu. Kontak kulit ibu dan bayi ini berlangsung

setidaknya 1 jam atau lebih, bahkan sampai bayi dapat menyusu

sendiri. Bayi diberi topi dan selimut di atasnya agar tetap terjaga

kehangatannya.

4) Mempertahankan suhu tubuh bayi

Pada waktu baru lahir, bayi belum mampu mengatur tetap

suhu badannya dan membutuhkan pengaturan dari luar untuk

membuatnya tetap hangat. Bayi baru lahir harus dibungkus dengan

hangat. Suhu tubuh bayi merupakan tolok ukur kebutuhan akan

tempat tidur yang hangat sampai suhu tubuhnya stabil.

5) Memberi obat tetes/salep mata

Pemberian obat mata eritromisin 0,5 % atau tetrasiklin 1 %

dianjurkan untuk pencegahan penyakit mata karena klamidia

(penyakit menular seksual).

6) Memberi vitamin K

Untuk mencegah terjadinya perdarahan karena defisiensi

vitamin K1, semua bayi baru lahir normal dan cukup bulan perlu

diberi 1 mg vitamin K1 pada sepertiga paha bagian luar secara

intramuskular. Pemberian vitamin K1 yaitu 1 jam setelah IMD.


10

7) Pemberian imunisasi bayi baru lahir

Imunisasi Hepatitis B0 diberikan 1 jam setelah pemberian

vitamin K1, pada saat bayi berumur 2 jam. Imunisasi Hepatitis B

bermanfaat untuk mencegah infeksi Hepatitis B pada bayi,

terutama jalur penularan ibu ke bayi.

8) Identifikasi bayi

Alat pengenal yang efektif harus diberikan pada setiap bayi

baru lahir dan harus di tempatnya sampai waktu bayi dipulangkan.

Peralatan identifikasi dapat berupa gelang identifikasi yang berisi

nama lengkap ibu, tanggal lahir, jenis kelamin, dan hasil

pengukuran antropometri yang dipasang pada pergelangan tangan

dan atau pergelangan kaki bayi.

2. Ikterus Neonatorum

a. Pengertian

Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang

ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi

bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan

mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dl

(Kosim, 2012).

Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit, atau jaringan lainnya

akibat adanya penimbunan bilirubin dalam tubuh. Keadaan ini

merupakan tanda penting dari penyakit hati atau kelainan fungsi hati,

saluran empedu, dan penyakit darah. Bila kadar bilirubin darah


11

melebihi 2 mg%, maka ikterus akan terlihat. Namun pada neonatus

ikterus masih belum terlihat meskipun kadar bilirubin darah sudah

melampaui 5 mg%. Ikterus terjadi karena adanya peninggian kadar

bilirubin indirek (unconjugated) dan atau kadar bilirubin direk

(conjugated) (Hasan dan Alatas, 2007).

b. Klasifikasi

1) Ikterus Fisiologis

Ikterus fisiologis adalah suatu proses normal yang terlihat

pada sekitar 40-50 % bayi aterm/cukup bulan dan sampai dengan

80 % bayi prematur dalam minggu pertama kehidupan. Ikterus

fisiologis adalah perubahan transisional yang memicu

pembentukan bilirubin secara berlebihan di dalam darah yang

menyebabkan bayi berwarna ikterus atau kuning (Kosim, 2012).

Menurut Ridha (2014) ikterus fisiologis memiliki tanda-

tanda, antara lain sebagai berikut :

a) Warna kuning akan timbul pada hari kedua atau ketiga setelah

bayi lahir dan tampak jelas pada hari kelima sampai keenam

dan menghilang sampai hari kesepuluh.

b) Kadar bilirubin indirek tidak lebih dari 10 mg/dl pada neonatus

kurang bulan dan 12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan.

c) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak lebih dari 5 mg/dl

per hari.

d) Kadar bilirubin direk tidak lebih dari 1 mg/dl.


12

e) Tidak memiliki hubungan dengan keadaan patologis yang

berpotensi menjadi kern icterus (ensefalopati biliaris adalah

suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada

otak).

2) Ikterus Patologis

Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar

patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut

hiperbilirubinemia (Saifuddin, 2009).

Menurut Kosim (2012) ikterus patologis tidak mudah

dibedakan dari ikterus fisiologis. Keadaan di bawah ini merupakan

petunjuk untuk tindak lanjutnya sebagai berikut :

a) Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam.

b) Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan

fototerapi.

c) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg/dl pada neonatus

kurang bulan dan 12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan.

d) Peningkatan bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam.

e) Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi

muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang

cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil.

f) Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau

setelah 14 hari pada bayi kurang bulan.


13

g) Ikterus yang disertai keadaan antara lain : BBLR, masa gestasi

kurang dari 36 minggu, asfiksia, infeksi, dan hipoglikemia.

Ikterus pada bayi baru lahir terdapat pada 25-50 % neonatus

cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan.

Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan gejala fisiologis atau

dapat merupakan hal yang patologis, misalnya pada

inkompatibilitas Rh dan ABO, sepsis, penyumbatan saluran

empedu, dan sebagainya (Saifuddin, 2009).

c. Etiologi

Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) etiologi ikterus pada bayi

baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun disebabkan oleh beberapa

faktor, antara lain sebagai berikut :

1) Produksi yang berlebihan, lebih dari kemampuan bayi untuk

mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada

inkompatibilitas darah Rh, ABO, defisiensi enzim G6PD, pyruvate

kinase, perdarahan tertutup, dan sepsis.

2) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini

dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk

konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar akibat asidosis,

hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glucoronil

transferase (criggler najjar syndrome). Penyebab lain adalah

defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam

uptake bilirubin ke sel-sel hepar.


14

3) Gangguan dalam transportasi. Bilirubin dalam darah terikat oleh

albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dan albumin

ini dapat dipengaruhi oleh obat-obat, misalnya : salisilat dan

sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak

terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah

melekat ke sel otak.

4) Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat

obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar

biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar.

5) Obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau struktural) dapat

mengakibatkan hiperbilirubinemia unconjugated akibat

penambahan dari bilirubin yang berasal dari sirkulasi

enterohepatik.

6) Ikterus akibat Air Susu Ibu (ASI). Ikterus akibat ASI merupakan

unconjugated hiperbilirubinemia yang mencapai puncaknya

terlambat (biasanya menjelang hari ke 6-14). Hal ini untuk

membedakan ikterus pada bayi yang disusui ASI selama minggu

pertama kehidupan. Sebagian bahan yang terkandung dalam ASI

(beta glucoronidase) akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang

larut dalam lemak, sehingga bilirubin indirek akan meningkat, dan

kemudian akan diresorbsi oleh usus. Bayi yang mendapat ASI bila

dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula,

mempunyai kadar bilirubin yang lebih tinggi berkaitan dengan


15

penurunan asupan pada beberapa hari pertama kehidupan.

Pengobatannya yaitu bukan dengan menghentikan pemberian ASI

melainkan dengan meningkatkan frekuensi pemberiannya.

d. Patofisiologi

Meningkatnya kadar bilirubin dapat juga disebabkan produksi

yang berlebihan. Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi

eritrosit yang menua. Pada neonatus 75 % bilirubin berasal dari

mekanisme ini. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 34 mg

bilirubin indirek (free billirubin) dan sisanya 25 % disebut early

labeled bilirubin yang berasal dari pelepasan hemoglobin karena

eritropoeis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan yang

mengandung protein heme dan heme bebas. Pembentukan bilirubin

diawali dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin. Setelah

mengalami reduksi biliverdin menjadi bilirubin bebas, yaitu zat yang

larut dalam lemak yang bersifat lipofilik yang sulit diekskresi dan

mudah melewati membran biologik, seperti plasenta dan sawar otak

(Kosim, 2012).

Di dalam plasma, bilirubin tersebut terikat/bersenyawa dengan

albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar menjadi mekanisme

ambilan sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hepar dan

masuk ke dalam hepatosit. Di dalam sel bilirubin akan terikat dan

bersenyawa dengan ligandin (protein Y), protein Z, dan glutation S-


16

tranferase membawa bilirubin ke reticulum endoplasma hati (Kosim,

2012).

Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi

bilirubin diglukoronide dan sebagian kecil dalam bentuk

monoglukoronide. Ada dua enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin

diglukoronide yaitu uridin difosfat glukoronide transferase (UDPG:T)

yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis

dan ekskresi diglukoronide terjadi di membran kanalikulus (Hasan dan

Alatas, 2007).
17

Hemoglobin

A. Produksi Heme Globin

Oksidasi Enzim Heme Oksigenasi

Biliverdin

Reduksi Enzim biliverdin reduktase

Sirkulasi darah Bilirubin Sirkulasi darah


Konsentrasi albumin Bilirubin +
Sirkulasi darah obat-obatan bersifat asam Bilirubin
B. Transportasi Bilirubin + Albumin indirek dalam darah

Bilirubin + (Protein y, Protein z,


Sirkulasi
Glutation S-Transferse)
bilirubin
enterohepatik
Retikulum Endoplasma

C. Konjugasi Bilirubin Konjugasi Enzim UDPG-T

Bilirubin Diglukoronida

ekskresi Ginjal

Kandung Empedu Saluran


Pencernaan
D. Ekskresi
Ekskresi Absorpsi
enterohepatik

Bilirubin Bilirubin
feses Indirek
Stercobilinogen

Gambar 2.1 Patofisiologi Hiperbilirubinemia


Sumber : Bagan diolah dari Hasan dan Alatas (2007); Kosim, M.S., dkk.
(2012); Maryunani (2013)
18

e. Faktor Predisposisi

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan atau

diperberat oleh setiap faktor yang menambah beban bilirubin untuk

dimetabolisasi oleh hati (anemia hemolitik, waktu hidup sel darah

menjadi pendek akibat imaturitas atau akibat sel yang ditransfusikan,

penambahan sirkulasi interohepatik, dan infeksi). Dapat menciderai

atau mengurangi aktivitas enzim transferase (hipoksia, infeksi,

kemungkinan hipotermia, dan defisiensi tiroid) dapat berkompetisi

dengan atau memblokade enzim tranferase (obat-obat dan bahan-bahan

lain yang memerlukan konjugasi asam glukuronat untuk ekskresi) atau

dapat menyebabkan tidak adanya atau berkurangnya jumlah enzim

yang diambil atau menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin oleh

sel hepar (cacat genetik dan prematuritas) (Nelson, 2012).

Risiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak

terkonjugasi dalam serum menjadi bertambah dengan adanya faktor-

faktor yang mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi

(hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada

albumin karena ikatan kompetitif obat-obatan, seperti sulfisoksazole

dan moksalaktam, asidosis, kenaikan sekunder kadar asam lemak

bebas akibat hipoglikemia, kelaparan atau hipotermia) atau oleh faktor-

faktor yang meningkatkan permeabilitas sawar darah otak atau

membran sel saraf terhadap bilirubin atau kerentanan sel otak terhadap

toksisitasnya, seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan


19

infeksi. Pemberian makan yang awal menurunkan kadar bilirubin

serum, sedangkan ASI dan dehidrasi menaikkan kadar bilirubin serum.

Mekonium mengandung 1 mg bilirubin/dl dan dapat turut

menyebabkan ikterus melalui sirkulasi enterohepatik pasca

dekonjugasi oleh glukoronidase usus. Obat-obat seperti oksitosin dan

bahan kimia yang diberikan dalam ruang perawatan seperti detergen

fenol dapat juga menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi

(Nelson, 2012).

f. Faktor Risiko

Menurut Kosim (2012) faktor risiko hiperbilirubinemia berat

pada bayi usia kehamilan ≥ 35 minggu, antara lain sebagai berikut :

1) Faktor risiko mayor

Faktor risiko mayor dari hiperbilirubinemia adalah ikterus

yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan, inkompabilitas

golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang positif atau

penyakit hemolitik lainnya (defisiensi G6PD, peningkatan ETCO),

umur kehamilan antara 35-36 minggu, riwayat anak sebelumnya

yang mendapat fototerapi, ASI eksklusif dengan cara perawatan

tidak baik, sefal hemathoma, dan ras Asia Timur.

2) Faktor risiko minor

Faktor risiko minor dari hiperbilirubinemia adalah umur

kehamilan antara 37-38 minggu, sebelum pulang bayi tampak

kuning, riwayat anak sebelumnya kuning, bayi makrosomia dari


20

ibu dengan penyakit Diabetes Mellitus (DM), dan bayi dengan

jenis kelamin laki-laki.

g. Tanda Klinis/Laboratoris

Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit apalagi dalam

cahaya buatan. Paling baik pengamatan dilakukan dalam cahaya

matahari dan dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk

menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi darah (Hasan dan

Alatas, 2007).

Cara menegakkan diagnosa ikterus pada bayi baru lahir, antara

lain sebagai berikut :

1) Keluhan subjektif yaitu bayi berwarna kuning pada muka dan

sebagian tubuhnya dan kemampuan menghisap bayi lemah

(Marmi, 2012).

2) Pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan yang dilakukan dari ujung

rambut sampai kaki dengan hasil bayi berwarna kuning serta

pemeriksaan reflek bayi (Hasan dan Alatas, 2007).

3) Pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu pemeriksaan golongan

darah, uji coombs direk, uji coombs indirek, kadar bilirubin total

dan direk, darah periksa lengkap dengan diferensial, protein serum

total, dan glukosa serum (Kosim, 2012).

Cara untuk menentukan derajat ikterus yang merupakan risiko

terjadinya kern icterus, salah satunya dengan cara klinis (rumus


21

Kramer) yang dilakukan di bawah sinar biasa (day light) (Saifuddin,

2009).

Daerah kulit bayi yang berwarna kuning untuk penerapan rumus

Kremer, seperti dibawah ini :

Keterangan :

1. Kepala dan leher

2. Daerah 1 (+)

Badan bagian atas

3. Daerah 1, 2 (+)

Badan bagian

bawah dan tungkai

4. Daerah 1, 2, 3 (+)

Lengan dan kaki

di bawah lutut

5. Daerah 1, 2, 3, 4

(+) Telapak

tangan dan kaki

Gambar 2.2 Daerah kulit yang berwarna kuning untuk penempatan


rumus Kramer
Sumber : Saifuddin, 2009
22

Ikterus neonatorum patologis dibagi menjadi 5 kramer sesuai

dengan daerah ikterusnya dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Pembagian Ikterus Neonatorum menurut metode Kramer


DAERAH LUAS IKTERUS KADAR BILIRUBIN
(mg%)
1 Kepala leher 5
2 Daerah 1 (+) Badan bagian atas 9
3 Daerah 1, 2 (+) Badan bagian 11
bawah dan tungkai
4 Daerah 1, 2, 3 (+) Lengan dan 12
kaki di bawah lutut
5 Daerah 1, 2, 3, 4 (+) Telapak 16
tangan dan kaki
Sumber : Saifuddin, 2009

h. Prognosis

Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila

bilirubin indirek telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini

penderita mungkin menderita kern ikterus atau ensefalopati biliaris.

Kern ikterus (ensefalopati biliaris) adalah sindrom neurologis akibat

pengendapan bilirubin tak terkonjugasi di dalam sel-sel otak. Risiko

pada bayi dengan eritroblastosis foetalis secara langsung berkaitan

dengan kadar bilirubin serum : hubungan antara kadar bilirubin serum

dan kern ikterus pada bayi cukup bulan yang sehat masih belum pasti.

Bilirubin indirek yang larut dalam lemak dapat melewati sawar darah

otak dan masuk ke otak dengan cara difusi apabila kapasitas albumin

untuk mengikat bilirubin dan protein plasma lainnya terlampaui dan

kadar bilirubin bebas dalam plasma bertambah (Nelson, dkk, 2012).

Pada setiap bayi nilai persis kadar bilirubin yang bereaksi indirek

atau kadar bilirubin bebas dalam darah yang jika dilebihi akan bersifat
23

toksik tidak dapat diramalkan, tetapi kern ikterus jarang terjadi pada

bayi cukup bulan yang sehat (Nelson, dkk, 2012).

Manifestasi klinis akut bilirubin ensefalopati pada fase awal bayi

dengan ikterus berat akan tampak letargis, hipotonik, dan reflek

menghisap buruk, sedangkan pada fase intermediate ditandai dengan

moderate stupor, iritabilitas, hipertoni. Untuk selanjutnya bayi akan

demam, high-pitced cry, kemudian akan menjadi drowsiness dan

hipotoni (Kosim, 2012).

Pada kern ikterus, gejala klinik pada permulaan tidak jelas, antara

lain dapat disebutkan yaitu bayi tidak mau menghisap, letargi, mata

berputar, gerakan tidak menentu (involuntary movements), kejang,

tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus (Saifuddin,

2009).

i. Penatalaksanaan dan Pengobatan

Menurut Ridha (2014) mencegah terjadinya kern ikterus atau

ensefalopati biliaris dalam hal ini yang penting ialah pengamatan yang

ketat dan cermat perubahan peningkatan kadar ikterus/bilirubin bayi

baru lahir khususnya ikterus yang kemungkinan besar menjadi

patologis, yaitu :

1) Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama.

2) Ikterus dengan kadar bilirubin >12,5 mg pada neonatus cukup

bulan atau >10 mg% pada neonatus kurang bulan.

3) Ikterus dengan peningkatan kadar bilirubin >5 mg%/hari.


24

Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) dan Kosim (2012)

penatalaksanaan screening test, antara lain sebagai berikut :

1) Golongan darah : untuk menentukan dan status Rh bayi bila

transfusi sulih diperlukan.

2) Uji Coombs direk : untuk menentukan diagnosis penyakit

hemolitik pada bayi baru lahir, hasil positif mengindikasikan sel

darah merah bayi telah terpajan (diselimuti antibodi).

3) Uji Coombs indirek : mengukur jumlah antibodi Rh positif dalam

darah ibu.

4) Kadar Bilirubin total dan direk : untuk menegakkan diagnosis

heperbilirubinemia.

5) Darah periksa lengkap dengan diferensial : untuk mendeteksi

hemolisis, anemia (Hb < 14 gr/dl) atau polisitemia (Ht lebih dari

65%), Ht kurang dari 40 % (darah tali pusat) mengindikasi

hemolisis berat.

6) Protein serum total : untuk mendeteksi penurunan kapasitas ikatan

(3,0 mg/dl).

7) Glukosa serum : untuk mendeteksi hipoglikemia (< 40 mg/dl).

Dalam penanganan ikterus cara-cara yang dipakai adalah untuk

mencegah dan mengobati, sampai saat ini cara-cara itu dapat dibagi

dalam empat jenis usaha, yaitu sebagai berikut :

1) Mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin dengan early

breast feeding yaitu menyusui bayi dengan ASI (Air Susu Ibu).
25

Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan

feses dan urine. Untuk itu bayi harus mendapat cukup ASI. Seperti

diketahui ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat

memperlancar BAB dan BAK. Akan tetapi pemberian ASI juga

harus dibawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus ASI

justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice)

(Marmi dan Rahardjo, 2012).

Pemberian fenobarbital yang yang dapat memperbesar

konjugasi dan ekskresi bilirubin. Pemberiannya akan membatasi

perkembangan ikterus fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan

pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam sebelum persalinan atau pada

bayi saat lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam. Meskipun demikian,

fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus

pada bayi neonatus karena pengaruhnya pada metabolisme

bilirubin biasanya tidak terlihat sebelum mencapai beberapa hari

pemberian, efektivitas obat ini lebih kecil dari pada fototerapi

dalam menurunkan kadar bilirubin, dan dapat mempunyai

pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan serta tidak menambah

respon terhadap fototerapi (Nelson, 2012).

2) Terapi sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya

dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya

bisa di jemur selama setengah jam dengan posisi yang berbeda.

Lakukan pada jam 07.00-09.00 WIB karena inilah waktu di mana


26

sinar ultraviolet belum cukup efektif mengurangi kadar bilirubin.

Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke arah

matahari karena dapat merusak matanya.

3) Terapi sinar (Fototerapi)

Terapi sinar atau fototerapi dilakukan selama 24 jam atau

setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang

batas normal. Dengan fototerapi bilirubin dalam tubuh bayi dapat

dipecah dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah

dahulu oleh organ hati dan dapat dikeluarkan melalui urin dan

feses sehingga kadar bilirubin menurun (Dewi, 2010; Marmi dan

Rahardjo, 2012).

Di samping itu pada terapi sinar ditemukan pula peninggian

konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum dan

menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam

usus sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan keluar

bersama feses. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin

agar tidak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang

lebih fatal.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan

fototerapi, yaitu :

a) Alat-alat yang diperlukan menurut Dewi (2010), antara lain :

Unit terapi sinar , yaitu :


27

1) Lampu fluoresensi 10 buah masing-masing 20 watt dengan

gelombang sinar 425-475 nm, seperti pada sinar cool white,

daylight, vita kite blue, dan special blue.

2) Jarak sumber cahaya ke bayi ± 45 cm, di antaranya diberi

kaca pleksi setebal 0,5 inci untuk menahan sinar ultraviolet.

3) Lampu diganti setiap 200-400 jam.

b) Pelaksanaan pemberian terapi sinar menurut Marmi dan

Rahardjo (2012), yaitu :

1) Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam.

2) Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas

mungkin terkena sinar.

3) Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat

memantulkan cahaya untuk mencegah kerusakan retina.

Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan

kunjungan orang tua untuk memberikan rangsang visual

pada neonatus.

4) Daerah kemaluan ditutup dengan penutup yang dapat

memantulkan cahaya untuk melindungi daerah kemaluan

dari cahaya fototerapi.

5) Posisi lampu diatur dengan jarak 45-50 cm di atas tubuh

bayi, untuk mendapatkan energi yang optimal.

6) Posisi tubuh bayi diubah tiap 8 jam agar tubuh mendapat

penyinaran seluas mungkin.


28

7) Pertahankan suhu bayi agar selalu 36,5-37 ºC dan observasi

suhu setiap 4-6 jam sekali. Jika terjadi kenaikan suhu

matikan sementara lampunya dan bayi diberikan banyak

minum. Setelah 1 jam kontrol kembali suhunya. Jika tetap

tinggi hubungi dokter.

8) Perhatikan asupan cairan agar tidak terjadi dehidrasi dan

peningkatan suhu tubuh bayi.

9) Pada waktu memberi minum bayi dikeluarkan, dipangku,

dan penutup mata dibuka. Perhatikan apakah terjadi iritasi

atau tidak.

10) Periksa kadar bilirubin setiap 8 jam setelah pemberian

terapi 24 jam.

11) Apabila kadar bilirubin telah turun menjadi 7,5 % atau

kurang terapi dihentikan walaupun belum 100 jam.

12) Jika setelah pemberian terapi 100 jam bilirubin tetap tinggi

atau kadar bilirubin dalam serum terus naik, coba lihat

kembali apakah lampu belum melebihi 500 jam digunakan.

Selanjutnya hubungi dokter, mungkin perlu transfusi tukar.

13) Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin turun di bawah

batas untuk dilakukan terapi sinar atau mendekati nilai

untuk dilakukan transfusi tukar.


29

c) Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) hal-hal yang perlu

diperhatikan pada pemberian fototerapi, yaitu :

1) Apabila kadar bilirubin cenderung naik pada bayi-bayi yang

mendapat fototerapi intensif, kemungkinan besar terjadi

proses hemolisis.

2) Kebutuhan cairan bayi meningkat selama pemberian terapi

sinar, yaitu :

(a) Anjurkan ibu menyusui sesuai keinginan bayi, paling

tidak setiap 3 jam, tidak perlu menambah atau

mengganti ASI dengan air, dekstrosa, atau formula.

(b) Apabila bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI peras

dengan menggunakan salah satu cara alternatif

pemberian minum. Selama dilakukan terapi sinar,

naikkan kebutuhan hariannya dengan menambah 25

ml/kg BB.

(c) Apabila bayi mendapat cairan IV, naikkan kebutuhan

hariannya 10-20 %.

(d) Apabila bayi mendapat cairan IV atau diberi minum

melalui pipa lambung, bayi tidak perlu dipindahkan dari

lampu terapi sinar.

(e) Selama dilakukan terapi sinar, feses bayi menjadi cair

dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan

tindakan khusus.
30

(f) Bayi dipindahkan dari alat terapi sinar bila akan

dilakukan tindakan yang tidak memungkinkan

dikerjakan di bawah lampu terapi sinar.

(g) Apabila bayi mendapat terapi oksigen, matikan lampu

saat memeriksa bayi untuk mengetahui sianosis sentral.

(h) Warna kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk

untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi

dilakukan fototerapi dan selama 24 jam setelah

dihentikan.
31

d) Efek samping terapi sinar

Tabel 2.2 Efek samping terapi sinar


Efek samping Perubahan spesifik
Perubahan suhu dan Peningkatan suhu lingkungan dan tubuh,
metabolik lainnya peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan
laju respirasi, peningkatan aliran darah ke
kulit.
Perubahan kardiovaskuler Perubahan sementara curah jantung dan
penurunan curah ventrikel kiri.
Status cairan Peningkatan aliran darah perifer dan
peningkatan insensible water lost.
Fungsi saluran cerna Peningkatan jumlah dan frekuensi buang air
besar, feses cair, berwarna hijau kecokelatan,
penurunan waktu transit usus, penurunan
absorpsi, retensi nitrogen, air dan elektrolit,
perubahan aktivitas laktosa, riboflavin.
Perubahan aktivitas Letargis, gelisah.
Perubahan berat badan Penurunan nafsu makan dan penurunan pada
awalnya namun terkejar dalam 2-4 minggu.
Efek okuler Tidak ada penelitian pada manusia, namun
perlu perhatian antara efek cahaya
dibandingkan dengan efek penutup mata.
Perubahan kulit Tanning, rashes, burns, bronze baby
syndrome.
Perubahan endokrin Perubahan kadar gonadotropin serum
(peningkatan LH dan FSH).
Perubahan hematologi Peningkatan turnover trombosit dan cedera
pada sel darah merah dalam sirkulasi dengan
penurunan kalium dan peningkatan aktivitas
ATP.
Sumber : Kosim, 2012

4) Transfusi tukar (exchange transfusion) cara yang paling tepat

untuk mengobati hiperbilirubinemia pada neonatus adalah tranfusi

tukar. Dalam beberapa hal terapi sinar dapat menggantikan

transfusi tukar darah akan tetapi pada penyakit hemolitik neonatus

transfusi tukar darah adalah tindakan yang paling tepat (Marmi dan

Rahardjo, 2012). Transfusi tukar dilakukan pada keadaan


32

hiperbilirubinemia yang tidak dapat diatasi dengan tindakan lain

misalnya telah diberikan terapi sinar tetapi kadar bilirubin tetap

tinggi. Pada umumnya transfusi tukar dilakukan pada ikterus yang

disebabkan karena proses hemolisis yang terdapat pada

keridakselarasan Rhesus, ABO, dan defisiensi G-6-PD. Indikasi

untuk melakukan transfusi tukar adalah kadar bilirubin indirek

lebih dari 20 mg%, kenaikan kadar bilirubin indirek cepat, yaitu

0,3-1 mg%/jam, anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal

jantung, dan hasil pemeriksaan uji comb positif (Ngastiyah, 2005).

Tabel 2.3 Pedoman pengelolaan ikterus menurut waktu timbulnya


dan kadar bilirubin
Bilirubin <24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam
(mg%)
<5 Pemberian makan yang dini
5-9 Terapi sinar Kalori
bila cukup
hemolisis
10-14 Transfusi Terapi sinar
tukar* bila
hemolysis
15-19 Transfusi Transfusi Terapi +
tukar* tukar bila sinar+
hemolisis
>20 Transfusi tukar+
Sumber : Modifikasi dari Maisels (Saifuddin, 2009)

Keterangan :

* Sebelum dan sesudah transfusi tukar, dengan memberi terapi sinar.

+ Bila tak berhasil, dengan transfus tukar.

Bil < 5mg% selalu observasi

Bil > 5mg% penyebab ikterus perlu diselidiki.


33

Bagan penanganan ikterus bayi baru lahir, sebagai berikut :

Tabel 2.4 Bagan Penanganan Ikterus Bayi Baru Lahir


TANDA- Warna kuning pada kulit dan sklera mata (tanpa hepatomegali,
TANDA perdarahan kulit, dan kejang-kejang)
KATEGORI Normal Fisiologik Patologik
PENILAIAN
a. Daerah 1 1+2 1-4 1-5 1-5
Ikterus >3 >3 >3 >3
(rumus 5-9 11-15 >15-20 mg% >20 mg%
Kramer) mg% mg%
b. Kuning 1-2
hari ke
c. Kadar <5 mg%
bilirubin
PENANGANAN
Bidan atau Terus a. Jemur di matahari pagi jam 7-9 a. Rujuk ke
Puskesmas diberi selama 10 menit. rumah
ASI b. Badan bayi telanjang, mata sakit
ditutup. b. Banyak
c. Terus diberi ASI. minum
d. Banyak minum.
Rumah sakit Sama Sama Terapi Terapi sinar
dengan dengan sinar
di atas di atas
a. Periksa golongan darah ibu dan bayi.
b. Periksa kadar bilirubin.
Nasihat Waspadai Tukar
bila bila kadar darah
semakin bilirubin
kuning, naik >0,5
kembali mg/jam
Coomb’s
test
Sumber : Saifuddin, 2009
34

B. Teori Manajemen Kebidanan

Penerapan manajemen kebidanan pada bayi baru lahir dengan ikterus

neonatorum menurut 7 Langkah Varney, yaitu :

a. Langkah I. Pengumpulan Data Dasar Secara Lengkap

Untuk memperoleh data dasar secara lengkap pada bayi baru lahir

dengan ikterus neonatorum dapat diperoleh melalui :

1) Data Subjektif

a) Biodata atau Identitas

Identitas yang perlu dikaji adalah umur bayi yaitu ikterus

pada 24 jam pertama termasuk patologis dan menetap setelah usia

10-14 hari (Hasan dan Alatas, 2007).

b) Keluhan Utama

Keluhan yang timbul pada bayi dengan ikterus neonatorum

adalah bayi malas minum, letargis, dan kulit bayi berwarna kuning

(Kosim, 2012).

c) Riwayat Penyakit

Apakah terdapat riwayat gangguan hemolisis darah

(ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah ABO), kelainan

fungsi hati, dan obstruksi saluran pencernaan (Hasan dan Alatas,

2007).

d) Data Kebiasaan Sehari-hari

(1) Nutrisi : ASI yang diberikan pada bayi mempengaruhi

tingginya tingkat hiperbilirubinemia yang berkaitan


35

dengan konjugasi dan ekskresi bilirubin (Schwartz,

2005).

(2) Aktifitas : Pada bayi ikterus gerakan lemah, tidak aktif, dan

letargis (Marmi, 2012).

(3) Eliminasi : BAK biasanya pada bayi ikterus warna urin gelap

atau urin positif mengandung hiperbilirubin,

konsistensi BAB feses berwarna terang (Varney,

2008).

2) Data Objektif

a) Keadaan Umum

Pengkajian ini terdiri dari pemeriksaan status kesadaran,

status hidrasi yang mencakup nutrisi bayi (ASI) (Hidayat, 2008).

b) Vital Sign

Menurut Varney (2008) vital sign yang perlu dikaji pada bayi

dengan ikterus, antara lain sebagai berikut :

(1) Frekuensi : Pada bayi dengan ikterus frekuensi nadi

Nadi normal yaitu sama dengan bayi lahir

normal.

(2) Pernapasan : Pada bayi dengan ikterus frekuensi

pernapasan yaitu lebih dari 60 kali/menit

(takipnea).

(3) Suhu Tubuh : Suhu tubuh pada bayi ikterus akan

mengalami ketidakstabilan.
36

c) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang dilakukan dari ujung rambut sampai kaki.

(1) Kepala : Pada bayi ikterus terlihat menguningnya atau

jaringan lain di kepala akibat penimbunan

bilirubin dalam tubuh (Hasan dan Alatas, 2007).

(2) Muka : Tanda klinis pada bayi ikterus pada muka yaitu

pada puncak hidung dan mulut berwarna kuning

(Marmi dan Rahardjo, 2012).

(3) Mata : Sklera pada bayi ikterus berwarna kuning

(Varney, 2008).

(4) Kulit : Pada bayi dengan ikterus kulit berwarna

kuning akibat akumulasi bilirubin tak

terkonjugasi yang berlebih (Hidayat, 2008).

(5) Dada : Pada bayi ikterus dada berwarna kuning

(Marmi dan Rahardjo, 2012).

(6) Abdomen : Pada bayi dengan ikterus tanda klinis pada

abdomen yaitu perut bayi berwarna kuning dan

memeriksa adanya pembesaran hati dan limpa

(Marmi dan Rahardjo, 2012).

(7) Ekstremitas : Pada bayi dengan ikterus tanda klinis pada

ekstremitas yaitu kaki dan tangan terdapat warna

kuning (Marmi dan Rahardjo, 2012).


37

(8) Genetalia : Pada bayi dengan ikterus ketika BAK warna

urine gelap (Varney, 2008).

(9) Anus : Pada bayi dengan ikterus pengeluaran BAB

pada warna feses bayi akan lebih terang

(Varney, 2008).

d) Reflek

Menurut Hidayat (2008) reflek pada bayi dengan ikterus

neonatorum, antara lain sebagai berikut :

(1) Reflek morro pada bayi dengan ikterus neonatorum adalah

lemah (Schwartz, 2005).

Reflek morro dapat dilakukan dengan cara memukul meja

pemeriksaan di dekat kepala bayi.

(2) Reflek babynsky dapat dilakukan dengan cara menggores

telapak kaki sepanjang tepi luar. Reflek babynsky pada bayi

dengan ikterus adalah lemah.

(3) Reflek tonick neck dapat dilakukan dengan memutar kepala

bayi ke salah satu sisi dengan cepat.

(4) Reflek rooting yaitu mencari puting susu dengan rangsang

taktil pada pipi dan daerah mulut. Reflek rooting pada bayi

dengan ikterus adalah lemah.

(5) Refleks sucking yaitu reflek menghisap. Pada bayi dengan

ikterus memiliki reflek hisap yang lemah.


38

3) Pemeriksaan Penunjang Laboratorium

Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) dan Kosim (2012)

pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan pada bayi dengan

hiperbilirubinemia adalah pemeriksaan golongan darah, uji coombs

direk, uji coombs indirek, kadar bilirubin total dan direk, darah periksa

lengkap dengan diferensial, protein serum total, dan glukosa serum.

b. Langkah II. Interpretasi Data Dasar

1) Diagnosis Kebidanan

Diagnosis kebidanan pada bayi baru lahir dengan ikterus adalah

By. Ny. P umur 20 jam dengan ikterus neonatorum. Diagnosis tersebut

ditegakkan berdasarkan data subjektif, objektif, dan pemeriksaan

laboratorium (Ngastiyah, 2005).

Data Dasar :

a) Subjektif

Ibu mengatakan bayinya berwarna kuning pada muka dan sebagian

tubuhnya dan kemampuan menghisap bayi lemah (Marmi, 2012).

b) Objektif

(1) Observasi keadaan umum mengenai status kesadaran.

(2) Observasi vital sign, meliputi : frekuensi nadi, pernapasan, dan

suhu tubuh.

(3) Pemeriksaan fisik.

(4) Reflek lemah.

(5) Pemeriksaan penunjang laboratorium (Marmi, 2012).


39

2) Masalah

Masalah pada bayi baru lahir dengan ikterus adalah gangguan

pernapasan, kurangnya masukan dan nutrisi karena bayi malas minum

(Ngastiyah, 2005).

3) Kebutuhan

Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) dan Kosim (2012)

kebutuhan pada bayi baru lahir dengan ikterus adalah memenuhi

kebutuhan cairan dan nutrisi dengan memberikan ASI secara adekuat

dengan cara ASI dimasukkan dalam botol susu, jika tidak mau

menghisap dot berikan pakai sendok dan jika tidak dapat habis berikan

melalui sonde, mengusahakan agar bayi tidak kepanasan atau

kedinginan, memelihara kebersihan tempat tidur bayi dan

lingkungannya berguna untuk mencegah terjadinya infeksi, dan

menjemur bayi pada pagi hari di bawah sinar matahari pada pukul

07.00-09.00 WIB kurang lebih selama tiga puluh menit dengan mata

dan alat genital bayi ditutup.

c. Langkah III. Mengidentifikasi Diagnosis atau Masalah Potensial dan

Mengantisipasi Penanganannya

Diagnosis potensial pada bayi baru lahir dengan ikterus adalah

potensial terjadi Kern Icterus yang berhubungan dengan peningkatan

kadar bilirubin serta potensial kekurangan volume cairan yang

berhubungan dengan terapi sinar (Nelson, dkk, 2012).


40

Antisipasi tindakan yang dilakukakan oleh bidan yaitu dengan cara

perbaikan KU dengan pemberian ASI secara adekuat (on demand) (Dewi,

2010).

d. Langkah IV. Menetapkan Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera

Menurut Kosim (2012) kebutuhan terhadap tindakan segera pada

kasus ikterus neonatorum adalah kolaborasi maupun konsultasi terhadap

tim kesehatan lain dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Kolaborasi

mungkin dapat dilakukan dengan dokter spesialis anak dalam pemberian

terapi (fototerapi atau transfusi tukar bila terdapat indikasi), serta petugas

laboratorium untuk pemeriksaan penunjang.

e. Langkah V. Menyusun Rencana Asuhan Yang Menyeluruh

Menurut Dewi (2010) dan Maryunani (2013) rencana asuhan yang

dapat dilakukan oleh bidan dalam penanganan ikterus, antara lain :

1) Beritahu kepada keluarga tentang kondisi bayi.

2) Lakukan perawatan seperti bayi baru lahir normal lainnya.

3) Berikan asuhan pada keluarga untuk menjemur bayinya tiap pagi

selama kurang lebih tiga puluh menit pada pukul 07.00-09.00 WIB di

bawah sinar matahari dengan menutup mata dan genital bayi dan

merubah posisi bayi agar sinar ultraviolet dapat merata ke seluruh

tubuh.

4) Jelaskan pentingnya memberikan ASI sedini dan sesering mungkin.

5) Melakukan advis dokter spesialis anak untuk pemberian terapi dan

tindakan, yaitu apabila bayi mendapatkan fototerapi, usahakan seluruh


41

tubuh bayi terkena sinar, kedua mata dan genital ditutup dengan

penutup yang dapat memantulkan cahaya, posisi bayi selalu diubah

untuk mencegah decubitus dan sinar ultraviolet merata ke seluruh

tubuh, dan lamanya terapi sinar dicatat.

6) Lakukan pemeriksaan kadar bilirubin setiap 8 jam atau sekurang-

kurangnya sekali dalam 24 jam.

7) Awasi efek dari pemberian fototerapi yaitu BAB lebih sering dan encer

sehingga cegah bayi jangan sampai dehidrasi bila perlu konsumsi

cairan bayi dinaikkan.

8) Awasi kemungkinan kulit bayi mengalami perubahan kulit yang

berlebihan dan laporkan pada dokter jika hal ini terjadi.

f. Langkah VI. Pelaksanaan Langsung Asuhan Dengan Efisien dan Aman

Langkah ini dapat dilakukan secara keseluruhan oleh bidan yang

menangani bayi dengan ikterus di ruang perawatan bayi/perinatologi

sesuai dengan rencana asuhan yang akan dilakukan. Pemeriksaan

laboratorium untuk menegakkan diagnosa dengan mengecek kadar

bilirubin dan darah pada bayi. Advis dokter spesialis anak telah dilakukan

untuk tindakan dan terapi yang harus diberikan pada bayi dengan ikterus

neonatorum patologis (Varney, 2008).

g. Langkah VII. Evaluasi

Evaluasi yang diharapkan pada bayi baru lahir dengan dengan ikterus

neonatorum yaitu : keefektifan dalam pemberian terapi sudah sesuai

dengan kebutuhan pasien, warna pada kulit bayi sudah normal kemerahan
42

tidak kuning, bayi sudah dapat menyusu dengan adekuat, dan setelah

dilakukan fototerapi tidak terdapat efek samping yang terjadi pada bayi

serta kondisi bayi menjadi semakin baik (Kosim, 2012).

C. Follow Up Data Perkembangan Kondisi Klien

Selanjutnya dari 7 langkah Varney dapat disajikan menjadi 4 langkah

yaitu SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Planning). SOAP disajikan

dari proses pemikiran penatalaksanaan kebidanan untuk mendokumentasikan

asuhan pasien dalam rekam medis pasien sebagai catatan kemajuan atau

perkembangan keadaan klien (KEPMENKES RI Nomor

938/MENKES/SK/VIII/2007).

a. S : Subjective

Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumpulan data

klien melalui anamnesis sebagai langkah I Varney.

Data subyektif pada kasus bayi baru lahir dengan ikterus

neonatorum didapatkan dari hasil wawancara dengan keluarga

mengenai perubahan setelah dilakukan evaluasi hasilnya yaitu bayi

sudah lebih baik, gerakannya aktif, menangis dengan kuat, sudah

menyusu dengan kuat, dan warna kuning pada tubuh bayinya sudah

berkurang (Varney, 2008).


43

b. O : Objective

Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik

klien, hasil laboratorium, dan tes diagnosis lain yang dirumuskan

dalam data fokus untuk mendukung asuhan sebagai langkah I Varney.

Data objektif pada kasus bayi baru lahir dengan ikterus

neonarorum adalah berupa hasil observasi keadaan umum dan vital

sign, berat badan, reflek menghisap, keaktifan gerak, pola nutrisi,

eliminasi, dan hasil laboratorium kadar bilirubin bayi (Marmi, 2012).

c. A : Assessment

Menggambarkan pendokumentasian hasil analisis dan

interpretasi data subjektif dan objektif dalam suatu identifikasi dan

masalah kebidanan serta kebutuhan sebagai langkah II Varney.

Pada kasus bayi baru lahir ikterus neonatorum, diagnosis yang

dapat ditegakkan berdasarkan data subjektif dan objektif adalah bayi

Ny. P dengan ikterus neonatorum. Masalah yang dapat timbul yaitu

keadaan umum lemah dan malas minum (Marmi, 2012).

d. P : Planning

Menggambarkan penatalaksanaan, mencatat seluruh perencanaan

dan penatalaksanaan yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif,

tindakan segera, tindakan secara komprehensif, penyuluhan, dukungan,

kolaborasi, evaluasi atau follow up dari rujukan sebagai langkah III,

IV, V, VI, dan VII Varney.


44

Penatalaksanaan, mencatat seluruh perencanaan, dan

penatalaksanaan yang sudah dilakukan, antara lain sebagai berikut :

memonitor keadaan umum dan tanda-tanda vital (suhu, nafas, dan

nadi), serta menimbang berat badan, jika reflek menghisap sudah baik

dan kuat ASI dapat diberikan kembali secara on demand, melakukan

kolaborasi dengan dokter spesialis anak untuk melanjutkan terapi dan

tindakan hingga bayi sembuh dari ikterus. Evaluasi dari pelaksanaan

asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan ikterus neonatorum

adalah keadaan umum baik, tidak letargis, tanda-tanda vital dalam

keadaan normal, berat badan meningkat, kulit sudah tidak berwarna

kuning, warna urin tidak gelap, warna feses tidak kuning terang, dan

pernapasan tidak takipnea (lebih dari 60 kali per menit) (Kosim, 2012).

Anda mungkin juga menyukai